• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengeringan Status Tanah Pertanian Sawah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengeringan Status Tanah Pertanian Sawah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MANDIRI HUKUM AGRARIA

IZIN PENGERINGAN

(IZIN PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH)

DISUSUN OLEH :

NAMA : SUNARWATY PUTRI SARI PANGGABEAN

NPM : 130710019

DOSEN PENGAMPU : AGUS RISWANTO. S.H.,M.Kn

Universitas Putera Batam

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi bangsa Indonesia, pembangunan tidak bisa dilepaskan dari tanah. Tanah merupakan bagian penting dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dalam rangka mewujudka tujuan nasional yang memiliki nilai strategis karena arti khusus dari tanah sebagai Faktor produksi utama

perekonomian bangsa dan Negara.1

Tanah memiliki keterbatasan-keterbatasan baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas, dilain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan pembangunan pada dasarnya memerlukan tanah yang sangat besar untuk pelaksanaannya. Oleh karena tanah sangat terbatas maka kadang kala pembangunan yang dilaksanakan tidak mengacu pada pola peggunaan tanah yang baik sehinga justru mengakibatkan tanah tidak bisa memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Untuk itu agar tidak terjadi penggunaan tanah yang tidak baik yang berakibat semakin sedikitnya jumlah lahan subur maka perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan agar dapat diajadikan acuan bagi semua pihak yang memerlukan tanah.2

Negara Indonesia menganggap tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting maka pegaturan dan pengelolaannya harus dilakukan oleh lembaga Negara yang berwenang dibidang tersebut.kewenangan pengaturan dan penegakan hukum (Law inforcement) dibidang pertanaha ada ditangan pemerintah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3):

“Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maka bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat termasuk dalam perencanaan penataan ruang.3

Di beberapa wilayah di Pulau Jawa masih terdapat tanah-tanah kosong yang strategis dan berpotensi untuk di keringkan, dan di ubah menjadi tempat usaha perindustrian dan tempat pemukiman.

Konversi lahan atau berubahnya fungsi lahan sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya, sangat banyak terjadi

1 Soni Harsono, 1991, Fungsi dan Nilai Tanah, BPN, Jakarta.

(3)

di Pulau Jawa, Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman.

Perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian memang menjadi sebuh fenomena di masyarakat dengan lajunya pembangunan di segala bidang kehidupan.4

Perubahan fungsi tanah dari yang seharusnya merupakan fungsi lahan pertanian menjadi lahan industry dan pemukiman adalah sesuatu yang patut mendapatkan perhatian, karena keadaan ini

memberi pengaruh yang besar terhadap kehidupan dan lingkungan.

(4)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka, rumusan masalah yang didapat adalah sebagai berikut: 1. Faktor penyebab perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian

(5)

BAB II

LANDASAN TEORI

Berkaitan dengan kegiatan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian telah diatur didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Sebagai dasar pengaturannya ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA yang selanjutnya disingkat dengan UUPA menyatakan bahwa:

1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, Bumi, Air dan Ruang Angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2) Hak menguasai Negara termasuk dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.5

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk mengatur hubungan orang dengan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan tanah pertanian yang subur kepenggunaan non pertanian.

Ketentuan lebih lanjut dari Pasal 2 UUPA dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 UUPA dimana ditentukan ada kewajiban bagi setiap pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan secara aktif, menambah kesuburan tanah serta mencegah terjadinya kerusakan tanah. Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 2 UUPA dituangkan juga dalam ketentuan Pasal 14 UUPA dan Pasal 15 UUPA. Dalam pasal 14 UUPA ditegaskan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta yang sejalan dengan itu. Sedangkan Pasal 15 menentukan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah.

(6)

Berdasarkan ketentuan Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA maka kegiatan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip penatagunaan tanah serta prinsip pemeliharaan kesuburan tanah. Dengan kata lain perubahan penggunaan tanah merupakan tindakan perusakan terhadap sumber daya alam yang berupa tanah pertanian subur.

Ketentuan lebih lanjut terkait dengan perubahan penggunaan tanah diatur dalam Instruksi Presiden RI No. 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi, Surat Menteri Negara Agraria/KBPN No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, Surat Menteri Negara Agraria/KBPN No.: 460-1594 tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Beririgasi Teknis Menjadi Tanah Kering, Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No.: 5334/MK/9/1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian, Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No.: 5335/MK/9/1994 tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Dati II, Surat Menteri Negara Agraria/KBPN No. 410-1891 Tahun 1994 tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian Melalui Penyusunan Rencana Tata Ruang, serta Surat Menteri Negara Agraria/KBPN tanggal 15 Juni 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian.

