MANUSIA DAN KELUARGA
FEBRI YANTI
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon
Email: [email protected]
Abstrak
Tuhan menciptakan berbagai macam makhluk hidup untuk mengisi bumi yang Ia ciptakan.
Salah satu contohnya manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan orang lain
untuk hidup di muka bumi ini. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Selalu membutuhkan bantuan
orang lain. Manusia dikenal sebagai makhluk yang berbudaya karena berfungsi sebagai pembentuk
kebudayaan, karena didorong oleh hasrat atau keinginan yang ada dalam diri manusia yaitu
menyatu dengan manusia lain yang berbeda disekelilingnya dan menyatu dengan suasana dalam
sekelilingnya.
Perkembangan dari kondisi ini menimbulkan kesatuan-kesatuan manusia,
kelompok-kelompok sosial yang berupa keluarga, dan masyarakat. Keluarga merupakan bagian terdekat dari
kehidupan seseorang. Keluarga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan
seseorang
A. Latar Belakang
Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah Swt. yang memiliki peranan penting
dalam kehidupan di muka bumi. Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang paling tinggi
derajatnya dibandingkan makhluk Allah Swt. bahkan Allah menyuruh para malaikat untuk
bersujud kepada Adam Alaihi salam. Masyarakat barat memiliki pandangan bahwa manusia
adalah makhluk yang memiliki jiwa dan raga serta dibekali dengan akal dan pikiran. Sejak disurga
Nabi Adam As. Telah membangun sebuah keluarga dengan istrinya.
1. Pengertian manusia
Dalam kamus bahasa Indonesia manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal, berbudi
adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk menguasa i
makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatanny.1 Dalam bahasa Arab kata ‘manusia’ ini
sepadan dengan kata nas, basyr, insan, ins dan lain-lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata
tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna spesifiknya. Kata nas misalnya lebih merujuk pada
makna manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata basyr lebih menunjuk pada makna
manusia sebagai makhluk biologis.2
Menurut Al-Arabi manusia adalah mikrokosmos, manusia adalah alam sahir dan alam
semesta adalah insan kabir. Jika pada mikrokosmos terdapat tiga tingkatan alam. Rohani, hayali,
jasmani, maka pada manusia ketiga alam ini diwakili oleh roh, nafs, dan jism (tubuh).3
Quraish syihab dalam wawasan al-Qur’an mengungkapkan pendapat Alexis Carrel tentang
kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa: “ sebenarnya manusia telah
mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita
memiliki perbendaharaan yang cukup banyakdari hasil para ilmuan, filosofi, sastrawan dan para
ahli bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui
beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui
hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi
lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh mereka yang mepelajari manusia kepada diri mereka hingga kini masih tetap tanpa
jawaban4
Berbicara dan berdiskusi tentang manusia memang menarik dan tidak pernah tuntas.
Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai.
Selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.5 Dalam pandangan Islam manusia adalah makhluk
yang mulia dan sempurna jika dibandingkan makhluk ciptaan lainnya, ini disebabkan manusia
diberi kelebihan berupa akal untuk berfikir, sehingga dengan akal tersebut bias membedakan mana
yang hak mana yang batil, selain dari itu manusia juga diberikan Allah berupa nafsu. Namun
1 Usman A. Hakim, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai pustaka 2001), hlm 212 2 Abdullah bin Nuh, Kamus Indonesia Arab, ( Jakarta: Mutiara,2008), hlm. 135 3 Jalaludin Rahmat, Insan Kamil Manusia Seimbang, (Jakarta: Lentera, 1993), hlm: 11
4Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’ I atas pelbagai persoalan Umat, (Bandung: Mizan,
Cet, VII, 1998), hlm. 277
5 Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami,
apabila mereka tidak bias memanfaatkan kelebihan tersebut dengan sebaik-baiknya, maka mereka
akan menjadi makhluk yang paling hina, bahkan lebih hina dari pada binatang.
