• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu pulih produksi Air Mata pasca pema

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Waktu pulih produksi Air Mata pasca pema"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

Perbandingan Lama Waktu Pulih Produksi Air Mata pada

Pasien Pasca-operasi menggunakan Anestesi Umum

Inhalasi dengan Isoflurane, Enflurane, dan Sevoflurane

TESIS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

ILMU KESEHATAN MATA

KRISTO SINAMBELA

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

/DEPARTEMEN MATA RUMAH SAKIT DR.MOHAMMAD HOESIN

PALEMBANG

(2)
(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis: Perbandingan Lama Waktu Pulih Produksi Air Mata pada Pasien Pasca-operasi menggunakan Anestesi Umum Inhalasi dengan Isoflurane, Enflurane, dan Sevoflurane

Penyusun: Kristo Sinambela

Palembang, Oktober 2010

MENYETUJUI

Pembimbing I

Dr. Elza Iskandar, SpM (K)

Pembimbing II

Dr. Anang Tribowo, SpM (K)

Pembimbing III

DR. Dr. Zen Hafy, M.Biomed

MENGETAHUI

Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Linda Trisna, SpM (K)

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata

Dr. H. E. Iskandar, SpM (K)

(4)

KATA PENGANTAR

Terima kasih kepada Allah Bapa di Surga untuk segala berkat dan anugrah sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tugas akhir berupa tesis ini merupakan persyaratan akhir dalam mengikuti pendidikan spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata di Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang. Rasa lega dan bangga menyeruak ketika pada akhirnya tesis ini selesai. Atas berkat ini, penulis tidak putus-putusnya menghaturkan terima kasih kepada Tuhan.

Teringat sebuah lagu dari grup Beatles dengan judul The Long and Winding Road – Jalan Panjang dan Berliku. Penulis merasakan bahwa upaya belajar di Universitas ini dijalani dengan tertatih-tatih dan jalan kadang tampak gelap seakan-akan tidak ada kepastian kapan jalan ini berakhir karena berbagai kekurangan yang memang dimiliki oleh penulis. Tetapi berkat bimbingan dari banyak pihak, terutama para guru, yaitu Dr. Dharma Sastrawan, SpM (K), Dr. Fidalia, SpM (K), Dr. AK Ansyori, SpM (K), M.Kes, Dr. Ibrahim, SpM, Dr. Rusdianto, SpM, Dr. Alie Solahuddin, SpM, Dr. Ani, SpM, Dr. Devi Azri Wahyuni, SpM, Dr. Ramzi Amin, SpM, Dr. Prima Mayasari, SpM, dan Dr. Riani Erna, SpM, yang telah memberikan ajaran, nasihat, dan waktu untuk membentuk penulis sebagaimana adanya saat ini, juga dalam penyusunan tesis ini, maka tulisan ini dapat ditelurkan.

Kepada para pembimbing yang secara tegas dan penuh pertimbangan telah menuntun penyusunan tesis ini, tidak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasihnya. Segala upaya, tenaga, dan waktu yang dihabiskan oleh Dr. Elza Iskandar, SpM (K), Dr. Anang Tribowo, SpM (K), M.Kes, dan DR. Dr. Zen Hafy, M.Biomed pada akhirnya memungkinkan penulis untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Bagian dan Kepala Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, yaitu Dr. Linda Trisna, SpM (K) dan Dr. H. E. Iskandar, SpM (K), untuk kesempatan, dukungan, dan bantuan yang diberikan.

(5)

Terima kasih penulis sampaikan bagi Dr. Zulkifli, SpAn (K) untuk kesempatan yang diberikan dalam pengambilan data di Bagian Anestesi dan Reanimasi Rumah Sakit Mohammad Hoesin dan nasihat dalam pengambilan data.

Tidak lupa kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Direktur Rumah Sakit Mohammad Hoesin, dan para pasien yang terlibat dalam penelitian ini, penulis menghaturkan terima kasih.

Untuk istri tercinta, Murni Juni Wanty Hutagaol, SSi dan kedua anakku, Gabriel Jogi Halasan Sinambela dan Felix Jogi Sinambela, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan, dan doa yang tidak henti-hentinya kalian berikan hingga saat ini.

Demikian pula seperti penutup lagu yang disebut di atas, don’t let me waiting here, Lead Me to Your Door, penulis merasa dituntun dalam perjalanan pendidikan secara unik oleh begitu banyak pihak sehingga tesis ini dapat selesai.

(6)

Perbandingan lama waktu pulih produksi air mata pada pasien pasca-operasi menggunakan anestesi umum inhalasi dengan isoflurane, enflurane, dan

sevoflurane

Kristo Sinambela

Abstrak

Latar belakang. Air mata diperlukan untuk fungsi proteksi mata. Operasi di bawah anestesi umum diketahui mengurangi produksi air mata. Penggunaan anestetik inhalasi dalam anestesi umum adalah amat lazim. Terdapat kemungkinan bahwa berbagai jenis anestetik inhalasi yang digunakan dalam anestesi umum memiliki perbedaan efek pada waktu pulih produksi air mata.

Tujuan. Untuk mengetahui perbandingan perbedaan waktu pulih produksi air mata dari penggunaan anestetik inhalasi isoflurane, enflurane, dan sevoflurane.

Materi dan metode. Tiga puluh pasien dengan berbagai diagnosis disertakan dalam penelitian ini secara konsekutif. Masing-masing sepuluh pasien diberi isoflurane, enflurane, dan sevoflurane sebagai anestetik inhalasi dalam anestesi umum. Produksi air dicatat 60 menit sebelum pasien menjalani anestesi umum dan hingga produksi air mata kembali normal. Waktu pulih adalah waktu hingga produksi air mata kembali normal.

Hasil. Dari uji ANOVA tampak bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam produksi air mata pada 60 menit, 120 menit, dan 240 menit setelah pasien sadar. Produksi air mata tampak paling berkurang pada pasien yang mendapat sevoflurane pada 60, 120, dan 240 menit setelah pasien sadar. Waktu pulih untuk ketiga jenis anestetik inhalasi tampak sebanding yaitu 360 menit setelah pasien sadar.

Kesimpulan. Waktu pulih dari isoflurane, enflurane, dan sevoflurane tampak sebanding, yaitu 360 menit.

Kata kunci: Enflurane, Isoflurane, Sevoflurane, Produksi air mata

(7)

Comparison of tear production restoration time in post operative patients having isoflurane, enflurane, dan sevoflurane as inhalation anesthetics in

general anesthesia

Kristo Sinambela

Abstract

Background. Tear is needed for the protection of the eyes. Operation under general anesthesia is known to reduce tear production. The use of inhalation anesthetics in general anesthesia is common. There’s probability that various inhalation anesthetic has different effects on tear production restoration time.

Aim. This study aim is to compare tear production restoration time from the use of isoflurane, enflurane, and sevoflurane.

Material and methods. Thirty patients with various diagnosis were consecutively included in this study. Ten patients received isoflurane, ten enflurane, and ten sevoflurane as the inhalation anesthetics in general anesthesia. Tear production was noted 60 minutes before general anesthesia initiated and was checked until tear production returned to normal. Tear production restoration time was noted as the time elapsed until normal production of tear resumed.

Results. ANOVA test revealed that there was a significant difference between inhalation anesthetics in 60, 120, and 240 minutes after patients regained consciousness. Tear production diminution was most pronounced in patients receiving sevoflurane in 60, 120, and 240 minutes after patients regained consciousness. Tear production restoration time for the three inhalation anesthetics appeared equal, i.e. 360 minutes after patients regained consciousness.

Conclusions. Tear production restoration time of isoflurane, enflurane, and sevoflurane seems equal, i.e. 360 minutes.

Key words: Enflurane, Isoflurane, Sevoflurane, Tear production

(8)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan... ii

Kata Pengantar... iii

Abstrak... v

Daftar Tabel... ix

Bab I. Pendahuluan... 1

1. Latar Belakang Penelitian... 1

2. Identifikasi Masalah... 4

3. Hipotesis Penelitian... 5

4. Tujuan Penelitian... 5

5. Manfaat Penelitian... 5

Bab II. Tinjauan Pustaka... 6

1. Anestesi umum... 6

2. Anatomi Kelenjar Lakrimalis... 14

3. Produksi Air Mata... 15

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Air Mata... 17

5. Pemeriksaan Air Mata... 18

6. Hubungan Anestesi Umum dengan Produksi Air Mata... 20

Bab III. Rancangan penelitian... 23

1. Jenis Penelitian... 23

2. Tempat dan Waktu Penelitian... 23

3. Populasi dan Sampel... 23

4. Kriteria Sampel... 24

5. Variabel Penelitian... 25

(9)

