• Tidak ada hasil yang ditemukan

asam salisilat.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "asam salisilat.pdf"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012 2 7 7

Penggunaan Asam Salisilat

dalam Dermatologi

Sri Katon Sulistyaningrum, Hanny Nilasari, Evita Halim Effendi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak: Asam salisilat merupakan bahan keratolitik tertua. Selain memiliki efek keratolitik,

bahan ini juga memiliki efek keratoplastik, anti-pruritus, anti-inflamasi, analgetik, bakteriostatik, fungistatik, dan tabir surya. Asam salisilat telah teruji dalam terapi berbagai penyakit kulit dengan manifestasi hiperkeratosis. Selain itu, asam salisilat merupakan terapi tambahan pada dermatomikosis superfisialis, moluskum kontagiosum, akne, dan kerusakan kulit akibat sinar matahari. Meskipun secara umum penggunaan asam salisilat topikal aman, bahan ini dapat diabsorbsi melalui kulit dan menimbulkan toksisitas. Hal tersebut jarang terjadi, namun berpotensi menimbulkan komplikasi serius. Makalah ini membahas sifat kimia, mekanisme kerja, penggunaan klinis, efek samping, toksisitas akibat absorbsi perkutan, dan kontraindikasi asam salisilat dalam bidang dermatologi. J Indon Med Assoc. 2012;62:277-84.

Kata kunci: asam salisilat, dermatologi, indikasi, efek samping

Korespondensi: Sri Katon Sulistyaningrum, Email: ningrum_dr@yahoo.com

(2)

The Use of Salicylic Acid in Dermatology

Sri Katon Sulistyaningrum, Hanny Nilasari, Evita Halim Effendi Department of Dermatovenereology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/

Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstract: Salicylic acid is the oldest known keratolytics. Besides its keratolytic properties, salicylic acid also has keratoplastic, anti-pruritic, anti-inflammatory, analgetic, bacteriostatic, fungistatic, and photo-protective effects. It is a well-established treatment for many dermatologic conditions, manifest as hyperkeratosis, and can be used as an additional therapy for superficial dematomycosis, moluscum contagiosum, acne, and photo-damaged skin. In general, topical salicylic acid is safe, but it is readily absorbed from the skin. Toxicity from percutaneous absorption is rare but serious complications have been reported. This paper reviewed its chemistry, mechanism of action, clinical usage, side effect, percutaneous toxicity and contraindication in dermatotherapy. J Indon Med Assoc. 2012;62:277-84.

Keywords: salicylic acid, dermatology, clinical use, side effects

Pendahuluan

Asam salisilat telah digunakan sebagai bahan terapi topikal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu.1 Dalam bidang

dermatologi, asam salisilat telah lama dikenal dengan khasiat utama sebagai bahan keratolitik.2 Hingga saat ini asam salisilat

masih digunakan dalam terapi veruka, kalus, psoriasis, der-matitis seboroik pada kulit kepala, dan iktiosis.3

Penggu-naannya semakin berkembang sebagai bahan peeling dalam terapi penuaan kulit, melasma, hiperpigmentasi pasca-inflamasi, dan akne.4,5

Di Amerika Serikat, berbagai sediaan mengandung preparat asam salisilat dalam konsentrasi 1-40%.6

Penggu-naan asam salisilat topikal relatif aman. Efek samping lokal yang sering dijumpai pada penggunaan asam salisilat adalah dermatitis kontak.7,8 Beberapa kepustakaan melaporkan

adanya toksisitas sistemik akibat absorpsi perkutan. Toksi-sitas asam salisilat, meskipun jarang, dapat menimbulkan komplikasi yang serius.3

Farmakologi Asam Salisilat Topikal

Sifat Kimia

Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic acid atau orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat memiliki pKa 2,97.9 Asam salisilat

dapat diekstraksi dari pohon willow bark, daun wintergreen, spearmint, dan sweet birch.9,10 Saat ini asam salisilat telah

dapat diproduksi secara sintetik.9,11 Bentuk makroskopik

asam salisilat berupa bubuk kristal putih dengan rasa manis,

tidak berbau, dan stabil pada udara bebas. Bubuk asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam lemak. Sifat lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya terbatas pada lapisan epidermis.9

Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat Topikal

Efek Keratolitik dan Desmolitik

Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi topikal sebagai bahan keratolitik. Zat ini merupakan bahan keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874.12 Berbagai

penelitian menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan penting pada mekanisme keratolitik asam salisilat, yaitu menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselular, dan melonggarkan serta mendisintegrasi korneosit.3,13,14

Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan meng-hilangkan ikatan kovalen lipid interselular yang berikatan dengan cornified envelope di sekitar keratinosit.15

Meka-nisme kerja zat ini adalah pemecahan struktur desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan antar sel korneosit. Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme kerja asam salisilat topikal.1,16 Efek desmolitik asam salisilat

meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi.1 Asam

salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih besar (20-60%), menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap digunakan pada terapi veruka dan kalus.1,17

Pengelupasan secara mekanik dapat meningkatkan efektivitas kerja asam salisilat topikal. Pasien dapat diedukasi

(3)

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012 2 7 9

untuk mengusap kulit dengan spon halus atau handuk basah saat mandi. Pada terapi kalus, pengelupasan dapat pula dilakukan dengan bantuan sikat. Bantuan mekanik ini akan menyebabkan pengelupasan yang adekuat setelah kulit diberikan asam salisilat topikal selama beberapa hari.18

Efek Keratoplastik

Pada konsentrasi 0,5-2%, asam salisilat memiliki stabi-lisasi stratum korneum yang menyebabkan efek kerato-plastik.19 Mekanisme belum diketahui secara pasti, namun

hal tersebut diduga merupakan fenomena adaptasi homeo-patik, yaitu asam salisilat menyebabkan rangsangan kera-tolitik lemah yang menyebabkan peningkatan keratinisasi.18

Efek Anti-Pruritus

Asam salisilat memiliki efek anti-pruritus ringan.10 Efek

ini dapat diamati pada konsentrasi 1-2%.19 Mekanisme kerja

asam salisilat sebagai antipruritus belum diketahui secara pasti.

Efek Anti-Inflamasi

Sediaan asam salisilat telah lama diketahui memiliki khasiat anti-inflamasi. Sebagaimana diketahui, aspirin (asam asetil salisilat) telah digunakan secara luas sebagai analgesik, anti-piretik, dan anti-inflamasi sistemik. Asam salisilat menghambat biosistesis prostaglandin11 dan memiliki efek

anti-inflamasi pada sediaan topikal dengan konsentrasi 0,5-5%.20

Efek Analgetik

Asam salisilat digunakan pula sebagai bahan analge-sia. Metil salisilat topikal (sebagai contoh: minyak gandapura) memiliki sifat sebagai counter irritant ringan. Zat ini kerap dikombinasikan dengan mentol sebagai sediaan topikal yang digunakan dalam pengobatan nyeri pada otot dan persen-dian.11

Efek Bakteriostatik dan Disinfektan

Efek bakteriostatik lemah asam salisilat tampak terutama terhadap golongan Streptococcus spp., Staphylococcus spp., Escherechia coli, dan Pseudomonas aeruginosa.1 Solusio

asam salisilat 1:1000 dapat digunakan sebagai kompres pada luka. Solusio asam salisilat 1:1000 lebih nyaman digunakan dari solusio permanganas kalikus maupun rivanol, karena tidak mengotori pakaian atau mewarnai kulit.19

Efek Fungistatik

Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan asam salisilat topikal dapat diamati terhadap Trichophyton spp. dan Candida spp. Efek ini diamati pada konsentrasi rendah 2-3g/l (<1%).3,6 Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan

kemungkinan efek desmolitik asam salisilat yang membantu penyembuhan infeksi jamur superfisial, bukan efek fungis-tatik langsung.21

Efek Tabir Surya

Asam salisilat dan turunannya dapat bekerja sebagai tabir surya.22,23 Mekanisme efek tabir surya kimiawi tersebut

melalui transformasi cincin benzen aromatik pada pajaran ul-traviolet (UV). 9 Selain itu, asam salisilat juga memiliki efek

absorpsi sinar ultraviolet B (UVB) terutama pada gelombang 300-310 nm. Pada psoriasis, penggunaan asam salisilat topikal yang tidak dibersihkan sebelum fototerapi dapat mempe-ngaruhi hasil terapi.3 Sebagai tabir surya kimiawi, asam

salisilat diklasifikasikan dalam golongan non-PABA (para amino benzoic acid). Daya proteksi asam salisilat sebagai tabir surya lebih rendah 40% bila dibandingkan golongan PABA.22