a. Manusia dalam perspektif al- Qur’an
Manusia telah berupaya memahami dirinya selama beribu-ribu tahun, tetapi gambaran
yang pasti dan meyakinkan tentang dirinya, tidak mampu diperolehnya dengan menganda lka n
daya nalar semata. Oleh karena itu, mereka memiliki pengetahuan dari pihak lain yang dapat mengkaji dirinya secara utuh, yaitu mengarah kepada kitab suci (al-Qur’an). Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memberi gambaran konkrit tentang manusia. Al-Qur’an memberikan sebutan
manusia dalam tiga kata yaitu al-basyr, an-nas, al-ins atau al-insan, ketiga kata ini lazim diartikan
sebagai manusia. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan al-Qur’an itu sendiri,
ketiga kata tersebut satu sama lain beda maknanya
1) Kata Al-Basyar
Penamaan manusia dengan kata Al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 27 kali6 kata basyar secara etimologis berasal dari kata (ba’, syin, dan ra,) yang berarti sesuatu yang tampak baik dan indah, bergembira, menggembirakan, memperhatikan atau mengurus sesuatu. Menurut
M Quraish Shihab, kata basyar diambil dari akar kata yang pada umumnya berarti menampakkan
sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia
dikatakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lainnya.7
Kata basyar dapat juga diartikan sebagai makhluk biologis. Tegasnya memberi pengertian
kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, seksual dan lain-lain.8 Sebagaimana dalam
surat Yusuf ayat 31 yaitu:
6Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al–Qur’an al- k arem ( Qahirah; dar
al-Hadits, 1998) hlm. 153-154
7M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Cet.VII;Mizan,1998), hlm.279
8 Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed.
Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita
itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing
mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf ):
"Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya,
mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata:
"Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat
yang mulia."
ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang didukung Zulaikha dalam suatu
pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf As. Konteks ayat ini tidak memandang
Yusuf As. Dari segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada keperawakannya yang
tampan dan berpenampilan mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis. Pada ayat lain
disebutkan juga manusia dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada
ayat yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya
membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak:
Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku belum pernah
disentuh manusia (Basyar).”(QS. Ali-Imran: 47)
Maryam mengatakan demikian sebab dia tahu bahwa yang dapat menyentuh (hubunga n
seksual) itu manusia dalam arti makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan. Nalar Maryam tidak menerima, bagaiman mungkin dia punya
anak padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki. Manusia dalam pengertian basyar ini
26, surah al-Mu’minun ayat 24 dan 33, surah asy-syu’ara ayat 154, surat yasin ayat 15, dan surah
al-Isra’ ayat 93.9
2) Kata An-Nass
Kata An-Nass dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dalam 53 surah. Kata An-Nass
menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial, secara
keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya , atau suatu keterangan yang jelas
menunjuk kepada jenis keturunan nabi Adam.10
Kata An-Nass dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat
yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk mengembangkan kehidupannya. Penyebutan
manusia dengan kata An-Nass lebih menonjolkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang
tidak dapat hidup tanpa bantuan dan bersama-sama manusia lainnya.11 Sebagaimana dalam al-Qur’an Allah berfirman, tepatnya pada surah Al-Hujurat ayat 13:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. Al-Hujurat:13)
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki- laki
dan wanita ( Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya
9Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al–Qur’an al- k arem ( Qahirah; dar
al-Hadits, 1998) hlm. 155
10 M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Cet.VII;Mizan,1998), hlm.281
11Dawam Rahrjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan dan Prespektif al-Qur’an,
pengakuan terhadap spesies di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan
tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep
an-Nas.
Manusia dalamm pengertian An-Nas ini banyak juga dijelaskan dalam al-Qur’an, diantaranya dalam surah al-Maidah ayat 2. Ayat ini menjelskan bahwa penciptaan manusia
menjadi berbagai suku dan bangsa bertujuan untuk bergaul dan berhubungan antar sesamanya (ta’aruf). Kemudian surat al-Hujurat ayat 13, surah al-Maidah ayat 3, surah Al-asr ayat 3, dan surah ali-Imran ayat 112.12
3) Kata Al-Insan
Adapun penamaan manusia dengan kata Al-Insan yang berasal dari kata al-Uns, dinyatakan
dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat . secara etimologi, al-Insan dapat
diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.13 Menurut Jalaludin Rahmatmemb er i
penjabaran al-insan secara luas pada tiga kategori.
Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul
amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri
manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungnnya dengan proses penciptaan manusia. Kecuali
kategori ketiga, semua konyteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.14
Kata al-insan juga digunakan dalam al-qur’an untyuk menunjukkan proses kejadian manusia
sesudah dan kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna dalam al-Qur’an dalam surah An-Nahl ayat 78, yaitu:
12Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al–Qur’an al- k arem ( Qahirah; dar
al-Hadits, 1998) hlm. 157
13Ibid, 159
14Dawam Rahrjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan dan Prespektif al-Qur’an,
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
penggunaan kata al-insan dalam ayat ini mengandung dua makna15, yaitu: Pertama, makna proses
biologis, yaitu berasal dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada
proses pembuahan. Kedua, makna proses psikologi (pendekatan spiritual), yaitu preoses
ditiupkannya ruh-Nya pada diri manusia, berikut berbagai potensi yang dianugerahkan Allah
kepada manusia.
Makna pertama mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya merupakan dinamis yang berproses
dan tidak lepas dari pengaruh alam serta kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Makna kedua mengisyaratkan bahwa , ketika
manusia tidak bias melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berupaya untuk memenuhinya,
manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak melupakan tujuan akhirnya, yaitu kebutuhan immater i
(spiritual). Untuk itu manusia diperintahkan untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek
amaliahnya pada realitas ketundukan pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir. Sikap
yang demikian akan mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat kebaikan dan
ketundukan pada ajaran Tuhannya.16
B. Pengertian Keluarga
Secara etimologis, keluarga adalah orang-orang yang berada dalam seisi rumah yang
sekurang-kurangnya terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
15M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Cet.VII;Mizan,1998), hlm.284
16http://download.portalgaruda.org/article.php?article=422058&val=7520&tit le=Padangan%20A
keluarga diartikan dengan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Biasanya
terdiri dari ibu, bapak, dengan anak-anaknya atau orang yang seisi rumah yang menjadi tanggung
jawabnya.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak disebutkan
bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga dalam garis lurus keatas, atau ke
bawah sampai dengan derajat ketiga.
Moehammad Isa Soelaeman mendefinisikan keluarga sebagai suatu unit masyarakat kecil.
Maksudnya, keluarga merupakan suatu kesatuan atau unit yang terkumpul dan hidup bersama
untuk waktu yang relatif berlangsung terus, karena terikat oleh pernikahan dan hubungan darah.
Kehidupan berkeluarga itu mengandung fungsi untuk memenuhi dan menyalurkan kebutuhan
emosional para anggotanya, di samping juga memberikan kesempatan untuk penyosialisasian para
anggotanya, khususnya anak-anak. Keluarga sebagai suatu kelompok sosial tidak hidup
menyendiri, tetappi berada di tengah atau setidaknya bertautan dengan suatu kehidupan sosial
dengan budayanya.
W.A Gerungan berpandangan, keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam
kehidupan manusia. Di sanalah awal pembentukan dan perkembangan sosial manusia termasuk
pembentukan norma-norma sosial, interaksi sosial, frame of reference, sense of belongingness, dan
lainnya.
Senada dengan pendapat di atas, Cholil Mansur mengatakan, keluarga merupakan kesatuan
sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum dewasa. Keluarga merupakan
community primer yang paling penting dalam masyarakat. Community primer adalah suatu
kelompok dimana hubungan antara para anggotanya sangat erat dan pada umumnya mereka
memiliki tempat tinggal serta diikat oleh tali perkawinan.
Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), keluarga adalah sebuah organisai kecil yang didalamnya
ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Seorang ayah adalah keluarga yang bertugas sebagai
nahkoda dalam biduk rumah tangga. Dialah yang mengarahkan dan mengendalikan ke mana
Di dalam Al-Qur’an, kata keluarga dipresentasikan melalui kata ahl. Informasi yang
diberikan oleh Muhammad Fuad Abd Al-Baqy di dalam al-Qur’an kata ahl di ulang sebanyak
128 kali, dan sesuai dengan konteksnya, kata-kata tersebut tidak selamanya menunjukkan pada arti
keluarga sebagaimana disebutkan diatas, melainkan punya arti yang bermacam-macam. Pada surat
al-A’raf ayat 96 misalnya, kata ahl diartikan sebagai penduduk suatu negeri. Selanjutnya pada
surat al-Baqarah ayat 109, kata ahl berarti penganut suatu ajaran seperti Ahl al-Kitab. Selain itu,
surat An-Nisa’ ayat 58 mengartikan ahl sebagai orang yang berhak menerima sesuatu. Selebihnya,
kata ahl dalam Al-Qur’an ditujukan pada keluarga dalam arti kumpulan laki-laki dan perempuan
yang diikat oleh tali pernikahan dan didalamnya terdapatorang yang menjadi tanggungannya, seperti anak dan mertua. Pada ayat Al-Qur’an berikut ini dijelaskan pengertian keluarga tersebut:
“Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu …”(QS Hud [11]: 46).
Dari berbagai pendapat di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan tentang unsur pokok yang
terkandung dalam pengertian keluarga: (1) keluarga sering kali dimulai dengan perkawinan atau
dengan penetapan pertalian kekeluargaan; (2) keluarga berada dalam batas-batas persetujuan
masyarakat; (3) anggotra keluarga dipersatukan oleh pertalian perkawinan, darah, dan adopsi
sesuai dengan hukum dan adat istiadat yang berlaku; (4) anggota keluarga secara khas hidup secara
bersama pada satu tempat tinggal yang sama; (5) interaksi dalam keluarga berpola pada
norma-norma, peranan-peranan, dan posisi-posisi status yang ditetapkan oleh masyarakat; dan (6) dalam
keluarga terjadi proses reproduksi dan edukasi.
a. Peran keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak.
Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik
agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan factor yang kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi yang sehat. Keluarga juga dipandang sebagai institusi yang
dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembanga n
kebutuhan individu dari Maslow, maka keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, baik kebutuhan fisik-biologis maupun sosio-psikologinya.
Moehammad Isa Soelaeman mengemukakan, keluarga itu hendaknya berperan sebagai
pelindung dan pendidik anggota-anggota keluarganya, sebagai pemghubung mereka dengan
masyarakat, sebagai pencukup kebutuhan-kebutuhan ekonominya, sebagai pembina kehidupan
religiusnya, sebagai penyelenggara rekreasi keluarga dan pencipta suasana yang aman dan nyaman
bagi seluruh anggota keluarga dan khususnya bagi suami-istri sebagai tempat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan biologisnya.17
DAFTAR PUSTAKA
Hakim Usman A. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: balai pustaka 2001
Nuh Abdullah bin, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Mutiara,2008
Jalaludin Rahmat, Insan Kamil Manusia Seimbang, Jakarta: Lentera, 1993
Syihab M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’ I atas pelbagai persoalan Umat,
Bandung: Mizan, Cet, VII, 1998
Nawawi Rif’at Syauqi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami,
Yogyakarta: pustaka pelajar, 2000
‘Abdul Baqi Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al –Qur’an al- karem Qahirah; dar al-Hadits, 199
Nawawi Rif’at Syauqi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami,
Ed. Rendra, Yogyakarta: pustaka pelajar, 2000
Rahrjo Dawam, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan dan Prespektif al
-Qur’an,Yogyakarta: LPPI, 1999
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=422058&val=7520&title=Padangan%20Al-Quran%20Tentang%20Manusia
Syarbini Amirulloh, Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga, Studi Tentang Model Pendidikan