DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi ... iii - vi Abstrak ... vii - xiii
Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis Terhadap UU NO. 56/PRP/ Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian)
oleh: Sulasi Rongiyati ... 1 - 15
Tinjauan Yuridis atas Pemanfaatan Ruang di Bawah Tanah
oleh: Harris Y. P. Sibuea ... 17 - 34
Penguatan Lembaga Adat
sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
oleh: Nikolas Simanjuntak ... 35 - 66
Redenominasi Rupiah dalam Prespektif Hukum
oleh: Trias Palupi Kurnianingrum ... 67 - 85
Upaya Perlindungan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi
oleh: Puteri Hikmawati ... 87-104
Penghapusan Tahapan Penyelidikan dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana
oleh: Marfuatul Latifah ... 105 - 123
Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme
Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
PENGANTAR REDAKSI
Pada edisi bulan Juni ini, Jurnal Negara Hukum (JNH) tetap memuat hasil kajian, penelitian, dan analisis hukum dalam berbagai bidang, seperti hukum ekonomi, pidana, dan ketatanegaraan. Edisi ini memuat 7 (tujuh) tulisan yang bervariasi sesuai dengan bidang kajian hukum yang disebutkan sebelumnya. Istimewanya, JNH kali ini memuat 2 (dua) tulisan yang berasal dari luar peneliti hukum P3DI, yaitu dari Tenaga Ahli Fraksi dan Tenaga Ahli Anggota DPR RI.
Tulisan pertama ditulis oleh Sulasi Rongiyati, berjudul “Land Reform melalui Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis terhadap Undang-Undang No. 56/PRP/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian)”. Dalam tulisan ini dikatakan, bahwa Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani yang tidak memiliki tanah. Analisis dilakukan terhadap pelaksanaan land reform di Indonesia yang didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UUPT). Berdasarkan hasil analisis Penulis, Land Reform dalam UU tersebut diwujudkan melalui pengaturan luas maksimum dan minimum tanah pertanian dan redistribusi tanah. Namun, implementasi UU ini belum efektif karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian serta kebijakan pendukung yang belum memadai.
perundang-undangan bidang agraria yang mengaturnya. Oleh karena itu, hukum harus merespon kekosongan hukum tersebut di mana diperlukan suatu kebijakan yang mengatur alas hak penggunaan ruang di bawah tanah, agar tidak terjadi konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian hukum di bidang agraria.
Tulisan Nikolas Simanjuntak berjudul “Penguatan Lembaga Adat sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Dalam tulisan ini disebutkan, bahwa para sarjana post-kolonial telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan (territorial). Dari mereka itu diketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas tersebar di wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus, baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup di daerah pedesaan maupun di wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan (urban migran). Penulis mengemukakan, bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan Undang-undang No.30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa awal terjadinya multi-krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi. Melalui tulisan ini, penulis berharap lembaga hukum adat bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan, bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini.
Tulisan Puteri Hikmawati berjudul “Upaya Perlindungan Whistleblower dan
Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi. Dalam tulisan ini dikatakan bahwa korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, banyak kasus yang belum terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Saksi dan pelapor kurang mendapat perlindungan hukum. Dalam penanganan kasus korupsi muncul istilah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama). Penulisan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi serta pelaksanaannya. Dalam analisisnya, penulis mengemukakan, bahwa kebijakan perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi saksi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan perlindungan saksi dan korban umumnya secara khusus diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sementara perlindungan terhadap pelapor tidak diatur secara rinci dalam UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu, menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 dibuat untuk mengadopsi istilah whistleblower dan justice collaborator. Namun ketentuan SEMA tersebut menimbulkan permasalahan. Salah satunya, ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Penulis merekomendasikan, dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 perlu diatur perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara rinci.
Tulisan Andy Wiyanto berjudul “Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme
Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Dalam tulisan ini dikemukakan, bahwa historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan di tengah masa jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik. Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi. Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Berdasarkan hasil analisis, sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih rinci dan jelas. Tulisan ini mengkaji hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas tentang sistem check and balances
dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah negara.
Pemikiran-pemikiran dalam tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Negara Hukum ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca dan dapat menjadi referensi, baik untuk penelitian atau membuat kajian lanjutan, maupun perumusan kebijakan publik. Selamat membaca.
Jakarta, Juni 2013
LAND REFORM MELALUI PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (KAJIAN YURIDIS TERHADAP UU NO. 56/PRP/ TAHUN 1960
TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN)
Sulasi Rongiyati
Abstrak
Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani yang tidak memiliki tanah. Secara yuridis pelaksanaan land reform di Indonesia didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UUPT). Land Reform dalam UU ini diwujudkan melalui pengaturan luas maksimum dan minimum tanah pertanian dan redistribusi tanah. Namun, implementasi UU ini belum efektif karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian serta kebijakan pendukung yang belum memadai.
Abstract
TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMANFAATAN RUANG BAWAH TANAH Harris Y. P. Sibuea
Abstrak
Pemanfaatan dan penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload yang disebabkan oleh arus urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota besar. Peningkatan arus urbanisasi tersebut tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah di atas permukaan bumi yang pada akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk digunakan sebagai kepentingan tempat tinggal, usaha, publik. Kepastian hukum atas kepemilikan atas tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah tanah seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal kedatangan keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan usaha masyarakat. Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan perundang-undangan bidang agraria yang mengaturnya. Hukum harus merespon terhadap kekosongan hukum tersebut dimana diperlukan suatu kebijakan yang mengatur alas hak penggunaan ruang di bawah tanah, agar tidak terjadi konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian hukum di bidang agraria.
Abstract
PENGUATAN LEMBAGA ADAT
SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Nikolas Simanjuntak
Abstrak
Para sarjana post-kolonial kita telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan (territorial). Dari mereka itu kita ketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas tersebar di seantero wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus, baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup rapat di daerah pedesaan maupun di wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan (urban migran).
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa awal terjadinya multi-krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi. Makalah ini bermaksud menyajikan gambaran apa adanya mengenai lembaga hukum adat, apakah itu bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan mungkin pula dengan itu diharapkan, apakah bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini.
