• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN

PETUNJUK PELAKSANA

ENUMERASI

TEMPORARY SAMPLE PLOT/

PERMANENT SAMPLE PLOT

(TSP/PSP)

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………..………… i

DAFTAR ISI ………..……… ii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ………..……… 1

B. Maksud dan Tujuan ……….……… 2

C. Ruang Lingkup……….……… 2

BAB II PENGERTIAN-PENGERTIAN...……… 3

BAB III PERSIAPAN…...……..……… 5

A. Perencanaan ...……… 5

B. Menuju Lokasi Klaster... 6

BAB IV TEKNIK PELAKSANAAN ENUMERASI ……… 9

A. Kerangka Plot ...……….. 9

B. Enumerasi TSP ... 11

C. Enumerasi PSP ... 20

D. Pengukuran dan Pencatatan data Non Kayu 25

(3)

KATA PENGANTAR

Petunjuk teknis ini disusun sebagai pegangan pelaksanaan dilapangan untuk Enumerasi cluster Temporary dan Permanent Sample Plot (TSP dan PSP) dalam rangka Inventarisasi Hutan Nasional.

Data TSP dan PSP diharapkan mewakili keragaman, tipe dan stratifikasi ekosistem hutan Indonesia. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengumpulan data tersebut dilapangan dituntut dedikasi, kejujuran dan disiplin dari para pelaksana. Untuk itu petunjuk teknis ini perlu dipahami secara cermat terlebih dahulu sebelum terjun ke lapangan.

Dengan perjalanan waktu dan pengalaman, pedoman ini terbuka untuk penyempurnaan apabila ternyata masih ada yang perlu diperbaiki. Kepada para petugas di lapangan diharapkan dapat memenuhi ketentuan yang ditetapkan karena data yang diperoleh akan di olah secara seksama dan seragam.

Jakarta, April 2010

A.n. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Direktur Inventarisasi dan

Pemantauan Sumber Daya Hutan

Ir. Yuyu Rahayu, MSc

(4)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan Inventarisasi Hutan Nasional Indonesia telah mulai dilaksanakan sejak tahun 1989. Salah satu komponen dari IHN adalah pengumpulan data lapangan melalui pembuatan Temporary Sample Plots/Permanent Sample Plots (TSP/PSP) pada setiap grid 20 km x 20 km di seluruh kawasan hutan Indonesia (kecuali P. Jawa) dengan ketinggian sampai dengan 1000 dpl. Di dalam plot IHN terdapat plot contoh sementara (Temporary Sample Plot – TSP) dan plot contoh permanen (Permanent Sample Plot – PSP). TSP diukur hanya 1 (satu) kali untuk mengetahui kondisi potensi tegakan pada saat itu (current standing stock). Sedangkan PSP diukur ulang dalam selang waktu 4 sampai 5 tahun untuk memperoleh gambaran kondisi hutan yang terus berubah secara dinamis.

Setelah proyek berakhir pada tahun 1996, telah dapat dikumpulkan data sebanyak 2735 klaster dan dianalisis guna penyusunan Laporan Akhir Statistik Sumberdaya Hutan Indonesia (kecuali P. Jawa). Dari Laporan Statistik Sumberdaya Hutan diperoleh hasil potensi tegakan berdasarkan strata yang merupakan kombinasi antara fungsi hutan dan tipe penggunaan lahan.

Pengukuran ulang PSP masih dilaksanakan oleh BPKH Wilayah I sampai dengan X. Hasil pengukuran ulang yang dilakukan, diketahui banyak klaster yang telah mengalami perubahan karena adanya perubahan penutupan lahan, kegiatan penebangan, kebakaran, perubahan fungsi dan lain-lain. Dengan adanya perubahan kondisi plot klaster tersebut perlu dilakukan evaluasi dan penataan ulang plot-plot klaster yang ada sesuai perubahan yang terjadi sehingga plot klaster yang ada dapat mewakili strata hutan dalam inventarisasi hutan nasional. Untuk itu dilakukan redesain TSP/PSP dan pembuatan plot TSP/PSP ini dilakukan tidak hanya di luar Jawa tetapi termasuk juga di Jawa.

(5)

Buku ini dimaksudkan untuk menyempurnakan prosedur lapangan pengumpulan data Temporary Sample Plots/ Permanent Sample Plots (TSP/PSP) sesuai dengan perkembangan kondisi di lapangan. Prosedur ini diharapkan dapat memperkecil kesalahan dalam penetapan plot/pengukuran dan pada akhirnya akan menghasilkan data dengan kualitas yang lebih baik dan efisiensi lebih tinggi.

B. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penyusunan petunjuk teknis enumerasi TSP/PSP adalah untuk menyediakan panduan bagi para pelaksana dalam melaksanakan enumerasi TSP/PSP guna memperoleh data dan informasi kondisi hutan.

Sedangkan tujuan dari penyusunan petunjuk teknis enumerasi TSP/PSP adalah untuk mendapatkan kemudahan dan keseragaman dalam enumerasi TSP/PSP sehingga diperoleh format data yang seragam.

C. Ruang Lingkup

Petunjuk teknis ini meliputi prosedur pengambilan data pada kegiatan enumerasi TSP/PSP mulai dari pembuatan plot, pengambilan titik ikatan dan titik pusat klaster dengan menggunakan GPS, pengambilan data lapangan, pengisian tallysheet, pengambilan contoh herbarium dan pembuatan laporan, serta monitoring kegiatan enumerasi TSP/PSP.

(6)

II.

PENGERTIAN-PENGERTIAN

Berikut ini adalah penjelasan dari istilah-istilah yang digunakan pada pedoman ini:

1. TSP (Temporary Sample Plots) adalah Unit Contoh Sementara yang dibuat

untuk mengumpulkan data lapangan berupa parameter-parameter biofisik tegakan hutan terutama kondisi standing stock kayu saat tertentu dalam rangka Inventarisasi Hutan Nasional

2. PSP (Permanent Sample Plots) adalah Unit Contoh Permanen yang dibuat

untuk mengumpulkan data lapangan berupa parameter-parameter biofisik tegakan hutan terutama kondisi pertumbuhan tegakan dalam rangka Inventarisasi Hutan Nasional

3. Klaster adalah sekumpulan unit contoh di lapangan yang mewakili suatu

strata

4. Plot (Tract) adalah satuan unit contoh di dalam klaster yang terdiri dari

sekumpulan sub plot

5. Sub Plot/titik sampling adalah satuan unit contoh terkecil di lapangan

dalam pengumpulan data lapangan

6. Satuan catatan/pengukuran (record unit) adalah satuan pencatatan

parameter-parameter biofisik

7. Enumerasi adalah pembuatan, pengukuran dan pencatatan

parameter-parameter biofisik tegakan hutan pada plot contoh (TSP/PSP)

8. Re-enumerasi pembuatan, pengukuran dan pencatatan

parameter-parameter biofisik tegakan hutan pada plot contoh permanen (PSP)

9. BAF (Basal Area Factor) adalah besaran faktor luas bidang dasar tegakan

hutan

10. Dbh (diameter breast height) adalah diameter yang diukur pada ketinggian setinggi dada rata-rata orang Asia yaitu 1,3 meter.

11. Dab (diameter above buttress) adalah diameter yang diukur pada ketinggian 20 cm di atas banir.

(7)

12. GPS (Global Positioning System) adalah suatu sistem penentuan posisi di bumi dengan menggunakan alat (receiver) yang dihubungkan dengan satelit.

13. Herbarium adalah contoh specimen pohon biasanya daun atau bagian pohon lainnya yang diambil di lapangan untuk mengidentifikasi jenis pohon

(8)

III. PERSIAPAN

A. Perencanaan

Ketua regu dan Asisten Ketua Regu merancang enumerasi plot, meliputi:

1. Menentukan satu atau dua cara terbaik untuk menuju lokasi plot termasuk mengecek titik awal, azimut, dan jarak ke plot. Langkah terbaik untuk menuju suatu klaster plot perlu ditunjukkan di atas peta topografi dengan skala peta terbesar yang ada dan dibantu oleh peta IUPHHK atau lainnya sepanjang tersedia. Hal ini menyangkut titik awal terbaik (atau sepasang titik, jika tidak dapat ditentukan yang terbaik) yang dapat dikenali di lapangan (percabangan sungai/jalan atau tanda-tanda lapangan yang ada/diketahui dan tergambar di dalam peta), arah/azimut dan jarak dari titik ikat (T1) tersebut ke pusat klaster (T2) yaitu sudut barat daya Tract no.5.

