• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terutama karena makna penting dari periode ini. Oleh karenanya, perlu dijelaskan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terutama karena makna penting dari periode ini. Oleh karenanya, perlu dijelaskan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Karawang-Bekasi Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak mendengar deru kami

Terbayang kami maju dan berdegup hati?”1

Tema mengenai periode revolusi telah banyak dikaji oleh para sejarawan terutama karena makna penting dari periode ini. Oleh karenanya, perlu dijelaskan terlebih dahulu posisi historiografis dari skripsi ini. Riset ini berangkat dari pandangan bahwa revolusi merupakan peristiwa yang terjadi secara nasional dan juga lokal. Kajian ini berusaha untuk melacak bagaimana peristiwa Nasional berkaitan dengan peristiwa-peristiwa lokal. Oleh karena itu riset ini adalah usaha untuk menemukan keterkaitan antara persitiwa nasional dan persitiwa lokal; respon lokal terhadap peristiwa nasional; dan juga untuk mengetahui dampak atau konskuensi peristiwa Nasional terhadap dinamika lokal. Semisal mengetahui bagaimana persitiwa nasional seperti diplomasi para elit dipraktikan di tingkat lokal, dampak maklumat pembentukan partai politik dan penggabungan tubuh tentara dengan laskar; juga persitiwa daerah seperti pertempuran di Surabaya, di

1 Petikan puisi karya Chairil Anwar “Karawang Bekasi”, Robert Cribb,

Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, (Jakarta: masuk Jakarta,

(2)

2

Karesidena Pekalongan yang dikenal Revolusi Tiga Daerah, dan Bekasi saat di Bom sekutu.

Kabar berita proklamasi kemerdekaan menyebar dengan cepat di sekitar Jakarta melalui organisasi-organisasi pemuda seperti API (Angkatan Pemuda Indonesia), BBI (Barisan Buruh Indonesia), BARA (Barisan Rakyat Indonesia) dan organisasi-organisasi lainnya2. Dalam suasana berkobarnya semangat proklamasi di setiap masyarakat Indonesia, pasca proklamasi kemerdekaan ditandai pula sebagai masa revolusi yang mencakup periode 1945-1949. Masa revolusi ini bisa dikatakan anti-kolonial, karena segala yang berhubungan dengan kolonialisme dipandang sebagai penghambat jalannya revolusi. Bersamaan dengan ini, timbulnya pergolakan-pergolakan sosial yang dalam beberapa kasus didaerah-daerah muncul dalam sebuah gerakan yang radikal seperti penculikan, pembunuhan dan lain sebagainya yang lebih dikenal dengan ‘jaman bersiap’3. Hal seperti itu dianggap sebagai pelengkap untuk menghapuskan segala bekas-bekas penjajahan.

Di sekitar Jakarta, kemarahan masyarakat ditujukan kepada aparat pemerintah pada masa pendudukan, banyak yang menjadi sasaran adalah sisa-sisa pemerintahan bentukan seperti wedana, lurah, polisi dan lainnya. Seperti di Bekasi, tuan tanah Teluk Pucung menjadi sasaran, masyarakat melucuti segala

2 ANRI, Perjuangan Mempertahankan Jakarta Masa Awal Proklamasi, (Jakarta: ANRI, 1998), hlm. 2.

3 Suyatno, “Revolusi Indonesia dan Pergolakan Sosial di Delanggu” dalam Depdikbud, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal. (Jakarta: IDSN, 1989), hlm. 1.

(3)

3

harta benda milik tuan tanah tersebut. Selain itu, banyak tentara-tentara Jepang yang saat itu ada di Bekasi juga menjadi sasaran. Hal tersebut adalah karena kemarahan rakyat yang selama ini terpendam lama akibat kekejaman tentara Jepang, sehingga mereka melampiaskan kemarahannya dengan melucuti senjata dan bahkan membunuhnya, seperti saat Insiden Kali Bekasi yang mengakibatkan tentara-tentara Jepang dibunuh lalu dibuang di Kali Bekasi.4

Selama masa revolusi, pergolakan-pergolakan tersebut tidak hanya terjadi di sekitar Jakarta saja melainkan ke seluruh Indonesia. Ditambah dengan kedatangan Belanda dengan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) nya bersama dengan Sekutu memunculkan kekhawatiran rakyat Indonesia akan dijajah kembali. Hal itu menimbukan banyak peperangan sampai di akhir tahun 1949, ketika Belanda menyerahkan kedaulatan penuh atas Indonesia.

Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan seutuhnya kepada Indonesia yang dulunya merupakan Hindia Belanda, kecuali Irian Barat, dengan menetapkan suatu federasi yang terdiri atas 16 negara bagian. Tak lama setelah munculnya tatanan negara federal yang diterapkan Belanda itu, muncul kembali gerakan-gerakan penolakan5. Adanya tatanan negara federal (Republik Indonesia Serikat/RIS) ini dinilai merugikan kedaulatan negara yang merdeka. Hal ini menjadi faktor

4 Insiden Kali Bekasi adalah peristiwa pembunuhan 90 tentara Jepang yang dibuang di kali Bekasi. Ali Anwar, K.H Noer Alie Kemandirian Ulama

Pejuang. (Bekasi: Pondok Attaqwa, 2007), hlm. 62.

5 George Mc’Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 625.

(4)

4

penting munculnya gerakan-gerakan penolakan terhadap federalisme yang merupakan bagian dari tuntutan kemerdekaan penuh atas Indonesia, sehingga menimbulkan perlawanan untuk menghapus sistem federal pun dilakukan dan meminta menggantinya dengan bentuk pemerintahan kesatuan Republik Indonesia.

Gerakan-gerakan penolakan6 terhadap federalisme terjadi di sebagian negara federal, seperti di Negara Sumatra Selatan, Negara Jawa Timur, Negara Jawa Tengah, dan Negara Pasundan. Menjadi ‘kesatuan’ merupakan salah satu tujuan utamanya, terdapat negara bagian yang enggan mempertahankan dirinya sebagai sebuah bagian dari negara federal yang otonom. Negara bagian tersebut kemudian membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia dengan alasan ingin menghilangkan sisa-sisa kolonialisme.

Salah satu gerakan tersebut terjadi di Bekasi, ketika itu Bekasi belum terbentuk secara otonom seperti halnya sekarang. Bekasi masih menjadi bagian dari wilayah administratif Jatinegara yang terlingkup dalam Karesidenan Jakarta.7 Setelah dilakukannya perjanjian Renville, dibentuklah sebuah Distrik Federal Jakarta sebagai kota bebas yang akan dijadikan ibu kota, hal tersebut menjadikan Bekasi terbelah kedalam dua administratif antara Distrik Federal dan Pasundan.8

6 Gerakan-gerakan penolakan ini biasanya tertuang dalam sebauh Resolusi atau Mosi yang ditujukan kepada pemerintah negara bagian atau pemerintah RIS.

7 Berita Negara Republik Indonesia Serikat, 31 Maret 1950.

8 A. Arthur Schiller, The Formation of Federal Indonesia 1945-1949, (Bandung: The Hague, 1955), hlm. 194.

(5)

5

Awalnya hal tersebut tidak terlalu berdampak besar dalam masyarakat Bekasi karena saat itu belum ada ide otonomi daerah. Namun, seiring perjalanan kemudian memunculkan masalah baru yaitu kesadaran bahwa dengan dikuasainya wilayah distrik federal oleh Belanda, maka wilayah tersebut akan dikuasai dan diperketat oleh Belanda. Keberadaan orang Belanda setelah kemerdekaan menambah keresahan rakyat Bekasi karena takut di jajah kembali, namun dalam hal lain yang mendukung Belanda banyak yang dijadikan sebagai penguasa daerah.

Keadaan seperti itupun berlangsung hingga diserahkannya kedaulatan dari Belanda setelah KMB. Namun, rakyat Bekasi tidak setuju dengan hasil akhir penyerahan kedaulatan dalam bentuk federal, karena dengan demikian tidak ada perubahan yang signifikan ketika Bekasi masih berada dalam negara federal dan kekuasaan Belanda. Kemudian masyarakat Bekasi menggelar gerakan Resolusi di Alun-alun Bekasi pada 17 Januari 1950, sebagai tuntutan atas penolakan terhadap dibentuknya RIS.9 Dalam resolusi tersebut Bekasi tidak hanya memutuskan untuk masuk kedalam wilayah RIS atau Republik Indonesia, Bekasi juga mempermasalahkan bagaimana posisi dia didalam sebuah administratif, mereka menuntut agar Bekasi dipisahkan dari Kabupaten Jatinegara yang saat itu masuk

(6)

6

kedalam wilayah Distrik Federal Jakarta dan hendak menjadikannya otonom dalam Kabupaten Bekasi dengan bergabung ke dalam Republik Indonesia.10

Gerakan-gerakan penolakan semacam itu terjadi disebagian daerah negara federal, menuntut menggabungkan diri kepada pemerintahan Republik Indonesia. Menurut Remco Raben, proses menjadi bagian dari satu negara bagian di Indonesia itu dipicu oleh kesadaran daerah itu sendiri. Daerah dalam arti negara bagian tersebut tidak harus bertentangan dengan negara Indonesia, melainkan berjalan sejajar dengan negara Indonesia.11

1.2 Permasalahan dan Ruang lingkup Penelitian

Keberadaan Bekasi didekat Jakarta memberikan efek yang kuat dalam merasakan gelora Kemerdekaan, hal tersebut memberi alasan kepada rakyat Bekasi untuk berperan serta dalam Revolusi Indonesia. Bekasi setelah kemerdekaan merupakan wilayah yang cukup menakutkan dengan banyaknya pembunuhan dan pemberontakan kepada pemerintahan Jepang yang tersisa, bahkan hingga datangnya Sekutu pada bulan-bulan September 1945 Bekasi tetap dijadikan sebagai wilayah yang penuh dengan pertempuran.12

10 Reza Aditya Mukti, “Kota Bekasi : Perkembangan Sebuah Kota Industri 1950-1997”, Skripsi (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2014), hlm. 24.

11 Remco Raben, “Bangsa, Daerah, Dan Ambiguitas Modernitas Di Indonesia Tahun 1950-an” dalam Sita van Bemmelen dan Remco Raben, Antara

Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. (Jakarta: Yayasan Obor, 2011),

hlm. 8-9.

12 Robert Cribb, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, (Jakarta: Masup Jakarta, 2010), hlm 66.

(7)

7

Dampak dari Revolusi yang paling dirasakan oleh Bekasi adalah dengan dijadikannya Bekasi sebagai Garis Demarkasi antara Sekutu dan Republik. Batas ini menjadikan Bekasi sebagai pertahanan terdepan perjuangan Republik Indonesia untuk menghadang Sekutu masuk kedalam wilayah Republik. Selanjutnya setelah Persetujuan Renville Bekasi kembali merasakan dampak yang cukup kuat dengan dibelahnya Bekasi ke dalam dua administratif yakni Distrik Fedral Jakarta dan Pasundan. Hingga pada 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia dalam bentuk federalis, rakyat Bekasi kembali merasakan dampak daripada perpecahan, yakni dibaginya Indonesia kedalam 16 negara bagian.

Periode revolusi menawarkan paling tidak dua pilihan untuk mendukung Republik atau mendukung Federasi. Diantara itu semua, Bekasi adalah salah satu wilayah yang menunjukan semangat yang sangat suportif terhadap kemerdekaan Republik Indonesia dengan menolak pembentukan negara federal. Berdasarkan uraian tersebut kemudian memunculkan pokok permasalahan yaitu, mengapa Bekasi menolak dibentuknya negara federal dan menolak menjadi bagian dari negara federal. Sejauh ini, belum banyak karya yang mencoba menjelaskan alasan mengapa individu maupun kelompok memilih menjadi bagian dari kesatuan Indonesia dengan menolak federasi. Seolah-olah, persoalan menjadi Indonesia adalah suatu keniscayaan padahal jika mengurai dinamika selama periode revolusi, permasalahan ini butuh penjelasan, mengingat tidak semua entitas yang

(8)

8

ada menerima keberadan Indonesia sebagai Negara bangsa yang baru merdeka.13 Tentu saja selain Bekasi terdapat pula wilayah lain yang juga anti terhadap gagasan federasi, dengan demikian Bekasi dapat mewakili fenomena umum periode revolusi yang perlu dijelaskan.

Dari pokok permasalahan diurai dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian, berikut:

1. Siapa yang menggerakan Revolusi di Bekasi?

2. Bagaimana kondisi Bekasi masa revolusi?

3. Apa dampak revolusi terhadap Bekasi baik sosial maupun politik?

4. Bagaimana kondisi Bekasi setelah KMB dan dibentuknya negara Federal?

Seperti penelitian sejarah lainnya, penelitian ini menggunakan batasan ruang dan waktu. Batasan ruang atau spasial penelitian ini terfokus pada wilayah Bekasi. Dipilihnya Bekasi karena sebagai salah satu wilayah yang terdekat dengan Jakarta—tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, masyarakat Bekasi sangat suportif terhadap proklamasi kemerdekaan. Disamping itu, ketika masa revolusi, Bekasi merupakan wilayah yang dijadikan sebagai pertahanan terdepan Republik Indonesia setelah dibentuknya garis demarkasi atas diplomasi antara RI dan Sekutu yang memisahkan wilayah kekuasaan Sekutu dan Republik. Fokus penelitian ini adalah Bekasi secara keseluruhan yang terlingkup kedalam

13 Lihat dalam Uji Nugroho W, Menjadi Indonesia: Negosiasi dan

dinamika politik, Bali 1945—1950. Laporan Penelitian tidak dipublikasikan,

(9)

9

Kabupaten Jatinegara karena saat itu Bekasi belum terbentuk secara otonom seperti halnya sekarang. Hingga setelah berakhirnya pemerintahan Republik Indonesia Serikat kemudian terbentuknya Kabupaten Bekasi pada Agustus 1950, yang memiliki wilayah seperti halnya sekarang. Masa Revolusi juga menjadikan Bekasi sebagai wilayah pertempuran, karena menjadi pertahanan terdepan dalam memperebutkan wilayah kekuasaan antara Sekutu dan Republik. Namun disamping itu semua, terdapat alasan pribadi kenapa Bekasi dijadikan sebagai spasial penulisan ini, yaitu karena keinginan penulis untuk menulis mengenai sejarah Bekasi sebagai orang yang berasal dari Bekasi dan menambah khasanan penulisan sejarah tentang Bekasi.

Batasan waktu atau temporal dalam penelitian ini yaitu tahun 1945 sampai dengan tahun 1950, diawali dari tahun 1945 karena tahun ini merupakan tahun diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia dan menjadi titik awal sebuah negara yang baru merdeka. Perjalanannya tahun-tahun kedepan lebih dikenal dengan masa revolusi yang mencakup tahun 1945-1949. Dalam tahun-tahun ini Bekasi mengalami berbagai peristiwa seperti perubahan administratif dengan dibelahnya Bekasi ke dalam dua wilayah antara Distrik Federal dan Pasundan. Kemudian tahun 1950 menjadi titik akhir penulisan ini karena tahun ini merupakan tahun pertama pemerintahan RIS sebagai pemerintah Federal yang hanya bisa bertahan beberapa bulan saja dan kemudian dialihkan lagi kepada pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, tahun ini pula ditandai sebagai tahun terbentuknya Bekasi secara otonom dengan dibentuknya Kabupaten Bekasi.

(10)

10

Kajian ini bertujuan agar menjadi referensi dalam hal membicarakan sejarah Bekasi tahun 1945-1950. Hal tersebut karena kajian ini menjelaskan adanya pengaruh revolusi terhadap ketatanegaraan di Bekasi dan menjelaskan peristiwa apa saja yang terjadi di Bekasi seputar revolusi dan masa Republik Indonesia Serikat. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui proses transisi yang terjadi di Bekasi ketika daerah tersebut masih menjadi sebuah wilayah kecamatan hingga berubah menjadi kabupaten.

Sebagai sebuah kajian sejarah, studi ini akan menjadi kajian tambahan di samping sangat minimnya kajian sejarah Bekasi. Temporal kajian ini merupakan titik awal perkembangan Bekasi sebagai sebuah kabupaten yang otonom. Penulis juga berharap kajian ini menjadi sebuah inspirasi bagi kajian-kajian yang akan dilakukan berikutnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tulisan mengenai Bekasi pertama kali dikaji oleh Ali Anwar, yang berjudul Gerakan Protes Petani Bekasi 1913. Ali Anwar menjelaskan adanya tuntutan petani Bekasi yang disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat Bekasi akibat penguasaan tanah secara partikelir serta ketidaksesuaian antara aturan legal dengan pelaksanaannya. Suasana tersebut menimbulkan kemelaratan ekonomi petani. Ketika tuntutan petani tersumbat oleh tuan tanah dan aparatnya serta pejabat pemerintah, tiba-tiba hadir organisasi Sarekat Islam (SI) dengan ideologi penggeraknya. Sehingga menimbulkan proses penyadaran dan terjadilah suatu gerakan protes petani yang dimobilisasi oleh SI.

(11)

11

Dalam tulisan tersebut digambarkan bahwa adanya SI di saat petani Bekasi mengalamani tekanan dari tuan tanah memberikan wadah untuk petani supaya bisa protes. Kejadian itu penulis jadikan komparasi ketika rakyat Bekasi terdesak ketakutan akan munculnya lagi penjajahan dan terjadinya peperangan setelah Indonesia Merdeka, kemudian di saat itu pula ada sebuah kelompok seperti Hizbullah, Laskar Rakyat, dan organisasi lain yang hadir sebagai pengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda, apakah peristiwa seperti itu bisa dijadikan pengulangan historis pada tahun 1913 yang bisa menjadi wadah bagi rakyat untuk protes. Maka karya Ali Anwar ini tentu menjadi relevan sebagai latar belakang historis tentang masyarakat Bekasi yang bisa radikal setiap ada yang mengorganisir.

Di samping itu, ada juga karya M. Harun Alrasid yang berjudul Kabupaten

Bekasi dari Masa ke Masa. Harun dalam tulisannya menunjukkan sejarah Bekasi

yang terkait masa lampau, seperti masa Kerajaan Tarumanegara. Ia juga menunjukan situasi atau keadaan Bekasi sejak awal terbentuknya pada 1950, dan dilanjutkan hingga tahun-tahun berikutnya, baik keadaan masyarakat maupun pemerintahannya hingga tahun 2000-an. Namun, penjelaskan Harun mengenai masa Revolusi hingga tahun 1950an tentang terjadinya perubahan dari kecamatan menjadi kabupaten hanya sebatas kilasan-kilasan. Harun lebih banyak menceritakan keadaan ditahun setelahnya. Buku ini melatarbelakangi apa saja yang terjadi di Bekasi masa revolusi yang di sajikan oleh Harun dalam beberapa halaman tersebut seperti terjadinya peristiwa Insiden Kali Bekasi dan Bekasi

(12)

12

Lautan Api14. Karena hal tersebut penulis kemudian fokus menulis di masa revolusi dan mencoba mengisi kekosongan peristiwa dan informasi yang ada di tahun tersebut yang belum di tunjukan oleh Harun.

Selanjutnya, karya tentang Bekasi juga ditulis oleh Reza Aditia Mukti. Dalam skripsinya yang berjudul Kota Bekasi: Perkembangan Sebuah Kota

Industri 1950-1997, Reza menulis tentang sejarah perkembangan Bekasi, sejak

terbentuknya Kabupaten Bekasi hingga mengalami perubahan dan perkembangan menjadi kota Bekasi. Reza memfokuskan tulisannya dengan menelisik perjalanan sejarah Bekasi dari sebuah kota administratif yang kini disebut sebagai kota industri. Jika dilihat dari judul tulisannya, periode yang penulis ambil memang seharusnya tercakup didalam tulisan reza. Namun, tulisan reza dalam tahun 1950 tidak membahas secara mendalam. Bahkan reza sedikit sekali memberikan tulisan mengenai masa-masa yang melatarbelakangi terbentuknya Bekasi menjadi kabupaten di masa-masa revolusi. Tulisan yang penulis buat ini akan melengkapi apa yang tidak reza tulis di masa revolusi karena penulis menarik lebih jauh kebelakang sejak setelah proklamasi atau di masa revolusi yang tidak dibahas oleh reza.

Disamping itu, terdapat buku mengenai masa revolusi yaitu karya Robert Cribb, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949. Ia menceritakan

14 Istilah Bekasi Lautan Api ini tidak bisa penulis pastikan sejak kapan pertama kali dipakai dan oleh siapa, namun istilah ini umum dikatakan untuk menunjukan bahwa Bekasi pernah mengalami kebakaran hebat setelah di bom oleh Sekutu. Dilain itu nama ini bisa dikatakan untuk menyamakan dengan istilah Bandung Lautan Api yang juga mengalami pembakaran yang hebat.

(13)

13

beberapa hal mengenai lahirnya Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) yang memang mirip Badan Pemberontakan Republik Indonesia yang menggelorakan semangat bertempur melawan Inggris untuk menolak hadirnya neo-kolonialisme setelah Indonesia merdeka. Ia menyimpulkan bahwa telah lahirnya kelompok dunia hitam yaitu para bandit atau para jago pada masa revolusi. Hal sama menyebar pula di Bekasi, munculnya Laskar Rakyat Bekasi yang semerta mengikuti kemunculan laskar-laskar di sekitaran Jakarta. Mengenai laskar diceritakan pula dalam karya Dien Majid, Jakarta-Karawang-Bekasi Dalam

Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min, yang memberikan gambaran

setelah adanya koalisi yang strategis antara kelompok dunia hitam di Jakarta yaitu para laskar dengan kelompok nasionalis muda radikal. Sebagian disebabkan kesamaan sikap menentang Belanda dan sebagian lagi karena adanya unsur timbal balik. Hal tersebut dimanfaatkan oleh tentara sebagai pembantu penolakan terhadap kedatangan para penjajah baru.

Peristiwa revolusi sendiri memunculkan gagasan mengenai federalisme atau dibentuknya negara bagian. Karya A. Arthur Schiller, The Formation of

Federal Indonesia 1945-1949, menjelaskan bahwa konsep akan negara federal itu

dibangun sejak awal revolusi. Diawali pada Desember 1946 negara Indonesia Timur dibangun atas dasar hasil Konferensi di Bali sebagai bagian dari cikal bakal negara federasi. Pada bulan Maret 1947, perundingan Linggarjati ditandatangai, dengan isi bahwa pemerintah Belanda dan Indonesia harus bekerja sama mendirikan negara demokrasi yang berdaulat disebut dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara RIS termasuk Republik Indonesia (Sumatera dan Jawa),

(14)

14

Kalimantan, dan Negara Indonesia Timur. Ide tentang sistem negara federal tersebut dengan cepat diasosiasikan sebagai upaya pemerintah Belanda untuk mendestabilisasi Indonesia. Politik Belanda saat itu adalah merumuskan Indonesia ke dalam negara-negara bagian sehingga terciptalah bentuk negara Federasi yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Batas negara-negara bagian tersebut adalah mengikuti batas-batas garis provinsi sehingga terciptalah pemerintahan-pemerintahan regional bercirikan watak primordial yang dikuasai oleh elit penguasa daerah berdasarkan garis keturunan raja ataupun bangsawan.

Dari situlah, pembentukan Negara Pasundan dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk menjajah kembali Indonesia khususnya Jawa Barat dengan cara membagi-bagi Indonesia ke dalam unit-unit pemerintahan kecil sehingga lebih mudah dikontrol dan menghindari munculnya gerakan-gerakan nasionalis pro-kemerdekaan. Hal sama dimuat dalam buku Menuju Negara Kesatuan: Negara

Pasundan karya Helius Sjamsudin, dkk, yang menunjukan bagaimana

pembentukan negara Pasundan hingga akhirnya wilayah Pasundan atau Jawa Barat itu kembali lagi kedalam wilayah RI. Helius menceritakan bagaimana kondisi negara Pasundan yang begitu rumit karena satu-satunya wilayah yang penuh dengan konflik. Jakarta dan Bekasi masuk dalam pembentukan Negara Pasundan ini karena rencana awal adalah melingkupi seluruh wilayah Jawa Barat. Namun, tak lama setelah pembentukannya, Jakarta menjadi wilayah khusus yang dinamai Distrik Federal Jakarta. Itulah kenapa Helius tidak memasukan wilayah Jakarta dan Bekasi kedalam fokus tulisannya walaupun sebenarnya Bekasi masih masuk dalam wilayah Pasundan.

(15)

15

Melengkapi karya Helius diatas, ada karya Mona Lohanda, dkk, menulis buku yang berjudul Sejarah Pralihan Pemerintahan RIS ke RI (Menuju Negara

Kesatuan Republik Indonesia). Buku ini menceritakan bagaimana proses

peralihan pemerintahan RIS ke RI. Lohanda dalam bukunya menjelaskan latar belakang bagaimana terbentuknya negara-negara bagian dan bagaimana keadaan di negara bagian pada saat itu. Tentu buku ini sangat relevansi karena akan menggambarkan bagaimana kondisi di negara bagian yang terbentuk setelah KMB. Dan terakhir karya Sita van Bemmelen dan Remco Raben, Antara Daerah

Dan Negara: Indonesia Tahun 1950-An Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa. Buku ini merupakan kumpulan dua belas artikel yang mencoba

mengeksplorasi cara-cara baru dalam memandang ’daerah’ pada tahun 1950-an. Sebuah dekade yang dinamis dan bergejolak, dengan terjadinya pemerkaran dalam konsep daerah.

Disalah satu artikel itu, karya Suprayitno mengenai Federasi Sumatera berangkat dari akhir masa revolusi, ketika Belanda membentuk sistem federal di daerah-daerah yang telah didudukinya kembali. Menjelang penyerahan kedaulatan, Tengku Mansoer, wali negara Sumatera Timur, mencoba mencari dukungan bagi gagasannya membentuk Federasi Sumatera di kalangan elite dari semua daerah di pulau tersebut. Upaya ini menunjukkan, betapa masih terbukanya pilihan untuk pembangunan negara (state-building) di Indonesia waktu itu. Namun gagasan untuk membentuk identitas politik regional yang baru tersebut tidak menggugah elite berpengaruh lainnya di Sumatera, dan juga tidak mendapat restu dari pemerintah Republik.

(16)

16

Penjelasan konsepsi daerah di tahun 1950-an, memberikan gambaran atas situasi dan kondisi umum yang terjadi di Indonesia. Jika dimasukan dalam konteks Bekasi, konsepsi pemekaran sebuah daerah tahun 1950-an adalah berubahnya sebuah administratif kecamatan menjadi Kabupaten Bekasi.

Dengan meninjau beberapa pustaka tersebut, masih banyak kesempatan untuk menulis sejarah Bekasi. Dari tinjauan yang telah dilakukan penulis memfokuskan pada jalannya revolusi di Bekasi yang berujung pada terbentukya Kabupaten Bekasi di tahun 1950.

1.5 Metode dan Sumber

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Menurut Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah, penelitian sejarah terdiri atas lima tahap. Pertama, dari penelitian sejarah adalah tahap pemilihan topik. Setelah topik telah dipilih maka dilanjutkan ke tahap kedua yaitu pengumpulan sumber. Ketiga, adalah verifikasi atau kritik sumber terhadap sumber yang telah ditemukan. Keempat, melakukan interpretasi atau analisi dan sintesis. Kemudian

Kelima, adalah tahap penulisan.15

Hal utama setelah penentuan topik adalah pencarian sumber. Sumber-sumber dalam penelitian ini didapatkan dari berbagai perpustakaan, baik tingkat lokal maupun nasional. Penelitian ini menggunakan sumber berupa arsip,

15 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), hlm. 90.

(17)

17

sumber resmi tercetak, koran, dan buku. Sumber-sumber tersebut ditemukan di Perpustakaan Jurusan Sejarah UGM, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan, Perpustakaan Nasional Jakarta, Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Bekasi, Perpustakaan Kota Bekasi, Perpustakaan Kabupaten Bekasi dan Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta (ANRI).

Sumber yang ditemukan seperti arsip-arsip Sekneg RI 1945-1949, Kabinet Perdana Mentri RI 1949-1950, Kabinet Perdana Mentri RI 50-68, Sekneg RI Yogyakarta, Berita Antara, dan koran-koran seperti koran Pemandangan,

Merdeka, dll. serta beberapa koran yang didapat secara online seperti Algemeen Indisch dagblad: De Preangerbode dan banyak lainnya. Selain itu ada juga

sumber foto yang di dapatkan dari beberapa situs online seperti Nationaal Archief,

Imperial War Museums and Netherlands Institute for War Documentation (NIOD).

Tahap berikutnya dari penelitian ini adalah kritik sumber. Tahap kritik sumber ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap kritik eksternal dan kritik internal. Kemudian dilanjutkan pada tahap interpretasi. Tahap ini merupakan tahap penafsiran atas fakta-fakta sejarah yang terdapat dari data-data yang didapat dalam sumber dan tahap terakhir adalah penulisan hasil penelitian.

Terlepas dari literatur yang didapat, literarur tentang Revolusi memuat cukup banyak materi tentang hal mengenai aspek Nasional. Suratkabar kontemporer yang terbit di Jakarta, Bekasi dan lainnya yang cukup lengkap juga

(18)

18

memberikan informasi yang amat berguna dalam menunjukan kondisi masa itu. Begitupula buku-buku dan materi lainnya yang terbit di masa yang sama atau mendekati. Meskipun demikian, dengan sedikit perkecualian, materi-materi tersebut cenderung berfokus pada aspek Nasional dari revolusi dan mengandung hanya potongan-potongan materi yang memiliki relevansi dengan sejarah Bekasi. Nilai utama dari semua itu adalah memberi kerangka referensi yang kronologis, namun hal tersebut ditutupi dengan adanya sumber wawancara dari para pelaku sejarah masa itu sehingga menyediakan bandingan yang semasa dengan materi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bukan hanya untuk memaparkan sejumlah materi faktual mengenai sejarah wilayah Bekasi melainkan juga untuk membentuk suatu kerangka referensi mengenai sejarah lokal umum revolusi. Terutama dengan banyaknya peristiwa Nasional yang ada menjadi sudut lain yang juga terjadi dalam aspek lokal.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibahas dalam enam bab, bab pertama diawali dengan bagian pengantar yang di dalamnya terdiri atas latar belakang, rumusan masalah & ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Berikutnya untuk mengawali bagian isi, dimuali dengan mendeskripsikan mengenai wilayah Bekasi sebelum kemerdekaan. Dalam bab ini menceritakan mengenai desentralisasi kolonial memberi pengaruh pada lahirnya elit-elit pribumi, selain itu diulas pula akar-akar kebangsaan di Bekasi. Selanjutnya, dalam bab tiga diceritakan peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi di Bekasi di awal Revolusi atau lebih dikenal dengan masa

(19)

19

bersiap. Kemudian dalam mengidentifikasi bagaimana ide pembentukan negara serikat atau negara bagian, beserta dampak peristiwa-peristiwa selama revolusi terhadap Bekasi baik dalam hal sosial maupun politik terdapat dalam bab empat. Dan bagaimana dinamika federasi serta bagaimana Bekasi saat masa peralihan yakni masa Republik Indonesia Serikat dipaparkan dalam bab lima. Terakhir, kesimpulan dan jawaban dari permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya menjadi bagian dari bab terakhir dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai taraf perkembangan berpikirnya, pembelajaran IPA, siswa SMP lebih cocok menggunakan inkuiri terbimbing, Hal tersebut juga didukung oleh beberapa penelitian

Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa, Perpustakaan adalah salah satu unit kerja dari suatu badan atau lembaga yang berupa tempat untuk

Sediaan krim ekstrak ikan kutuk memberikan efek yang sama dengan efek yang diberikan oleh Bioplacenton, hal ini ditunjukkan dengan pada hari ke-7, rerata jumlah makrofag

Dalam peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 22 Tahun 2008 tentang “Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan Bagi Mahasiswa Program Kependidikan Universitas Negeri

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 4 ayat (6) Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 (disempurnakan) dan pasal 5 sub b Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

Permasalah dari Pelayanan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) pada kantor Kecamatan Solokan Jeruk Kabupaten Bandung berdasarkan pengamatan yang

Potensi Sumber Daya Manusia pada hakekatnya merupakan salah satu modal dalam sistem operasi perusahaan dan memegang peran yang paling penting dalam mencapai tujuan

LKPD yang dikembangkan oleh peneliti merupakan LKPD yang berfungsi sebagai pembantu peserta didik dalam menemukan suatu konsep, membantu peserta didik dalam