KB Lubis & T Agustin Nevus Spitz
NEVUS SPITZ
Karunia Burhanudin Lubis dan Triana Agustin Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
ABSTRAK
Nevus Spitz adalah tumor melanositik jinak yang pertama kali diperkenalkan oleh Sophie Spitz pada tahun 1948. Nevus Spitz sering ditemukan pada anak-anak dan jarang ditemukan pada dewasa. Nevus Spitz sukar dibedakan dengan melanomakarena gambaran klinis dan histopatologik dapat tumpang tindih. Gambaran klinis nevus Spitz adalah papul atau nodus berbentuk seperti kubah dengan diameter ≤ 6mm dan gambaran histopatologik berupa proliferasi melanosit yang berukuran besar, berbentuk epiteloid dan atau spindel, tersusun dalam sarang-sarang (fascicle). Sarang-sarang tersebut mempunyai ukuran dan bentuk relatif seragam. Walaupun demikian, dapat ditemukan gambaran histopatologik nevus Spitz atipik yang dianggap merupakan bentuk peralihan antara nevus Spitz dengan melanoma. Nevus Spitz atipik merupakan istilah histopatologik yang digunakan untuk lesi yang tidak dapat digolongkan baik ke dalam kriteria nevus Spitz maupun ke dalam kriteria melanoma. Adanya istilah histopatologik nevus Spitz atipik ini membantu menerangkan adanya pandangan mengenai nevus Spitz yang berubah menjadi melanoma. Penggolongan penilaian risiko keganasan pada nevus Spitz atipik berguna untuk menilai prognosis dan tatalaksana. Diperlukan pendapat ahli dermatopatologi untuk menilai risiko keganasan nevus Spitz. Selain itu perlu dipertimbangkan kesesuaian antara gambaran klinis dan histopatologi, apabila ditemukan gambaran atipik nevus Spitz atipik sebaiknya dilakukan eksisi. (MDVI 2011; 38/1:49-57)
Kata kunci: Dermatitis kontak, geriatri, iritan, alergen.
ABSTRACT
Nevus Spitz is benign melanocytic tumor that is firstly introduced by Sophie Spitz in 1948. Nevus Spitz is often found in children and rarely in adults. However, differentiating nevus Spitz from melanoma is sometimes difficult due to overlaps in both clinical and histopatological appearances. Clinical appearance of nevus Spitz is dome-shape papule or nodule with diameter ≤ 6 mm while its histopatological finding is proliferation melanocytes that have large size with epithelioid or spindle shape, arranged in cluster, forming nests or fascicles. Those nests have relatively uniform shape and size. However, there is atypical Spitz nevus which is considered histopathologically as intermediate form between Spitz nevus and melanoma. Atipical Spitz nevus is a histopathological term that is used for lesion that is cannot be categorized diferentely to Spitz nevus or melanoma. This term may replect some researchers opinion that Spitz nevus may evolve to melanoma. Categorization assesment risk of carcinoma to evaluate the risk of aggressiveness may give benefits to the management of nevus Spitz. Dermatpathological expertise is needed to assess risk of malignancy of nevus Spitz, making correlation between clinical and histopatological features a must. If histopathological findings of atypical Spitz nevus is found, excisional surgery should be considered (MDVI 2011; 38/1:49-57)
Key words: Contact dermatitis , elderly, irritans, allergens
MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 49-57
PENDAHULUAN
Nevus Spitz (NS) adalah tumor melanositik jinak yang pertama kali diperkenalkan oleh Sophie Spitz pada tahun 1948. Gambaran histopatologik NS menyerupai melanoma maligna, tetapi tidak bersifat ganas. Spitz menamai lesi ini melanoma juvenilis. Beberapa tahun kemudian, terbukti bahwa lesi yang dijabarkan oleh Spitz ini merupakan salah satu bentuk nevus jinak. Akan tetapi pada suatu kasus serial yang termasuk dalam laporan Spitz tersebut, terdapat satu lesi melanoma yang menyebabkan pasien tersebut meninggal. Sejak saat itu terdapat keraguan membedakan diagnosis NS dengan melanoma.1
Terdapat beberapa latar belakang penulisan tinjauan pustaka tentang NS. Pertama, NS dan melanoma kadang kala sukar dibedakan, terutama jika gambaran histopatologik memperlihatkan adanya sel atipik dan mitosis.2 Kedua, kesalahan dalam mendiagnosis
menyebabkan konsekuensi fatal, diagnosis yang tidak adekuat berpotensi menyebabkan kematian. Ketiga, terdapat istilah baru yang digunakan untuk NS dengan gambaran sel atipik dan mitosis, yaitu: melanocytic tumor of uncertain malignant potential (MELTUM) atau nevus Spitz atipik, metastizing Spitz tumor, malignant spitz nevus, borderline dan intermediate melanocytic tumor.
Istilah baru tersebut dianggap sebagai bentuk peralihan antara NS dengan melanoma.3 Tinjauan pustaka ini
membahas NS, NS atipik dan perbedaannya dengan melanoma berdasarkan gambaran klinis, histopatologik, prognosis, dan tatalaksana.
NEVUS SPITZs
Nevus Spitz adalah nevus melanositik jinak terdiri atas melanosit berbentuk spindel, oval atau epiteloid berukuran besar yang tersusun dalam fasikel.1 Nevus
Spitz dikenal dengan berbagai nama seperti nevus sel epiteloid dan spindel (spindle and epitheloid cell nevus), melanoma juvenilis, dan nevus sel spindel dan atau sel epiteloid yang berukuran besar (nevus of large spindle and/or epitheloid cells).1,4 Dikenal pula nevus sel spindel
yang berpigmen (pigmented spindel cell nevus), oleh sebagian ahli dipisahkan menjadi penyakit tersendiri.1
Tabel 1. Berbagai nama lain nevus Spitz
Spitz nevus synonyms
Juvenile melanoma
Spindled and epitheloid cell nevus Pigmented spindle cell nevus of Reed Nevus of large spindleoid or epitheloid cells
Synonyms for Spitz that are neutral
Spitz lesion Spitz tumor
Spitzoid lesion spitzoid tumor; spitzoid melanocytoma; Spitzoid neoplasm
Atypical or borderline Spitz synonyms
Atypical Spitz nevus
Melanocytic tumor of uncertain potential (MELTUMP); melanocytic lesion of uncertain malignant potential (MUMP); Spitz tumor of uncertain potential (STUMP) Borderline melanoma
*) Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.7
Epidemiologi
Nevus Spitz sering ditemukan pada anak-anak dan jarang ditemukan pada dewasa.2,4,5 Sekitar ½ -2/3 kasus
muncul pada 20 tahun pertama kehidupan.1,6 Nevus Spitz
dapat terjadi pada semua kelompok ras tetapi lebih sering pada orang kulit putih.1,4 Pada anak-anak di antara nevus
melanositik yang dieksisi dan dilakukan biopsi kulit, terdapat sekitar 1-8 % kasus diinterpretasi sebagai NS.7,8
insidens NS per tahun diperkirakan 1.4 kasus per 100.000 individu di Australia.8 Di Asia, khususnya Korea Selatan,
selama 10 tahun (1997-2006) hanya terdapat rerata 7 kasus NS per tahun.9
Etiopatogenesis
Nevus Spitz berasal dari sel progenitor yang sama dengan sel progenitor yang membentuk melanosit epi-dermal dan nevomelanosit.8 Nevomelanosit merupakan
melanosit yang berbeda dari melanosit epidermal yang tidak memiliki dendrit dan tersusun berkelompok me-nyerupai sarang.10 Laju pertumbuhan, periode berhenti
tumbuh dan menetap, serta laju regresi pada NS tidak diketahui. Lesi nevus biasanya menunjukan pertambahan ukuran ke arah luar seiring dengan waktu. Beberapa NS berkembang secara perlahan dan cepat.8
KB Lubis & T Agustin Nevus Spitz
Gambaran klinis
Gambaran klinis NS adalah papul atau nodus berbentuk menyerupai kubah dengan diameter ≤ 6 mm. Ukuran lesi yang lebih besar pernah dilaporkan (2 cm).11
Predileksi pada wajah dan kepala (anak-anak) dan ektremitas bawah (dewasa).6,11,12 Walaupun demikian, NS
dapat terjadi pada semua bagian tubuh.7 NS mempunyai
variasi warna, yaitu dari tidak berwarna (nonpigmented), merah jambu sampai dengan merah kecoklatan, dan bahkan hitam.12 Nevus Spitz muncul mendadak dan
tumbuh membesar secara cepat, kemudian menetap.11
Nevus Spitz biasanya asimtomatik, tetapi dapat terjadi perubahan warna, perdarahan, dan rasa gatal.1 Terdapat
beberapa gambaran klinis NS: Pertama, bentuk lunak berwarna merah jambu sampai coklat terang; Kedua, bentuk keras berwarna terang, tampak seperti dermatofibroma atau keloid dan terdapat halo serta telengektasi; Ketiga, bentuk yang gelap (pigmentasi) dan permukaan halus; Keempat, bentuk multiple, termasuk di dalamnya yang berkelompok, tersebar, diseminata, dan lesi eruptif.12
Gambaran dermoskopik
Berdasarkan gambaran dermoskopi terdapat 3 pola utama NS, yaitu: starburst, globular, dan atipikal (multi-komponen).7,13 Gambaran khas lesi NS pada
dermatos-kopi adalah berpola starburst.7,14,15 Pola starburst terjadi
pada 53% kasus, diikuti oleh pola globular (22%),13 dan
paling sedikit adalah pola atipikal (7.5%).14 Lesi starburst
ini akibat dari pemanjangan komponen nevus secara radial. Pada NS yang tidak berpigmen, pola dermoskopi yang khas adalah titik-titik pembuluh darah (dotted vessels) dan jala-jala depigmentasi (network depigmentation).7,16
Gambaran histopatologis
Baku emas untuk mendiagnosis NS masih meng-andalkan pemeriksaan histopatologik dengan mengguna-kan mikroskop cahaya.3 Nevus Spitz adalah proliferasi
melanosit yang berukuran besar dengan bentuk epiteloid dan atau spindel, tersusun dalam sarang nevus.4,71 Sarang
nevus tersebut mempunyai ukuran dan bentuk relatif seragam, serta berorientasi vertikal.1,7,17 Secara
histo-patologik NS mempunyai kriteria tersendiri berdasarkan susunan dan bentuk sel (lihat tabel 2). Letak sel NS biasanya compound, meskipun dapat ditemukan letak intradermal ataupun junctional.7 Pada nevus Spitz letak
compound biasanya simetris, berbatas tegas, dan sering
jukkan pematangan sarang melanosit dan melanosit, seiring dengan turunnya sarang melanosit dan melanosit tersebut ke dermis.1,7,12,17 Dengan seiring turunnya sel
ter-sebut ke dermis maka ukuran sarang-sarang melanosit dan ukuran sel melanosit semakin mengecil.1,7 Pada epidermis
dapat terlihat akantosis, hiperkeratosis, dan hipergranu-losis. Rete ridges memanjang akibat orientasi vertikal sarang-sarang nevus.7
Karakteristik sitologik yang penting pada NS adalah terdapatnya sel spindel berukuran besar atau sel epiteloid. Sitoplasma sel yang menyusun NS juga khas, yaitu jumlah sitoplasma banyak tetapi sedikit mengandung pigmen melanin , dan berwarna eosinofilik pucat berkilat (glossy pale eosinophilic).18 Rasio antara inti sel dan
sitoplasma rendah akibat ukuran inti sel yang besar dan jumlah sitoplasma yang banyak.19
Tabel 2. Daftar kriteria histopalogik nevus Spitz7
Histopahtological criteria
Architectural features
Symmetry
Sharp lateral demarcation
Regular pattern of epidermal hyperplasia Zonation with depth (e.g. maturation)
Side to side uniformity, that is, nests and fascicles of melanocytes with fairly uniform size and shape and regular spacing
Diminished cellular density with depth
Nests diminish in size and show transition to single cells with depth
Diminished cellular and nuclear sizes with depth Often wedge-shaped configuration in dermis
Orderly nondisruptive infiltration of collagen by melanocytes
Cytological features
Spindle and/or epithelioid cell type Overall monomorphous population of cells Low nuclear-to-cytoplasmic ratio
Opaque or ground-glass cytoplasms Nuclei with open delicate chromatin patterns Uniform nucleoli
Occasional striking pleomorphism in a minority of cells
Other helpful diagnostic features
Mitotic rate,2/mm2
Absent or rare, but not atypical, mitoses in deep parts Mononuclear and multinucleate giant cells
Irregular contours of growth at deep margin Dull pink (Kamino) bodies
MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 49-57
Gambaran mitosis pada NS dapat terlihat tetapi tidak banyak.7,12 Beberapa peneliti membuat batasan jumlah
mitosis yang terdapat pada lesi NS, yaitu 2 mitosis per mm2,10 Melanin biasanya tidak terdapat, jika ditemukan
melanin, maka melanin terdistribusi secara merata, dan tidak ditemukan pada dasar lesi. Sedangkan pada melanoma melanin tidak terdistribusi dengan merata, dapat juga ditemukan pada lesi terdalam melanoma, di dalam sarang melanositik, dan sitoplasma melanosit.1
Karakteristik NS adalah keberadaan struktur aselular berbentuk globular berwarna merah muda yang menyusun komponen basal membran. Struktur tersebut berjumlah banyak dan berukuran besar, terlebih jika berkonfluens pada epidermis di atas papila dermis dan dikenal dengan badan Kamino (Kamino bodies). Badan kamino ini dapat diwarnai dengan Periodic Acid Schiff (PAS) dan
trichrome.1,7
Diagnosis banding
Nevus Spitz sering secara klinis salah didiagnosis. NS berwarna merah sering didiagnosis sebagai granuloma piogenik, terlebih lagi jika tumbuh secara cepat, berulserasi, dan mudah berdarah. NS berwarna coklat muda menyerupai dermatofibroma. NS berwarna merah seperti daging sering salah diagnosis sebagai kista, veruka vulgaris, atau melanoma.7 Diagnosis banding yang utama
untuk nevus Spitz adalah melanoma.3
Tabel 3. Diagnosis diferensial nevus Spitz7
Differential diagnosis of Spitz nevus
Pyogenic granuloma (lobular capillary hemangioma) Hemangioma of infancy
Juvenile xanthogranuloma Cyst
Wart Melanoma
Basal cell carcinoma Melanocytic nevus Histiocytoma Metastatic carcinoma Pseudolymphoma Primary adnexal tumor Mastocytoma
Angioma
Membedakan NS dengan melanoma dilakukan dengan menggambungkan temuan klinis dan histopatologis. Pada NS biasanya simetris dan ketiadaan: 1) pleomorfisme yang signifikan, 2) mitosis dalam atau penyebaran secara pagetoid, dan 3) perluasan ke jaringan sekitar. Pada melanoma biasanya lesi besar, asimetris, batas tidak tegas, ukuran, bentuk, dan orientasi sarang-sarang melanoma bervariasi, serta tidak adanya badan Kamino. Pada
melanoma juga tidak terjadi maturasi lesi, terdapat mitosis yang sangat menonjol, dan terdapat pada lesi yang dalam.7 Kamino dkk. (2009) menerangkan perbedaan sel
spindel/sel epiteloid melanoma dengan NS, yakni pada melanoma, sel tersebut mempunyai inti besar, pleomorfik, dan hiperkromatik, serta anak inti lebih basofilik dan berukuran separuh dari ukuran inti sel. Melanosit pada melanoma memiliki beberapa anak inti di dalam inti sel, serta berbentuk tidak beraturan.20 Crotty dkk. (2002)
menerangkan bahwa sel melanoma mempunyai karakteristik, yaitu inti hiperkromatik, aktivitas mitosis tinggi, sangat pleomorfik, pigmentasi sedang sampai berat, penyebaran ke epidermis (pagetoid spread), berulserasi, nekrosis, anak inti berukuran besar, dan mitotik atipik. Sedangkan karakteristik yang mendukung NS adalah batas tepi tegas, badan kamino, dan terdapat celah yang memisahkan epidermis dengan sarang nevus.2
Walsh dkk. (1998) melaporkan karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan nevus Spitz dengan melanoma, yaitu badan Kamino, simetris, keseragaman sarang-sarang nevus, brisk mitotic rate, mitosis yang abnormal, mitosis pada dasar lesi. Tiga karakteristik pertama lebih sering ditemukan pada NS, sedangkan karakteristik lain, lebih sering ditemukan pada melanoma.21
Secara klinis, usia dapat dijadikan pertimbangan ke arah nevus atau keganasan. Kebayakan pasien dengan nevus Spitz mempunyai usia 10-20 tahun. Usia di atas 20 tahun, kemungkinan cenderung ke arah keganasan. Faktor lainnya adalah riwayat keluarga dengan melanoma, dan terdapat perubahan lesi (ukuran dan pigmentasi) pada riwayat lesi tumor yang dulunya stabil harus dipikirkan kemungkinan keganasan.17
Nevus Spitz atipik
Istilah nevus Spitz atipik pertama kali digunakan pada tahun 1975 oleh Reed dkk.* Nevus Spitz atipik merupakan istilah histopatologik yang digunakan untuk lesi yang tidak dapat digolongkan baik kedalam kriteria NS maupun ke dalam kriteria melanoma. Walaupun demikian para ahli dermatopatologis mencoba mendefinisikan kriteria gambaran histopatologik nevus Spitz atipik yang dijabarkan oleh Barnhill dkk (2006).17 Istilah lain untuk
menggambarkan nevus Spitz atipik adalah Spitz tumor undetermined malignant potential (STUMP). Terdapat dua tujuan mengapa istilah ini dikemukakan, yaitu pertama, menandai pentingnya daerah abu-abu ini, karena ketidaknyamanan patologis untuk menyatakan bahwa nevus Spitz atipik suatu tumor jinak. Kedua, menjadi latar belakang masalah penelitian di masa datang guna mencari perjalanan alamiah lesi tersebut.11
KB Lubis & T Agustin Nevus Spitz
Kriteria gambaran histopatologik nevus Spitz atipikal berdasarkan Barnhill dkk (2006)17, yaitu:
1. Diameter 10 mm dianggap abnormal 2. Kedalaman (mm) keterlibatan lemak sub kutan
dianggap abnormal 3. Berulserasi 4. Batas tidak jelas 5. Penyebaran pagetoid
6. Melanosit yang berkonfluens terlihat dominan 7. Asimetris
8. Sedikit atau tidak ada badan Kamino 9. Kepadatan selular yang padat
10. Rendahnya homogenisitas sel dan maturasi Kriteria proliferasi berdasarkan Barnhill dkk. (2006), yaitu:
1. Laju mitosis yang pesat 2-6/mm2
2. Mitosis pada lesi dalam marginal
3. Petanda indeks proliferasi ekspresi Ki-67 berkisar antara 2-10%
Kriteria sitologik berdasarkan Barnhill dkk. (2006), yaitu:
1. Granular vs ground glass cytoplasm
2. Perbandingan antara inti sel dan sitoplasma tinggi 3. Pola kromatin yang hilang atau rapuh atau tersebar 4. Dinding membran inti menebal
5. Hiperkromatin 6. Ukuran anak inti besar
Banyak penelitian menunjukan besarnya variabilitas antar peneliti pada aplikasi dan interpretasi kriteria histologik penilaian lesi spitzoid, bahkan di antara para dermato-patologis.22,23 Hal ini dikemukakan oleh Lee (2006)
bahwa ketidaksesuaian penilaian dalam mendiagnosis antara melanoma dan NS adalah karena penggunaan tabel kriteria dengan parameter karakteristik yang panjang dan penilaian dilakukan secara subyektif.3 Melanoma menjadi
diagnosis banding utama pada NS. Mengingat konsekuensi melanoma yang berakibat fatal, maka menegakkan diagnosis pasti dan menyingkirkan kemungkinan melanoma menjadi penting. Sedangkan dengan pendekatan klinis dan gambaran histopatologik, terkadang sukar membedakan antara NS, NS atipik, dan melanoma. Hal tersebut disebabkan oleh adanya tumpang tindih gambaran histopatologik antara nevus Spitz dengan melanoma. Ini terbukti dari sebuah penelitian retrospektif pada 30 lesi melanositik. Lesi-lesi tersebut kemudian
sebagai nevus Spitz, nevus Spitz atipik, melanoma tumor dengan perilaku biologis yang tidak diketahui, atau lesi melanositik lainnya. Para dermatopatologi tersebut tidak mengetahui tentang penyakit sesungguhnya. Didapatkan diagnosis yang tidak pasti pada 17 lesi spitzoid. Pada beberapa lesi tersebut yang ternyata letal, didiagnosis sebagai nevus Spitz atau nevus Spitz atipik oleh kebanyakan dermatopatologis.23
Karakteristik histopatologik yang mendukung melanoma maligna adalah mitosis dalam dan marginal (mitosis yang berada sekitar 0.025 mm dari batas melanoma di dermis), mitosis atipikal, asimetri, pleomorfisme, pe-nyebaran sel tumor ke arah epidermis yang lebih banyak, tidak terdapat maturitas pada dasar lesi, hiperkromatin inti sel, dan kerusakan kolagen akibat proses destruksi.2,12
Bagaimanapun, terkadang tetap sukar mendiagnosis lesi melanositik dengan karakteristik spitzoid. Terdapat reko-mendasi penggolongan penilaian risiko keganasan pada nevus Spitz atipik untuk menilai resiko keganasan sehingga membantu penatalaksanaan. Kategori nevus Spitz atipik risiko rendah adalah ukuran yang kecil (0.3-1.0 cm), tidak adanya ulserasi, simetris, lesi berada hanya di-permukaan, selularitas ringan, sel atipik minimal, sedikit atau tidak ada mitosis, mitosis berada hanya di permukaan saja, mitosis tipikal, dan maturasi. Kategori nevus Spitz risiko tinggi adalah adanya ulserasi, ukuran yang besar (>1cm), asimetris, perluasan kedalam hingga sub kutis, hiperselularitas, tidak adanya maturasi, sel atipik yang dominan, laju mitotik yang menonjol, mitosis sampai lesi terdalam, dan terdapat mitosis atipik. Usia harus dimasukan kedalam perhitungan karena kemungkinan nevus Spitz atipikal menjadi keganasan meningkat seiring usia.2
Imunohistokimia dapat membantu membedakan keduanya. Pewarnaan HMB-45 dapat berguna untuk membantu membedakan nevus Spitz dengan melanoma. Walaupun dapat memberikan hasil negatif pada keduanya, tetapi HMB-45 lebih sering menunjukan hasil positif pada melanoma, terlebih pada struktur yang lebih dalam.24,25 Imunoreaktifitas Ki-67 dapat membantu
me-nilai laju proliferasi sel pada nevus Spitz dan melanoma. Penanda Ki-67 adalah petunjuk siklus sel yang berproli-ferasi yang berhubungan dengan antigen inti sel. Secara umum, nevus Spitz mempunyai persentase kepositifan rendah terhadap Ki-67 sebesar (0-2%) pada dermis, sedangkan pada melanoma, persentase kepositifan terhadap Ki-67 sebesar >10%.2,25 Secara garis besar
MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 49-57
Tabel 4. Perbedan nevus Spitz, nevus Spitz atipikal, dan melanoma13
Feature Spitz nevus Atypical Spitz tumour Spitzoid melanoma
Clinical
Age Any age (2/3,20 years) No difference No difference
Location Colour
Any location (extremities and trunk; preferred: H&N in children) Red-brown: Occasionally pigmented
No difference No difference
No difference No difference Sillouette
a. Size Small (most<6mm) Variable Large (>10mm)
b. Symmetry c. Circumscription Evolution/clinical course Architectural Epidermis Sillouette a. Size b. Symmetry c. Circumscription Epidermal hyperplasia Artifactual clefting Kamino bodies Pagetoid spread Dermis/subcutis Cellular density Pattern of growth Architectural maturation Deep front of lesion Involvement of subcutis Stromal/inflammatory response Cytological Nuclear size Nuclear shape Cytoplasm N/C ratio Multinucleation Hyperchromasia Nucleoli Nuclear membrane Chromatin pattern Cytological maturation Other Mitotic activity Perineural or angiolymphatic invasion Sentinel lymph node Necrosis Immunohistochemistry HMD-45 MB-1 Cytogenetics Present Present Stable Small
Present (must evaluate fully excised lesion) Present (must evaluate fully excised lesion) Present
Present
May be present (50% of cases-multiple levels increase detection)
Often present
Variable (low-moderate)
Organized,nested, interstitial growth Present
Infiltrative with outlier cells Rare (may be minimal) Variable (usually mild)
Moderate-large Normal-angulated
Abundant eosinophilic ‘Ground-glass’ Low
Present Low moderate
Present (small-moderate sized) Normal
Dispersed Present
Absent-moderate (up to 6/ 10 hpl); confined to junction or superficial dermis
Absent Negative Absent
Variable (typically stratified) Low proliferative index (<10%) Normal or isolated gain of 11p
Variable Variabel
May metastasise to regional LNs; natural history uncertain
Variable Variable Variable No difference No difference No difference Variable Moderate-dense Variable No difference Variable Variable Variable No difference No difference No difference No difference No difference Variable Variable Variable Variable Variable Variable Absent May be positive Absent Variable Variable (<15%)
Intermediate often complex aberrations
Asymmetrical Poor
Variable malignant course; regional LN mets but favorable outcome to widely metastatic disease and death
Large Assymmetrical Poor May be atrophic/ulcerated Variable No difference
Prominent: present at edge of lesion of upper half of epidermis Dense (confluent growth) Confluent, destructive Absent
Expansile or infiltrative May be pronounced
Inflammation or regression may be noted Large Pleomorphic Variable Variable No difference High Present (large) Irregular Coarse Absent
High (often >6/10 hpl); abnormal or deep forms
May be present May be positive May be present Variable (often diffuse) High (>15%) Complex chromosomal aberrations
KB Lubis & T Agustin Nevus Spitz
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan NS kontroversial.1 Banyak pakar
menyarankan tindakan bedah karena perilaku biologik NS tidak pasti, dan kadang-kadang dilaporkan terdapat kemungkinan menjadi agresif. Pakar lainya menyarankan untuk menunggu dan observasi. Bila terlihat tanda atipik atau secara psikososial sangat mengganggu dilakukan bedah eksisi.26 Batas bedah eksisi pada nevus Spitz atipik
dapat mencapai 1 cm untuk memastikan semua lesi nevus terangkat.17 Murphy dkk. (2002) mengusulkan algoritma
penanganan NS (gambar 1).27 Biopsi kelenjar limfe
regional merupakan petanda prognosis penting pada melanoma dan teknik ini telah digunakan sebagai upaya untuk menilai perilaku biologik nevus Spitz atipik. Masih
terdapat perbedaan pendapat mengenai pentingnya penyebaran sel tumor ke kelenjar limfe regional sebagai petanda metastasis. Beberapa peneliti percaya bahwa lesi spitzoid dapat bermetastasis ke kelenjar limfe regional, tetapi tidak dapat bermetastasis lebih jauh.7 Kelenjar limfe
regional pada pasien dengan nevus Spitz atipik yang ditindak lanjuti selama 15 tahun, tetap tidak menunjukan kecenderungan keganasan melanoma. Keadaan yang membuat keterlibatan kelenjar limfe regional adalah ukuran tumor >1 cm, berulserasi, keterlibatan lemak sub-kutan, tingginya laju mitosis. Biopsi kelenjar limfe regional disarankan untuk lesi dengan kedalaman >1 mm. Pasien dengan nevus Spitz atipik disarankan untuk diperiksa secara teratur untuk mengantisipasi adanya kekambuhan.17
MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 49-57
Prognosis
Nevus Spitz dengan gambaran histopatologik yang tipikal mempunyai prognosis baik. Meskipun karakteristik tumor jinak tercermin dalam gambaran histopatologik, kondisi lain pada pasien perlu dipikirkan, termasuk perubahan yang terjadi pada lesi, rasa nyeri, perdarahan, rasa gatal, lokasi lesi, usia, riwayat keluarga, dan warna kulit.
Terdapat 2 pendapat mengenai prognosis NS atipik, yaitu: Pertama, lesi nevus Spitz atipik ini merupakan perkembangan dari lesi jinak menjadi ganas dan; kedua, nevus Spitz atipik ini merupakan suatu penyakit tersendiri yang berbeda dari melanoma dan tidak mampu bermetastasis. Jika nevus Spitz atipik ini dianggap sebagai bentuk perkembangan dari NS tipikal, maka sangat mungkin dilakukan penggolongan resiko keganasan (dibahas dalam perbedaan antara NS atipik dan melanoma). Sistem penggolongan tersebut masih perlu divalidasi pada penelitian dengan jumlah subyek penelitian yang banyak sehingga dapat lebih tepat mendiagnosis dan menilai prognosis.7
Sebuah kajian tentang NS di tingkat sel menerang-kan bahwa terdapat transformasi sebagian pada sel nevus Spitz yang mengarah ke keganasan, tetapi tidak se-penuhnya keganasan tersebut terjadi. Hal ini disebabkan karena pada NS terjadi hiperproliferasi yang diinduksi oleh H-RAS, sehingga menyebabkan sel tersebut menjadi tidak aktif. Sel yang tidak aktif membelah ini mencegah terjadinya akumulasi kerusakan DNA yang dapat men-cetuskan keganasan. Walaupun demikian, hal ini baru terbatas pada nevus Spitz yang teraktivasi oleh gen H-RAS.28 Gen RAS (N-RAS, K-RAS, H-RAS) berperan
sebagai sinyal transduser pada jaras mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang meregulasi proses fisiologis seperti pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan apoptosis; serta berperan dalam keganasan melanositik.29
PENUTUP
Membedakan NS dengan melanoma kadang sukar dilakukan karena dapat terjadi tumpang tindih baik secara klinis maupun histopatologik. Saat ini dengan ditemukannya istilah histopatologik NS atipik dapat membantu menerangkan adanya pandangan mengenai mengapa NS “berubah” menjadi melanoma. Nevus Spitz yang disebut atipik tersebut dapat dipandang sebagai bentuk peralihan NS menjadi melanoma. Pandangan lain menduga nevus Spitz atipik adalah suatu entitas penyakit tersendiri. Diperlukan pula pendapat ahli dermatopatologi untuk menilai resiko keganasan NS. Sikap terbaik dalam tatalaksana NS saat ini adalah menghubungkan aspek klinis dengan gambaran histopatologik. Jika ditemukan gambaran atipik NS, eksisi sebaiknya dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miteva M, Lazova R. Spitz nevus and atypical spitzoid neoplasm.
Semin Cutan Med Surg. 2010 ;29(3):165-73.
2. Crotty KA, Scolyer RA, Li L, Palmer AA, Wang L, McCarthy
SW. Spitz naevus versus spitzoid melanoma: when and how can they be distinguished? Pathology. 2002;34(1):6-12.
3. Lee JB. Spitz nevus versus melanoma: limitation of the diagnostik
methodology exposed. Eur J Dermatol. 2006;16(3):223-4.
4. Sulit DJ, Guardiano RA, Krivda S. Classic and atypical Spitz nevi:
review of the literature. Cutis. 2007;79(2):141-6.
5. Hurwitz S. Cutaneous tumors and tumor syndromes. Dalam: Paller
AS, Mancini AJ, penyunting. Hurwitz clinical pediatric dermatology. 3rd ed. China: Elsevier. 2006. h. 214-5.
6. Berlingeri-Ramos AC, Morales-Burgos A, Sanchez JL, Nogales
EM. Spitz nevus in a hispanic population: a clinicopathological study of 130 cases. Am J Dermatopathol. 2010;32:267-75.