Abstract
REDENOMINASI RUPIAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM
Trias Palupi Kurnianingrum
Abstrak
Redenominasi merupakan salah satu wacana yang akan dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan untuk mengefektifkan perekonomian agar menjadi lebih efisien serta untuk meningkatkan kebanggaan rupiah di mata dunia Internasional. Namun untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah, mengingat masih banyaknya pro-kontra di dalamnya. Redenominasi memang memberikan banyak manfaat namun juga dapat menimbulkan dampak negatif yakni inflasi akibat pembulatan harga. Kiranya perlu adanya persiapan yang harus dilakukan oleh Indonesia seperti mempersiapkan landasan hukum guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum, menyiapkan infrastuktur yang sudah disetting dengan tepat serta sosialisasi intensif kepada masyarakat. Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum mengingat hukum sudah sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi banyak orang.
Abstract
UPAYA PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER
DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Puteri Hikmawati
Abstrak
Korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, banyak kasus yang belum terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Saksi dan pelapor kurang mendapat perlindungan hukum. Dalam penanganan kasus korupsi muncul istilah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama). Penulisan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi serta pelaksanaannya. Kebijakan perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi saksi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan perlindungan saksi dan korban umumnya secara khusus diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sementara perlindungan terhadap pelapor tidak diatur secara rinci dalam UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu, menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 dibuat untuk mengadopsi istilah whistleblower dan justice collaborator. Namun ketentuan SEMA tersebut menimbulkan permasalahan. Salah satunya, ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. Namun, SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Oleh karena itu, dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 perlu diatur perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara rinci.
Abstract
PENGHAPUSAN TAHAPAN PENYELIDIKAN DALAM RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Marfuatul Latifah
Abstrak
Penghapusan tahapan penyelidikan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana akan mengubah sistematika hukum acara pidana di Indonesia. Tulisan ini bermaksud mengkaji penghapusan penyelidikan dan konsekuensi yang akan ditimbulkan. Mengingat penyelidikan telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan banyak tindak pidana yang menggantungkan pemecahan perkara melalui tahapan penyelidikan seperti tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan mendasar dalam praktik hukum acara pidana dan menimbulkan hambatan bagi penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana temuan.
Abstract
PEMAKZULAN DAN PELAKSANAAN MEKANISME CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Andy Wiyanto
Abstrak
Historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan ditengah masa jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik. Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi. Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih rinci dan jelas. Tulisan ini mencoba untuk membedah hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas tentang sistem chesks and balances dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah Negara.
Abstract
LAND REFORM MELALUI PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN
(KAJIAN YURIDIS TERHADAP UU NO. 56/PRP/ TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN)
Sulasi Rongiyati* Abstract
Land reform is intended to improve the welfare of the people, especially farmers who lessland. Juridical implementation of land reform in Indonesia is based on UUPA restrictions governing the ownership and control of land and described by Act No. 56/Prp/ 1960 on Agricultural Land Area Determination. Land Reform Act is implemented through setting minimum and maximum area of agricultural land and land redistribution. However, the implementation of this Act has not been effective because some provisions could potentially do to avoid smuggling law provision barring agricultural land and supporting policies that have not been adequate.
Kata kunci:Land reform, redistribusi tanah, dan UU No. 56/Prp/Tahun 1960.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kebijakan agraria yang populis di Indonesia ditandai dengan diundangkannya suatu produk hukum yang sangat fundamental, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menggantikan hukum tanah produk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam perkembangannya penerapan hukum tanah yang pro-rakyat berdasarkan UUPA, mengalami pergeseran setelah pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan pertanahan di Indonesia lebih berpihak pada kepentingan investor. Kondisi tersebut terus berlangsung, meski sudah lebih dari setengah abad UUPA berlaku. Sebagai dampaknya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang semula dibentuk dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945),dalam pelaksanaannya “jauh panggang dari api”. Bahkan banyak peraturan
perundang-* Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
undangan yang dalam implementasinya mengesampingkan hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat kecil yang tidak memiliki akses permodalan.
Keadaan tersebut telah menimbulkan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah dan berdampak pada timbulnya konflik tanah yang dari tahun ke tahun menujukan peningkatan dan penyelesaiannya berlarut-larut. UUPA sendiri telah melihat potensi ketimpangan kepemilikan tanah ini sejak awal. Oleh karenanya beberapa ketentuan dalam UUPA mengatur mengenai pembatasan dan kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian. Pasal 7 UUPA junto Pasal 17 UUPA melarang kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas dan mengamanatkan pengaturan pembatasan luas kepemilikan dan penguasaan tanah dalam perundang-undangan. Sebagai tindak lanjut, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960. Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU PLTP) yang diundangkan pada tanggal 19 Desember 1960. Meskipun terbatas pada pengaturan batas kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian, UU PLTP sering disebut sebagai UU Land Reform Indonesia.
Aspek landreform adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Hal tersebut sejalan dengan produk yang dihasilkan dalam masa reformasi dalam konteks Reforma Agraria, yaitu Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001. Ketetapan tersebut secara tegas memberikan mandat untuk melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfataan tanah (landreform) yang berkeadilan.
umumnya relatif rendah memaksa petani harus melepaskan tanahnya kepada pengusaha dan perusahaan transnasional. Petani kecil perlahan menghilang dan perusahaan besar semakin berkuasa. Kesenjangan ini membuat petani tidak mampu mengakses lahan pertanian.1
Pembatasan luas maksimum dan minimum kepemilikan dan penguasaan tanah sebagaimana diatur dalam UU PLTP dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada petani agar dapat mengakses tanah pertanian sebagai bidang usahanya dan menghindarkan pemusatan kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian pada pemilik modal tertentu. UU PLTP juga mengatur larangan pemindahtanganan tanah pertanian yang berakibat kepemilikan tanah kurang dari batas minimum luas tanah pertanian.
