• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIS"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1. Perpustakaan Perguruan Tinggi

Perpustakaan perguruan tinggi merupakan unsur penunjang perguruan tinggi, yang bersama-sama dengan unsur penunjang lainnya, dalam melaksanakan Tridharma melalui penyediaan informasi perguruan tinggi.

Dalam Buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (1994 : 3) dinyatakan bahwa:

Perpustakaan perguruan tinggi merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Perguruan tinggi yang, bersama-sama dengan unit lain, turut melaksanakan tridarma perguruan tinggi dengan cara memilih, menghimpun, mengolah, merawat, serta melayankan sumber informasi kepada lembaga induknya pada khususnya dan masyarakat akademis pada umumnya.

Sehubungan dengan hal di atas dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (2004: 3) “Perguruan tinggi adalah universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik, dan perguruan lain yang sederajat”.

Sehubungan dengan hal di atas Hasugian (2009 : 79-80) menyatakan bahwa “perpustakaan perguruan tinggi adalah sebuah perpustakaan atau sistem perpustakaan yang dibangun, diadministrasikan dan didanai oleh sebuah universitas untuk memenuhi kebutuhan informasi, penelitian dan kurikulum dari mahasiswa, fakultas dan stafnya”.

Sedangkan Sulistyo-Basuki (1993: 51) mengemukakan bahwa:

Perpustakaan perguruan tinggi ialah perpustakaan yang terdapat pada perguruan tinggi, badan bawahannya, maupun lembaga yang berafiliasi dengan perguruan tinggi, dengan tujuan utama membantu perguruan tinggi mencapai tujuannya dengan nama Tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) maka perpustakaan perguruan tinggi pun bertujuan membantu melaksanakan ketiga dharma perguruan tinggi.

Selain pendapat di atas dalam Buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (1994 : 5) penyelenggaraan perpustakaan perguruan tinggi didasari landasan hukum sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi 3. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 068/U/1991 tentang

Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi

4. Surat Keputusan Diriktorat jenderal Pendidikan Tinggi No. 162/1967 tentang Persyaratan Minimal Perguruan

(2)

5. Surat Edaran Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Kepala Badan Administrasi Kepengawaian Negara, No. 53649/MPK/1988, No. 15/SE/1988

6. Surat keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Angka Kredit bagi Pustakawan, No. 18/MENPAN/1988

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa perpustakaan perguruan tinggi memiliki landasan hukum yang menentukan status perpustakaan sebagai unit pelayanan teknis dan badan bawahan perguruan tinggi mencakup universitas, fakultas, akademik, politeknik, dan perguruan lain yang sederajat.

2.1.1. Tujuan Perpustakaan Perguruan Tinggi

Perpustakaan perguruan tinggi sebagai pusat penelitian karena banyak menyediakan informasi yang berkaitan dengan sarana pendukung dalam proses penelitian. Adapun sisi lain tujuannya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari suatu perguruan tinggi yang bersama-sama dengan unit lain melakukan kegiatannya sehingga terlaksana program lembaga induknya untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Menurut Sulistyo-Basuki (1993 : 51) dalam buku Pengantar Ilmu Perpustakaan, secara umum tujuan perpustakaan perguruan tinggi adalah:

a. Memenuhi keperluan informasi masyarakat perguruan tinggi, lazimnya staf pengajar dan mahasiswa. Sering pula mencakup tenaga adsminitrasi perguruan tinggi.

b. Menyediakan bahan pustaka rujukan (refrensi) pada semua tingkat akademis, artinya mulai dari mahasiswa tahun pertama sampai pada mahasiswa program pasca sarjana dan pengajar.

c. Menyediakan ruang belajar bagi pemakai perpustakaan

d. Menyediakan jasa peminjaman yang tepat guna bagi berbagai jenis pemakai.

e. Menyediakan jasa informasi aktif yang tidak terbatas pada lingkungan perguruan tinggi tetapi juga lembaga indrustri lokal.

Sedangkan dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi : Buku Pedoman (1994 : 32) dinyatakan bahwa Sebagai unsur penunjang pelaksana tridharma perguruan tinggi, perpustakaan merumuskan tujuan sebagai berikut:

(3)

1. Mengadakan buku, jurnal, dan pustaka lainnya untuk dipakai oleh dosen, mahasiswa, dan staf lainnya bagi kelancaran program pengajaran di perguruan tinggi.

2. Mengadakan buku, jurnal, dan pustaka lainnya yang diperlukan untuk penelitian sejauh dana tersedia.

3. Mengusahakan, menyimpan, dan merawat pustaka yang bernilai sejarah, yang dihasilkan oleh sivitas akademika.

4. Menyediakan sarana bibliografi untuk menunjang pemakaian pustaka. 5. Menyediakan tenaga yang cakap serta penuh dedikasi untuk melayani

kebutuhan pengguna perpustakaan, dan bila perlu, mampu memberikan pelatihan penggunaan pustaka.

6. Bekerja sama dengan perpustakaan lain untuk mengembangkan program perpustakaan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan perpustakaan perguruan tinggi adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat perguruan tinggi terutama sivitas akademika perguruan tinggi penaungnya.

2.1.2. Fungsi Perpustakaan Perguruan Tinggi

Untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan perpustakaan harus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.

Dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (2004 : 3-4) dinyatakan bahwa sebagai unsur penunjang perguruan tinggi dalam mencapai visi dan misinya, fungsi perpustakaan perguruan tinggi adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Edukasi

Perpustakaan merupakan sumber belajar para sivitas akademika, oleh karena itu koleksi yang disediakan adalah koleksi yang mendukung pencapaian tujuan pembelajaran, pengorganisasian bahan pembelajaran setiap program studi, koleksi tentang strategi belajar mengajar dan materi pendukung pelaksanaan evaluasi pembelajaran.

2. Fungsi Informasi

Perpustakaan merupakan sumber informasi yang mudah diakses oleh pencari dan pengguna informasi.

3. Fungsi Riset

Perpustakaan mempersiapkan bahan-bahan primer dan sekunder yang paling mutakhir sebagai bahan untuk melakukan penelitian dan pengkajian ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Koleksi pendukung penelitian di perpustakaan perguruan tinggi mutlak dimiliki.

(4)

Perpustakaan harus menyediakan koleksi rekreatif yang bermakna untuk membangun dan mengembangkan kreativitas, minat dan daya inovasi pengguna perpustakaan.

5. Fungsi Publikasi

Perpustakaan selayaknya juga membantu melakukan publikasi karya yang dihasilkan oleh warga perguruan tingginya yakni sivitas akademik dan staf non-akademik.

6. Fungsi Deposit

Perpustakaan menjadi pusat deposit untuk seluruh karya dan pengetahuan yang dihasilkan oleh warga perguruan tingginya

7. Fungsi Interpretasi

Perpustakaan sudah seharusnya melakukan kajian dan memberikan nilai tambah terhadap sumber-sumber informasi yang dimilikinya untuk membantu pengguna dalam melakukan dharmanya.

Sedangkan Hasugian (2009: 82-84) secara umum fungsi perpustakaan adalah: 1. Penyimpanan

Salah satu tugas pokok perpustakaan adalah menyimpan bahan perpustakaan yang diterimanya. Tugas inilah yang menyebabkan perpustakaan selalu disebut dengan istilah document strorage, sebab semua jenis perpustakaan melakukan fungsi ini. Akan tetapi, fungsi penyimpanan lebih nyata terlihat pada perpustakaan nasional daripada jenis perpustakaan lainnya.

2. Pendidikan

Merupakan tempat belajar seumur hidup, terlebih-lebih bagi mereka yang sudah bekerja atau lebih meninggalkan bangku sekolah ataupun putus sekolah. Pada suatu perguruan tinggi, peran perpustakaan sangat nyata. Sehingga muncul pernyataan bahwa perpustakaan adalah jantung perguruan tinggi.

3. Penelitian

Kegiatan penelitian mutlak memerlukan jasa perpustakaan. Perpustakaan bertugas untuk menyediakan bahan perpustakaan (penyedia materi) untuk keperluan penelitian

4. Informasi

Perpustakaan menyediakan informasi bagi pemakai. Informasi sudah merupakan pengolahan data perpustakaan yang disediakan dengan permintaan pemakai.

5. Kultural

Perpustakaan bertugas menyimpan khasana budaya bangsa khususnya yang berupa media yang merekam informasi, naskah, manuskrip dan / dokumen lainnya. Perpustakaan merupakan tempat untuk mendidik dan mengembangkan apresiasi budaya masyarakat dengan demikian, perpustakaan juga berperan dalam meningkatkan nilai dan apresiasi budaya dari masyarakat sekitar perpustakaan melalui penyediaan bahan bacaan.

(5)

Pengguna perpustakaan dapat menikmati rekreasi dengan cara membaca. Oleh karena itu, melalui bahan bacaan yang disediakan oleh perpustakaan juga terkandung aspek rekreasi terutama bacaaan umum dan karya fiksi seperti novel, roman, dan sebagainya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Sulistyo-Basuki (1990 : 107) yang menyatakan bahwa fungsi utama perpustakaan perguruan tinggi antara lain:

1. Fungsi edukatif, perpustakaan membantu mengembangkan potensi mahasiswa dengan sistem pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum pendidikan.

2. Fungsi informasi, perpustakaan membantu mahasiswa dalam memperoleh informasi sebanyak-banyaknya melalui penelusuran informasi yang ada di perpustakaan.

3. Menunjang kegiatan penelitian, dalam hal ini perpustakaan menyediakan sejumlah informasi yang diperlukan agar proses penelitian dosen, mahasiswa, dan staff non edukatif dapat dilakukan berdasarkan data-data yang diperoleh dari perpustakaan.

