• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kurikulum PKN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Kurikulum PKN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH AKADEMIK

KAJIAN KEBIJAKAN KURIKULUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PUSAT KURIKULUM

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

(2)

ABSTRAK

Program pendidikan nasional diharapkan dapat menjawab tantangan harapan dan tantangan yang akan dihadapi oleh anak bangsa baik pasa masa kini maupun masa yang akan datang. Kajian kebijakan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) bertujuan untuk memberikan masukan kepada BSNP terkait dengan penyempurnaan dokumen standar isi dan pelaksanaannnya serta pengembangan kurikulum PKn di masa depan. Ruang lingkup kajian ini adalah standar kompetensi dan kompetensi mata pelajaran PKn. Naskah akademik ini tersusun berdasarkan hasil sintesis dari rangkaian kegiatan yang meliputi penyusunan desain untuk menetapkan fokus kajian, kajian dokumen Standar Isi, kajian pelaksanaan standar isi, diskusi hasil kajian dokumen standar isi, diskusi hasil kajian pelaksanaan stadar isi, studi dokumentasi standar isi, analisis data hasil kajian, penyusunan hasil kajian, presentasi hasil kajian, dan penyusunan laporan. Peserta kegiatan ini terdiri atas unsur perguruan tinggi (UNJ dan UNP), praktisi pendidikan (guru-guru berpengalaman), dan Pusat Kurikulum. Kajian ini dilakukan melalui seminar, diskusi fokus, kajian dokumen., dan rapat kerja/workshop.

Hasil kajian ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu: Berkaitan dengan beban belajar, maka komposisi jumlah SK dan KD untuk tiap semester baik untuk SD, SMP maupun SMA dinilai cukup memadai. Aspek sikap dan perilaku yang menjadi ”stressing” PKn proporsinya hanya 12 % KD, 20,17% aspek perilaku, dan aspek pengetahuan 69,43 %. Overlapping (tumpang tindih) ditemukan pada KD 4.2 Kelas I dengan KD 2.4 Kelas III. Untuk SMP kelas VII ditemukan SK 3 dan 4 Kelas VII, sehingga disarankan untuk digabung. Untuk SMA misalnya KD 2.3 Kelas XI dengan KD 2.2 Kelas XII dan KD 3.3 Kelas X dengan KD 5.2 Kelas XI. Ada cakupan KD yang lebih luas dari SK. Adanya anggapan ketidakruntutan pendekatan berpikir pada KD jenjang SD, yaitu KD 3.1, 3.2, dan 3.3 Kelas III; dan KD 4.3 yang terhalang oleh KD 4.2 pada Kelas IV. Selain itu, Ditemukan adanya istilah yang tidak benar secara konsep keilmuan, yaitu penggunaan istilah bentuk-bentuk kenegaraan pada KD 1.2 Kelas X SMA. Dalam konteks ilmu negara tidak ada istilah bentuk-bentuk kenegaraan, yang ada ialah bentuk-bentuk negara yang sering dibahas secara bersama dengan bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan. Ada rumusan KD yang dianggap terlalu berat untuk ukuran siswa,

Hasil kajian kebijakan kurikulum PKn berupa rekomendasi, yaitu untuk jangka pendek antara lain: Perlu penghalusan rumusan KD sehingga tidak dikesankan tumpang tindah dan memberi batas-batas yang jelas antar KD. Perlu penyesuaian urutan KD dalam beberapa SK dengan memperhatikan logika penyajian deduktif atau induktif. Perlu penyesuaian penggunaan kata kerja operasional (kko) dalam beberapa KD sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Perlu dilakukan kegiatan penyerasian antar KD antarmatapelajaran. Perlu Panduan Khusus yang menuntun guru SD kelas 1 – 3 dalam menyusun dan melaksanakan program secara praktis. Perlu segera menerbitkan buku teks pelajaran atau buku sumber/pendukung yang sesuai dengan SI PKn. Untuk jangka panjang antara lain: Perlu kajian yang lebih mendalam dan komprehensif untuk memantapkan cakupan kompetensi dan konten PKn agar sesuai dengan misi utama PKn dan SKL mata pelajaran PKn. Untuk kelas 1 – 3 SD yang menggunakan pendekatan tematik, perlu penyesuaian dan pengkajian Standar Isi secara bersama pada seluruh mata pelajaran yang disajikan di kelas 1 hingga kelas 3. Sehingga tidak terjadi kesulitan bagi bagi guru untuk mengembangkan silabus dan RPP tematik bagi kelas 1 hingga kelas 3. Bila perlu bahkan untuk kelas 1 – 3 SD perlu disusun Kurikulum Integratif atau Kurikulum Terpadu.

(3)

KATA PENGANTAR

Pemberlakuann UU Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menuntut cara pandang yang berbeda tentang pengembangan dan pelaksanaan kurikulum.

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar nasional pendidikan, standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pmbiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dari kedelapan standar isi tersebut, standar isi dan standar kompetensi lulusan merupakan acuan utama dalam pengembangan KTSP. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan .

Pengembangan kurikulum telah dilakukan oleh sebagian satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dengan mengacu pada standar isi. Pengembangan kurikulum tersebut perlu ditelaah untuk mendapatkan informasi tentang permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pelaksanaan standar isi tersebut.

Hasil pengkajian antara lain berupa naskah akademik : 1. Kajian Kebijakan Kurikulum SD

2. Kajian Kebijakan Kurikulum SMP 3. Kajian Kebijakan Kurikulum SMA 4. Kajian Kebijakan Kurikulum SMK 5. Kajian Kebijakan Kesetaraan Dikdas

6. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Agama

7. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Kewarganegaraan 8. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa

9. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika 10. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA 11. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPS

12. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Keterampilan 13. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Kesenian 14. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran TIK 15. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pendidikan Jasmani

Salah satu hasil kajian di atas adalah Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Pendidikan

Kewarganegaraan. Naskah akademik ini memberikan gambaran tentang kajian pelaksanaan

standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran PKn dan permasalahannya yang digunakan sebagai masukan bagi para pengambil kebijakan.

Pusat Kurikulum menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yaitu Perguruan Tinggi, Direktorat di lingkungan Depdiknas, Dinas Pendidikan, dan praktisi pendidikan yang telah membantu Pusat Kurikulum dalam menghasilkan naskah akademik ini.

Kepala Pusat Kurikulum

Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas,

Diah Harianti

(4)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI Abstrak Kata Pengantar Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang B. Landasan Yuridis C. Tujuan

D. Ruang Lingkup Kajian E. Metode dan tahapan kajian

Bab II Kajian Teoretis

Bab III Temuan Kajian dan Pembahasan A. Deskripsi Responden

B. Deskripsi Hasil Kajian Dokumen Standar isi PKn C. Kajian Pelaksanaan

D. Ringkasan Temuan Kajian Dokumen dan Lapangan E. Pembahasan Temuan Kajian Dokumen dan Lapangan

Bab IV Kesimpulan dan Rekomensasi A. Kesimpulan

B. Rekomendasi Jangka Pendek C. Rekomendasi Jangka Panjang

Daftar Pustaka

(5)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada Tahun 2005 telah dikeluarkan Permendiknas No. 22 Tentang Standar Isi dan No. 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Selain itu dikeluarkan pula Permendiknas No. 24 yang mengatur tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka mulai diterapkanlah Stándar Isi dan Stándar Kompetensi Lulusan pada beberapa sekolah di seluruh Indonesia, khususnya pada sekolah-sekolah yang telah memiliki kesiapan untuk melaksanakannya.

Setelah diterapkan selama lebih kurang satu tahun, maka perlu dilakukan pemantauan atau bahkan pengkajian terhadap dokumen dan pelaksanaan Stándar Isi. Dalam kerangka itu Permendiknas No. 24 telah menegaskan paranan Balitbang, khususnya Pusat Kurikulum dalam kegiatan pengkajian dalam rangka pengembangan model-model kurikulum. Dalam Permendiknas tersebut ditegaskan bahwa salah satu Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Pusat Kurikulum adalah melaksanakan pengkajian Standar Isi dalam pengembangan kurikulum untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta kejuruan. Salah satu yang menjadi bagian dari kajian tersebut adalah melakukan kajian kurikulum dari berbagai mata pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pengembangan model-model kurikulum yang menjadi tanggung jawab Pusat Kurikulum.

Untuk melaksanakan kegiatan tersebut perlu dilakukan serangkaian kegiatan analisis dan kajian kurikulum, khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

B. Landasan Yuridis

Kegiatan kajian ini dilaksanakan berdasarkan landasan yuridis sebagai berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1).

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. 5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006

Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.

6. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Tahun 2005-2009.

C. Tujuan

Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap dokumen dan pelaksanaan Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk

(6)

pengembangan kurikulum mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan secara terus-menerus dan berkesinambungan.

Secara khusus tujuan kegiatan kajian ini adalah untuk:

1. mengkaji kebenaran dan relevansi konsep dalam Standar Isi dengan tujuan dan landasan filosofis, yuridis, sosio-cultural, sosio-pedagogis, dan perkembangan keilmuan terkini.

2. mengkaji keluasan dan kedalaman cakupan materi dalam Standar Isi sesuai level perkembangan peserta didik dan jumlah jam pelajaran yang tersedia.

3. mengkaji sekuensa atau keruntutan antarkonsep yang terdapat pada Standar Isi. 4. mengkaji keterlaksanaan Standar Isi dalam praktik pembelajaran, baik oleh guru

(khususnya dalam mengembangkan silabus dan RPP) maupun oleh siswa dalam proses pembelajaran.

5. memberikan masukan kepada BSNP dalam rangka perbaikan implementasi dan penyempurnaan Standar Isi.

D. Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup kegiatan kajian ini terdiri dari: 1. Lingkup Jenis dan Jenjang Pendidikan:

a. Pendidikan Dasar terdiri atas :Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.

b. Pendidikan Menengah terdiri atas: Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan.

2. Lingkup Mata Pelajaran: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Kewarganegaran.

E. Metode dan Tahapan Kajian

Metode yang digunakan dalam kegiatan kajian ini adalah:

(1) Seminar, yang dimaksudkan untuk mengetahui kurikulum dan model kurikulum masa depan, khususnya tentang Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan.

(2) Studi dokumen, yaitu untuk mengkaji dokumen Standar Isi, khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

(3) Studi lapangan, yaitu meminta para guru PKn untuk memberikan analisis dan tanggapan terhadap keterlaksanaan Standar Isi dalam pembelajaran di sekolah. (4) FGD (Focus Group of Discussion), dengan melibatkan para pakar dan

stakeholders terkait dengan Pendidikan Kewarganegaraan untuk menetapkan fokus kajian, menganalisis hasil-hasil seminar dan temuan kajian dan merumuskan hasil akhir kajian.

Kegiatan kajian ini dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: (1) Penyusunan desain untuk menetapkan fokus kajian,

(2) Melakukan kajian dokumen Standar Isi, (3) Kajian pelaksanaan standar isi,

(4) Diskusi hasil kajian dokumen standar isi, (5) Diskusi hasil kajian pelaksanaan stadar isi, (6) Studi dokumentasi standar isi,

(7) Analisis data hasil kajian, (8) Penyusunan hasil kajian, (9) Presentasi hasil kajian, dan (10) Penyusunan laporan.

(7)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Watak dan Peradaban bangsa Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan pendidikan yang mengarah pada terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar negara Pancasila. Atau dengan perkataan lain merupakan pendidikan Pancasila dalam praktek. Secara konseptual-epistemologis, pendidikan Pancasila dapat dilihat sebagai suatu integrated knowledge system (Hartonian: 1996, Winataputra:2001) yang memiliki misi menumbuhkan potensi peserta didik agar memiliki "civic intelligence" dan "civic participation" serta "civic responsibility" sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak dan peradaban bangsa Indonesia yang ber-Pancasila (Winataputra, 2001, 2006).

Apakah makna pendidikan Pancasila dalam pembangunan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat? Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidikan Pancasila perlu dilihat dalam tiga tataran, yakni: pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler (mata pelajaran atau mata kuliah), sebagai proses pendidikan (praksis pembelajaran), dan sebagai upaya sistemik membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan (proses nation’s character building).

1. Pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler

Kemasan kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami pasang surut (Winataputra:2001). Dalam kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962, Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tahun 1994, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan tahun 1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Di negara lain kemasan kurikuler serupa itu dikenal sebagai civic education dalam konteks wacana pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis menurut konstitusi negaranya masing-masing. Sebagaimana berkembang di berbagai belahan dunia, tercatat adanya berbagai nomenklatuur untuk itu, yakni: “Citizenship education” (UK), termasuk di dalamnya “civic education” (USA) atau disebut juga pendidikan kewarganegaraan (Indonesia), atau “ta’limatul muwwatanah/at tarbiyatul al watoniyah (Timur Tengah) atau “educacion civicas” (Mexico), atau “Sachunterricht” (Jerman) atau “civics” (Australia) atau “social studies” (New Zealand) atau “Life Orientation (Afrika Selatan) atau “People and society” (Hungary), atau “Civics and moral education” (Singapore) (Kerr: 1999; Winataputra:2001). Semua itu merupakan wahana pendidikan karakter ( character education) yang bersifat multidimensional (Cogan and Derricott: 1998) yang dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.

Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yakni pada pasal 37 menggariskan program kurikuler pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dikenal dua muatan wajib yakni

(8)

pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah dua muatan wajib ini dirumuskan menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), sedang di Perguruan Tinggi dirumuskan menjadi dua mata kuliah, yakni Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan. Pada tahun 1985 mata kuliah Pendidikan Kewiraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan ini ternyata menimbulkan kesan di kalangan komunitas dosen pengasuh kedua mata kuliah itu bahwa Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan dua kemasan kurikuler yang berbeda. Pendidikan Pancasila dianggap sebagai kemasan kurikuler untuk pendidikan nilai-nilai Pancasila, sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kemasan kurikuler pendidikan kewiraan dan pendidikan pendahuluan bela negara. Adanya dua persepsi ini ternyata masih terbawa sampai saat ini, ketika memahami konsepsi muatan pendidikan kewarganegaraan menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dualisme ini masih menyisakan kontroversi tentang perlu tidaknya di perguruan tinggi ada dua mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan yang sama-sama merupakan wahana kurikuler pendidikan nilai-nilai Pancasila, yang secara filosofik dan substantif-pedagogis merupakan pendidikan kewarganegaraan ala Indonesia.

Sesungguhnya, bila kita kembali pada konsepsi bahwa setiap negara memerlukan wahana edukatif untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya dan menjamin kelanggengan kehidupan negaranya, maka dualisme persepsi antara Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan tidak perlu terjadi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya untuk Indonesia, pendidikan kewarganegaraan itu adalah pendidikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu dengan cara berfikir konsistensi dan keherensi, pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia adalah pendidikan Pancasila, atau Menurut Heri Ahmadi yang bersama dengan Noor Syam dan penulis menjadi pembicara dalam Seminar Pendidikan dan Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila pada tanggal 8 Juni 2006 di Jakarta, kemudian disepakati sebagai kesimpulan Seminar tersebut, ditegaskan bahwa core dari pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia adalah Pancasila. Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia secara filosofik dan substantif-pedagogis/andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan.

Untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah, komitmen utuh telah dicapai sesuai dengan legal framework yang ada, bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran wajib pada semua satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Aspek-aspek yang menjadi lingkup mata pelajaran ini, mencakup persatuan dan kesatuan bangsa, norma hukum dan peraturan, hak azasi manusia, kebutuhan warga negara, konstitusi negara, kekuasaaan dan politik, Pancasila, dan globalisasi. Walaupun dalam enumerasinya Pancasila ditempatkan sejajar dengan aspek lain, namun dalam pengorganisasian isi dan pengalaman belajar hendaknya ditempatkan sebagai core atau concerto dalam orkestrasi kesemua aspek untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan Pancasila secara generik. Dengan demikian untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat

(9)

dikembangkan pendidikan kewarganegaraan yang koheren dengan pendidikan nilai-nilai Pancasila.

Untuk pendidikan tinggi sebaiknya bagaimana? Peserta didik di perguruan tinggi adalah pemuda dan orang dewasa yang mulai matang, bukan anak usia sekolah yang secara psikologis masih dalam proses perkembangan menuju kematangan. Secara multidimensional Pancasila dapat kita bagi dalam tiga tataran, yakni (a) Pancasila pada tataran filosofik-ideologik, (b) Pancasila pada tataran instrumental-sociokultural, dan (c) Pancasila pada tataran psikososial-individual dan kolektif. Pada tataran filosofik-ideologik Pancasila perlu dilihat sebagai integrated knowledge system yang memiliki dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang seyogyanya dikaji secara akademik/ilmiyah. Dalam konteks ini Pancasila harus dilihat sebagai ideologi terbuka untuk pengembangan secara keilmuan. Pada tataran instrumental-sociokultural Pancasila merupakan sistem nilai yang menjadi ingredient dan spirit/ethos dari keseluruhan sistem konstitusi dan kehidupan berkonstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks ini Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai dan moral yang melandasi kelembagaan, norma, dan mekanisme kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai parameter untuk menakar nilai substatif dari keseluruhan instrumentasi kehidupan kebernegaraan Indonesia, yang seyogyanya dikaji secara normatif-inferensial. Pada tataran psikososial-individual dan kolektif, Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai moral yang seyogyanya diwujudkan dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial-kultural individu dalam keseharian kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai sumber rujukan prilaku yang perlu diinternalisasi oleh individu dalam perannya sebagai anggota masyarakat, komponen bangsa, dan warga negara Indonesia.

Dengan argumen tersebut, ada dua alternatif pengemasan pendidikan Pancasila di perguruan tinggi. Pertama, konsisten dengan pasal 37 UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, ketiga tataran pendidikan Pancasila (filosofik-ideologik, tataran instrumental-sociokultural dan psikososial-individual dan kolektif) dikemas utuh dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, dengan beban belajar 3-4 sks. Kedua, secara kurikuler, pendidikan Pancasila dikemas dalam dua mata kuliah, yakni Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan dengan beban belajar masing-masing 2 sks. Mata kuliah Kajian Pancasila yang dikembangkan sebagai program kurikuler yang mewadahi pendidikan Pancasila pada tataran filosofik-ideologik dan instrumental-sosiokiltural, sedangkan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dikembangkan sebagai program kurikuler yang mewadahi pendidikan Pancasila pada tataran psikososial individual dan kolektif. Sebagai benchmark, marilah kita lihat konsep civic education secara generik-akademik, yang di Indonesia disebut pendidikan kewarganegaraan dalam makna generik pendidikan Pancasila, kini menjadi konsep yang lebih multifaset. Adalah CIVITAS International (2006) yang merumuskan kosep tersebut secara lebih luas seperti berikut.

“Civic education involves many things: the study of constitutions; the rule of law and the operations of public institutions; the study of electoral processes;instruction in the values and attitudes of good citizenship; the development of the skills of government and politics; issues of human rights and intergroup relations; and conflict resolution.Civic education is

(10)

pedagogy, encompassing education and training of both youths and adults in and outside of schools. Civic education can also take place through radio and televition broadcasting and othr means. Distance learning techniques are increasingly important, particularly in the developing world.

2. Pendidikan Pancasila sebagai Proses Pendidikan: Praksis Pembelajaran Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkan perubahan prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan Pancasila adalah belajar atau learning. Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 butir 20 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada. Oleh karena itu proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai proses interaksi sosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah.

Dalam kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik, harus diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam pembelajaran mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian Pancasila. Karena itu konsep pembudayaan Pancasila yang menjadi tema sandingan pendidikan Pancasila, menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient pembangunan watak dan peradaban Indonesia yang bermartabat. Dalam konteks itu maka satuan pendidikan seyogyanya dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan mencerdaskan.

3. Pendidikan Pancasila sebagai Upaya Sistemik Membangun Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan: Proses nation’s character building.

Gerakan reformasi yang masif di Indonesia pada akhir dasawarsa 1990-an, telah berujung dengan jatuhnya Presiden Soeharto selaku penguasa Orde Baru. Kemudian naiknya Presiden Habibie telah berhasil memancangkan tonggak awal demokratisasi berupa kebebasan pers yang bertambah luas, Pemilu yang jujur, adil, dan transparan. Lalu terpilihnya Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) telah memungkinkan reformasi demokrasi terus berlanjut. Dengan naiknya Presiden Megawati Soekarnoputri (Mbak Mega) reformasi demokrasi terus bergulir. Pada kurun waktu tiga Presiden pasca Soeharto inilah dihasilkan Perubahan ke 1 sampai ke 4 atas UUD 1945 yang secara konseptual dan normatif diyakini merupakan konstitusi yang lebih mewadahi cita-cita dan demokrasi yang tepat untuk Indonesia. Atas dasar UUD 1945 yang telah diamandemen ini untuk pertamakalinya diselenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, yang mengantarkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Mohamad Jusuf Kala (MJK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan Pancasila seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Perubahannya atas batang tubuh UUD 1945 kehidupan berkonstitusi mengalami banyak perubahan baik pada tataran instrumental maupun pada tataran praksis. Proses demokratisasi di Indonesia yang

(11)

berdasarkan Pancasila telah menjadi semakin luas jangkauannya dan semakin tinggi intensitasnya. Namun demikian ternyata semakin banyak pula anomalinya pada semua tataran, seperti disharmoni antar peraturan perundang-undangan pada tataran instrumental, dan fenomena proses demokrasi yang cenderung anarkhis. Selain dalam Upacara dimana Pancasila dibaca serempak dibawah pemandu Pembina Upacara, tampaknya banyak pejabat, dosen, atau tokoh masyarakat yang malu-malu kucing menyebut Pancasila. Keadaan ini memang benar-benar menyedihkan. Apakah hal ini mencerminkan bahwa telah terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dari instrumentasi dengan idea dan sistem nilai Pancasila?

Fenomena tersebut di atas, memberi ilustrasi bahwa ternyata untuk membangun kehidupan berdemokrasi konstitusional yang berdasarkan Pancasila itu tidaklah semudah yang diduga kebanyakan orang, karena memang kehidupan demokrasi konstitusional tidak bisa dibangun seketika atau dalam waktu singkat. Sangat banyak faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam suatu negara. Bahmuller (1996:216-221) menidentifikasi sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi suatu negara, yaitu: “…the degree of economic development; …a sense of national identity; …historical experience and elements of civic culture.” Maksudnya adalah bahwa tingkat perkembangan ekonomi, kesadaran identitas nasional, dan pengalaman sejarah serta budaya kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi suatu negara. Salah satu unsur dari budaya kewarganegaraan adalah “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan yang terpancar dari nilai-nilai Pancasila mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau “civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani-Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraan yang ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukan adanya dan berperannya pendidikan pancasila yang menghasilkan demokrasi konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan-Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya budaya Pacasila yang menjadi inti dari masyarakat madani-pancasila yang demokratis. Inilah tantangan konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk membangun demokrasi konstitusional di Indonesia.

Masyarakat madani-Pancasila atau “civic community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila, perlu dipatri oleh kualitas pribadi “…true belief and sacrifice for God, respect for human rights, enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision making at various levels, and implementation of the new form of civic education to develop smart and good citizens”.(Sudarsono,1999:2). Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan

(12)

publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik. Dari situ dapat ditangkap tantangan bagi pendidikan demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas kehidupan ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Secara teoritik, konsep civic culture atau budaya Pancasila terkait erat pada perkembangan democratic civil society atau masyarakat madani-Pancasila yang mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi, dalam pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi terikat oleh atribut-atribut khusus dalam konteks etnis, agama, atau kelas dalam masyarakat. Masyarakat sivil yang demokratis tidak mungkin berkembang tanpa perangkat budaya yang diperlukan untuk melahirkan warganya. Karena itu pula negara harus mempunyai komitmen untuk memperlakukan semua wara negara sebagai individu dan memperlakukan semua individu secara sama. Secara spesifik civic culture merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan …a set of ideas that can be embodied effectively in cultural representations for the purpose of shaping civic identities- atau seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warganegara. Oleh karena itu Civic culture merupakan salah satu sumber yang sangat bermakna bagi pengembangan dan perwujudan civic education (http://www.civsoc.com/nature/nature1). Sementara itu budaya politik atau political culture diartikan sebagai Distinctive and patterned way of thinking about how political and economic life ought to be carried out, atau pemikiran yang khas dan terpolakan tentang bagaimana kehidupan politik dan ekonomi seharusnya diselenggarakan, dalam pengertian diwujudkan (http://www.socialstudies help.com/ APGOV _Notes_WeekFour.). Dari kedua pengertian tentang civic culture dan political culture dapat dikatakan bahwa civic culture berada dalam domain sosiokultural yang berorientasi pada pembentukan kualitas personal-individual warga negara, jadi bersifat psikososial. Sedangkan political culture berada dalam domain makro masyarakat negara, jadi bersifat sosiopolitis dalam konteks kehidupan demokrasi. Keduanya memiliki kesamaan yakni sebagai hasil pemikiran yakni civic culture sebagai perangkat gagasan atau set of ideas sedangkan political culture sebagai perangkat pemikiran atau distinctive and patterned way of thinking. Perbedaannya adalah dalam hal civic culture berkenaan dengan proses adaptasi psikososial individu dari ikatan budaya komuniter (keluarga, suku, masyarakat lokal) ke dalam ikatan budaya kewargaan suatu negara/ kewarganegaraan.

Secara konseptrual antara civic culture dengan political culture satu sama lain memiliki saling ketergantungan (interdependence). Di satu pihak civic culture memberi kontribusi dalam membangun identitas kewarganegaraan atau ke-Indonesiaan setiap warga negara, termasuk para pelaku politik dalam berbagai latar. Dengan demikian prilaku politik dari para pelaku politik seperti anggota dewan perwakilan rakyat, para pejabat negara dan organisasi non-pemerintah secara substantif dan praksis menggambarkan karakter ke Indonesiaan, bukan karakter komunitarian suku, agama, golongan dan partai politik. Di lain pihak, political culture memberi kontribusi dalam membangun konteks sosial, politik,

(13)

ekonomi, dan kultural yang memungkinkan warga negara baik secara perseorangan maupun kelompok mau dan mampu berpartisipasi secara cerdas (intelligent) dan bertanggungjawab (responsible) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Identitas pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture perlu dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat perlu dikembangkan adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah …the willingness of the citizen to set aside private interests and personal concerns for the sake of the common good (Quigley, dkk,1991:11)- atau kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Civic virtue merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic commitments. Sebagaimana dirumuskan oleh Quigley,dkk (1991:11) yang dimaksud dengan civic dispositions adalah …those attitudes and habit of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system atau sikap dan kebiasaan berpikir warganegara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic committments adalah …the freely-given, reasoned committments of the citizen to the fundamental values and principles of constitusional democracy atau komitmen warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitusional. Kedua unsur dari civic virtue tersebut diyakini akan mampu menjadikan proses politik berjalan secara efektif untuk memajukan the common good atau kemaslahatan umum dan memberi kontribusi terhadapperwujudan ide fundamental dari system politik termasuk …protection of the rights of the individual” atau pelindungan hak-hak azasi manusia (Quigley, dkk,1991:11) Proses politik yang berjalan dengan efektif untuk memajukan kepentingan umum dan memberi kontribusi berarti terhadap perwujudan ide fundamental dari sistem politik termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak-hak individu itu adalah ciri kehidupan politik yang ditopang kuat oleh civic culture.

Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab individual, self-discipline atau disiplin diri, civic-mindednes atau kepekaan terhadap masalah kewargaan, open-mindedness (terbuka, skeptis, mengenal ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence atau kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan , generosity atau kemurahan hati, and loyalty to the nation and its priciples atau kesetiaan pada bangsa dan segala aturannya. (Quigley,dkk,1991:13-14). Kesemua itu, yakni keadaban yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggungjawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keragaaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya merupakan karakter intrinsik dari sikap warganegara. Sedangkan civic commitments adalah kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai

(14)

fundamental demokrasi konstitusional, dalam hal ini di Amerika, yang meliputi…popular souvereignty, constitutional government, the rule of law, separation of powers, checks and balances, minority rights, civilian control of the military, separation of church and state, power of the purse, federalism, common good, individual rights (life, liberty: personal, political, economic, and the pursuit of happiness), justice, equality (political, legal, social, economic), diversity, truth, and patriotism. (Quigley, dkk,1991:14-16). Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional, prinsip negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hak minoritas, kontrol masyarakat terhadap meliter, pemisahan negara dan agama, kekuasaan anggaran belanja, federalisme, kepentingan umum, hak-hak individual yang mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi,dan kebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air. Tentu saja tidak semua hal tersebut berlaku untuk Indonesia. Pengembangan dimensi civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education, atau pendidikan Pancasila untuk Indonesia. Dimensi civic participation dikembangkan dengan tujuan untuk memberikan …the knowledge and skills required to participate effectively;…practical experience in participation designed to foster among students a sense of competence and efficacy dan mengembangkan … an understanding of the importance of citizen participation (Quigley, dkk, 1991:39), yakni pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam masyarakat, pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan pengertian tentang pentingnya peranserta aktif warganegara. Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan A knowledge of the fundamental concepts, history, contemporary events, issues, and facts related to the matter and the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition to act in accord with the traits of civic characters; and a commitment to the realization of the fundamental values and principles. (Quigley,dkk,1991:39). Yang dimaksud dengan semua hal tersebut di muka adalah pengetahuan tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan subsantsi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual, dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari warganegara, yang dalam konteks Indonesia harus ditempatkan dalam konteks nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Dalam Lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 secara normatif dikemukakan bahwa ”Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.” Sedangkan tujuannya, digariskan dengan dengan tegas, “adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan

2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi

(15)

3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya

4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.”

Sementara itu ditetapkan pula bahwa ”Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.”

Berdasarkan Permendiknas N0. 22 tahun 2006 Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar dan menengah secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan

2. Norma, hukum, dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional

3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM

4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan kedudukan warga negara

5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi

6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi

7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka 8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri

Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.”

(16)

Namun demikian perlu diberi catatan bahwa enumerasi ke 8 (delapan) substansi, termasuk di dalamnya terdapat Pancasila, memberi kesan yang kuat bahwa Pancasila belum menjadi core-nya PKn. Oleh karena itu sesungguhnya substansi Pancasila harus menjadi core dari ke 7 (tujuh) butir substansi lainnya itu.

Proses pendidikan yang dituntut dan menjadi kepedulian PKn adalah proses pendidikan yang terpadu utuh, yang juga disebut sebagai bentuk confluent education (McNeil:1981). Tuntutan pedagogis ini memerlukan persiapan mental, profesionalitas, dan hubungan sosial guru-murid yang kohesif. Guru seyogyanya siap memberi contoh dan menjadi contoh. Ingatlah pada postulat bahwa Value is neither tought now cought, it is learned (Herman 1966). Nilai tidak bisa diajarkan atau pun ditangkap sendiri tetapi dicerna melalui proses belajar. Oleh karena itu nilai harus termuat dalam materi pelajaran PKn.

PKn merupakan mata pelajaran dengan visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional. Ia merupakan pendidikan nilai demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial, dan masalah pendidikan politik. Namun yang paling menonjol adalah sebagai pendidikan nilai dan pendidikan moral. Oleh karena itu secara singkat PKn dinilai sebagai mata pelajaran yang mengusung misi pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara lain sebagai berikut.

1. Materi PPKn adalah konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 45 beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.

2. Sasaran belajar akhir PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam perilaku nyata kehidupan sehari-hari.

3. Proses pembelajarannya menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat kognitif) tetapi dihayati (bersifat afektif) dan dilaksanakan (bersifat perilaku).

Sebagai pengayaan teoritik, pendidikan nilai dan moral sebagaimana dicakup dalam PKn tersebut, dalam pandangan Lickona (1992) disebut "educating for character" atau "pendidikan watak". Lickona mengartikan watak atau karakter sesuai dengan pandangan filosof Michael Novak (Lickona 1992 : 50-51), yakni Compatible mix of all those virtues identified by religions traditions, literary stories, the sages, and persons of common sense down through history. Artinya suatu perpaduan yang harmonis dari berbagai kebajikan yang tertuang dalam keagamaan, sastra, pandangan kaum cerdik-pandai dan manusia pada umumnya sepanjang zaman. Oleh karena itu Lichona (1992, 51) memandang karakter atau watak itu memiliki tiga unsur yang saling berkaitan yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior atau konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku moral. Bila buah pemikiran Lickona (1992) tersebut kita kaitkan dengan karakteristik PKn SD, nampaknya kita dapat menggunakan model Lickona itu sebagai kerangka pikir dalam melihat sasaran belajar dan isi PKn. Setiap nilai Pancasila yang telah dirumuskan sebagai butir materi PKn pada dasarnya harus memiliki aspek konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral.

Contohnya, untuk menanamkan nilai kejujuran dalam pembelajaran PKn harus menyentuh ketiga aspek seperti berikut:

Konsep Moral

1. Kesadaran perlunya kejujuran 2. Pemahaman tentang kejujuran 3. Manfaat kejujuran di masa depan

(17)

4. Alasan perlunya kejujuran

5. Bagaimana cara menerapkan kejujuran 6. Penilaian diri sendiri mengenai kejujuran

Sikap Moral

1. Kata hati kita tentang kejujuran

2. Rasa percaya diri kita untuk senantiasa berlaku jujur pada orang lain 3. Empati kita terhadap orang yang jujur

4. Cinta kita terhadap kejujuran

5. Pengendalian diri kita untuk selalu berlaku jujur 6. Rasa hormat kita kepada orang lain yang berlaku jujur

Perilaku Moral

1. Kemampuan bersikap dan berlaku jujur 2. Kemauan untuk senantiasa berusaha jujur

3. Kebiasaan untuk selalu bersikap dan berbuat jujur

Dari pembahasan kita mengenai PKn sebagai pendidikan nilai dan moral dikaitkan dengan konsep pendidikan watak kiranya kita dapat mencatat hal-hal sebagai berikut:

1. PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau karakter peserta didik sesuai dengan dan merujuk kepada nilai-nilai dan moral Pancasila.

2. Nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 dapat dikembangkan dalam diri peserta didik melalui pengembangan konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral setiap rumusan butir nilai yang telah dipilih sebagai materi PPKn.

Oleh karena itu bagi pendidikan di Indonesia PKn merupakan program pembelajaran nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 yang bermuara pada terbentuknya watak Pancasila dan UUD 45 dalam diri perserta didik. Watak ini pembentukannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi keterpaduan konsep moral, sikap moral dan perilaku moral Pancasila dan UUD 45. Dengan demikian pula kita dapat menegaskan kembali bahwa PKn merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang mencerminkan konsep, strategi, dan nuansa confluent education. Pendidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.

B. Kebijakan Kurikulum PKn untuk Masa Depan

Ada beberapa asumsi normatif dan asumsi positif mengenai PKn masa depan, sebagai berikut.

1. Bahwa Pembukaan UUD 1945, tidak akan berubah karena diterima sebagai inti komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final ketatanegaran RI, sebagaimana hal itu menjadi komitmen MPR.

2. Bahwa tatanan kehidupan demokrasi Indonesia pada dasarnya merupakan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila sebagaimana tersurat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

(18)

3. Bahwa pembangunan demokrasi konstitusional Indonesia mengandung missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi melalui instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan pendidikan demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan yang berdasarkan konstitusi. Demokrasi konstitusional dapat diartikan sebagai demokrasi yang berlandaskan pada prinsip negara hukum, yang di dalamnya terkandung kehidupan berdasar pada rule of law yang memberikan implikasi pada pentingnya pendidikan kewarganegaraan untuk menumbuhkan kesadaran hukum warga negara.

4. Bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana psiko-pedagogis pada domain kurikuler, sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan epistemologis pada domain akademik, dalam pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia.

5. Bahwa sebagai wahana pendidikan demokrasi, pendidikan kewarganegaraan berfungsi mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang koheren dari konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.

6. Bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, memiliki fungsi sebagai pendidikan untuk membangun karakter bangsa, yang secara substansial dirancang secara nasional, dan diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan pendidikan.

7. Bahwa pendidikan untuk kewarganegaraan Indonesia yang demokratis yang menjadi missi PKn, tidak bersifat chauvinistik, melainkan berwawasan kosmopolit guna menghasilkan warganegara Indonesia yang baik, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.

Bertolak dari ke 7 asumsi tersebut, ada beberapa substansi kebijakan nasional tentang Kurikulum PKn Masa depan sebagai berikut.

1. Sebagai sumber ide dan norma inti dari PKn, perlu kajian mendalam terhadap ide dan nilai yang secara substantif terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dalam konteks historis dan sosio-politis tumbuh dan berkembangnya komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final ketatanegaran RI.

2. Sebagai instrumentasi dari ide dan norma inti Pancasila dan UUD 1945, perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadap tatanan kehidupan demokrasi Indonesia sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila dan UUD 1945.

3. Dalam rangka pembangunan demokrasi konstitusional Indonesia yang mengandung missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi Pancasila, perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadap visi dan missi nasional dari instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan aras pendidikan demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan. 4. Diperlukan reposisi, rekonseptualisasi, dan reaktualisasi pendidikan

kewarganegaraan sebagai wahana: psiko-pedagogis pada domain kurikuler, sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan epistemologis pada domain akademik dalam pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia agar lebih efektif dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai tuntutan zaman.

(19)

5. Pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi, perlu difungsikan sebagai wahana pendidikan yang mampu mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak semua unsur bangsa Indonesia secara koheren dengan konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.

6. Pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, perlu dirancang secara sistematis dan sistemik untuk membangun karakter bangsa, yang secara substansial-nasional dapat diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan pendidikan.

7. Perlu dilakukan antisipasi yang komprehensif agar pendidikan untuk kewarganegaraan Indonesia yang demokratis melalui PKn, tidak bersifat chauvinistik, melainkan berwawasan kosmopolit dalam menghasilkan warganegara Indonesia yang baik, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab dan sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.

Ke 7 (tujuh) substansi kebijakan kurikulum tersebut merupakan kebijakan dasar yang diharapkan menghasilkan pemikiran komprehensif tentang pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia untuk berbagai domain, yang dapat memberi masukan yang secara akademik valid, secara sosio-politis dan sosiokultural akseptabel, dan secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis layak bagi pengembangan dan perwujudan pendidikan kewarganegaraan Indonesia.

Elemen pendidikan kewarganegaraan yang memerlukan reposisi, rekonseptualisasi, dan reaktualisasi untuk masa depan, antara lain:

1. Grand design pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;

2. Kerangka sistemik kompetensi kewarganegaraan lulusan pada berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

3. Kerangka sistemik isi pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

4. Kerangka sistemik proses pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

5. Kerangka sistemik asesmen dalam pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

6. Kerangka sistemik dan programatik pendidikan dan pelatihan guru/tutor pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;

7. Kerangka akademik penelitian dan pengembangan pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(20)

BAB III

TEMUAN KAJIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Responden

Kajian ini dilakukan baik terhadap dokumen maupun pelaksanaan Standar Isi dalam kegiatan pembelajaran. Untuk mengkaji dokumen dan pelaksanaannya telah dihadirkan beberapa responden sebagai pengkaji. Responden yang dimaksud berasal dari berbagai wilayah Indonesia yang terdiri atas:

1) akademisi, yaitu dosen perguruan tinggi, dan

2) praktisi yang berkait langsung dengan pembelajaran PKn, yaitu guru-guru yang berasal dari SD, SMP dan SMA dari beberapa wilayah Indonesia.

Kepada seluruh responden ini diberikan instrumen analisis dokumen dan pelaksanaan Stándar Isi yang hasilnya terlihat pada paparan berikut.

B. Deskripsi Hasil Kajian Dokumen Standar Isi PKn

Kajian dokumen dilakukan baik oleh akademisi maupun praktisi. Hasil kajian dikelompokkan ke dalam satuan pendidikan SD, SMP dan SMA yang rangkumannya seperti terlihat pada tabel dan uraian di bawah ini.

1. Hasil Kajian Dokumen Tahap Pertama Dokumen Standar Isi PKn SD/MI

Untuk kajian dokumen Standar Isi PKn SD diperoleh beberapa temuan sebagai berikut:

Kelas I

1) KD 1.1 yang rumusannya adalah ”Menjelaskan perbedaan jenis kelamin, agama, dan suku bangsa”, dinilai memiliki kemiripan materi dengan materi IPS. 2) KD 4.2 yang rumusannya ”Melaksanakan aturan yang berlaku di masyarakat”

terdapat juga pada kelas 3 (KD 2.3)

3) SK 4, hanya terbatas pada lingkup rumah dan sekolah, sedangkan pada KD 4.2 kompetensi yang dituntut sudah sampai pada lingkup masyarakat, bukan hanya keluarga dan sekolah

Kelas II

KD 3.3 Menampilkan sikap mau menerima kekalahan. KD ini terasa agak berat untuk dilaksanakan di kelas 2

Kelas III

1) KD 2.3 Melaksanakan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan masyarakat * KD ini sama dengan KD 4.2 di kelas I semester 2

2) Susunan KD 3.1; 3.2 dan 3.3 tidak runtut

3) KD 3.3 Menampilkan perilaku yang mencerminkan harga diri * KD ini sulit terukur pada proses belajar

Kelas IV

1) KD 3.1 Mengenal lembaga negara dalam susunan pemerintah tingkat pusat seperti MPR, DPR, Presiden, MA, MK dan BPK

Kata kerja operasional ”mengenal” mengarah pada muatan materi yang terlalu tinggi sehingga sulit diserap oleh siswa

2) KD 3.3 (Susunan KD dianggap tidak runtut) - memberi contoh pengaruh globalisasi

(21)

- Jenis budaya Indonesia yang pernah ditampilkan dalam misi kebudayaan Internasional

- Menentukan sikap terhadap pengaruh globalisasi

3) SK 4: Menunjukkan sikap terhadap Globalisasi di lingkungan

Muatan materinya mirip dengan muatan materi yang terdapat pada mata pelajaran IPS kelas IV (perkembangan teknologi produksi, komunikasi dan trasnportasi)

4) Penulisan SK mengenal sistem pemerintahan tingkat pusat di kelas IV redanden dengan SK kelas VI smt 1

5) Materi globalisasi terlalu dini dimasukan di kelas IV

Kelas V dan Kelas VI

Untuk krelas V dan VI pada kajian tahap I dipandang tidak ada masalah

Dokumen Standar Isi PKn SMP/MTs Kelas VII

Materi sangat berat seperti:

a). KD 2.2. Mendeskripsikan suasana kebatinan konstitusi pertama.

Istilah semacam ini masih sangat awam bagi siswa kelas VII, apalagi mereka dituntut untuk menganalisa proses terbentuknya konstitusi pertama. Sebaiknya istilah suasana kebatinan dihilangkan saja atau dicarikan istilah yang mudah dipahami (familier).Kira-kira KD tersebut berubah menjadi “ Mendiskripsikan proses terbentuknya konstitusi pertama”.

b). KD 2.3.: Menganalisis hubungan proklamasi dengan UUD 1945

Materi ini masih sangat berat untuk konsumsi Kelas VII, karena anak Kelas VII merupakan transisi dari SD ke SMP sehingga sangat berat dituntut menganalisis hubungan Pancasila dengan UUD 1945. Kalau memang harus diajarkan di Kelas VII. Sebaiknya bobot Kompetensi diturunkan dari “ Menganalisis menjadi “Mengidentifikasi” saja, sehingga KD tersebut berubah menjadi “ Mengidentifikasi hubungan proklamasi dengan UUD 1945” c). KD 3.3.: Menghargai upaya perlindungan HAM.

Siswa Kelas VII terasa berat dalam membuat persepsi dari kata menghargai upaya perlindungan HAM. Kata menghargai sebaiknya diganti dengan mengidentifikasi karena sulit diukur, sehingga KD berubah menjadi: “Mengidentifikasi upaya-upaya perlindungan HAM”.

d). KD 3.1. Menguraikan hakikat, hukum dan kelembagaan HAM.

Kata menguraikan terlalu dalam maknanya. Kata ”menguraikan” sebaiknya diganti dengan mendiskripsikan, sehingga KD-nya menjadi “Mendiskripsikan hakikat hukum dan kelembagaan HAM”

Kelas VIII Materi berat

a). KD. 1.1. Menjelaskan Pancasila sebagai dasar negara dan deologi negara Terdapat pengertian/ perintah ganda dalam satu KD.

b). KD. 1.2. Menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara

Terdapat pengertian ganda dalam satu KD

c). KD. 2.2. Menganalisis penyimpangan penyimpangan terhadap konstitusi yang berlaku di Indonesia

(22)

Kelas IX

Materi kurang sesuai:

a). K.D. 1.1.Menjelaskan pentingnya pembelaan negara.

Menjelaskan kurang mewakili kedalaman materi yang diharapkan

b). KD. 3.1. Menjelaskan pengertian dan pentingnya globalisasi bagi Indonesia Ada dualisme dalam satu masalah

Dokumen Standar Isi PKn SMA/MA Kelas X - XII

1. Materi terlalu luas:

a). Materi Kelas X Semester 2 K.D 6: Mendeskripsikan perbedaan sistem politik di berbagai negara. Karena berbagai negara terlalu banyak, jika jika tidak ada batasan justru tujuan mendiskripsikan menjadi kabur.

b). Materi Kelas XII Sm 1 K.D. 2:

2.1 Menganalisis sistem pemerintahan di berbagai negara.

Karena berbagai negara terlalu banyak, jika jika tidak ada batasan justru tujuan menganalisis menjadi kabur).

2.3 Membandingkan pelaksanaan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia dengan negara lain. (materi ini terlalu luas karena tidak jelas Indonesia saat kapan dan dengan negara mana)

2. Tumpang tindih materi:

a) Materi kelas X semester 2 : (Menganalisis sistem politik di Indonesia) Dengan materi kelas XI sem 1: (Menganalisis budaya politik di Indonesia). Budaya politik dan sistem politik adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Jadi kalau dibahas dalam bab yang berbeda akhirnya jika membahas sitem politik akan membahas budaya politik dan demikian sebaliknya.

b). Materi kelas XI Sm. 1. Kd. 1.1 dan 1.2. Tentang Tipe dan macam budaya politik.

c). Materi kelas X (Hubungan dasar negara dan Konstitusi) dengan Materi XII (Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka) d). Materi Kl. X Sem 1 KD. 3.3 (mendiskripsikan instrumen hukum dan

peradilan internasional HAM)

Dengan materi kls XI sm 2. KD. 5.2. (Menjelaskan penyebab timbulnya sengketa internasional dan cara penyelesaian oleh Mahkamah Internasional). Masalah internasional tidak dapat dipisahlan dari pelanggaran HAM.

e) Materi Kelas XI Sm 1 . KD 2.3 (Menganalisis pelaksanaan Demokrasi di Indonesia sejak orde lama, orde baru, dan reformasi) dengan materi kls XII Sm 1 KD. 2 .2 “Menganalisis pelaksanaan sistem pemerintahan negara Indonesia”. Pelaksanaan Demokrasi tidak terlepas dari sistem pemerintahan yang diterapkan suatu negara.

(23)

2. Hasil Kajian Dokumen Tahap Kedua Dokumen Standar Isi PKn SD/MI Kelas I

SK 1 / I KD 1.1,1.2,1.3 dan SK 2/ I KD 2.1, 2.2 tidak untuk diajarkan pada semester 1 melainkan di semester 2 dengan menggabungkan SK 1 dan 2 menjadi 1 SK. SK 3 /I KD 3.1,3.2 dan SK 4/I KD 4.1,4.1 tidak dipisahkan melainkan satukesatuan, sehingga SK 3 dan 4 dapat digabung menjadi 1 SK dan diberikan di kelas 2 di semester 1

Kelas II

Nilai keutamaan pada SK 1 /II KD 1.1,12 sebaiknya digabungkan dengan nilai keutamaan Musyawarah (sikap demokratis) dan diberikan dikelas III. SK 2/II KD 2.1.2.2 harus ditanamkan sejak dini bukan dikelas dua melainkan di kelas 1 pada semester 2. SK 3/II KD 3.1,3.2,3.3 tidak terpisah-pisah melainkan tergabung dengan nilai keutamaan yang lain seperti gotong royong diajarkan di kelas III. Materi pada SK 4 /II KD 4.1, 4.2 harus diberikan dengan konsep sederhana yang dapat dipahami dan sesuai konten siswa itu sendiri.

Kelas III

Materi dari SK 1/III , SK 3/III dan SK4/III beserta KD nya sebaiknya digabung agar bermakna, karena merupakan satu kesatuan antara sejarah dengan kebanggaan yang harus dimiliki siswa. Penanaman konsep pada SK 2/III beserta KD nya harus dimulai dari yang paling sederhana yang ada disekitar kehidupan peserta didik. Untuk memahami konsep pada SK 4 / III, beserta KD nya dibutuhkan penalaran dan pemahan yang luas, oleh karena itu sebaiknya diberikan di kelas VI

Kelas V

SK 3/V dan SK 4/V, beserta Kdnya sebaiknya dirumuskan dalam satu SK agar utuh dalam mememahami kosepnya.

Dokumen Standar Isi PKn SMP/MTs Kelas VII

Materi pada SK 1 / VII beserta KD nya sebaiknya diberikan setelah penjelasan SK 2 / VII agar lebih sistematis dalam memahami konsep bernegara yang dimulai dari Proklamasi. Materi pada SK 1 / VII beserta KD nya diberikan diawal siswa duduk dibangku SMP di semster 1. SK 3 dan SK 4 / VII beserta KD nya sebaiknya di gabung, karena merupakan bagian dari HAM agar utuh dalam memehami konsep HAM.

Kelas VIII

SK 2 dan 3 / VIII, beserta Kdnya sebainya digabung menjadi satu, agar utuh pemahaman terhadap konsep aturan tersebut, Sebaiknya konsep dari SK 4 dan SK 5 / VIII beserta KD nya dijadikan satu khusus mengenai Sistem pemerintahan Indonesia digabung dengan Otonomi dan diberikan di kelas IX

Kelas IX

(24)

Dokumen Standar Isi PKn SMA/MA Kelas X

KD-KD yang terdapat dalam SK SK 1 / X perlu direvisi dan dibuat sistematis dengan menambah beberapa materi dan konsep baik tentang Bangsa maupun tentang negara. Rumusan SK 2 / X beserta KD nya perlu direvisi dan rumusan KD juga perlu dirubah dengan menamabah konsep tentang hukum dan peradilan. Rumusan SK 3 / X beserta KD nya perlu direvisi dan rumamusan KD juga perlu perubah dengan menamabah konsep tentang HAM dan diberikan disemester 2. SK 4 / X sebaiknya diberikan di semester satu sesudah SK 1, untuk memudahkan pemahaman bagi peserta didik, perlu juga ditambahkan konsep tentang idiologi negara. SK SK 5 / X beserta KD nya sebaiknya diberikan di semester 2 kelas X sesudah materi HAM dan sebaiknya diberi tambahan konsep tentang keberagaman atau pliralisme di Indonesia. Sebaiknya konsep dari SK 6 / X beserta KD nya dan SK 1 / XI beserta KD nya dijadikan satu dengan SK 1 / XI tentang Budaya politik dan diadakan perubahan rumusan serta penambahan konset tentang politik dan diberikan di kelas XI semester 1.

Kelas XI

SK 2 dan 3 / XI beserta KD nya sebaiknya digabung jadi satu untuk memudahakan pemahaman dan penjabaran demokrasi menuju masyarakat madani. Rumusan SK SK 4 / XI beserta KD nya perlu diadakan perubahan dan ditambahkan materi tentang politik luar negeri Indonesia bebas dan aktif. SK 5 / XI perlu dirumuskan lebih jelas tentang konsepnya baik pada SK maupun KD nya dan perlu perombakan KD nya.

C. Kajian Pelaksanaan

Kajian pelaksanaan ini mencakup implementasi Standar Isi ke dalam pengembangan silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan pelaksanaan dalam kegiatan pembelajaran. Untuk hal ini tidak ada masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan Stándar Isi untuk satuan pendidikan SD dan SMP. Temuan yang diperoleh hanya pada satuan SMA dan ini pun tidak hanya terkait dengan Stándar Isi, melainkan pula dengan hal-hal lain seperti UAN.

Deskripsi temuan tentang pelaksanaan Stándar Isi pada satuan pendidikan SMA dapat dilihat pada uraikan berikut.

1. Penyusunan Program Pembelajaran a. Silabus

1). Dalam penyusunan silabus ada kesulitan dalam mencari materi karena pengembanganya terlalu luas, seperti peradilan internasional, perkembangan pers di Indonesia, dan subtansi konstitusi negara

2). Selain itu terdapat materi yang pengembangannya terlalu beranekaragam, sementara masih ada ulangan umum bersama di tingkat kabupaten maupun Propinsi, seperti budaya politik, budaya Demokrasi, pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, dan tipe dan macam budaya politik

b. RPP

1) Sangat dipengaruhi adanya sarana penunjang media, sumber buku yang ada di sekolah kemampuan guru dalam mengembangkan metode dan media. 2) Sarana dan prasarana untuk pengembangan RPP yang baik, kurang

mendapat perhatian dari sekolah, karena PKn sekarang tidak di-UN-kan lagi dan menjadi pelajaran anak tiri di sekolah, sehingga sarana dan prasarana untuk pembelajaran ini juga terbatas.

(25)

2. Pelaksanaan KBM/Pembelajaran

a) Jumlah Jam Pelajaran PKn. Untuk mencapai tuntutan KTSP yang mengutamakan proses disamping hasil. Materi PKn yang begitu padat tidak cukup jika hanya dialokasikan waktu 2 JP. Sebab jika dicermati materi PKn merupakan gabungan PPkn dan Tata Negara. Jam PPKn dulu 2 JP dan Tata Negara 6 JP. Jadi ya bagaimana dapat mengutamakan proses seperti tuntutan dalam KTSP kalau materi yang dulunya diajarkan 8 JP menjadi 2 JP saja. b). Penilaian Afektif perlu dipertimbangkan apakah mampu seorang guru dalam

melakukan kegiatan mendidik, mengajar sekaligus melakukan penilaiann afektif bagi 30 lebih siswanya.

3. Lain - Lain a). Penilaian :

SKL PKn sama sekali tidak mengujikan materi kelas XII. Hal ini sangat ironis, sebab justru siswa diuji kelulusannya dengan materi kelas X dan XI, sedang yang dipelajari selama satu tahun dikelas XII sama sekali tidak menjadi faktor penentu kelulusan.

b). UN PKn:

Suatu dilema dalam dunia pendidikan Indonesia. Kenyataan yang terjadi di lapangan, jika masih ada pelajaran yang menjadi penentu kelulusan lewat UN, kemudian dijadikan dasar memvonis sekolah sukses atau tidak dari UN 3 mapel. Tidak ada satu sekolah pun yang mau dikatagorikan sekolah yang gagal. Sehingga 3 mapel yang diunaskan tersebut bagai anak emas yang jamnya banyak, selalu ada les hanya untuk 3 mapel tsb, bahkan beberapa minggu menjelang UN pelajarannya hanya 3 mapel tadi. Bagaimana nasib pelajaran yang lain? Kita harus memilih, hidup penuh pilihan, KTSP atau UNAS? Proses atau Hasil?. Atau keduanya?

D. Ringkasan Temuan Kajian Dokumen dan Lapangan 1. Kajian Dokumen

a. Komposisi SK-KD tiap semester

Berkait dengan beban belajar, maka komposisi jumlah SK dan KD untuk tiap semester baik untuk SD, SMP maupun SMA dinilai cukup memadai. Tiap semester hanya terdiri atas 2 atau 3 SK dan tiap SK umumnya terdiri atas 2 sampai 3 KD pada jenjang SD; 2 sampai 4 KD pada SMP, kecuali pada SK tentang ketaatan pada peraturan perundangan yang teridiri atas 5 KD, dan untuk SMA terdiri atas 3 hingga 5 KD untuk setiap SK.

b. Komposisi KD berdasarkan ranah kompetensi PKn: civic knowledge (kognitif=pengetahuan), civic disposition (afektif=nilai dan sikap), civic skill/ participation (psikomotorik=perilaku).

Berdasarkan ranah kompetensi terdapat ketidakseimbangan ranah kompetensi PKn sebagai muatan KD untuk tiap-tiap SK baik di SD, SMP, maupun SMA. Pada tiga jenis pendidikan ini aspek sikap dan perilaku yang menjadi ”stressing” PKn proporsinya relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan ranah pengetahuan. Untuk SD dari 57 KD, hanya 4 (7,02%) KD yang termasuk ranah afeksi dan 16 (28,07%) KD yang termasuk ranah perilaku, sementara yang termasuk ranah pengetahuan 37 (64,91%) KD. Untuk SMP hanya 9 (19,56%) KD yang memuat kandungan afeksi dan 5

Referensi

Dokumen terkait

Ujian semula ke atas negara lain dapat dijadikan asas perbandingan dengan dapatan kajian ini untuk memperkembangkan pemadanan antara perakaunan pengurusan dengan faktor

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan pengaruh level garam dalam pembuatan dangke terhadap rendemen dan kualitas fisik, menjelaskan pengaruh level garam dan

• Bila waktu dan tanggal direset ke pengaturan asli pabrik saat Anda mengeluarkan baterai setelah terpasang selama lebih dari 24 jam, berarti memori pengaturan kamera tidak

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data informasi empirik dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya sumber daya manusia guru serta dapat menemukan

Vasektomi (Medis Operasi Pria/MOP) adalah pemotongan/pembuangan saluran sperma kiri dan kanan saja, agar cairan mani yang dikeluarkan pada saat ejakulasi tidak lagi

Menerapkan multiple intelligences bagaikan mengarungi lautan tak terpetakan, yang berarti, setiap pendidik harus bekerja dan belajar bersama. Teori ini membantu

Factor keamanan tali untuk pengangkat katrol pembawa cairan atau logam putih panas, asam, larutan panas yang berbahaya, bahan peledak sama dengan 6,0 tidak tergantung

Namun penekanannya lebih pada aspek afektif, yakni untuk membina warga negara Indonesia yang memiliki kepribadian yang baik, terpadu, dan terdidik, membentuk