B. Permasalahan
Penetapan luas tanah maksimum merupakan amanat UUPA telah lebih dari 50 tahun diatur dalam UU PLTP dan belum pernah sekalipun dilakukan revisi atau perubahan. Namun, praktik di lapangan menunjukan kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian oleh petani jauh dari luas minimum yang ditentukan dalam UU PLTP. Pada sisi lain, di lapangan banyak ditemukan penguasaan lahan pertanian lebih dari ketentuan luas maksimum. Berdasarkan permasalahan tersebut, pertanyaan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana ketentuan Land Reform dalam Hukum Tanah Nasional?
2. Mengapa ketentuan tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian sebagaimana diatur dalam UU PLTP tidak implementatif?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui ketentuan Land Reform dalam hukum tanah nasional dan pelaksanaan UU No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Sedangkan kegunaan dari tulisan ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca di bidang hukum pertanahan sekaligus sebagai masukan bagi anggota DPR RI dalam menjalankan fungsinya baik fungsi legislasi maupun pengawasan yang berkaitan dengan masalah-masalah pertanahan.
II. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Pengertian LandReform
Reforma Agrariadalam arti luas meliputi pelaksanaan pembaharuan hukum agraria; penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah; perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana, sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.2 Pelaksanaan Reforma Agraria
yang ke-4 dikenal sebagai kebijakan Land Reform atau Reforma Agraria dalam arti sempit, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.
Pada tataran implementasi, istilah Land Reform sering dipadankan atau diidentikkan dengan istilah agrarian reform atau reforma agraria, karena land reform
secara langsung dapat menunjukkan hasil yang lebih nyata melalui perombakan pemilikan dan penguasaan tanah yang lebih berkeadilan dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebagai misal, Elias H. Tuma menyatakan bahwa “dalam praktiknya konsep land reform telah diperluas cakupannya untuk menekankan peran strategis dari tanah dan pertanian dalam pembangunan”, oleh karenanya konsep ini kemudian menjadi sinonim bagi konsep reforma agraria.3
AP. Parlindungan berpendapat, bahwa land reform adalah bukan sekedar membagi-bagi tanah, ataupun bersifat politis, akan tetapi merupakan suatu usaha untuk reformasi hubungan antara manusia dengan tanah yang lebih manusiawi.4
Peter Donner dalam S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi mengatakan bahwa sistem penguasaan tanah meliputi pengaturan-pengaturan secara legal maupun adat yang dengan hal tersebut petani memperoleh akses terhadap kesempatan-kesempatan produktif atas tanah. Sistem ini merupakan tatanan dan prosedur yang mengatur hak, kewajiban, kebebasan dalam penggunaan dan pengawasan sumber daya tanah dan air. Dengan kata lain sistem penguasaan tanah turut membentuk pola penyebaran pendapatan dalam sektor pertanian, oleh karenanya land reform berarti mengubah dan menyusun kembali tatanan dan prosedur di dalam usaha membuat sistem penguasaan tanah itu konsisten dengan persyaratan secara keseluruhan dari pembangunan ekonomi.5
Tujuan dari land reform adalah untuk menyempurnakan pemerataan tanah. Terdapat dua dimensi dalam tujuan ini yaitu, pertama: untuk menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah dan untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang merupakan upaya
2 Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk
Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, BPN RI, 2007, hal.17.
3 “Dalam Untung Rusli Tandi, RedistribusiTanah,” http://redistribusitanah.blogspot.com/diakses 5 Mei 2013. 4 A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Hukum UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 60. 5 S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah
memperbaiki penghasilan dan taraf hidup para petani secara menyeluruh. Kedua: untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah.6
Pelaksanaan land reform untuk tanah-tanah pertanian (daerah pedesaan) dapat dilaksanakan dengan model seperti distribusi tanah, redistribusi tanah, rekonsentrasi tanah dan non redistribusi, sedangkan land reform untuk tanah-tanah di daerah perkotaan dilaksanakan melalui kebijakan konsolidasi tanah-tanah daerah perkotaan.7
2. Redistribusi Tanah
Dalam pelaksanaannya land reform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah secara intensif dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah.8 Program redistribusi tanah
dalam pelaksanaan land reform mempunyai arti pokok yang berhubungan dengan suatu perubahan yang disengaja dalam sistem land tenure (penguasaan dan pemilikan tanah) yaitu penyusunan kembali sistem land tenure, pengawasan hak-hak atas tanah dan lain-lain yang berhubungan dengan tanah.9
Menurut Gunawan Wiradi, redistribusi tanah meliputi pemecahan, penggabungan satuan-satuan usaha tani dan perubahan skala kepemilikan.10
Retribusi tanah diperuntukkan bagi tanah pertanian yang akan diberikan pada petani yang memiliki mata pencaharian mengusahakan tanah pertanian dengan syarat-syarat tertentu, yang berasal dari tanah kelebihan luas batas maksimum; tanah absente, tanah swapraja, tanah bekas swapraja, dan tanah yang dikuasai negara.11
III. ANALISIS
1. Land Reform dalam Hukum Tanah Nasional
Berlakunya UUPA telah memberikan perubahan alur politik agraria dari politik agraria kolonial ke poltik agraria nasional.12 Politik agraria nasional
mengedepankan kesejahteraan rakyat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber agraria terutama tanah. Khusus terkait kebijakan land reform, upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat diwujudkan melalui pemberlakuan beberapa peraturan pelaksana UUPA, antara lain: UU PLTP, PP No. 10 Tahun 1961
6 Supriadi, HukumAgraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 203
7 BPN-RI, Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI, Pemaparan Kepala BPN-RI pada
pembukaan Rakernas, 2010, hal.17.
8 Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hal.11. 9 Ari Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah..., hal. 19.
10 Dalam Ira Sumaya, Analisis Hukum Land Reform Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Masyarakat,
Tesis, Universitas Sumatera Utara, hal. 45.