4. Sebagai tempat rekresi dan hiburan, mahasiswa dapat mengandalkan perpustakaan untuk mengurangi ketegangan setelah lelah belajar dengan bahan bacaan ringan dan menghiburkan yang ada di perputakaan.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (2004 : 5) penyelenggaraan perpustakaan perguruan tinggi untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut didasari landasan hukum sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 234/U/2003 tentang

Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi

3. Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya No. 123/KEP/MPAN/12/2002

4. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi 5. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tenang Perguruan Tinggi sebagai

Badan Hukum Milik Negara Surat Edaran Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Kepala Badan Administrasi Kepegawasan Negara, No. 53649/MPK/1988, No. 15/SE/1988

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa fungi perpustakaan perguruan tinggi merupakan perpustakaan sumber belajar terutama sivitas akademik, sumber informasi dan penelitian untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Selain itu perpustakaan perguruan tinggi memiliki lantasan hukum.

(6)

Secara umum tugas perpustakaan perguruan tinggi adalah menyusun kebijakan dan melakukan tugas rutin untuk mengadakan, mengolah, dan merawat bahan pustaka serta mendayagunakannya baik bagi sivitas akademika maupun masyarakat luar kampus.

Dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (2004: 3) Tugas perpustakaan perguruan tinggi adalah

1. Mengembangkan koleksi

2. Mengolah dan merawat bahan perpustakaan 3. Memberi layanan

4. Melaksanakan administrasi perpustakaan

Sedangkan Sulistyo-Basuki (1994: 67) untuk dapat memenuhi fungsi tersebut, tugas perguruan tinggi ialah:

1. Melaksanakan pemilihan bahan pustaka yang sesuai dengan kebutuhan para pemakai perpustakaan yaitu mahasiswa atau pengajar serta pihak lain yang membutuhkan informasi.

2. Mengolah bahan pustaka yang tersedia sehingga dengan mudah dapat dipergunakan oleh pemakai.

3. Menyelenggarakan peminjaman bahan pustaka dengan cara yang efisien. 4. Membantu para pemakai perpustakaan untuk mendapatkan dan memakai

bahan pustaka yang diperlukannya dalam bentuk program bimbingan penggunaan perpustakaan yang bersifat resmi/ kurikuler maupun secara perseorangan.

5. Menyelenggarakan kerja sama antarperpustakaan dengan memanfaatkan sistem jaringan informasi yang ada dalam rangka meluaskan cakupan koleksi dan pelayanan informasi masing-masing perpustakaan.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa tugas perpustakaan perguruan tinggi adalah memberikan jasa yang dapat mendukung proses pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat dengan cara memutahirkan bahan perpustakaan baik tercetak maupun tidak tercetak demi mendukung dan mengembangkan kualitas program kegiatan perguruan tinggi.

2.2. Pengolahan Bahan Pustaka

Bahan pustaka yang dimiliki perpustakaan sangat diutamakan, karena tanpa bahan pustaka suatu perpustakaan tidak layak untuk dimanfaatkan. Pengolahan bahan pustaka merupakan salah satu tugas perpustakaan. Bahan pustaka yang masuk ke

(7)

perpustakaan wajib diolah dengan baik agar proses temu kembali informasi dapat dengan mudah dilakukan. Dalam pelaksanaannya, proses pengolahan bahan pustaka dapat berbeda antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lainnya tergantung pada kebijakan yang ditentukan oleh perpustakaan yang bersangkutan. Bahan pustaka dapat diperoleh melalui pembelian, hadiah, dan tukar-menukar terbitan perguruan tinggi, lembaga penelitian, atau lembaga lain, dilingkungan lembaga induk perpustakaan tersebut.

Melalui pengolahan bahan pustaka (penggolongan menurut bidang ilmu, penyusunan katalog) bahan pustaka disiapkan agar dapat disimpan di tempat penyimpanan (rak buku) menurut susunan tertentu dan mudah ditemukan dan digunakan oleh pengguna perpustakaan.

Dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (1994 : 4) dinyatakan bahwa perpustakaan dikelola oleh tiga golongan karyawan yaitu:

1. Pustakawan dengan pendidikan kesarjanaan dalam ilmu perpustakaan atau yang sederajat, dan pustakawan dengan pendidikan ilmu perpustakaan tingkat akademi atau yang sederajat

2. Tenaga fungsional lain dengan pendidikan keahlian tingkat perguruan tinggi

3. Tenaga administrasi

Sehubungan dengan pengolahan bahan pustaka Purwono (2010: 111) menyatakan bahwa “Pengolahan bahan pustaka (dokumen) antara lain menyangkut pengindeksan atau katalogisasi deskriptif dan pengindeksan subjek”.

Setelah dicatat dalam buku inventaris, bahan perpustakaan yang diterima selanjutnya dikatalog dan diklasifikasi untuk memudahkan temu kembali informasi. Pengatalogan bahan perpustakaan adalah kegiatan mencatat data bibliografi bahan perpustakaan menurut aturan yang berlaku di perpustakaan. Pengklasifikasian merupakan kegiatan menggolongkan bahan perpustakaan menurut kelas bidang ilmunya.

Dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (1994 : 45) dinyatakan bahwa untuk kegiatan pengolahan bahan pustaka diperlukan sarana kerja sebagai berikut:

1. Kartu katalog buku

(8)

3. Kartu majalah/kardeks

4. Disket dan kertas computer beserta perangkat lunaknya 5. Lemari katalog

6. Rak buku 7. Rak majalah 8. Rak khusus peta 9. Rak surat kabar 10. Kotak majalah

11. Kotak/lemari/rak khusus untuk pustaka non-buku 12. Meja dan kursi kerja

13. Computer dan printer beserta perangkat lunaknya 14. Mesin tik

15. Mesin stensil

16. Alat baca pustaka renik 17. Proyektor

18. Video player 19. Cassette player

dll.

Perpustakaan yang dikelola dengan baik dapat menempati peran yang penting dan strategis, melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik, yang akan memberikan sejumlah nilai atau manfaat bagi pengguna dalam usaha mencerdaskan dan sekaligus sebagai penghimpun serta pendokumentasian sejarah dan ilmu pengetahuan.

Pengolahan bahan pustaka merupakan salah satu tugas perpustakaan. Bahan pustaka yang masuk ke perpustakaan wajib diolah dengan baik agar proses temu kembali informasi berjalan lancar dan mewujudkan tertib administrasi. Dalam pelaksanaannya, proses pengolahan bahan pustaka dapat berbeda-beda urutan kegiatan atau alur prosesnya antara perpustakaan satu dengan yang lainnya disebabkan oleh adanya perbedaan budaya kerja, sumber daya manusia, dan sarana prasarana dalam proses pengolahan. Kegiatan pokok dalam pengolahan bahan pustaka yaitu:

1. Verifikasi katalog, katalogisasi deskriftif, katalogisasi subjek, dan klasifikasi

2. Pembuatan kelengkapan buku, label, slip tanggal kembali, karya buku, dan barcode jika online

Dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (2004 : 60) dinyatakan bahwa untuk membuat katalog bahan perpustakaan diperlukan alat bantu pengatalogan sebagai berikut:

(9)

Untuk deskripsi bahan perpustakaan:

1. Anglo-American Cataloguing Rules (AACR) 2. Standar deskripsi untuk monografi

3. Standar deskripsi untuk terbitan berseri 4. Peraturan katalogisasi Indonesia

5. Format MARC INDONESIA (INDOMARC) 6. Format Dublin Core

7. Standar penentuan tajuk entri Untuk klasifikasi, antara lain:

1. Dewey Decimal Classification (DDC)

2. Daftar perluasan DDC yang dikembangkan khusus untuk Indonesia 3. Universal Decimal Classification (UDC)

Untuk tajuk subjek, antara lain:

1. Library of Congress Subject Headings (LCSH) 2. Sears Lists Subject Headings

3. Medical Subject Headings (MESH)

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, pengolahan bahan pustaka adalah salah satu kegiatan yang dilakukan secara sistematis mulai dari bahan pustaka tersebut masuk ke perpustakaan hingga siap untuk digunakan oleh pengguna (user), yang bertujuan memberikan kemudahan penelusuran informasi bahan pustaka.

2.2.1. Pengatalongan Deskriptif

Pengatalogan merupakan proses penyusunan data bibliografi ke dalam katalog perpustakaan baik katalog kartu maupun katalog Online. Pengatalogan merupakan proses membuat wakil bahan pustaka. Pengatalogan deskriptif merupakan identifikasi dan penggambaran karakteristik bibliografi dari masing-masing bahan perpustakaan.

Menurut Siregar (2013 : 23) “Pengatalongan deskriptif adalah kegiatan untuk membuat deskripsi (data) bibliografi dan deskripsi fisik yang dianggap penting untuk mengenali suatu bahan pustaka dan titik pendekatan melalui penentuan tajuk entri, baik berdasarkan nama pengarang dan judul, sesuai dengan pedoman pengatalongan yang digunakan”.

Sedangkan Kahar (2014 : 13) menyatakan bahwa: “pengatalongan deskriptif adalah kegiatan mencatat identitas setiap bahan pustaka yang diperlukan untuk dapat memberikan gambaran tentang bahan pustaka yang bersangkutan”.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam pengatalongan deskriptif juga ditentukan tajuk entri sebagai titik akses. Dalam arti akses untuk dapat

(10)

mendekati dari segi bibliografis bahan pustaka tersebut. Pada umumnya nama pengarang ditentukan sebagai tajuk entri utama, yaitu tajuk pada entri utama sebagai titik akses pengarang.

