• Tidak ada hasil yang ditemukan

barbie ikon budaya konsumerisme (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "barbie ikon budaya konsumerisme (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Nama: Siti Rachma Fathiya NIM: 121414153016

Jurusan: S2 Kajian Sastra dan Budaya Matakuliah: Kajian Sastra dan Budaya Lokal Jenis Tugas: Ringkasan Buku

Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme Oleh: Mary F. Rogers

Menawan hati, menghanyutkan, mempesona, memikat, jelita, memperdaya, lembut, dramatis, cantik, indah, fantastis, bergaya, menarik, glamor, anggun, elok, berseri-seri, agung, romantis, berkilauan, bercahaya, manis. Kata-kata di atas mewarnai iklan-iklan Barbie. Anak-anak muda dan orang-orang dewasa juga memilih kata-kata yang sama ketika harus menggambarkan Barbie. Kata-kata tersebut adalah kata-kata feminitas kelas menengah modern. Kata sifat ini juga menggambarkan feminitas anak muda, feminitas heteroseksual, dan feminitas kulit putih. Lebih dari semuanya, tampaknya, Barbie adalah ikon feminitas dalam hubungannya dengan kelompok menengah masyarakat Barat dewasa ini.

(2)

Meskipun kehadirannya ada di mana-mana, Barbie tidak dapat dengan serta-merta menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari karena feminitasnya yang bersifat fantastis. Barbie melampaui apa yang dikatakan sosiolog R.W. Connell (1987) sebagai “feminitas yang tegas”, yaitu gaya berpenampilan yang bersikap feminin yang begitu diharapkan dan dikukuhkan dalam realitas masyarakat kita. Gaya Barbie barangkali bisa disebut “feminitas yang tegas”. Barbie berpenampilan feminin dan bersikap menentang sifat maskulin. Feminitas Barbie tidak hanya tampak dalam penampilannya yang serasi, namun juga dalam caranya bersikap baik dan didorong untuk menjadi sosok yang menyenangkan, dengan tutur katanya yang lembut, sopan, suka menolong, dan sensitif. Anak perempuan yang baik seperti Barbie tidak bersikap suka menyerang atau suka berteriak; mereka tidak berisik dan juga tidak suka mencemooh. Mereka berperilaku sopan dan terhormat. Pengetahuan tentang Barbie, yang dibangun dari kotak kemasan Barbie, novel-novel Barbie dan buku Little Golden Book, seperti Very Busy Barbie, menggambarkan gadis yang baik yang kesuksesannya lahir tanpa sikap kasar atau bahkan persaingan yang keras, seperti menipu atau menikam dari belakang. Feminitas selalu melahirkan sebuah ikatan sosial khusus sebagaimana juga sikap tertentu dan penampilan tertentu.

Barbie juga menimbulkan banyak kritik. Ketika Barbie pertama kali memasuki pasar, penganut agama Kristen di Amerika mengutuk Barbie sebagai simbol paham hedonisme dan materialisme karena Barbie dianggap mempengaruhi anak-anak perempuan sehingga mengabaikan kewajiban-kewajiban perkawinan dan pengasuhkan karena Barbie tidak pernah menikah dan menghabiskan waktunya dengan orang lain hanya karena ia ingin melakukannya. Namun kritik yang paling deras muncul di sekitar bentuk dan proporsi tubuh Barbie. Kebanyakan pengkritik membandingkan proporsi Barbie dengan proporsi perempuan hidup seperti bentuk pinggang ramping Barbie yang mustahil ada, jari-jemari Barbie yang menyatu sehingga tidak dapat menggenggam ataupun memegang sesuatu, dan Barbie tidak pernah bisa berdiri sendiri tanpa dibantu alas kakinya. Cookie Lupton (1993) menulis sebuah puisi yang menggambarkan Barbie sebagai mahasiswa tahun kedua di Universitas Negeri yang secepatnya membutuhkan pertolongan karena membuat dirinya sendiri lapar. Sebenarnya, citra Barbie sebagai anoreksis dan bulimis jauh dari kesan luar biasa.

(3)

yang lain sehingga anak-anak perempuan belajar bahwa penampulan mereka sangatlah penting bagi feminitas mereka, sebagaimana juga daya tarik mereka dan peranan mereka. Banyak atau mungkin kebanyakan, gadis terhindar dari gempuran pesan tersebut. Namun hanya sedikit yang selamat tanpa cedera. Semua yang kita tahu tentang distorsi citra tubuh, praktik diet kronis, dan kebencian terhadap tubuh yang kegemukan misalnya, menunjuk pada adanya konsistensi di antara para perempuan di semua kelas sosial, kelompok umur, orientasi seksual, dan kelompok ras serta etnik. Untuk menjadi seksi dan atraktif, dengan demikian lebih berarti untuk menjadi mirip dengan Barbie ketimbang tidak.