Penggunaan Klinis Asam Salisilat Topikal

Psoriasis

Asam salisilat merupakan bahan tradisional yang digunakan pada terapi psoriasis. Zat tersebut kerap dikom-binasikan dengan ter maupun sulfur dalam vehikulum vaselin. Asam salisilat sering dikombinasikan dengan sediaan antralin untuk mencegah oksidasi.10 Efek desmolitik asam salisilat

terbukti meningkatkan penetrasi kortikosteroid topikal.24

Pengobatan bertahap dilakukan menggunakan mometason furoat 0,1% dan asam salisilat 5% selama 7 hari, dilanjutkan dengan mometason furoat 0,1% saja selama 14 hari. Pende-katan pertama lebih efektif mengeliminasi lesi psoriasi dibandingkan dengan aplikasi mometason furoat 0,1% saja.25

Penggunaan kombinasi asam salisilat dan betametason dipropionat sama efektif dengan salap kalsipotriol dalam mengobati psoriasis kuku selama 3 bulan terapi.26

Dermatitis Seboroik dan Psoriasis pada Skalp

Gatal dan skuama pada kepala dapat ditemukan sebagai manifestasi klinis pada pasien dermatitis seboroik dan pso-riasis. Berbagai sampo terapeutik mengandung asam salisilat 2-3%, serta kombinasi sulfur dan ter. Sampo tersebut cukup efektif dalam mengatasi psoriasis pada skalp dan dermatitis seboroik yang bermanifestasi sebagai seborrhea capitis sicca dan cradle cap.27

Iktiosis

Iktiosis merupakan penyakit gangguan keratinisasi akibat kelainan genetik yang bermanifestasi kulit kering dengan skuama yang berlebihan. Tata laksana iktiosis kerap kali kurang memuaskan. Terapi bertujuan mengurangi manifestasi klinis penyakit ini melalui efek hidrasi, lubrikasi, dan keratolitik.28 Preparat asam salisilat 3-6% dalam vehikulum

salap bermanfaat untuk mengeliminasi skuama tebal pada iktiosis vulgaris, x-linked ichthyosis, iktiosis lamelar, dan hiperkeratosis epidermolitik. Oklusi meningkatkan efektivitas terapi. 9 Kerusakan sawar yang terjadi pada iktiosis

menye-babkan klinisi harus berhati-hati dalam memberikan asam salisilat pada area yang luas, terutama pada anak. Pemberian asam salisilat sebaiknya diprioritaskan pada area yang tebal

(4)

untuk mencegah kejadian absorpsi dan toksisitas sistemik.29

Hiperkeratosis Lokalisata dan Kalus

Asam salisilat 50% dalam sediaan plester maupun salap (10-50%) dengan oklusi dapat digunakan untuk terapi kalus .3,9Asam salisilat 6% dalam sediaan gel (1x/hari selama

2 minggu) terbukti cukup efektif mengatasi hiperkeratosis lokalisata pada tumit, jari tangan, dan siku.1

Veruka

Asam salisilat merupakan bahan terapi veruka yang terbukti efektif dan relatif aman.9,17, 29 Asam salisilat topikal

merupakan terapi lini pertama pada veruka.30 Efektivitas asam

salisilat dalam terapi veruka berkaitan erat dengan efek desmolitiknya. Selain itu, asam salisilat menyebabkan iritasi ringan pada kulit, sehingga mampu menginduksi respons imun yang membantu mengeliminasi virus.18,30 Sediaan asam

salisilat topikal untuk terapi veruka bervariasi antara 10-60%. Terdapat pula sediaan kombinasi dengan asam laktat maupun podofilin. Masa terapi bervariasi sekitar 6-12 minggu.30

Bruggink melakukan uji klinis efektivitas bedah beku N2 dibandingkan dengan preparat asam salisilat topikal 40% dalam gel dan mendapatkan hasil terapi yang sama efektif antar keduanya.31 Uji klinis terapi veruka vulgaris antara

kombinasi asam salisilat/ asam laktat (setiap hari selama 3 minggu) dengan bedah beku (1x/minggu, selama 3 minggu), memberikan hasil yang tidak berbeda secara bermakna dalam efektifitas pengobatan.Uji kinis lainnya memperlihatkan kombinasi terapi bedah beku ditambah terapi topikal asam salisilat dan asam laktat lebih baik daripada bedah beku saja.30

Moluskum Kontagiosum

Leslie32 menelitipenggunaan asam salisilat gel 12% (2x/

minggu) sebagai terapi moluskum kontagiosum pada anak dan mendapatkan bahwa sediaan ini cukup efektif diban-dingkan plasebo (alkohol 70%). Ohkuma33 meneliti

peng-gunaan povidon iodine 10% dilanjutkan dengan plester asam salisilat 50% (1x/hari) untuk terapi moluskum kontagiosum. Kesembuhan total lesi dicapai dalam rata-rata 26 hari.