Secara garis besar ketentuan tersebut berisi pengaturan tentang penggunaan tanah pertanian yang beririgasi teknis untuk kegiatan non pertanian. Pada prinsipnya tidak diperkenankan

mempergunakan lahan pertanian yang beririgasi teknis untuk kegiatan diluar pertanian dan ini selaras dengan prinsip-prinsip penatagunaan tanah yang diatur dalam UUPA. Di samping ditujukan dalam rangka memelihara kelestarian sumber daya tanah subur ketentuan tersebuat juga ditujukan untuk melestarikan sumber daya air melalui pengelolaan dan pemeliharaan jaringan irigasi yang baik. Selain itu juga diatur masalah perizinan yang berkaitan dengan perubahan penggunaan tanah dimana izin untuk melakukan perubahan penggunaan tanah juga didasarkan pada aspek-aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah.

Senada dengan itu juga tidak diperkenankan penyusunan dan atau revisi Rencana Tata Ruang Wilayah memasukkan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian dan merubah

(7)

Tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan yang mengatur perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: Btu.11/380/II/1977 dikeluarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman No. 170/KDH/1987 tanggal 5 Oktober 1987 tentang Pembentukan Tim Peneliti Permohonan Izin Perubahan Penggunaan Tanah. Kemudian

berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: Btu.11/380/II/1977 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11107/SJ dikeluarkanlah Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman No. 37/Kep.KDH/1989 tentang Biaya Permohonan Izin Perubahan Penggunaan Tanah. Perubahan

penggunaan tanah yang diatur dengan SK Bupati tersebut didukung pula dengan Perda Kabupaten Sleman No. 23 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman dimana Perda inilah yang dijadikan acuan atau dasar pedoman penatagunaan tanah di Kabupaten Sleman.

Pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pengaturan peruntukan penggunaan tanah No. 19 Tahun 2001 tentang Izin Peruntukan Penggunaan Tanah. Perda ini kemudian disusul dengan Keputusan Bupati Sleman No.

04/KRP.KDH/2002 tanggal 28 Januari 2002 tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah. Pemberian izin perubahan penggunaan tanah berdasarkan Perda Sleman No. 19 Tahun 2001 tentang Izin Peruntukan Penggunaan Tanah diberikan dengan mempertimbangkan beberapa aspek diantaranya aspek rencana tata ruang, tanah yang dimohon tidak termasuk tanah pertanian subur/sawah irigasi teknis, serta setiap perubahan peruntukan tanah harus memperhatikan fungsi tanah dan daya dukung lingkungan disekitarnya.

Pertimbangan dikeluarkannya Perda No. 19 Tahun 2001 ini dirasakan perlu adanya pengarahan dan pengendalian terhadap penggunaan tanah agar peruntukannya sesuai dengan tata ruang wilayah mengingat semakin terbukanya peran swasta dan masyarakat dalam peran pembangunan. Perda ini juga mengatur mengenai pemberian sanksi terhadap pelanggaran prinsip RTRW dengan ancaman pidana kurungan maupun denda.

Perubahan penggunaan lahan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ana Pratami pada 1997 untuk penulisan Skripsi yang berjudul “Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Menjadi Tanah Non Pertanian Untuk Rumah Tinggal dalam Kaitannya dengan Penataan Ruang di Kabupaten Dati II Sleman” disebabkan karena pertumbuhan penduduk, perkembangan kota, serta pembangunan sarana transportasi. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan perumahan semakin meningkat seiring dengan itu meningkat pula kebutuhan tanah sebagai wahana pembangunan perumahan, disamping itu perkembangan kota yang mengarah ke pinggiran kota

(8)

serta dengan dengan berkembangnya sarana transportasi berupa pembangunan jalan yang dapat memudahkan melakukan mobilitas maka banyak bermunculan rumah-rumah ditepi jalan atau disepanjang jalan.6