Pada Mondo Barbie, sebuah antologi puisi bertema gay dan anti-Barbie, menuliskan bahwa betapa seringnya Barbie dilaporkan sebagai sasaran perilaku kekerasan. Barbie adalah sebuah ikon, barangkali, mengenai bagaimana gender dan kekerasan ditautkan menjadi satu dalam realitas masyarakat modern, gender dan perang, gender dan kekerasan domestik, gender dan pemerkosaan, gender dan penyiksaan anak-anak, serta gender dan sikap agresif. Sebagai sasaran kekerasan, Barbie mungkin menyimbolkan lebih banyak hal ketimbang sekedar citra feminitas yang tegas.

Barbie, sekurang-kurangnya, adalah objek yang dipenuhi citra gender. Tidak mengejutkan, kemudian, bahwa kebanyakan anak laki-laki menganggapnya bukan sebagai bagian dunia mereka yang membuat beberapa di antara mereka bahkan menolak kehadiran Barbie dengan sikap kebencian yang amat sangat. Beberapa anak laki-laki yang lain mengakui daya tarik Barbie, namun mampu untuk tetap tidak menunjukkan ketertarikan mereka. Kebanyakan memilih menghindarinya, dengan berpura-pura tidak tertarik atau sedikit tertarik, atau malah tidak tertarik sama sekali.

(4)

Feminitas Barbie yang tegas berangkat dari realitas nyata dengan beberapa cara. Feminitas Barbie tidak hanya mencitrakan akualitas tubuh perempuan, tetapi juga memberi kesempatan Barbie untuk menikmati sedikit keistimewaan dunia laki-laki. Feminitas Barbie barangkali tidak sepenuhnya tertutup, tetapi jelas ia tidak mencakup sifat keibuan atau bahkan perkawinan. Feminitas Barbie, dengan demikian adalah feminitas yang relatif luwes tanpa harus menyubordinasi laki-laki, tanpa pembagian tugas-tugas rumah tiangga yang sering kali tidak adil, serta tanpa kewajiban-kewajiban pengasuhan. Dengan kata lain, Barbie bukanlah ikon perempuan tertindas yang tak mampu berbuat apa-apa. Sebaliknya, Barbie mengambil alih tanda-tanda subordinasi perempuan –perhatian pada tubuh, sikap yang selalu manis, dan kepribadian yang menawan dalam segala hal— dan mengubahnya menjadi sarana menuju kesuksesan, kebahagiaan, kegembiraan, dan keglamoran.

Di sisi lain, Barbie adalah sosok istimewa. Dia, pertama-tama, adalah sosok heteroseksual; berkulit putih seputih gading-salju; berasal dari kelas menengah; Barbie bukan lagi anak-anak, tapi juga bukan orang dewasa; bertubuh sehat tanpa cacat. Kecuali, orientasi gendernya, Barbie berada dalam kelompok tangan di atas atau setidaknya cukup dihargai dalam masyarakat modern. Bahkan dengan orientasi gendernya itu Barbie menjadi semajam Ratu Lebah. Barbie adalah gambaran cukup sempurna atas sifat keistimewaan, bahwa gambaran ini muncul pada 1959 bukanlah semata kebetulan budaya ataupun sejarah; serta bahwa Barbie terus mewarnai secara mendasar, di dalam dan di luar realitas masyarakat pasca-industrual dewasa ini, juga bukan suatu kebetulan.

(5)

M.G. Lord (1994) melihat persamaan antara sosok Barbie dan seorang pahlawan perempuan yang gagah berani, yang agak mementingkan diri sendiri dan yang sangat bersifat subversif dari tokoh Helen Gurley Brown. Ia menyatakan bahwa persamaan ini membuat Barbie tampak sebagai sosok radikal yang terselubung. Radikal atau tidak, yang pasti Barbie merepresentasikan titik awal pandangan mistik feminin (feminine mystique) tahun 1950-an, seperti dicatat oleh Betty Friedan pada 1963 dengan penuh warna dan nuansa, dalam sebuah bukunya dengan judul yang sama. Konsep mistik feminin memberikan sebuah warna tersendiri pada praktik subordinasi laki-laki terhadap perempuan dengan mengagung-agungkan tempat tinggal golongan kelas menengah sebagai tempat yang nyaman bagi pemenuhan kebutuhan perempuan sebagai istri, ibu, dan desainer interior. Bagi kebanyakan orang, seks dianggap sedemikiann kotor. Seks hanya untuk mereka yang sudah menikah dengan tujuan memberikan keturunan. Namun demikian, kebahagiaan seorang perempuan bukan berasal dari kehidupan seksual mereka atau apa pun, melainkan dari perkawinan mereka dengan seorang kepala keluarga yang baik dan bertanggung jawab dan mengasuh seorang anak berusia tiga tahunan dengan pipi merah dan hidung yang tidak pernah beringus. Jika tetap membujang, terutapa setelah melewati usia pertengahan dua puluhan, dianggap akan membuat seorang perempuan menjadi tidak bahagia.