7. Lyon VB. The spitz nevus: review and update. Clin Plast Surg.
2010 ;37(1):21-33.
8. Grichnik JM, Rhodes AR, Sober AJ. Melanocytic tumors. Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGrawhill. 2008. h.1112-6.
9. Kim YC, Do JE, D.Bang, Cho BK, Cho KH, Choi JC, dkk. Spitz
nevus is rare in korea. Clin Exp Dermatol. 2009;35:135-9.
10. Elder DE, Elenitsas R, Johnson B, Jr, Murphy GF, Xu X. Lever's
Histopathology of the skin. 10th ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins (LWW); 2008.h.710-725.
11. Sade S, Al Habeeb A, Ghazarian D. Spindle cell melanocytic
lesions--part I: an approach to compound naevoidal pattern lesions with spindle cell morphology and Spitzoid pattern lesions. J Clin Pathol. 2010;63(4):296-321.
12. Situm M, Bolanca Z, Buljan M, Tomas D, Ivancic M. Nevus
Spitz--everlasting diagnostic difficulties--the review. Coll Antropol. 2008;32 Suppl 2:171-6.
13. Pinheiro AM, Pereira GA, Amorin AG, Varella TC, Friedman H.
Spitz nevus: a case report and the use of dermoscopy. An Bras Dermatol. 2010;85(4):555-7.
14. Pellacani G, Longo C, Ferrara G, Cesinaro AM, Bassoli S, Guitera
P, dkk. Spitz nevi: In vivo confocal microscopic features, dermatoscopic aspects, histopathologic correlates, and diagnostic significance. J Am Acad Dermatol. 2009;60(2):236-47.
15. Nino M, Brunetti B, Delfino S, Panariello L, Russo D. Spitz nevus:
follow-up study of 8 cases of childhood starburst type and proposal for management. Dermatology. 2009;218(1):48-51.
16. Zalaudek I, Manzo M, Savarese I, Docimo G, Ferrara G,
Argenziano G. The morphologic universe of melanocytic nevi. Semin Cutan Med Surg. 2009;28(3):149-56.
17. Barnhill RL. The spitzoid lesion: rethinking Spitz tumors, atypical
variants, 'Spitzoid melanoma' and risk assessment. Mod Pathol. 2006;19 Suppl 2:S21-33.
18. Sade S, Al Habeeb A, Ghazarian D. Spindle cell melanocytic
lesions: part II--an approach to intradermal proliferations and horizontally oriented lesions. J Clin Pathol;63(5):391-409.
19. Mooi WJ, Krausz T. Pathology of melanocytic disorders. 2nd ed.
New York: Oxford University Press Inc. 2007.
20. Kamino H. Spitzoid melanoma. Clin Dermatol. 2009;27(6):545-55.
21. Walsh N, Crotty K, Palmer A, McCarthy S. Spitz nevus versus
spitzoid malignant melanoma: an evaluation of the current distinguishing histopathologic criteria. Hum Pathol. 1998;29(10):1105-12.
22. Crotty KA, McCarthy SW, Palmer AA, Ng ABP, Thompson JF,
Gianoutsos MP. Malignant melanoma in childhood: a clinicopathologic study of 13 cases and comparison with Spitz nevi. World J Surg. 1992;16:179-85.
23. Barnhill RL. Atypical spitz nevi/tumors: lack of consensus for
diagnosis, discrimination from melanoma, and prediction of outcome. Hum Pathol. 1999;30:513-20.
KB Lubis & T Agustin Nevus Spitz
24. Fleming MG. Pigmented lesion pathology: what you should expect
from your pathologist, and what your pathologist should expect from you. Clin Plast Surg;37(1):1-20.
25. Paradela S, Fonseca E, Pita S, Kantrow SM, Goncharuk VN,
Diwan H, dkkl. Spitzoid melanoma in children: clinicopathological study and application of immunohistochemistry as an adjunct diagnostic tool. J Cutan Pathol. 2009;36:740-52.
26. Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz clinical pediatric dermatology.
Edisi ke-4. China: Elsevier Saunders; 2006.h.214-5.
27. Murphy ME, Boyer JD, Stashower ME, Zitelli JA. The surgical
management of Spitz nevi. Dermatol Surg. 2002;28(11):1065-9.
28. Forno PDD, Fletcher A, Pringle JH, Saldanha GS. Understanding
spitzoid tumours: new insights from molecular pathology. British J Dermatol. 2007;158:4-14.
29. Gill M, Cohen J, Renwick N, Mones JM, Silvers DN, Celebi JT.
Genetic similarities between Spitz nevus and spitzoid melanoma in children. Cancer. 2004;101(11):2636-40.