11 Chadidjah Dalimunthe dalam Ira Sumaya, AnalisisHukumLandReform..., hal 46.
tentang Peraturan Pendaftaran Tanah, dan PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.13
UUPA menjadi induk pelaksanaan land reform di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari upaya pembentuk UUPA mencoba mencari solusi untuk mengatasi persoalan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia yang sudah terjadi sejak Negara Indonesia diproklamirkan, dengan merumuskan prinsip-prinsip land reform dalam substansi pengaturan UUPA. Pasal-pasal yang menjadi landasan yuridis pelaksanaan land reform tersebut yaitu Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17 UUPA.
Pasal 7:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Pasal 10:
1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.
Pasal 17:
1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/ atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.
3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Sejalan dengan tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu salah satunya untuk memajukan kesejahteraan umum, maka prinsip tersebut
13 Suhariningsih, TanahTerlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Jakarta: Prestasi
menjadi acuan dalam sistem hukum tanah nasional. Larangan pemilikan dan penguasaan tanah melebihi batas sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPA pada dasarnya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemusatan kepemilikan dan penguasaan tanah pada golongan tertentu sehingga merugikan golongan lain yang secara finansial memiliki keterbatasan untuk mengakses tanah. Sifat tanah yang terbatas dan konstan serta nilai tanah yang tidak terbatas pada sosial, ekonomis, politis, bahkan religi menyebabkan tingginya potensi disparitas kepemilikan dan penguasaan tanah antara golongan pemilik modal dan ekonomi lemah.
Boedi Harsono menyatakan bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melebihi batas merugikan kepentingan umum karena hal ini berhubungan dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah padat penduduk, hal ini berpotensi berkurangnya lahan pertanian atau bahkan dapat berpotensi hilangnya kemungkinan banyak petani untuk memiliki tanah pertanian sendiri.14
Lebih lanjut UUPA dalam Pasal 10 juga mewajibkan kepada pemilik tanah untuk mengusahakan dan mengerjakan sendiri tanahnya. Hal ini dimaksudkan untik mencegah cara-cara pemerasan terutama bagi pemilik tanah yang tidak mampu mengusahakan tanahnya sendiri karena keterbatasan modal dan kemudian menggadaikannya kepada pihak lain secara berkelanjutan,sehingga menghilangkan kesempatan pemilik tanah yang tidak mampu menebus gadainya, untuk memperoleh hasil dari tanah yang dimilikinya.
Merujuk pendapat A.P. Parlindungan bahwa land reform adalah menata kembali hubungan antara manusia dengan tanah yang antara lain dilakukan
melalui membagikan tanah, maka jelas Pasal 17 UUPA yang mengatur
pembatasan luas tanah maksimum dan minimum merupakan ketentuan yang mendasari pelaksanaan Land Reform di Indonesia. Ketentuan ini dipertegas dengan bunyi Pasal 17 ayat (3) UUPA yang mengatur perlakuan terhadap tanah yang merupakan kelebihan luas tanah maksimum.
Prinsip-prinsip Land Reform ini kemudian dijabarkan dalam UU PLTP melalui ketentuan penetapan luas batas minimum dan maksimum tanah pertanian, pembagian tanah untuk petani tidak bertanah (landless), dan pengalihan tanah hasil kelebihan luas maksimum tanah pertanian dalam rangka meningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.15 Secara umum, substansi UU
PLTP memuat program land reform yang meliputi: a. Pembatasan luas maksimum pemilikan tanah;
14 Dalam Supriadi, Hukum Agraria..., hal.204.
b. Larangan pemilikan tanah secara “absentee” atau “guntai”, redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah negara;
c. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;
d. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan
e. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Relevan dengan pendapat Peter Donner dan Gunawan Wiradi, UU PLTP menjadi acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan land reform secara teknis, karena konsekuensi implementasi UU PLTP adalah mengubah dan menyusun kembali tatanan dan prosedur di dalam usaha membuat sistem penguasaan tanah dengan membuka peluang bagi petani untuk mampu mengakses kesempatan-kesempatan produktif atas tanah. Dalam sistem penguasaan tanah mecakup tatanan dan prosedur yang mengatur hak, kewajiban, kebebasan dalam penggunaan dan pengawasan sumber daya tanah dan air. Melalui UU PLTP diupayakan perubahan skala kepemilikan tanah dengan cara membatasi kepemilikan dan penguasaan luas tanah pertanian dan kemudian mendistribusikan tanah kelebihan luas tanah maksimum tersebut untuk petani tidak bertanah atau yang memiliki tanah pertanian di bawah luas minimum.
Selain ketentuan yang berkaitan dengan luas minimum dan maksimum tanah pertanian, pada hakekatnya UU PLTP juga mengamanatkan dalam Pasal 12 bahwa luas maksimum dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah. Sayangnya sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut, khusunya berkaitan dengan pembatasan maksimum luas dan jumlah tanah untuk bangunan yang dapat dimiliki oleh orang perorangan belum dibentuk. Pemerintah baru mengatur pembatasan luas tanah untuk perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan izin lokasi melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Dalam ketentuan tersebut luas maksimum luas tanah yang dapat diberikan ditentukan berdasarkan jenis usaha, seperti: pengembangan perumahan dan pemukiman, kawasan industri, perkebunan, dan tambak untuk tiap provinsi di Indonesia.16
16 Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta:Penerbit
2. Implementasi UU PLTP
a. Batas Minimum Luas Tanah Pertanian.
Ketentuan mengenai batas minimum kepemilikan luas tanah pertanian sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 UU PLTP adalah 2 (dua) hektar. Hal ini maksudkan dengan kepemilikan tanah minimum sebanyak 2 hektar diharapkan petani dapat mengusahakan tanahnya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraannya, sebagaimana tujuan akhir diadakannya Land Reform yaitu kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.