Berdasarkan penelitian serupa yang dilakukan oleh Alfred P. Tahun 1995 diperoleh data bahwa Faktor yang menjadi pendorong perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian adalah pertumbuhan jumlah penduduk, urbanisasi tenaga kerja, pertumbuhan industry, rencana tata ruang yang mengakomodasi strategi pekembangan metropolitan serta belum adanya rencana tata ruang yang berkekuatan hukum baik ditingkat kabupaten maupun kecamatan. Didalam penelitian itu juga telah dilakukan upaya pengendalian perubahan penggunaan tanah yang dilakukan melalui jalur penataan ruang yang meliputi pemberian perizinan (yang berupa izin lokasi pembangunan, izin mendirikan bangunan, serta izin penggunaan bangunan), pengawasan perizinan, dan penertiban perizinan dan jalur penatagunaan tanah yang meliputi pemantauan penggunaan tanah, pemberian pertimbangan aspek tata guna tanah serta pemberian rekomendasi penggunaan tanah bagi penyediaan tanah untuk pembangunan.7

Faktor penyebab perubahan penggunaan tanah yang diakibatkan oleh perkembangan industry juga disadari oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri yang menyatakan bahwa kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa ditengah gemerlap sejumlah industry manufaktur yang sangat dimanjakan

pemerintah dengan proteksi berlebihan pada industry manufaktur hulu, mengakibatkan sector pertanian kehilangan vitalitas dalam pembangunan nasional.8

6 Ana Pratami, 1997, Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Menjadi Tanah Non Pertanian Untuk Rumah Tinggal Dalam Kaitannnya Dengan Penataan Ruang di Kabupaten II Sleman, Depdikbud, fakultas hukum UGM, Yogyakarta, Hal. 78-79

7 Alfred P., 1995, Tinjauan Terhadap Pengendalian Penggunaan Tanah Pertanian Menjadi Tanah Non Pertanian di Kabupaten Bandung, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

(9)

BAB III

IZIN PENGERINGAN

(IZIN PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH)

Sejalan dengan perencanaan tata ruang dan penatagunaan tanah dalam TAP.MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2003 disebutkan bahwa kebijaksanaan pemerintah menerapkan konsep pembangun berkelanjutan dengan pengendalian pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam. Terkait dengan persoalan alih fungsi lahan kebijaksanaan tersebut diwujudkan dalam bentuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang

berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang. Disamping itu juga meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan

melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.9

A. Faktor penyebab perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian

Mengenai penyebab perubahan penggunaan tanah lahan berbagai pendapat yang diambil dari literature menjelaskan hal tersebut. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa tantangan permasalahan yang timbul dalam pembangunan dipengaruhi oleh 4 faktor pokok yaitu: perkembangan dan

permasalahan penduduk dalam masyarakat, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam

lingkungan, perkembangan dan perubahan teknologi maupun kebudayaan, serta perkembangan ruang lingkup Internasional.10 Faktor-faktor inilah yang bisa menyebabkan adanya kegiatan alih fungsi lahan.

Pendapat lain mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat pesat akan semakin menambah tekanan penduduk pada pola penggunaan tanah di daerah pedesaan dan semakin menyempitnya luas pemilikan tanah. Sebagian penduduk pedesaaan yang masih bergerak dibidang pertanian sangat merasakan tekanan tersebut karena pertanian merupakan tulang punggung bagi petani.11

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Agus Salim dan kawan-kawannya yang

mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk, perkembangan kegiatan usaha, dan sosial budaya

9 Lebih lanjut lihat ketentuan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2003 serta UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) Tahun 2000-2004

10 Koesnadi Hardjasoemantri, 1996, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VI, Cetakan ke 12, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Hal. 44-47

(10)

termasuk pembangunan berkaitan juga dengan tuntutan masyarakat akan fasilitas pelayanan yang semakin berkembang, semua memerlukan ruang untuk menyelenggarakan tuntutan tersebut.12

Menurut Nasution dan Rustiadi bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu besarnya tingkat urbanisasi akibat lambannya proses pembangunan di wilayah pedesaan, meningkatnya jumlah anggota kelompok golongan pendapatan menengah dan atas di wilayah perkotaan yang

mengakibatkan bertambah besarnya permintaan sarana pemukiman, serta terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian Indonesia yang terutama dicirikan oleh cepatnya pertumbuhan sektor industri yang pada gilirannya akan mendesak kegiatan pertanian dan lahan sawah.13

Perubahan penggunaan tanah pertanian itu tidak terbatas untuk perumahan saja tetapi untuk kegiatan lain diluar pertanian. Pemekaran daerah industry, penambahan jaringan jalan dan berbagai prasarana lain sebagai tuntutan pembangunan ikut menentukan dalam pengurangan areal pertanian.14

Dengan demikian disatu pihak perkembangan kota menuju kedaerah-daerah pinggiran dan pedesaan terpaksa sering mengorbankan tanah pertanian, sedangkan dilain pihak tanah pertanian yang subur harus dipertahankan.