Pada tahun 1962 buku Brown, Sex and the Single Girl, memotong tepat pada akar ideologi mistik feminin tersebut. Kalimat pembuka buku ini mengungkapkan sebuah pendirian tanpa malu-malu mengenai konsep hidup yang dianggap baik bagi perempuan lajang, “Saya menikah pertama kali pada usia 37 tahun.” Selanjutnya, Brown mengatakan bahwa perkawinan adalah tahun-tahun terburuk dalam kehidupan Anda. Dalam tahun-tahun terbaik, Anda tidak membutuhkan seorang suami. Siapa pun dia, Barbie adalah boneka tahun-tahun terbaik tersebut. Ia melambangkan kebebasan dan kegembiraan yang dapat dimiliki seorang perempuan lajang jika ia memiliki keberanian dan uang.

(6)

kecuali untuk dirinya sendiri, bahkan meskipun hal itu merefleksikan pandangan masyarakat mengenai apa yang dipahami laki-laki sebagai kecantikan.

Dengan sikap independensinya, Barbie menyangkal pandangan mistik feminin. Artinya, ia mengambil bagian dalam kedudukan istimewa laki-laki dengan menjadi individu atas dirinya dan bersumpah untuk berkorban demi sebuah aktualisasi diri. Laki-laki dipandang sekadar mencari sesuap nasi bagi keluarganya, sekadar berjuang untuk mencapai sukses atau sekadar berusaha menjadi bujangan yang baik. Sebaliknya, perempuan dengan perilaku yang sama sering kali dikecam sebagai perempuan yang mementingkan diri sendiri. Tapi tentu saja Barbie lolos dari penilaian buruk semacam ini. Barbie sama sekali tidak punya keinginan bersombong diri. Ia mungkin dianggap ambisius dalam pengertian dunia maskulin tradisional, namun yang pasti Barbie mampu melakukan hal yang lebih baik ketimbang sekadar menyodorkan tangannya meminta belas kasihan kepada orang lain. Barbie justru memperdaya dengan feminitas yang tegas dan memberikan dasar bagi penyimpangan sejumlah kode feminitas yang tampaknya memang ingin diungkapkannya.

Ketika memasuki tahun-tahun masa remaja atau malah sebelumnya, kebanyakan wanita heteroseksual memikirkan seorang laki-laki atau pemuda sebagai pusat kehidupan mereka. Ketika beranjak melewati masa pubertas menuju usia dewasa, seorang gadis mulai menyadari bahwa popularitasnya di sekolah, penampilannya yang feminin, serta banyak hal yang lain sangat bergantung pada daya tariknya di mata teman laki-lakinya dan hubungan khususnya dengan seseorang di antara mereka. Ketika semakin sadar dengan orientasi heteroseksualnya, seorang gadis mulai menghadapi tekanan untuk menjadikan teman laki-laki dan kencan sebagai prioritas utama dalam hidupnya. Pada gilirannya, ia akan semakin bayak memberi perhatian pada ukuran dan bentuk tubuhnya, variasi dan isi lemari pakaiannya, gaya rambutnya, serta riasan wajahnya. Barbie menyuarakannya, meskipun agak melebih-lebihkan, kodrat kefemininannya seperti ini. Ia memberikan kesempatan tanpa batas pada banyak gadis yang memilikinya untuk mendandaninya, menyikat, dan menyisir rambutnya; dan menempatkannya dalam berbagai situasi seperti dalam kelas aerobik, di sekolah tari, atau di pusat perbelanjaan.

(7)

utama. Bahwa ia tetap membujang dan tidak punya anak bukanlah sosok feminin yang normal. Fakta bahwa Barbie tidak memiliki suami ataupun anak, bukan ditujukan bagi dirinya. Sebaliknya, kondisi seperti ini membuat Barbie selalu terbuka untuk berbagai interpretasi yang kadang kala bahkan saling bertentangan. Interpretasi ini juga memperluas wilayah makna ikon ini, dan dengan demikian juga cakupan konsumen yang dapat digodanya.

