• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review Teori Struktural Fungsional Inter (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Review Teori Struktural Fungsional Inter (2)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Review

Teori Struktural Fungsional, Interaksionis Simbolis, dan

Pertukaran Sosial

oleh

Andreas Redi Kurniawan

13 / 347798 / SP / 25676

(2)

A. Pembukaan

Pada tugas yang diberikan untuk memenuhi mata kuliah Sejarah Pemikiran Sosiologi kali ini, penulis mendapatkan tugas untuk membuat review tiga teori yang kemudian menjadi bahasan pada mata kuliah di semester tiga ini. Ketiga teori itu adalah teori struktural fungsional, interaksionis simbolik, dan pertukaran sosial. Karakteristik yang berbeda di antara ketiga teori tersebut dapat memperkaya pemahaman penulis akan teori – teori yang ada di Sosiologi, dan sekaligus melatih pemahaman serta pemikiran kritis akan teori – teori yang ada. Berikut adalah review mengenai ketiga teori tersebut, dimulai dari teori struktural fungsional.

B. Struktural Fungsional

Pada bahasan kali ini, penulis akan mereview inti dari teori struktural fungsional.Menurut Ritzer, teori struktural fungsional, disebut pernah menjadi teori dominan pada ilmu Sosiologi. Namun, hal itu kini memudar seiring berjalanya waktu, dan muncul teori – teori yang lebih sesuai dengan keadaan saat ini. Meskipun begitu, teori ini tetap menarik untuk dipelajari karena merupakan salah satu basic dari teori – teori yang kemudian bermunculan.

Teori ini mempunyai beberapa tokoh besar di dalamnya, sebut saja Talcott Parsons, Robert K. Merton, Kinsley Davis, Wilbert Moore, dan beberapa tokoh lain. Teori ini pada intinya memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur – unsur sistem yang saling terkait dan bekerja sesuai dengan fungsinya masing – masing. Dengan begitu, setiap sistem yang ada memberikan sumbangan agar terjadi equilibrium ( keseimbangan ).

(3)

signifikan pada masyarakat, hal itu akan hilang, sementara segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetap eksis.

Untuk mempermudah analisa kita, penulis akan memberikan contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Era pemerintahan yang pernah terjadi di Indonesia yaitu orde baru, adalah bukti dari eksistensi teori struktural fungsional ini. Ketika pemerintahan orde baru berjalan, semua berjalan seperti sistem. Tentu kita ingat bagaimana pemerintah selalu meneriakkan jargon – jargon propaganda bahwa semua berjalan seperti seharusnya.

Itu adalah salah satu bukti dari adanya sistem yang berjalan di pemerintahan era orde baru. Dalam teori struktural fungsional, kerusakan pada sistem adalah sesuatu yang harus dihindari, karena begitu suatu elemen dalam sistem rusak, maka sistem itu akan berakhir. Hal inilah yang dikhawatirkan pemerintah juga. Maka dari itu, segala bentuk resistensi dari elemen masyarakat yang ada dalam sistem dipandang sebagai sebuah gangguan yang harus segera ditangani agar tidak merusak sistem yang ada.

Dalam teori Parson, muncul istilah yang kita sebut sebagai AGIL. AGIL merupakan singkatan dari elemen – elemen penting yang diperlukan agar sebuah sistem tetap eksis Elemen itu adalah Adaptation, Goal Attaintment, Integration, Latency. Keempat elemen itulah yang kemudian juga dapat kita lihat ada pada sistem pemerintahan era orde baru.

Pada Adaptation ( adaptasi ), sistem dituntut harus mampu mengatasi kebutuhan yang datang dari luar sistem itu. Ia harus mampu beradaptasi agar tidak kandas di tengah jalan. Adaptasi, dilakukan oleh pemerintah dengan cara represif. Semua bentuk resistensi yang muncul dari masyarakat, ditekan agar tidak sampai merubah sistem yang ada. Akibatnya, seperti kita ketahui muncul istilah seperti penembak misterius ( petrus ), tim mawar, dan penculikan aktivis. Mereka yang menjadi korban dipandang sebagai elemen yang dapat mengganggu dan menyebabkan hancurnya sistem pemerintahan orde baru.

(4)

ini memang tidak salah, namun dalam prakteknya terjadi penyimpangan dalam goal ini. Ini yang nanti akan kita bahas dalam kritik terhadap struktural fungsional.

Integration ( integrasi ) adalah fungsi yang mengatur hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Bisa dikatakan, integrasi adalah faktor yang menciptakan sinergi antara satu sub sistem dengan sub sistem lainnya. Fungsi ini juga bertugas mengatur hubungan antara fungsi Adapatation, Goal, dan Latency. Ketika fungsi ini gagal tercapai, maka tak dapat dihindari kerusakan sistem tersebut.