Gambar 1. Arah dan jarak titik ikat dan pusat klaster

(9)

2. Menjelaskan deskripsi plot nomor grid UTM (zone, easting dan northing), lokasi (Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi), fungsi hutan berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan dan Perairan, penutupan vegetasi, IUPHHK (jika ada), perkiraan tinggi tempat, jalur aksesibilitas yang ada, penentuan "kelas kesulitan",..., dll.)

3. Mengecek peralatan (lengkap dan berfungsi baik) 4. Mengecek lembar tallysheet.

5. Melakukan proses serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mengenumerasi plot secara efisien, termasuk dimana memperoleh tenaga kerja, kendaraan, kapal,..., bagaimana dan di mana sebaiknya logistik untuk regu lapangan disiapkan.

6. Bilamana regu kerja sampai di lokasi terdekat (Desa/Kecamatan), mereka hendaknya lapor dan minta bantuan pejabat setempat dan HPH (jika ada) terutama mengenai pengerjaan/pendataan tenaga lapangan yang baik, bagaimana mencapai klaster plot (apakah benar titik awal dapat dikenali di lapangan), dimana tenda harus dipasang, cara terbaik untuk mencukupi kebutuhan regu kerja, pengamanan regu kerja, serta keterangan lain yang diperlukan. Jangan sampai ada yang ketinggalan.

B. Menuju Lokasi Klaster

1. Petakan dan uraikan pada selembar kertas, titik T1 (starting point) yang telah ditentukan dalam peta dasar (Peta JOG, REPPROT, RBI, dsb) untuk memastikan posisi T1 di lapangan sebaiknya dicek kebenarannya dan tentukan posisi T2 dari T1 (azimuth dan jarak datarnya). T1 diberi tanda dengan sebuah plat (seng) warna dasar kuning dan tulisan hitam dan dipasang pada pohon hidup atau pancang yang kuat, yang secara jelas menunjukkan identitas klaster (nomor klaster, zone, easting, northing, arah dan jarak ke pusat klaster).

(10)

Gambar 2. Contoh Pemberian Tanda dan Tulisan pada T1

2. Kemudian T2 diikatkan/diukur posisi arah dan jarak pada sedikitnya 3 buah titik saksi (berupa pohon yang memiliki ciri khas) yang terdekat, juga diikatkan pada 2 atau 3 titik/objek yang jelas jika ada seperti puncak gunung, batu besar, dll. Gambar 3. Titik Saksi pada Pusat Klaster

3. Rintisan dari T1 ke T2, untuk setiap 50 meter jarak datar tandai dengan sebuah pancang/patok yang menunjukan nomor klaster, arah dan sisa jarak ke pusat klaster (T2). Beberapa penyimpangan yang terjadi di lapangan karena kondisi alam yang sangat susah, digambarkan di atas kertas dan diberi tanda yang jelas di lapangan.

T1

ZONE

:

50

EAST

:

300

NORTH

:

9840

AZIMUTH :

48

o

JARAK

:

1,5 KM

(11)

4. Untuk lebih memastikan posisi T1 dan T2 harus digunakan GPS dalam menentukan posisi kedua titik tersebut, dan dicek kembali apakah sesuai dengan koordinatnya di peta referensi yang digunakan.

Catatan: Umumnya, regu kerja (9 sampai 10 orang; kepala regu, asisten kepala regu, dan 7 sampai 8 pekerja) harus dibagi dua kelompok selama perintisan. Kepala regu dan asistennya bersama dengan 3 atau 4 pekerja harus mengerjakan rintisan survai sedangkan yang lainnya mengatur tenda. R i n t i s a n yang dikerjakan oleh s e l u r u h anggota regu menyebabkan kerja yang tidak efisien.

(12)

IV.TEKNIK PELAKSANAAN ENUMERASI

A. Kerangka Plot

Kerangka plot ditunjukkan oleh Gambar 3. Sembilan tract membentuk bujur sangkar, tract seluas 100x100 m berjarak 500 meter, "dari sisi ke sisi", kecuali di hutan mangrove, hutan konifer dan tanaman yang berjarak 100 meter dan ukuran tract

adalah 50x50 m. Tract tengah (nomor 5 berlaku sebagai sampel plot temporer

(TSP) maupun sampel plot permanen (PSP). Untuk TSP, ada delapan pusat sub-plot

atau titik sampling per tract: empat di sudut dan di antara setiap dua sudut.

Untuk PSP, seluas 1 ha (Tract No. 5) dibagi ke dalam 16 satuan catatan (record

unit). Nomor sub-plot untuk TSP dan nomor satuan catatan untuk PSP juga

ditunjukkan di Gambar 3. Tetap dibuat PSP di hutan tanaman, hutan konifer, dan hutan mangrove. Di hutan mangrove, klaster dienumerasi jika terdapat paling

tidak tiga tract yang tidak berada di air, jika tidak terpenuhi maka tidak

dapat menjadi klaster plot.

Gambar 3. Kerangka Plot Contoh

a. 9 tract – klaster plot

7 8 9 4 5 6 1 2 3 500m 100m 500m 100m

(13)

b. Sebuah tract TSP

c. Plot Contoh Permanen

(14)

B. Enumerasi TSP

Setelah sudut barat daya tract no 5 ditemukan, enumerasi dapat dimulai. Enumerasi dapat dikerjakan menurut urutan sebagai berikut :

1. TSP dari tract No.5;

2. PSP;

3. TSP dari tract No. 2, 4, 6 atau 8;

4. Bila dipilih Tract No. 2, dapat diikuti dengan Tract No. 1 atau 3;

5. Bila dipilih Tract No. 4 dapat diikuti dengan tract No. 1 atau 7;

6. Bila dipilih tract No. 6 dapat diikuti dengan tract No. 3 atau 9;

7. Bila dipilih tract No. 8 dapat diikuti dengan tract No. 7 atau 9.

Banyak kemungkinan urutan yang lain tetapi idenya adalah untuk

meminimumkan sumber kesalahan di dalam menetapkan tract-tract yang

berbeda dan untuk efektifitas pekerjaan. Karena itu tract bernomor genap (2, 4,

6, dan 8) harus ditetapkan langsung dari tract No.5 dan tract bernomor ganjil

lainnya (atau sudut) harus ditetapkan dari salah satu nomor genap terdekat yang sudah ditetapkan sebelumnya.

• Apabila dalam enumerasi TSP dibagi dalam 2 regu, dari subplot 1 regu

pertama dapat menuju ke arah utara menuju subplot 2 dan 3 dan ke timur menuju plot 4 dan 5. Sedangkan regu kedua dapat menuju ke timur plot 8, 7 dan ke utara menuju plot 6.

• Prestasi kerja regu/tim : satu tract / hari untuk enumerasi satu tract

berhutan.

Pelaksanaan Enumerasi TSP

1. Sebelum pelaksanaan enumerasi TSP pastikan semua jarak termasuk jari-jari sub plot adalah jarak horisontal. Dalam semua situasi, sampling dikerjakan dari

arah utara bergerak searah jarum jam sampai penjelajahan 360o .

a) Tentukan pusat SP; jangan memotong semai, pancang, tiang, rotan,... didekat pusat SP; pasang patok dan tandai nomor tract dan nomor SP.

(15)

b) Dengan menggunakan blanko data lapangan yang sesuai, lingkari nomor

tract, nomor SP, dan isi deskripsi plot kolom 1,2,3,...,21 di mana

kolom 1 menyangkut identifikasi klaster plot (nomor zone, easting {bujur}

dan northing {lintang}), 3 adalah nomor tract, 4 nomor sub-plot, ..., dan

21 menunjukkan aspect jika itu blanko 1,2,3 (nipah) dan 4. Deskripsi plot hanya berbeda sedikit di antara blanko yang berlainan.

c). Partisi (Partition). Kolom 5 sampai 8 adalah untuk partisi, misalnya suatu sub-plot terletak di dua keadaan hutan, type hutan, atau kategori tataguna hutan. Jika tidak ada partisi, tulis garis datar pada item tersebut. Jika terjadi partisi, pertama, sket/gambar pada lingkaran

(anggap dengan jari-jari 20m) di dalam tract pada tempat yang

disediakan di pojok kanan lembar data. Partisi dapat terjadi pada salah satu dari dua bentuk: segmen atau sektor. Jika itu segmen, jarak (tegak lurus) dari garis batas sampai pusat subplot diukur sampai sekala 0.1 m dan dicatat di kolom 6 dan digambar di lingkaran. Jika itu sektor, azimut batas sektor dibaca dengan menggunakan kompas (dari pusat subplot) dan digambar di lingkaran, dan derajad sektor (ditentukan dari pembacaan azimut dua batas sektor) dicatat pada kolom 5. Derajat sektor bagian besar

dan kecil selalu berjumlah 360o . Dua bagian itu dicacah di dalam lembar

data yang berbeda di mana 1 dimasukkan ke kolom 7 untuk bagian besar dan 2 dimasukkan di kolom 8 untuk bagian yang kecil.

d). Masukkan 1 di kolom 9 hanya jika plot permanen, selainnya tulis garis datar (-).

e). Di item 10 tulis garis datar untuk enumerasi biasa atau 1 untuk enumerasi kontrol.

f). Provinsi (Province). Masukkan kode provinsi di kolom 12, dengan mengacu kode berikut ini:

1. Nangroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara

(16)

4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Bangka Belitung 10. Kepulauan Riau 11. Kalimantan Barat 12. Kalimantan Tengah 13. Kalimantan Selatan 14. Kalimantan Timur 15. Sulawesi Utara 16. Sulawesi Tengah 17. Sulawesi Selatan 18. Sulawesi Tenggara 19. Gorontalo 20. Sulawesi Barat 21. Maluku 22. Maluku Utara 23. Irian Jaya Barat 24. Papua

25. Bali

26. Nusa Tenggara Barat 27. Nusa Tenggara Timur 28. DKI Jakarta 29. Jawa Barat 30. Jawa Tengah 31. DI Yogyakarta 32. Jawa Timur 33. Banten

g). Sistem lahan(Land System). Masukkan sistem lahan di kolom 13 dengan menggunakan kode berikut:

1. Pasang surut

2. Pantai

3. Rawa/lahan basah

4. Sabuk meander (area datar didekat sungai besar) 5. Fan/dataran/lembah

6. Teras

catatan: 1 sampai 6 dianggap sebagi sistem lahan dataran 7. Lahan bergelombang, amplitude sampai 50 m 8. Berbukit, samplitudo 50 sampai 300 m

(17)

h). Ketinggian (Altitude). Kolom 14 dipergunakan untuk ketinggian atau tinggi dari muka laut. Kode berikut hendaknya digunakan:

0 0 – 99 m 1 100 – 199 m 2 200 – 299 m 3 300 – 399 m . . 10 1000 – 1099 m 11 1100 – 1199 m dst.

i). Kategori tataguna lahan (Land Category). Kategori tataguna lahan

dimasukkan di kolom 15 dengan menggunakan kode berikut: 1. Hutan pasang-surut

2. Hutan pantai

3. Hutan lahan basah (termasuk rawa) 4. Hutan lahan kering di bawah 1.000 m 5. Hutan subpegunungan, 1.000 - 2.000 m 6. Hutan pegunungan, di atas 2.000 m

7. Agroforestry dan hutan tanaman

8. Lapangan bekas tebang habis 9. Semak/belukar 10. Alang-alang, kering 11. Alang-alang, basah 12. Perkebunan 13. Pertanian 14. Lahan gundul 15. Air 16. Pemukiman, kota

j). Tipe hutan (Forest Type). Untuk kategori tataguna lahan 1 sampai 8 di atas, tipe hutan berikut (kolom 16) dapat dijumpai:

1. Hutan bakau (hanya pasang-surut) 2. Hutan nipah (hanya pasang surut)

3. Hutan palma (sagu)

4. Hutan pantai

5. Hutan rawa (tergenang musiman) 6. Hutan tanah basah (tergenang terus) 7. Hutan rawa gambut

8. Hutan tanah kering lembab 9. Hutan savana

(18)

10. Hutan pinus

11. Hutan kerangas (heat)

12. Hutan bambu (dominasi bambu) 13. Hutan sub/pegunungan daun lebar 14. Hutan tanaman produktif

15. Hutan tanaman fungsi lindung 16. Tanaman agroforestry

17. Tambak (tipe khusus hutan pasang-surut?)

k). Kondisi tegakan (Stand Condition). Kondisi tegakan dimasukkan di kolom 17 dengan menggunakan kode di bawah. Catat bahwa ada berbagai

rangkaian kode untuk (a) hutan tinggi dan hutan bakau, (b) savana, pinus,

palma (sagu dan nipah) dan hutan bambu, dan (c) hutan tanaman dan agroforestry.

Untuk hutan tinggi dan hutan bakau :

1. Belum ditebang, volume tinggi (dengan 7 atau lebih pohon tinggi

pada BAF (15 m tinggi bebas cabang) (4 m2/ha); labih dari 250 m3/ha)

2. Belum ditebang, volume sedang (4 sampai 6 pohon sedang pada

BAF; 150 - 250 m3/ha)

3. Belum ditebang, volume rendah (kurang dari 4 pohon tinggi, kurang dari

6 pohon sedang pada BAF; kurang dari 10 pohon pendek (kurang dari 6 m tinggi bebas cabang) pada BAF; kurang dari 150 m3/ha)

4. Ditebang, ringan

5. Ditebang, berat

6. Ditebang habis untuk tanaman/agroforestry

7. Ditebang habis untuk pertanian

8. Ditebang untuk peladangan berpindah

9. Ditebang, ditanam dengan jenis tanaman ladang

10. Hutan sekunder, kerapatan sedang/tinggi

11. Hutan sekunder, kerapatan rendah

12. Hutan rusak (lebih jelek dari tebangan berat; sangat sedikit tegakan

tinggal)

13. Rusak oleh sebab kebakaran

Savana, pinus, palma (sagu dan nipah), dan hutan bambu :

1. Belum ditebang, stok bagus (70% atau lebih)

2. Belum ditebang, stok sedang (50 - 70%)

3. Belum ditebang, stok jelek (kurang 50%)

4. Ditebang, stok sedang

(19)

6. Tebang habis untuk hutan tanaman/ agroforestry

7. Tebang habis untuk pertanian

8. Tebang habis untuk peladangan berpindah

9. Tebang habis, ditanami tanaman ladang

10. Rusak

11. Rusak oleh kebakaran

Hutan tanaman/agroforestry :

1. Stok baik

2. Stok sedang

3. Stok jelek

4. Tanaman gagal

5. Rusak oleh kebakaran

l). Tahun tebangan atau penanaman (Year of Logging). Masukkan tahun (empat angka terakhir) tebangan atau penanaman (pada hutan tanaman/agroforestry) pada kolom 18. Masukkan 0 jika tahun tebangan atau penanaman tidak diketahui.

m) Hamparan (Terrain). Kolom 19 digunakan untuk merekam kelas hamparan melalui kode berikut:

0 Datar atau berombak (0 - 10%)

1 Bergelombang, dataran rendah

2 Miring bawah atau rendah (bagian bawah hamparan miring)

3 Miring tengah (bagian tengah hamparan miring)

4 Miring atas (bagian atas hamparan miring)

5 Miring berombak

6 Puncak bukit

7 Jurang

8 Lereng batuan

n). Kelerengan (Slope). Kelerengan - kelerengan rata-rata, dicatat di kolom 20 dengan menggunakan kode di bawah ini:

0 0 sampai 8% 1 9 sampai 15% 2 16 sampai 25% 3 26 sampai 45% 4 46 sampai 70% 5 71 sampai 100% 6 lebih dari 100%

(20)

o). Aspek (Aspect). Aspek didefiniskan sebagai arah umum jika orang memandang keluar dari suatu lereng. Ini dicatat pada kolom 21 dengan menggunakan kode di bawah. Ini adalah masukan terakhir untuk deskripsi plot.

0 datar dan berombak (0 sampai 10%) 1 N, azimut 338 sampai 22 derajat 2 NE, 23 sampai 67 derajat 3 E, 68 sampai 112 derajat 4 SE, 113 sampai 157 derajat 5 S, 158 sampai 202 derajat 6 SW, 203 sampai 247 derajat 7 W, 248 sampai 292 derajat 8 NW, 293 sampai 337 derajat

2. Dalam enumerasi TSP pencacahan dibagi dalam beberapa kelompok menurut tingkat vegetasinya, yaitu:

a. Subplot berjari-jari 1 m untuk semai (tinggi kurang dari 1.5 m), catat jenis dan

hitung jumlahnya m e n u r u t spesies, dan isikan pada kolom 14 untuk semai, spesies yang tak dikenal (US) hendaknya dikelompokkan secara konsisten ke dalam US1, US2, US3, ...

b. Subplot berjari-jari 2 m untuk tingkat pancang (tinggi > = 1.5 m tetapi dbh kurang dari 5.0 cm), catat jenis dan hitung jumlahnya m e n u r u t spesies, dan isikan pada kolom 15 untuk pancang, spesies yang tak dikenal (US) hendaknya dikelompokkan secara konsisten ke dalam US1, US2, US3, ...

Pancang dicatat di baris yang terpisah dari semai meskipun dari spesies yang sama. Semai nipah dihitung dengan menggunakan subplot berjari-jari 2 m. (Lihat sampling untuk nipah).

c. Subplot berjari-jari 5 m.

- Tiang (dbh 5.0 – 19,9 cm)

Enumerasi dimulai dari arah utara searah jarum jam sampai pohon terakhir pada arah 360 derajat, setiap pohon diberi nomor secara urut. Ukur diameter DBH dan isikan pada kolom 14 serta catat tingkat kerusakannya isikan pada kolom 15.

(21)

- Rotan muda (panjang < 3 m dari leher akar ke daun hijau pertama)

Catat jenis dan hitung jumlahnya menurut species dan isikan pada kolom jenis dan kolom 16. Beri tanda S untuk tunggal (soliter) atau C untuk kelompok (klaster) sesudah nama spesies. Pengelompokan merupakan ciri spesies dan jika menjumpai rotan yang sendirian belum tentu berarti rotan itu tidak mengelompok atau tunggal . Panjang dan diameter tidak diukur.

(Nipah juga disampel dengan menggunakan subplot berjari-jari 5 m; lihat prosedur sampling untuk nipah)

d. Subplot berjari-jari 10 m.

- Rotan dengan panjang >=3.0 m

Tentukan jenis dan hitung jumlahnya, isikan pada kolom jenis dan

kolom 17. Ukur diameter maksimalnya dan isikan pada kolom 18, ukur juga diameter minimal isikan di kolom 19 jika lebih dari satu batang atau hanya D rata-rata jika hanya satu batang (sampai skala 0.1 cm); dan, panjang rata-rata dalam. Diameter diukur satu meter dari leher akar dan D rata-rata tidak perlu rataan Dmax dan Dmin (kecuali jumlahnya kurang dari 5 batang) tetapi ditentukan dari diameter dominan di dalam kelompok. Panjang batang rata-rata (L rata-rata) ditentukan dengan menaksir panjang batang individual, dijumlahkan dan dibagi dengan banyaknya batang di dalam kelompok. Pada kelompok dengan lebih dari 10 batang, batang yang dianggap mempunyai panjang rata-rata dapat ditaksir untuk mendapatkan L rata-rata.

- Bambu

Lihat prosedur sampling untuk bambu. e. Enumerasi Pohon

1. Kerjakan BAF (4 m2/ha) sampling untuk pohon-pohon dengan dbh/dab minimal 20.0 cm (atau 10.0 cm di hutan tanaman, konifer dan bakau).

(22)

Pohon-pohon yang meragukan hendaknya selalu dicek dengan mengukur dbh/dab dan jarak datar dari pusat SP. Pohon sampel BAF diukur diameternya dengan menggunakan pita diameter dan dengan tongkat sepanjang 1.3 m yang diletakkan di bagian tanah tertinggi tempat batang pohon berdiri. Untuk pohon-pohon berbanir, tinggi banir harus diukur/ ditentukan dan dab ditetapkan 0.2 m di atas akhir banir utama. Selesaikan pengukuran dbh/dab dan kualitas semua pohon yang masuk BAF sebelum melakukan pengukuran tinggi. Kualitas pohon didasarkan pada kualitas sepertiga terbawah batang pohon. Pohon-pohon dengan kualitas "5" tidak diukur tingginya.

2. Di dalam mengukur dab dengan relaskop, berdirilah sedekat mungkin dengan pohonnya atau gunakan sebanyak mungkin "full bars" (7 atau lebih). Bilamana dbh/dab diukur tidak pada tinggi yang umum karena adanya kerusakan/abnormalitas pohon, maka catatlah tinggi titik tempat pengukuran dbh/dab. Jika leher akar berada di atas tanah seperti terjadi di hutan rawa, pengukuran dbh/dab dan tinggi harus diperhitungkan dari leher akar.

3. Pada pengukuran banir dan tinggi, gunakan tongkat 1.3m sebagai tinggi basis sejauh itu mungkin. Yakinkan bahwa anda dapat melihat "sumbu tegak" pohon dan ukur sampai titik yang dikehendaki terutama jika pohonnya miring. Berdiri pada jarak yang nyaman dari pohon; jangan melebihi pembacaan 120% jika mungkin. Dalam melakukan pembacaan sudut tegak yang mendekati nol seperti membaca dasar pohon atau membaca lereng, selalu mulai dari nol persen sehingga anda dapat dengan mudah menentukan apakah pembacaannya negatif atau positif.

4. Sesudah menghitung tinggi setiap pohon, data lain seperti kerusakan (kolom 15) dan infestasi (kolom 19) dapat diisi.

5. Setelah sampling BAF kolom yang tersisa di deskripsi plot dapat diisi.

Banyaknya tiang/pohon (kolom 22) berasal dari banyaknya tiang dan pohon yang tercatat di subplot. U n t u k semai (kolom 23), diperoleh dari banyaknya spesies dengan semai (atau banyaknya baris yang digunakan untuk mencatat

(23)

semai jika tanpa pengulangan spesies yang sama); jika spesies tak dikenal, harus secara konsisten dicatat ke dalam kelompok tak dikenal US1, US2, US3 ... dst. Banyaknya pancang (kolom 24) dan rotan (panjang kurang dari 3.0 m)(kolom 25) ditentukan seperti halnya semai. Untuk rotan (panjang 3.0 m atau lebih), kolom 26, banyaknya record adalah banyaknya batang tunggal dan kelompok (atau banyaknya baris yang digunakan untuk mencatat rotan) di dalam subplot. Nomor regu (kolom 27), bulan (kolom 28) dan tahun (kolom 29) enumerasi, nama enumerator (Ketua Regu atau Wakil Ketua Regu) harus ditulis. Keseluruhan blanko harus diselesaikan sebelum meninggalkan subplot.

C. Enumerasi PSP

1. Pembuatan Petak PSP

Sebelum memulai enumerasi yakinkan bahwa petak PSP benar-benar satu hektar (100x100 m bujur sangkar) dan record unitnya benar-benar 25x25 m bujur sangkar, mengacu arah Utara - Selatan dan

Timur - Barat. Jika titik sampel TSP tract No.5 diletakkan dengan benar,

maka sudut plot permanen sudah siap dikerjakan. Hal ini mengarah pada pada kebutuhan akan kecermatan kerja dalam menjalankan survai dan menandai/mematok setiap jarak 12.5 m sepanjang sisi tract 5 selama enumerasi TSP. Itu akan membantu penetapan PSP. Untuk melihat apakah sudut-sudutnya telah diletakkan secara tepat, sisi tract 100x100 m harus membentuk trase yang tertutup. Dalam hal apapun, yang terbaik adalah memulai PSP dari sudut barat daya. Langkah-langkahnya:

a). Ganti patok yang menandai pusat subplot TSP No. 1 (titik 1a dalam Gambar 4) dengan pipa sepanjang 0.5 m (berdiameter 1/2") dan tanam tegak lurus di tanah sampai seluruh pipa masuk paling tidak 10 cm di bawah permukaan.

b). Pilih dan petakan tiga "titik saksi", sebaiknya di luar plot, mis.

(24)

yang tak berubah oleh waktu, dan tentukan arah serta jarak dari pusat ke masing-masing titik saksi. Uraikan dan petakan sekitarnya. Tentukan dan catat tinggi tempat sudut sampai ketelitian 5 m. c). Ulangi prosedur yang sama un tu k menetapkan sudut-sudut

lain (Lihat Gambar 4). Gambar 4. PSP, tract No.5

2. Pelaksanaan Enumerasi PSP

Umumnya satu regu lapangan terdiri dari ketua regu, wakil ketua regu, dan 7 sampai 8 pekerja (1 atau 2 di tenda dan 6 bersama tim pencacah). Sebagai satu tim kerja, regu ini hendaknya menetapkan/mengenumerasi PSP mulai dari sudut Barat Daya terus ke timur dari record unit (RU) 1 ke RU 2, 3, dan 4 menurut langkah- langkah berikut. Dari RU 4, regu dapat menuju baik ke Barat dari RU 8 ke RU 5 atau menuju Timur dari RU 5 sampai RU 8; dan ulangi urutan yang serupa dari RU 9 sampai RU 12 dan dari RU 13 sampai RU 16.

(25)

Setelah selesai membuat kerangka suatu record unit (pusat dan keempat sisinya telah ditetapkan) yang harus dilakukan:

1. Melengkapi deskripsi RU. Deskripsi subplot/RU serupa dengan blanko data lain kecuali untuk kolom berikut: kolom 3 selalu tract No.5, kolom 4 adalah nomor RU, kolom 5 dan 6 kosong (partisi ditunjukkan/dipetakan di gambar yang disediakan (paling kanan)), dan kolom 9 adalah nomor kotak 5x5 m (25 per RU) untuk bagian besar atau bagian kecil partisi. Sesudah deskripsi RU diselesaikan (kecuali kolom 22 yang hanya dapat diisi setelah mengenumerasi RU), kerjakan enumerasi subplot berjari-jari 1 m (semai), 2 m (pancang), 5 m (rotan pendek dan tiang), dan 10 m (rotan panjang dan bambu) (Blanko B) secara urut

2. Enumerasi untuk pohon (dengan dbh/dab paling kecil 20.0 cm), mulai dari arah utara searah jarum jam sampai semua pohon telah diukur/diamati dan semua data yang diperlukan telah dicatat. Gunakan blanko yang disediakan untuk memetakan tiang dan pohon. Kerjakan data pohon sebagai berikut: tinggi banir, tinggi batang, tinggi pohon, kelas pohon, kelas tajuk, posisi tajuk, kerusakan, infestasi, azimut dan jarak ke pohon.

3. Tiang diberi nomor 1 sampai tiang terakhir (di dalam subplot berjari-jari 5 m). Dengan demikian, pohon pertama mengambil nomor sesudah tiang terakhir dan pohon berikutnya diberi nomor urut searah pergerakan jarum jam sampai memenuhi record unit.

4. Pada enumerasi PSP di hutan rawa/lahan basah, titik /tinggi pengukuran DBH/DAB ditandai dengan paku (panjang 8-10 cm) dan dipakukan sedalam 2 cm. Hal ini penting karena orang tidak yakin di mana titik 1.3 m di atas tanah (atau dari leher akar) atau berapa tinggi banir pada saat areal tersebut tergenang.

(26)

5. Untuk pohon berbanir, dilakukan pengukuran/pengamatan yang sama dengan enumerasi TSP. Ada data tambahan mengenai diameter, yakni 2.2 m di atas banir (atau 3.3 m di atas tanah pada pohon yang banirnya l . l m atau lebih rendah), kelas pohon, kelas tajuk, dan posisi tajuk, yang juga harus dikumpulkan.

6. Diameter kedua di atas banir - Untuk pohon berbanir, diameter kedua diukur pada 2.0 m di atas DAB pertama sebagai dasar penaksiran pertumbuhan diameter pada pengukuran berikutnya (kurang lebih 5 tahun kemudian) jika pada saat itu DAB pertama telah tertutup banir.

Titik/tinggi pembacaan relaskop (penuh/seperempat bar/batang) untuk diameter 2.2 m di atas banir ditentukan dengan membagi 220 dengan jarak datar dan tambahkan hasilnya dengan persen bacaan di akhir banir. Ini akan memberikan persen bacaan pada 2.2 m di atas banir. Sebagai contoh apabila pembacaan di akhir banir 80% dan jarak datar 4.5m, maka 220/4.5 = 48.9%, sehingga bacaan bar penuh dan seperempat untuk diameter (2.2 m di atas banir) dibuat setinggi ekivalen dengan 80 plus 49% = 129% dari tempat berdiri yang sama.

Dalam hal tinggi banir masih sama atau kurang dari 1.1 m dab pertama diukur setinggi dada (1.3 m di atas tanah) dan dab kedua diukur 3.3 m di atas tanah. Jika dab kedua diukur dengan menggunakan relaskop, titik pembacaan ditentukan dengan membagi 330 dengan jarak datar plus persen bacaan dari basis pohon.

Sebagai contoh jika jarak datar 3.0 m dan persen basis pohon -30%, maka persen 3.3 m dari atas tanah adalah 330/3.0 = 110% plus (-30%) atau 80%. Dab kedua pada kasus tersebut diinasukkan kolom 17 (Permanent Plot, A).

(27)

7. Kelas pohon (Tree Class). - Kelas pohon dicatat untuk setiap pohon di kolom 22. Kelas pohon diberi kode sebagai berikut:

1 Dominan

2 Kodominan

3 Intermediate

4 Tertekan

8. Kelas tajuk (Crown Class). - Ini dimasukkan di kolom 23. Kelas tajuk mempunyai kode sebagai berikut:

1. Sempurna (Perkembangan dan ukurannya terbaik; lebar, bundar dan simetri)

2. Bagus (nyaris ideal, tumbuh memuaskan, dengan beberapa cacad simetrinya atau beberapa ujung cabang mati)

3. Dapat diterima (silvikulturnya dapat diterima, jelas asimetri atau terpangkas tetapi dapat bertahan)

4. Jelek (jelas tidak memuaskan, dengan kerontokan, sangat tidak simetri, tetapi dapat bertahan hidup)

5. Sangat jelek (jelas menyusut, atau rusak berat, dan mungkin tidak dapat bereaksi terhadap pembebasan)

9. Posisi Tajuk (Crown Position). - Ini dicatat di kolom 24 dan ditunjukkan melalui kode berikut:

1. Sepenuhnya menerima sinar matahari (bebas dari persaingan samping paling tidak di dalam putaran 45 derajat pada awal tajuk seperti kerucut terbalik)

2. Menerima sinar penuh di atas (tetapi berdekatan dengan tajuk lain yang sama atau lebih tinggi)

3. Menerima sinar atas (sebagian dibayangi oleh tajuk lain yang lebih tinggi)

4. Menerima sebagian sinar samping (sepenuhnya dibayangi dari atas tetapi menerima sebagian sinar langsung karena adanya celah-celah tajuk)

(28)

5. Tidak ada sinar langsung (sepenuhnya dibayangi dari atas dan dari samping)

10. Data tanah (Soil Parameter). - Kolom 17 sampai 29 pada deskripsi plot di lembar data 5, Permanent Plot, B, dimaksudkan untuk data tanah yang diambil dari record unit. D. Pengukuran dan Pencatatan data Non Kayu

1. Prosedur sampling Bambu.

Bambu dienumerasi hanya di provinsi/areal yang dipandang penting oleh BPKH. Setiap ditemukan bambu di dalam plot berjari-jari 10 m dilakukan enumerasi dengan menggunakan Blanko No. 3. Kolom deskripsi plot (kolom 1-10) diisi pertama kali termasuk melingkari nomor tract dan subplot. Jika tidak ada bambu yang terdapat dalam subplot, harus dicatat secara jelas di lembar data subplot. Hanya bambu setinggi 5 m atau lebih yang dienumerasi. Untuk rumpun yang sebagian berada di dalam subplot berjari-jari 10 m, hanya batang-batang yang termasuk di subplot saja yang disampel.

a). Bambu dicatat menurut spesies dan rumpun. Untuk setiap rumpun, hitung jumlah batang total (minimal setinggi 5 m dan dbh 2.5 cm) di dalam subplot dan catat di kolom 16. Hitung pula tonggak yang masih hidup (yang baru dipotong tahun lalu) dan catat di kolom 17. b). Amati dan hitung batang berumur satu tahun dan masukkan ke

dalam kolom 14. Kerjakan hal yang sama untuk batang berumur dua tahun dan catat di kolom 15. Kolom 16 jika dikurangi dengan jumlah kolom 12 dan kolom 13 akan merupakan banyaknya batang berumur 3 tahun atau lebih.

Catatan : Di lapangan, cukup mudah untuk membedakan bambu berumur satu, dua dan tiga tahun atau lebih (berdasar warna batang dan daun). Di beberapa tempat, barangkali hanya terdapat spesies tertentu yang mulai masak batangnya pada umur satu atau dua tahun. Masyarakat setempat yang memanfaatkan bambu akan tahu rincian tersebut sehingga disarankan untuk mempekerjakan satu atau dua pekerja yang tahu mengenai bambu setempat.

(29)

c). Pada subplot di sudut (SP 1, 3, 5, dan 7) ambil batang berumur satu, dua dan 3 tahun atau lebih untuk setiap spesies (dari rumpun pertama setiap spesies; jika hanya terdapat satu spesies maka langkah ini hanya dilakukan sekali untuk setiap subplot sudut), mulai dari utara searah jarum jam, seperti biasanya. Ukur dbh nya dan catat berturut-turut di kolom 18, 23 dan 28. Potong batang yang terpilih itu pada 1 m di atas tanah, tandai tempat berdiameter 2.5 cm di atas dan ukur panjang dari potongan ke bagian berdiameter 2.5 itu serta dari situ ke pucuk batang bambu. Catat di kolom 19 dan 21 (untuk yang berumur satu tahun), 24 dan 26 (untuk yang berumur dua tahun), dan kolom 29 dan 31 (untuk yang berumur 3 tahun atau lebih). Potong batangnya pada tempat berdiameter 2.5 cm, timbang bagian bawah dan atas secara terpisah dengan ketelitian 1/4 kg menggunakan timbangan tali, dan catat datanya berturut-turut di kolom 20 dan 22, 25 dan 27 serta 30 dan 32. Jika perlu, potong batang bambu menjadi potongan kecil-kecil sebelum ditimbang.

Catatan: Untuk spesies bambu yang tidak komersial (dbh nya kurang dari 2.5 cm atau tingginya kurang dari 5 m), catat spesies dan banyaknya rumpun di subplot dan taksir banyaknya batang pada rumpun pertama yang dijumpai dalam gerakan dari utara searah jarum jam.

2. Prosedur sampling untuk sagu.

Sagu diinventarisasi di pulau-pulau/provinsi yang memandang sagu sebagai hasil hutan yang penting oleh BPKH. Sagu dicacah di dalam subplot berjari-jari

10 m pada setiap delapan subplot/titik sampling per tract (TSP) dengan

menggunakan Blanko 3A, Sagu Enumeration. Tidak ada PSP untuk sagu. Apabila tidak dijumpai sagu di dalam subplot di tempat/provinsi di mana sagu harus diinventarisasi, harus dinyatakan secara jelas pada blanko data, jika tidak maka lembar data sagu ditafsirkan sebagai lembar data yang hilang.

(30)

Langkah-langkah untuk sampling sagu adalah sebagai berikut:

a). Kolom deskripsi plot (kolom 1-10) diisi dulu, nomor tract dan subplot dilingkari, dan nama enumerator ditulis (di bawah nama, tuliskan tanggalnya).

b). Enumerasi dimulai dari utara searah jarum jam. Sagu dienumerasi menurut spesies, menurut rumpun, dan menurut batang dengan kelas kemasakan M 1 , M2 dan M3. Semai (masih tak berbatang) dan tanaman lampau masak (bunganya sudah terbuka atau sedang berbuah) dicacah menurut rumpun dan/atau subplot. Kolom 13 digunakan untuk urutan rumpun, mulai dari 1. Kolom 14 untuk diameter rumpun (rerata 2 diameter rumpun jika tidak melingkar), dengan ketelitian 1 meter. Banyaknya batang M1, M2 dan M3 di dalam rumpun (termasuk yang di luar subplot jika rumpunnya sebagian MASUK) dicatat di kolom 15. Kolom 16 digunakan untuk nomor urut batang di dalam rumpun, mulai dari angka 1 untuk setiap rumpun. Sebagai contoh jika terdapat 5 batang M1, M2 dan M3 untuk rumpun nomor 1 maka 1 ditulis di kolom 13 pada baris pertama, 5 ditulis di kolom 15 dan 1 di kolom 16 (baris pertama), 2 di kolom 16 (baris kedua), ..., dan 5 untuk batang kelima di kolom 16 (baris kelima). Di baris keenam, angka 2 ditulis di kolom 13 untuk rumpun kedua dan 1 untuk batang M1, M2 atau M3 di kolom 16, angka 2 di kolom 16 untuk batang M1, M2 atau M3 dan seterusnya. Dengan kata lain urutan batang (kolom 16) selalu mulai dari 1 untuk setiap rumpun sagu.

c). Untuk setiap batang M1, M2 dan M3, cacad batang ditulis di kolom 17: 0 jika tidak cacad (batang atas sedikit lebih besar dari batang bawah) atau 1 jika ada cacad/penyakit (batang atas lebih kecil daripada batang bawah menunjukkan suatu abnormalitas/penyakit). DBH diukur dan dicatat dengan ketelitian 0.1 cm di kolom 18, tinggi batang dicatat dengan ketelitian 0.1 m di kolom 19, dan kelas kemasakan di

(31)

kolom 20. Pembacaan tinggi batang ditampung dalam kolom-kolom di antara 20 dan 21. Kolom 21 digunakan untuk mencatat banyaknya semai (kelas kemasakan M0) di dalam subplot sedangkan kolom 22 disediakan untuk banyaknya semai di dalam setiap rumpun dan kolom 23 adalah untuk batang lampau masak (kelas kemasakan M4) di dalam setiap rumpun. Untuk seluruh subplot hanya ada satu masukan di kolom 22. Perhatikan bahwa angka di kolom 22 mungkin lebih kecil daripada jumlah seluruh semai di semua rumpun karena dapat terjadi beberapa semai di dalam rumpun terletak di luar subplot.

d). Kelas kemasakan (salah satu dari lima kelas) diamati untuk setiap tanaman sagu di dalam subplot: M0 (sangat muda/semai/pancang; batangnya belum nampak); M1 (sagu muda; lajur hitam di pelepah daun belum terputus atau duri mulai longgar dan lepas; hasilnya rendah/terlalu dini untuk dipanen); M2 (masak; lajur hitam di bagian bawah pelepah daun telah hilang atau duri di daun lepas atau pelepah daun muda lebih pendek atau mayang bunga mulai muncul dan akan membuka; hasilnya maksimum); M3 (sedikit lampau masak; bunganya telah keluar dan membuka; hasilnya rendah); dan M5 (lampau masak, bunga telah terbuka seluruhnya atau berbuah).

3. Prosedur sampling untuk nipah

Nipah diinventarisasi pada areal/provinsi yang memandang nipah merupakan hasil hutan yang penting oleh BPKH yang bersangkutan. Di sini hanya diperlukan enumerasi TSP. Klaster plot untuk nipah (hutan

pasang surut): tractnya. hanya 50x50 m dan terpisah hanya 100x100 m

dari sisi ke sisi terdekat. Di hutan pasang surut (bakau dan nipah), suatu klaster dipandang sah dan dilakukan enumerasi jika paling sedikit tiga tract tidak berada di air.

Enumerasi nipah dilakukan dengan menggunakan Blanko 3B (Nipa enumeration, TSP). Semai (sampai dengan tinggi 1.5 m) dicacah di dalam

(32)

subplot berjari-jari 2 m sedangkan tanaman yang lebih besar disampel dalam subplot berjari-jari 5 m. Ada 8 subplot (terpisah 25 m) per tract. Sampling nipa hendaknya mengikuti langkah-langkah berikut :

a). Kolom deskripsi plot diisi dulu kecuali kolom 22,23 dan 24. Nomor tract

dan subplot dilingkari dan nama enumerator ditulis.

b). Kemudian subplot berjari-jari 2 m diamati, semai didalamnya dihitung, dan jumlahnya dimasukkan di kolom 24 pada deskripsi plot.

c). Setelah itu dibuat subplot berjari-jari 5 m, mulai dari utara searah jarum jam; setiap nipah setinggi lebih dari 1.5 m di dalam subplot diamati dan angkanya dimasukkan kolom yang bersangkutan menurut cara berikut :

c1. Total banyaknya daun di kolom 14;

c2. Banyaknya daun yang jelek di kolom 15; daun jelek mempunyai lebih dari 50% anak daun yang tidak baik untuk bahan atap: anak daun yang dapat dimanfaatkan adalah yang lebarnya paling tidak 5 cm, panjang satu meter, dan hanya mempunyai sedikit lubang kecil; ini dimasukkan di kolom 15.

c3. Banyaknya daun yang baik di kolom 16, termasuk daun muda yang sudah penuh panjangnya (baik sudah terbuka maupun yang masih tertutup); jumlah kolom 15 dan kolom 16 harus sama dengan angka pada kolom 14.

c4. Kelas kemasakan di kolom 19: M1 (jika terlalu muda dan belum mempunyai daun yang dapat dipanen, atau, banyaknya daun dewasa kurang dari 5) atau M2 (jika paling sedikit terdapat 5 daun (paling sedikit satu di antaranya layak dipanen) termasuk daun muda yang sudah penuh panjangnya dan daun yang sudah dipanen). c5. Status panenan daun di kolom 20: c (jika satu daun sudah

dipotong/dipanen) atau u (jika sama sekali belum dipotong/dipanen); c6. Status bunga/buah di kolom 21:0 (jika tidak dijumpai), 1 (jika.

berbunga) atau 2 (jika berbuah) dan,

c7. Status daun muda yang panjangnya penuh di kolom 22: o (jika sudah terbuka) atau c (masih tertutup).

(33)

Untuk mendapatkan dasar taksiran mengenai anak daun yang dapat dimanfaatkan dan jumlah total anak daun, empat tanaman nipah (Nipah M2 terdekat di utara (N), timur(E), barat (W) dan selatan (S) disampel untuk penghitungan. Jika di subplot berjari-jari 5 m terdapat kurang dari 5 pohon, semuannya diambil untuk diukur. Langkah-langkah berikut hendaknya dilakukan:

a). Setiap sampel nipah M2 di N-E-W-S (harus ada 4 tanaman jika ada paling sedikit 4 nipah M2 di subplot), ukur tinggi sampai skala 0,1m dan masukkan datanya di kolom 17. Pembacaan/data untuk pengukuran tinggi dimasukkan di kolom tak bernomor di antara kolom 22 dan 23. b). Pilih daun yang dipandang mewakili rata-rata dari setiap sampel

nipah M2, potong seperti dipanen kemudian ukur panjangnya sampai sekala 0.1 m dan masukkan datanya di kolom 23, hitung banyaknya anak daun yang dapat dimanfaatkan dan catat di kolom 24, dan hitung jumlah total anak daun (yang dapat dimanfaatkan maupun yang jelek) dan masukkan di kolom 25. Lebih sederhana untuk menghitung jumlah total anak daun, banyaknya anak daun yang jelek dan anak daun yang dapat dimanfaatkan dapat ditentukan melalui pengurangan.

c). Cari nipah M2 yang tertinggi di dalam subplot dan tentukan tingginya sampai skala 0,1 m. Masukkan pembacaan pengukuran di kolom tak bernomor di antara kolom 22 dan 23 dan catat tingginya di kolom 18. d). Akhirnya, banyaknya tanaman nipah M1 dan M2 di dalam subplot

dimasukkan di kolom 22 dan 23 di deskripsi plot.

KOORDINASI/MONITORING KEGIATAN SAMPLING LAPANGAN

Guna memperoleh efisiensi pada kegiatan sampling lapangan dalam hal biaya dan

terutama kualitas data TSP/PSP yang baik, perlu diberlakukan suatu sistem

koordinasi dan monitoring yang efektif. Diperlukan keterpaduan penuh dalam

perencanaan dan pelaksanaan kegiatan sampling lapangan di 11 wilayah, karena

(34)

(a) sangat luasnya areal yang dicakup,

(b) sangat banyaknya staf teknis dan pekerja yang ditugaskan di areal terpencil di seluruh wilayah, dan

(c) periode pelaksanaan sampling lapangan yang relatif singkat, jika

dibandingkan dengan kebutuhan mendapatkan data lapangan berkualitas baik. Di kantor pusat Direktorat Jenderal Planologi kegiatan koordinasi dan monitoring yang

dilakukan adalah perencanaan, penganggaran dan monitoring/evaluasi (termasuk

penyiapan laporan periodik/kemajuan), mereka bertanggung jawab penuh atas data lapangan yang datang dari daerah yang mereka supervisi. Mereka juga bertanggung jawab atas masukan/kiriman dan analisis data. Sebagai suatu tim, mereka harus menjamin bahwa target yang ditetapkan pada sistem data lapangan dapat dicapai.

Di Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), dilakukan perencanaan dan

supervisi/evaluasi sampling lapangan termasuk penyiapan laporan-laporan

periodik/kemajuan pekerjaan. BPKH bertanggung jawab atas bagusnya kualitas data sampling lapangan. Mereka juga bertanggung jawab atas masukan/kiriman dan analisis data serta pencapaian target yang ditetapkan dalam sampling lapangan.

(35)

KEGIATAN TSP/PSP Blanko CMS No. 1 LAPORAN TRIWULAN

(Diserahkan: 15 Juli, 15 Oktober, 15 Januari dan 31 Maret)

A. Enumerasi reguler

1. Banyaknya klaster yang diselesaikan:

Banyaknya klaster yang direncanakan triwulan ini:

2. Banyaknya regu yang ditugaskan ke lapangan: ______

Banyaknya regu yang direncanakan: ________

3. Banyaknya hari-regu untuk menyelesaikan satu klaster

3.1. Survai akses: Rata-rata ____ Rentangan (range) _________ 3.2. Enumerasi aktual: Rata-rata ___ Rentangan _________ 4. Biaya pelaksanaan satu klaster (Ribuan rupiah)

4.1. Survai akses: Rata-Rata ______ Rentangan __________ 4.2. Enumerasi aktual: Rata-rata________Rentangan _____________ 5. Anggaran untuk triwulan ini:

5.1. Survai akses: ___________

5.2. Enumerasi reguler______________

6. Tingkat pencapaian untuk tahun ini (realisasi/rencana)__ 7. Total pencapaian TSP/PSP (total yang diselesaikan/total klaster)

BPKH No. Dibuat oleh: Tanggal:

(36)

8. Masalah yang timbul:

8.1._____________________________________________ 8.2. _____________________________________________ 8.3. _____________________________________________

B. Re-Enumerasi PSP

1. Banyaknya klaster yang diselesaikan: _______

Banyaknya klaster yang direncanakan triwulan ini:_______ 2. Banyaknya regu yang ditugaskan ke lapangan:

Banyaknya regu yang direncanakan: ____

3. Banyaknya hari-regu untuk menyelesaikan satu klaster Rata-rata_______ Rentangan _________

4. Biaya pelaksanaan satu klaster (Ribuan rupiah)

Rata-rata ____ Rentangan _____________

5. Anggaran untuk triwulan ini:_____________

6. Tingkat pencapaian untuk tahun ini (realisasi/rencana)_

7. Total pencapaian enumerasi kontrol (total yang diselesaikan/

total klaster)_____________ 8. Masalah yang timbul:

8.1. ___________ 8.2. __________ 8.3. ____________

C. Pemasukan data/pengiriman

1. Banyaknya klaster yang di "keyed in" __ Rencana _________

2. Biaya aktual pemasukan data ke komputer:

(37)

4. Banyaknya klaster di "keyed in" dan dikirim ke kantor pusat: Tanggal

5. Banyaknya klaster di lembar data (yang belum di keyed in) yang dikirim ke pusat: _______ Tgl. ______

Laporan ini diperiksa/diketahui oleh:

Kepala BPKH

Koordinator Wilayah

Koordinator FDS

(Catatan: Dimohon untuk menuliskan tanggapan dan rekomendasi)

Tanggal:

Tanggal:

(38)

KEGIATAN TSP/PSP

Blanko CMS No. 2 LAPORAN TAHUNAN (Diserahkan: 31 Maret)

BPKH No. _____ Dibuat oleh:___________ Tanggal:___________ Laporan periode: __________ s/d ____________

A. Enumerasi reguler

1. Banyaknya klaster yang diselesaikan: _______ Banyaknya klaster yang direncanakan tahun ini:____ 2. Banyaknya regu yang ditugaskan ke lapangan: ___

Banyaknya regu yang direncanakan: ____

3. Banyaknya hari-regu untuk menyelesaikan satu klaster

3.1. Survai akses: Rata-rata ____ Rentangan (range) _______ 3.2. Enumerasi aktual: Rata-rata ___ Rentangan _______ 4. Biaya pelaksanaan satu klaster (Ribuan rupiah)

4.1. Survai akses: Rata-Rata ______ Rentangan _______ 4.2. Enumerasi aktual: Rata-rata ____ Rentangan ________ 5. Anggaran untuk tahun ini:

5.1. Survai akses: ____________ 5.2. Enumerasi reguler ___________

6. Total pencapaian TSP/PSP (total yang diselesaikan/ total klaster)_________ 7. Masalah yang timbul: 7.1.

7.1._________________ 7.2._________________ 7.3._________________ B. Re-Enumerasi

1. Banyaknya klaster yang diselesaikan:

(39)

2. Banyaknya regu yang ditugaskan ke lapangan: ___ Banyaknya regu yang direncanakan: ____

3. Banyaknya hari-regu untuk menyelesaikan satu klaster Rata-rata ___ Rentangan _________

4. Biaya pelaksanaan satu klaster (Ribuan rupiah) Rata-rata ___ Rentangan _________ 5. Anggaran untuk tahun ini:_______________

6. Total pencapaian enumerasi kontrol (total yang diselesaikan/ total klaster) _______

7. Masalah yang timbul:

7.1._______________________ 7.2.______________________ 7.3._________________________ C. Pemasukan data/pengiriman

1. Banyaknya klaster yang di "keyed in" _________ Rencana _________

2. Biaya aktual pemasukan data ke komputer:_________

3. Anggaran tahunan untuk memasukkan data:________ 4. Banyaknya Waster di "keyed in" dan dikirim ke kantor

pusat: ____________ Tanggal: ________

5. Banyaknya klaster di lembar data (yang belum di keyed in) yang dikirim ke pusat: ________ Tgl. ______

Laporan ini diperiksa/diketahui oleh: Koordinator Wilayah Koordinator FDS Kepala BPKH Tanggal: Tanggal: Tanggal:

(40)

Daftar species yang ditemukan.

No. Cluster : ... Zone : ... W-E : ... S-N :………

Propinsi : ... , Kabupaten : . . . , Kelompok hutan :...

(41)

3

4

5

50 m 50 m 0 m

2

6

5 0 50 m

7

8

1

(42)

Enumerator : ZONE : 47 W- E S - N Checket : 1 2 3 4 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 650 150 4 1 4 3 0 3 6 10 - 0 0 0 10 4 3 - - 3 4 09 SHEET 1 OF 1 R 5 m 5 - 19,9 Cm BAF 4(25x25) 20+ Cm D mi n D aver age RECORD TYP E CONS E C NUM BE R SPEC IES C O D E SEED LIN G r 10 m Rattan 3 m L aver age RATTAN 3 m LOMO a single cluster SA PLI N G R A T T A N 2,9 M S T E ADL S D max

NAME OF SPECIES COUNT r 1 m Trees Seedlings r 2 m Trees Sampling r 5 m Rattan - 2,9 m HORIZ ONT DIS T ANCE E RFECT BA SE E RFECT BTTRESS D 0,2 AB O LL BARS 1/4 B A R S GRADE INVE S T AT ION DAM AGE TREES OF 20 cm DBH OF HORIZ ONT DIS T ANCE HE IGHT E RFECT BA SE OF BAS E TRA C E SU B PLO T SEC T O R PARTITION D E G R EES DIS T ANCE TO SEG M EN T LA RG E PA RT READING FOR

BOLE HEIGHT BOTTRESS HEIGHT

BU TTRESS W E IGHT BO LE WEIG H T E RF ECT R OW N P O INT RECORD TYP E NAME OF SPECIES FO R E ST TY PE S T AND CONDIT ION SMA LL PA R T 6 LA N D SY STEM A LTITU T SPEC IES C O D E CONS E C NUM BE R RECORD TYP E P R OVINCE 5

NATIONAL FOREST INVENTORY OF INDONESIA

P E RM ANE NT CONTROL SEED LIN G SA PLI N G RAT T AN -RAT T AN -CRID NUMBER OF CLUSTER A SPEC LA N D CA TEG O R Y Tampubolon CREW NUM BER M ONT H YE AR OF L OGING YE AR TREES. PO LES NUMBER OF RECORDS TERRAIN SLO P E 0.01 m 0.1 m 2. 9 Cm 3 Cm 0.1 cm 0.1 cm 0.1 cm 0.1 cm m 1 2 3 4 5 6 7 8 2 5 8 4 7 3 6 9 1 Dwi Krisna 11 15 17 18 19 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 2 0 3 2 0 2 2 0 2 2 0 4 2 0 3 2 0 11.0 1 0 -3 2 2 0 12.0 1 0 -2 2 2 0 10.0 1 0 -3 2 0 9.0 1 0 -1 2 0 8.0 1 0 -4 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Kopi-kopi Jambu-jambu Medang Asam Kandis Pasak bumi Arang-arang Asam kandis 106 96 108 108 117 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 10.0 7.5 7.5 7.0 9.0 35.3 35.1 10.8 15.6 7.6 8.9 8.3 38.5 44.2 25.2 Kelat Bintangur 1 2 Kayu Cina Gambir-gambir Pisang-pisang Kedondong Keranji Gambir-gambir Arang-arang Boko-boko 21 22 13 14 15 16 9 10 23 17 18 19 20 11 12 5 6 7 8 3 4 P E P E P O 14 16 PE 12 13 0.01 m 0.1 m PE CR 0.01 m 0.1

(43)

Enumerator :

4. PERMANENT PLOT A Checket :

SHEET OF DIS T ANC E TO S E C M EN T LAR G E P A R T SM AL L PAR T 6 X 6 M SQUAR ES W - E N - S 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 2009 S TANC E O F B A SE N T B A S E W N POINT O F TR EE S TANC E N T B A S E T R EES BA RS A RS o r AB BA RS A RS

LAND SYSTEM STAND C

ONDITION

NATIONAL FOREST INVENTORY OF INDONESIA

CRUE NUMBER OF CLUSTER HEC T AR A PLOT RE CO RD U N IT SEKTOR DEGR EES PARTITION C ONTR O L RE CO RD T Y P E PR OVINC E TR

EES AND POLES

CRE W N U M BE R M ONTH YEAR YEAR OF LOGING T E RRA IN SL OPE ASPE C CL A S S POSIT ION ZONE : D TYP E NUM B E R C ODE 25 X 25 m 20+ cm ALTITUT LAND C A TEGOR Y FOR E ST T Y PE DBR of D E S HEIGHT D 2.2 m AB READING FOR E IGHT E IGHT A TION L ASS BUTTRESS AZIMUT TO TREE HORIZONT DISTANCE TO TREE

5 m 5 - 19,9 Cm BOLE AND TREE HEIGHT BUTTRESS AND DIAMETERS ABOVE D2-8 AB

D.0 & AB 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0.1 m 1 1 HOR . DI S HEIGH O P E RCE N T % CRO W % TOP O HOR . DI S P E RCE N T % B U T T F U LL B 1/4 B A % 2. 8 o F U LL B 1/4 B A 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 CRO W N C CRO W N P RE CO RD C ONSEC SPE C IE S D 0.2 m AB DAM AG E B U TTR E S AB B O LE H E TR EE HE I GR ADE DIVEST A TR EE C L A NAME OF SPECIES TREE TREE 0.1 Cm 0.01 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.1 Cm 0.5 Cm 15 16 17 18 19 20 21 22

(44)

5. PERMANENT PLOT B SHEET OF DIST ANC E T O SE GM E N T LA R G E P A R T SM AL L PAR T 5 X 5 M SQUAR E S S EED LI N G SAPL ING RA T T A N 2. 9 M R A T T AN 3 + M BA MBO O TEX TU R E C O L OUR ST ONE S TEX TU R E C O L OUR ST ONE S TEX TU R E C O L OUR ST ONE S W - E N - S 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 D M A X D M IN D AVE R AGE L AVE R AGE 1 YE AR 2 YE AR TO TA L L IVE ST UM PS HOR . DIST ANC E B A M B OO C ONSE C NUM B E R SPE C IE S C ODE No. Of Clumbs AZ IM UT T O B A M B OO S TEM S RATTAN 3 + M a single c cluster ZONE : r 1. m TREE SEEDLING r 2. m TREE SAPLING r 5.m RATTAN 2.0 Cm r 10.m RATTAN 3 + Cm RE CO RD T Y P E C ONSE C NUM B E R r 10 m BAMBOO RE CO RD T Y P E SPE C IE S C ODE S EED LI N G S SAPL ING RA T T A N 2. 9 M DE PT H OF HUM US SOIL PARAMETER CRE W N U M BE R M ONT H YE AR DEPTH OF SOIL (CM) SL OPE POSIT ION 10 CM 30 CM 50 CM

NATIONAL FOREST INVENTORY OF INDONESIA

CRUE NUMBER OF CLUSTER HE C T AR A PL OT RE CO RD U N IT SE KT OR DE GR E E S PARTITION C ONT R O L RE CO RD T Y P E NUMBER OF RECORD DE PT H OF PE AT H 0.1 m 1 1 Cm Cm COUNT 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 11 12 13 14 15 16 17 18 19 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

NAME OF SPECIES NAME OF SPECIES

Gambar

Gambar 3.  Titik Saksi pada Pusat Klaster
Gambar 3.  Kerangka Plot Contoh  a.  9 tract – klaster plot
Gambar 4.  PSP,  tract  No.5

Referensi

Dokumen terkait

3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan telah menandai orientasi baru pembangunan kehutanan yang menyelamatkan fungsi

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tentang

g. Proses update kelas PL perlu memperhatikan prioritas urutan logika sebagaimana penentuan kelas PL, yaitu:.. Juknis Penafsiran Citra Satelit Resolusi Sedang untuk Update

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam

Untuk TMC meliputi pesawat Cassa 212 Total pesawat yang dipergunakan untuk operasi udara siaga darurat karhutla provinsi Sumatera Selatan tahun 2016 sebanyak 3 5

TFCA Sumatera menetapkan 13 kawasan konservasi sebagai lokasi prioritas, yaitu: (1) Bentang alam Kerumutan- Semenanjung Kampar-Senepis; (2) Kawasan Hutan Batang Toru dan Taman

(2) Penandaan batas fisik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan memasang tanda batas berupa tanda batas zona atau blok secara nyata dilapangan,

Pengumpulan data dan informasi pendukung dilakukan melalui studi pustaka, catatan dan dokumentasi. Data dan informasi pendukung tersebut, antara lain berupa basil inventarisasi