Seiring dengan perkembangan jaman, penerapan ketentuan luas batas minimum tanah pertanian semakin sulit terwujud. Berbagai faktor menjadi penyebabnya, antara lain: bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan tanah untuk kegiatan non-pertanian. Menurut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani, PhD, pada 1980-an pemilikan lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, tahun 2010 kepemilikan lahan pertanian hanya 0,25 hektar. Data BPS menyebutkan bahwa jumlah petani gurem dalam kurun 1993-2003 meningkat rata-rata sebesar 2,6 persen per tahun. Di Pulau Jawa, jumlah petani gurem mencapai 75 persen dari seluruh total rumah tangga petani.17
Berkurangnya luas lahan pertanian juga terjadi karena meluasnya alih fungsi lahan. Di Indonesia luas lahan pertanian yang beralih fungsi setiap tahun mencapai 40.000-100.000 hektar, 50% diantaranya terdapat di pulau Jawa. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan, Achmad Suryana, alih fungsi lahan terjadi akibat peruntukan areal pemukiman, perkantoran, dan bangunan lain. Untuk menekan alih fungsi lahan pertanian telah dibentuk UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menjadi dasar peraturan daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan. Namun, dalam realisasinya aturan ini seringkali dilanggar dan kepala daerah turut berperan mengalihkan lahan pertanian.18 Data Kementerian Pertanian menyebutkan,
luas sawah irigasi di Indonesi mencapai 4.784.974 hektar dan luas sawah tidak non-irigasi sebanyak 7.748.348 hektar. Berdasarkan data sensus pertanian oleh BPS tahun 2003 rata-rata luas lahan yang dikuasai petani di Pulau Jawa hanya 0,3 hektar per keluarga, yang berarti menurun dibandingkan 10 tahun yang lalu yang mencapai 0,48 hektar per keluarga. Anggota La Via Campesina, Wildan Tarigan, menambahkan bahwa masalah keterbatasan lahan menjadi persoalan paling krusial yang dialami petani di Indonesia. Petani tidak lagi berdaulat sesuai
17 “Ironi Pembangunan di Jawa”, Tempo, 11 Juni 2011
predikat yang disandangnya karena tak lagi memiliki lahan. Sebagian besar petani hanya menjadi buruh penggarap lahan.19
Orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi, tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah pertanian untuk kegunaan yang lain. Padahal penyusutan/penyempitan lahan pertanian secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah petani gurem. Faktanya kebijakan Pemerintah yang cenderung mengejar industrialisasi pertanian tetapi kurang memperhatikan struktur penguasaan tanah, semakin mempersulit terpenuhinya batas minimum kepemilikan tanah pertanian. Program pembangunan bidang perkebunan dengan memberikan kemudahan perizinan bagi perusahaan perkebunan skala besar tanpa sadar menjadi salah satu pemicu terusirnya petani dari tanahnya.
Sangat disadari, orientasi pengelolaan pertanahan diwaktu lampau tidak diarahkan kepada upaya pemerataan aset produksi. Tanah lebih ditekankan sebagai aset produksi dan dialokasikan kepada sektor ekonomi kuat dan besar, karena diyakini akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akibatnya petani kecil semakin terpinggirkan dan menjadi penggarap yang semakin kecil atau menjadi buruh tani. Akibatnya petani miskin bertambah miskin, hal ini semakin parah karena tanah pertanian juga diubah menjadi daerah perumahan, perluasan kota, pengembangan prasarana, dsb. Keadaan ini juga berdampak kepada meningkatnya konflik - konflik pertanahan. Disatu pihak, petani kecil membutuhkan tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lainnya (pemodal) pada umumnya memerlukan tanah-tanah tersebut untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi.
b. Batas Maksimum Luas Tanah Pertanian
Pasal 1 ayat (2) UU PLTP menyebutkan bahwa seorang atau orang-orang dalam satu keluarga dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah, dan faktor lainnya ditentukan penguasaan tanah pertanian tidak melebihi 20 hektar. Sedangkan untuk daerah yang sangat khusus berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum tersebut menjadi 25 hektar. Ketentuan batasan luas maksimum tersebut dimaksudkan agar tanah pertanian tidak hanya dimonopoli oleh orang atau golongan tertentu yang memiliki kekuatan modal. Sangat disayangkan baik UUPA maupun UU PLTP tidak mengatur ketentuan luas maksimum tanah pertanian untuk tanah dengan Hak Guna Usaha dan hak-hak yang bersifat sementara. Pasal 1 ayat (4) UU PLTP menyebutkan bahwa luas maksimum tersebut pada ayat (2) pasal ini tidak berlaku terhadap tanah pertanian yang dikuasai dengan Hak Guna Usaha atau hak-hak lainnya yang
bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari Pemerintah, yang dikuasai oleh badan-badan hukum.
Tidak tersedianya dasar yuridis maksimum kepemilikan atau pengusahaan tanah pertanian dengan HGU berpotensi penguasaan tanah pertanian oleh pemodal besar yang berarti mempersempit peluang akses petani tanpa tanah untuk memiliki tanah garapan.
Demikian juga dengan pembatasan terhadap tanah-tanah nonpertanian, dalam Pasal 12 UU PLTP menyebutkan mengenai perlunya pembatasan luas maksimum luas tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya, namun hingga kini Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan yang diamanatkan pasal tersebut belum diterbitkan.
Implementasi luas batas maksimum tanah pertanian juga terkendala sikap pasif BPN dalam melakukan pengawasan kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum. Hal ini salah satunya disebabkan ketentuan Pasal 3 UU PLTP meletakan kewajiban kepada pemilik atau penguasa tanah untuk melaporkan atas kelebihan dari batas maksimum tanah pertanian kepada Kepala Agraria daerah kabupaten/kota. Sedangkan tindak lanjut penyelesaian atas tanah kelebihan luas maksimum pengaturannya tidak diatur dalam UU PLTP tetapi didelegasikan kepada peraturan pemerintah dengan memperhatikan keinginan pihak yang memiliki kelebihan luas tanah maksimum (Pasal 5 UU PLTP).