6. Tekhnik Pengambilan Data... 25

7. Alat dan Bahan... 25

8. Definisi Operasional... 26

9. Cara Kerja... 28

10. Analisis Data... 29

11. Alur Penelitian... 30

12. Personalia Penelitian... 31

Bab IV. Justifikasi Etik... 32

1. Rangkuman Karakteristik... 32

2. Prosedur Informed Consent... 32

3. Prosedur Pelaksanaan Etik... 33

4. Analisis Kelayakan Etik... 33

5. Kesimpulan... 34

Bab V. Hasil Penelitian... 35

1. Karakteristik Demografis Subjek... 35

2. Karakteristik Klinis Subjek... 37

3. Analisis... 44

Bab VI. Pembahasan... 49

Bab VII. Kesimpulan dan Saran... 53

Referensi... 54

Lampiran-lampiran... 56

(10)

Daftar Tabel

Tabel 1a. Data demografis subjek penelitian... 36 Tabel 1b. Perbandingan data demografis subjek penelitian

berdasarkan anestetik inhalasi... 37 Tabel 2a. Sebaran subjek penelitian menurut diagnosis... 39 Tabel 2b. Perbandingan sebaran diagnosis subjek penelitian

berdasarkan anestetik inhalasi... 40 Tabel 3. Sebaran subjek menurut penggunaan obat dalam

anestesi umum... 41 Tabel 4a. Sebaran subjek menurut durasi operasi... 42 Tabel 4b. Perbandingan sebaran durasi operasi subjek menurut

anestetik inhalasi... 42 Tabel 5. Perbandingan produksi air mata subjek menurut

anestetik inhalasi... 44 Tabel 6. Uji homogeneitas varians... 45 Tabel 7. Uji ANOVA... 46 Tabel 8. Analisis post-hoc pada titik waktu yang didapati

signifikan pada ANOVA... 48

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian

Dalam praktik kedokteran modern, prosedur operatif yang memerlukan

anestesia umum amatlah beragam, seperti laparotomi, masektomi, ataupun sectio

caesarea – walaupun prosedur terakhir ini juga dapat dilakukan dengan anestesia

spinal. Anestesia menjamin kenyamanan pasien dalam menjalani prosedur operatif.

Meskipun begitu, tindakan ini memiliki berbagai komplikasi, seperti mual-muntah

postoperatif, hepatitis postoperatif, henti jantung, dan juga penurunan produksi air

mata.1,2

Penurunan produksi air mata dipercaya berkaitan dengan obat-obatan

anestesia yang digunakan selama anestesia. Terdapat berbagai obat yang

digunakan dalam induksi, pemeliharaan dan pembalikan anestesia. Meskipun

begitu, obat-obatan yang memiliki jangka waktu paparan terpanjang selama tindakan

anestesia adalah obat-obat yang digunakan dalam pemeliharaan anestesia.

Obat-obatan pemeliharaan anestetik memiliki berbagai wujud, sebagian obat datang

dalam wujud cairan intravena sementara sebagian lagi dalam bentuk inhalasi. Salah

satu bentuk anestetik yang paling sering digunakan untuk memelihara anestesia

adalah anestetik inhalasi dan inipun terdiri dari berbagai jenis yang digunakan dalam

praktik anestesia.3

Obat-obat anestetik inhalasi memiliki potensi kerja yang berbeda-beda yang

dicerminkan dalam nilai MAC-nya (Mean Alveolar Concentration). Semakin kecil nilai ini semakin kecil konsentrasi yang diperlukan untuk membuat pasien tidak dapat

bergerak. Sebagai contoh, NO2 memiliki MAC sebesar 105% sementara halothane

(12)

Pada tahun 2010, jenis anestetik inhalasi yang digunakan di Rumah Sakit

Umum dr Mohammad Hoesin adalah isoflurane, enflurane, dan sevoflurane.

Ternyata setelah tahun 2009, halothane tidak lagi digunakan di rumah sakit ini,

terkait dengan risiko terjadinya hepatitis fulminan pada penggunaannya.4

Mekanisme kerja anestetik inhalasi terhadap penurunan produksi air mata

tidaklah diketahui secara pasti, namun dipercayai bahwa anestetik secara umum

meningkatkan ambang rangsang sel.3,6,7

Penurunan produksi air mata saat tindakan anestesi umum diduga

disebabkan oleh beberapa cara yaitu pengaruh anestesi umum pada sistem saraf

pusat yang mengatur hampir seluruh sistem tubuh sehingga mempengaruhi juga

sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang bertanggung jawab terhadap

pengaturan sekresi akuos oleh kelenjar lakrimalis.11 Penurunan produksi air mata

tersebut juga dapat disebabkan oleh lagoftalmus dan hilangnya reflek mengedip

sebagai akibat anestesi umum.12 Obat-obat tertentu seperti atropin dan scopolamin

yang digunakan sebagai premedikasi dalam anestesi umum merupakan golongan

agonis muskarinik yang dapat menurunkan sekresi kelenjar lakrimalis.12

Penurunan produksi air mata dapat berujung pada komplikasi okular seperti

keratitis dan erosi kornea yang dapat berujung pada kebutaan bila tidak ditangani

secara baik.12 Maka komplikasi okular adalah jauh lebih baik dicegah dibanding

diobati.

Penelitian yang dilakukan oleh Krupin et al dan Cross et al menunjukkan

adanya penurunan produksi air mata yang sangat bermakna selama tindakan

anestesi umum. Tetapi kedua penelitian tersebut tidak menilai apakah setelah

(13)

Pengaruh obat anestesi umum terhadap penurunan produksi air mata

pertama kali dilaporkan oleh Krupin et al. dalam penelitiannya terhadap 20 pasien

yang menjalani tindakan anestesi umum. Pengukuran produksi akuos dengan uji

Schirmer I yang dilakukan pada penelitian tersebut mendapatkan penurunan

rata-rata produksi basal air mata dari 13.6 ± 1.9 mm/5 menit satu jam setelah

premedikasi menjadi 3.6 ± 1.1 mm/5 menit sepuluh menit setelah induksi. Produksi

akuos semakin menurun menjadi 0.6 ± 0.3 mm/5 menit saat 30 menit setelah induksi

dan 0.9 ± 0.5 mm/5 menit 60 menit setelah induksi. Penurunan ini didapati sangat

signifikan (p<0.001) untuk semua pengukuran dibandingkan dengan hasil

pengukuran satu jam setelah premedikasi. Delapan dari 20 pasien dalam penelitian

tersebut menjalani uji Schirmer sebelum premedikasi dan hasil pengukuran

menunjukkan nilai 19.8 ± 2.9 mm/5 menit. Satu jam setelah premedikasi, produksi

akuos delapan pasien tersebut adalah 17.9 ± 1.8 mm/5 menit. Penurunan nilai uji

Schirmer sebelum dan sesudah premedikasi ini tidak bermakna (p> .4).8

Cross et al. melakukan pengukuran produksi air mata dengan uji Schirmer

terhadap 16 pasien yang menjalani tindakan pembedahan dengan anestesi umum.

Terhadap empat dari 16 pasien tersebut dilakukan uji Schirmer sebelum premedikasi

dan didapatkan nilai uji Schirmer 23.3 ± 5.6 mm/5 menit menurun menjadi 19.3 ± 3.6

mm/5 menit satu jam setelah premedikasi. Perbedaan nilai uji Schirmer sebelum dan

sesudah anestesi ini tidak bermakna. Penurunan rata-rata produksi akuos satu jam

setelah premedikasi dari 12.8 ± 2.4 mm/5 menit menjadi 4.1± 1.4 mm/5 menit dalam

10 menit setelah induksi dan terus menurun menjadi 0.7 ± 0.4 mm/5 menit setelah

30 menit, 1.2 ± 0.6 mm/5 menit setelah 60 menit. Penurunan hasil uji Schirmer pada

masing-masing pengukuran ini secara statistik sangat signifikan (p<0.005)

(14)

menunjukkan terdapat penurunan hasil uji Schimer pada mata kucing yang sehat

yang diukur 820 jam setelah dilakukan anestesi umum.10

Penelitian oleh Dr. Iskandar di Palembang pada tahun 2009 menunjukkan

bahwa produksi air mata turun selama dan setelah anestesia umum dilakukan.

Dalam penelitian tersebut, terjadi penurunan produksi air mata selama dan 60 menit

setelah anestesia umum, namun dalam penelitian ini efek obat-obat secara khusus

terhadap produksi air mata tidak diperiksa. Oleh karena itu, penelitian kali ini

dilakukan untuk mengetahui apakah jenis-jenis obat anestesi umum inhalasi tertentu

memiliki efek lama penurunan produksi air mata yang berbeda. Penelitian ini

nantinya diharapkan dapat berguna untuk mengetahui waktu pulih produksi air mata

sehingga dapat menentukan intervensi yang diperlukan bagi pencegahan

komplikasi.10

2. Identifikasi Masalah

1. Berapakah waktu pulih produksi air mata yang terjadi pada pasien yang

mendapat obat anestesi umum inhalasi isoflurane?

2. Berapakah waktu pulih produksi air mata yang terjadi pada pasien yang

mendapat obat anestesi umum inhalasi enflurane?

3. Berapakah waktu pulih produksi air mata yang terjadi pada pasien yang

mendapat obat anestesi umum inhalasi sevoflurane?