Latency, atau latensi bisa dipahami juga sebagai pemeliharaan pola. Sistem yang ada harus mampu menciptakan motivasi dan pola budaya yang kemudian tertanam pada diri setiap individu dalam sistem tersebut. Hal ini tampak juga pada pola orde baru, yang menginternalisasikan pada setiap individu bagaimana kekejaman G30S yang melakukan kudeta, dengan memutar film pemberontakan G30S setiap tahunnya. Selain itu, pelajaran kewarganegaraan dan Pancasila juga menjadi pelajaran yang wajib dilalui oleh setiap individu agar dapat diterima di dalam sistem. Hasil dari kedua hal di atas dapat dilihat dari output sistem orde baru yang menghasilkan individu – individu yang anti terhadap komunisme dan sangat radikal dalam memegang prinsip Pancasila serta nasionalisme.

Berdasarkan keempat analisa fungsi di atas, tampak bahwa orde baru mampu melakukan fungsi – fungsi yang diperlukan agar suatu sistem tetap dapat berjalan. Namun perlu menjadi perhatian juga, dalam pelaksaanaanya, sebuah sistem tetap diisi oleh individu – individu yang bersifat dinamis, bukan statis. Hal ini sekaligus merupakan kritik terhadap teori struktural fungsional.

(5)

Dalam prakteknya, menurut penulis hal – hal di atas merupakan hal yang bersifat teoritis, sehingga di lapangan seringkali hal yang terjadi tidak sama dengan ekspetasi. Misalnya, dalam pembagian peran yang kemudian menciptakan struktur dan kelas. Pada realitanya, pembagian peran dan posisi justru rawan menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan, pada masyarakat terdapat posisi dan peran yang diangggap sebagai posisi dan peran yang kurang penting. Sebagai contoh, dalam sistem pemerintahan orde baru, mereka yang mendapatkan peran sebagai buruh tani / buruh pabrik, dipandang sebagai sebuah peran yang mampu mendukung kemajuan sistem. Namun pada prakteknya, justru mereka sering mendapatkan diskriminasi karena posisi dan status sosial mereka dalam masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan teori sistem yang memandang apapun peran dan posisi yang diperoleh, memberikan sumbangan agar terjadinya equilibrium.

Dalam buku Ritzer, David dan Moore juga mengamini hal ini. Mereka mengatakan bahwa penempatan sosial secara tepat menjadi masalah tersendiri dalam sebuah masyarakat. Dalam buku The Sociological Theory, mereka mengatakan ada 3 unsur yang perlu diperhatikan dalam penempatan sosial; yaitu

1. Terdapat posisi yang lebih menyenangkan untuk ditempati ketimbang posisi – posisi lain

2. Terdapat posisi yang lebih penting demi mempertahankan kehidupan masyarkat daripada posisi – posisi lain

3. Perbedaaan sosial mensyaratkan adanya kemampuan dan bakat yang berlainan

Melihat ketiga hal di atas, tak dapat dipungkiri sebenarnya kelas dan struktur yang tercipta juga merupakan dominasi satu posisi atas posisi lainnya. Meskipun posisi dan peran dipandang sebagau satu hal yang saling mensupport satu sama lain, adanya perbedaan ini juga merupakan bukti bahwa sesungguhnya dalam teori struktural fungsional, dapat terjadi hegemoni dari kelompok atas terhadap kelompok bawah.

(6)

Kritik pada teori ini juga dapat diketahui dari munculnya teori – teori yang berusaha menutup kekurangan yang ada pada teori struktural fungsional. Neofungsional, teori konflik, dan beberapa teori lainnya berusaha menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan oleh struktural fungsional.

Kelemahan Parson sendiri adalah karena ia berorientasi dan memandang masyarkat sebagai suatu hal yang statis. Meskipun begitu, teori Parson ini juga mampu menjadi alat analisis kita dalam melihat kasus yang terjadi pada masyarakat. Contoh kasus yang telah penulis berikan di atas adalah salah satu dari hal tersebut.

Runtuhnya orde baru juga merupakan salah satu contoh bagaimana sistem yang tidak mampu mempertahankan dirinya akhirnya rusak. Namun yang menjadi perhatian adalah, bagiamana sistem itu dapat berubah sehingga akhirnya rusak.

Seperti kita ketahui, meskipun hidup di bawah tirani dan tekanan dari sistem pemerintahan orde baru; tetap terdapat elemen masyarakat yang melakukan resistensi. Meskipun sistem pemerintahan orde baru telah berusaha menerapkan konsep AGIL, tak dapat dipungkiri individu bukanlah hal yang statis, sehingga tidak dapat diprediksi bagaimana mereka akan bertindak di kemudian hari.