2.2.2. Pengatalongan Subjek

Pengatalogan subjek merupakan analisa terhadap isi subjek yang terdapat di dalam bahan perpustakaan terutama dalam penentuan tajuk subjek dan nomor klasifikasinya.

Menurut Siregar (2013: 23) dinyatakan bahwa:

Pengatalongan Subjek adalah kegiatan untuk menentukan deskripsi subjek suatu bahan pustaka. Deskripsi ini akan menunjukan isi atau subjek suatu bahan pustaka/dokumen. Pada umumnya penentuan subjek suatu dokumen dinyatakan dengan notasi yang diambil dari suatu skema klasifikasi, sedangkan untuk tajuk subjek diambil dari salah satu daftar tajuk subjek, sesuai dengan kebijakan perpustakaan.

Sedangkan Sulistyo-Basuki (1992: 107) tujuan katalog adalah a. Identifikasi dokumen primer;

b. Menentukan lokasi dokumen serta proses temu baliknya;

c. Temu balik dokumen primer untuk memenuhi permintaan pemakai dengan berdasarkan ancangan pengarang, subjek, Negara, judul, dan sebagainya; d. Administrasi kumpulan dokumen.

Sehubungan dengan hal di atas Suhendar (2007: 2) menyatakan bahwa tujuan pembuatan katalog perpustakaan C.A. Cutter pada tahun 1876 yang diangkat kembali oleh Needham, 1971 sebagai berikut:

1. Memberikan kemudahan kepada seseorang untuk menemukan bahan pustaka yang telah diketahui pengarang, judul atau subjeknya secara cepat, tepat, dan akurat.

2. Menunjukkan bahan pustaka yang dimiliki oleh suatu perpustakaan oleh pengarang tertentu berdasarkan subjek tertentu atau subjek-subjek yang berhubungan dan jenis atau bentuk literatur tertentu.

3. Membantu dalam pemilihan bahan pustaka berdasarkan edisi dan karakternya (sastra atau berdasarkan topik)

Sedangkan Siahaan (2013: 2) menyatakan bahwa fungsi katalog perpustakaan sebagai berikut:

1. Sebagai sarana atau alat bantu dalam temu balik informasi (information retrieval) di suatu perpustakaan.

2. Dapat menunjukkan dokumen apa saja yang dimiliki oleh sebuah perpustakaan

(11)

3. Sebagai suatu sistem komunikasi yang dapat menunjukkan kekayaan koleksi yang dimiliknya.

4. Sebagai daftar inventaris dari seluruh bahan pustaka yang dimilikinya 5. Dapat membantu pada pemilihan sebuah buku berdasarkan edisinya, atau

berdasarkan karakternya sastra atau topik.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pengatalongan subjek menganalisa isi dokumen/hari bakal di dalam bahan perpustakaan serta melakukan deskripsi subjek suatu bahan pustaka yang dimiliki perpustakaan terutama dalam penentuan tajuk subjek dan nomor klasifikasi.

2.3. Pengindeksan Subjek

Pengindeksan merupakan kegiatan deskripsi isi dokumen dengan memilih istilah paling tepat yang mampu mewakili isi dokumen. Istilah yang dipilih berasal dari kosakata terkendali, bahasa dokumenter dan ditata untuk memudahkan penyusunan berkas untuk keperluan penelusuran. Kegiatan pengindeksan sebagai kegiatan sentral sistem dokumentasi untuk simpan dan temu balik informasi. Pengindeksan berlangsung pada tahap tengah rangkaian dokumenter, baik pada saat dokumen memasuki subsistem simpan dan temu balik informasi ataupun pada waktu penelusuran.

Menurut Kahar (2014 : 13) “Pengindeksan subjek/katalogisasi subjek adalah proses katalogisasi yang berhubungan dengan penentuan subjek bahan pustaka termasuk di dalamnya klasifikasi dan penentuan tajuk subjek".

Kegiatan katalogisasi subjek/pengindeksan subjek meliputi 2 tahap perkerjaan yaitu:

1. Analisis Subjek, dan

2. Penerjemahan unsur-unsur tersebut ke dalam salah satu Bahasa Indeks. Dalam kegiatan perpustakaan, istilah pengindeksan (indexing) digunakan dengan berbagai arti. Pengindeksan dihubungkan dengan semua kegiatan dalam pembentukan indeks dan sejenis katalog dan bibliografi.

Menurut Purwono (2010: 93) Pengindeksan Subjek sebagai berikut:

1. Klasifikasi dokumen berdasarkan subjeknya. Istilah klasifikasi hampir selalu digunakan dalam batasan sempit, yakni pembentukan kelas berdasar subjek.

(12)

2. Pembentukan indeks dan sejenisnya yang akan memudahkan penemuan kembali dokumen dari segi subjeknya.

Menurut Siregar (2014 : 31) Tujuan pengindeksan tuntas adalah mengeluarkan dalam deskripsi indeks semua konsep utama yang dicakup dalam suatu dokumen misalnya buku teks mengenai ‘antropologi sosial’ umpamanya, maka dengan kebijaksanaan pengindeksan tuntas, pengindeksan memilih semua konsep utama yang tercakup oleh dokumen/buku tersebut. Dalam konsep-konsep seperti struktur sosial, kekerabatan, pernikahan, dan sebagainya akan ditunjukkan dalam analisis subjek untuk buku tersebut. Dalam pengindeksan tuntas ini yang dikeluarkan bukan hanya konsep yang terdapat dalam tema utama dokumen itu, tetapi juga konsep-konsep yang tercakup dalam subtema dengan tingkatan yang berbeda-beda.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa Pengindeksan Subjek adalah kegiatan melakukan identifikasi tentang subjek atau pokok persoalan yang dibahas dalam suatu bahan pustaka.

2.3.1. Kekhususan

Selain melakukan analisis subjek, pengindeks harus dapat memperkirakan kebutuhan informasi pengguna perpustakaan. Konsep-konsep yang dikeluarkan dalam analisis subjek memiliki derajat kekhususan (specificity).

Menurut Siregar (2014 : 32) Hubungan genus/species berasal dari klasifikasi ilmiah dalam dunia hewan dan tumbuh-tumbuhan, istilah genus/species digunakan dalam pengindeksan untuk mengenali hubungan yang terdapat diantara benda dengan jenis-jenis benda itu. Bangunan umpamanya, merupakan genus, sedangkan rumah adalah species dari genus tersebut. Perpustakaan umum, perpustakaan perpustakaan perguruan tinggi merupakan species dari “Perpustakaan”.

Selanjutnya Siregar (2014 : 33) Kekhususan dan ketuntasan dalam pengindeksan mempengaruhi penggilan kembali dan ketepatan. Misalnya suatu perpustakaan yang kebijaksanaan pengindeksannya adalah rangkuman, tetapi yang mengerjakan pengindeksan konsep secara non-spesifik. Jadi, dalam pengindeksan dokumen mengenai jenis sekolah, yang digunakan adalah istilah SEKOLAH (genus). Jika ada permintaan dokumen mengenai SEKOLAH DASAR, maka semua dokumen yang diindeks dengan istilah SEKOLAH harus ditelusuri untuk menemukan dokumen relevan yang diminta. Akibatnya, ketepatan rendah. Andaikan kekhususan pengindeksan ditambah, yakni konsep “sekolah dasar” diindeks dengan istilah SEKOLAH DASAR yang merupakan species dan bukan genus, maka untuk menjawab permintaan informasi mengenai subjek ini, yang diperlukan hanya menelusur dan menemukan kembali dokumen yang diindeks dengan istilah SEKOLAH DASAR. Dokumen lainnya yang mengenai taman kanak-kanak, sekolah lanjutan dan jenis sekolah lainnya tidak perlu diperhatikan. Semakin cermat kekhususan yang diterapkan dalam pengindeksan, semakin tinggi derajat kekhususan yang dapat dicapai untuk memenuhi suatu permintaan.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa Kekhususan adalah salah satu hubungan penting yang terdapat diantara konsep-konsep, yakni hubungan genus /

(13)

species. Dalam hal ini konsep dinyatakan dalam pengindeksan salah satu species, maka yang diterapkan adalah derajat kekhususan yang lebih tinggi. Dalam species lebih khusus daripada menyatakan genusnya. Kompas, Analisa, surat kabar, merupakan satu jenis media massa.

2.3.2. Pengindeksan Berangkai

Pengindeksan dapat juga berlangsung semasa produksi dokumen, dalam dokumen yang sangat cukup banyak. Dokumen primer biasanya pada bagian akhir dokumen. Tujuannya memilih dokumen yang sesuai dengan istilah yang digunakan dan indeks merupakan sarana pilih atau temu balik bagi kepentingan pemakai.

Menurut Siregar (2014 : 58) Pengindeksan berangkai (chain indexing) adalah suatu metode pembentukan indeks A/Z yang dikerjakan dengan memilih entri-entri indeks sistematik dan berhemat.

Selanjutnya (2014 : 51) Pemakaian indeks ini untuk katalog berkelas tidak akan bermanfaat, karena:

1. Banyak subjek yang terdaftar dalam indeks berabjad itu tidak akan terdapat dalam koleksi tertentu, sehingga juga tidak akan dijumpai dalam jajaran berkelas. Keadaan ini akan meresahkan pemakai yang menelusuri jajaran berkelas itu, tetapi tidak menjumpai subjek yang dikehendaki karena memang tidak terdaftar dalam jajara tersebut.