4. Apakah terdapat perbedaan lama waktu efek penurunan produksi air mata

antara kelompok pasien yang diberikan anestesi umum inhalasi dengan obat

(15)

3. Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan waktu pulih produksi air mata antara pasien-pasien yang

mendapat obat anestesi umum inhalasi: isoflurane, enflurane, dan

sevoflurane.

4. Tujuan Penelitian

4.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan waktu pulih produksi air mata pada

kelompok setelah pemberian obat anestesi umum inhalasi isoflurane,

enflurane, dan sevoflurane pada pasien pasca-operasi.

4.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi waktu pulih produksi air mata pada pasien yang telah

mendapat obat anestesi umum inhalasi isoflurane.

2. Mengidentifikasi waktu pulih produksi air mata pada pasien yang telah

mendapat obat anestesi umum inhalasi enflurane.

3. Mengidentifikasi waktu pulih produksi air mata pada pasien yang telah

mendapat obat anestesi umum inhalasi sevoflurane.

4. Menganalisis perbedaan waktu pulih antara pasien yang mendapat obat

anestesi umum inhalasi isoflurane, enflurane, dan sevoflurane.

5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan gambaran waktu pulih produksi air mata

setelah pemberian obat anestesi umum inhalasi sehingga keputusan dapat

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anestesi Umum

Anestesi umum merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya

persepsi terhadap semua sensasi yang disebabkan induksi obat.13 Anestesi umum

dapat menyebabkan penderita mengalami analgesia, amnesia, dan kehilangan

kesadaran disertai relaksasi otot-otot dan penekanan reflek yang tidak dikehendaki

sehingga amat bermanfaat untuk pembedahan.14 Untuk mencapai semua keadaan

tersebut diperlukan berbagai macam obat karena belum ada suatu obat tunggal

yang dapat mencapai efek-efek ini secara cepat dan aman.15

Obat-obat premedikasi biasanya diberikan sebelum dilakukan induksi

anestesi umum supaya penderita tenang dan kehilangan persepsi rasa sakit.

Pelemas otot rangka menekan tonus otot sehingga intubasi dapat terus

dipertahankan.14-18 Obat golongan antiinflamasi nonsteroid atau asetaminofen untuk

menghilangkan nyeri akibat pembedahan dan bila didapatkan adanya riwayat refluk

gastroesofageal maka pemberian obat penghambat H2 dan antasid diperlukan.

Obat-obat anestesi umum dapat diberikan melalui jalur intravena maupun inhalasi.17

1.1 Fase-fase dalam anestesi umum

Anestesi dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu induksi, pemeliharaan dan sadar

kembali dari anestesi.14-19

a. Fase induksi

Fase induksi didefinisikan sebagi suatu periode waktu dari mulai pemberian

anestesi sampai anestesi pembedahan yang efektif pada penderita dicapai.

(17)

ditandai dengan gejala gelisah perlu dilakukan. Induksi yang sering digunakan

berupa anestesi intravena seperti tiopental dimana keadaan tidak sadar

dicapai setelah 25 detik injeksi obat. Pada fase ini pemberian obat-obat

tambahan berupa anestesi inhalasi dan intravena lain demi mencapai

kedalaman anestesi yang diperlukan dapat dilakukan. Pemberian tambahan

obat-obat pelemas otot rangka secara intravena seperti vekuronium,

atrakurium dan suksinilkolin untuk menyebabkan relaksasi biasa diberikan

dalam fase ini. Induksi anestesi tergantung kecepatan pencapaian

konsentrasi efektif obat anestesi di otak.3,14-19

b. Fase pemeliharaan anestesi

Pemeliharaan adalah periode selama penderita mengalami anestesi untuk

pembedahan. Setelah pemberian campuran anestesi pilihan, pengawasan

tanda-tanda vital dan respon penderita terhadap berbagai stimuli selama

prosedur pembedahan perlu dilakukan untuk memastikan keseimbangan

jumlah obat anestesi dengan kedalaman anetesi. Kedalaman anestesi biasa

dipertahankan melalui pemberian anestesi inhalasi karena ia memberikan

kontrol berkelanjutan yang stabil untuk kedalaman anestesi.3,14-19

c. Fase sadar kembali

Sadar kembali adalah periode waktu yang diperlukan sejak penghentian

pemberian obat anestesi sampai kesadaran pulih atau merupakan kebalikan

induksi yaitu kecepatan obat anestesi keluar dari otak. Pada fase ini, reaksi

toksik yang terlambat misalnya difusi hipokondriak karena nitrogen oksida dan

hepatotoksisitas pada pemberian hidrokarbon halogenisasi harus

(18)

1.2 Kedalaman anestesi

Kedalaman anestesi dapat dibagi dalam empat stadium yang ditandai dengan

peningkatan penekanan sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh

peningkatan konsentrasi obat anestesi di otak.14-19 Stadium-stadium ini jelas terlihat

bila anestesi dilakukan menggunakan anestesi yang lambat seperti eter sedangkan

pada pemberian anestesi yang cepat seperti halothane stadium-stadium ini sukar

diamati.14

a. Stadium I: Analgesia.

Sensasi nyeri hilang karena gangguan transmisi sensorik pada traktus

spinotalamikus. Pada stadium ini, penderita sadar dan dapat diajak bicara.

Ketika stadium II hampir tercapai, terdapat penurunan kepekaan terhadap

rasa nyeri.15

b. Stadium II: Gelisah.

Penderita mengalami delirium dan menampilkan tingkah laku kekerasan.

Tekanan darah meningkat, ireguler serta pernapasan juga mungkin

meningkat. Untuk menghindari stadium ini barbiturat kerja singkat seperti

natrium pentotal dapat diberikan secara intravena sebelum anestesi inhalasi

diberikan.15

c. Stadium III: Anestesi pembedahan.

Pernapasan yang teratur dan relaksasi otot rangka terjadi pada stadium ini.

Refleks mata menurun secara progresif, hingga pergerakan bola mata

berhenti dan pupil terfiksasi. Pembedahan dapat dilakukan pada stadium

ini.15

(19)

Terjadi depresi kuat pusat pernapasan dan pusat vasomotor pada stadium ini.

Kematian dapat terjadi secara cepat. Fase ini terjadi bila anestesi diberikan

secara terlalu dalam. Pengalaman dan keahlian dari seorang ahli anestesi

diperlukan untuk mencegah pasien memasuki stadium ini.15

1.3 Obat-obatan yang digunakan dalam anestesi umum

Para penderita yang menjalani anestesi umum selalu mendapatkan berbagai

jenis obat karena tidak terdapat obat tunggal yang dapat menghasilkan semua efek

yang diharapkan dalam anestesi umum.14,15 Sebelum pemberian anestesi umum

para penderita diberi obat-obat preanestesi yang berfungsi memperlancar proses

anestesi umum.14,15,17 Pemberian obat-obat preanestesi yang ditujukan untuk

mengurangi kecemasan dan memudahkan amnesia seperti benzodiazepin, untuk

sedasi seperti golongan barbiturat, untuk mencegah reaksi alergi seperti antihistamin

dapat diberikan.17 Kadang obat-obat untuk mengurangi keasaman lambung,

antiemetik, opioid untuk analgesia, antikolinergik seperti scopolamin untuk

pencegahan bradikardia dan sekresi cairan kedalam saluran pernapasan dapat

diberikan. Obat-obat preanestesi ini dimaksudkan untuk memperlancar induksi dan

bila diberikan dapat mengurangi dosis obat anestesi yang dibutuhkan untuk

memelihara kedalaman anestesi yang diinginkan.14-18

Obat-obat anestesi umum pada fase induksi umum diberikan melalui jalur

intravena contoh obat-obat semacam ini antara lain adalah golongan barbiturat kerja

cepat yang larut dalam air seperti tiopental, methohexital dan thiamylal.17 Saat ini

propofol banyak dipakai, ia merupakan anestesi intravena nonbarbiturat yang

digunakan untuk menggantikan golongan barbiturat karena ia lebih sedikit

(20)

pemulihan yang lebih cepat. Propofol saat ini menjadi obat anestesi induksi yang

sangat baik dan dapat diberikan melalui infus intravena perlahan-lahan, walaupun

penggunaannya dalam jangka panjang telah diketahui menyebabkan propofol infusion syndrome yang diketahui amat berbahaya. Propofol infusion syndrome ini ditandai dengan gagal jantung, rhabdomiolisis, asidosis metabolik, dan gagal ginjal.