Dermatomikosis Superfisialis

Salap Whitfield yang mengandung asam salisilat 6% dan asam benzoat 12% telah lama digunakan sebagai preparat terapi tinea. Konsentrasi asam salisilat dan asam benzoat dapat diturunkan menjadi 3% dan 6% untuk mengurangi kejadian iritasi, namun kini penggunaannya sudah digantikan oleh preparat yang lebih efektif.3,9

Akne Vulgaris

Asam salisilat memiliki efek komedolitik ringan. Zat ini telah digunakan sejak tahun 1950 dalam berbagai preparat terapi akne yang meliputi krim, pembersih wajah, astringen, medicated pads, dan sabun.1,9 Di Amerika Serikat, konsentrasi

maksimal yang diperbolehkan dalam obat bebas adalah 2% dan digunakan paling banyak pada pembersih wajah.34

Penggunaan asam salisilat topikal 30% sebagai bahan peel-ing dalam terapi akne vulgaris semakin berkembang di Asia.5,35,36 Zat yang bersifat lipofilik ini mampu berpenetrasi

ke dalam unit pilosebaseus dan memberikan efek komedolitik, meskipun tidak sekuat retinoid. Asam salisilat topikal di-anggap cukup aman dan efektif dalam terapi akne. Zat ini kerap digunakan sebagai terapi topikal alternatif pada pasien yang tidak dapat menggunakan retinoid maupun benzoil peroksida, atau sebagai terapi tambahan terhadap modalitas terapi lain yang lebih efektif.37

Photoaging

Asam salisilat 14% merupakan salah satu bahan aktif dalam solusio Jessner yang digunakan sebagai bahan peel-ing untuk mengatasi melasma, akne, hiperpigmentasi, dan kerusakan kulit akibat sinar UV.38 Mekanisme asam salisilat

sebagai agen peeling kimiawi berkaitan dengan trauma pada epidermis yang selanjutnya akan mengaktivasi sel basal epi-dermis dan fibroblas. Hal tersebut menyebabkan efek regenerasi pada kulit yang rusak akibat sinar UV. Pada konsentrasi yang lebih rendah, asam salisilat digunakan sebagai bahan eksfoliatif untuk meningkatkan deskuamasi dan memperbaiki tampilan kulit menua. 9

Efek Samping Asam Salisilat Topikal

Absorpsi Sistemik

Secara umum penggunaan terapi topikal relatif lebih aman dan memiliki efek samping minimal bila dibandingkan dengan rute pemberian sistemik, namun terapi topikal memiliki potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan interaksi obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai.39

Penggunaan asam salisilat pada area yang luas dapat men-capai sirkulasi sistemik dalam jumlah yang signifikan.40 Asam

salisilat diabsorpsi secara cepat karena sifatnya yang cenderung lipofilik, terutama bila diberikan dalam vehikulum minyak/salap dengan atau tanpa oklusi.11 Bioavailibilitas

absopsi asam salisilat melalui kulit bervariasi antara 11,8%-30,7%.41 Asam salisilat yang diberikan secara topikal tidak

melalui metabolisme awal di hati, sehingga tidak mengalami penurunan signifikan jumlah zat aktif sebelum bekerja. Hal inilah yang menyebabkan asam salisilat relatif aman bila diberikan secara oral, namun dapat memberikan mani-festasi gejala kelainan saraf pusat akibat toksisitas pada pemberian secara topikal dalam dosis yang sama.41 Batas maksimal

pemberian asam salisilat adalah 2g/24 jam.18

Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Sistemik dan Toksisitas

Absorpsi Perkutan

Toksisitas asam salisilat perkutan berkorelasi langsung dengan absorpsi perkutan. Terdapat beberapa faktor yang

(5)