2. Subjek majemuk dalam koleksi yang diwakili oleh nomor kelas yang majemuk pula tidak akan dapat diperoleh melalui indeks itu. Dalam keadaan ini pemakai tidak dapat langsung mendekatkan jajaran berkelas untuk mendekatkan subjek spesifik yang dikehendakinya.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pengindeksan berangkai adalah merupakan metode pembentukan indeks subjek berabjad. Pengindeksan menentukan kelas untuk dokumen yang terdapat dalam koleksi buku dalam membuat entri-entri untuk indeks subjek berabjad tersebut.

2.3.3. Prosedur Berangkai

Subjek-subjek yang terdaftar dalam indeks berabjad merupakan jajaran berkelas yang terdapat dalam dokumen. Salah satu cara adalah dengan pengindeksan berangkai (chain indexing) yang dapat dikerjakan secara ekonomis dan sistematis.

(14)

Menurut Siregar (2014 : 52)

1. Prosedur Berangkai didasarkan pada nomor kelas yang diberikan kepada dokumen.

2. Pernyataan ringkas subjek okumen dalam nomor kelas disebut notasi. Tempat subjek dalam jajaran berkelas ditentukan oleh notasi yang juga menentukan entri-entri untuk dokumen mengenai subjek.

3. Jajaran berkelas yang disusun berdasarkan DDC pada dasarnya adalah suatu sistem entri tunggal (single entry system).

4. Dalam sistem, umumnya hanya satu nomor kelas diberikan untuk tiap dokumen dan merupakan tajuk entri tunggal dalam jajaran berkelas.

Dalam uraian di atas dapat dikemukan bahwa prosedur berangkai umumnya diberikan nomor kelas dalam dokumen dan tiap dokumen diberikan satu nomor kelas, disusun sesuai berdasarkan DDC.

2.3.4. Analisis Kelas Menjadi Rangkaian

Struktur tiap kelas dapat dibulatkan analisis, sehingga menjadi suatu “rangkaian” konsep.

Menurut Siregar (2014 : 52) Contoh Analisis Kelas menjadi Rangkaian adalah sebagai berikut:

“Partai Politik di Indonesia” yang akan dikelaskan menurut DDC 19. Analisis subjek;

Political Science/Political Parties: Indonesia/ Nomor kelas: 324.2598

Rangkaian:

300 Social sciences

320 Political sciences (Politics and Goverment)

324 The Political process

324.2 Political parties

324.2598 Indonesia

Analisis kelas menjadi rangkaian dikerjakan dengan dengan melihat bagan-bagan dalam skema klasifikasi, serta mencatat tiap langkah pembagian pada kelas itu,

(15)

seperti yang dicontohka diatas. Tiap rangkaian mencerminkan ciri-ciri pembagian yang ditetapkan dalam urutan situasi tertentu.

Konsep-konsep yang tersusun rangkaian dikerjakan dengan skema klasifikasi, serta melakukan pencatatan tiap langkah pembagian pada kelas yang terdapat dalam buku, seperti yang dicontohkan diatas. Tiap rangkaian mencerminkan ciri-ciri pembagian yang ditetapkan dalam urutan situasi tertentu.

Dalam uraian di atas dapat dikemukakan bahwa analisis kelas menjadi rangkaian haruslah dilakukan terlebih dahulu melakukan analisis subjek, selanjutnya nomor kelas, serta melakukan analisis kelas rangkaian subjek.

2.3.5. Entri Indeks

Entri indeks sangat butuhkan dalam pembentukan entri indeks untuk subjek tertentu dengan menggunakan prosedur berangkai.

Menurut Siregar (2014 : 53-54) Lihat contoh yang sudah diberikan sebelumnya, yakni: “Partai politik di Indonesia”

Nomor kelas : 324.2598 Rangkaian :

300 Social sciences

320 Political Science (Politics and Goverment) 324 The political prosess

324.2 Political parties

324.2598 Indonesia

Entri indeks pertama yang dibuat untuk subjek itu adalah:

Indonesia : Political Parties... 324.2598

Informasi mengenai subjek, langsung dibawa ke lokasi subjek spesifik. Entri indeks yang digunakan adalah

Indonesia : Political Parties... 324.2598

Penelusuran mencari informasi mengenai partai poliik di Indonesia, dan entri indeks A/Z mengarahkannya ke nomor kelas 324.2598 dalam katalog berkelas. Dalam katalog berkelas penelusur akan mendapatkan susunan entri-entri dokumen mengenai subjek yakni mengenai subjek spesifik penelusurannya yang dalam hal ini adalah

(16)

“Partai Politik di Indonesia”. Penelusuran entri yang langsung menuju ke kelas lengkap untuk subjek Entri indeks A/Z spesifik.

Entri indeks A/Z spesifik untuk kelas 324.2598 adalah:

Indonesia : Political Parties... 324.2598

Dari uraian di atas dapat dikemukan bahwa kata entri yang diindeks disertai nomor kelas yang sesuai dengan tingkatannya dalam rangkaian konsep-konsep.

2.3.6. Prosedur Pengindeksan

Prosedur pengindeksan berlangsung dalam beberapa bentuk. Pengindeksan dapat dilakukan dalam kegiatan tunggal sesuai kegiatan deskripsi bibliografi. Prosedur pengindeksan dilakukan oleh satu orang atau orang lain yang menangani keseluruhan dalam pengolahan. Pengindeksan dapat pula dilakukan dalam tahap berjam-jam oleh beberapa pengindeks, masing-masing pengindeks bertanggung jawab atas tugas tertentu atau tingkat tertentu.

Menurut Sulistyo-Basuki (1992 : 95) Pelaksanaan pengindeksan sama dengan pelaksanaan deskripsi isi, mencakup langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pengamatan awal terhadap dokumen. 2. Identifikasi subjek utama.

3. Identifikasi elemen yang dideskripsikan dan ekstraksi istilah berkaitan. 4. Verifikasi relevansi istilah-istilah tersebut.

5. Konversi istilah dari bahasa sehari-hari ke bahasa documenter (bilamana diperlukan).

6. Verifikasi relevansi deskripsi.

7. Pengaturan deskripsi sesuai dengan ketentuan formal yang dianut oleh sistem informasi bersangkutan.

Selanjutnya Sulistyo-Basuki (1992 : 98) bahwa indeks yang telah ditentukan/dipilih dapat diuji dengan cara:

1. Membandingkannya dengan dokumen asli, apakah deskriptor yang dipilih sesuai dengan isi dokumen atau tidak;

2. Membandingkannya dengan kumpulan istilah yang diambil tatkala mulai pengindeksan;

3. Menyimulasi beberapa pertanyaan untuk memeriksa apakah mampu temuu balik dokumen;

4. Mencari informasi mengenai subjek yang dibahas oleh dokumen; dan 5. Membandingkannya dengan pengindeksan beberapa dokumen yang sama. 6. Pengindeksan Subjek.

(17)

Untuk mengukur kualitas pengindeksan Sulistyo-Basuki mengemukakan beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Kedalaman

semua tempat, objek, dan konsep yang berkaitan dengan dokumen terdapat dalam indeks.

2. Pemilihan

hanya informasi yang berguna bagi pemakai saja yang dipilih 3. Kekhususan

deskripsi yang diberikan mewakili isi dokumen secermat mungkin dan menghindari descriptor terlalu umum atau terlalu rumit.

4. Taat asas/ konsisten

pengindeks atau pemakai lain biasanya mendeskripsi dokumen bersubjek sama dengan cara yang sama dilakukan oleh pengindeks.

Selain pendapat di atas Purwono (2010 : 100-101) menyatakan bahwa proses pengindeksan adalah sebagai berikut:

1. Pengindeksan kata, dalam hal ini semua kata yang tercantum dalam dokumen (biasanya disebut bahasa alamiah) sebagai dasar pembuatan indeks kecuali yang termasuk stop list. Stop list adalah semua kata yang tidak termasuk dalam keyword atau tidak dapat didekati, misalnya semua artikel (kata sandang) seperti: an, a, the, dll. Untuk pemakaian kosakata yang diambil dari dokumen (judul) kita harus mengetahui sinonimnya untuk mendapatkan banyak dokumen dalam proses penemuan kembali. Untuk menyatakan semua itu (sinonim) dalam sistem komputer, ada tanda-tanda tertentu misalnya dengan or, and atau dengan tanda-tanda titik dua (:) atau mengadakan pemotongan, misalnya teacher menjadi teach.

2. Pengindeksan konsep, dalam pengindeksan ini yang diindeks adalah konsep bukan kata. Dalam pengindeksan konsep ini dapat menggunakan bahasa artificial yang disesuaikan dengan kebutuhan pengindeksan. Bahasa artificial adalah bahasa indeks berstruktur yang terdiri dari satu daftar istilah indeks yang terawasi yang disebut kosakata terawasi atau daftar kendali. Dari tiap dokumen harus dikenali konsepnya, dan konsep itu diterjemahkan ke dalam suatu istilah indeks atau kelas yang diambil dari suatu daftar kendali (kosakata terawasi). kosakata terawasi menghasilkan pengindeksan yang taat asas dan penyesuaian kosakata antara pengindeks dan penelusur informasi. Kosakata terawasi mengendalikan kata sinonim, yang mendekati sinonim, homograf dan mempermudah penelusuran generick dengan memperlihatkan hubungan antar kata (untuk memperbanyak recall = perolehan)

3. Pengindeksan bahasa alami dengan mesin,

- KWICK (Key word in contact), kata yang digunakan sebagai kunci terletak di tengah, tetap pada kalimat. Misalnya:

University of Marylin Public

library

(18)

Introduction to library Manual of

classification

library classification Library

- KWOC (Key word out of contex), kata yang dianggap sebagai kunci dikeluarkan di depan/di belakang, misalnya

education

Library Introduction to library classification Library Library education

Library Manual of library classification Library Public library administration Library

University of Marylin library

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Prosedur pengindeksan subjek penting dan dapat dilakukan oleh satu orang atau orang lain yang menangani keseluruhan pengolahan dalam mencari informasi mengenai subjek yang dibahas dalam suatu dokumen.