Obat anestesi inhalasi dapat juga diberikan untuk fase induksi terutama pada

anak-anak. Obat anestesi inhalasi yang dipakai antara lain adalah halothane dan

sevoflurane.17

Morfin, meperidin dan hidromorfin dahulu digunakan secara luas sebagai obat

anestesi di ruang gawat darurat, ruang bedah dan kebidanan karena memiliki efikasi

yang tinggi. Saat ini narkotika sintetis yang memiliki jangka kerja lebih pendek dan

sedikit menyebabkan fluktuasi tekanan darah semakin sering digunakan. Obat-obat

yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah fentanil, sufentanil, alfentanil

dan remifentanil. Remifentanil merupakan obat terbaru dari golongan ini, ia

mempunyai durasi aksi pendek dan harus diberikan melalui infus.17

Obat-obat pelemas otot depolarizing yang digunakan antara lain adalah suksinilkolin, ia mempunyai onset yang cepat dan aksi pendek sehingga cocok bagi

keperluan pelemas otot secara cepat. Pelemas otot non depolarizing antara lain adalah pancurium, rocurium, mivacurium dan cisatracurium.18

Untuk pemeliharaan anestesi, anestesi inhalasi umum digunakan. Anestesi

inhalasi mempunyai keuntungan yang tidak didapati pada obat intravena, karena

kedalaman anestesi dapat diubah secara cepat melalui perubahan konsentrasi

anestesi inhalasi. Obat-obat anestesi inhalasi cepat dieliminasi dari badan,

(21)

Klorofluorokarbon merupakan anestesi inhalasi poten yang diberikan kepada

pasien secara langsung, biasanya bersama nitrogen oksida. Halothane merupakan

prototip obat anestesi inhalasi modern namun ia dapat menyebabkan kematian

hepatosit secara masif. Pada tahun 1980an ia mulai digantikan oleh isoflurane dan

enflurane, suatu zat yang dikeluarkan dari paru-paru secara lebih cepat. Meskipun

begitu, halothane masih digunakan hingga hari ini karena harga yang murah dan

efek-efek yang menguntungkan pada kelompok pasien tertentu, seperti para pasien

dengan asma dan pasien dengan hipertensi.3 Pada akhir tahun 1990-an terdapat

dua obat anestesi baru yang sangat populer yaitu desflurane dan sevoflurane.7,18

Tiga jenis anestetik inhalasi yang diselidiki dalam penelitian ini dibahas lebih

lanjut dalam tulisan berikut.

a. Isoflurane

Isoflurane merupakan obat anestesi inhalasi yang merupakan halogenasi dari

metil etil eter. Ia memiliki koefisien darah/gas 1.4. Obat ini merupakan cairan

yang jernih, tidak mudah terbakar di temperatur kamar, dan berbau kuat.

Isoflurane memiliki stabilitas fisis yang baik dan tidak mengalami pemecahan

selama penyimpanan hingga selama 5 tahun ataupun ketika terpapar dengan

sinar matahari. Terdapat sedikit kekhawatiran sehubungan dengan sindrom

pencurian aliran koroner dalam penggunaannya pada pasien dengan penyakit

jantung koroner karena efekpotensial isoflurane pada vasodilatasi koroner.

Namun kejadian ini amatlah jarang dijumpai dalam praktik klinis.3

b. Enflurane

Enflurane adalah suatu isomer dari isoflurane. Dalam suhu ruangan, ia

merupakan cairan yang tidak mudah terbakar dan berbau kuat.

(22)

mirip kejang pada EEG. Metabolisme obat ini menyebabkan peningkatan

konsentrasi fluorida darah dan, kadang, menyebabkan penurunan

kemampuan konsentrasi cairan ginjal.3

c. Sevoflurane

Sevoflurane merupakan suatu metil isopropileter yang terfluorinasi dengan

koefisien darah/gas 0.65. Dengan koefisien sekecil ini, sevoflurane

merupakan anestetik inhalasi yang bekerja cepat dalam proses induksi dan

cepat pula kehilangan efeknya sehingga menyebabkan proses bangun yang

mulus. Obat ini berbau manis. Sevoflurane memiliki potensi anestetik kira-kira

separuh dari isoflurane dan memiliki sebagian dari sifat stabilitasnya. Ia

merupakan bronkodilator yang poten dan tidak berbau kuat. Penggunaannya

sebagai agen induksi pada pasien anak dan dewasa disukai karena sifat-sifat

ini. Sevoflurane memiliki separuh potensi isoflurane dalam efek vasodilatasi

pembuluh koroner dan 10 hingga 20 kali lebih rentan terhadap metabolisme

dibanding isoflurane. Metabolisme sevoflurane menghasilkan fluorida

inorganik seperti isoflurane; peningkatan fluorida ini tidak berkaitan dengan

gangguan kapasitas konsentrasi cairan ginjal. Hasil metabolisme lain dari

sevoflurane adalah heksafluoroisopropanol yang tidak menstimulir

pembentukan antibodi sehingga hepatitis terkait sistem imun tidak pernah

dilaporkan dengan penggunaan sevoflurane. Sevoflurane dapat bereaksi

dengan absorben CO2 kering dan menghasilkan suatu vinil halida yang

dikenal dengan senyawa A. Senyawa A merupakan nefrotoksin pada tikus

namun tidak berkaitan dengan kerusakan ginjal pada manusia, dengan

ataupun tanpa gangguan ginjal, bahkan ketika aliran gas segar diatur pada 1

(23)

1. 4 Efek-efek obat-obat anestesi pada sistem saraf otonom

Obat-obatan anestesi memiliki berbagai efek pada sistem saraf otonom

tergantung pada kerja mereka pada reseptor adrenergik atau kolinergik dari sistem

saraf simpatis atau parasimpatis, secara berurutan.20

Terdapat berbagai efek perangsangan pada sistem saraf simpatis.

Rangsangan pada jantung menyebabkan peningkatan kecepatan denyut,

kontraktilitas, dan kecepatan konduksi jantung. Efek pada sel-sel lemak adalah

berupa lipolisis. Dilatasi terjadi pada pembuluh darah yang memiliki reseptor β2 dan

bronkiolus, pembuluh darah dengan reseptor α2 mengalami konstriksi dan uterus

berelaksasi. Ginjal mensekresikan renin dan bagian pankreas yang mengandung

reseptor β2 mensekresikan insulin, namun pada bagian pankreas yang reseptor α1

hambatan sekresi insulin terjadi, sementara terjadi glukoneogenesis dan

glukogenolisis di hati. Usus dan kandung kemih mengalami relaksasi namun terjadi

konstriksi pada spingter. Pelepasan norepinefrin dihambat pada ujung-ujung saraf

presinaptik. Pembuluh darah ginjal, koroner, dan splanchnicus mengalami

dilatasi.20,21

Efek-efek perangsangan pada sistem saraf parasimpatis secara umum

bersifat bertolak belakang dengan rangsangan pada sistem saraf simpatis. Pada

jantung, rangsangan sistem saraf parasimpatis menyebabkan penurunan kecepatan

denyut, kontraktilitas, serta kecepatan konduksi jantung. Pada bronkiolus, ia

menyebabkan konstriksi. Sementara pada kelenjar salivarius ia menyebabkan

peningkatan sekresi. Kontraksi usus dan relaksasi spingter terjadi, sekresi usus juga

didapati meningkat pada perangsangan sistem saraf parasimpatis. Kandung kemih

mengalami kontraksi sementara spingter mengalami relaksasi. Pada otot, kontraksi

(24)

Kelenjar air mata juga dipersarafi oleh kedua sistem saraf otonom yaitu

sistem saraf parasimpatis dan sedikit cabang sistem saraf simpatis. Sehingga tiap

obat anestesi yang menghambat sistem saraf parasimpatis tidak diragukan lagi akan

mengurangi produksi air mata. Salah satu obat yang telah diketahui menyebabkan

blokade parasimpatis adalah sulfas atropin.21

2. Anatomi Kelenjar Lakrimalis

Sistem lakrimal adalah suatu sistem fisiologis yang terdiri dari struktur-struktur

untuk sekresi serta saluran aliran air mata. Sistem sekresi air mata terdiri dari dua

komponen, kelenjar lakrimalis dan kelenjar asesori.2,22 Kelenjar lakrimalis terdiri dari

dua bagian yaitu: 1) bagian orbita berbentuk kenari terletak di dalam fossa lakrimalis

di segmen temporal atas anterior dari orbita, dipisahkan dari bagian palpebra oleh

kornu lateralis dari muskulus levator palpebra. 2) bagian palpebra yang lebih kecil

terletak tepat diatas segmen temporal dari fornik konjungtiva superior. Duktus

sekretorius lakrimalis yang bermuara melalui kira-kira sepuluh lubang kecil,

menghubungkan bagian orbital dan palpebral kelenjar lakrimalis dengan fornik

konjungtiva superior.19,23,24

Vaskularisasi kelenjar lakrimalis berasal dari arteria lakrimalis. Vena yang

berasal dari kelenjar lakrimalis akan keluar bergabung dengan vena oftalmika.