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya, umumnya tidak terdapat laporan adanya kelebihan luas batas maksimum terhadap penguasaan tanah pertanian. Penguasaan terhadap tanah hanya dapat terdeteksi dari tanah-tanah yang terdaftar (bersertifikat) saja, atau peguasaan tanah pertanian yang terdaftar di BPN pada umumnya tidak ada yang melebihi batas maksimum. Dinyatakan lebih lanjut bahwa pelanggaran terhadap ketentuan batas maksimum tersebut umumnya dilakukan melalui modus tidak mendaftarkan tanah miliknya atau kelebihan luas tanah didaftarkan atas nama orang lain, sehingga kepemilikan batas maksimum tidak selalu dapat terdeteksi.20
Mekanisme penyelesaian kelebihan batas luas maksimum, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, jo Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang tahapannya meliputi penghitungan sisa tanah luas batas
20 Hasil wawancara dengan Kepala Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat dalam rangka Pemantauan
maksimum; penaksiran harga ganti kerugian sisa tanah oleh Panitia LandReform
Daerah; dan pemberian ganti kerugian terhadap sisa tanah kelebihan luas maksimum.
Lemahnya penegakan hokum terhadap kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimun juga disebabkan rendahnya nilai ganti kerugian yang diberikan pada pemegang hak, yaitu hanya dinilai seharga 3,5 juta Rupiah per hektar sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1992, yang semula 50.000 Rupiah dikonversi menjadi 3,5 juta Rupiah per hektar, sehingga Panitia Pertimbangan land reform tidak dapat bekerja maksimal, karena tingginya potensi gugatan perdata oleh pemegang hak yang memiliki kelebihan batas luas maksimum tanah pertanian. Disamping itu dengan dibubarkannya Pengadilan Land Reform (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964) berdasarkan Undang Nomor 69 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970, maka perlindungan terhadap kerja Panitia Land Reform dinilaikurangmemadaiyang berdampak Panitia Land Reform tidak dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal.
Selain itu ketentuan Pasal 4 UU PLTP terkait mengenai larangan untuk memindahkan hak milik atas seluruh atau sebagian tanah kelebihan (maksimum) kecuali dengan izin kepala agraria daerah kabupaten/kota, dalam pelaksanaannya tidak optimal karena adanya pendapat bahwa hak milik atas tanah merupakan hak keperdataan dan hak milik atas tanah merupakan hak yang sempurna sehingga pemegang hak memiliki kewenangan untuk memindahtangankan hak atas tanahnya.
Meskipun demikian berdasarkan data BPN, Land Reform dalam arti redistribusi tanah mulai dilaksanakan sekitar tahun 1961, namun setelah tahun 1965 kegiatan redistribusi tanah untuk pertanian tetap dilakukan tetapi tidak terlalu signifikan. Sampai dengan tahun 2000, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hektar tanah obyek Land Reform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar di seluruh Indonesia. Tahun 2007 Pemerintah mengeluarkan Program Pembaruan Agraria Nasional dengan target mendistribusikan tanah 8-9 juta lahan pemerintah kepada masyarakat dan tahun 2010 Pemerintah melakukan penertiban tanah terlantar yang jumlahnya mencapai lebih dari 7 juta hektar dan diperuntukan bagi kegiatan redistribusi tanah pertanian.
jo PP Nomor 224 Tahun 1961, redistribusi tanah diperuntukan bagi petani yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a) Berdomisili di daerah setempat atau setidak-tidaknya berbatasan dengan kecamatan dimana letak tanah itu berada (untuk menghindari terjadinya ketentuan tentang guntai);
b) Pekerjaan penerima redistribusi tanah wajib sebagai petani (benivecier/farmer); c) Tidak dalam keadaan mempunyai tanah melebihi batas maksimum (latifundia); d) Sedikit/kurang memiliki tanah (minifundia);
e) Sama sekali tidak memiliki tanah (landless/tunakisma)
IV. PENUTUP A. Kesimpulan
Land Reform di Indonesia didasarkan pada Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17 UUPA yang kemudian dijabarkan dalam UU PLTP. Berdasarkan UU PLTP
Land Reform penetapan batas minimum dan maksimum luas tanah pertanian serta redistribusi tanah baik dari tanah negara maupun tanah kelebihan luas maksimum yang telah diambil alih pemerintah melalui pemberian ganti kerugian. Pelaksanaan UU PLTP kurang efektif karena beberapa kendala seperti penetapan batas luas minimum tanah pertanian sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tanah, faktor ekonomi dan sosial budaya masyarakat pemegang hak atas tanah pertanian, serta keterbatasan kebijakan pendukung pengusahaan tanah pertanian. Sedangkan ketentuan batas luas maksimum tanah pertanian implementasinya terkendala antara lain oleh faktor yuridis formal sehingga berpotensi terjadinya penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan maksimum luas tanah pertanian dan kurangnya pengawasan dari Pemerintah.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Hukum UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1989.
Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 1994.
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2008.
S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor, 2008.
Suhariningsih, Tanah Terlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2009.
Supriadi, HukumAgraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
BPN-RI, “Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI”, Pemaparan Kepala BPN-RI pada pembukaan Rakernas, 2010.
“Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, BPN RI, 2007.
Surat Kabar
“Konferensi La Via Campesina: Konflik Agraria Dianggap Persoalan Paling Krusial”, Kompas,13 Juni 2013.
“Lahan Pertanian 100.000 Ha Lahan Beralih Fungsi”, Kompas, 13 Juni 2013.
Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
* Penulis adalah Peneliti Pertama Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pelayanan Data dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, e-mail: [email protected]
TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMANFAATAN RUANG DI BAWAH TANAH
Harris Y. P. Sibuea* Abstract
Utilization and use of land above ground level where the overload caused by the increasing urbanisation especially to big cities. Increasing urbanisation is not offset by the amount of land area on the surface of the earth is ultimately looking for underground space for use as a place of residence, business interests, public. Legal certainty over ownership of the land was legal basis, but the vacancy against setting use of underground space. Underground spaces such as in Kota and Blok-M is not only used as a bus-way arrival-departure terminal, but also utilized for the business activities of the society. Utilization of underground space is no agrarian areas regulations that govern it. The law must respond to the legal vacuum in which required a policy governing the use of the right underground space, to prevent conflicts in the future and where a legal certainty in the field of agrarian.
Kata Kunci: Hak guna ruang bawah tanah, kepastian hukum, dan kekosongan hukum.
A. Latar Belakang
Pemikiran atas lahirnya hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru sudah lama ada yang digagas oleh salah satu pakar hukum agraria Indonesia yaitu almarhum Boedi Harsono. Pemikiran beliau menurut penulis berdasarkan adanya dugaan di masa yang akan datang atau sekarang ini dipastikan pemanfaatan atau penggunaan bidang tanah akan semakin terbatas. Terbatasnya tanah tersebut dikarenakan arus urbanisasi terutama ke kota-kota besar yang memerlukan bertambahnya penyediaan tempat bermukim baik untuk kepentingan pribadi atau kepentingan bisnis. Pemikiran tersebut terbukti benar bahwa semakin sulitnya mencari bidang tanah untuk dimanfaatkan dengan status hak-hak atas tanah primer.
untuk penggunaan di wilayah perkotaan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai yang merupakan hak-hak atas tanah yang primer artinya yang diberikan langsung oleh Negara. Selain itu tersedia berbagai hak sekunder yang bisa diberikan oleh pihak yang memiliki tanah kepada pihak lain seperti hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan.1 Semua alas hak
tersebut baik yang primer maupun sekunder dilengkapi dengan sertipikat sebagai alat bukti kepemilikan bidang tanah yang terkuat dan terpenuh.
Hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan ruang di bawah tanahnya adalah terletak pada pintu keluar masuk antara permukaan bumi dengan ruang di bawah tanah. Apabila antara ruang di atas permukaan bumi dengan ruang dibawah tanah dimiliki oleh orang yang sama tidak menimbulkan masalah karena alas hak di bawah tanah mengikuti induknya yaitu alas hak di atas permukaan buminya. Masalah muncul ketika kepemilikan yang berbeda antara ruang di atas permukaan bumi dengan ruang dibawah tanah.
Bangunan-bangunan yang memerlukan ruang di dalam tubuh bumi yang secara fisik tidak ada kaitannya dengan bangunan yang berada di permukaan bumi di atasnya, misalnya bangunan untuk kegiatan usaha pertokoan, restoran, stasiun dan jalan kereta api bawah tanah dan lain-lain. Untuk masuk dan keluar ruang yang bersangkutan memang diperlukan penggunaan sebagian permukaan bumi untuk lokasi pintu. Tetapi karena bagian utama struktur bangunan berada di dalam tubuh bumi, isi kewenangan yang bersumber pada hak atas tanah sebagai yang ditetapkan dalam Pasal 4 UUPA tidak mungkin ditafsirkan juga keberadaan dan penguasaan bangunan-bangunan di bawah tanah.2
Konsepsi komunalistik religius dalam hukum tanah nasional tampaknya sekarang ini mulai tersingkirkan bahkan sudah tidak dapat diimplementasikan lagi. Komunalistik religius terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Artinya seluruh wilayah Indonesia adalah milik dari seluruh rakyat Indonesia. Setiap individu bangsa Indonesia sesungguhnya mempunyai hak untuk memperoleh tanah dan/atau manfaat dari tanah tersebut, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya demi pemenuhan kebutuhan akan keberlangsungan hidup dan kehidupannya sebagai suatu hak asasi manusia.
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya, Ed. Rev., Cet. 7, (Jakarta: Djambatan, 1997), Hal. 416.
Kondisi sulitnya mendapatkan atau menggunakan bidang permukaan bumi di daerah perkotaan menyebabkan masyarakat mulai mencari bidang-bidang tanah di bawah permukaan bumi. Sebagai contoh di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta terdapat kawasan ruang bawah tanah di Kota dan Blok-M, yang digunakan sebagai tempat bisnis sekaligus jalan keluar bagi penumpang kereta api dan bus way. Di Makassar terdapat bangunan di bawah Lapangan Karebosi yang digunakan untuk kepentingan usaha atau bisnis dimana menjadi salah satu pusat perbelanjaan di Makassar. Penguasaan tanah di bawah tanah tersebut belum diatur alas hak nya sehingga siapapun dapat memanfaatkannya baik menyewa dari instansi yang berkaitan maupun dengan cara yang ilegal yakni membayar uang sewa kepada oknum. Kondisi ini disebut kekosongan hukum dimana jika dibiarkan maka akan menimbulkan suatu konflik karena adanya ketidakpastian hukum atas kepemilikan suatu ruang di bawah tanah.
Tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal, antara lain:3
1. Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi;
2. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya;
3. Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi;
4. Tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan dan inovasi pembangunan yang dapat mengatasi perkembangan kebutuhan masyarakat tersebut, yaitu ruang di bawah permukaan bumi (ruang bawah tanah). Namun demikian, terobosan dan inovasi tersebut tentunya membutuhkan dukungan perangkat hukum agar dalam perwujudannya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, tentunya kita harus kembali pada landasan hukum pertanahan nasional yaitu UUPA.
Pemenuhan kebutuhan akan tanah tersebut diatur oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, bahwa “Atas dasar
3 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Ed. I, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika,
ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Kewenangan negara tersebut yang disebut hak menguasai negara atas tanah yang diartikan negara mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan hukumnya mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Negara harus merespon dengan kebijakan untuk mengakomodir kekosongan hukum yang terjadi berkaitan dengan alas hak bagi masyarakat yang memanfaatkan dan menggunakan ruang bawah tanah. Sehingga nantinya tidak akan muncul saling memiliki dan konflik antara masyarakat dalam hal kepemilikan ruang bawah tanah.
Berbagai permasalahan pemanfaatan ruang bawah tanah yang belum ada alas haknya serta penggunaan tanah atau permukaan bumi yang sudah ada alas haknya berdasarkan UUPA membuat penulis merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam tulisan ini. Tulisan ini menggunakan data kepustakaan berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak guna ruang bawah tanah kemudian dianalisis secara deskriptif analitis sehingga dapat digambarkan secara jelas mengenai permasalahan terhadap hak guna ruang bawah tanah yang tidak digunakan sebagai hak kepemilikan ruang di bawah permukaan bumi di bidang agraria.
B. Perumusan Masalah
Penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan pemanfaatan ruang di bawah tanah yang tidak diakomodir jenis alas haknya di dalam bidang agraria dengan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah?
2. Bagaimana substansi pengaturannya terkait pemanfaatan ruang di bawah tanah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan utama yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. mengetahui urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan
pemanfaatan ruang di bawah tanah;
D. Kerangka Teori
Nonet dan Selznick dengan teori hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi aspirasi sosial, menyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sosiological jurisprudence. Bahkan menurut Nonet dan Selznick, hukum responsif merupakan progam dari sosiological jurisprudence
dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut, pada initinya menyerukan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum.4
Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.5
Hukum responsif itu melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan
looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua doktrin utama. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.6
Kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan: (1). Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum; (2). Peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan; (3). Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat; (4). Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan; (5). Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan; (6). Moralitas kerja sama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum; (7). Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat; (8). Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum; (9). Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial.7
4 Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. ke - III,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), Hal. 205.
Pendek kata, bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.8
Hukum responsif menurut Nonet dan Seznick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang. Jadi, teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan dan perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet dan Seznick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial.9
Teori hukum responsif di atas dilengkapi dengan asas yang melandasi kepemilikan atas tanah sebagai landasan pemikiran serta untuk menganalisis hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan ruang di bawah tanahnya. Asas tersebut yaitu asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dengan bangunan baik yang terdapat di atasnya maupun di bawahnya. Terdapat 2 (dua) asas yaitu asas perlekatan dan asas pemisahan. Asas perlekatan horizontal sebagaimana diatur dalam Pasal 588 KUHPerdata menyatakan bahwa segala apa yang melekat pada suatu barang, atau yang merupakan sebuah tubuh dengan barang itu, adalah milik orang yang menurut ketentuan-ketentuan tercantum dalam pasal-pasal berikut dianggap sebagai pemiliknya. Asas perlekatan vertikal sebagaimana diatur Pasal 571 KUHPerdata menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu. Sedangkan asas pemisahan horizontal adalah hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.10
E. Pembahasan
1. Urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini diakomodir di dalam Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa:
1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. 4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada Daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah
Kemudian selanjutnya Pasal 4 UUPA menyatakan bahwa:
1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 UUPA serta Pasal 4 tersebut tersebut jelas hanya mengatur mengenai alas hak atas tanah di atas permukaan bumi saja yaitu bumi, air dan ruang angkasa baik dari peruntukannya, hubungan hukum maupun perbuatan hukumnya. Padahal sekarang ini sudah banyak tersedia ruang di bawah tanah yang sudah berfungsi untuk kepentingan bisnis tanpa adanya bukti kepemilikan atas kepemilikan ruang di bawah tanah itu. Hukum harus responsif terhadap permasalahan ini melalui kebijakan legislasi yang mengatur alas hak bagi kepemilikan ruang di bawah tanah.
Dapat dikaji dari 9 ciri-ciri hukum responsif Nonet dan Selznick yang telah digambarkan pada kerangka teori dapat diambil 4 ciri yang berkaitan langsung dengan apa yang harus dilakukan terhadap kebijakan pemanfaatan ruang di bawah tanah di Indonesia khususnya di kota-kota besar yaitu: peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan; pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat; kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat; akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial.
Pertama, peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan. Dapat dilihat kajian dari hubungan antara Pasal 33 UUD 1945, Pasal 2 UUPA serta Pasal 4 UUPA yang menjelaskan bahwa Negara hanya membuat peraturan yang mengatur mengenai pemanfaatan dan penggunaan tanah di permukaan bumi saja. Peraturan yang menjadi landasan hukum untuk kepemilikan ruang bawah tanah belum diatur secara nasional. Sertifikat atas ruang bawah tanah merupakan bukti kepemilikan yang kuat dan penuh dalam arti sudah jelas secara hukum kepemilikan atas ruang bawah tanah tersebut.
Adapun diambil contoh Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 yang mengatur tentang syarat teknis penggunaan ruang di bawah tanah namun tidak ada induk peraturan perundang-undangan yang mengatur alas hak pemanfaatan ruang di bawah tanah yang digunakan sebagai bukti kepemilikan ruang di bawah tanah. Pasal 198 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, menyatakan bahwa:
a. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;
b. tidak menggangu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawah tanah;
c. memenuhi persyaratan kesehatan sesuai fungsi bangunan gedung; d. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan
bagi pengguna bangunan gedung;
e. mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
2) Pemanfaatan ruang di bawah dan/atau di atas air mengikuti arahan:
a. Tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan fungsi lindung kawasan; b. Tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan; c. Tidak menimbulkan pencemaran; dan
d. Telah mempertimbangkan faktor keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan kemudahan bagi pengguna bangunan gedung.
3) Pemanfaatan ruang di atas prasarana dan/atau sarana umum mengikuti arahan:
a. Tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawahnya dan/atau di sekitarnya;
b. Tetap memperhatikan keserasian bangunan gedung terhadap lingkungannya; dan
c. Memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan sesuai fungsi gedung. 4) Pembangunan ruang bawah tanah untuk kepentingan perorangan dan
umum mempunyai batasan kedalaman tertentu sesuai dengan fungsi yang akan dikembangkan dan akan diatur dengan peraturan sendiri
5) Ketentuan lebih lanjut tentang pembangunan dan pemanfaatan ruang di atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau prasarana dan sarana umum ditetapkan oleh Gubernur.
Kedua, pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat. Tujuan diakomodirnya kebijakan atas hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru adalah demi kepastian hukum atas kepemilikan ruang-ruang di bawah tanah yang selama ini sudah berjalan, seperti ruang-ruang bawah tanah di Kota dan Blok-M. akibat dari adanya kebijakan tersebut maka sedikitnya sudah ada payung hukum atas kepemilikan ruang di bawah tanah, sehingga suatu ketika baik instansi maupun masyarakat yang menggunakan dan memanfaatkan ruang bawah tanah sudah jelas ada landasan hukumnya.