2.3.7. Analisis Subjek

Klasifikasi yang umum digunakan pada perpustakaan sekarang ini adalah menggunakan klasifikasi fundamental. Artinya, klasifikasi dilakukan berdasarkan isi fundamental suatu buku, sehingga perubahan fisik buku, baik warna, tinggi, maupun lebar buku, tidak memengaruhi subjek atau isi suatu buku.

Menurut Suwarno (2010 : 119) “Analisis subjek merupakan hal sangat penting dan memerlukan kemampuan intelektual, di sinilah bahan pustaka ditentukan tempatnya dalam golongannya, jadi setiap dokumen harus dianalisis isinya”.

Sedangkan Siregar (2014 : 30) Analisis subjek tidak berarti analisis bidang pengetahuan dalam arti luas. Analisis subjek yang diperlukan dalam pengindeksan adalah analisis subjek sebagaimana subjek tersebut diungkapkan dalam dokumen (literary warrant).

Untuk melakukan analisis subjek, penganalisis perlu mengetahui prinsip-prinsip dasar analisis subjek. Prinsip-prinsip analisis subjek dibagi menjadi tiga bagian besar, yang kemudian diperinci kembali dalam bagian-bagian yang lebih kecil, hal tersebut dapat dilihat dalam bagan berikut:

(19)

Gambar 2.1 Bagan Prinsip Dasar Analisis Subjek

Sumber : Buku Pengetahuan Dasar Kepustakaan, (2010 : 120)

Menurut suwarno (2010 : 120) tiga bagian besar analisis subjek adalah

1. Disiplin ilmu yaitu buku yang dianalisis harus masuk ke dalam disiplin ilmu tertentu;

2. Objek bahasan atau fenomena yaitu setelah ditemukan disiplin ilmu tertentu buku harus jelas membahas tentang suatu kajian atau fenomena tertentu dalam disiplin ilmu;

3. Bentuk yaitu setelah ditemukan bentuk objek kajian atau fenomenanya buku harus disajikan dalam suatu bentuk tertentu.

1. Disiplin Ilmu

Disiplin ilmu adalah istilah yang digunakan untuk satu bidang atau satu cabang keilmuan. Misalnya Hukum, Kimia, atau Sosiologi. Disiplin ilmu merupakan bidang atau cabang keilmuan.

Dalam analisis subjek, pertama kali yang harus ditentukan adalah disiplin ilmu atau bidang ilmu pengetahuan yang dicakup oleh bahan pustaka yang dianalis. Contoh buku berjudul “Perkembangan Koperasi Sepuluh Tahun Terakhir”. Maka dapat ditentukan bahwa disiplin ilmu untuk judul buku adalah “ekonomi”. Kemudian dapat ditentukan pula objek pembahasannya yang juga sebagai fasetnya adalah “koperasi”. Dan pada konsep ketiga, yang harus ada adalah bentuk, maka bentuk penyajian buku adalah sejarah, mengingat unsur waktu atau perkembangan dari waktu ke waktu sangat dominan.

Disiplin ilmu dapat dibedakan 2 (dua) kategori, yaitu:

1. Disiplin fundamental merupakan bagian utama ilmu pengetahuan. Bidang-bidang pengetahuan dasar yaitu ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alamiah, dan ilmu-ilmu kemanusiaan.

2. Sub-Disiplin merupakan bidang spesialisasi dalam satu disiplin fundamental. Misalnya dalam disiplin fundamental ilmu-ilmu alamiah, sub-disiplin yang merupakan spesialisasi atau cabangnya adalah fisika, biologi, sosiologi, ekonomi, dan politik.

Disiplin ilmu/ sub disiplin ilmu

Disiplin Ilmu/ sub disiplin ilmu ilmu 2

Intelektual

Objek Bahasa (Fenomena) Bentuk

Penyajian Fisik

(20)

2. Objek pembahasan atau fenomenatau objek

Objek pembahasan atau fenomena ialah benda atau wujud yang menjadi titik kajian dari suatu disiplin ilmu. Misalnya dalam buku berjudul “pendidikan wanita”, pendidikan merupakan disiplin ilmu dan wanita merupakan objek atau titik kajiannya dari disiplin ilmu pendidikan. Objek kajian merupakan bagian dari disiplin ilmu, atau dengan kata lain fenomena atau objek kajian dapat ditentukan setelah disiplin ilmu dalam suatu bahan pustaka sudah ditentukan. Fenomena berperan sebagai konsep subjek dalam analisis subjek. Konsep subjek menunjukkan tema suatu bahan pustaka.

Fenomena yang sama dapat dikaji oleh disiplin ilmu yang berbeda, tetapi penentu golongan utama adalah disiplin ilmu yang membawahi fenomena tersebut. Dengan kata lain, fenomena berperan sebagai konsep subjek dalam analisis subjek. Konsep subjek menunjukkan tema suatu bahan pustaka.

Fenomena yang dikaji oleh berbagai disiplin ilmu dapat dibedakan atas dua kategori yaitu:

1. Objek konkret, misalnya gedung, meja, buku.

2. objek abstrak misalnya moral, hukum, adat, pintar, nakal.

Fenomena dapat dikaji dari satu atau beberapa disiplin ilmu. Fenomena yang dikaji tersebut dikelompokkan berdasarkan suatu ciri yang dimiliki bersama. Ciri pembagian itu disebut dengan “faset”.

Suatu disiplin ilmu pengetahuan dapat ditinjau menurut sejumlah faset misalnya bidang sosial dapat ditinjau antara lain menurut demokrasi, yang akan diperoleh : lingkungan, kependudukan, dan lain-lain. Atau, jika ditinjau dari interaksi social akan diperoleh: komunikasi, psikologi sosial, dan lain-lain.

Menurut Ranganathan, seorang ilmuan dan pustakawan dari india yang pernah menciptakan sistem klasifikasi yang disebut ”colom classification”, untuk membantu para pengklasifikasi bahan pustaka dalam melakukan analisis subjek, suatu fenomen atau faset dapat dianalisis dengan memberikan urutan factor-faktornya, yang disingkat PMEST, yaitu (P) personality, (M) matter, (E) energy, (S) space, dan (T) time.

− (P) = Personality (wujud, meliputi jenis, produk, atau tujuan) − (M) = Matter (bahan atau material)

− (E) = Energi (kegiatan atau masalah) − (S) = Space (tempat geografis) − (T) = Time (waktu)

Sebagai contoh buku yang berjudul “ Pendekatan dalam penyusunan organisasi sekolah tahun 2005 di Indonesia”, urutannya dapat ditentukan sebagai berikut:

− (P) Personality : Sekolah − (M) Matter : Organisasi − (E) Energi : Penyusunan − (S) Space : Indonesia − (T) Time : Tahun 2005

Secara lengkap susunan analisis subjek adalah − DISIPLIN/PMEST/BENTUK

(21)

3. Bentuk

Pembahasan mengenai “bentuk” berbeda dengan konsep subjek yang menunjukkan mengenai tema atau isi suatu bahan pustaka. Konsep bentuk lebih merujuk pada penyajian suatu kajian dari bahan pustaka.

Bentuk ialah cara bagaimana suatu subjek disajikan. Ada tiga jenis konsep bentuk, yaitu :

1. Bentuk fisik, yaitu media atau sarana yang digunakan dalam menyajikan suatu subjek. Bahan pustaka disajikan dalam bentuk buku, majalah, pita rekaman, mikrofis, CD-ROM. Bentuk fisik tidak mempengaruhi pada isi bahan pustaka. Sebagai contoh buku dengan subjek bahasa, meskipun disajikan dalam berbagai jenis media, misalnya kaset video, buku, atau majalah, maka subjeknya tetap pada bahasa.

2. Bentuk penyajian, yaitu bentuk yang ditekankan pada pengaturan atau organisasi isi bahan pustaka. Ada tiga macam bentuk penyajian yaitu: a. Yang menggunakan lambing-lambang dalam penyajiannya, seperti

bahasa (dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab dan sebagainya), gambar dan sebagainya.

b. Yang memperlihatkan untuk kelompok tertentu, misalnya abjad, kronologis, sistematik, dan sebagainya

c. Yang penyajiannya untuk kelompok tertentu, misalnya bahasa inggris untuk pemula, Psikologi untuk ibu rumah tangga. Kedua buku tersebut adalah mengenai bahasa Inggris dan psikologi, bukan mengenai pemula atau ibu rumah tangga.

3. Bentuk intelektual, yaitu aspek yang ditekankan dalam pembahasan suatu subjek. Misalnya filsafat sejarah, disini yang menjadi subjeknya adalah sejarah, sedangkan filsafat, yang menjadi subjeknya adalah filsafat, sedangkan sejarah adalah bentuk penyajian intelektualnya.

Selain uraian di atas Purwono (2010: 110) mengemukan bahwa subjek suatu dokumen dengan analisis subjek dapat mengikuti langkah-langkah praktis berikut:

1. Melalui judul, seringkali melalui judul saja suatu dokumen sudah dapat ditentukan subjeknya, hal ini kebanyakan untuk buku-buku ilmiah.

2. Melalui daftar isi, adakalanya dengan melihat daftar isi suatu dokumen sudah diketahui subjeknya.

3. Melalui daftar pustaka atau bibliogafi yang digunakan oleh pengarang untuk menyusun karya tersebut.

4. Dengan membaca kata pengantar atau pendahuluan dari bahan pustaka tersebut.

5. Apabila langkah-langkah di atas masih belum dapat membantu, hendaklah dengan memaca sebagian atau keseluruhan dari isi karya tersebut.