Drainase limfe menyatu dengan pembuluh limfe konjungtiva untuk mengalir ke

dalam limfonodus pra-aurikula.23,25

Persarafan kelenjar lakrimalis berasal dari saraf kranial trigeminus cabang

lakrimalis, nervus petrosus superfisialis magna yang berasal dari nukleus salivarius

superior dan nervus simpatis yang menyertai arteri lakrimalis dan nervus lakrimalis.23

(25)

pembuluh darah kelenjar lakrimalis. Saraf parasimpatis mengandung

neurotransmiter asetilkolin yang beraksi melalui reseptor muskarinik dan vasoactive intestinal peptide. Saraf simpatis mengandung norepineprin yang beraksi melalui reseptor adrenergik.24-28

3. Produksi Air Mata

Lapisan air mata (LAM) merupakan suatu struktur yang tersusun oleh tiga

lapisan yaitu lapisan lipid pada bagian luar dengan ketebalan 0,1 µm, lapisan air

mata bagian tengah dengan ketebalan 7-10 µm dan lapisan mukus bagian dalam

yang memiliki ketebalan 0,02-0,05 µm.29,30 Ketiga lapisan LAM berasal dari sekresi

kelenjar-kelenjar dan sel-sel yang terdapat pada kelopak mata, konjungtiva dan

rongga orbita.2,29,30 Lapisan lipid terutama disekresi oleh kelenjar Meibom. Lapisan

air mata bagian tengah sebagian besar diproduksi oleh kelenjar lakrimal dan

sebagian kecil oleh kelenjar asesori yaitu kelenjar Krause dan Wolfring.2,22,25,29-31

Lapisan paling dalam yaitu mukus mengandung musin yang sebagian besar

dihasilkan oleh sel-sel goblet konjungtiva serta sebagian oleh kelenjar Manz, kripta

Henle dan sel-sel apikal epitel konjungtiva dan kornea. LAM menempel pada

permukaan bola mata melalui perlekatan lapisan musin glikokaliks pada

mikroplika/mikrovili epitel kornea dan konjungtiva.2,25

Lapisan air mata hasil produksi kelenjar-kelenjar eksokrin berperan sebagai

perantara lewatnya nutrisi dan oksigen ke kornea.11 Kelenjar lakrimal memproduksi

air mata dari struktur asinus yang terbentuk dari cincin sel-sel piramid yang berikatan

pada bagian lateral melalui tight junction dan gap junction.25 Produksi air dan

elektrolit kelenjar lakrimal terjadi dalam dua tahap. Dalam tahap pertama, sel-sel

asinus mensekresi cairan dengan komposisi elektrolit yang mirip dengan plasma,

(26)

lumen duktus, di sini dinding duktus memodifikasi komposisi elektrolit dengan

menambahkan KCl.25

Lapisan air mata juga mengandung protein yang bersifat antibakterial,

antiviral dan faktor pertumbuhan/growth factor.25 Protein yang dibentuk di kelenjar lakrimal dibagi menjadi dua kelompok besar, protein constitutive dan regulated.25

Protein dalam sel disintesis oleh retikulum endoplasmik, kemudian dimodifikasi oleh

badan golgi sehingga granul sekretorik terbentuk. Pada kelompok protein

constitutive, granul ini tidak disimpan dalam sel namun langsung berfusi ke plasma pada bagian apikal sehingga dilepaskan ke dalam lumen. S-IgA merupakan salah

satu contoh protein yang dilepaskan melalui cara ini.25 Sementara pada kelompok

protein regulated, granul disimpan pada bagian tepi plasma di daerah apikal. Granul ini hanya akan berfusi dengan membran sel bila terdapat stimulus yang tepat dari

neurotransmiter sel saraf atau hormon peptida dan steroid dari darah.25

Neurotransmiter dan hormon peptida menstimulir sekresi air, elektrolit dan protein

regulated, sedangkan hormon steroid menstimuli sekresi protein constitutive.22,25,32

Neurotransmiter terutama berasal dari saraf parasimpatis dan sebagian kecil

dari saraf simpatis dan sensorik. Terdapat tiga stimulus yang merangsang sekresi

dan satu stimulus yang menghambat sekresi kelenjar lakrimal. Stimulus pertama

yang merangsang sekresi berasal dari saraf parasimpatis, dimana asetilkolin

berikatan dengan reseptor muskarinik pada permukaan sel. Stimulus kedua berasal

dari norepinefrin saraf simpatis, yang mengaktifkan reseptor α1 dan β adrenergik.32

(27)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Air Mata

Produksi air mata yang menurun dapat disebabkan gangguan fungsi atau

penyakit pada kelenjar lakrimalis atau gangguan persarafan. Hiposekresi dapat

disebabkan karena alacrimia, sindrom Riley-Day, obstruksi kelenjar lakrimalis, radiasi, trauma kimia atau termis dan pembedahan atau trauma kelopak mata.33,34

Kondisi ini dapat disebabkan usia, menurunnya kondisi hormonal, kelainan sistemik

(peradangan atau penyakit), operasi pada mata dan obat-obatan.22,29

Berbagai obat yang dapat menurunkan produksi air mata seperti

antidepresan, dekongestan, antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi oral, diuretik,

obat-obat tukak lambung, tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi umum. 8-10,29,33,35-37

Hipersekresi lakrimal primer jarang terjadi dan harus dibedakan dengan mata

yang berair-air akibat obstruksi duktus eksekresinya. Hipersekresi sekunder mungkin

bersifat psikogenik atau disebabkan reflek karena iritasi epitel permukaan kornea.

Hipersekresi dapat dihentikan dengan blokade saraf yang merangsang sekresi air

mata di ganglion sfenopalatinum. Selain itu hipersekresi dapat juga terjadi pada

penderita yang mengalami Bell’s palsy dimana mata penderita akan berair-air sewaktu makan karena rangsangan pada kelenjar liur teralihkan ke kelenjar air

mata.23

Keadaan klinik lain yang berhubungan dengan produksi air mata adalah air

mata berdarah. Keadaan ini dikaitkan dengan menstruasi. Air mata berdarah

mungkin terjadi karena perdarahan konjungtiva karena berbagai penyebab seperti

trauma dan diskrasia darah atau oleh tumor di sakus lakrimalis. Keadaan ini juga

dapat terjadi pada pasien hipertensi yang sedang mengalami mimisan dengan

(28)

5. Pemeriksaan Air Mata

Pemeriksaan air mata bertujuan untuk menilai fungsi air mata secara

kualitas dan kuantitas.37,38 Beberapa pemeriksaan air mata yang penting seperti:

1. Uji Schirmer, untuk menilai kuantitas air mata, menilai kecepatan sekresi air

mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5 mm–30 mm dan

salah satu ujungnya dilipat berjarak 5 mm dari ujung kertas. Kertas lakmus

merah dapat juga dipakai dengan melihat perubahan warna. Perbedaan kertas

lakmus dengan kertas filter hanya sedikit. Rata–rata hasil bila memakai kertas

filter Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm–27 mm) sedangkan lakmus merah 10

mm (0 mm–27 mm).37-39

Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas yang dilipat

diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial dan 1/3

temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan menutup mata perlahan–lahan

tetapi sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat keatas.

Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian kertas yang basah, diukur mulai

dari lipatan kertas. 10-30 mm adalah normal atau terdapat pseudoepifora.

Apabila kurang dari 5 mm maka sekresi basal dianggap kurang.37-39

Uji Schirmer II dilakukan dengan penetesan anestesi topikal untuk

menghilangkan efek iritasi lokal pada sakus konjungtiva. Saraf trigeminus

dirangsang dengan memasukkan kapas lidi ke mukosa nasal atau dengan zat

aromatik amonium, sehingga nilai Schirmer bertambah karena reflek sekresi.

Pemeriksaan ini mengukur refleks sekresi.37-39

2. Tear Film Break-up Time (TBUT), Pasien didudukkan di depan slit lamp, kemudian zat fluoresen diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, pasien menutup mata

(29)

sinar filter cobalt warna biru dilihat gambaran bintik kering (dry spot) pada kornea yaitu daerah bebas fluoresen berwarna hitam. Normal waktu 15 detik–30 detik,

bila kurang 10 detik berarti defisiensi musin. Pemeriksaan ini digunakan pada

pemeriksaan defisiensi musin.37-39

3. Uji Rose Bengal, uji ini lebih sensitif dari fluoresen, warna rose bengal akan

mewarnai sel–sel epitel kornea yang tidak vital juga sel–sel pada konjuntiva.

Penilaiannya: 0 – 4 +, bila 3 + - 4 + berarti pewarnaan lebih banyak, secara klinis

adalah hiposekresi lakrimal.37-39

4. Uji Ferning (Ocular Ferning Test), Air mata yang terdapat di fornik dikumpulkan dengan spatula atau mikropipet tanpa anestesi topikal. Sampel air mata

diletakkan di atas gelas objek, ditutup dan dibiarkan kering (5–10 menit) pada

suhu kamar. Lihat di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40–100 kali.

Secara mikroskopis tampak gambaran arborisasi seperti pohon pakis pada mata

normal.37-39

5. Impresi Sitologi konjungtiva, pemeriksaan untuk sel goblet konjungtiva. Pada

orang normal sel goblet banyak di kwadran inferonasal. Hilangnya sel goblet

ditemukan pada penderita keratokonjungtivitis sika, trakoma, sikatrik okular pada

sindrom Steven–Johnson dan avitaminosis A.37-39

6. Hubungan Anestesi Umum dengan Produksi Air Mata.

Mekanisme yang pasti bagaimana anestesi umum dapat menyebabkan

penurunan produksi air mata belum diketahui. Walaupun demikian dari berbagai

penelitian didapatkan terjadi penurunan produksi air mata yang diukur dengan uji

(30)

Produksi air mata mempunyai dua komponen yaitu komponen basal dan

reflek. Kelenjar lakrimalis bertanggung jawab terhadap reflek sekresi air mata, dalam

hal ini adalah bagian akuos.30 Kelenjar lakrimalis dipersarafi oleh persarafan otonom.