Dalam wilayah pemaknaan budaya seperti itu, muncul kemungkinan bahwa Barbie barangkali bukan sosok heteroseksual. Bahkan, bisa jadi dia bukan perempuan. Barbie barangkali sesosok Ratu Waria. Barbie barangkali adalah sosok ultra-feminin yang dipersonifikasikan oleh figur Ratu Waria. Kakinya yang sangat panjang dan pinggangnya yang ramping menegaskan hal ini. Feminitas Barbie adalah sebuah feminitas yang cerdas, namun sekaligus gemerlapan. Ikon feminin yang tegas dan unik ini bahkan memiliki daya tarik yang besar di kalangan kaum laki-laki gay. Dunia Barbie secara relatif terbebas dari paham heterosentrisme dan heteroseksisme ini dan dengan demikian memiliki daya tarik relatif bagi orang-orang nonheteroseksual, terutama kaum laki-laki gay. Kaum lesbian, terutama mereka condong untuk menolak sejumlah karakter utama dunia Barbie, sebagaimana kaum biseksual yang barangkali menganggap penampilan monoseksualitas Barbie tidak terlalu menarik. Bagaimanapun juga, dunia barbie memang tetap memungkinkan proses pembacaan yang menyimpang.

Sebagai ikon waria, Barbie menggambarkan apa yang telah dikatakan oleh para pemikir feminis dan kritikus kebudayaan selama bertahun-tahun. Dalam pengertian ini, Barbie memperlihatkan bahwa feminitas adalah sebuah realitas yang diciptakan. Jika Barbie dapat dipersonifikasikan dengan sosok Ratu Waria sebagai contoh karakter feminitas yang dikonstruksi, dia juga dapat menjadi ikon feminitas nonheteroseksual. Pada titik ekstrem, barangkali Barbie adalah sosok lesbian, perempuan biseksual yang pada suatu saat sangat memperhatikan dan menjalin hubungan cinta dengan Ken namun pada saat yang lain memilih berhubungan dengan Midge, teman baiknya, atau Barbie barangkali adalah sosok aseksual. Dia mungkin seksi, namun tidak harus menjadi seksual; menarik, namun tidak harus tertarik dengan lawan jenisnya. Semua kemungkinan ini memberikan ruang berbagai kisah bertema gay dalam majalah Barbie Bazaar dan banyak media lainnya.

(8)

telak dipasarkan. Sedari lahir Barbie adalah boneka berkulit putih. Meskipun ia telah berganti-ganti penampilan, misalnya, sebagai gadis berambut coklat semenjak tahun 1959 dan kadang kala muncul sebagai gadis berambut merah, Barbie pun sedari lahir berambut pirang. Meskipun matanya bisa berubah warna secepat warna rambutnya, pada dasarnya Barbie memiliki mata paling biru yang begitu sulit diterka warnanya, sebagaimana pernah digambarkan oleh Toni Morrison. Tidak peduli identitas rasial atau etnik apa yang ia pergunakan, Barbie tetap lahir di depan saya sebagai boneka perempuan berkulit putih, sebagai pemilik status istimewa kulit putih serta sebagai bukti nyata dominasi budaya kulit putih. Dengan kata lain, Barbie tampaknya hanya memiliki sedikit kredibilitas sebagai boneka perempuan berkulit hitam, Asia, pribumi Amerika, atau Hispanik.

Secara umum, kolektor adalah seseorang yang membeli seluruh rangkaian boneka Barbie tanpa harus membeli boneka Barbie versi kulit hitam, Hispanik, pribumi Amerika, atau boneka-boneka yang secara rasial dan etnik layak dijual. Artinya, setiap boneka Barbie di luar Boneka Seri Dunia (Dolls of the World), selalu hadir dalam versi kulit putih, yang secara rasial tidak terlalu diperhatikan dan secara luas dianggap sebagai versi boneka yang telah diterima khalayak umum. Sebagaimana ditunjukkan oleh Billy Boy, misalnya, seri Basic Barbie Doll Fashion Model yang dipasarkan tahun 1959 memuat teks yang mengindikasi “Boneka Barbie Anda ini dibuat dari vinyl plastik, yang putih dan kokoh” (ditambahkan penekanan). Lebih jauh, dalam berbagai kasus, satu-satunya versi boneka Barbie yang diterima khalayak umum adalah boneka Barbie versi kulit putih dengan rambut pirang. Karenanya, gadis-gadis yang disewa khusus, atau diberi penghargaan karena menjadi Barbie dalam acara konvensi Barbie dan berbagai acara lainnya adalah gadis-gadis berkulit putih. Bagi kebanyakan orang, Barbie yang sesungguhnya atau autentik adalah Barbie berkulit putih. Boneka-boneka lain dianggap sebagai yang lain, yang diperlakukan sebagai sesuatu yang berbeda atau bahkan eksotis.

(9)

Sebagai model busana remaja, Barbie dengan demikian mempresentasikan pasar yang ditujunya. Pada saat yang sama, Barbie juga melambangkan fenomena konsumerisasi anak-anak, yaitu sebuah proses transformasi anak-anak menjadi konsumen yang memiliki sejumlah ukuran otonomi tertentu sebagai pembelanja dan pembeli.

Banyak anak perempuan melihat sebuah aktivitas konsumsi yang tinggi dalam diri Barbie. Bagi mereka, Barbie menyimbolkan kondisi ketersediaan berbagai hal yang bahkan berlebih-lebihan dalam sistem konsumsi. Memiliki semua barang Barbie seperti rumah Barbie, mobil-mobilan Barbie, dan berbagai aksesoris lain yang berkaitan dengan Barbie bagi kebanyakan anak perempuan melihatnya sebagai simbol status di antara teman-temannya. Semakin lengkap dan banyak perlengkapan Barbie yang dimilikinya, semakin tinggi pula statusnya.

Dari sudut pandang produsen Barbie, sebagaimana dikemukakan Dick (seorang staf pengajar universitas, berusia paruh baya, dan berkulit putih) bahwa Barbie memiliki sekelompok teman dekat dan mimpi basah para produsen tentang dewi-dewi yang bisa dimiliki yang tanpa Barbie semuanya menjadi terasa kurang lengkap. Dick melihat Barbie sebagai mesin uang yang luar biasa bagi para produsen. Darlene, seorang pustakawan melihat Barbie sebagai titik awal praktik strategi pemasaran yang menguasai pikiran anak-anak. Dengan demikian, dia melihat Barbie sebagai bagian dan paket dari proses konsumerisasi anak-anak. Proses konsumerisasi ini meliputi praktik menjual Barbie sebagai benda koleksi bagi anak-anak.

(10)

oleh rumah Deluxe Dream House. Pada 1973, muncul Country Living Home; antara tahun 1974 dan 1979, muncul sebuah rumah model perkotaan. Rupp menghitung bahwa Barbie setidaknya meiliki 19 rumah, sementara keluarga dan teman-temannya hanya memiliki lima rumah. Namun demikian, Ken tidak memiliki rumah satu pun. Itu semua belum termasuk beberapa ruangan dalam rumah Barbie yang dapat dibeli secara terpisah.

Bahkan binatang-binatang Barbie ini juga memiliki perlengkapan yang sangat banyak. Seekor anjing Afghan yang bernama Beauty, semenjak tahun 1983 memiliki dua buah tenda kecil, sebuah kalung leher, tiga buah rantai, sebuah mahkota, sebuah tempat makanan anjing, sebuah topi, tiga buah pita, sebuah sisir, dan sikat, dan juga tulang-tulang dan surat kabar, dan lain-lain. Barbie juga memiliki sebuah mobil Ferrari merah, Austin Healy, Classy Corvette, Porsche warna putih, Mustang merah muda, dan Jaguar warna merah. Jennifer King (1990) mencatat bahwa Barbie juga memiliki sekurang-kurangnya satu mantel bulu. King menganggap Barbie sebagai “ratu pengonsumsi dari plastik yang menyolok mata”. Secara keseluruhan, Barbie tampaknya memiliki semua yang ada dalam dunia impian, jika bukan realitas nyata, para konsumen kalangan kelas menengah yang gemar berbelanja.

Kenyataan bahwa Barbie dipasarkan sebagai model busana remaja dan bahwa dia dipasarkan untuk anak-anak perempuan adalah dua buah kondisi yang membentuk status Barbie sebagai ikon konsumerisme. Barbie memasuki sebuah dunia selama sebuah periode ketika masa kanak-kanak dan dewasa ada dalam fase perubahan. Kemunculan Barbie selama gerakan perjuangan hak asasi manusia di kalangan masyarakat Afrika-Amerika dan puncak gerakan feminisme pasca-Perang Dunia II barangkali bukanlah sebuah kebetulan sejarah. Kesesuaiannya dengan budaya kelas-menengah, lahirnya sistem perekonomian konsumsi yang dijejali dengan kartu kredit. Subkultur anak muda, dan banyak hal lainnya seolah sama bagusnya dengan kesesuaian desain gaun-gaunnya.

(11)

menjadi pekerja-pekerja remaja. Kecenderungan tersebut mendapatkan pendorong pada dekade tahun 1990-an. Semenjak tahun 1990-an, setengah hingga dua pertiga remaja Amerika melakukan kerja paruh-waktu selama masa studi mereka. West melaporkan bahwa lebih dari separuh dari semua pekerja senior (dan hampir seperempat pekerja tahun kedua) bekerja lebih dari 20 jam per minggu. Ia menyimpulkan bahwa para pekerja remaja yang mewah tersebut, yang mencari uang untuk hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti membuat tato di tubuh dan membeli CD serta skateboard, telah memenuhi hasrat konsumerisme yang kelaparan.

Namun demikian, para remaja saat ini mulai meninggalkan permainan boneka. Jawaban Mattle menghadapi kondisi ini adalah dengan memasarkan boneka-boneka untuk dikoleksi, termasuk sejumlah boneka khusus remaja. Bahkan, seri koleksi anak-anak, yang menampilka Barbie sebagai Cinderella, memiliki sasaran pasar anak berusia tiga tahun ke atas. Orang tua mereka mungkin yang memulai koleksi tersebut, namun Mattel beranggapan bahwa ketika mereka nanti mulai memiliki penghasilan sebagai remaja, banyak di antara mereka yang akan melanjutkan menambah koleksi mereka.

Barbie membawa aktivitas konsumsi pada batasannya yang tertinggi. Dunia Barbie, seperti dikatakan Don Richard Cox (1977), adalah sebuah “miniatur utopia” yang muncul dari sederetan panjang barang-barang konsumsi dari aktivitas waktu senggang ketimbang dari perdamaian, harmoni, dan itikad baik setiap orang. Helen Cordes (1992) menyatakan bahwa Barbie telah mengkhotbahkan paham konsumerisme, dan dia bukan siapa-siapa tanpa produk-produk yang dimilikinya. Erica Rand (1995) melihat popularitas Barbie sebagai proses glamorisasi sebuah karakter dengan sejumlah besar uang yang tidak akan pernah habis, dan sejumlah besar barang mewah yang tak ada bandingannya. Karenanya, Barbie tidak hanya menjadi ikon konsumerisme, tetapi juga ikon materialisme, yakni penggunaan barang-barang hak milik untuk menandakan dan membentuk jati diri seseorang. Dia mengirimkan pesan-pesan meterialis sekuat ikon-ikon yang lain yaitu “seseorang dinilai dari apa yang ia miliki”.

(12)

dan budaya era pasca-Perang Dunia II. Pada akhirnya, Barbie juga membangkitkan makna yang mendalam mengenai hubungan antara kelas dan masa kanak-kanak, yakni hubungan antara perkembangan diri seseorang dengan kelas sosial orangtua mereka dan juga hubungan antara pengasuhan anak kondisi kelas sosial mereka saat ini. Status ikonis Barbie juga menunjuk pada hubungan antara kerasnya masa kanak-kanak kebanyakan masyarakat Amerika Serikat kejamnya struktur kelas masyarakat Amerika Serikat.

Daya tarik Barbie yang sedemikian kuat barangkali juga melibatkan hubungan masa kecil yang keras dan kejamnya struktur kelas masyarakat Amerika. Suka atau tidak, sebagian besar rakyat Amerika Serikat sadar bahwa banyak anak dalam masyarakat mereka yang hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki jaminan medis atau gizi yang baik meskipun tetap ada anak-anak yang beruntung menikmati kebahagiaan masa kecil. Barbie merepresentasikan impian kebanyakan rakyat Amerika Serikat untuk dan mengenai anak-anak, meskipun masyarakat mereka mengabaikan berjuta-juta anak yang lain. Barbie sungguh-sungguh sehat dan energik; dia senantiasa merasa aman dan terjaga; dia tidak memiliki ketakutan apa pun di dunia ini. Ia memiliki apa yang tidak dimiliki kebanyakan anak. Barbie tidak pernah tahu betapa kejam dan sewenang-wenangnya struktur kelas yang ada. Ikon ini merepresentasikan sebuah dunia tanpa kelas, tanpa kehidupan anak-anak yang menderita.

(13)

Barbie menyimbolkan kesuksesan sebuah perusahaan dalam dunia pasar global dewasa ini. Umurnya yang panjang, pasarnya yang luas, serta daya tariknya yang mendunia telah menjadi alasan mengapa ia muncul di majalah Forbes dan Business Week serta halaman-halaman bisnis surat kabar New York Times, The Time, dan berbagai surat kabar di seluruh dunia. Barbie adalah sebuah ikon kecerdikan perusahaan di era kemerosotan dan restrukturisasi perusahaan sekaligus era kompetisi global. Merujuk pada presiden dan CEO Mattel, Jill Barad, Barbie adalah sebuah merek berkekuatan global.

Semenjak awal, Mattel hadir untuk mengambil peluang dalam bisnis mainan anak-anak. Majalah Bussiness Week tahun 1961 memuat artikel “It’s Not the Dolls, It’s the Clothes” yang menekankan besarnya keuntungan dari banyaknya perlengkapan pakaian dan aksesoris Barbie. Artikel ini menunjuk dengan tepat kemampuan Mattel untuk tetap mengeruk keuntungan ketika seorang anak mulai terpikat dengan dunia Barbie. Pada tahun 1991, Gretchen Morgenson menyatakan bahwa Barbie telah menyumbang hampir separuh dari nilai penjualan Mattle sebesar $1,4 miliar pada tahun itu. Morgenson menyatakan, “Barbie tampak selalu muda dan selalu populer. Ia adalah mainan merek dunia seperti halnya Coca-Cola atau Marlboro, merek-merek yang senantiasa sukses sepanjang masa.”

Dalam realitas budaya komoditi, ketergantungan anak-anak kepada orang tua mereka kini semakin digantikan oleh ketergantungan mereka kepada media dan objek-objek yang didukung oleh kepentingan berbagai perusahaan. Kini semakin gamblang bahwa anak-anak belajar mengenai banyak hal dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak dari birokrasi berorientasi-keuntungan. Perusahaan-perusahaan ini menjalankan bisnis bukan untuk menginspirasi imajinasi anak-anak ataupun mendorong proses perkembangan mental dan diri mereka, tetapi semata-mata untuk menarik anak-anak ini agar membeli produk mereka.

(14)

untuk berpikir tentang dunia orang dewasa, gender, kelas, dan berbagai persoalan identitas dalam pengertian yang terlalu sempit. Hampir setiap mainan yang ada di pasaran mendorong pada tindakan mengonsumsi secara terus-menerus dalam seri mainan yang ada sehingga membiasakan aktivitas konsumsi bagi anak-anak, sama halnya seperti mengajarkan pada mereka dasar-dasar tentang kehidupan orang dewasa.

Boneka-boneka fashion seperti Barbie dan boneka-boneka laga seperti He-Man tampaknya memperkuat batasan gender yang telah membatasi peta dunia seorang anak. Willis (1991) mencatatbahwa mainan anak-anak dewasa ini telah semakin mendorong praktik pembedaan seksual ketimbang apa yang seharusnya terjadi. Yang menyedihkan adalah anak-anak barangkali juga dibodoh untuk berpikir tentang perbedaan ras, kelas, dan usia telah menciptakan jurang perbedaan sosial yang tidak mungkin dipertemukan. Anak-anak dari keluarga kelas menengah berada di puncak struktur, dan sering kali tidak peduli atau jauh dari teman-teman sebaya mereka yang berasal dari keluarga kelas di bawahnya.

Secara kultural, Barbie bergandengan tangan dengan citra tubuh kontemporer yang dibentuk oleh paham konsumerisme, hasrat-hasrat fantastis, dan teknologi baru pembentukan tubuh. Ia menjadi simbol bagaimana tubuh menolah batasan-batasan yang dahulu dipahami sebagai kodrat alam. Dengan demikian, Barbie adalah ikon konsumerisme somatis yang baru lahir, yakni sebuah teknologi pembentukan tubuh yang digerakkan oleh keyakinan bahwa tubuh bisa menjadi apa pun yang kita inginkan hanya dengan memberikan cukup uang dan perhatian terhadapnya. Perkembangan ini kemudian menjadikan tubuh sebagai instrumen aerobik, objek bedah plastik, eksperimen diet, dan sebongkah daging yang siap dibentuk secara terus menerus.

(15)

membeli segala sesuatu mulai dari megavitamin hingga minoxidil serta berbagai obat pencegah kebotakan. Dalam berbagai hal, Barbie seolah-olah adalah impian citra kemudaan yang terus bisa diperbarui yang menjadi kenyataan.

Goffman menekankan bahwa dengan kehadiran orang lain, kita tidak lagi dapat berdiam diri. Dengan demikian ia merujuk pada sifat ekspresi tubuh yang senantiasa terbuka. Goffman menyebut ekspresi tubuh sebagai “perilaku” (demeanor), yakni pakaian, aksesoris, sikap, pandangan, dan tanda-tanda tubuh lain yang mengomunikasikan karakter individu tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Kaja Silverman (1994), “Pakaian dan berbagai perhiasan telah membuat tubuh manusia bisa terlihat secara budaya.” Kondisi demikian memberikan pengaruh terhadap munculnya hasrat kemewahan dalam sejarah umat manusia, sebagaimana juga dengan munculnya apa yang disebut sebagai “moralitas kemewahan”. Lebih jauh, pakaian dan perhiasan telah menempatkan tubuh manusia dalam sebuah matriks makna budaya yang penuh sesak dan terbangun di sekitar peran dan status; karakter dan kelas; gender dan seksualitas; ras dan usia.

Banyak studi yang menunjukkan bahwa penampilan dan berbagai variabelnya sangat mempengaruhi popularitas, kepuasan diri, perekrutan dan promosi jabatan, kencan, dan lain-lain. Siasat politik perilaku dengan demikian telah merembes ke dalam setiap sisi kehidupan modern dan paling tajam menampakkan dirinya di kalangan kelas menengah yang “gila” status. Sebagaimana kebanyakan siasat politik, siasat politik perilaku juga berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan untuk menggoyang dan menonjolkan diri, menggoda dan memamerkan diri, menahan dan mengabaikan, serta kekuasaan untuk membangun harga diri dan kerelaan. Namun demikian, dalam pengertian luas, siasat politik perilakku merujuk pada kekuasaan untuk membeli, dengan kata lain, kekuasaan uang dan kekuasaan kartu kredit.

Dunia Barbie adalah juga sebuah dunia percintaan dalam pengertian yang lebih luas. Dunianya adalah dunia percintaan konsumerisme yang secara luas dijajakan dalam budaya komoditi. Romantisme yang lebih luas ini muncul di sekitar gagasan bahwa konsumen dapat membeli jalan keluar dari hampir semua pengalaman tidak menyenangkan mereka seperti, kebosanan, kesendirian, kegelisahan, ketakutan, dll. Apa pun yang tidak diinginkan seseorang dalam dunianya dapat dihindari, setidaknya untuk sementara, dengan tunai ataupun menggunakan kartu kredit.

(16)

fashion, diet, dan fitness. Orang barangkali bisa menyebut hal ini sebagai industri fantasi yang merajut cerita-cerita percintaan dan menjanjikan hasil yang juga fantastis. Dalam sistem ekonomi, hasrat ini kemudian tidak mengejutkan bahwa sejumlah perempuan berusaha untuk mengubah penampilan untuk mengubah kehidupan.

Banyak orang menyatakan bahwa pengamatan terhadap roman konsumerisme seperti meributkan sesuatu yang sepele. Mereka memandang Barbie sebagai sosok lemah, sama halnya ketika mereka memandang model fashion remaja yang begitu ramping di dalam majalah-majalah remaja-dewasa sebagai sosk-sosok yang tidak membahayakan. Lebih dari itu, mereka mengatakan, “Barbie hanyalah sebuah boneka mainan anak-anak dan kaum perempuan tahu bahwa foto-foto fashion menggunakan teknik air brushing atas semua kosmetik dan pencahayaan yang dibuat untuk menciptakan citra dunia-lainnya.” Wolf (1992) menolak pandangan semacam ini dengan mengatakan, “Bahaya citra-citra ini bukanlah bahwa mereka hadir, melainkan bahwa citra ini berkembang dengan mengorbankan kebanyakan citra dan cerita lain mengenai pahlawan-pahlawan perempuan, model-model acuan, musuh-musuh, orang-orang eksentrik, pelawak, pengkhayal, dewa-dewa seks, serta orang-orang yang suka mengolok-olok.. Jika ikon model fashion anoreksi adalah salah satu citra umum dari sejumlah citra gadis-gadis muda menemukan ratusan pilihan pandangan mengenai masa depan yang paling liar dan menggoda, ikon tersebut tidak akan memiliki kekuatan untuk menyakiti diri mereka; skenario fashion dan kecantikkan akan menjadi sumber kebahagiaan dan godaan yang pasti bagi kehidupan dalam tubuh perempuan.”

(17)

antara keduanya. Barangkali, perkawinan tersebut melibatkan ambivalensi sebanyak ambiguitas di dalamnya.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar tersebut menunjukkan bahwa semua sampel TiO2@AgCl mengabsorbsi sinar UV yang ditunjukkan adanya 2 puncak pada panjang gelombang dari 200 hingga 400 nm, dan

BAB I berisi pendahuluan yang membahas tentang latar belakang mengapa saya tertarik meneliti “Penggunaan pendekatan saintifik dalam kurikulum 2013 dengan model

Pada rasio massa sebesar 3,64 hasil analisis menunjukkan kandungan logam Cr pada limbah telah memenuhi baku mutunya, sedangkan pada limbah terdapat ion krom (VI) yang

cara berpengetahuan yang unik, dan menunjang rasionalitas. Efeknya luar biasa dalam sejarah. Dimulai dari dualisme-dikotomis Descartes tentang mind-body , dengan hirarki bahwa

Gejala klinis yang sama antara kepiting sampel yang diisolasi dan kepiting uji postulat Koch yaitu bercak merah, terdapat bintik putih pada karapas, bercak hitam

 Inhal Farmakologi Blok Pengobatan Rasional yang semula akan dilaksanakan hari Jumat, 1 Oktober 2010 MAJU hari Jumat, 24 September 2010 pukul.

Hal ini dapat diartikan ada perbedaan nilai motivasi dan nilai post test antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa “ada