6. Menggunakan sumber lain seperti: bibliografi, katalog, kamus, biografi, ensiklopedia, tinjauan buku.

7. Seandainya cara-cara terdahulu masih belum juga dapat membantu menentukan subjek bahan pustaka, hendaknya menanyakan kepada yang ahli dalam subjek tersebut.

(22)

Dari uraian di atas dapat dikemukan bahwa analisis subjek adalah merupakan kegiatan sebelum menentukan nomor kelas suatu bahan pustaka. Selain itu, analisis subjek merupakan langkah awal dalam kegiatan klasifikasi yaitu proses meneliti, mengkaji dan menyimpulkan isi yang dibahas dalam bahan pustaka. Suatu bahan pustaka yang sedang diproses.

2.3.8. Jenis Subjek

Dalam kegiatan analisis subyek, ada bermacam-macam jenis subyek bahan pustaka yang secara umum. Jika dilihat dari jenis subjeknya, bahan pustaka terdiri dari bermacam-macam jenis subjek.

Secara umum, jenis subjek dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yaitu:

1. Subjek dasar, yaitu subjek yang hanya terdiri dari satu disiplin atau subdisiplin ilmu saja, tidak menampilkan satu faset pun dari bidang pengetahuan atau disiplin terkait.

Contoh:

a. Pengantar ekonomi

Subjek dasar : EKONOMI Fenomena : tidak ada Urutan sitiran : EKONOMI b. Dasar-dasar matematika

Subjek dasar : MATEMATIKA

Fenomena : tidak ada

Urutan sitiran : MATEMATIKA

c. Kamus pertanian

Subjek dasar : PERTANIAN Fenomena : tidak ada Bentuk penyajian : KAMUS

Urutan sitiran : PERTANIAN/KAMUS

2. Subjek sederhana, yaitu subjek yang hanya terdiri dari satu faset yang berasal dari satu subjek dasar. Menampilkan fenomena atau konsep subjek,

(23)

yang mengkaji satu fokurs dari satu faset dalam disiplin atau subjek dasar terkait. Contoh:

a. Pengantar ekonomi pertanian Subjek dasar : EKONOMI

Fenomena : faset E : PERTANIAN Urutan sitiran : EKONOMI/PERTANIAN b. Peternak ayam

Subjek dasar : PETERNAKAN Fenomena : faset P : AYAM Urutan sitiran : PETERNAKAN/AYAM c. Pengantar pengindeksan subjek

Subjek dasar : ILMU PERPUSTAKAAN

Fenomena : Faset E : PENGINDEKSAN SUBJEK

Urutan sitiran : ILMU PERPUSTAKAAN/PENGINDEKSAN SUBJEK

3. Subjek majemuk, yaitu suatu sabjek yang terdiri dari subjek dasar disertai fokus-fokus dari dua atau lebih faset. Manampilkan fenomena atau konsep subjek yang mengkaji gabungan beberapa focus dari beberapa faset dalam disiplin atau subjek dasar terkait.

Contoh:

a. Kurikulum Sekolah Dasar

Di sini terdapat satu subjek dasar, dan dua faset Subjek dasar : PENDIDIKAN

Fenomena : faset P (jenis) : SEKOLAH DASAR Fenomena : faset E (masalah) : KURIKULUM b. Perguruan Tinggi di Indonesia

Subjek dasar : PENDIDIKAN

Fenomena : faset P (jenis) : PERGURUAN TINGGI Fenomena : faset S (tempat) : INDONESIA

4. Subjek kompleks, yaitu bila ada dua atau lebih subjek dasar yang berinteraksi antara satu sama lain. Dalam melakukan analisis subjek, untuk

(24)

subjek kompleks harus dapat melakukan pemilihan secara taat asas subjek mana yang akan diutamakan. Untuk itu perlu diketahui hubungan interaksi antara subjek tersebut, yang disebut dengan istilah fase.

Menurut Suwarno, (2010: 123-124) pada pokoknya terdapat 4 (empat) jenis subjek yaitu :

1. Subjek dasar adalah subjek yang merupakan bidang pengetahuan secara umum tanpa ada suatu fenomena tertentu.

Contoh:

“Pengantar Ilmu Pendidikan”. Subjek judul tersebut dapat dirangkum dengan “Pendidikan” saja, tanpa fenomena.

“Dasar-dasar Ilmu Sosial”. Subjek judulnya cukup “Sosial” saja, tidak diikuti dengan fenomena lain.

2. Subjek sederhana adalah subjek yang membahas disiplin ilmu tertentu yang disertai dengan satu faset aja, atau dengan kata lain, subjek dasar yang disertai dengan satu fenomena.

Contoh: “Sekolah Dasar”, subjek ini dapat diurai menjadi: Disiplin ilmu = Pendidikan

Fenomena = Pendidikan Dasar

Contoh lain, buku tentang “Penyakit Menular”, dapat dirangkum menjadi: Disiplin ilmu = Kedokteran

Fenomena = Penyakit Menular

3. Subjek Majemuk adalah jika subjek dasar disertai fokus-fokus yang berasal dari dua faset atau lebih. Atau, jika subjek dasar disertai lebih dari satu fenomena.

Contoh buku yang berjudul “Perguruan Tinggi di Indonesia”, dapat dirangkum menjadi:

Disiplin ilmu = Pendidikan Fenomena (Faset) 1 = Perguruan Tinggi Fenomena (Faset) 2 = Indonesia

4. Subjek Kompleks adalah suatu bahan pustaka yang memiliki dua atau lebih disiplin ilmu.

Contoh buku yang berjudul “Dasar-dasar Pendidikan Ilmu Perpustakaan”, dapat dirangkum menjadi:

Disiplin 1 = Pendidikan Disiplin 2 = Perpustakaan

Dari uraian di atas dapat dikemukan bahwa jenis subjek terdapat ada 4 jenis yaitu subjek dasar, sederhana, majemuk dan kompleks.

(25)

2.3.9. Bahasa Dokumenter

Bahasa Dokumenter merupakan sarana unjuk kerja kegiatan khusus, yang dilaksanakan dalam kondisi khusus untuk memenuhi keperluan khusus dan merupakan temu balik informasi di dalam perpustakaan.

Menurut Sulistyo-Basuki (1992 : 67) Bahasa dokumenter atau bahasa pengindeksan adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh unit informasi untuk memberi isi dokumen dengan tujuan utama untuk simpan dan ditemu balik.

Selanjutnya Sulistyo-Basuki (1992 : 67) Adapun yang dibahas dalam bahasa dokumenter adalah tajuk subjek, klasifikasi, kata kunci, daftar descriptor, tesaurus, ataupun leksikon, semuanya itu tergolong dalam family sama, melayani tujuan yang sama, serta memiliki banyak persamaan.

Dalam uraian di atas dapat diketahui bahwa bahasa dokumenter adalah bahasa sehari-hari dengan ekuivalen dalam satu bahasa asing lainnya atau lebih dan merupakan simpan dan temu balik informasi yang dibahas dalam bahasa dokumenter.

2.3.10. Cara Menentukan Subjek

Untuk mengetahui subjek suatu bahan perpustakaan dapat dilakukan dengan meneliti subjeknya.

Cara menentukan subjek dalam Buku Panduan Klasifikasi Di Perpustakaan Nasional RI (2007 : 8) yaitu:

a Melalui judul buku, seringkali melalui judul saja suatu bahan perpustakaan sudah dapat ditentukan subjeknya, hal ini kebanyakan untuk buku-buku ilmiah.

b Melalui daftar isi, adakalanya dengan melihat daftar isi suatu bahan perpustakaan sudah diketahui subjeknya.

c Melalui daftar bahan perpustakaan atau bibliografi yang digunakan oleh pengarang untuk menyusun karya.

d Dengan membaca kata pengantar atau pendahuluan dari bahan perpustakaan.

e Apabila langkah-langkah diatas masih belum dapat membantu hendaklah dengan membaca sebagian atau keseluruhan dari isi bahan perpustakaan. f Menggunakan sumber lain seperti bibliografi, ensiklopedi, tinjauan buku. g Seandainya cara terdahulu masih belum juga dapat membantu untuk

menentukan subjek bahan perpustakaan, hendaknya menanyakan kepada para ahlinya dalam subjek.

(26)

Dalam uraian di atas dapat diketahui bahwa cara menentukan subjek adalah melalui judul buku, karena melalui judul pengindeks sudah dapat menetapkan isi atau subyek buku, daftar isi dengan membaca daftar isi suatu buku pengindeks akan dapat menganalisa subyeknya, membaca kata pengantar atau pendahuluan dari buku, membaca sebagian atau keseluruhan isi buku, cara terakhir adalah dengan menanyakan kepada ahlinya, apabila cara terdahulu tidak berhasil.

2.4. Tesaurus

Tesaurus merupakan salah satu metode populer menata susun bahasa dokumenter kombinasi. Tesaurus terdiri dari sejumlah himpunan kata yang terkendali dikaitkan dengan hubungan hierarkis atau asosiatif yang menandai hubungan ekuivalen yang diperlukan (sinonim) dengan istilah dari bahasa sehari-hari dan terpusat pada salah satu bidang ilmu pengetahuan.

Menurut Philipps (1992 : 60) “Tesaurus adalah kumpulan deskriptor umumnya dari bidang tertentu yang tidak hanya mendaftar istilah menurut abjad tetapi juga memperlihatkan hubungan antar deskriptor”.

Sedangkan Purwono (2010 : 98) “Tesaurus adalah alat pengawasan kosakata yang bersifat dinamis yang disusun secara sistematik ataupun abjad yang digunakan untuk penyimpanan dan penemuan kembali informasi dan biasanya mengkhususkan pada bidang ilmu tertentu”.