Produksi kelenjar lakrimalis dapat dipengaruhi oleh keadaan perifer yang mengenai

mata dan keadaan psikogenik. Selama tindakan anestesi umum terdapat variasi

yang amat besar pada produksi air mata, bahkan pada saat anestesi yang adekuat

air mata tidak tampak diproduksi, mungkin hal ini dikarenakan efek umum anestesi

umum pada hampir semua sistem tubuh.Penekanan pada jalur saraf autonom oleh

anestesi umum bertanggung jawab terhadap sekresi air mata.21,32

Kerja neurofisiologik yang penting obat-obat anestesi umum adalah melalui

peningkatan ambang rangsang sel. Peningkatan ambang rangsang sel

menyebabkan penurunan aktivitas neuronal. Obat-obat anestesi inhalasi menekan

aktivitas neuron otak sehingga akson dan transmisi sinaptik terhambat. Anestesi

inhalasi juga menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan aktivitas aliran K+ sehingga

terjadi penurunan kemampuan aksi potensial awal berupa peningkatan ambang

rangsang sel. Efek benzodiazepin dan barbiturat terhadap saluran klorida

diperantarai reseptor asam gamma aminobutirat A (GABAA) yang merupakan

reseptor GABA, dimana GABA merupakan penghambat neurotransmiter yang utama

pada SSP. Obat-obat anestesi inhalasi lain seperti isoflurane, desflurane, halothane,

nitrgen oksida dan propofol juga diduga mempunyai aksi meningkatkan efek GABA

pada reseptor GABA.19

Obat-obat anestesi umum selain berpengaruh terhadap susunan saraf pusat

berupa penekanan pada sistem saraf pusat juga mempunyai efek terhadap sistem

saraf otonom melalui pengaruh pada reseptor neurotransmiter seperti reseptor

(31)

akan menyebabkan penurunan produksi sekresi kelenjar termasuk kelenjar saliva

dan kelenjar lakrimalis. Atropin dan scopolamin, yang biasa dipakai sebagai obat

premedikasi, mempunyai efek menurunkan sekresi saluran pernapasan sehingga

memudahkan intubasi, juga mempunyai efek bronkodilator potensial. Efek pada

mata antara lain adalah dilatasi pupil dan obat-obat ini termasuk dalam golongan

agonis muskarinik yang dapat menurunkan sekresi lakrimalis.15,21

Anestesi inhalasi memiliki kerja yang nonselektif, selain memiliki efek klinis

penting pada susunan saraf pusat SSP, ia juga mengubah fungsi berbagai tipe sel

perifer. Hal ini dikarenakan obat anestesi inhalasi tidak mempunyai reseptor anestesi

spesifik sehingga dapat mempengaruhi fungsi reseptor neurotransmiter lain.

Pengaruh anestesi inhalasi terhadap SSP mempunyai peranan penting karena SSP

mengontrol semua kondisi secara automatis dan terhadap rangsangan-rangsangan

sensorik lain,7,13 termasuk fungsi produksi dari kelenjar lakrimalis,32 sehingga

dalamkeadaan anestesi umum yang dalam akan terjadi penurunan aktivitas dari

seluruh sistem tubuh. Pengaruh terhadap produksi dan sekresi kelenjar lakrimalis

disebabkan hilangnya proses mengedip dan terjadinya lagoftalmos, inhibisi pada

SSO terutama pada reseptor kolinergik secara khusus pada reseptor muskarinik

yang berperan dalam sekresi kelenjar lakrimalis, dan juga karena obat-obat anestesi

umum yang sebagian besar mempengaruhi keseimbangan dari sistem elektrolit

pada sel terutama pada saluran klorida, kalium dan natrium sehingga mempengaruhi

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort observasional prospektif.

2. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di rumah sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Waktu

pelaksanaan penelitian adalah di bulan Oktober 2010.

3. Populasi dan sampel

Populasi penelitian adalah semua pasien berusia diatas 18 sampai dengan 45

tahun yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Pemilihan sampel penelitian

dilakukan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang dituliskan lebih lanjut.

Teknik consecutive sampling digunakan, dengan jumlah sampel yang dihitung sebagai berikut:37

N : jumlah sampel kelompok

Pt : probabilitas efek untuk anestetik inhalasi pertama Pc : probabilitas efek untuk anestetik inhalasi kedua Alfa (α) : 95%

(33)

Penghitungan sampel dilakukan dua kali, yang pertama membandingkan

sevoflurane dengan enflurane, yang kedua sevoflurane dengan isoflurane. Jumlah

sampel tertinggi ditentukan sebagai jumlah sampel per kelompok.

Hingga saat ini belum diketahui literatur yang membandingkan efek satu

anestetik inhalasi dengan anestetik inhalasi lain dalam penurunan produksi air mata.

Karena probabilitas efek belum diketahui, maka pilot study dilakukan terlebih dahulu dengan 10 subjek untuk tiap kelompok. Sehingga sampel sementara untuk pilot study adalah 30 subjek.

Setelah pilot study dijalankan, terungkap bahwa Pc dan Pt adalah 1 untuk semua jenis anestetik inhalasi sehingga jumlah sampel per kelompok yang

diperlukan adalah 8 subjek. Maka, sampel dari pilot study digunakan untuk analisis akhir.

4. Kriteria sampel

4. 1 Kriteria penerimaan

a. Penderita yang menjalani anestesi umum dengan menggunakan obat

Isoflurane, Enflurane, atau Sevoflurane

b. Penderita berusia diatas 18 tahun hingga 45 tahun.

c. Penderita bersedia ikut serta dalam penelitian serta menandatangani surat

pernyataan bersedia ikut serta dalam penelitian.

4. 2 Kriteria penolakan

a. Penderita dengan kelainan sindroma mata kering.

b. Penderita yang mengalami komplikasi pembiusan umum.

(34)

5. Variabel penelitian

a. Variabel bebas: Tindakan anestesi umum dengan obat anestesi inhalasi

Isoflurane; tindakan anestesi umum dengan obat anestesi

inhalasi Enflurane; tindakan anestesi umum dengan obat

anestesi inhalasi Sevoflurane.

b. Variabel terikat: Waktu pulih produksi air mata yang ditentukan menurut uji

Schirmer I.

6. Teknik Pengambilan Data

a. Data tentang umur, pendidikan, dan pekerjaan dikumpulkan melalui

anamnesis.

b. Data diagnosis dan data penyakit sistemik diambil melalui pemeriksaan

catatan rekam medis.

c. Data lama anestesi umum diambil dengan cara pengukuran menggunakan

pencatat waktu (stopwatch).

d. Data kuantitas air mata dikumpulkan dengan uji Schirmer I.

7. Alat dan Bahan

a. Lembar surat pernyataan bersedia ikut serta dalam penelitian

b. Lembar formulir identifikasi dan pemeriksaan

c. Pencatat waktu (stopwatch) d. Kertas filter Whatman 41

e. Loupe

(35)

8. Definisi operasional

a. Uji Schirmer I adalah penilaian fungsi produksi sistem lakrimal dengan

mengukur sekresi basal dan reflek sekresi sistem lakrimal yang diukur

menggunakan kertas filter Whatman 41. Uji Schirmer I dilakukan tanpa

anestesi topikal, ujung kertas yang dilipat diinsersikan ke sakus konjuntiva

forniks inferior pada pertemuan medial dan 1/3 temporal palpebra inferior.

Pasien dianjurkan menutup mata perlahan–lahan tetapi sebagian peneliti

menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat keatas. Lama pemeriksaan 5

menit dan diukur bagian kertas yang basah, diukur mulai dari lipatan kertas.

Uji Schirmer I dilakukan pada subjek dalam posisi tidur terlentang.

