Perbandingan Lama Waktu Pulih Produksi Air Mata pada
Pasien Pasca-operasi menggunakan Anestesi Umum
Inhalasi dengan Isoflurane, Enflurane, dan Sevoflurane
TESIS
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU KESEHATAN MATA
KRISTO SINAMBELA
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
/DEPARTEMEN MATA RUMAH SAKIT DR.MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis: Perbandingan Lama Waktu Pulih Produksi Air Mata pada Pasien Pasca-operasi menggunakan Anestesi Umum Inhalasi dengan Isoflurane, Enflurane, dan Sevoflurane
Penyusun: Kristo Sinambela
Palembang, Oktober 2010
MENYETUJUI
Pembimbing I
Dr. Elza Iskandar, SpM (K)
Pembimbing II
Dr. Anang Tribowo, SpM (K)
Pembimbing III
DR. Dr. Zen Hafy, M.Biomed
MENGETAHUI
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Dr. Linda Trisna, SpM (K)
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata
Dr. H. E. Iskandar, SpM (K)
KATA PENGANTAR
Terima kasih kepada Allah Bapa di Surga untuk segala berkat dan anugrah sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tugas akhir berupa tesis ini merupakan persyaratan akhir dalam mengikuti pendidikan spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata di Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang. Rasa lega dan bangga menyeruak ketika pada akhirnya tesis ini selesai. Atas berkat ini, penulis tidak putus-putusnya menghaturkan terima kasih kepada Tuhan.
Teringat sebuah lagu dari grup Beatles dengan judul The Long and Winding Road – Jalan Panjang dan Berliku. Penulis merasakan bahwa upaya belajar di Universitas ini dijalani dengan tertatih-tatih dan jalan kadang tampak gelap seakan-akan tidak ada kepastian kapan jalan ini berakhir karena berbagai kekurangan yang memang dimiliki oleh penulis. Tetapi berkat bimbingan dari banyak pihak, terutama para guru, yaitu Dr. Dharma Sastrawan, SpM (K), Dr. Fidalia, SpM (K), Dr. AK Ansyori, SpM (K), M.Kes, Dr. Ibrahim, SpM, Dr. Rusdianto, SpM, Dr. Alie Solahuddin, SpM, Dr. Ani, SpM, Dr. Devi Azri Wahyuni, SpM, Dr. Ramzi Amin, SpM, Dr. Prima Mayasari, SpM, dan Dr. Riani Erna, SpM, yang telah memberikan ajaran, nasihat, dan waktu untuk membentuk penulis sebagaimana adanya saat ini, juga dalam penyusunan tesis ini, maka tulisan ini dapat ditelurkan.
Kepada para pembimbing yang secara tegas dan penuh pertimbangan telah menuntun penyusunan tesis ini, tidak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasihnya. Segala upaya, tenaga, dan waktu yang dihabiskan oleh Dr. Elza Iskandar, SpM (K), Dr. Anang Tribowo, SpM (K), M.Kes, dan DR. Dr. Zen Hafy, M.Biomed pada akhirnya memungkinkan penulis untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Bagian dan Kepala Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, yaitu Dr. Linda Trisna, SpM (K) dan Dr. H. E. Iskandar, SpM (K), untuk kesempatan, dukungan, dan bantuan yang diberikan.
Terima kasih penulis sampaikan bagi Dr. Zulkifli, SpAn (K) untuk kesempatan yang diberikan dalam pengambilan data di Bagian Anestesi dan Reanimasi Rumah Sakit Mohammad Hoesin dan nasihat dalam pengambilan data.
Tidak lupa kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Direktur Rumah Sakit Mohammad Hoesin, dan para pasien yang terlibat dalam penelitian ini, penulis menghaturkan terima kasih.
Untuk istri tercinta, Murni Juni Wanty Hutagaol, SSi dan kedua anakku, Gabriel Jogi Halasan Sinambela dan Felix Jogi Sinambela, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan, dan doa yang tidak henti-hentinya kalian berikan hingga saat ini.
Demikian pula seperti penutup lagu yang disebut di atas, don’t let me waiting here, Lead Me to Your Door, penulis merasa dituntun dalam perjalanan pendidikan secara unik oleh begitu banyak pihak sehingga tesis ini dapat selesai.
Perbandingan lama waktu pulih produksi air mata pada pasien pasca-operasi menggunakan anestesi umum inhalasi dengan isoflurane, enflurane, dan
sevoflurane
Kristo Sinambela
Abstrak
Latar belakang. Air mata diperlukan untuk fungsi proteksi mata. Operasi di bawah anestesi umum diketahui mengurangi produksi air mata. Penggunaan anestetik inhalasi dalam anestesi umum adalah amat lazim. Terdapat kemungkinan bahwa berbagai jenis anestetik inhalasi yang digunakan dalam anestesi umum memiliki perbedaan efek pada waktu pulih produksi air mata.
Tujuan. Untuk mengetahui perbandingan perbedaan waktu pulih produksi air mata dari penggunaan anestetik inhalasi isoflurane, enflurane, dan sevoflurane.
Materi dan metode. Tiga puluh pasien dengan berbagai diagnosis disertakan dalam penelitian ini secara konsekutif. Masing-masing sepuluh pasien diberi isoflurane, enflurane, dan sevoflurane sebagai anestetik inhalasi dalam anestesi umum. Produksi air dicatat 60 menit sebelum pasien menjalani anestesi umum dan hingga produksi air mata kembali normal. Waktu pulih adalah waktu hingga produksi air mata kembali normal.
Hasil. Dari uji ANOVA tampak bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam produksi air mata pada 60 menit, 120 menit, dan 240 menit setelah pasien sadar. Produksi air mata tampak paling berkurang pada pasien yang mendapat sevoflurane pada 60, 120, dan 240 menit setelah pasien sadar. Waktu pulih untuk ketiga jenis anestetik inhalasi tampak sebanding yaitu 360 menit setelah pasien sadar.
Kesimpulan. Waktu pulih dari isoflurane, enflurane, dan sevoflurane tampak sebanding, yaitu 360 menit.
Kata kunci: Enflurane, Isoflurane, Sevoflurane, Produksi air mata
Comparison of tear production restoration time in post operative patients having isoflurane, enflurane, dan sevoflurane as inhalation anesthetics in
general anesthesia
Kristo Sinambela
Abstract
Background. Tear is needed for the protection of the eyes. Operation under general anesthesia is known to reduce tear production. The use of inhalation anesthetics in general anesthesia is common. There’s probability that various inhalation anesthetic has different effects on tear production restoration time.
Aim. This study aim is to compare tear production restoration time from the use of isoflurane, enflurane, and sevoflurane.
Material and methods. Thirty patients with various diagnosis were consecutively included in this study. Ten patients received isoflurane, ten enflurane, and ten sevoflurane as the inhalation anesthetics in general anesthesia. Tear production was noted 60 minutes before general anesthesia initiated and was checked until tear production returned to normal. Tear production restoration time was noted as the time elapsed until normal production of tear resumed.
Results. ANOVA test revealed that there was a significant difference between inhalation anesthetics in 60, 120, and 240 minutes after patients regained consciousness. Tear production diminution was most pronounced in patients receiving sevoflurane in 60, 120, and 240 minutes after patients regained consciousness. Tear production restoration time for the three inhalation anesthetics appeared equal, i.e. 360 minutes after patients regained consciousness.
Conclusions. Tear production restoration time of isoflurane, enflurane, and sevoflurane seems equal, i.e. 360 minutes.