Adaptasi yang dilakukan, merupakan salah satu upaya untuk menekan konflik yang terjadi. Dalam teori sistem struktural fungsional, sistem yang melakukan adaptasi akan menekan konflik yang terjadi sehingga tidak merubah sistem. Namun pada kasus ini, adaptasi yang terjadi justru menimbulkan resistensi baru dari masyarakat yang tidak puas dengan sistem yang ada. Hal ini mencapai puncaknya pada saat demonstrasi besar – besaran pada 1998. Sistem yang ada tidak mampu lagi mengendalikan individu – individu yang seharusnya menjadi output dari sistem.

(7)

posisi sebagai penguasa menggunakan power yang mereka miliki untuk melakukan hegemoni kekuasaan dan mempertahankan posisi yang mereka miliki. Terbukti dikemudian hari hal ini juga menjadi salah satu faktor penyebab hancurnya sinergi antar sub sistem yang kemudian menumbangkan sistem pemerintahan orde baru.

Integrasi yang ada pun tidak lagi berfungsi, ketika tujuan dan adaptasi yang dilakukan oleh sistem pemerintahan gagal. Meskipun sudah melakukan berbagai usaha termasuk menghegemoni masyarakat yang ada di dalam sistem, resistensi yang ada akhirnya menyebabkan sistem tumbang. Resistensi yang muncul dari sub sistem yang tidak setuju dengan adanya perubahan, dikemudian hari menyebabkan fungsi integrasi tidak lagi berjalan. Hal ini menjelaskan mengapa menjelang tumbangnya sistem pemerintahan orde baru, terdapat elemen – elemen serta lembaga – lembaga masyarakat yang menentang orde baru.

Konsep internalisasi yang dijalankan oleh sistem pemerintahan orde baru memang berhasil mempengaruhi pemikiran masyarakat. Jika dilihat dari teori sistem, hal ini akan terjadi pada seluruh unsur masyarakat yang terdapat dalam sistem tersebut. Namun pada prakteknya, internalisasi pola dan motivasi yang terjadi pada individu tidak dapat berjalan seperti dalam teori sistem. Hal ini disebabkan, individu tidak dapat digeneralisasikan bahwa semuanya sama, dan akan begitu saja menerima dirinya sebagai “produk” dari sistem yang ada. Kemudian jelas, ketika terjadi reformasi, hal ini juga yang memancing adanya konflik antara mereka yang menjadi “produk” dari sistem pemerintahan orde baru, dengan mereka yang menolak sistem pemerintahan orde baru.

Pada akhirnya, teori struktural fungsional merupakan sebuah teori “hitam di atas putih” atau teori yang sulit diterapkan di dunia nyata. Para ahli sesudah Parson juga setuju dengan hal ini, namun menurut penulis; yang patut kemudian menjadi perhatian bagi kita adalah bahwa teori ini dapat dipakai untuk menganalisa kasus pada tataran makro. Hal ini juga menjadi acuan bagi teori neo-fungsionalisme, yang kemudian melihat sistem dalam tataran mikro, dimana pembedanya adalah ketika dalam struktural fungsional individu dilihat sebagai produk dari sistem, dan perubahan disebabkan oleh adanya gangguan dari luar, maka pada neo-fungsionalisme perubahan dapat disebabkan oleh individu dalam sistem tersebut.

(8)

bisa ditangani, maka sistem yang ada akan hancur begitu saja. Ini juga yang kemudian menjadi salah satu bahasan dalam neo-fungsional.

Terlepas dari segala kekurangannya, teori struktural fungsional merupakan teori yang perlu dipahami ketika kita melihat permasalahan pada sistem. Sebelum beranjak pada teori lain, teori ini dapat dipakai untuk menjadi pondasi bagi kita untuk melakukan analisa lebih lanjut.

C. Interaksionis Simbolik

Pada review berikut ini, penulis akan berusaha mengungkapan dan mengkritisi teori yang menitikberatkan pemahamannya kepada interaksi yang dilakukan oleh setiap individu. Teori ini disebut dengan teori interaksionis simbolik. Pengagas teori ini adalah mereka yang melihat bahwa manusia sebagai makhluk yang mampu beradaptasi dengan sekitarnya, adalah makhluk yang memiliki kemampuan berpikir yang membedakan mereka dengan binatang. Tokoh – tokoh yang muncul dari teori ini ada beberapa; diantaranya adalah Charles Horton Cooley, George Herbert Mead, W.I Thomas, Herbert Blumer, dan Erving Goffman. Secara keseluruhan, inti dari teori ini adalah manusia berinteraksi tidak secara langsung, akan tetapi melalui simbol – simbol yang sebagian besar berupa kata – kata, bisa secara lisan maupun tulisan. Kata sendiri sebenarnya adalah sebuah bunyi yang pada awalnya tidak memiliki makna, akan tetapi setelah masyarakat sepakat akan makna dari kata tersebut, barulah kata tersebut menjadi bermakna. Dapat dipahami, bahwa simbol – simbol dan interaksi yang ada tidak lepas dari masyarakat. Mereka muncul dari dalam masyarakat itu sendiri.

Dalam teori ini, George Herbert Mead mengidentifikasi ada lima tahap dasar yang saling terkait satu sama lain. Empat tahap tersebut yaitu; impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumasi. Berdasarkan uraian Mead ini, tampak ada kemiripan antara hewan dengan manusia. Akan tetapi, ada hal dasar yang menjadi pembeda antara kedua makhluk biologis ini, yaitu bahwa manusia memiliki akal yang memberikannya kemampuan untuk berpikir lebih daripada hewan.

(9)

terhadap stimulus tersebut, kebutuhan untuk berbuat sesuatu. Jika Mead memberikan contoh mengenai rasa lapar secara mendasar, penulis akan berusaha menganalisis analogi tersebut. Mead mengutarakan rasa lapar akan mendorong aktor untuk merespons secara langsung tanpa perlu berpikir, namun aktor manusia lebih cenderung berpikir tentang respon yang sesuai. Menurut penulis, poin disini yang membedakan secara mendasar antara manusia dengan hewan adalah kemampuan untuk berpikir.

Manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikir akan berpikir lebih lanjut sebelum merespon impuls. Hewan, ketika lapar akan segera memakan apa yang ada di hadapannya jika hal itu sesuai dengan seleranya. Seperti contoh, anjing yang kelaparan akan segera memakan sisa daging ataupun tulang ayam yang ada di tempat sampah, meskipun harus berebut dengan anjing – anjing lainpun hal itu tetap dia lakukan karena didorong oleh insting. Manusia, dalam keadaan lapar tidak akan berbuat seperti itu. Meskipun lapar, dia tetap akan berpikir bagaimana bisa memenuhi kebutuhannya tanpa mengabaikan unsur – unsur lain, seperti kapan dia harus makan, dimana dia akan makan, dan apa yang akan dia makan. Hal ini dipengaruhi juga oleh lingkungan dimana manusia tersebut berada. Misalnya, seorang siswa SMA yang kelaparan di tengah jam pelajaran tentu akan berpikir dua kali sebelum dia makan di dalam kelas. Hal ini disebabkan, dia berada di lingkungan dengan norma dan nilai yang membatasi kapan dia harus menuruti impuls yang terjadi pada dirinya. Meskipun begitu, pada setiap individu respon terhadap impuls akan berbeda. Seorang anak kecil yang kelaparan ketika berada di rumah, akan segera makan ketika dia lapar. Hal ini disebabkan dia bisa segera memenuhi kebutuhannya tersebut. Dengan begitu, impuls merupakan tahapan yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi dari aktor yang mengalami. Respon setiap individu juga bisa berbeda, tergantung bagaimana kondisi mereka saat menerima stimulasi tersebut.

(10)

pilihan tetap berada di tangannya sendiri. Pertimbangan seperti berapa harga makanan, bagaimana kebersihan tempat makan, menjadi faktor yang membuktikan bahwa mereka tidak sekedar terikat dengan stimulasi eksternal, mereka juga aktif menyeleksi sejumlah karakteristik stimulus dan memilih stimulus – stimulus lain ( Mead, 1938 )

Tahap selanjutnya yaitu tahap manipulasi. Pada saat ini, impuls yang telah mewujudkan dirinya dan objek telah dipersepsi, maka aktor akan mengambil tindakan dalam kaitannya dengan obyek tersebut. Agar lebih mudah memahaminya, masih meneruskan analogi rasa lapar tadi, dapat dipahami sebagai berikut; anjing kelaparan yang memilih untuk makan di tempat sampah, tidak memiliki kemampuan utnuk memikirkan masa lalu dan masa depan, sehingga tidak terpikir olehnya apa yang akan terjadi setelah ia makan di tempat sampah tersebut. Selain itu, keterbatasan fisik juga mempengaruhi hal ini. Anjing yang secara fisik tidak mempunyai jari untuk mencengkeram, akan langsung memakan makanan yang ada dengan mulutnya. Namun hal berbeda terjadi pada diri manusia. Anak SMA yang kelaparan dan hendak makan tadi, memiliki kemampuan untuk berpikir. Ia akan berpikir apa yang terjadi jika ia makan di tempat yang kotor. Ia bisa memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya, jika ia tetap memaksakan kehendaknya makan di tempat tersebut. Ia sadar sepenuhnya akan konsekuensi logis yang akan terjadi bila ia melakukan hal itu; dimana hal ini juga menjadi pembeda dari manusia dan binatang. Kemudian, bila terkait dengan fisik, manusia memang mempunyai kelebihan dibanding hewan. Misalnya, dibandingkan dengan anjing yang tadi; manusia memiliki tangan dengan jari yang dapat menggenggam dan bisa melakukan aktifitas dengan baik, seperti memegang sendok, garpu, gelas, piring, dan peralatan makan lainnya. Dengan adanya keadaan seperti ini, telah terkonstruksi juga pada manusia, bahwa makan dengan bantuan alat – alat makan merupakan hal yang baik. Namun yang perlu menjadi kritik bagi Mead, adalah munculnya kebiasaan yang berbeda – beda disetiap tempat. Di satu tempat, makan tanpa menggunakan alat makan seperti sendok dan garpu adalah hal yang wajar, namun di tempat lain hal itu tidak wajar. Inilah dinamika dari tahap manipulasi.

(11)

mengambil keputusan untuk makan. Namun masih terdapat pembeda pada tahap ini, yaitu pada tahap ini seorang aktor akan memutuskan sesuai tingkat intelegensinya. Manusia yang mampu berpikir, pada contoh penulis adalah anak SMA, ketika dihadapkan pada opsi tempat makan yang kotor, jika tetap harus makan di situ akan memilih makanan yang bersih. Namun anjing yang tidak bisa berpikir panjang, akan tetap makan apapun yang ada di tempat sampah tersebut, meskipun dengan cara mencoba satu – satu makanan yang ada di tempat sampah tersebut sampai ada yang cocok dengan dirinya. Jika dicermati, keempat tahap ini adalah tahap yang saling mempengaruhi untuk menciptakan satu proses. Tahapan yang satu bisa mempengaruhi tahapan yang lainnya. Jadi impuls bisa mempengaruhi persepsi, begitu juga sebaliknya, persepsi bisa mempengaruhi impuls.

Dengan melihat proses di atas, Mead dapat dipahami menyampaikan bahwa tindakan dan respon manusia tidak bisa lepas dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah faktor lingkungan, keadaan, norma dan nilai, serta waktu dan tempat dimana terjadi stimulasi. Faktor internal adalah keadaan aktor, posisi, status dan peran yang dimiliki, serta pemikiran aktor tersebut.

Kemudian teori Mead yang juga dapat membawa kita memahami pemikirannya adalah teori pengambilan peran ( Role Taking Theory ). Dalam teori ini, tampak ketertarikan Mead pada asal usul diri, sekaligus ia melihat bahwa sebenarnya perkembangan seseorang tidak lepas dari interaksi yang dilakukan olehnya dengan orang lain.

Mead memisahkan tahapan perkembangan seorang individu menjadi tiga bagian, yaitu Play Stage, Game Stage, dan Generalized Other. Pada teori ini, Mead secara implisit menyatakan bahwa untuk menjadi individu yang dapat diterima oleh masyarakat, seorang individu harus menjadi anggota masyarakat dan diarahkan oleh masyarakatnya dengan sikap yang sesuai.

(12)

kenapa seorang perlu disuntik, dan apa makna tindakan menyuntik tersebut. Menurut pemahaman penulis, pada tahap ini terjadi kesadaran terhadap peran yang ditirukan, akan tetapi belum ada pemahaman terhadap tindakan yang harus dilakukan oleh peran tersebut.

Tahapan setelahnya adalah, game stage. Pada tahap ini, seorang anak mampu serta paham apa fungsi peran dan bagaimana ia harus bertindak ketika memegang peranan tersebut. Sebagai contoh, seorang anak yang bermain sepak bola dan berperan sebagai keeper, akan bertindak sesuai yang semestinya dilakukan oleh seorang keeper. Ia akan bermain sesuai aturan, dan ia juga sadar posisi serta peran yang ia ambil. Pada tahap ini, muncul kesadaran antara peran dan konsistensi tindakan yang ia ambil atas perannya tersebut.

Tahapan terakhir adalah tahap generalized other, atau tahapan ketika seseorang telah “menemukan dirinya” sendiri. Pada tahap ini, ia telah memiliki kemampuan untuk memilih peran, dan ia mampu mengevaluasi dirinya sendiri dari sudut pandang orang lain. Pada tahap ini juga seorang anak sudah dapat diterima oleh masyarakat, dan mampu ikut membangun masyarakat itu. Jadi seorang individu tidak hanya membentuk masyarakat, akan tetapi juga dibentuk oleh masyarakat.

(13)

Beralih kepada tokoh lain, yaitu Charles Horton Cooley dengan teori Looking Glass Self ( teori cermin diri ). Pada teori ini, secara singkat ada 3 langkah untuk dapat berinteraksi dengan baik di dalam masyarakat; yaitu tahap pertama, ketika aktor memberikan aksi kepada orang lain, kemudian dilanjutkan orang lain memberikan reaksi kepada aktor, dan aktor menginterpretasikan aksi tersebut. Pada teori ini, dapat kita pahami bahwa seorang aktor memerlukan kepekaan sosial untuk dapat tinggal di tengah masyarakat. Tanpa hal itu, aktor tidak akan memiliki modal sosial untuk dapat terus berada dalam masyarakat.

Penulis akan memberikan analogi seperti berikut; ketika seorang karyawan berbicara kepada atasannya, ia menggunakan bahasa yang kurang sopan, dan ditegur oleh atasannya, sehingga ia merubah gaya bahasanya menjadi lebih sopan sehingga ia dapat berinteraksi dengan baik dengan atasannya.

Karyawan tadi menggunakan teori looking glass self. Dengan melihat reaksi orang lain terhadap apa yang dikatakannya, ia dapat memperbaiki dirinya sendiri sehingga orang tersebut mendapatkan perhatian dari orang lain tersebut. Inti dari teori ini adalah, seorang aktor tidak dapat lepas dari peran orang lain untuk dapat berinteraksi dengan baik. Jika aktor tidak dapat menyesuaikan diri dengan lawan interaksinya, bukan tidak mungkin tidak akan terjadi interaksi yang baik. Kritik bagi Cooley adalah, bahwa setiap interaksi yang terjadi tidak semata – mata dipengaruhi oleh faktor internal dari dalam individu itu saja, akan tetapi juga dipengaruhi berbagai faktor eksternal, dalam hal ini adalah adanya perbedaan kelas dan jabatan yang mempengaruhi cara seseorang berinteraksi terhadap orang lain, terutama dalam sektor formal.

Pada hal di atas pula dapat dipakai analisa dengan teori definisi situasi oleh William Issac Thomas. Seseorang akan berinteraksi dengan tepat manakala ia dapat mendefinisikan situasi dengan tepat pula. Pada umumnya tidak mungkin seorang karyawan akan bertegur sapa dengan atasannya sebagaimana ia bertegur sapa dengan sesama karyawan. Ia mendefinisikan situasi dimana ia adalah seorang bawahan yang harus menghormati atasannya.

(14)

diantaranya adalah penilaian orang lain, peran dan posisi, manajemen kesan, jarak peran, dan stigma.

Ketika kita berada di panggung depan pertunjukan, setiap aktor yang terlibat akan berusaha menampilkan apa yang ingin mereka tunjukkan kepada orang lain. Hal ini dapat kita lihat pada situasi dan kondisi politik yang ada di dunia. Mereka yang berada di panggung politik, akan berusaha menampilkan hal – hal yang ingin mereka tunjukkan kepada para audien. Misalnya, meskipun di balik panggung ia adalah seorang penindas, maka di depan panggung ia akan berperan sebagai seorang pembebas. Ia tidak akan menampilkan kepribadian aslinya di atas panggung. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk manajemen peran yang dilakukan oleh para pementas. Mereka akan melindungi diri mereka sekaligus panggung pertunjukan agar tetap dapat berjalan, walaupun itu berarti mereka harus menutupi diri mereka yang sebenarnya.

Konsep jarak dan peran, juga berfungsi agar panggung pertunjukkan tetap dapat berjalan. Sebagai contoh, seorang hakim akan menjaga jarak dengan terdakwa, sehingga ia nampak sebagai orang berwibawa dan mempunyai peran dan status yang jelas, yaitu sebagai hakim yang berwenang menghakimi terdakwa. Dengan menjaga jaraknya, ia membuktikan kepada audien bahwa ia memang memegang kekuatan di atas panggung pengadilan.

Konsep stigma, adalah konsep dimana terdapat perbedaan perlakuan terhadap mereka yang mempunyai identitas maya dengan identitas sebenarnya. Konsep ini menitikberatkan perbedaan interaksi kepada mereka yang mempunyai kekurangan yang terlihat, yang disebut sebagai stigma yang didiskreditkan, misalnya kekurangan fisik yaitu cacat pada tangan, dan stigma yang dadap didiskreditkan, misalnya kekurangan yang tidak terlihat, seperti homoseksual. Mereka yang memiliki stigma yang didiskreditkan, mempunyai inti masalah pada bagaimana mereka dapat menangani fakta yang timbul setelah para audiens tahu masalah tersebut. Namun pada kasus stigma yang dapat didiskreditkan, masalah intinya adalah bagaimana aktor dapat mengatur arus informasi sehingga masalah itu tidak sampai kepada para audiens. Hal inilah yang sering terjadi pada panggung politik. Para politikus yang memiliki masalah terkait dengan skandal korupsi yang belum terbongkar misalnya, akan berusaha mati – matian mempertahankan agar identitas aslinya tersebut tidak tersebar.

(15)

buat dengan pertimbangan penilaian orang lain. Seperti telah dikemukakan tadi di awal, manusia berada di atas panggung raksasa, sehingga setiap interaksi yang ada hanyalah pertunjukkan belaka. Perilaku yang dilakukan sangat ditentukan oleh ketepatan membayangkan bagaimana respon audiens terhadap aktor tersebut.

Inti dari interaksionalisme simbolis sendiri dapat dilihat dari berbagai pemikiran ahli di atas, dan pada dasarnya dapat dibedakan sebagai berikut; pertama, bahwa manusia tidaklah sama dengan binatang, mereka mampu berpikir, mampu bertindak sesuai dengan akal dan pikirannya, dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi baik pada diri mereka sendiri maupun kepada orang lain. Kedua kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial antar manusia, dan di dalam interaksi sosial tersebut, orang mempelajari berbagai macam kata, simbol, yang kemudian memungkinkan mereka dapat berpikir, berinteraksi, dan bertindak dengan baik di tengah masyarakat. Ketiga, adalah bahwa setiap orang mampu melakukan perubahan terhadap makna dan simbol yang ada berdasarkan definisi situasi yang ada. Keempat, mereka mampu melakukan modifikasi dan perubahan, karena kemampuan mereka yang telah berkembang, sehingga mereka mampu memahami diri mereka sendiri dan menentukan pilihan terbaik yang diterapkan dalam tindakan mereka. Kelima, pola dan tindakan yang saling berkaitan tersebut kemudian merupakan pola yang kemudian membentuk kelompok dan masyarakat.

Kritik bagi teori ini adalah, interaksi juga tidak lepas dari kelas dan posisi sosial yang ada di dalam masyarakat. Interaksi juga tidak dapat lepas dari perkembangan masyarakat. Dalam teori Mead misalnya, mengenai tahap – tahap perkembangan seorang individu. Dalam masyarakat modern seperti saat ini, interaksi antara anak dan orang tua telah bergeser, digantikan dengan interaksi anak dengan baby sitter, atau pengasuh anak. Hal ini dapat mempengaruhi bagaimana penanaman peran dan posisi kepada seorang anak. Internalisasi nilai – nilai dan norma juga dapat berubah, karena penanaman nilai dan norma yang sejatinya dilakukan oleh keluarga, digantikan oleh pengasuh yang datang dari lingkungan luar keluarga tersebut. Interaksi ini dapat menyebabkan munculnya nilai dan norma baru yang tumbuh pada diri anak tersebut.

(16)

memperoleh “dirinya” sendiri. Dengan memahami masyarakat, seorang individu dapat bisa berada ditengah masyarakat dengan nyaman, begitu juga ia dapat eksis dengan menyesuaikan diri di dalam masyarkat. Interaksi yang terjadi juga dapat terjadi karena adanya kesepakatan di antara masyarakat, sehingga terbentuklah bermacam – macam simbol ataupun kata yang mempunyai makna berbeda – beda, tergantung dimana hal itu berada.

D. Pertukaran Sosial

Ketika membicaraka pertukaran sosial, kita tidak bisa lepas dari filsafat ilmu pengetahuan yang berorientasi positivistik. Ketiga bahasan yang ada pada teori ini, saling terkait satu sama lain. Dengan berangkat dari unsur positivis, ketiga teori ini berusaha menerangkan bahwa sejatinya semua tindakan yang dilakukan oleh seorang individu tidak lepas dari perhitungan untung dan rugi, sehingga apapun tindakan yang dilakukan oleh seorang individu, ia cenderung melakukan tindakan yang memberikan keuntungan lebih besar daripada biaya yang ia keluarkan. Tokoh – tokoh dari teori – teori ini adalah George Homans, Peter Blau, Richard Emerson, dan para pengikutnya.

Dimulai dari behaviorisme, teori ini melihat dampak yang ditimbulkan akibat suatu tindakan terhadap sang aktor. Dengan melihat dari sudut pandang teori ini, dapat kita jelaskan mengenai

cost and reward yang terjadi pada interaksi antar individu maupun kelompok. Secara sederhana, pola behaviorisme melihat adakah keuntungan yang didapat ketika melakukan suatu tindakan bagi sang aktor. Ketika terdapat keuntungan, maka ia akan mengulang tindakan tersebut di masa yang akan datang. Konsekuensi dari tindakan masa lalu, menentukan tindakan aktor tersebut pada saat ini. Inilah yang disebut imbalan dan ongkos ( cost and reward ). Pada tahap ini, bisa muncul dorongan yang memperkuat perilaku sang aktor, dalam bentuk imbalan, sementara itu bisa juga muncul ongkos yang mengurangi kecenderungan dilakukannya suatu perilaku. Ini yang kemudian menjadi dasar pertimbangan seorang individu dalam melakukan suatu tindakan.

(17)

majikannya. Hal itu mendorong pekerja yang lain untuk melakukan hal serupa untuk mendapatkan upah besar juga dari sang majikan. Meskipun tidak mengalami sendiri, mereka akan melakukan hal serupa dengan asumsi hal itu juga akan sukses seperti yang dialami oleh rekan mereka. Sementara itu, pekerja yang telah mendapatkan upah cenderung akan mengulang pekerjaan yang ia lakukan, agar ia kembali mendapatkan upah besar tersebut.

Kemudian, ada konsep rasionalitas, dimana seorang individu cenderung melakukan tindakan yang menurutnya mungkin akan mendapatkan imbalan. Yang dimaksud disini adalah, ketika ia menimbang – nimbang suatu pekerjaan, dan ia merasa bahwa kemungkinan ia mendapatkan imbalan tinggi, ia akan melakukan pekerjaan tersebut meskipun imbalannya tidak seberapa. Akan tetapi, ketika ia mendapatkan kesempatan untuk melakukan pekerjaan dengan imbalan tinggi akan tetapi kemungkinan ia mendapatkan imbalan tersebut rendah, ia cenderung tidak akan mau melakukan pekerjaan tersebut. Dalam hal ini, seorang manusia memikirkan lebih baik memperoleh yang dapat diperoleh dengan mudah, daripada memperoleh sesuatu yang tidak dapat diperoleh. Namun terdapat kritik bagi proposisi rasionalitas ini, adalah terdapat kemungkinan munculnya tindakan yang diluar kecenderungan. Ada kalanya seorang manusia mengambil resiko untuk mendapatkan imbalan yang lebih besar, meskipun ia tahu kemungkinan mendapatkan hal tersebut rendah.

Pada akhirnya, inti dari teori ini sendiri ada tiga disebutkan oleh Emerson dalam Ritzer dan Goodman (2014 : 465 ), yang pertama adalah bahwa setiap individu yang mengambil manfaat dari peristiwa cenderung bertindak rasional, dan dengan demikian peristiwa tersebut pun bisa terjadi. Kedua, karena biasanya orang dijejali dengan peristiwa – peristiwa behaviorial, peristiwa tersebut mulai berkurang manfaatnya; dan yang ketiga, keuntungan yang diperoleh orang melalui proses sosial tergantung pada keuntungan yang dapat mereka berikan dalam pertukaran, sehingga memberikan “fokus pada aliran manfaat melalui interaksi sosial” kepada teori pertukaran.

(18)

mantra – mantra tertentu dan sembuh, tentu tidak rasional dibandingkan seseorang dengan sakit yang sama berobat kepada dokter spesialis, diberi obat akan tetapi tidak sembuh.

Kemudian, teori ini juga perlu melihat adanya kecenderungan perbedaan definisi keuntungan pada masyarakat komunal. Pada masyarakat yang masih erat hubungan dan interaksinya, meskipun bukan keluarga, masih ada anggapan bahwa lebih baik mendapatkan sedikit keuntungan tetapi memiliki banyak relasi daripada mendapatkan banyak keuntungan tetapi tidak memiliki relasi. Contoh kasusnya adalah fenomena untung satak bathi sanak, yang ada di daerah pedesaan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya. Ungkapan di atas mempunai terjemahan kurang lebih seperti ini; lebih baik mendapatkan keuntungan ( materiil ) sedikit tetapi mendapatkan tambahan saudara ( relasi ). Melihat fenomena di atas, dapat kita pahami bahwa sesungguhnya kehidupan manusia tidak selalu soal untung – rugi, akan tetapi juga terdapat pertimbangan lain seperti hubungan antara manusia dengan Yang Kuasa, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Akan tetapi kita tidak dapat menyangkalnya, bahwa kecenderungan yang terjadi memang manusia pada dasarnya selalu melihat untung – rugi dalam setiap tindakan yang akan dilakukannya.

E. Penutup

(19)

Daftar Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Metode ini dilakukan dengan menggunakan gun untuk menekan material cetak elastomer yang terdiri dari base dan katalis di dalam cartridge. Pengaplikasian pada area yang akan

Berdasarkan uraian teori dan kenyataan dilapangan yang telah dijabarkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan antara Kepuasan

Dalam kaitannya dengan makna produk distro bagi remaja motivasi yang mendasari mereka menggunakan produk Woodland adalah ingin terlihat berbeda dari orang lain disekitarnya,

Jumlah tersebut juga menjadi sebuah bukti pasti bahwa sitem keluarga Jepang telah mengalami perubahan besar, karena anak (generasi kedua) tidak lagi canggung

Nilai Rf Kromatogram Fraksi Hasil Isolasi KLT Preparatif Ekstrak n-Butanol Daun Sawo Manila (Achras zapota Linn.) dari Fraksi II pada Kromatografi Kolom.. Tabel Nilai Rf

Orang tidak begitu saja mau memahami dan menerima apa yang kita pikirkan karena mereka bisa menilai apakah kepentingan diri mereka terakomodasi atau tidak dalam sebuah usulan..

PERTAMINA (Persero) RU-III Plaju-Sungai Gerong merupakan satu dari tujuh unit pengolahan yang dimiliki oleh PT.PERTAMINA.. Daerah satu dari tujuh unit pengolahan yang dimiliki

responsable del manejo forestal deber“a realizar acciones para disminuir los desperdicios tanto en el proceso de aprovechamiento como en los procesos posteriores de