Penilaian dianggap normal bila hasil uji Schirmer I didapatkan 15-30 mm,

borderline dengan nilai 6-14 mm dan abnormal jika nilai ≤ 5 mm.

b. Waktu pulih adalah waktu hingga produksi air mata kembali ke normal yang

ditentukan menurut uji Schirmer I dengan titik pengukuran baseline 60 menit

sebelum anestesi umum dan diukur ulang dengan interval 60 menit hingga

produksi air mata kembali ke normal.

c. Anestetik inhalasi adalah semua agen anestetik yang diberikan melalui

sistem respirasi pasien kecuali N2O, dalam penelitian ini adalah Enflurane,

Isoflurane, Sevoflurane.

d. Kombinasi obat anestesi adalah semua obat kecuali obat anestesi inhalasi

yang dipakai selama proses tindakan anestesi umum sejak premedikasi

hingga penderita sadar kembali.

e. Lama anestesi umum merupakan waktu (dalam menit) sejak penderita mulai

(36)

ditandai oleh pernapasan spontan yang dilakukan penderita. Diambil kurun

waktu 60 menit sebelum anestesi umum untuk mendapatkan kondisi mata

yang sama dengan kondisi sehari-hari sebagai nilai baseline.

f. Penderita dengan anestesia umum adalah penderita yang diberi

obat-obatan oleh dokter spesialis anestesi atau residen anestesi sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran penderita dan tindakan operasi dapat

dilaksanakan.

g. Usia di atas 18 tahun sampai 45 tahun diambil karena pada usia diatas 18

tahun penderita sudah kooperatif serta memiliki hak legal untuk menyetujui

atau menolak tindakan terhadap dirinya dan dibawah 45 tahun untuk

menghindari penurunan produksi air mata akibat faktor degeneratif.

h. Komplikasi pembiusan umum adalah kejadian dalam kondisi teranestesi

berupa kegagalan sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan atau sistem

vital lain sehingga penderita mengalami hambatan untuk kembali sadar

spontan.

i. Penyakit sistemik adalah penyakit yang dialami oleh penderita yang memiliki

kesempatan untuk mempengaruhi produksi dan sekresi air mata seperti

sindroma Sjögren, diabetes dan kelainan tiroid.

j. Obat-obatan lain adalah obat-obatan yang dapat menurunkan produksi air

mata selain obat yang dipakai dalam proses anestesi umum seperti

(37)

9. Cara Kerja

a. Semua subjek yang memenuhi kriteria sampel diberi penjelasan mengenai

penelitian ini. Kepada subjek dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat

penelitian, cara pemeriksaan yang akan dilakukan dan biaya penelitian yang

akan ditanggung oleh peneliti. Subjek yang bersedia ikut serta dalam

penelitian diminta untuk menandatangani surat pernyataan bersedia ikut

dalam penelitian yang telah disediakan.

b. Semua subjek yang memenuhi kriteria sampel diwawancarai untuk

mendapatkan data identitasnya.

c. Pemeriksaan catatan rekam medis dilakukan untuk mengetahui diagnosis

dan tindakan yang akan dilakukan terhadap subjek.

d. Pemeriksaan oftalmologis dengan memakai lampu senter dan loupe

dilakukan kepada subjek untuk melihat keadaan segmen anterior okular.

e. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang pertama dalam rentang

waktu 60 menit sebelum dilakukan tindakan anestesi umum.

f. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang kedua setelah 60 menit

subjek dinyatakan sadar yang ditandai dengan bernapas spontan.

g. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang ketiga setelah 120 menit

subjek dinyatakan sadar yang ditandai dengan bernapas spontan

h. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang ketiga setelah 180 menit

subjek dinyatakan sadar yang ditandai dengan bernapas spontan

i. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang kelima setelah 240 menit

subjek dinyatakan sadar yang ditandai dengan bernapas spontan

j. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I per 1 jam setelah pemeriksaan

(38)

10. Analisis Data

Data responden dicatat dalam suatu formulir data yang telah disiapkan,

kemudian disusun dalam suatu tabel induk dengan menggunakan program Microsoft

Office Excel 2007 for Windows. Data diolah dengan menggunakan program

pengolahan data statistik SPSS for Windows versi 16.0. Perhitungan statistik untuk

melihat perbandingan nilai uji Schirmer sesudah anestesi umum dilakukan dengan

(39)

11. Alur Penelitian

Penderita sadar

Pengambilan data

Analisis data Pengolahan data

Hasil penelitian

Pengambilan

data

Semua penderita yang akan menjalani tindakan dengan pembiusan umum

Kriteria penerimaan Kriteria penolakan

Keluar komplikasi Menjalani anestesi umum

Pengambilan data

Persetujuan penelitian tidak

(40)

12. Personalia Penelitian

1. Pemeriksaan oftamologis dan uji Schirmer I akan dilakukan oleh

peneliti (dr. Kristo Sinambela) di bawah pengawasan dokter spesialis mata

di RSMH Palembang.

2. Prosedur tindakan anestesi umum dilakukan oleh ahli anestesi sesuai

prosedur yang berlaku di bagian anestesi dan reanimasi RS. Mohammad

(41)

BAB IV

JUSTIFIKASI ETIK

1. Rangkuman Karakteristik

Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort observasional prospektif

berupa serial kasus yang bertujuan untuk mengetahui angka kejadian penurunan

produksi air mata pada penderita yang menjalani tindakan operasi dengan anestesi

umum di RS. Mohammad Hoesin. Penurunan produksi air mata yang disertai

lagoftalmos dan hilangnya reflek mengedip akan menyebabkan mata penderita

menjadi kering. Kekeringan pada mata, terutama kornea akan menyebabkan rasa

tidak nyaman, perih, dan rasa panas bagi penderita, dan jika kekeringan mata ini

terus berlanjut, kerusakan integritas epitel kornea dapat terjadi, yang ditandai oleh

erosi kornea pada mulanya dan dapat berujung pada ulkus. Literatur

mengungkapkan bahwa produksi air mata akan menurun selama tindakan anestesi

umum namun tidaklah diketahui pengaruh obat-obat anestesi inhalasi pada

penurunan ini. Melalui identifikasi obat-obat anestesi inhalasi yang memiliki

pengaruh lebih besar, kewaspadaan dapat diarahkan pada agen-agen spesifik ini

untuk mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap mata.

2. Prosedur Informed Consent

Seluruh penderita menerima penjelasan mengenai tujuan penelitian ini

sehingga penderita dapat memberikan persetujuan yang didasarkan informasi untuk

mengikuti penelitian ini atau tidak. Penderita juga mendapat penjelasan mengenai

(42)

serta mengenai biaya yang sepenuhnya akan ditanggung oleh peneliti. Penjelasan

mengenai manfaat penelitian juga diberikan. Jika penderita bersedia untuk

berpartisipasi, maka ia perlu menandatangani surat persetujuan untuk ikut serta

dalam penelitian (informed consent).

3. Prosedur Pelaksanaan Etik

Penelitian ini dilakukan di Bagian Anestesi Rumah Sakit Mohammad Hoesin

Palembang melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan identifikasi rekam medik para

penderita.

4. Analisis Kelayakan Etik

Penelitian ini disusun berdasarkan tinjauan penelitian-penelitian terdahulu dan

kajian pustaka mengenai penurunan produksi air mata yang terkait dengan anestesi

umum. Dasar ilmiah yang kuat mendukung penelitian ini sehingga hasil yang sesuai

dengan tujuan penelitian diperkirakan akan diperoleh. Prosedur yang perlu dilakukan

pada penderita tidak akan dipengaruhi oleh penelitian ini sehingga kerugian bagi

penderita adalah minimal hingga tidak ada sama sekali. Penderita memiliki

kebebasan untuk turut serta maupun menolak untuk turut serta dalam penelitian ini.

Peneliti akan menanggung semua biaya yang terkait dengan prosedur penelitian ini

sehingga pasien tidak dibebani dengan biaya tambahan. Penderita yang mengalami

penurunan produksi air mata yang memerlukan pengobatan akan dikonsulkan ke

dokter spesialis mata di RS. Mohammad Hoesin Palembang untuk penanganan

(43)

5. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini didasari

landasan ilmiah yang kuat, bermanfaat untuk dilaksanakan, tidak membahayakan

penderita serta menjamin kebebasan penderita untuk memiliih keikutsertaannya.

(44)

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dijalankan di bulan Oktober 2010 di Rumah Sakit Dr.

Mohammad Hoesin, Palembang. Jumlah sampel yang disertakan dalam analisis

akhir adalah 30 subjek.

1. Karakteristik demografis subjek

Dari seluruh subjek yang disertakan, 19 (63.3%) adalah pria dan 11 (36.7%)

adalah wanita. Subjek paling muda berusia 20 tahun sementara yang paling tua

berusia 45 tahun. Kelompok usia 20 hingga 26 tahun terdiri dari sembilan (30.0%)

subjek, 27 hingga 33 tahun empat (13.3%) subjek, 34 hingga 40 tahun tiga (10.0%)

subjek, dan 41 hingga 47 tahun 14 (46.7%) subjek. Dapat dilihat bahwa kelompok

usia yang paling banyak adalah kelompok usia 41 hingga 47 tahun, yaitu 14 (46.7%)

subjek. Pendidikan subjek adalah sebagai berikut: dua (6.7%) subjek menamatkan

SD, tujuh (23.3%) subjek menyelesaikan SMP, 15 (50.0%) menyelesaikan SMA,

sementara enam (20.0%) subjek mencapai perguruan tinggi. Pekerjaan yang paling

banyak digeluti subjek penelitian ini adalah wiraswasta (12 subjek, 40.0%), yang

disusul oleh ibu rumah tangga (7 subjek, 23.3%), mahasiswa dan petani (keduanya

4 subjek masing-masing, 13.3%), PNS (2 subjek, 6.7%), dan pelajar (1 subjek,

3.3%). Data demografis ini dapat dilihat di tabel 1a.