Selain pendapat di atas Siregar (2014 : 16) Tesaurus dimaksudkan sebagai suatu metode pengendalian bahasa alami atau konsep-konsep Tauber. Perlu dicatat bahwa timbulnya tesaurus, beberapa daftar tajuk subjek dan daftar “kata kunci” secara salah sering disebut tesaurus

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa tesaurus tersedia untuk hampir semua bidang, misalnya pertanian, lingkungan, tenaga kerja, pembangunan industri, kimia, dan teknik.

2.5 Pengertian Klasifikasi

Dalam kehidupan sehari-hari sesungguhnya pekerjaan klasifikasi secara alamiah telah dilakukan dalam perpustakaan. Salah satunya perpustakaan perguruan tinggi. Kegiatan klasifikasi dapat di lihat di pasar buah. Masing-masing buah tertata rapi,

(27)

dikelompokkan buah yang sama dan dipisahkan buah dari jenis lainnya. Untuk satu jenis buah masih dikelompokkan lagi, yang besar dengan yang besar dan yang lebih dikelompokkan tersendiri. Hal yang sama dapat dilihat berbelanja di toko swalayan dan pengelompokan dari berbagai macam dagangan. Semua itu bertujuan untuk memudahkan para pembeli dalam memilih dan mendapatkan apa yang dibutuhkan secara cepat.

Dalam buku Panduan Klasifikasi Di Perpustakaan Nasional RI (2007: 2) ”secara harfiah arti klasifikasi adalah penggolongan, pengelompokan”. Kata selanjutnya, pengertian secara umum bahwa klasifikasi ialah suatu kegiatan yang mengelompokkan benda yang memiliki beberapa ciri yang sama dan memisahkan benda yang tidak sama.

Dalam kaitannya di dunia perpustakaan klasifikasi diartikan sebagai kegiatan pengelompokan bahan perpustakaan berdasarkan ciri-ciri yang sama, misalnya pengarang, fisik, dan isi.

Suatu bahan pustaka dapat memiliki beberapa ciri, diantarana adalah ciri kepengarangan, ciri bentuk fisik, dan ciri subjek. Setiap bahan pustaka dapat dikelompokkan pada setiap ciri tersebut.

Selanjutnya dalam buku Panduan Klasifikasi Di Perpustakaan Nasional RI (2007 : 3) pada dasarnya di perpustakaan dikenal ada 2 (dua) jenis kegiatan klasifikasi yaitu :

1. Klasifikasi Fundamental (Fundamental Classification) yaitu klasifikasi bahan perpustakaan berdasarkan subjek/isi buku, sebab pada dasarnya pemakai perpustakaan lebih banyak mencari informasi tentang subjek tertentu.

2. Klasifikasi Artifisial (Artificial Classification) yaitu klasifikasi bahan pustaka berdasarkan ciri-ciri yang ada pada bahan pustaka.

Sedangkan dalam buku Membina Perpustakaan Sekolah (1994: 81) ”Klasifikasi dimaksudkan pengelompokan buku atau bahan pustaka menurut isinya”.

Menurut Suwarno (2010 : 117) “klasifikasi di perpustakaan juga dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat pemakai dalam memilih dan mendapatkan buku atau gahan pustaka yang diperlukan secara cepat dan tepat”.

Selanjutnya, Suwarno (2010 : 117) dalam Buku Pengetahuan Dasar Kepustakaan menyatakan bahwa secara umum, klasifikasi terbagi dalam dua jenis yaitu:

(28)

1. Klasifikasi Artifisial (Artificial Classification), yaitu klasifikasi bahan pustaka berdasarkan sifat-sifat yang secara kebetulan ada pada bahan pustaka.

2. Klasifikasi fundamental (fundamental classification), yaitu klasifikasi bahan pustaka berdasarkan isi atau subjek buku, yaitu sifat yang tetap pada bahan pustaka, sekali pun kulitnya berganti-ganti atau formatna diubah. Berdasarkan uraian di atas klasifikasi adalah untuk memudahkan pengguna/ pemakai dalam memilih dan mendapatkan buku atau bahan pustaka yang diperlukan secara tepat dan cepat.

2.5.1. Tujuan Klasifikasi

Klasifikasi merupakan kegiatan pemisahan benda-benda atau objek bahan pustaka yang terdapat dalam perpustakaan berdasarkan klasifikasi. Untuk mempermudahkan pengguna dalam penelusuran bahan pustaka yang tersedia. Disamping itu juga klasifikasi memiliki tujuan.

Dalam buku Panduan Klasifikasi Di Perpustakaan Nasional RI (2007 : 3) menyatakan bahwa sistem pengaturan bahan pustaka pada rak, klasifikasi perpustakaan bertujuan :

1. Dapat menentukan lokasi bahan perpustakaan didalam jajaran koleksi perpustakaan sehingga memudahkan temu kembali informasi.

2. Mengumpulkan semua bahan perpustakaan yang memiliki subjek yang sama dalam satu jajaran koleksi.

3. Memudahkan penelusuran atau menemukan kembali dokumen/bahan perpustakaan yang dimiliki dengan tidak memandang besar kecilnya koleksi perpustakaan.

Selanjutnya Suwarno (2010 : 117) “tujuan klasifikasi ialah agar semua jenis bahan pustaka itu dapat didayagunakan semaksimal mungkin oleh pemakai atau pengguna”.

Sedangkan menurut Sulistyo-Basuki (1992 : 88) tujuan klasifikasi ialah

1. Memudahkan kelancaran penyimpanan dokumen primer di rak secara sistematik;

2. Penjajaran jajaran bibliografis dalam jajaran sistematik;

3. Penyertaan cantuman atau acuan bibliografis dalam katalog tercetak atau produk documenter (bulletin bibliografi, bulletin abstrak)

(29)

Berdasarkan uraian di atas tujuan klasifikasi adalah agar semua jenis bahan pustaka dapat didayagunakan semaksimal mungkin oleh pemakai atau pengguna. Untuk itu, kegiatan klasifikasi menjadi kebutuhan bagi perpustakaan.

2.5.2. Manfaat Klasifikasi

Selain mempunyai tujuan, klasifikasi juga memiliki manfaat tentunya. Begitu juga dalam perpustakaan.

Menurut Sulistyo-Basuki (1992 : 88) manfaat klasifikasi ialah

1. Penyimpanan dokumen di rak, sehingga memudahkan penggunaan koleksi, khususnya untuk akses langsung;

2. Informasi dapat dipecah-pecah menjadi kategori yang relatif tidak banyak, masing-masing kategori berkaitan dengan minat sekelompok pemakai, misalnya kelas “plant production” berisi subkelas “cereals”, “vegetables”, dan “fruits” sehingga pemakai yang mengkhususkan diri dalam bidang dapat menemukan informasi yang relevan;

3. Informasi dapat digolongkan sebelumnya berdasarkan kelas utama menjadi seri kategori yang tersusun logis.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa manfaat klasifikasi adalah untuk menyususun buku-buku/ dokumen-dokumen dalam penyimpanannya di rak. Buku diberi label yang berisi tanda buku yang salah satu unsurnya adalah notasi klasifikasi. Untuk memudahkan pustakawan dalam menyusun katalog berdasarkan nomor klasifikasi.

2.5.3. Prosedur Klasifikasi

Selain manfaat klasifikasi, prosedur klasifikasi juga memiliki langkah-langkah untuk menentukan subjek utama sebuah dokumen. Prosedur klasifikasi sama dengan pola umum deskripsi isi.

Menurut Sulistyo-Basuki (1992 : 89) Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi subjek utama dokumen.

2. Penggolongan kelas sesuai dengan subjek dokumen.

3. Identifikasi kararteristik sekunder (ruang, waktu, bentuk bahasa) bilamana system penomoran klasifikasi menyertakan informasi.

(30)

5. Pemilihan atau pencantuman nomor berkaitan sesuai dengan peraturan sistem klasifikasi.

6. Penambahan nomor panggil (call number). Pada beberapa sistem klasifikasi nomor panggil terdiri dari nomor klasifikasi, tiga huruf pertama nama pengarang, dan tahun terbit. Misalnya sebuah dokumen oleh R. Duchemin tentang penggunaan conifer bagi penghijauan hutan di Perancis berdasarkan UDC (Universal Decimal Classification) memiliki nomor panggil sebagai berikut:

Kehutanan digolongkan pada 634.0

di Perancis (subdivisi tempat) digolongkan pada (44)

Duchermin, R digolongkan pada DUC

sehingga hasilnya ialah 634.0 (44) DUC 7. Penempelan nomor panggil pada dokumen.

8. Penandaan nomor klasifikasi pada lembaran masukan atau cantuman bibliografis pada ruang yang telah disediakan.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa prosedur klasifikasi adalah melakukan identifikasi subjek dokumen, penggolongan kelas subjek dokumen, identifikasi karakteristik penomoran klasifikasi, penelusuran nomor, pemilihan atau pencantuman nomor, penambahan nomor panggil, penempelan nomor panggil, penandaan nomor klasifikasi.

2.5.4. Sistem Klasifikasi

Dalam menentukan sistem klasifikasi yang akan digunakan di perpustakaan, maka perlu dilihat terlebih dahulu sistem klasifikasi tersebut.

Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan (2007: 75) Kaelani (1993), mengutip pendapatnya Berwick Sayers dalam buku An Introduction to Library Classification, menyatakan bahwa sistem klasifikasi dikatakan baik jika memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

a. Bersifat universal

Maksudnya, suatu klasifikasi baik jika hasilnya meliputi bidang pengetahuan. Dengan demikian, berbagai pihak dari berbagai disiplin keilmuan dapat menggunakan sistem klasifikasi tersebut.

b. Teperinci

Di samping universal, suatu bagan klasifikasi yang baik adalah teperinci dalam membagi bidang-bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, setiap subjek dapat memperoleh tempat secara sesuai aturan dalam system klasifikasi tersebut

(31)

c. Sistematis

Susunan bagan klasifikasi yang baik menggunakan sistem tertentu agar memudahkan bagi pemakainya. Sistematis berarti direkayasa dengan cara sedemikian rupa sehingga aturan itu menjadi mudah untuk digunakan. Misalnya, notasi yang bernomor kecil secara urut berjajar ke nomor yang lebih besar

d. Fleksibel

Susunan bagan hendaknya fleksibel, karena ilmu pengetahuan itu senantiasa berkembang dinamis, tidak statis. Dengan demikian, jika di dalam perkembangannya diketemukan subjek-subjek baru, hal itu dapat ditampung di dalam bagan tanpa merusak struktur bagan yang sudah ada e. Mempunyai notasi yang sederhana

Notasi merupakan suatu symbol yang mewakili suatu subjek. Dalam bagan klasifikasi setiap subjek mempunyai symbol tertentu. Bagan klasifikasi yang baik menggunakan notasi yang sederhana dan mudah diingat. Di antara notasi yang mudah diingat adalah angka Arab dan huruf Latin. f. Mempunyai indeks

Indeks merupakan suatu daftar kata atau istilah yang disusun secara sistematis, yang mengacu kepada suatu tempat. Dalam indeks bagan klasifikasi yang dijadikan pedoman adalah notasi. Misalnya: Pendidikan 370. Indeks merupakan salah satu sarana dalam penelusuran notasi pada waktu melakukan proses klasifikasi.

g. Mempunyai badan pengawas

Suatu sistem klasifikasi yang baik mempunyai satu badan yang bertugas memantau dan mengawasi perkembangan bagan klasifikasi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, bagan klasifikasi tersebut selalu mutakhir dan tidak ketinggalan zaman.

Sedangkan Soeatminah (1992: 89) sistem klasifikasi ada tiga yaitu: 1. Dewey Decimal Classification (DDC)

2. Universal Decimal Classification (UDC) 3. Library of Congress Classification (LCC)

Banyak sistem klasifikasi yang pernah berkembang dan digunakan di perpustkaan. Di antara beberapa bagan klasifikasi yang baik ada tiga macam yaitu:

1. Library Congress Classification (LCC)

LCC mulai dikembangkan tahun 1899 dan mulai terbit pertama kali pada tahun 1901. Adanya sistem klasifikasi terutama karena kepentingan perpustakaan Congress Amerika yang begitu besar koleksinya dan dirasa kurang sesuai jika menggunakan sistem klasifikasi lain. Sistem klasifikasi LCC tidak secara tegas membagi bidang-bidang ilmu pengetahuan secara ilmiah, melainkan hanya bersifat mengelompokkan dengan menggunakan symbol-simbol yang merupakan kombinasi huruf latin dan angka Arab. Setiap kelas utama dalam sistem klasifikasi menggunakan notasi berupa inisal (A-Z) kecuali huruf i, O, W, X, dan Y yang tidak digunakan.

(32)

Tabel 2.1 Gambaran Contoh Tampilan Notasi Klasifikasi LCC

Notasi Subjek Notasi Subjek

A Karya umum L Pendidikan

B Filsafat M Musik

C Sejarah N Seni

D Sejarah dan topografi P Bahasa dan Kesusasteraan E-F Sejarah Amerika R Ilmu Kedokteran

G Geografis S Pertanian

H Ilmu-ilmu sosial, Ekonomi T Teknologi

J Ilmu politik Z Bibliografi dan Ilmu perpustakaan

K Hukum R

Sumber :

Notasi di atas hanya contoh saja, masih ada kelas utama yang tidak disajikan. Di sampint itu untuk sub-subdivisinya terdiri atas kombinasi huruf-huruf tersebut. Bagan klasifikasi hanya digunakan oleh Perpustakaan Congres di Amerika, beberapa perpustakaan universitas yang besar di Amerika dan beberapa perpustakaan di luar Amerika Serikat.

2. Dewey Decimal Classification (DDC)

Sistem klasifikasi Dewey Decimal Classification (DDC) dikembangkan sejak tahun 1873 oleh seorang pustakawan di Amherst College, Massachusetts Negara bagian di Amerika Serikat, yang bernama Melvin Dewey. DDC merupakan sistem klasifikasi yang paling populer dan paling banyak pemakainya. Pada garis besarnya sistem klasifikasi menyediakan bagan yang meliputi seluruh bidang ilmu pengetahuan yang dibagi menjadi sepuluh bidang.

3. Universal Decimal Classification (UDC)

Universal Decimal Classification (UDC) merupakan adaptasi dari Dewey Decimal Classification (DDC). UDC terbit pertama kali pada tahun 1905 dalam bahasa Perancis. UDC dirancang untuk menyusun indeks berkelas dari bibliografi universal perintis mengembangkan UDC ialah Paul Otlet dan Henri La Fontaine dari Belgia. DDC sudah lama dikenal serta merupakan sistem klasifikasi paling umum. Kini pengembangan UDC dilakukan oleh FID (Federation International de Documentation) yang berpusat di Den Haag. FID berusaha UDC dapat digunakan untuk menyimpan informasi berbagai computer.

Pembagian kelas utama UDC tidak jauh berbeda dengan DDC. UDC merupakan skema klasifikasi umum yang mencakup semua cabang ilmu pengetahuan. Dalam subdivisi subjek, perincian dimulai dari umum ke khusus. Sebagai contoh untuk subjek pertanian, yaitu:

63 pertanian 633 tanaman keras

(33)

633.1 cereal, corn, grain

Jadi perinciannya terlihat dari umum ke khusus, yaitu makin khusus suatu subjek, semakin panjang notasinya. Pembagian klas utama sistem klasifikasi UDC dapat dilihat pada:

Tabel 2.2 Klas Utama Bagian UDC

Notasi UDC Subjek

0 Karya-karya Umum

1 Filsafat, Metafisika, Psikologi, Logika, Etika 2 Agama, Theologi

3 Ilmu-ilmu Sosial

4 (tidak digunakan lagi). Dahulu untuk linguistik, Filologi 5 Matematika dan Ilmu-ilmu Alam

6 Ilmu-ilmu Terapan, Kedokteran, Teknologi 7 Seni, Rekreasi, Hiburan, Olahraga

8 Linguistik, Filologi, Sastra 9 Geografi, Biografi, Sejarah

Sumber :

Pada UDC rincian yang mengarah ke pengembangan subjek jauh lebih banyak dari pada DDC. Kini UDC merupakan klasifikasi berfaset sehingga mampu mengombinasikan berbagai subjek dan melakukan sintesis dan konsep dengan berbagai tanda tambahan.

UDC menggunakan notasi angka Arab dan abjad serta simbol-simbol tanda baca sehingga bersifat sederhana, namun mampu diperluas tanpa batas berkat prinsip desimalnya. UDC hanya menggunakan satu angka Arab untuk subjek utamanya tanpa tambahan 0 seperti halnya dengan DDC. Sebagai contoh DDC adalah 300. UDC lebih mampu memberi hubungan subjek dari pada DDC. Kemampuan ini diperoleh dari penggunaan indicator faset atau symbol yang menandai bagian komponen sebuah nomor kelas. Faset ini berupa tanda numeric (nonverbal) dan nonnumerik.

Sebagai gambaran penampilan DDC dan UDC dapat dilihat pada Tabel 2.4 sebagai berikut:

Table 2.3 Gambaran Contoh Penampilan Notasi DDC dan UDC

Notasi DDC Subjek Notasi UDC

100 Filsafat 1

110 Metafisika 11

370 Pendidikan 37

375 Kurikulum 375

(34)

Dalam uraian di atas dapat diketahui bahwa sistem klasifikasi adalah Library Congress Classification (LCC), Dewey Decimal Classification (DDC), Universal Decimal Classification (UDC)

Gambar

Gambar 2.1  Bagan Prinsip Dasar Analisis Subjek
Tabel  2.2 Klas Utama Bagian UDC

Referensi

Dokumen terkait

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Sebagian besar jalur yang tidak beroperasi berada pada daerah operasional IV. Penelitian ini bertujuan untuk membuat skala

Berdasarkan elaborasi dari pengertian sikap Bohner dan Wanke (2010) dan pengertian makan sehat menurut yang telah diuraikan sebelumnya, maka sikap terhadap makan

Rumah Perawatan Psiko-Neuro-Geriatri atau yang lebih dikenal dengan “Puri Saras” adalah klinik kesehatan yang bergerak dalam bidang layanan kesehatan jiwa, mulai beroperasi sejak

Langkah-langkah dalam pengecekkan televisi yang rusak adalah sebagai berikut , Pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa bagian catu dayanya, apakah sudah ada tegangan yang

Pada perlakuan hormon lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol bahkan rata-rata luas yang dihasilkan lebih kecil dari kontrol yaitu dibawah 0,335 cm 2

Schizencephaly merupakan kasus yang jarang terjadi, dengan adanya malformasi celah pada cortex cerebri yang disebabkan oleh kegagalan formasi perkembangan otak pada

Perlakuan interaksi antara asam sitrat dan gula berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air, kadar antosianin, total gula, total padatan terlarut, perlakuan konsentrasi

rolfsii secara in vitro dengan menggunakan sel secara langsung, dan merupakan calon agen pengendali hayati terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh