INDEPENDENSI DAN CONFLICT OF INTEREST AUDITOR DI KAP DITINJAU DARI PERSPEKTIF TEORI KONFLIK
FIBRIYANI NUR KHAIRIN BRAMANTIKA OKTAVIANTI
Universitas Mulawarman
IWAN TRIYUWONO UniversitasBrawijaya
Abstract
The main aim of this research is to understand conflict of interest in auditor profesion because of joint provision and auditor-client relationship, which may impair auditor independence. By applying interpretive qualitative research, the research makes use of Collins’s conflict theory as an analytical instrument. The result of this research are the levels of auditor’s conflict of interest. First level is conflict with client, in this condition client be able to dominate auditor because there is an emotional feeling in auditor-client relationship and the “strings” between auditor-client, then client may influence the auditor to fulfill their interest or which is called by unconscious bias. Second is conflict with KAP’s environment, the KAP’s circumstances which build KAP’s organization culture may impact auditor’s behavior to ignore auditor independence. And, the third level is conflict in auditor’s himself, this conflict is the accumulation of other conflicts that cause conflict with auditor independence. In this KAP, auditors prefer to choose compromise as the consensus way to solve the conflicts. But, actually it doesn’t solve the problem at all. Instead, it increase conflict with auditor independence.
Keywords: Auditor’s conflict of interest, auditor independence, conflict theory, compromise
KAP, lingkungan KAP yang membentuk budaya organisasi KAP dapat berpengaruh pada perilaku auditor untuk mengabaikan independensinya. Dan ketiga adalah konflik dalam diri auditor, konflik ini merupakan akumulasi dari dua konflik sebelumnya yang mengakibatkan konflik dengan independensi. Dalam KAP ini, auditor lebih memilih kompromi sebagai jalan konsensus untuk menyelesaikan konflik. Namun, sebenarnya hal itu tidak dapat menyelesaikan konflik tersebut. Sebaliknya, malah membuat konflik dengan independensi menjadi semakin besar.
1. Pendahuluan
Independensi dianggap sebagai karakteristik auditor yang paling kritis dan
menjadi salah satu komponen dari sikap mental yang harus senantiasa dijaga oleh
auditor. Sikap independen yang harus dimiliki oleh auditor ini meliputi independen
dalam penampilan (in appearance) maupun dalam fakta (in fact). Namun untuk
melaksanakan kegiatan yang independen ternyata tidak seringan seperti saat
mengucapkannya. Tudingan pelanggaran terhadap independen dalam penampilan
semakin merebak dalam beberapa tahun ini. Gavious (2007) dan Moore et al.
(2006:6-7) menyatakan bahwa mekanisme institusional auditing yang ada sekarang ini dapat
menciptakan conflict of interest dan kemungkinan mengandung tiga kondisi yang dapat
mengancaman independensi. Pertama, manajer yang menyewa dan memecat auditor
(managers hiring and firing auditors). Dalam hal ini klien yang memiliki kebebasan
untuk memilih auditornya, mempunyai banyak alasan dalam memilih KAP berdasarkan
pada kemungkinan bahwa auditor akan memberikan opini yang menguatkan mereka.
Sehingga pada prakteknya klien akan memecat auditor jika mereka tidak mengikuti
keinginan klien (Seabright et. al, 1992). Kedua, auditors taking positions with clients,
hal ini menerangkan bahwa independensi akan semakin memburuk seiring dengan
semakin akrabnya hubungan diantara auditor dan klien (audit tenure), yang dikarenakan
lamanya hubungan auditor dan klien ditinjau dari jumlah tahun sebuah Kantor Akuntan
Publik mengaudit laporan keuangan klien secara berurutan. Ketiga, auditor yang
memberikan jasa non-audit (auditors providing non audit sevices).
Jika mereview kembali kejadian beberapa tahun lalu, kita akan menjumpai berbagai
kasus yang mengakibatkan sejumlah perusahaan besar, setaraf Enron, satu per satu
berguguran antara lain yaitu WorldCom, Merck, Xerox, Tyco, Bush and Lomb, Rite
Aid, Kimia Farma, Lippo, Telkom, dan masih banyak lagi. Perusahaan-perusahaan
tersebut dahulunya berpredikat “baik” serta memiliki kualitas audit yang tinggi, namun
terlibat dalam kasus manipulasi akuntansi “besar-besaran” atas laporan keuangannya.
Jatuhnya perusahaan-perusahaan tersebut turut menyeret sejumlah auditor independen
(auditor eksternal) ke dalam masalah. Tidak sedikit dari para auditor yang terlibat
terkena jeratan hukum atas hasil kerja dan keterkaitannya didalam “memuluskan” aksi
manipulasi akuntansi (Widianingsih, 2007).
Kasus terberat mengenai skandal Enron dan KAP Arthur Andersen dapat menjadi
contoh nyata bahwa lama hubungan auditor-klien (auditor tenure) dan adanya
independensi auditor. Dalam hal ini, KAP yang seharusnya bisa bersikap independen
ternyata tidak dilaksanakan oleh KAP Arthur Andersen. KAP yang juga memberikan
consulting service selain jasa audit pada Enron, diketahui membantu perusahaan untuk melakukan manipulasi laporan keuangan sampai dengan penghancuran dokumen yang
dapat menjadi bukti kecurangan mereka. Atas tindakan tersebut kedua belah pihak pada
akhirnya mengalami kehancuran, dimana Enron bangkrut dengan meninggalkan hutang
bernilai milyaran dolar sedangkan KAP Arthur Andersen harus menghadapi kenyataan
pahit kehilangan kepercayaan public diakibatkan faktor independensi KAP tersebut
dipertanyakan.
Dampak yang diakibatkan oleh kejadian tersebut yaitu munculnya sejumlah
perubahan yang signifikan terhadap lingkungan profesi Akuntan Publik sebagai reaksi
atas mencuatnya skandal-skandal keuangan tersebut. Hal ini tentunya telah melukai
kepercayaan publik terhadap independensi profesi akuntan. Sehingga hal tersebut, telah
memicu pemerintah beserta jajaran ditingkat legislatif untuk meninjau kembali
perangkat hukum yang mengatur perusahaan (korporat) dan praktik auditor, dengan
diberlakukannya undang-undang “Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX)” (www.findlaw.com) oleh Amerika Serikat. Seiring dengan hal tersebut, Indonesia turut
menetapkan dua keputusan penting, yakni Kepmenkeu No. 423/KMK.06/2002 tanggal
30 September 2002, yang kemudian disempurnakan dengan ditetapkannya Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.01/2008 pada 5 Februari 2008, serta
dikeluarkannya SK Bapepam No. Kep 20/PM/2002 pada 12 Nopember 2002 (Santoso,
2003:8) yang isinya tidak berbeda jauh dari Sarbanes-Oxley Act.
Lebih lanjut, contoh lain yang menunjukkan pengaruh auditor tenure terhadap
independensi auditor adalah kasus yang terjadi di Kantor Akuntan Publik Johan
Malonda & Rekan. KAP ini mulai menjadi auditor Great River sejak tahun 2001
dimana pada saat itu perusahaan mengalami kesulitan didalam melunasi kewajibannya
(utang). Kemudian pada tahun 2002, perusahaan memperoleh pengurangan pokok utang
sebesar 85% yang mana sisanya dibayar dengan menggunakan pinjaman bank. Setahun
kemudian (tahun 2003) Great River menerbitkan obligasi sebagai upaya membayar
pinjaman bank. Berdasarkan hasil audit investigasi, Bapepam di tahun 2006
menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement penyajian account penjualan serta
piutang. Kelebihan tersebut berupa penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil
kesulitan arus kas sehingga perusahaan tidak mampu untuk membayar utang dan
obligasi.
Permasalahan tersebut pada akhirnya memunculkan keraguan dan pertanyaan
mengenai kualitas audit. Salah satunya adalah apakah sebenarnya auditor mampu
mendeteksi kecurangan-kecurangan dan kelemahan penyajian laporan keuangan klien
atau sebenarnya mereka mampu mendeteksinya namun tidak mengumumkannya
didalam laporan audit. Hal demikian apabila dikaji lebih dalam bermuara kepada
independensi auditor. Flint (1988) dalam Heang dan Ali (2008) berpendapat bahwa
independensi akan hilang jika auditor terlibat dalam hubungan pribadi dengan klien,
karena hal ini dapat mempengaruhi sikap mental dan opini mereka.
De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003) mendefinisikan kualitas audit
sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan
melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan
dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman
auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada
independensi auditor. Hal tersebut menyiratkan jika profesi akuntan publik ibarat
pedang bermata dua. Disatu sisi auditor harus memperhatikan kredibilitas dan etika
profesi, disaat bersamaan disisi lain auditor juga harus menghadapi tekanan dari klien
terkait pengambilan keputusan. Kondisi demikian dapat mengakibatkan menurunnya
kualitas audit serta independensi auditor apabila auditor tidak mampu menolak
tekanan yang berasal dari klien seperti tekanan personal, emosional maupun keuangan.
Melihat perhatian yang diberikan pihak regulator terhadap masalah masa
pemberian jasa dan kasus multi service KAP kepada kliennya, hal ini memberikan bukti
bahwa kegiatan tersebut dapat merusak kualitas independensi auditor. Bazerman et al.
(2002) dalam artikelnya yang berjudul “Why Good Accountants Do Bad Audit”
menyuarakan argumen senada. Disini mereka mengemukakan bahwa auditor
mempunyai motivasi tinggi untuk tetap memelihara hubungan baik dalam jangka
panjang dengan klien dan cenderung “menyetujui” laporan keuangan yang diauditnya,
karena dapat menjual jasa non-audit dikemudian hari. Selanjutnya kedekatan hubungan
auditor-klien ini dapat membawa dampak negatif berupa self serving biases atas
judgement yang dilakukan oleh kliennya. Ini berakibat bahwa auditor secara tidak sadar hanyut dalam alur “unconscious bias.”
Meskipun demikian, Herwidayatmo (2002 dalam Chritiawan, 2002), Wati dan
berpendapat bahwa semakin lama hubungan (perikatan) auditor-klien dan adanya
pemberian jasa non-audit pada klien tersebut dapat meningkatkan independensi auditor,
dikarenakan semakin meningkatnya pemahaman auditor terhadap karakteristik unik dari
klien dan memahami celah-celah kelemahan klien yang berisiko tinggi. Sehingga, hal
ini nantinya justru akan meningkatkan kualitas audit. Wati dan Subroto (2003) juga
menambahkan dengan adanya multi service yang diberikan auditor menyebabkan
auditor lebih mengetahui keadaan kliennya sehingga relative mempunyai kekuatan
untuk menghadapi tekanan klien di dalam mempertahankan independensinya.
Berdasarkan uraian di atas dan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya,
peneliti tertarik untuk memahami berbagai penyebab yang mengakibatkan adanya
kecenderungan seorang auditor mengingkari sikap independensi dalam melaksanakan
tugas melalui pendekatan kualitatif. Dengan demikian, maka fokus penelitian ini adalah
untuk memahami conflict of interest dalam profesi auditor yang disebabkan oleh
perangkapan fungsi dan hubungan antara auditor-klien, yang dapat mengganggu
indepedensi auditor ditinjau dari perspektif teori konflik.
1.1. Rumusan Masalah
Bagaimana conflict of interest dalam profesi auditor yang diakibatkan oleh perangkapan
fungsi dan hubungan antara auditor-klien, yang dapat mengganggu independensi auditor
ditinjau dari perspektif teori konflik?
2. Tinjauan Teoritis Dan Kompleksitas Di Balik Independensi 2.1.Independensi Auditor
Mautz dan Sharaf (1993:80) mengemukakan lima konsep utama dalam
pengauditan yakni bukti (evidence), due audit care, pernyataan yang jujur (fair presentation), independensi dan kode etik (ethical conduct). Masing-masing konsep ini menempati posisi yang penting dalam pengauditan. Ketiadaan salah satu konsep
tersebut dapat melemahkan kualitas audit yang dihasilkan (Tandirerung, 2006). Syarat
pengauditan pada Standar Auditing, meliputi tiga hal, yaitu : (SA Seksi 150 SPAP,
2001) adalah: Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup, dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan,
independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor dan didalam
pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran
dalam Standar Umum inilah yang nantinya akan dijadikan tolak ukur atau parameter
seorang auditor itu independen dan kompeten atau tidak didalam melaksanakan
tugasnya.
Penelitian ini dipusatkan pada salah satu dari lima konsep pengauditan yang
telah diutarakan sebelumnya yaitu independensi, sebab independensi merupakan konsep
mendasar bagi konsep lainnya. Jika konsep independensi telah terpenuhi, maka akan
cenderung menunjang keterpenuhan keempat konsep lainnya (Tandirerung, 2006).
Sikap independen inilah yang membuat hasil kerja auditor yaitu opini atas laporan
keuangan memiliki nilai kepercayaan bagi publik. Hal senada juga diutarakan oleh
Windsor dan Ashkanasy (1996) dan Falk et al. (1999) bahwa “independence is the
cornerstone of the audit profession and an essential ingredient of users’confidence in financial statements.”
Independen dalam arti akuntansinya, dikemukakan oleh Mulyadi dan
Puradiredja (1998:3,9), yang dikutip oleh Tandirerung (2006), berarti: “bebas dari
pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada pihak lain.” Institut
Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sendiri menetapkan independensi dalam standar
umum nomor dua dari tiga standar auditing, yang menyatakan bahwa dalam semua hal
yang berhubungan dengan perikatan, independensi dan sikap mental harus
dipertahankan oleh auditor. Taylor (1997) dalam Susiana dan Herawaty (2007:6)
menguraikan penekanan independensi auditor menjadi dua aspek independensi, yang
pertama adalah independensi sikap mental (independence of mind/independence of
mental attitude), independensi sikap mental ditentukan oleh pikiran auditor untuk bertindak dan bersikap independen. Kedua, independensi penampilan (image projected
to the public/appearance of independence), independensi penampilan ditentukan oleh kesan masyarakat terhadap independensi auditor. Sedangkan Mulyadi dan Puradiredja
(1998:49) dalam Tandirerung (2006) menambahkan satu aspek lain dalam memandang
independensi selain independence in fact dan independence in appearance yaitu independensi dipandang dari sudut keahliannya, seseorang dapat mempertimbangkan
fakta dengan baik, jika ia mempunyai keahlian mengenai audit atas fakta yang
ditemuinya dalam audit.
Namun, independensi bisa dikatakan sebagai salah satu konsep yang sulit untuk
diraba. Untuk mempertahankan hal ini auditor juga dihadapkan pada ambiguitas peran,
di mana di satu sisi dia ditunjuk dan dibayar oleh manajemen untuk mengaudit laporan
menjalankan tugasnya tersebut (Gavious, 2007; Moore et al.,2006; Seabright et a.l,
1992). Perbedaan kepentingan antara manajemen dan auditor dapat menimbulkan
dilema bagi auditor. Di satu sisi, auditor harus bertindak sebagai seorang arbiter yang
objektif, sedangkan disisi lain, manajemen menghendaki predikat yang terbaik yaitu
unqualified opinion. Padahal asersi suatu entitas juga memiliki peluang untuk mendapatkan penilaian di luar unqualified (Tandirerung, 2006). Misalnya, suatu entitas
memperoleh penilaian di luar ekspektasi klien maka auditor akan dihadapkan pada
beberapa kemungkinan. Jika dia mempertahankan idealismenya dan memberikan
pendapat sesuai keadaan laporan keuangan, maka kemungkinan akan kehilangan klien.
Tetapi, jika dia menuruti keinginan klien dengan memberikan unqualified opinion,
namun tidak sesuai dengan keadaan laporan keuangan, berarti dia melanggar sikap
independensinya. Gavious (2007:451) berpendapat bahwa permasalahan ini berakar
pada mekanisme institusional yang berjalan saat ini, di mana auditor (sebagai agen)
yang ditetapkan dan dibayar jasanya oleh manajemen yang mereka audit (sebagai
prinsipal). Mekanisme ini telah menciptakan inherent conflict of interest untuk auditor.
2.2. Conflict of Interest
Benturan kepentingan (conflict of interest) yang dialami auditor ini dapat
menggiringnya untuk melakukan pelanggaran atas sikap independennya. Winarto
(2002:19 dalam Yuniarti, 2011) menyatakan ada dua hal yang sering disebut-sebut
sebagai penyebab munculnya pelanggaran ini, antara lain Kantor Akuntan Publik (KAP)
yang melakukan multi service pada klien yang sama. Misalnya, KAP tersebut di satu
sisi sebagai auditor dan pada saat yang bersamaan juga melakukan jasa konsultasi
terhadap klien yang sama (Shockley, 1981:785). Kemudian, KAP atau auditor yang
memberikan jasa audit secara terus-menerus pada klien yang sama (audit tenure).
Dimana, saat lamanya auditor memeriksa meningkat, maka akan meningkatkan
anggapan bahwa auditor berjalan sesuai keinginan klien dalam masalah-masalah
akuntansi (Mayangsari, 2007b). Audit tenure yang panjang dapat menyebabkan auditor
untuk mengembangkan “hubungan yang lebih nyaman” serta kesetiaan yang kuat atau
hubungan emosional dengan klien mereka, yang dapat mencapai tahap dimana
independensi auditor terancam. Audit Tenure yang panjang juga menimbulkan rasa
kekeluargaan yang lebih dan akibatnya, kualitas dan kompetensi kerja auditor dapat
bukan evaluasi yang objektif dari bukti terkini. Kedua kondisi tersebut sama-sama dapat
menciptakan conflict of interest bagi auditor.
Kekhawatiran akan permasalahan ini dikuatkan oleh pihak regulator dengan
dikeluarkannya Sarbanes-Oxley Act tahun 2002 Seksi 207 yang menyatakan bahwa rotasi auditor bersifat mandatory. Hal ini tidak berbeda dengan keputusan yang diambil
oleh pihak regulator Indonesia, berkaitan dengan masalah rotasi yang tertuang dalam
Kepmenkeu No. 423/KMK.06/2002 tanggal 30 September 2002, yang kemudian
disempurnakan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
17/PMK.01/2008 pada 5 Februari 2008, antara lain mengatur pembatasan masa
pemberian jasa bagi akuntan (KAP) dapat memberikan jasa audit umum paling lama
lima tahun buku berturut-turut dan untuk seorang akuntan paling lama tiga tahun buku
berturut-turut), asosiasi profesi akuntan publik (saat ini IAPI) dan laporan kegiatan.
Faktor lain yang dianggap mampu mempengaruhi independensi auditor adalah
muculnya faktor tekanan. Tandirerung (2006) mengungkapkan bahwa adanya faktor
tekanan bisa datang dari pihak atasan, pihak klien, dan dari dalam diri auditor itu
sendiri. Semua tekanan ini bermuara pada upaya untuk memenangkan klien. Hal yang
sama diungkapkan Jamilah dkk. (2007) dalam menguji variabel ketaatan dan
menyimpulkan bahwa tekanan ketaatan yaitu perintah dari atasan dan keinginan klien
untuk menyimpang dari standar profesional akan cenderung ditaati oleh auditor. Itu
berarti audit judgement sangat ditentukan oleh keinginan dan harapan pimpinan KAP.
Profesi auditor merupakan profesi yang didasarkan pada kepercayaan publik
(Christiawan, 2002). Sementara selama ini banyak pengaruh dan tekanan yang dapat
berdampak pada persepsi negatif terhadap independensi akuntan. O’Connell (2004:744)
menyatakan bahwa merupakan hal yang urgent untuk segera mengembalikan integritas
auditor melalui komitmen yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan terhadap
2.3.Teori Konflik Collins
Konflik merupakan pertentangan yang terjadi karena adanya orang, pemikiran, atau
prinsip yang saling berlawanan, konflik tersebut bisa berupa konflik yang tersembunyi
(covert) atau nampak (overt). Konflik independensi auditor yang disebabkan benturan
kepentingan (conflict of interest) dapat digolongkan kedalam konflik yang tersembunyi
sebab hasil dari proses interaksi yang menciptakan konflik tersebut tidak dapat dilihat
langsung secara kasat mata layaknya konflik yang menyebabkan pecahnya perang. Agar
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai konflik yang dialami auditor
maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma interpretif.
Selanjutnya, teori utama yang digunakan dalam melakukan analisis terhadap
kemungkinan terganggunya independensi dalam perangkapan fungsi auditor dan
hubungan antara auditor-klien dalam penelitian ini adalah teori konflik Collins. Alasan
penggunaan teori konflik Collins (1975) ini karena berorientasi mikro sehingga
memungkinkan peneliti untuk mengamati dan memahami konflik dari sudut pandang
individu ataupun kelompok. Sebab independensi merupakan sikap yang harus dimiliki
oleh masing-masing individu auditor.
Teori konflik dari Collins ini menurunkan 5 prinsip analisis konflik yang akan
sebagai instrumen analisis yang dapat digunakan untuk meneropong benturan
kepentingan (conflict of interest) yang dihadapi para auditor. Pertama, perhatian akan
dipusatkan pada kehidupan nyata ketimbang suatu formulasi abstrak, menurut Collins
konflik merupakan proses sentral yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
(fenomenologi). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode fenomenologi yang
sesuai dengan prinsip tersebut untuk mendekati realitas sosial dalam kehidupan
sehari-hari para aktor dalam KAP. Dan melalui fenomenologi diharapkan fenomena-fenomena
sosial berkaitan dengan perangkapan fungsi auditor dan hubungan auditor-klien yang
diduga dapat menciptakan conflict of interest yang akan berusaha diungkap oleh peneliti
hingga mendapatkan “meaningfulness” yang merupakan gambaran yang merefleksikan
keadaan apa adanya (Basrowi dan Soenyono, 2004:60). Kedua, meneliti dengan
seksama susunan material yang memengaruhi interaksi (materi/sumber daya). Prinsip
ini berguna untuk memandang bagaimana auditor dan klien bertindak berdasarkan
“materi” atau sumber daya yang dimilikinya. Materi disini dapat diartikan sebagai
“kekuatan” (power) yang dimiliki masing-masing pihak dan hal ini dapat
Prinsip ketiga menyatakan bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok
dengan sumber daya terbatas (ketimpangan/dominasi). Setelah memahami sumber daya
yang dimiliki oleh masing-masing pihak, maka ada kemungkinan salah satu pihak dapat
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk mengeksploitasi pihak lain dan bisa
saja keadaan ini tidak disadari oleh pihak yang tereksploitasi. “Eksplotasi” yang
dilakukan klien terhadap auditor bisa menyebabkan terdistorsinya independensi auditor
yang mungkin tidak disadari oleh auditor sendiri. Sebagaimana yang disebut Bazerman
et al. (2002) sebagai unconciousness bias. Kemudian prinsip keempat, melihat adanya fenomena kultural yang mendasari terjadinya ketimpangan yang menyebabkan salah
satu pihak dapat “mendominasi” pihak lainnya (kultur). Salah satu fenomena kultural
yang dapat dirasakan oleh peneliti di lapangan adalah suasana budaya kultural di
lingkungan KAP yang dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku para anggotanya.
Prinsip terakhir (kelima) menunjukkan adanya komitmen ilmiah untuk memperluas
analisis ini kebidang sosial lain, peneliti memandang bahwa dengan menggunakan
analisis konflik Collins dalam penelitian ini dapat dijadikan salah satu bukti yang
menunjukkan komitmen ilmiah tersebut dan ternyata prinsip analisis ini dapat
digunakan di setiap kehidupan sosial.
3. Metode Penelitian Dengan Teori Konflik Sebagai Instrumen Analisis 3.1. Situs dan Pengumpulan Data Penelitian
Penelitian dilakukan dalam setting sosial salah satu KAP yang berada di kota
Samarinda yaitu KAP “ABC dan Rekan,” di mana auditor yang bekerja di sana
merupakan unit analisis dalam penelitian ini. Dengan pertimbangan bahwa para auditor
yang berada di KAP tersebut merupakan aktor yang terjun langsung dalam proses
pengauditan dan pemberian jasa lain yang ditawarkan KAP. Pengumpulan fakta-fakta
sosial dilakukan melalui wawancara dan pengamatan berperan serta (participant
observation). Ludigdo (2007b) mengungkapkan bahwa dengan metode participant observation, peneliti harus berusaha terlibat di dalam suatu proses kehidupan sosial sehari-hari di mana interaksi sosial berlangsung, dalam penelitian ini keterlibatan
peneliti dalam aktifitas sehari-hari KAP berlangsung selama sepuluh bulan. Dalam
metode ini peneliti secara otomatis terlibat dalam dialog-dialog interaktif dengan para
staf profesional dalam KAP tersebut. Dialog ini merupakan suatu bentuk wawancara
peneliti dapat turut merasakan suasana budaya dalam organisasi yang tidak tampak
secara eksplisit.
3.2. Teknis Analisis
Analisis data sebagai upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil
observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang
kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain (Muhadjir,
2000:142) dilakukan dalam tiga langkah analisis data sebagaimana berikut ini. Pertama,
peneliti melakukan reduksi data. Proses ini dilakukan dengan melakukan
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan
tertulis di lapangan (fieldnotes) yang dilakukan. Proses ini berlangsung baik pada saat
peneliti masih di lapangan maupun pada saat sudah meninggalkan lapangan. Kedua,
penyajian data (data display), yaitu merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Spardley (1997) menjelaskan dalam kerangkanya bahwa proses ini boleh disetarakan
dengan analisis domain dimana peneliti mengategorikan berbagai ungkapan dan realitas
sosial yang ditemui secara tematik. Pada fase ini peneliti dapat memanfaatkan bantuan
teori, khususnya untuk menyusun kerangka domain (atau tema). Ketiga, penarikan
kesimpulan, verifikasi, dan refleksi. Pada proses ini peneliti melakukan interpretasi
terhadap makna dari berbagai bahan empirik yang telah dikumpulkan dan
dikategorisasikan secara tematik sebagaimana telah dilakukan dalam proses
sebelumnya. Sedangkan proses verifikasi dilakukan secara dinamis dalam berbagai
situasi praktis di lapangan dan di luar lapangan, bagaimanapun ini dilakukan untuk
memastikan kesesuaian data dan sekaligus menjaga kredibilitas informan. Sementara itu
proses refleksi dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan utuh atas
sebuah fenomena dalam realitas sosial. Untuk ini sintesa antara temuan empiris dengan
ungkapan-ungkapan konsepsional-teoritis dilakukan.
3.3. Instrumen Analisis
Collins (1975) telah menurunkan lima prinsip yang dapat digunakan untuk
menganalisis suatu konflik yang diyakininya dapat diterapkan disetiap bidang
kehidupan sosial. Dalam penelitian ini, analisis konflik dari Collins tersebut akan
digunakan untuk memahami konflik yang terjadi antar auditor dan independensinya.
menganalisis konflik independensi auditor. Sebab prinsip pertama (fenomena) mengenai
perhatian yang akan dipusatkan pada kehidupan nyata ketimbang suatu formulasi
abstrak yang menunjukkan bahwa konflik adalah proses sentral yang benar-benar atau
nyata terjadi dalam kehidupan sosial telah ditunjukkan oleh peneliti dari bagian
sebelumnya, prinsip ini menunjukkan adanya fenomena konflik yang terjadi dalam
praktik professional auditor seperti yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya dan
kemudian pada bagian ini akan diteropong menggunakan prinsip-prinsip selanjutnya.
Kemudian prinsip lainnya yang tidak akan dijelaskan pada bagian ini adalah
prinsip terakhir dalam analisis Collins (1975) yakni menunjukkan adanya komitmen
ilmiah untuk memperluas analisis ini ke bidang sosial lain. Peneliti memandang bahwa
dengan menggunakan analisis konflik Collins dalam penelitian ini dapat dijadikan salah
satu bukti yang menunjukkan komitmen ilmiah tersebut di mana prinsip analisis ini juga
dapat digunakan disetiap kehidupan social dan tidak hanya dalam stratifikasi
masyarakat saja, dalam penelitian ini prinsip tersebut digunakan untuk menganalisis dan
memahami konflik independensi auditor.
Sehingga tiga prinsip yang tersisa adalah prinsip kedua untuk meneliti dengan
seksama susunan material yang memengaruhi interaksi (materi/sumber daya). Prinsip
ketiga yang menyatakan bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang
mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok
dengan sumber daya terbatas (ketimpangan/dominasi). Serta prinsip keempat, melihat
adanya fenomena kultural yang mendasari terjadinya ketimpangan yang menyebabkan
salah satu pihak dapat “mendominasi” pihak lainnya (kultur). Ketiga prinsip inilah yang
akan membantu kita dalam memahami konflik independensi auditor terkait
temuan-temuan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, sehingga diharapkan pada
akhirnya diperoleh pemahaman mengenai bagaimana auditor menyikapi konflik
tersebut.
4. Temuan Atas Problema Independensi Auditor Dalam Praktik
Dalam merajut pemahaman mengenai independensi auditor dalam praktiknya,
pada bagian berikut juga akan digunakan beberapa metafora untuk merefleksikan
pemahaman atas keadaan independensi auditor. Bagian ini merupakan hasil refleksi atas
pemahaman mengenai sikap auditor terkait dengan independensi auditor dalam realitas
4.1. Pemahaman 1: Auditor-Client as a “Soulmate”
“As the audit engagement lengthens, the “strings” (economic and personal) between auditors and their auditees thicken. These strings impair auditors’ role as independent gatekeepers.” Ungkapan Gavious (2007) ini menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa dalam jangka panjang suatu perikatan menciptakan “string”
(ketergantungan) antara auditor dan klien, sehingga nantinya dapat merusak
independensi auditor. Namun, sebenarnya “ketergantungan” ini bisa datang dari kedua
belah pihak, jadi istilah yang lebih tepat sepertinya adalah keadaan “saling
ketergantungan” antara auditor dan klien. Sebab di satu sisi auditor khawatir kehilangan
fee serta “pelanggannya” dan di sisi lain klien juga membutuhkan auditor yang telah
memahami keadaan perusahaannya serta dapat memberikan mereka unqualified
opinion.
Keadaan “saling ketergantungan” dalam jangka panjang antar auditor-klien
memungkinkan tumbuhnya hubungan emosional, yang mana didalamya telah
membaurkan berbagai kepentingan dari masing-masing pihak. Dalam keadaan ini
auditor-klien yang “menjalin hubungan” tersebut dapat direfleksikan sebagai sepasang
“soulmate,” karena adanya dua pihak yang terlibat dalam suatu hubungan emosional,
merasakan adanya kecocokan, rasa saling percaya, dan sama-sama memiliki rasa “takut
kehilangan.” Seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang,” maka semakin lama
waktu yang dilalui, semakin saling mengenal dan semakin dalam pula pemahaman yang
dimiliki masing-masing pihak maka perasaan “sayangnya” akan semakin besar juga.
Ketika berinteraksi dengan KAP “ABC dan Rekan”, peneliti sempat mengamati
dua peristiwa menarik yang terjadi antara auditor dan kliennya. Peneliti berkesempatan
mengikuti Roni ketika ia menemui beberapa klien di awal proses pengauditan. Klien
pertama adalah perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dan merupakan
perusahaan keluarga yang bersifat tertutup (sebut saja PT. PMP). Klien yang satu ini
bisa disebut sebagai salah satu “langganan” KAP “ABC dan Rekan,” sebab KAP ABC
dan Rekan telah memberikan jasa audit dan konsultasi sistem pada perusahaan ini
selama kurang lebih 3 tahun. Klien berikutnya ialah sebuah perguruan tinggi swasta di
kota Samarinda dan ini merupakan pertama kalinya klien tersebut di audit oleh KAP
“ABC dan Rekan”. Mengamati dua kondisi tersebut, peneliti melihat adanya perbedaan
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin lama hubungan yang terjalin antara
semakin meningkatnya pemahaman auditor atas kondisi perusahaan yang ditanganinya
(Chruch dan Zhang, 2006).
Kembali pada metafora “soulmate” yang telah diungkapkan sebelumnya, dari
fenomena di atas dapatlah ditangkap adanya “saling ketergantungan” dan melibatkan
perasaan emosional antara auditor-klien. Meier et al. (2004:69) dalam Tandirerung
(2006) menjelaskan bahwa emosi melibatkan perasaan suka atau merasa ikut
mengambil bagian dalam pengalaman itu, emosi juga terkait erat dengan motivasi,
emosi membuat kita cenderung bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, di satu
sisi auditor akan berusaha menyenangkan klien demi menjaga kelangsungan hubungan
baik dengan klien tersebut, agar si klien tidak “lari” maka auditor bersedia
mengorbankan keindepedensiannya demi membantu dan mengikuti keinginan klien.
Demikian pula sebaliknya, klien pun tidak rela jika sampai kehilangan auditor yang
sudah “memahaminya” serta bersedia “membantunya,” lagi pula klien yang sudah
merasa nyaman dengan “hubungan” yang dijalaninya dengan auditor akan membuat
komunikasi lebih lancar sehingga klien lebih mudah mengungkapkan segala persoalan
yang dihadapi perusahaannya kepada auditor tersebut dan kemungkinan yang terjadi
berikutnya adalah klien kemudian dapat memposisikan auditor juga sebagai konsultan
bisnisnya.
4.2. Pemahaman 2: Kontaminasi Virus “Tau Sama Tau (TST)”
Di Indonesia tampaknya budaya “TST” ini sudah berakar kuat dibenak
masyarakat, tak terkecuali dunia akuntan. Suatu ketika, peneliti sempat berbincang
dengan salah seorang staf di KAP “ABC dan Rekan” dan ia berkeluh kesah tentang
pekerjaannya kepada peneliti, dari cerita staf inilah peneliti memperoleh gambaran
bahwa dunia akuntan ternyata sangat rawan terinfeksi budaya TST tersebut. Berikut
penuturan Rudi yang menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi:
“Sebenarnya sekarang aku masih ada kerjaan untuk audit 2 perusahaan. Kebetulan
[perusahaan] pelayaran semua dan semua minta cepat. Mereka minta hari ini
selesai...mana bisa, kan belum aku kerjain sama sekali. Tapi kalo mereka ngotot
bisa aja sih, ambil aja hasil audit perusahaan lain yang sama...selesai deh. Cuma
buat ke bank aja kan. Kalo perusahaan rugi terus minta dijadikan laba, ya udah
kasih aja. Tergantung permintaan aja de’ [peneliti]..hehe..ini sih off the record
Dari pernyataan di atas, tercermin bahwa kegiatan-kegiatan off the record itu merupakan hal yang tidak jarang dilakukan oleh para auditor. Tuntutan dari klien untuk
mengikuti keinginannya membuat para auditor memejamkan mata atas prosedur yang
seharusnya mereka patuhi dan dengan berkembangnya budaya TST semakin
mempermulus aktifitas tersebut. Sebab kedua belah pihak akan memperoleh win-win
solution, auditor tidak akan kehilangan klien dan fee auditnya serta reputasinya juga akan tetap terjaga, klien pun akan dengan mudah memperoleh kredit dari bank yang
diharapkannya karena telah memiliki laporan keuangan yang “wajar” dan “lebih cantik”
dari sebelumnya. Namun, benarkah win-win solution yang diperoleh? Lantas,
bagaimana dengan hilangnya independensi auditor karena “solusi” tersebut?
Mencermati fenomena yang dihadapi para staf dalam aktifitas profesionalnya
seolah menjadi cerminan bahwa auditor sering kali berada dalam posisi yang tidak
berdaya. Demi menjaga kelangsungan hubungan dengan klien mereka mau tidak mau
mengikuti keinginan kliennya. Kekhawatiran KAP untuk ditinggalkan klien, diperkuat
juga oleh Ludigdo (2006a) dengan menyatakan bahwa bagaimanapun juga sebuah KAP
akan berusaha mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Disadari bahwa isu etis atau
tidaknya suatu tindakan tak dipungkiri, juga menghinggapi keseharian akuntan publik di
KAP “ABC dan Rekan”. Selain fenomena yang berkaitan dengan masalah auditing bagi
akses perbankan klien, sudah “tau sama tau” bahwa klien saat ini membuat laporan
keuangan lebih dari satu, salah satunya untuk kepentingan pajak. Terkait dengan pajak
dan peran akuntan di dalamnya, kemudian memunculkan pertanyaan lain terkait isu
independensi auditor: dapatkah seorang auditor yang memberikan jasa audit dan jasa
sebagai konsultan pajak tetap mempertahankan independensinya? Kekhawatiran serupa
juga diungkapkan oleh Widianingsih (2007), jika seorang praktisi memiliki atau
memberikan suatu jasa penasehat pajak, peran advokasi ini dapat menghasilkan
kesulitan-kesulitan ketika peran sebagai auditor diasumsikan di sini, dan hal ini dapat
menimbulkan konflik. Apalagi jika kondisi ini telah dirasuki oleh budaya “TST,” maka
kemungkinan terjadinya “persekongkolan” antar auditor dan klien akan semakin mudah
terlaksana dan tentu saja hal ini akan menodai indepedensi auditor.
5. Hasil Penelitian: Cermin Pemahaman Independensi Auditor Dalam Bingkai Teori Konflik
Menggunakan prinsip analisis konflik yang dikemukakan oleh Collins, maka
auditor jika diteropong dengan teori konflik tersebut. Sehingga di sini ditemukan
adanya tingkatan dalam konflik yang dihadapi oleh auditor dalam praktiknya yang
kemudian dapat menciptakan konflik dengan independensi di dalam dirinya, pertama
konflik dengan klien, kemudian konflik dengan lingkungan KAP serta konflik dalam
diri auditor.
5.1. Makna Konflik dengan Klien
Memahami indepedensi dalam realitas praktik auditor di KAP “ABC dan
Rekan”, telah diungkapkan sebelumnya bahwa staf auditor yang bekerja di KAP ini
sering kali berada dalam berbagai kondisi yang dapat mempengaruhi kualitas
independensi mereka. Dalam realitas praktiknya, para auditor berada dalam suatu arena
di mana kepentingan yang bertentangan dimainkan dan pada bagian ini berkaitan
dengan hubungan auditor dan kliennya. Klien sebagai pihak yang menunjuk dan
membayar auditor berkepentingan untuk memperoleh opini terbaik yaitu unqualified
opinion dari auditornya, sehingga jika harapan mereka tidak terpenuhi maka tidak jarang klien “menekan” auditor untuk memenuhi keinginannya tersebut. Sedangkan, di
sisi lain auditor adalah pihak yang harus bersikap independen dalam menjalankan
penugasannya demi kepentingan stakeholders (Trisnaningsih, 2007:2). Kedua kondisi
ini menunjukkan adanya kepentingan yang berbeda antar auditor dan klien, dan
perbedaan ini lah yang dapat memicu timbulnya benturan kepentingan (conflict of
interest). Sehingga, kualitas independensi para auditor tergantung pada bagaimana mereka menyikapi kondisi yang dapat menggiringnya pada pengingkaran independensi
ini.
Jika dipandang melalui kacamata teori konflik, maka kita dapat memahami
susunan material yang dapat mempengaruhi interaksi kedua pihak (auditor-klien) dari
salah satu prinsip yang tertuang di dalamnya. Susunan material atau sumber daya di sini
dapat dimaknai sebagai power atau kekuatan yang dimiliki pihak-pihak tersebut dan jika
pihak tersebut dapat memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya maka mereka akan
mempunyai peluang untuk mendominasi pihak lainnya. Bagi klien, power terbesar
mereka berasal dari kewenangan yang diberikan sistem kepadanya, di mana klien adalah
pihak yang dapat memilih, menunjuk, membayar, sampai dengan memutuskan
hubungan dengan auditornya. Sehingga melalui sistem ini, klien dapat dengan leluasa
berpindah dari satu KAP ke KAP lain jika mereka tidak merasa “cocok” dengan auditor
atau pelayanan dari KAP tersebut. Power berikutnya yang juga dimiliki oleh klien yakni
pemberian jasa non audit yang memungkinkan timbulnya percikan perasaan emosional
antar kedua belah pihak. Dengan adanya hubungan emosional ini maka akan
mempermudah klien untuk mengutarakan keinginannya dan meminta auditor untuk
memenuhi kepentingannya. Selanjutnya, dalam hubungan kerja pastilah ada yang
disebut kepercayaan dan dengan pelimpahan kepercayaan yang diberikan klien pada
auditornya seolah mereka telah menyerahkan sebagian nyawa perusahaannya kepada
pihak eksternal perusahaan. Melalui hubungan emosional yang tercipta selama proses
interaksi, klien pun dapat memanfaatkan auditor dengan memberikan kepercayaan atas
keberlangsungan usahanya di tangan auditor. Sebagai pihak yang telah terikat rasanya
kepada klien maka auditor pun akan dengan senang hati membantu klien untuk menjaga
keberlangsungan usahanya meskipun harus menegasikan sisi independennya.
Kemudian, auditor sendiri juga sebenarnya memiliki power yang sangat besar
sehingga klien membutuhkan profesi ini untuk mendukung kemajuan bisnisnya. Auditor
merupakan profesi yang memilki kepercayaan publik atas posisi independennya sebagai
kekuatan, karena itulah klien juga membutuhkan profesi ini agar memperoleh
kepercayaan publik dalam beberapa hal penting bagi proses bisnisnya. Power yang
dimiliki auditor ini sebenarnya dapat meningkat dalam kondisi tertentu, yaitu ketika
hubungan kerja dengan klien dalam waktu yang cukup lama serta adanya pemberian
jasa non audit selain jasa audit kepada klien tersebut. Di sini pemahaman auditor atas
seluk beluk bidang usaha klien akan meningkat dan seiring hal tersebut otomatis
meningkatkan profesionalisme auditor yang pada akhirnya akan meningkatkan
independensi auditor. Namun sangat disayangkan, sebab saat ini para auditor malah
tidak sadar akan besarnya kekuatan yang mereka miliki. Bahkan, terkadang
menganggap hal ini sebagai kelemahan yang dapat menghalanginya untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar dari klien, serta adanya kekhawatiran apabila auditor
mempertahankan sikap independennya maka klien akan dengan mudah lari ke KAP
lain. Ketidaksadaran para auditor dan ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman
klien akan posisi independen auditor, telah membuat hubungan antar auditor-klien yang
seharusnya berada dalam posisi sejajar seakan menunjukkan adanya perbedaan di antara
mereka. Sehingga menempatkan klien pada posisi atas dan auditor di posisi bawah.
Prinsip ketiga dalam analisis konflik Collins menyatakan adanya situasi
ketimpangan di mana pihak yang dapat mengendalikan sumber daya kemungkinan akan
mencoba mengeksploitasi pihak lain dengan sumber daya terbatas dan bisa saja
Collins sebagai “ketimpangan” ini yang dialami auditor dalam realitas praktiknya
sebagai konsekuensi ketidaksadaran mereka dalam memanfaatkan sumber daya atau
kekuatan yang sebenarnya dimilikinya seperti yang telah dijelaskan di atas. Berbeda
dengan klien yang mungkin lebih mudah untuk memanfaatkan kekuatannya, dengan
begitu mereka mempunyai kesempatan yang lebih besar pula untuk mendominasi
auditor.
Dalam realitas KAP “ABC dan Rekan” kondisi ini dapat dilihat dari
auditor-klien yang telah menjalin hubungan kerja dalam jangka waktu yang cukup panjang,
sekaligus auditor juga memberikan jasa lain selain jasa audit pada klien tersebut. Bisa
dibilang klien ini adalah salah satu “pelanggan tetap” dari KAP “ABC dan Rekan”, di
mana hubungan antar auditor-klien ini dapat dimetaforakan dengan “soulmate.” Karena
dalam lingkup sebagai “soulmate,” antar auditor dan klien dapat lahir emotional feeling
yang menjadikan tersamarkannya faktor dominasi klien atas auditornya melalui
pelimpahan kepercayaan dari klien pada auditor tersebut. Dan dengan adanya perasaan
ini auditor pun menjadi tidak sadar bahwa mereka telah dituntun oleh klien untuk
mewujudkan keinginannya. Dengan adanya kondisi ini tanpa disadarinya auditor akan
mudah terjebak dalam arus kepentingan klien sehingga menimbulkan bias pada sikap
independennya, sebagaimana yang disebut Bazerman et al. (2002) sebagai unconciousness bias.
Kemudian berdasarkan prinsip keempat mengenai fenomena kultural yang
mendukung terjadinya kondisi ketimpangan tesebut, dapat ditimbulkan oleh budaya
kapitalis yang menganggap aspek materiil sebagai puncak pencapain suatu tujuan.
Sehingga, karena para auditor ini juga berada dalam lingkungan yang seperti itu, maka
wajar jika mereka menganggap bahwa memperoleh pemasukan yang lebih dari klien
dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilannya. Dengan begitu, maka menempatkan
klien sebagai pihak yang berposisi lebih tinggi dari mereka (auditor), juga memberikan
angin segar bagi klien untuk lebih “memanfaatkan” keberadaan auditornya. Di sini
independensi auditor lagi-lagi rela dipertaruhkan untuk memenuhi kepentingan klien
dan untuk menjaga kepercayaan serta kepuasan klien terhadap “service” dari KAP
tersebut.
5.2. Makna Konflik dengan Lingkungan KAP
Dalam pemikiran Marx tentang konsep manusia yang disampaikan oleh Fromm
membuat manusia, tetapi manusia juga membuat lingkungan.” Lingkungan profesional
di KAP “ABC dan Rekan” memang tergolong lingkungan yang tidak kondusif bagi staf
auditornya untuk bersikap independen dalam segala situasi. Di mulai dari sikap sang
pimpinan yang menjunjung nilai materiil sebagai tujuan utama sampai dengan budaya
“kongkalikong” yang dapat terjadi antar auditor dengan rekan seprofesi dan juga dengan
klien, yang pada akhirnya dapat menciptakan konflik independensi bagi auditor.
Masing-masing kondisi ini berkontribusi untuk membentuk sikap auditor dalam
menghadapi konflik kepentingan yang dialaminya selama penugasan, dan akan coba
dipahami melalui bingkai prinsip analisis dari teori konflik.
KAP “ABC dan Rekan” tergolong KAP menengah-kecil, maka peran pimpinan
dalam banyak hal sangat dominan (Ludigdo, 2007b:115). Kekuasaan dan kewenangan
yang dimiliki oleh sang pimpinan dalam KAP lebih besar daripada para staf auditornya
yang hanya berposisi sebagai bawahan. Tampak di sini bahwa para staf auditor bisa
dikatakan sebagai aktor yang memiliki sumber daya terbatas dan besar kemungkinan
akan berpikir dan bertindak berdasarkan keadaan material mereka (Ritzer dan
Goodman, 2004:163) yakni dengan menuruti segala perintah dari pimpinannya. Kondisi
seperti ini dijelaskan oleh prinsip kedua dalam analisis konflik Collins (1975) mengenai
materi/sumber daya yang dimiliki oleh para aktor.
Kondisi di atas selanjutnya dapat menyebabkan kondisi yang disebut dalam
prinsip ketiga sebagai “situasi ketimpangan.” Dominannya peran pimpinan dalam KAP
dapat mengintervensi para stafnya untuk menjalankan segala perintahnya, apalagi
pimpinan memiliki kewenangan untuk menentukan audit judgement. Faktor dominasi pimpinan membawa serta sikap yang tertanam dalam dirinya, sehingga secara tidak
langsung sikap pimpinan ini juga terintegrasi di dalam praktik profesionalnya di KAP
yang pada gilirannya ikut mempengaruhi sikap dan tindakan para staf auditor di KAP
tersebut. Hal ini berdampak pada praktik profesional di KAP yang cenderung mengarah
pada pencapaian keuntungan bagi KAP yang membuat KAP ini tergolong sebagai KAP
yang “penuh toleransi” pada klien demi mempertahankannya. Sehingga berdampak pula
pada pengabaian sikap independensi dalam praktik di KAP “ABC dan Rekan”. Staf
auditor di KAP “ABC dan Rekan” pun akhirnya tumbuh menjadi auditor yang mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan, semata agar mereka terhindar dari konflik
dengan pimpinan dan kliennya. Namun, dengan begitu konflik dengan independensi
Munculnya fenomena auditor yang mudah mengikuti keinginan klien, tidak
terlepas dari dukungan budaya di lingkungannya. Selain budaya organisasi yang
cenderung dipengaruhi oleh pimpinan, masuknya budaya TST (tau sama tau) semakin
mempermulus jalan para auditor ini. Menurut Collins (1975), hal ini dapat dipahami
dengan melihat prinsip keempat dalam analisisnya yaitu adanya fenomena kultural yang
mendasari ketimpangan sehingga salah satu pihak dapat mendominasi pihak lainnya.
Lingkungan praktik auditor yang penuh dengan persaingan, membuat mereka juga harus
memutar otak agar dapat mempertahankan klien yang berarti tetap memperoleh
pemasukan bagi KAP. Maka, tidak jarang terjadi transaksi-transaksi off the record antar
auditor-klien atau auditor dengan rekan seprofesinya. Seperti yang terjadi di dalam
praktik auditor di KAP “ABC dan Rekan” yakni adanya praktik tukar menukar tanda
tangan antar rekan seprofesi auditor untuk menjaga klien agar tidak lari ke KAP lain
ketika auditor telah mengaudit klien selama 3 tahun berturut-turut, yang berarti batas
masa penugasannya telah habis untuk memberikan jasa bagi klien tersebut. Tetapi
kondisi ini juga sering kali dilakukan atas permintaan klien dengan alasan kepraktisan
dan kenyamanan mereka dengan auditor yang selama ini telah bekerja dengannya. Dan
melalui budaya TST tersebut kondisi-kondisi ini menjadi tidak tampak kepermukaan
sehingga semua pihak akan memperoleh keuntungan yang diharapkannya dari transaksi
tersebut.
5.3. Makna Konflik dalam Diri Auditor
Untuk bagian ini, konflik yang terjadi dalam diri auditor sebenarnya merupakan
akumulasi dari dua konflik sebelumnya. Dengan munculnya tekanan dari klien dan
atasan, tidak jarang auditor mengalami dilema selama penugasannya. Namun, karena
kewenangan yang dimilikinya tidak sebanding dengan klien maupun atasan, mau tidak
mau mereka menuruti keinginan pihak-pihak tersebut walaupun hal itu bertentangan
dengan independensinya.
Mereka seakan terjebak dalam pilihan untuk mempertahankan sikap independen
atau bersikap kompromistis dengan keadaan. Apabila sikap independen dan objektif itu
benar-benar ditegakkan malahan dapat menimbulkan konflik yang berakibat KAP
kehilangan kliennya. Kalau sudah begini KAP akan lebih memilih “berdamai” saja
dengan klien, karena kehilangan klien ini dapat berdampak pada keberlangsungan KAP
kepentingan untuk mempertahankan KAP agar mereka juga dapat tetap hidup dengan
memiliki pekerjaan dan pendapatan.
Dalam dunia modern saat ini, sisi materiil memang dianggap sebagai point
utama dalam kehidupan. Sehingga wajar jika auditor yang sudah masuk dalam dunia ini
mengalami kebingungan antara mempertahankan idealismenya namun bisa jadi terlibat
konflik dengan lingkungan atau ikut arus modernitas dengan konsekuensi dapat
berpengaruh negatif pada profesionalitasnya. Sehingga dalam realitas praktiknya, demi
meminimalisasi konflik ini jalan tengah yang pada akhirnya diambil oleh auditor adalah
dengan pelaksanaan audit hanya sebatas kepatuhan minimal atas standar yang ada.
Selebihnya adalah tergantung judgement dari atasan untuk menindaklanjuti hal tersebut.
Dipandang dari teori konflik, apabila di buat suatu stratifikasi maka kita
mungkin menemukan auditor sebagai pelaksana di lapangan yang dihadapkan dengan
konflik kepentingan ini akan berada dalam posisi terbawah jika dibandingkan dengan
klien dan pimpinan KAP. Auditor menganggap dirinya tidak mempunyai sumber daya
yang cukup untuk menentang lingkungan. Pada akhirnya auditorlah yang menjadi pihak
yang di dominasi oleh pihak lain untuk memenuhi kepentingan mereka dan sayangnya,
karena auditor pun memiliki kepentingan dalam hubungan ini maka bisa saja mereka
tidak sadar telah di eksploitasi oleh pihak-pihak tersebut. Tetapi tetap saja auditor yang
pada gilirannya akan mengalami konflik dengan independensinya.
Sehingga tampak bahwa dalam konflik kepentingan, auditor tidak hanya
“berperang” dengan kepentingan dari klien, pimpinan KAP, tetapi juga dengan diri
pribadinya. Dalam diri auditor pun muncul konflik antar kepentingan pribadinya atas
pekerjaan dan pendapatan di KAP versus kepentingan profesional untuk bersikap
independen. Ketika melaksanakan aktifitas profesionalnya, auditor sepertinya belum
mampu memilah kepentingan mana yang harus diutamakan, apakah kepentingan pribadi
atau kepentingan profesional. Namun karena pertimbangan materiil yang lebih kuat
mempengaruhi para auditor, maka seperti yang dialami para staf auditor di KAP “ABC
dan Rekan” kepentingan pribadi mereka lah yang menuntun dalam pelaksanaan aktifitas
profesional di KAP. Padahal, sikap independen yang idealnya diutamakan dalam
penugasan sebab kondisi inilah yang menjadi tanggung jawab seorang auditor
independen.
Pemahaman auditor yang “setengah-setengah” atas tanggung jawab
profesionalnya, telah menjadikannya individu “setengah halal” dalam melaksanakan
prosedur sebatas kepatuhan minimal telah cukup untuk menjaga independensinya
menjadi tidak hilang sama sekali. Namun, cukupkah sikap independen yang
“setengah-setengah” tersebut menyelesaikan konflik independensi yang muncul dalam diri
auditor?
6. Simpulan Dan Implikasi Penelitian
Ketika berbicara tentang auditor maka hal terpenting yang melekat dalam profesi
ini adalah independensi. Independensi dapat dianggap sebagai pondasi dari profesi
auditor untuk membangun kepercayaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai
seorang arbiter yang objektif dan terpercaya atas kewajaran presentasi laporan keuangan. Namun, implementasi dari konsep independensi tidak segampang yang
didengungkan dalam standar profesional ataupun kode etiknya, sebab dalam
kenyataannya auditor akan dihadapkan pada permasalahan yang mungkin
pemecahannya tidak mereka temukan di dalam “kitab-kitab” tersebut. Serta adanya
conflict of interest yang juga dapat menggiring auditor pada pengingkaran independensi. Hal ini merupakan sesuatu yang menarik untuk dipahami, karena sikap auditor
tersebut nantinya akan mempengaruhi tindakannya dalam penugasannya dan
kemungkinan sikap yang diambil tersebut bisa saja mengubah posisi auditor dari pihak
yang independen menjadi dependen. Terutama disaat auditor menjalin kontrak kerja
dalam jangka waktu yang cukup lama dengan kliennya dan ketika ia melakukan
perangangkapan fungsi (pemberian jasa audit dan non audit) dengan klien yang sama.
Dalam kondisi ini ternyata independensi auditor menjadi lebih rentan mengalami
penurunan kualitas, serta lebih mudah membantu klien untuk memenuhi
kepentingannya. Oleh karena itu keadaan demikian memunculkan kondisi “saling
ketergantungan” dan emotional feelings antar auditor-klien yang juga mempermudah
klien untuk mendominasi auditornya. Meningkatnya pemahaman auditor atas kondisi
bisnis klien pun pada akhirnya akan digunakan auditor untuk membantu klien menjaga
keberlangsungan usahanya, yang berarti juga keberlangsungan KAP dengan harapan
klien akan terus memanfaatkan jasanya dan tidak pindah ke KAP lain.
Eksplorasi atas realitas sosial di KAP menunjukkan bahwa sikap yang
cenderung mempertahankan indepedensi ternyata dapat mendatangkan konflik
tersendiri bagi KAP tersebut. Sebagaimana terdapat di KAP “ABC dan Rekan”, para
staf auditor di KAP ini mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya
disayangkan lingkungan praktik mereka yang tidak mendukung untuk tetap
ditegakkannya sikap independen ini. Apabila ditinjau dengan menggunakan teori
konflik Collins, maka akan ditemukan adanya tingkatan dalam konflik yang dihadapi
oleh auditor dalam praktiknya yang kemudian dapat menciptakan konflik dengan
independensi di dalam dirinya, pertama konflik dengan klien, kemudian konflik dengan
lingkungan KAP serta konflik dalam diri auditor.
Para auditor di KAP menganggap kompromi dengan independensi sebagai jalan
tengah yang terbaik untuk menyelesaikan konflik kepentingannya dengan klien. Dengan
demikian, tujuan dari masing-masing pihak dapat tercapai, klien memperoleh opini dan
laporan keuangan yang sesuai dengan harapannya dan auditor pun dapat
mempertahankan klien dalam jangka panjang sehingga keberlangsungan KAP juga
terjamin. Namun, jalan konsensus seperti ini tidak serta merta menyelesaikan seluruh
permasalahan, tetapi malah membuat konflik dengan independensi menjadi semakin
besar sebab hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan standar profesional (SPAP)
yang menyatakan kewajiban mereka untuk mempertahankan sikap independen ini
dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan. Tampaknya, karena terbuai oleh
modernitas yang memuja materi, para auditor seakan melupakan tanggung jawab
profesi dan amanah yang diberikan publik padanya. Lantas, jika profesi yang dianggap
terhormat karena aspek moral dan sikap independennya ini nantinya dipenuhi oleh
orang-orang yang mudah “berkompromi” dengan segala situasi...“apa kata dunia?”
Implikasi dari penelitian yang telah dilakukan yakni melalui pemahaman atas
kondisi auditor kita dapat memperoleh pemahaman bahwa conflict of interest adalah bersifat inheren bagi profesi akuntan, namun bukan berarti bahwa hal tersebut tidak
dapat dieliminir agar independensi dalam penampilan maupun dalam kenyataan dapat
terpenuhi. Sikap kompromistis yang diambil auditor di sini dapat dipandang sebagai
“ketidaksadaran” auditor atas tanggung jawab profesinya. Maka dalam konteks ini,
praktik profesional auditor perlu didukung oleh moral spiritual yang kuat. Profesi
auditor harus bermodalkan reputasi, integritas, moralitas, etika dan independensi
(Harahap, 2002a:36). Dengan begitu, pemahaman dan kesadaran auditor atas tanggung
jawabnya juga semakin meningkat. Diharapkan dalam diri masing-masing pelaku dapat
tertanam pemahaman bahwa tanggung jawab atas profesi tidak hanya kepada sesama
manusia saja (klien, pimpinan, pemerintah, masyarakat), melainkan adanya
Daftar Pustaka
Basrowi dan Sudikin. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis dan Praktis. Edisi Revisi. Surabaya: Insan Cendekia.
Basrowi, Muhammad dan Soenyono. 2004. Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Surabaya: Yayasan Kampusiana.
Bazerman, M.H., Loewenstein, G, & Moore, D.A. 2002. Why Good Accountants Do Bad Audits. Harvard Business Review, November, 2002.
Beattie, Vivien dan Stella Fearnley. 2003. Auditor Independence and Non-Audit Services: A Literature Review. Institute of Chartered Accountants in England & Wales, London.
Blouin, Jennifer, Barbara Grein, dan Brian Rountree. 2005. The Ultimate Form of Mandatory Auditor Rotation: The Case of Former Arthur Andersen Clients. [On-line] tersedia- http://ssrn.com/abstract=327837.
Burrell, Gibson dan Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigm and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life.London: Heinemann. Chruch, Bryan K., Pin Zhang. 2006. A Model of Mandatory Auditor Rotation. On-line]
tersedia http://ssrn.com/abstract=44741.
Collins, Randall. 1975. Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science. New York: Academic Press. [On-line] tersedia- http://media.pfeiffer.edu/1/collinr1.
Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in IndustrialSociety. Stanford, CA: Stanford University Press, pp.241-248. [On-line] tersedia-http://media.pfeiffer.edu/social/Dahrendorf-class&classConflict.
Ekopriyono, Adi. 2005. The Spirit of Pluralism Menggali Nilai-nilai Kehidupan, Mencapai Kearifan Hidup. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Faisal. 2007. Investigasi Tekanan Pengaruh Sosial dalam Menjelaskan Hubungan Komitmen dan Moral Reasoning Terhadap Keputusan Auditor. Simposium Nasional Akuntansi X.
Falk, Haim, Bernadette Lynn, Stuart Mestelman, dan Mohamed Shehata. 1999. Auditor Independence, Self-interested behavior and Ethics: Some Experimental Evidence. Journal of Accounting and Public Policy 18: 395-428.
Fromm, Erich. 2004. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gavious, Ilanit. 2007. Alternative perspectives to deal with auditors’ agency problem.
Critical Perspectives on Accounting 18: 451–467.
Ghosh, Aloke, Sanjay Kallapur, dan Doocheol Moon. 2006. Provision of Non-audit Services by Auditors: Economic Efficiency or Managerial Opportunism? Research Paper Series No. 01-06. Indian School of Business.
Harahap, Sofyan Syafri. 2002a. Auditing dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka Kuantum.
Harahap, Sofyan Syafri. 2002b. Krisis Akuntansi dan Masa Depan Profesi. Media Akuntansi. Edisi 24.
Heang, Lee Teck dan Azham Md. Ali. 2008. The evolution of auditing: An analysis of the historical development. Journal of Modern Accounting and Auditing. Dec. 2008, Vol.4, No.12 (Serial No.43).
Hukum online. 2007. Menteri Keuangan Membekukan Akuntan Publik Justinus Aditya
Sidharta. [On-line] tersedia-
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16017/menteri-keuangan-membekukan-akuntan-publik-justinus-aditya-sidharta.
Jary, David dan Julia Jary. 2000. Collins Dictionary of Sociology. 3rd Edition. Glasgow: Harper Collins Publishers. [On-line]
Jensen, Michael C. dan William H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics Vol. 3, 4:305-360.
Ludigdo, Unti. 2006a. Strukturasi Praktik Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Studi Interpretif. Simposium Nasional Akuntansi IX.
Ludigdo, Unti. 2007b. Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maliki, Zainuddin. 2003. Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM).
Mayangsari, Sekar. 2007. The Auditor Tenure and the Quality of Earnings: Is Mandatory Auditor Rotation Useful?.Simposium Nasional Akuntansi X.
Mautz, R. K dan Hussein A. Sharaf. 1993. The Philosophy of Auditing. Sarasota: American Accounting Association.
Moore, Don A., Philip E. Tetlock, Lloyd Tanlu, Max H. Bazerman. 2006. Conflict of Interest and the Case of Auditor Independence: Moral Seduction and Strategic Issue Cycling. Academy of Management Review, Vol. 31, No.1.
Mulyaningsih, Nining dan Enjang Tachyan Budiyanto. 2006. Pengujian Variabel- Variabel yang Berpengaruh Terhadap Keinginan Klien untuk Mempengaruhi Kebijakan Audit. Simposium Nasional Akuntansi IX.
Reckers, Philip M. J. dan Dahlia Robinson. 2008. New Evidence on Auditor Independence Policy. Advances in Accounting, Volume 23, 207–229.
Ritzer, G dan D. J Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Diterjemahkan dari Modern Sociology Theory. Sixth Edition.
Shockley, R. 1981. Perceptions of Auditors Independen: An Empirical Analysis. The Accounting Review. Oktober. 785-800.
Tandirerung, Yunus Tulak. 2006. Wacana Baru Sistem Penunjukan Kantor Akuntan Publik dan Pembayaran fee Audit Dalam Perspektif Teori Komunikasi Habermas. Tesis. Universitas Brawijaya Malang.
Trisnaningsih, Sri. 2007. Independensi Auditor dan Komitmen Organisasi sebagai Mediasi Pengaruh Pemahaman Good Governance, Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Auditor. Simposium Nasional Akuntansi X. Widianingsih, Luky Patricia. 2007. Refleksi Kesadaran akan Tanggung Jawab Hukum
Akuntan Publik dalam Perspektif Gender di Sebuah KAP. Tesis. Universitas Brawijaya Malang.