Faktor lain yang dapat diidentifikasikan ikut berpengaruh terhadap adanya perubahan

penggunaan tanah adalah bidang nafkah atau mata pencaharian penduduk dari bidang tertentu kebidang lain tersebut juga dianggap sebagai pendorong adanya perubahan pengunaan tanah.15

Berbagai pendapat tentang faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian menurut Maria Sumardjono, sampai saat ini kelihatannya jumlah penduduk masih merupakan faktor yang menonjol dalam perubahan penggunaan lahan.16

Berbagai faktor dapat menjadi pendorong perubahan fungsi lahan tetapi dilain sisi pelestarian tanah pertanian subur perlu juga mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh karena tanah sawah merupakan media utama produksi padi dan permintaan beras masih terus meningkat, merupakan ekosistem sawah relative steril, serta biaya investasi fisik untuk pencetakan sawah dan pegembangan system sawah sangat mahal.17

12 Agus Salim, Dambung Lamuara Djaja, Farida Asni, 1989, Pengelolaan Konversi Lahan Pertanian ke Lahan Bukan Pertanian di Pinggiran Kota, Karya Tulis Ilmiah dalam rangka Lomba Karya Ilmiah bidang Ilmu Pengetahuan Alam, Fak Geografi, UGM, Yogyakarta, Hal. 15.

13 Lutfi I Nasution dan Ernan Rustiadi, 1990, Masalah Konservasi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah Fokus Jawa Bali, Makalah PAU Studi Sosial UGM, Hal. 3-4. 14 Maria Sri Wulani Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara regulasi dan implementasi, Kompas, Jakarta, hal. 7

15 Maria Sri Wulani Sumardjono, Op Cit. Hal.4 16 Maria Sri Wulani Sumardjono, Op Cit. Hal.7

17 Lutfi I. Nasution, 1991, Beberapa Masalah Pertanian Nasional Dan Alternatif

(11)

Disamping itu menurut Maria S Sumardjono, penggunaan lahan sawah sangat strategis artinya dalam pembangunan Indonesia dan pemiliknya mempunyai implikasi kultur politik yang luas.18

Terkait dengan persoalan alih fungsi lahan, kepala BPN Lutfi I. Nasution dalam kompas edisi 13 Juni 2003 menyatakan begitu pentingnya melestarikan lahan pertanian tidak hanya untuk

kepentingan ketahanan pangan saja tetapi juga untuk pelestarian lingkungan. Lahan sawah adalah lahan yang paling stabil dibandingkan dengan lahan untuk peuntukan lain. Pencucian tanah yang terjadi sangat rendah, begitu pula tingkat erosinya. Hal ini didukung oleh data bahwa konversi lahan pertanian untuk kepentingan lain dalam 10 tahun terakhir mencapai 40.000 Ha pertahun. Sepanjang tahun 1983-1993 terdapat sekitar 935.000 Ha lahan pertanian yang hilang. Kalau dikonversi Satu hektar sawah irigasi teknis dijawa maka harus dibangun Tiga hektar tanah irigasi teknis diluar jawa dengan waktu empat atau lima tahun untuk bisa menjadi sawah baru.19

Berbagai pendapat tersebut diatas menggambarkan bahwa perubahan penggunaan tanah

merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan merupakan permasalah yang kompleks bukan saja masalah hukum tetapi juga masalah-masalah lain seperti ekonomi, kependudukan, tuntutan

pembangunan.

Secara formal yuridis, perubahan penggunaan tanah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi karena pengaruh tekanan ekonomi dan politik kebijakan menjadi perubahan di dalam prakteknya. Secara ekonomis perubahan lahan ini memberikan kontribusi kepada kas PEMDA serta mampu menyerap tenaga kerja.20 Untuk itu pemerintah harus mulai menggalakka

perkembangan sector industry keluar pulau jawa, kalau tidak ingin lahan irigasi dijawa yang dikenal cukup subur habis dilalap perkembangan sector non pertanian. Akan tetapi pembukaan lahan baru diluar jawa memakan biaya tiga kali lipat dan waktu serta kesiapan petani penggarap untuk berfungsi secara optimal.21

Menurut Menteri Pemukiman dan Prasarana wilayah DR.IR.Soenarno Dipl HE dalam seminar “Menggagas penerapan teknologi sipil yang berbasis kerakyatan, kontekstual dan ekologis” di

auditorium MM UGM tanggal 8 September 2003, bahwa rumah susun (Rusun) bisaq menjadi

alternative untuk mengurangi alih fungsi lahan. Kabupaten atau kota harus menjadikan pembangunan Vertikal sebagai kebijakannya termasuk Yogyakarta. Hal ini didukung fakta bahwa kondisi lahan

18 Maria Sri Wulani Sumardjono, 1993, Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian menjadi Lahan Non Pertanian Di Provinsi DIY Tahun 1983-1987, Mimbar Hukum, No.17/VI/93, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Hal.3

19 Kompas, 2003, Ely, Pertahankan Lahan Pertanian Pantura, Edisi Jum’at 13 Juni 2003, Hal.15, Kolom 4-7

20 Ali Sofyan Husein, 1997, konflik Pertanahan, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hal.58

(12)

pertanian di Indonesia sudah memprihatinkan. Pertahun sekitar 10-20 ribu hektar lahan telah beralih fungsi menjadi perumahan dan perindustrian.22

B. Kendala-kendala yang dialami dalam perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Setidaknya ada 10 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah ini (Tabel 1).

Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003).

Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah

berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Yang kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah dan/atau akan merubah tanah

(13)

pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian.

C. Dampak yang ditimbulkan oleh perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian Meskipun alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian membuka lapangan kerja baru di sektor non pertanian seperti konstruksi, industri dan perdagangan akan tetapi juga menimbulkan dampak negative.

Menurut Firman (2005) dalam Widjianarko (2006) bahwa alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung. Hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan merupakan dampak langsung sedangkan untuk dampak tidak langsung dapat berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.

Furi (2007) menjelaskan bahwa perubahan dalam pengusaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor informal).

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pemilik lahan mengubah lahan pertaniannya karena alasan ekonomi. Selain karena adanya kebutuhan yang mendesak, pemilik lahan menjual lahan pertanianya karena mendapat tawaran dari masyarakat pendatang dan tergiur oleh harga jual lahan yang tinggi.

(14)
(15)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tanah memiliki keterbatasan-keterbatasan baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas, dilain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan pembangunan pada dasarnya memerlukan tanah yang sangat besar untuk pelaksanaannya. Oleh karena tanah sangat terbatas maka kadang kala pembangunan yang dilaksanakan tidak mengacu pada pola peggunaan tanah yang baik sehinga justru mengakibatkan tanah tidak bisa memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.

Negara Indonesia menganggap tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting maka pegaturan dan pengelolaannya harus dilakukan oleh lembaga Negara yang berwenang dibidang tersebut. Kewenangan pengaturan dan penegakan hukum (Law inforcement) dibidang pertanahan ada ditangan pemerintah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3):

“Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maka bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat termasuk dalam perencanaan penataan ruang.23

Perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian memang menjadi sebuh fenomena di masyarakat dengan lajunya pembangunan di segala bidang kehidupan.

Berkaitan dengan kegiatan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian telah diatur didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Sebagai dasar pengaturannya ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk mengatur hubungan orang dengan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan tanah pertanian yang subur kepenggunaan non pertanian.

Ketentuan lebih lanjut dari Pasal 2 UUPA dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 UUPA dimana ditentukan ada kewajiban bagi setiap pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan secara aktif, menambah kesuburan tanah serta mencegah terjadinya kerusakan tanah. Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 2 UUPA dituangkan juga dalam ketentuan Pasal 14 UUPA dan Pasal 15 UUPA.

(16)

Berdasarkan ketentuan Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA maka kegiatan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip penatagunaan tanah serta prinsip pemeliharaan kesuburan tanah. Dengan kata lain perubahan penggunaan tanah merupakan tindakan perusakan terhadap sumber daya alam yang berupa tanah pertanian subur.

Faktor penyebab perubahan penggunaan tanah yang diakibatkan oleh perkembangan industry juga disadari oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri yang menyatakan bahwa kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa ditengah gemerlap sejumlah industry manufaktur yang sangat dimanjakan pemerintah dengan proteksi berlebihan pada industry manufaktur hulu, mengakibatkan sector pertanian kehilangan vitalitas dalam pembangunan nasional.

Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa tantangan permasalahan yang timbul dalam pembangunan dipengaruhi oleh 4 faktor pokok yaitu: perkembangan dan permasalahan penduduk dalam masyarakat, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam lingkungan, perkembangan dan perubahan teknologi maupun kebudayaan, serta perkembangan ruang lingkup Internasional. Faktor-faktor inilah yang bisa menyebabkan adanya kegiatan alih fungsi lahan.

Pendapat lain mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat pesat akan semakin menambah tekanan penduduk pada pola penggunaan tanah di daerah pedesaan dan semakin menyempitnya luas pemilikan tanah. Sebagian penduduk pedesaaan yang masih bergerak dibidang pertanian sangat merasakan tekanan tersebut karena pertanian merupakan tulang punggung bagi petani.

Faktor lain yang dapat diidentifikasikan ikut berpengaruh terhadap adanya perubahan penggunaan tanah adalah bidang nafkah atau mata pencaharian penduduk dari bidang tertentu kebidang lain tersebut juga dianggap sebagai pendorong adanya perubahan pengunaan tanah.

Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat.

(17)

Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah

berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Yang kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah dan/atau akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian.

Furi (2007) menjelaskan bahwa perubahan dalam pengusaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor informal).

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pemilik lahan mengubah lahan pertaniannya karena alasan ekonomi. Selain karena adanya kebutuhan yang mendesak, pemilik lahan menjual lahan pertanianya karena mendapat tawaran dari masyarakat pendatang dan tergiur oleh harga jual lahan yang tinggi.

Dampak yang ditimbulkan akibat adanya perubahan penggunaan tanah pertanian adalah dampak negatif bagi lahan pertanian karena mengalami penyusutan lahan, tidak jarang sebagian besar pemilik lahan menjual tanah pertaniannya untuk diubah menjadi lahan non pertanian demi memenuhi tututan hidup seperti biaya pendidikan putra-putri mereka, hal ini bisa saja menimbulkan dampak positif bagi kondisi sosial ekonomi petani. Dilihat dari segi pendidikannya, pendidikan putra-putri mereka mengalami peningkatan dibandingkan orang tua mereka, dilihat dari kondisi tempat tinggal yang tergolong rata-rata baik dan meratanya anggota keluarga mereka.

(18)

Seperti halnya pepatah yang mengatakan “Tiada Gading yang Tak Retak” maka seperti itu pulalah adanya makalah ini. Masih terdapat banyak kekurangan disetiap bagiannya

dikarenakan keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki.

Referensi

Dokumen terkait

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PEMETAAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN SAWAH MENJADI NON-SAWAH DI KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 – 2018. Skripsi Program

Fosfat tersedia tanah pada lahan dengan penggunaan berbeda berkriteria rendah hingga sangat tinggi, dimana terjadi perubahan akibat alihfungsi lahan sawah tersebut

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari tingkat kepadatan populasi dan sebaran cacing tanah sebagai indikator hayati tingkat kesuburan tanah pada lahan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hara, tekstur, dan produksi lahan sawah terasering pada 3 ordo tanah (Inceptisol, Ultisol dan Entisol) di Kabupaten

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hara, tekstur, dan produksi lahan sawah terasering pada 3 ordo tanah (Inceptisol, Ultisol dan Entisol) di Kabupaten

Gambar 3 menunjukkan perubahan penggunaan lahan sawah terbesar terjadi di Kecamatan Singajaya, yaitu sebesar 19% dari jumlah perubahan penggunaan lahan sawah yang terjadi

50 Nisam sehingga mengalami penurunan produksi padi sawah baik tanah sawah tadah hujan maupun sawah irigasi diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu penggunaan pupuk anorganik secara

Hasil evaluasi status kesuburan tanah di lahan sawah yang beralih fungsi menjadi pemukiman yaitu sangat rendah hingga sedang, lahan sawah menjadi kandang ayam dan tegalan yaitu sedang,