Dalam perbandingan antar kelompok subjek yang mendapat isoflurane,

enflurane, dan sevoflurane, didapati bahwa perbandingan pria dan wanita dalam

(45)

dalam kelompok isoflurane, 6 pria dan 4 wanita dalam kelompok enflurane)

sementara amat berbeda untuk kleompok sevoflurane (9 pria dan 1 wanita).

Sebagian besar pasien dalam kelompok isoflurane dan enflurane berusia 41-47

tahun (masing-masing 6 subjek, 60%), sementara sebagian besar pasien dalam

kelompok sevoflurane berusia 20-26 tahun (7 subjek, 70%). Pada ketiga kelompok,

isoflurane, enflurane, dan sevoflurane, tingkat pendidikan SMA dimiliki oleh sebagian

besar subjek (50% untuk kelompok isoflurane, 40% untuk kelompok enflurane, dan

60% untuk kelompok sevoflurane). Kelompok isoflurane sebagian besar terdiri dari

para ibu rumah tangga (50%), kelompok enflurane dari para wiraswastawan (50%),

sementara kelompok sevoflurane dari para wiraswastawan (40%). Sebaran

demografis untuk subjek yang mendapat isoflurane, enflurane, dan sevoflurane

dapat dilihat dalam tabel 1b.

Tabel 1a. Data demografis subjek penelitian

(46)

Tabel 1b. Perbandingan data demografis subjek penelitian berdasarkan anestetik inhalasi

Kelompok Isoflurane Enflurane Sevoflurane

Variabel Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%)

Jenis kelamin

Perguruan tinggi 2 (20.0) 3 (30.0) 1 (10.0)

Total 10 (100) 10 (100) 10 (100)

Wiraswasta 3 (30.0) 5 (50.0) 4 (40.0)

Total 10 (100) 10 (100) 10 (100)

2. Karakteristik klinis subjek

Diagnosis subjek dalam penelitian ini amat beragam. Terdapat satu (3.3%)

subjek untuk masing-masing diagnosis berikut: apendisitis, batu ginjal, batu pielum,

karsinoma buli, karsinoma mammae intraduktal, karsinoma pankreas, kolelitiasis,

kontusio serebri, fraktur femur post ORIF, fraktur fibula dan tibia dextra,

hemopneumothoraks, inverted papilloma, janin tunggal hidup presentasi bokong disertai gawat janin, lipona regio nucha, neoplasia ovarium, obstruksi usus, otitis

(47)

maxilla. Terdapat dua (6.7%) subjek untuk masing-masing diagnosis berikut:

hiperplasia endometrium, mioma uterus, dan trauma kapitis. Sementara, terdapat

lima (16.7%) subjek dengan diagnosis peritonitis. Data mengenai diagnosis subjek

dapat dilihat dalam tabel 2a.

Dalam kelompok isoflurane, diagnosis yang dijumpai adalah: karsinoma

mammae intraduktal (1 subjek, 10%), kolelitiasis (1 subjek, 10%), kontusio serebri (1

subjek, 10%), fraktur femur post ORIF (1 subjek, 10%), fraktur fibula dan tibia dextra

(1 subjek, 10%), hiperplasia endometrium (1 subjek, 10%), lipoma regio nuchae (1

subjek, 10%), mioma uteri (2 subjek, 20%), dan neoplasia ovarium (1 subjek, 10%).

Dalam kelompok enflurane, ditemukan diagnosis sebagai berikut: batu ginjal (1

subjek, 10%), batu pielum (1 subjek, 10%), karsinoma buli (1 subjek, 10%),

karsinoma pankreas (1 subjek, 10%), hiperplasia endometrium (1 subjek, 10%),

inverted papilloma (1 subjek, 10%), janin tunggal hidup presentasi bokong dengan gawat janin (1 subjek, 10%), trauma pilar ginjal dan buli (1 subjek, 10%), dan vulnus

laceratum maxilla (1 subjek, 10%). Sementara dalam kelompok sevoflurane,

diagnosis yang didapati adalah: apendisitis (1 subjek, 10%), hemopneumothoraks (1

subjek, 10%), obstruksi usus (1 subjek, 10%), peritonitis (5 subjek, 50%), dan

trauma kapitis (2 subjek, 20%). Dapat diamati bahwa diagnosis dalam ketiga

kelompok ini amat bervariasi. Tabel 2b menjabarkan diagnosis yang ditemui dalam

(48)

Tabel 2a. Sebaran subjek penelitian menurut diagnosis

Fraktur femur post ORIF 1 3.3

Fraktur fibula dan tibia

(49)

Tabel 2b. Perbandingan sebaran diagnosis subjek penelitian berdasarkan anestetik inhalasi

Kelompok Isoflurane Enflurane Sevoflurane

Diagnosis Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%)

Apendisitis 0 0 1 (10)

Batu ginjal 0 1 (10) 0

Batu pielum 0 1 (10) 0

Karsinoma buli 0 1 (10) 0

Karsinoma mammae intraduktal

1 (10) 0 0

Karsinoma pankreas 0 1 (10) 0

Kolelitiasis 1 (10) 0 0

Kontusio serebri 1 (10) 0 0

Fraktur femur post

Inverted papilloma 0 1 (10) 0

Janin tunggal hidup presentasi bokong dengan gawat janin

0 1 (10) 0

Lipona regio nuchae 1 (10) 0 0

Mioma uterus 2 (20) 0 0

Neoplasia ovarium 1 (10) 0 0

Obstruksi usus 0 0 1 (10)

Otitis media

supurativa kronis

dextra

0 1 (10) 0

Peritonitis 0 0 5 (50)

Trauma kapitis 0 0 2 (20)

Trauma pilar ginjal dan

anestesi dilakukan dengan anestetik inhalasi N2O dan salah satu dari sevoflurane,

(50)

diberikan kepada semua pasien. Sebaran subjek menurut penggunaan obat dalam

anestesi umum dapat dilihat dalam tabel 3.

Tabel 3. Sebaran subjek menurut penggunaan obat dalam anestesi umum

Obat Frekuensi Persentase

N2O, isoflurane 10 33.3

N2O, enflurane 10 33.3

N2O, sevoflurane 10 33.4

Total 30 100

Sadar kembali

Prostigmin 30 100

Sulfas atropin 30 100

Durasi operasi paling singkat adalah 60 menit dan paling panjang adalah 250

menit. Durasi operasi dikelompokkan dalam empat kelompok: 60-109 menit,

110-159 menit, 160-209 menit, dan 210-259 menit. Kelompok 60-109 menit terdiri dari

delapan (26.7%) subjek, kelompok 110-159 menit 12 (40.0%) subjek, 160-209 menit

delapan (26.7%) subjek, dan kelompok 210-259 menit dua (6.7%) subjek. Data

durasi operasi ditampilkan dalam tabel 4a.

Subjek yang mendapat isoflurane lebih banyak menjalani operasi dengan

durasi 110-159 menit (6 subjek, 60%), subjek yang menerima enflurane lebih sering

menjalani operasi berdurasi 60-109 menit (5 subjek, 50%), sementara subjek yang

mendapat sevoflurane lebih mungkin menjalani operasi berdurasi 160-209 menit (5

subjek, 50%). Perbandingan sebaran durasi menurut anestetik inhalasi dapat

Gambar

Tabel 1a. Data demografis subjek penelitian
Tabel 1b. Perbandingan data demografis subjek penelitian berdasarkan anestetik inhalasi
Tabel 2a. Sebaran subjek penelitian menurut diagnosis
Tabel 2b. Perbandingan sebaran diagnosis subjek  penelitian berdasarkananestetik inhalasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa dengan berpisahnya Penggugat dan Tergugat sejak bulan Agustus 2016 dan tidak saling menghiraukan lagi menunjukkan antara Penggugat dan Tergugat

Marble bright merupakan larutan mengandung senyawa kimia yang bereaksi dengan permukaan lantai marmer sehingga terbentuk lapisan kristal yang keras dan mengkilap. Tersedia

KANTOR WILAYAH DJP SUMATERA SELATAN DAN KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA PALEMBANG SEBERANG

Ternyata kesulitan antara subyek dengan orang tua secara umum pada anak ADHD hampir sama yaitu (a) Susah diatur, ketika si anak disuruh diam tidak mau, lebih suka

Selain itu, untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati). 21 Karakter ditujukan pada penanaman nilai kebajikan, membangun kepercayaan pada

Makalah IMF 1999 mengenai Code Of Good Pratices On Transparency In Monetary And Financial Policies menjelaskan bahwa transparansi bank sentral adalah lingkungan yang terkait

Dari beberapa masalah yang terdapat pada identifikasi masalah di atas, peneliti akan memfokuskan penelitian pada satu masalah yakni tentang interferensi bahasa Inggris

Dari kedua faktor ini, rigiditas (atau morfologi) mempunyai pengaruh yang lebih besar, dari pada kandungan gugus -SO 3 H, pada sifat konduktivitas ionik membran PEMFC berbasis sPS