Key words: Enflurane, Isoflurane, Sevoflurane, Tear production
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan... ii
Kata Pengantar... iii
Abstrak... v
Daftar Tabel... ix
Bab I. Pendahuluan... 1
1. Latar Belakang Penelitian... 1
2. Identifikasi Masalah... 4
3. Hipotesis Penelitian... 5
4. Tujuan Penelitian... 5
5. Manfaat Penelitian... 5
Bab II. Tinjauan Pustaka... 6
1. Anestesi umum... 6
2. Anatomi Kelenjar Lakrimalis... 14
3. Produksi Air Mata... 15
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Air Mata... 17
5. Pemeriksaan Air Mata... 18
6. Hubungan Anestesi Umum dengan Produksi Air Mata... 20
Bab III. Rancangan penelitian... 23
1. Jenis Penelitian... 23
2. Tempat dan Waktu Penelitian... 23
3. Populasi dan Sampel... 23
4. Kriteria Sampel... 24
5. Variabel Penelitian... 25
6. Tekhnik Pengambilan Data... 25
7. Alat dan Bahan... 25
8. Definisi Operasional... 26
9. Cara Kerja... 28
10. Analisis Data... 29
11. Alur Penelitian... 30
12. Personalia Penelitian... 31
Bab IV. Justifikasi Etik... 32
1. Rangkuman Karakteristik... 32
2. Prosedur Informed Consent... 32
3. Prosedur Pelaksanaan Etik... 33
4. Analisis Kelayakan Etik... 33
5. Kesimpulan... 34
Bab V. Hasil Penelitian... 35
1. Karakteristik Demografis Subjek... 35
2. Karakteristik Klinis Subjek... 37
3. Analisis... 44
Bab VI. Pembahasan... 49
Bab VII. Kesimpulan dan Saran... 53
Referensi... 54
Lampiran-lampiran... 56
Daftar Tabel
Tabel 1a. Data demografis subjek penelitian... 36 Tabel 1b. Perbandingan data demografis subjek penelitian
berdasarkan anestetik inhalasi... 37 Tabel 2a. Sebaran subjek penelitian menurut diagnosis... 39 Tabel 2b. Perbandingan sebaran diagnosis subjek penelitian
berdasarkan anestetik inhalasi... 40 Tabel 3. Sebaran subjek menurut penggunaan obat dalam
anestesi umum... 41 Tabel 4a. Sebaran subjek menurut durasi operasi... 42 Tabel 4b. Perbandingan sebaran durasi operasi subjek menurut
anestetik inhalasi... 42 Tabel 5. Perbandingan produksi air mata subjek menurut
anestetik inhalasi... 44 Tabel 6. Uji homogeneitas varians... 45 Tabel 7. Uji ANOVA... 46 Tabel 8. Analisis post-hoc pada titik waktu yang didapati
signifikan pada ANOVA... 48
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Dalam praktik kedokteran modern, prosedur operatif yang memerlukan
anestesia umum amatlah beragam, seperti laparotomi, masektomi, ataupun sectio
caesarea – walaupun prosedur terakhir ini juga dapat dilakukan dengan anestesia
spinal. Anestesia menjamin kenyamanan pasien dalam menjalani prosedur operatif.
Meskipun begitu, tindakan ini memiliki berbagai komplikasi, seperti mual-muntah
postoperatif, hepatitis postoperatif, henti jantung, dan juga penurunan produksi air
mata.1,2
Penurunan produksi air mata dipercaya berkaitan dengan obat-obatan
anestesia yang digunakan selama anestesia. Terdapat berbagai obat yang
digunakan dalam induksi, pemeliharaan dan pembalikan anestesia. Meskipun
begitu, obat-obatan yang memiliki jangka waktu paparan terpanjang selama tindakan
anestesia adalah obat-obat yang digunakan dalam pemeliharaan anestesia.
Obat-obatan pemeliharaan anestetik memiliki berbagai wujud, sebagian obat datang
dalam wujud cairan intravena sementara sebagian lagi dalam bentuk inhalasi. Salah
satu bentuk anestetik yang paling sering digunakan untuk memelihara anestesia
adalah anestetik inhalasi dan inipun terdiri dari berbagai jenis yang digunakan dalam
praktik anestesia.3
Obat-obat anestetik inhalasi memiliki potensi kerja yang berbeda-beda yang
dicerminkan dalam nilai MAC-nya (Mean Alveolar Concentration). Semakin kecil nilai ini semakin kecil konsentrasi yang diperlukan untuk membuat pasien tidak dapat
bergerak. Sebagai contoh, NO2 memiliki MAC sebesar 105% sementara halothane
Pada tahun 2010, jenis anestetik inhalasi yang digunakan di Rumah Sakit
Umum dr Mohammad Hoesin adalah isoflurane, enflurane, dan sevoflurane.
Ternyata setelah tahun 2009, halothane tidak lagi digunakan di rumah sakit ini,
terkait dengan risiko terjadinya hepatitis fulminan pada penggunaannya.4
Mekanisme kerja anestetik inhalasi terhadap penurunan produksi air mata
tidaklah diketahui secara pasti, namun dipercayai bahwa anestetik secara umum
meningkatkan ambang rangsang sel.3,6,7
Penurunan produksi air mata saat tindakan anestesi umum diduga
disebabkan oleh beberapa cara yaitu pengaruh anestesi umum pada sistem saraf
pusat yang mengatur hampir seluruh sistem tubuh sehingga mempengaruhi juga
sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang bertanggung jawab terhadap
pengaturan sekresi akuos oleh kelenjar lakrimalis.11 Penurunan produksi air mata
tersebut juga dapat disebabkan oleh lagoftalmus dan hilangnya reflek mengedip
sebagai akibat anestesi umum.12 Obat-obat tertentu seperti atropin dan scopolamin
yang digunakan sebagai premedikasi dalam anestesi umum merupakan golongan
agonis muskarinik yang dapat menurunkan sekresi kelenjar lakrimalis.12
Penurunan produksi air mata dapat berujung pada komplikasi okular seperti
keratitis dan erosi kornea yang dapat berujung pada kebutaan bila tidak ditangani
secara baik.12 Maka komplikasi okular adalah jauh lebih baik dicegah dibanding
diobati.
Penelitian yang dilakukan oleh Krupin et al dan Cross et al menunjukkan
adanya penurunan produksi air mata yang sangat bermakna selama tindakan
anestesi umum. Tetapi kedua penelitian tersebut tidak menilai apakah setelah
Pengaruh obat anestesi umum terhadap penurunan produksi air mata
pertama kali dilaporkan oleh Krupin et al. dalam penelitiannya terhadap 20 pasien
yang menjalani tindakan anestesi umum. Pengukuran produksi akuos dengan uji
Schirmer I yang dilakukan pada penelitian tersebut mendapatkan penurunan
rata-rata produksi basal air mata dari 13.6 ± 1.9 mm/5 menit satu jam setelah
premedikasi menjadi 3.6 ± 1.1 mm/5 menit sepuluh menit setelah induksi. Produksi
akuos semakin menurun menjadi 0.6 ± 0.3 mm/5 menit saat 30 menit setelah induksi
dan 0.9 ± 0.5 mm/5 menit 60 menit setelah induksi. Penurunan ini didapati sangat
signifikan (p<0.001) untuk semua pengukuran dibandingkan dengan hasil
pengukuran satu jam setelah premedikasi. Delapan dari 20 pasien dalam penelitian
tersebut menjalani uji Schirmer sebelum premedikasi dan hasil pengukuran
menunjukkan nilai 19.8 ± 2.9 mm/5 menit. Satu jam setelah premedikasi, produksi
akuos delapan pasien tersebut adalah 17.9 ± 1.8 mm/5 menit. Penurunan nilai uji
Schirmer sebelum dan sesudah premedikasi ini tidak bermakna (p> .4).8
Cross et al. melakukan pengukuran produksi air mata dengan uji Schirmer
terhadap 16 pasien yang menjalani tindakan pembedahan dengan anestesi umum.
Terhadap empat dari 16 pasien tersebut dilakukan uji Schirmer sebelum premedikasi
dan didapatkan nilai uji Schirmer 23.3 ± 5.6 mm/5 menit menurun menjadi 19.3 ± 3.6
mm/5 menit satu jam setelah premedikasi. Perbedaan nilai uji Schirmer sebelum dan
sesudah anestesi ini tidak bermakna. Penurunan rata-rata produksi akuos satu jam
setelah premedikasi dari 12.8 ± 2.4 mm/5 menit menjadi 4.1± 1.4 mm/5 menit dalam
10 menit setelah induksi dan terus menurun menjadi 0.7 ± 0.4 mm/5 menit setelah
30 menit, 1.2 ± 0.6 mm/5 menit setelah 60 menit. Penurunan hasil uji Schirmer pada
masing-masing pengukuran ini secara statistik sangat signifikan (p<0.005)
menunjukkan terdapat penurunan hasil uji Schimer pada mata kucing yang sehat
yang diukur 820 jam setelah dilakukan anestesi umum.10
Penelitian oleh Dr. Iskandar di Palembang pada tahun 2009 menunjukkan
bahwa produksi air mata turun selama dan setelah anestesia umum dilakukan.
Dalam penelitian tersebut, terjadi penurunan produksi air mata selama dan 60 menit
setelah anestesia umum, namun dalam penelitian ini efek obat-obat secara khusus
terhadap produksi air mata tidak diperiksa. Oleh karena itu, penelitian kali ini
dilakukan untuk mengetahui apakah jenis-jenis obat anestesi umum inhalasi tertentu
memiliki efek lama penurunan produksi air mata yang berbeda. Penelitian ini
nantinya diharapkan dapat berguna untuk mengetahui waktu pulih produksi air mata
sehingga dapat menentukan intervensi yang diperlukan bagi pencegahan
komplikasi.10
2. Identifikasi Masalah
1. Berapakah waktu pulih produksi air mata yang terjadi pada pasien yang
mendapat obat anestesi umum inhalasi isoflurane?
2. Berapakah waktu pulih produksi air mata yang terjadi pada pasien yang
mendapat obat anestesi umum inhalasi enflurane?
3. Berapakah waktu pulih produksi air mata yang terjadi pada pasien yang
mendapat obat anestesi umum inhalasi sevoflurane?
4. Apakah terdapat perbedaan lama waktu efek penurunan produksi air mata
antara kelompok pasien yang diberikan anestesi umum inhalasi dengan obat
3. Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan waktu pulih produksi air mata antara pasien-pasien yang
mendapat obat anestesi umum inhalasi: isoflurane, enflurane, dan
sevoflurane.
4. Tujuan Penelitian
4.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan waktu pulih produksi air mata pada
kelompok setelah pemberian obat anestesi umum inhalasi isoflurane,
enflurane, dan sevoflurane pada pasien pasca-operasi.
4.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi waktu pulih produksi air mata pada pasien yang telah
mendapat obat anestesi umum inhalasi isoflurane.
2. Mengidentifikasi waktu pulih produksi air mata pada pasien yang telah
mendapat obat anestesi umum inhalasi enflurane.
3. Mengidentifikasi waktu pulih produksi air mata pada pasien yang telah
mendapat obat anestesi umum inhalasi sevoflurane.
4. Menganalisis perbedaan waktu pulih antara pasien yang mendapat obat
anestesi umum inhalasi isoflurane, enflurane, dan sevoflurane.
5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan gambaran waktu pulih produksi air mata
setelah pemberian obat anestesi umum inhalasi sehingga keputusan dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anestesi Umum
Anestesi umum merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya
persepsi terhadap semua sensasi yang disebabkan induksi obat.13 Anestesi umum
dapat menyebabkan penderita mengalami analgesia, amnesia, dan kehilangan
kesadaran disertai relaksasi otot-otot dan penekanan reflek yang tidak dikehendaki
sehingga amat bermanfaat untuk pembedahan.14 Untuk mencapai semua keadaan
tersebut diperlukan berbagai macam obat karena belum ada suatu obat tunggal
yang dapat mencapai efek-efek ini secara cepat dan aman.15
Obat-obat premedikasi biasanya diberikan sebelum dilakukan induksi
anestesi umum supaya penderita tenang dan kehilangan persepsi rasa sakit.
Pelemas otot rangka menekan tonus otot sehingga intubasi dapat terus
dipertahankan.14-18 Obat golongan antiinflamasi nonsteroid atau asetaminofen untuk
menghilangkan nyeri akibat pembedahan dan bila didapatkan adanya riwayat refluk
gastroesofageal maka pemberian obat penghambat H2 dan antasid diperlukan.
Obat-obat anestesi umum dapat diberikan melalui jalur intravena maupun inhalasi.17
1.1 Fase-fase dalam anestesi umum
Anestesi dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu induksi, pemeliharaan dan sadar
kembali dari anestesi.14-19
a. Fase induksi
Fase induksi didefinisikan sebagi suatu periode waktu dari mulai pemberian
anestesi sampai anestesi pembedahan yang efektif pada penderita dicapai.
ditandai dengan gejala gelisah perlu dilakukan. Induksi yang sering digunakan
berupa anestesi intravena seperti tiopental dimana keadaan tidak sadar
dicapai setelah 25 detik injeksi obat. Pada fase ini pemberian obat-obat
tambahan berupa anestesi inhalasi dan intravena lain demi mencapai
kedalaman anestesi yang diperlukan dapat dilakukan. Pemberian tambahan
obat-obat pelemas otot rangka secara intravena seperti vekuronium,
atrakurium dan suksinilkolin untuk menyebabkan relaksasi biasa diberikan
dalam fase ini. Induksi anestesi tergantung kecepatan pencapaian
konsentrasi efektif obat anestesi di otak.3,14-19
b. Fase pemeliharaan anestesi
Pemeliharaan adalah periode selama penderita mengalami anestesi untuk
pembedahan. Setelah pemberian campuran anestesi pilihan, pengawasan
tanda-tanda vital dan respon penderita terhadap berbagai stimuli selama
prosedur pembedahan perlu dilakukan untuk memastikan keseimbangan
jumlah obat anestesi dengan kedalaman anetesi. Kedalaman anestesi biasa
dipertahankan melalui pemberian anestesi inhalasi karena ia memberikan
kontrol berkelanjutan yang stabil untuk kedalaman anestesi.3,14-19
c. Fase sadar kembali
Sadar kembali adalah periode waktu yang diperlukan sejak penghentian
pemberian obat anestesi sampai kesadaran pulih atau merupakan kebalikan
induksi yaitu kecepatan obat anestesi keluar dari otak. Pada fase ini, reaksi
toksik yang terlambat misalnya difusi hipokondriak karena nitrogen oksida dan
hepatotoksisitas pada pemberian hidrokarbon halogenisasi harus
1.2 Kedalaman anestesi
Kedalaman anestesi dapat dibagi dalam empat stadium yang ditandai dengan
peningkatan penekanan sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi obat anestesi di otak.14-19 Stadium-stadium ini jelas terlihat
bila anestesi dilakukan menggunakan anestesi yang lambat seperti eter sedangkan
pada pemberian anestesi yang cepat seperti halothane stadium-stadium ini sukar
diamati.14
a. Stadium I: Analgesia.
Sensasi nyeri hilang karena gangguan transmisi sensorik pada traktus
spinotalamikus. Pada stadium ini, penderita sadar dan dapat diajak bicara.
Ketika stadium II hampir tercapai, terdapat penurunan kepekaan terhadap
rasa nyeri.15
b. Stadium II: Gelisah.
Penderita mengalami delirium dan menampilkan tingkah laku kekerasan.
Tekanan darah meningkat, ireguler serta pernapasan juga mungkin
meningkat. Untuk menghindari stadium ini barbiturat kerja singkat seperti
natrium pentotal dapat diberikan secara intravena sebelum anestesi inhalasi
diberikan.15
c. Stadium III: Anestesi pembedahan.
Pernapasan yang teratur dan relaksasi otot rangka terjadi pada stadium ini.
Refleks mata menurun secara progresif, hingga pergerakan bola mata
berhenti dan pupil terfiksasi. Pembedahan dapat dilakukan pada stadium
ini.15
Terjadi depresi kuat pusat pernapasan dan pusat vasomotor pada stadium ini.
Kematian dapat terjadi secara cepat. Fase ini terjadi bila anestesi diberikan
secara terlalu dalam. Pengalaman dan keahlian dari seorang ahli anestesi
diperlukan untuk mencegah pasien memasuki stadium ini.15
1.3 Obat-obatan yang digunakan dalam anestesi umum
Para penderita yang menjalani anestesi umum selalu mendapatkan berbagai
jenis obat karena tidak terdapat obat tunggal yang dapat menghasilkan semua efek
yang diharapkan dalam anestesi umum.14,15 Sebelum pemberian anestesi umum
para penderita diberi obat-obat preanestesi yang berfungsi memperlancar proses
anestesi umum.14,15,17 Pemberian obat-obat preanestesi yang ditujukan untuk
mengurangi kecemasan dan memudahkan amnesia seperti benzodiazepin, untuk
sedasi seperti golongan barbiturat, untuk mencegah reaksi alergi seperti antihistamin
dapat diberikan.17 Kadang obat-obat untuk mengurangi keasaman lambung,
antiemetik, opioid untuk analgesia, antikolinergik seperti scopolamin untuk
pencegahan bradikardia dan sekresi cairan kedalam saluran pernapasan dapat
diberikan. Obat-obat preanestesi ini dimaksudkan untuk memperlancar induksi dan
bila diberikan dapat mengurangi dosis obat anestesi yang dibutuhkan untuk
memelihara kedalaman anestesi yang diinginkan.14-18
Obat-obat anestesi umum pada fase induksi umum diberikan melalui jalur
intravena contoh obat-obat semacam ini antara lain adalah golongan barbiturat kerja
cepat yang larut dalam air seperti tiopental, methohexital dan thiamylal.17 Saat ini
propofol banyak dipakai, ia merupakan anestesi intravena nonbarbiturat yang
digunakan untuk menggantikan golongan barbiturat karena ia lebih sedikit
pemulihan yang lebih cepat. Propofol saat ini menjadi obat anestesi induksi yang
sangat baik dan dapat diberikan melalui infus intravena perlahan-lahan, walaupun
penggunaannya dalam jangka panjang telah diketahui menyebabkan propofol infusion syndrome yang diketahui amat berbahaya. Propofol infusion syndrome ini ditandai dengan gagal jantung, rhabdomiolisis, asidosis metabolik, dan gagal ginjal.
Obat anestesi inhalasi dapat juga diberikan untuk fase induksi terutama pada
anak-anak. Obat anestesi inhalasi yang dipakai antara lain adalah halothane dan
sevoflurane.17
Morfin, meperidin dan hidromorfin dahulu digunakan secara luas sebagai obat
anestesi di ruang gawat darurat, ruang bedah dan kebidanan karena memiliki efikasi
yang tinggi. Saat ini narkotika sintetis yang memiliki jangka kerja lebih pendek dan
sedikit menyebabkan fluktuasi tekanan darah semakin sering digunakan. Obat-obat
yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah fentanil, sufentanil, alfentanil
dan remifentanil. Remifentanil merupakan obat terbaru dari golongan ini, ia
mempunyai durasi aksi pendek dan harus diberikan melalui infus.17
Obat-obat pelemas otot depolarizing yang digunakan antara lain adalah suksinilkolin, ia mempunyai onset yang cepat dan aksi pendek sehingga cocok bagi
keperluan pelemas otot secara cepat. Pelemas otot non depolarizing antara lain adalah pancurium, rocurium, mivacurium dan cisatracurium.18
Untuk pemeliharaan anestesi, anestesi inhalasi umum digunakan. Anestesi
inhalasi mempunyai keuntungan yang tidak didapati pada obat intravena, karena
kedalaman anestesi dapat diubah secara cepat melalui perubahan konsentrasi
anestesi inhalasi. Obat-obat anestesi inhalasi cepat dieliminasi dari badan,
Klorofluorokarbon merupakan anestesi inhalasi poten yang diberikan kepada
pasien secara langsung, biasanya bersama nitrogen oksida. Halothane merupakan
prototip obat anestesi inhalasi modern namun ia dapat menyebabkan kematian
hepatosit secara masif. Pada tahun 1980an ia mulai digantikan oleh isoflurane dan
enflurane, suatu zat yang dikeluarkan dari paru-paru secara lebih cepat. Meskipun
begitu, halothane masih digunakan hingga hari ini karena harga yang murah dan
efek-efek yang menguntungkan pada kelompok pasien tertentu, seperti para pasien
dengan asma dan pasien dengan hipertensi.3 Pada akhir tahun 1990-an terdapat
dua obat anestesi baru yang sangat populer yaitu desflurane dan sevoflurane.7,18
Tiga jenis anestetik inhalasi yang diselidiki dalam penelitian ini dibahas lebih
lanjut dalam tulisan berikut.
a. Isoflurane
Isoflurane merupakan obat anestesi inhalasi yang merupakan halogenasi dari
metil etil eter. Ia memiliki koefisien darah/gas 1.4. Obat ini merupakan cairan
yang jernih, tidak mudah terbakar di temperatur kamar, dan berbau kuat.
Isoflurane memiliki stabilitas fisis yang baik dan tidak mengalami pemecahan
selama penyimpanan hingga selama 5 tahun ataupun ketika terpapar dengan
sinar matahari. Terdapat sedikit kekhawatiran sehubungan dengan sindrom
pencurian aliran koroner dalam penggunaannya pada pasien dengan penyakit
jantung koroner karena efekpotensial isoflurane pada vasodilatasi koroner.
Namun kejadian ini amatlah jarang dijumpai dalam praktik klinis.3
b. Enflurane
Enflurane adalah suatu isomer dari isoflurane. Dalam suhu ruangan, ia
merupakan cairan yang tidak mudah terbakar dan berbau kuat.
mirip kejang pada EEG. Metabolisme obat ini menyebabkan peningkatan
konsentrasi fluorida darah dan, kadang, menyebabkan penurunan
kemampuan konsentrasi cairan ginjal.3
c. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu metil isopropileter yang terfluorinasi dengan
koefisien darah/gas 0.65. Dengan koefisien sekecil ini, sevoflurane
merupakan anestetik inhalasi yang bekerja cepat dalam proses induksi dan
cepat pula kehilangan efeknya sehingga menyebabkan proses bangun yang
mulus. Obat ini berbau manis. Sevoflurane memiliki potensi anestetik kira-kira
separuh dari isoflurane dan memiliki sebagian dari sifat stabilitasnya. Ia
merupakan bronkodilator yang poten dan tidak berbau kuat. Penggunaannya
sebagai agen induksi pada pasien anak dan dewasa disukai karena sifat-sifat
ini. Sevoflurane memiliki separuh potensi isoflurane dalam efek vasodilatasi
pembuluh koroner dan 10 hingga 20 kali lebih rentan terhadap metabolisme
dibanding isoflurane. Metabolisme sevoflurane menghasilkan fluorida
inorganik seperti isoflurane; peningkatan fluorida ini tidak berkaitan dengan
gangguan kapasitas konsentrasi cairan ginjal. Hasil metabolisme lain dari
sevoflurane adalah heksafluoroisopropanol yang tidak menstimulir
pembentukan antibodi sehingga hepatitis terkait sistem imun tidak pernah
dilaporkan dengan penggunaan sevoflurane. Sevoflurane dapat bereaksi
dengan absorben CO2 kering dan menghasilkan suatu vinil halida yang
dikenal dengan senyawa A. Senyawa A merupakan nefrotoksin pada tikus
namun tidak berkaitan dengan kerusakan ginjal pada manusia, dengan
ataupun tanpa gangguan ginjal, bahkan ketika aliran gas segar diatur pada 1
1. 4 Efek-efek obat-obat anestesi pada sistem saraf otonom
Obat-obatan anestesi memiliki berbagai efek pada sistem saraf otonom
tergantung pada kerja mereka pada reseptor adrenergik atau kolinergik dari sistem
saraf simpatis atau parasimpatis, secara berurutan.20
Terdapat berbagai efek perangsangan pada sistem saraf simpatis.
Rangsangan pada jantung menyebabkan peningkatan kecepatan denyut,
kontraktilitas, dan kecepatan konduksi jantung. Efek pada sel-sel lemak adalah
berupa lipolisis. Dilatasi terjadi pada pembuluh darah yang memiliki reseptor β2 dan
bronkiolus, pembuluh darah dengan reseptor α2 mengalami konstriksi dan uterus
berelaksasi. Ginjal mensekresikan renin dan bagian pankreas yang mengandung
reseptor β2 mensekresikan insulin, namun pada bagian pankreas yang reseptor α1
hambatan sekresi insulin terjadi, sementara terjadi glukoneogenesis dan
glukogenolisis di hati. Usus dan kandung kemih mengalami relaksasi namun terjadi
konstriksi pada spingter. Pelepasan norepinefrin dihambat pada ujung-ujung saraf
presinaptik. Pembuluh darah ginjal, koroner, dan splanchnicus mengalami
dilatasi.20,21
Efek-efek perangsangan pada sistem saraf parasimpatis secara umum
bersifat bertolak belakang dengan rangsangan pada sistem saraf simpatis. Pada
jantung, rangsangan sistem saraf parasimpatis menyebabkan penurunan kecepatan
denyut, kontraktilitas, serta kecepatan konduksi jantung. Pada bronkiolus, ia
menyebabkan konstriksi. Sementara pada kelenjar salivarius ia menyebabkan
peningkatan sekresi. Kontraksi usus dan relaksasi spingter terjadi, sekresi usus juga
didapati meningkat pada perangsangan sistem saraf parasimpatis. Kandung kemih
mengalami kontraksi sementara spingter mengalami relaksasi. Pada otot, kontraksi
Kelenjar air mata juga dipersarafi oleh kedua sistem saraf otonom yaitu
sistem saraf parasimpatis dan sedikit cabang sistem saraf simpatis. Sehingga tiap
obat anestesi yang menghambat sistem saraf parasimpatis tidak diragukan lagi akan
mengurangi produksi air mata. Salah satu obat yang telah diketahui menyebabkan
blokade parasimpatis adalah sulfas atropin.21
2. Anatomi Kelenjar Lakrimalis
Sistem lakrimal adalah suatu sistem fisiologis yang terdiri dari struktur-struktur
untuk sekresi serta saluran aliran air mata. Sistem sekresi air mata terdiri dari dua
komponen, kelenjar lakrimalis dan kelenjar asesori.2,22 Kelenjar lakrimalis terdiri dari
dua bagian yaitu: 1) bagian orbita berbentuk kenari terletak di dalam fossa lakrimalis
di segmen temporal atas anterior dari orbita, dipisahkan dari bagian palpebra oleh
kornu lateralis dari muskulus levator palpebra. 2) bagian palpebra yang lebih kecil
terletak tepat diatas segmen temporal dari fornik konjungtiva superior. Duktus
sekretorius lakrimalis yang bermuara melalui kira-kira sepuluh lubang kecil,
menghubungkan bagian orbital dan palpebral kelenjar lakrimalis dengan fornik
konjungtiva superior.19,23,24
Vaskularisasi kelenjar lakrimalis berasal dari arteria lakrimalis. Vena yang
berasal dari kelenjar lakrimalis akan keluar bergabung dengan vena oftalmika.
Drainase limfe menyatu dengan pembuluh limfe konjungtiva untuk mengalir ke
dalam limfonodus pra-aurikula.23,25
Persarafan kelenjar lakrimalis berasal dari saraf kranial trigeminus cabang
lakrimalis, nervus petrosus superfisialis magna yang berasal dari nukleus salivarius
superior dan nervus simpatis yang menyertai arteri lakrimalis dan nervus lakrimalis.23
pembuluh darah kelenjar lakrimalis. Saraf parasimpatis mengandung
neurotransmiter asetilkolin yang beraksi melalui reseptor muskarinik dan vasoactive intestinal peptide. Saraf simpatis mengandung norepineprin yang beraksi melalui reseptor adrenergik.24-28
3. Produksi Air Mata
Lapisan air mata (LAM) merupakan suatu struktur yang tersusun oleh tiga
lapisan yaitu lapisan lipid pada bagian luar dengan ketebalan 0,1 µm, lapisan air
mata bagian tengah dengan ketebalan 7-10 µm dan lapisan mukus bagian dalam
yang memiliki ketebalan 0,02-0,05 µm.29,30 Ketiga lapisan LAM berasal dari sekresi
kelenjar-kelenjar dan sel-sel yang terdapat pada kelopak mata, konjungtiva dan
rongga orbita.2,29,30 Lapisan lipid terutama disekresi oleh kelenjar Meibom. Lapisan
air mata bagian tengah sebagian besar diproduksi oleh kelenjar lakrimal dan
sebagian kecil oleh kelenjar asesori yaitu kelenjar Krause dan Wolfring.2,22,25,29-31
Lapisan paling dalam yaitu mukus mengandung musin yang sebagian besar
dihasilkan oleh sel-sel goblet konjungtiva serta sebagian oleh kelenjar Manz, kripta
Henle dan sel-sel apikal epitel konjungtiva dan kornea. LAM menempel pada
permukaan bola mata melalui perlekatan lapisan musin glikokaliks pada
mikroplika/mikrovili epitel kornea dan konjungtiva.2,25
Lapisan air mata hasil produksi kelenjar-kelenjar eksokrin berperan sebagai
perantara lewatnya nutrisi dan oksigen ke kornea.11 Kelenjar lakrimal memproduksi
air mata dari struktur asinus yang terbentuk dari cincin sel-sel piramid yang berikatan
pada bagian lateral melalui tight junction dan gap junction.25 Produksi air dan
elektrolit kelenjar lakrimal terjadi dalam dua tahap. Dalam tahap pertama, sel-sel
asinus mensekresi cairan dengan komposisi elektrolit yang mirip dengan plasma,
lumen duktus, di sini dinding duktus memodifikasi komposisi elektrolit dengan
menambahkan KCl.25
Lapisan air mata juga mengandung protein yang bersifat antibakterial,
antiviral dan faktor pertumbuhan/growth factor.25 Protein yang dibentuk di kelenjar lakrimal dibagi menjadi dua kelompok besar, protein constitutive dan regulated.25
Protein dalam sel disintesis oleh retikulum endoplasmik, kemudian dimodifikasi oleh
badan golgi sehingga granul sekretorik terbentuk. Pada kelompok protein
constitutive, granul ini tidak disimpan dalam sel namun langsung berfusi ke plasma pada bagian apikal sehingga dilepaskan ke dalam lumen. S-IgA merupakan salah
satu contoh protein yang dilepaskan melalui cara ini.25 Sementara pada kelompok
protein regulated, granul disimpan pada bagian tepi plasma di daerah apikal. Granul ini hanya akan berfusi dengan membran sel bila terdapat stimulus yang tepat dari
neurotransmiter sel saraf atau hormon peptida dan steroid dari darah.25
Neurotransmiter dan hormon peptida menstimulir sekresi air, elektrolit dan protein
regulated, sedangkan hormon steroid menstimuli sekresi protein constitutive.22,25,32
Neurotransmiter terutama berasal dari saraf parasimpatis dan sebagian kecil
dari saraf simpatis dan sensorik. Terdapat tiga stimulus yang merangsang sekresi
dan satu stimulus yang menghambat sekresi kelenjar lakrimal. Stimulus pertama
yang merangsang sekresi berasal dari saraf parasimpatis, dimana asetilkolin
berikatan dengan reseptor muskarinik pada permukaan sel. Stimulus kedua berasal
dari norepinefrin saraf simpatis, yang mengaktifkan reseptor α1 dan β adrenergik.32
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Air Mata
Produksi air mata yang menurun dapat disebabkan gangguan fungsi atau
penyakit pada kelenjar lakrimalis atau gangguan persarafan. Hiposekresi dapat
disebabkan karena alacrimia, sindrom Riley-Day, obstruksi kelenjar lakrimalis, radiasi, trauma kimia atau termis dan pembedahan atau trauma kelopak mata.33,34
Kondisi ini dapat disebabkan usia, menurunnya kondisi hormonal, kelainan sistemik
(peradangan atau penyakit), operasi pada mata dan obat-obatan.22,29
Berbagai obat yang dapat menurunkan produksi air mata seperti
antidepresan, dekongestan, antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi oral, diuretik,
obat-obat tukak lambung, tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi umum. 8-10,29,33,35-37
Hipersekresi lakrimal primer jarang terjadi dan harus dibedakan dengan mata
yang berair-air akibat obstruksi duktus eksekresinya. Hipersekresi sekunder mungkin
bersifat psikogenik atau disebabkan reflek karena iritasi epitel permukaan kornea.
Hipersekresi dapat dihentikan dengan blokade saraf yang merangsang sekresi air
mata di ganglion sfenopalatinum. Selain itu hipersekresi dapat juga terjadi pada
penderita yang mengalami Bell’s palsy dimana mata penderita akan berair-air sewaktu makan karena rangsangan pada kelenjar liur teralihkan ke kelenjar air
mata.23
Keadaan klinik lain yang berhubungan dengan produksi air mata adalah air
mata berdarah. Keadaan ini dikaitkan dengan menstruasi. Air mata berdarah
mungkin terjadi karena perdarahan konjungtiva karena berbagai penyebab seperti
trauma dan diskrasia darah atau oleh tumor di sakus lakrimalis. Keadaan ini juga
dapat terjadi pada pasien hipertensi yang sedang mengalami mimisan dengan
5. Pemeriksaan Air Mata
Pemeriksaan air mata bertujuan untuk menilai fungsi air mata secara
kualitas dan kuantitas.37,38 Beberapa pemeriksaan air mata yang penting seperti:
1. Uji Schirmer, untuk menilai kuantitas air mata, menilai kecepatan sekresi air
mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5 mm–30 mm dan
salah satu ujungnya dilipat berjarak 5 mm dari ujung kertas. Kertas lakmus
merah dapat juga dipakai dengan melihat perubahan warna. Perbedaan kertas
lakmus dengan kertas filter hanya sedikit. Rata–rata hasil bila memakai kertas
filter Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm–27 mm) sedangkan lakmus merah 10
mm (0 mm–27 mm).37-39
Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas yang dilipat
diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial dan 1/3
temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan menutup mata perlahan–lahan
tetapi sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat keatas.
Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian kertas yang basah, diukur mulai
dari lipatan kertas. 10-30 mm adalah normal atau terdapat pseudoepifora.
Apabila kurang dari 5 mm maka sekresi basal dianggap kurang.37-39
Uji Schirmer II dilakukan dengan penetesan anestesi topikal untuk
menghilangkan efek iritasi lokal pada sakus konjungtiva. Saraf trigeminus
dirangsang dengan memasukkan kapas lidi ke mukosa nasal atau dengan zat
aromatik amonium, sehingga nilai Schirmer bertambah karena reflek sekresi.
Pemeriksaan ini mengukur refleks sekresi.37-39
2. Tear Film Break-up Time (TBUT), Pasien didudukkan di depan slit lamp, kemudian zat fluoresen diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, pasien menutup mata
sinar filter cobalt warna biru dilihat gambaran bintik kering (dry spot) pada kornea yaitu daerah bebas fluoresen berwarna hitam. Normal waktu 15 detik–30 detik,
bila kurang 10 detik berarti defisiensi musin. Pemeriksaan ini digunakan pada
pemeriksaan defisiensi musin.37-39
3. Uji Rose Bengal, uji ini lebih sensitif dari fluoresen, warna rose bengal akan
mewarnai sel–sel epitel kornea yang tidak vital juga sel–sel pada konjuntiva.
Penilaiannya: 0 – 4 +, bila 3 + - 4 + berarti pewarnaan lebih banyak, secara klinis
adalah hiposekresi lakrimal.37-39
4. Uji Ferning (Ocular Ferning Test), Air mata yang terdapat di fornik dikumpulkan dengan spatula atau mikropipet tanpa anestesi topikal. Sampel air mata
diletakkan di atas gelas objek, ditutup dan dibiarkan kering (5–10 menit) pada
suhu kamar. Lihat di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40–100 kali.
Secara mikroskopis tampak gambaran arborisasi seperti pohon pakis pada mata
normal.37-39
5. Impresi Sitologi konjungtiva, pemeriksaan untuk sel goblet konjungtiva. Pada
orang normal sel goblet banyak di kwadran inferonasal. Hilangnya sel goblet
ditemukan pada penderita keratokonjungtivitis sika, trakoma, sikatrik okular pada
sindrom Steven–Johnson dan avitaminosis A.37-39
6. Hubungan Anestesi Umum dengan Produksi Air Mata.
Mekanisme yang pasti bagaimana anestesi umum dapat menyebabkan
penurunan produksi air mata belum diketahui. Walaupun demikian dari berbagai
penelitian didapatkan terjadi penurunan produksi air mata yang diukur dengan uji
Produksi air mata mempunyai dua komponen yaitu komponen basal dan
reflek. Kelenjar lakrimalis bertanggung jawab terhadap reflek sekresi air mata, dalam
hal ini adalah bagian akuos.30 Kelenjar lakrimalis dipersarafi oleh persarafan otonom.
Produksi kelenjar lakrimalis dapat dipengaruhi oleh keadaan perifer yang mengenai
mata dan keadaan psikogenik. Selama tindakan anestesi umum terdapat variasi
yang amat besar pada produksi air mata, bahkan pada saat anestesi yang adekuat
air mata tidak tampak diproduksi, mungkin hal ini dikarenakan efek umum anestesi
umum pada hampir semua sistem tubuh.Penekanan pada jalur saraf autonom oleh
anestesi umum bertanggung jawab terhadap sekresi air mata.21,32
Kerja neurofisiologik yang penting obat-obat anestesi umum adalah melalui
peningkatan ambang rangsang sel. Peningkatan ambang rangsang sel
menyebabkan penurunan aktivitas neuronal. Obat-obat anestesi inhalasi menekan
aktivitas neuron otak sehingga akson dan transmisi sinaptik terhambat. Anestesi
inhalasi juga menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan aktivitas aliran K+ sehingga
terjadi penurunan kemampuan aksi potensial awal berupa peningkatan ambang
rangsang sel. Efek benzodiazepin dan barbiturat terhadap saluran klorida
diperantarai reseptor asam gamma aminobutirat A (GABAA) yang merupakan
reseptor GABA, dimana GABA merupakan penghambat neurotransmiter yang utama
pada SSP. Obat-obat anestesi inhalasi lain seperti isoflurane, desflurane, halothane,
nitrgen oksida dan propofol juga diduga mempunyai aksi meningkatkan efek GABA
pada reseptor GABA.19
Obat-obat anestesi umum selain berpengaruh terhadap susunan saraf pusat
berupa penekanan pada sistem saraf pusat juga mempunyai efek terhadap sistem
saraf otonom melalui pengaruh pada reseptor neurotransmiter seperti reseptor
akan menyebabkan penurunan produksi sekresi kelenjar termasuk kelenjar saliva
dan kelenjar lakrimalis. Atropin dan scopolamin, yang biasa dipakai sebagai obat
premedikasi, mempunyai efek menurunkan sekresi saluran pernapasan sehingga
memudahkan intubasi, juga mempunyai efek bronkodilator potensial. Efek pada
mata antara lain adalah dilatasi pupil dan obat-obat ini termasuk dalam golongan
agonis muskarinik yang dapat menurunkan sekresi lakrimalis.15,21
Anestesi inhalasi memiliki kerja yang nonselektif, selain memiliki efek klinis
penting pada susunan saraf pusat SSP, ia juga mengubah fungsi berbagai tipe sel
perifer. Hal ini dikarenakan obat anestesi inhalasi tidak mempunyai reseptor anestesi
spesifik sehingga dapat mempengaruhi fungsi reseptor neurotransmiter lain.
Pengaruh anestesi inhalasi terhadap SSP mempunyai peranan penting karena SSP
mengontrol semua kondisi secara automatis dan terhadap rangsangan-rangsangan
sensorik lain,7,13 termasuk fungsi produksi dari kelenjar lakrimalis,32 sehingga
dalamkeadaan anestesi umum yang dalam akan terjadi penurunan aktivitas dari
seluruh sistem tubuh. Pengaruh terhadap produksi dan sekresi kelenjar lakrimalis
disebabkan hilangnya proses mengedip dan terjadinya lagoftalmos, inhibisi pada
SSO terutama pada reseptor kolinergik secara khusus pada reseptor muskarinik
yang berperan dalam sekresi kelenjar lakrimalis, dan juga karena obat-obat anestesi
umum yang sebagian besar mempengaruhi keseimbangan dari sistem elektrolit
pada sel terutama pada saluran klorida, kalium dan natrium sehingga mempengaruhi
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort observasional prospektif.
2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di rumah sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Waktu
pelaksanaan penelitian adalah di bulan Oktober 2010.
3. Populasi dan sampel
Populasi penelitian adalah semua pasien berusia diatas 18 sampai dengan 45
tahun yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Pemilihan sampel penelitian
dilakukan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang dituliskan lebih lanjut.
Teknik consecutive sampling digunakan, dengan jumlah sampel yang dihitung sebagai berikut:37
N : jumlah sampel kelompok
Pt : probabilitas efek untuk anestetik inhalasi pertama Pc : probabilitas efek untuk anestetik inhalasi kedua Alfa (α) : 95%
Penghitungan sampel dilakukan dua kali, yang pertama membandingkan
sevoflurane dengan enflurane, yang kedua sevoflurane dengan isoflurane. Jumlah
sampel tertinggi ditentukan sebagai jumlah sampel per kelompok.
Hingga saat ini belum diketahui literatur yang membandingkan efek satu
anestetik inhalasi dengan anestetik inhalasi lain dalam penurunan produksi air mata.
Karena probabilitas efek belum diketahui, maka pilot study dilakukan terlebih dahulu dengan 10 subjek untuk tiap kelompok. Sehingga sampel sementara untuk pilot study adalah 30 subjek.
Setelah pilot study dijalankan, terungkap bahwa Pc dan Pt adalah 1 untuk semua jenis anestetik inhalasi sehingga jumlah sampel per kelompok yang
diperlukan adalah 8 subjek. Maka, sampel dari pilot study digunakan untuk analisis akhir.
4. Kriteria sampel
4. 1 Kriteria penerimaan
a. Penderita yang menjalani anestesi umum dengan menggunakan obat
Isoflurane, Enflurane, atau Sevoflurane
b. Penderita berusia diatas 18 tahun hingga 45 tahun.
c. Penderita bersedia ikut serta dalam penelitian serta menandatangani surat
pernyataan bersedia ikut serta dalam penelitian.
4. 2 Kriteria penolakan
a. Penderita dengan kelainan sindroma mata kering.
b. Penderita yang mengalami komplikasi pembiusan umum.
5. Variabel penelitian
a. Variabel bebas: Tindakan anestesi umum dengan obat anestesi inhalasi
Isoflurane; tindakan anestesi umum dengan obat anestesi
inhalasi Enflurane; tindakan anestesi umum dengan obat
anestesi inhalasi Sevoflurane.
b. Variabel terikat: Waktu pulih produksi air mata yang ditentukan menurut uji
Schirmer I.
6. Teknik Pengambilan Data
a. Data tentang umur, pendidikan, dan pekerjaan dikumpulkan melalui
anamnesis.
b. Data diagnosis dan data penyakit sistemik diambil melalui pemeriksaan
catatan rekam medis.
c. Data lama anestesi umum diambil dengan cara pengukuran menggunakan
pencatat waktu (stopwatch).
d. Data kuantitas air mata dikumpulkan dengan uji Schirmer I.
7. Alat dan Bahan
a. Lembar surat pernyataan bersedia ikut serta dalam penelitian
b. Lembar formulir identifikasi dan pemeriksaan
c. Pencatat waktu (stopwatch) d. Kertas filter Whatman 41
e. Loupe
8. Definisi operasional
a. Uji Schirmer I adalah penilaian fungsi produksi sistem lakrimal dengan
mengukur sekresi basal dan reflek sekresi sistem lakrimal yang diukur
menggunakan kertas filter Whatman 41. Uji Schirmer I dilakukan tanpa
anestesi topikal, ujung kertas yang dilipat diinsersikan ke sakus konjuntiva
forniks inferior pada pertemuan medial dan 1/3 temporal palpebra inferior.
Pasien dianjurkan menutup mata perlahan–lahan tetapi sebagian peneliti
menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat keatas. Lama pemeriksaan 5
menit dan diukur bagian kertas yang basah, diukur mulai dari lipatan kertas.
Uji Schirmer I dilakukan pada subjek dalam posisi tidur terlentang.
Penilaian dianggap normal bila hasil uji Schirmer I didapatkan 15-30 mm,
borderline dengan nilai 6-14 mm dan abnormal jika nilai ≤ 5 mm.
b. Waktu pulih adalah waktu hingga produksi air mata kembali ke normal yang
ditentukan menurut uji Schirmer I dengan titik pengukuran baseline 60 menit
sebelum anestesi umum dan diukur ulang dengan interval 60 menit hingga
produksi air mata kembali ke normal.
c. Anestetik inhalasi adalah semua agen anestetik yang diberikan melalui
sistem respirasi pasien kecuali N2O, dalam penelitian ini adalah Enflurane,
Isoflurane, Sevoflurane.
d. Kombinasi obat anestesi adalah semua obat kecuali obat anestesi inhalasi
yang dipakai selama proses tindakan anestesi umum sejak premedikasi
hingga penderita sadar kembali.
e. Lama anestesi umum merupakan waktu (dalam menit) sejak penderita mulai
ditandai oleh pernapasan spontan yang dilakukan penderita. Diambil kurun
waktu 60 menit sebelum anestesi umum untuk mendapatkan kondisi mata
yang sama dengan kondisi sehari-hari sebagai nilai baseline.
f. Penderita dengan anestesia umum adalah penderita yang diberi
obat-obatan oleh dokter spesialis anestesi atau residen anestesi sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran penderita dan tindakan operasi dapat
dilaksanakan.
g. Usia di atas 18 tahun sampai 45 tahun diambil karena pada usia diatas 18
tahun penderita sudah kooperatif serta memiliki hak legal untuk menyetujui
atau menolak tindakan terhadap dirinya dan dibawah 45 tahun untuk
menghindari penurunan produksi air mata akibat faktor degeneratif.
h. Komplikasi pembiusan umum adalah kejadian dalam kondisi teranestesi
berupa kegagalan sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan atau sistem
vital lain sehingga penderita mengalami hambatan untuk kembali sadar
spontan.
i. Penyakit sistemik adalah penyakit yang dialami oleh penderita yang memiliki
kesempatan untuk mempengaruhi produksi dan sekresi air mata seperti
sindroma Sjögren, diabetes dan kelainan tiroid.
j. Obat-obatan lain adalah obat-obatan yang dapat menurunkan produksi air
mata selain obat yang dipakai dalam proses anestesi umum seperti
9. Cara Kerja
a. Semua subjek yang memenuhi kriteria sampel diberi penjelasan mengenai
penelitian ini. Kepada subjek dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat
penelitian, cara pemeriksaan yang akan dilakukan dan biaya penelitian yang
akan ditanggung oleh peneliti. Subjek yang bersedia ikut serta dalam
penelitian diminta untuk menandatangani surat pernyataan bersedia ikut
dalam penelitian yang telah disediakan.
b. Semua subjek yang memenuhi kriteria sampel diwawancarai untuk
mendapatkan data identitasnya.
c. Pemeriksaan catatan rekam medis dilakukan untuk mengetahui diagnosis
dan tindakan yang akan dilakukan terhadap subjek.
d. Pemeriksaan oftalmologis dengan memakai lampu senter dan loupe
dilakukan kepada subjek untuk melihat keadaan segmen anterior okular.
e. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang pertama dalam rentang
waktu 60 menit sebelum dilakukan tindakan anestesi umum.
f. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang kedua setelah 60 menit
subjek dinyatakan sadar yang ditandai dengan bernapas spontan.
g. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang ketiga setelah 120 menit
subjek dinyatakan sadar yang ditandai dengan bernapas spontan
h. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang ketiga setelah 180 menit
subjek dinyatakan sadar yang ditandai dengan bernapas spontan
i. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I yang kelima setelah 240 menit
subjek dinyatakan sadar yang ditandai dengan bernapas spontan
j. Subjek menjalani pemeriksaan uji Schirmer I per 1 jam setelah pemeriksaan
10. Analisis Data
Data responden dicatat dalam suatu formulir data yang telah disiapkan,
kemudian disusun dalam suatu tabel induk dengan menggunakan program Microsoft
Office Excel 2007 for Windows. Data diolah dengan menggunakan program
pengolahan data statistik SPSS for Windows versi 16.0. Perhitungan statistik untuk
melihat perbandingan nilai uji Schirmer sesudah anestesi umum dilakukan dengan
11. Alur Penelitian
Penderita sadar
Pengambilan data
Analisis data Pengolahan data
Hasil penelitian
Pengambilan
data
Semua penderita yang akan menjalani tindakan dengan pembiusan umum
Kriteria penerimaan Kriteria penolakan
Keluar komplikasi Menjalani anestesi umum
Pengambilan data
Persetujuan penelitian tidak
12. Personalia Penelitian
1. Pemeriksaan oftamologis dan uji Schirmer I akan dilakukan oleh
peneliti (dr. Kristo Sinambela) di bawah pengawasan dokter spesialis mata
di RSMH Palembang.
2. Prosedur tindakan anestesi umum dilakukan oleh ahli anestesi sesuai
prosedur yang berlaku di bagian anestesi dan reanimasi RS. Mohammad
BAB IV
JUSTIFIKASI ETIK
1. Rangkuman Karakteristik
Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort observasional prospektif
berupa serial kasus yang bertujuan untuk mengetahui angka kejadian penurunan
produksi air mata pada penderita yang menjalani tindakan operasi dengan anestesi
umum di RS. Mohammad Hoesin. Penurunan produksi air mata yang disertai
lagoftalmos dan hilangnya reflek mengedip akan menyebabkan mata penderita
menjadi kering. Kekeringan pada mata, terutama kornea akan menyebabkan rasa
tidak nyaman, perih, dan rasa panas bagi penderita, dan jika kekeringan mata ini
terus berlanjut, kerusakan integritas epitel kornea dapat terjadi, yang ditandai oleh
erosi kornea pada mulanya dan dapat berujung pada ulkus. Literatur
mengungkapkan bahwa produksi air mata akan menurun selama tindakan anestesi
umum namun tidaklah diketahui pengaruh obat-obat anestesi inhalasi pada
penurunan ini. Melalui identifikasi obat-obat anestesi inhalasi yang memiliki
pengaruh lebih besar, kewaspadaan dapat diarahkan pada agen-agen spesifik ini
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap mata.
2. Prosedur Informed Consent
Seluruh penderita menerima penjelasan mengenai tujuan penelitian ini
sehingga penderita dapat memberikan persetujuan yang didasarkan informasi untuk
mengikuti penelitian ini atau tidak. Penderita juga mendapat penjelasan mengenai
serta mengenai biaya yang sepenuhnya akan ditanggung oleh peneliti. Penjelasan
mengenai manfaat penelitian juga diberikan. Jika penderita bersedia untuk
berpartisipasi, maka ia perlu menandatangani surat persetujuan untuk ikut serta
dalam penelitian (informed consent).
3. Prosedur Pelaksanaan Etik
Penelitian ini dilakukan di Bagian Anestesi Rumah Sakit Mohammad Hoesin
Palembang melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan identifikasi rekam medik para
penderita.
4. Analisis Kelayakan Etik
Penelitian ini disusun berdasarkan tinjauan penelitian-penelitian terdahulu dan
kajian pustaka mengenai penurunan produksi air mata yang terkait dengan anestesi
umum. Dasar ilmiah yang kuat mendukung penelitian ini sehingga hasil yang sesuai
dengan tujuan penelitian diperkirakan akan diperoleh. Prosedur yang perlu dilakukan
pada penderita tidak akan dipengaruhi oleh penelitian ini sehingga kerugian bagi
penderita adalah minimal hingga tidak ada sama sekali. Penderita memiliki
kebebasan untuk turut serta maupun menolak untuk turut serta dalam penelitian ini.
Peneliti akan menanggung semua biaya yang terkait dengan prosedur penelitian ini
sehingga pasien tidak dibebani dengan biaya tambahan. Penderita yang mengalami
penurunan produksi air mata yang memerlukan pengobatan akan dikonsulkan ke
dokter spesialis mata di RS. Mohammad Hoesin Palembang untuk penanganan
5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini didasari
landasan ilmiah yang kuat, bermanfaat untuk dilaksanakan, tidak membahayakan
penderita serta menjamin kebebasan penderita untuk memiliih keikutsertaannya.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dijalankan di bulan Oktober 2010 di Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin, Palembang. Jumlah sampel yang disertakan dalam analisis
akhir adalah 30 subjek.
1. Karakteristik demografis subjek
Dari seluruh subjek yang disertakan, 19 (63.3%) adalah pria dan 11 (36.7%)
adalah wanita. Subjek paling muda berusia 20 tahun sementara yang paling tua
berusia 45 tahun. Kelompok usia 20 hingga 26 tahun terdiri dari sembilan (30.0%)
subjek, 27 hingga 33 tahun empat (13.3%) subjek, 34 hingga 40 tahun tiga (10.0%)
subjek, dan 41 hingga 47 tahun 14 (46.7%) subjek. Dapat dilihat bahwa kelompok
usia yang paling banyak adalah kelompok usia 41 hingga 47 tahun, yaitu 14 (46.7%)
subjek. Pendidikan subjek adalah sebagai berikut: dua (6.7%) subjek menamatkan
SD, tujuh (23.3%) subjek menyelesaikan SMP, 15 (50.0%) menyelesaikan SMA,
sementara enam (20.0%) subjek mencapai perguruan tinggi. Pekerjaan yang paling
banyak digeluti subjek penelitian ini adalah wiraswasta (12 subjek, 40.0%), yang
disusul oleh ibu rumah tangga (7 subjek, 23.3%), mahasiswa dan petani (keduanya
4 subjek masing-masing, 13.3%), PNS (2 subjek, 6.7%), dan pelajar (1 subjek,
3.3%). Data demografis ini dapat dilihat di tabel 1a.
Dalam perbandingan antar kelompok subjek yang mendapat isoflurane,
enflurane, dan sevoflurane, didapati bahwa perbandingan pria dan wanita dalam
dalam kelompok isoflurane, 6 pria dan 4 wanita dalam kelompok enflurane)
sementara amat berbeda untuk kleompok sevoflurane (9 pria dan 1 wanita).
Sebagian besar pasien dalam kelompok isoflurane dan enflurane berusia 41-47
tahun (masing-masing 6 subjek, 60%), sementara sebagian besar pasien dalam
kelompok sevoflurane berusia 20-26 tahun (7 subjek, 70%). Pada ketiga kelompok,
isoflurane, enflurane, dan sevoflurane, tingkat pendidikan SMA dimiliki oleh sebagian
besar subjek (50% untuk kelompok isoflurane, 40% untuk kelompok enflurane, dan
60% untuk kelompok sevoflurane). Kelompok isoflurane sebagian besar terdiri dari
para ibu rumah tangga (50%), kelompok enflurane dari para wiraswastawan (50%),
sementara kelompok sevoflurane dari para wiraswastawan (40%). Sebaran
demografis untuk subjek yang mendapat isoflurane, enflurane, dan sevoflurane
dapat dilihat dalam tabel 1b.
Tabel 1a. Data demografis subjek penelitian
Tabel 1b. Perbandingan data demografis subjek penelitian berdasarkan anestetik inhalasi
Kelompok Isoflurane Enflurane Sevoflurane
Variabel Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%)
Jenis kelamin
Perguruan tinggi 2 (20.0) 3 (30.0) 1 (10.0)
Total 10 (100) 10 (100) 10 (100)
Wiraswasta 3 (30.0) 5 (50.0) 4 (40.0)
Total 10 (100) 10 (100) 10 (100)
2. Karakteristik klinis subjek
Diagnosis subjek dalam penelitian ini amat beragam. Terdapat satu (3.3%)
subjek untuk masing-masing diagnosis berikut: apendisitis, batu ginjal, batu pielum,
karsinoma buli, karsinoma mammae intraduktal, karsinoma pankreas, kolelitiasis,
kontusio serebri, fraktur femur post ORIF, fraktur fibula dan tibia dextra,
hemopneumothoraks, inverted papilloma, janin tunggal hidup presentasi bokong disertai gawat janin, lipona regio nucha, neoplasia ovarium, obstruksi usus, otitis
maxilla. Terdapat dua (6.7%) subjek untuk masing-masing diagnosis berikut:
hiperplasia endometrium, mioma uterus, dan trauma kapitis. Sementara, terdapat
lima (16.7%) subjek dengan diagnosis peritonitis. Data mengenai diagnosis subjek
dapat dilihat dalam tabel 2a.
Dalam kelompok isoflurane, diagnosis yang dijumpai adalah: karsinoma
mammae intraduktal (1 subjek, 10%), kolelitiasis (1 subjek, 10%), kontusio serebri (1
subjek, 10%), fraktur femur post ORIF (1 subjek, 10%), fraktur fibula dan tibia dextra
(1 subjek, 10%), hiperplasia endometrium (1 subjek, 10%), lipoma regio nuchae (1
subjek, 10%), mioma uteri (2 subjek, 20%), dan neoplasia ovarium (1 subjek, 10%).
Dalam kelompok enflurane, ditemukan diagnosis sebagai berikut: batu ginjal (1
subjek, 10%), batu pielum (1 subjek, 10%), karsinoma buli (1 subjek, 10%),
karsinoma pankreas (1 subjek, 10%), hiperplasia endometrium (1 subjek, 10%),
inverted papilloma (1 subjek, 10%), janin tunggal hidup presentasi bokong dengan gawat janin (1 subjek, 10%), trauma pilar ginjal dan buli (1 subjek, 10%), dan vulnus
laceratum maxilla (1 subjek, 10%). Sementara dalam kelompok sevoflurane,
diagnosis yang didapati adalah: apendisitis (1 subjek, 10%), hemopneumothoraks (1
subjek, 10%), obstruksi usus (1 subjek, 10%), peritonitis (5 subjek, 50%), dan
trauma kapitis (2 subjek, 20%). Dapat diamati bahwa diagnosis dalam ketiga
kelompok ini amat bervariasi. Tabel 2b menjabarkan diagnosis yang ditemui dalam
Tabel 2a. Sebaran subjek penelitian menurut diagnosis
Fraktur femur post ORIF 1 3.3
Fraktur fibula dan tibia
Tabel 2b. Perbandingan sebaran diagnosis subjek penelitian berdasarkan anestetik inhalasi
Kelompok Isoflurane Enflurane Sevoflurane
Diagnosis Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%)
Apendisitis 0 0 1 (10)
Batu ginjal 0 1 (10) 0
Batu pielum 0 1 (10) 0
Karsinoma buli 0 1 (10) 0
Karsinoma mammae intraduktal
1 (10) 0 0
Karsinoma pankreas 0 1 (10) 0
Kolelitiasis 1 (10) 0 0
Kontusio serebri 1 (10) 0 0
Fraktur femur post
Inverted papilloma 0 1 (10) 0
Janin tunggal hidup presentasi bokong dengan gawat janin
0 1 (10) 0
Lipona regio nuchae 1 (10) 0 0
Mioma uterus 2 (20) 0 0
Neoplasia ovarium 1 (10) 0 0
Obstruksi usus 0 0 1 (10)
Otitis media
supurativa kronis
dextra
0 1 (10) 0
Peritonitis 0 0 5 (50)
Trauma kapitis 0 0 2 (20)
Trauma pilar ginjal dan
anestesi dilakukan dengan anestetik inhalasi N2O dan salah satu dari sevoflurane,
diberikan kepada semua pasien. Sebaran subjek menurut penggunaan obat dalam
anestesi umum dapat dilihat dalam tabel 3.
Tabel 3. Sebaran subjek menurut penggunaan obat dalam anestesi umum
Obat Frekuensi Persentase
N2O, isoflurane 10 33.3
N2O, enflurane 10 33.3
N2O, sevoflurane 10 33.4
Total 30 100
Sadar kembali
Prostigmin 30 100
Sulfas atropin 30 100
Durasi operasi paling singkat adalah 60 menit dan paling panjang adalah 250
menit. Durasi operasi dikelompokkan dalam empat kelompok: 60-109 menit,
110-159 menit, 160-209 menit, dan 210-259 menit. Kelompok 60-109 menit terdiri dari
delapan (26.7%) subjek, kelompok 110-159 menit 12 (40.0%) subjek, 160-209 menit
delapan (26.7%) subjek, dan kelompok 210-259 menit dua (6.7%) subjek. Data
durasi operasi ditampilkan dalam tabel 4a.
Subjek yang mendapat isoflurane lebih banyak menjalani operasi dengan
durasi 110-159 menit (6 subjek, 60%), subjek yang menerima enflurane lebih sering
menjalani operasi berdurasi 60-109 menit (5 subjek, 50%), sementara subjek yang
mendapat sevoflurane lebih mungkin menjalani operasi berdurasi 160-209 menit (5
subjek, 50%). Perbandingan sebaran durasi menurut anestetik inhalasi dapat