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, Juli 2012 2 8 1

mempengaruhi absorpsi perkutan, yaitu konsentrasi obat, vehikulum, penggunaan oklusi, luas permukaan aplikasi, frekuensi dan durasi aplikasi, serta keadaan kulit.Semakin tinggi konsentrasi obat maka akan semakin tinggi ke-mungkinan absorpsi sistemik. Penggunaan vehikulum minyak/ salap akan lebih mudah diserap dibandingkan krim.41

Semakin luas permukaan aplikasi, semakin sering frekuensi aplikasi dan semakin lama durasi pengunaan asam salisilat topikal, serta oklusi akan meningkatkan absorpsi sistemik. Keadaan kulit, terutama fungsi sawar, berpengaruh terhadap absorpsi asam salisilat perkutan. Asam salisilat telah terde-teksi dalam urin dalam 24 jam setelah aplikasi topikal pada penderita eritroderma. Penggunaan asam salisilat 3% dengan frekuensi 3x/hari pada seluruh area kulit kecuali wajah dan leher menyebabkan toksisitas sistemik pada hari ke-5.3

Usia

Populasi bayi, anak, dan lanjut usia memiliki risiko kejadian toksisitas lebih besar dibandingkan dewasa. Bayi dan anak memiliki perbandingan volume dan luas permukaan tubuh yang besar.41 Selain itu fungsi detoksifikasi dan

ekskresi belum berkembang secara sempurna.29 Pada usia

lanjut, volume cairan ekstravaskular juga lebih rendah.41

Fungsi Hati dan Ginjal

Asam salisilat mengalami metabolisme di retikulum endoplasmik dan mitokondria sel hati, serta di eksresi melalui ginjal sebagai asam salisilat bebas, salicyluric acid, dan asam gentisat. 11 Kegagalan fungsi hati akan menyebabkan kadar

asam salisilat dalam plasma meningkat sedangkan kegagalan fungsi ginjal akan menyebabkan ekskresi asam salisilat dan metabolitnya menurun, sehingga meningkatkan akumula-sinya dalam plasma.

Toksisitas Sistemik

Kejadian toksisitas sistemik akibat absorpsi asam salisilat melalui kulit jarang dijumpai, namun berpotensi menimbulkan gangguan serius, bahkan kematian. Lin dan Nakatsui3 melakukan telaah pada publikasi berbahasa Inggris

dan mendapatkan 32 kasus toksisitas sistemik akibat penggunaan asam salisilat topikal. Sebagian besar pasien yang mengalami toksisitas sistemik asam salisilat adalah pasien psoriasis (14) dan iktiosis (10). Gejala umumnya timbul pada awal inisiasi terapi (2-3 hari setelah terapi dimulai). Kematian terjadi pada 2 kasus.

Toksisitas akut asam salisilat melalui absorpsi topikal belum pernah diteliti pada manusia. Toksisitas perkutan asam salisilat pada kelinci, sangat rendah, dengan LD 50 >500mg/ kg berat badan. Dosis letal LD 50 adalah dosis zat yang menyebabkan kematian pada 50% populasi. Pada penelitian toksisitas subkronik asam salisilat topikal, dosis metil salisilat >5g/kg BB diduga bersifat nefrotoksik, namun data pen-dukung yang tersedia sangat terbatas.41 Gejala toksisitas

dapat diamati pada kadar plasma 200-400 µg/ml. Manifestasi klinis toksisitas sistemik pada berbagai sistem organ adalah sebagai berikut:

1. Salisilism

Salisilism merupakan suatu sindrom toksisitas asam salisilat yang bersifat kronik. Gejala yang timbul meliputi nyeri kepala, pusing, tinitus, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan perilaku (bingung, lesu, rasa kantuk), halusinasi, hiperventilasi, berkeringat, haus, dan gangguan saluran pencernaan; yaitu: mual, muntah, sampai dengan diare.11 Risiko kejadian salisilism meningkat

pada penggunaan jangka panjang meliputi area yang luas, anak, serta pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.42

2. Efek Neurologik

Pada toksisitas asam salisilat dapat terjadi gangguan neurologis berupa: pusing, rasa kantuk, vertigo, tinitus, gangguan pendengaran pada nada tinggi, delirium, dan psikosis. Pada keadaan toksisitas berat, pasien dapat pingsan bahkan koma. Tinitus dan gangguan pendengaran diduga terjadi akibat peningkatan tekanan pada labirin dan gangguan terhadap sel rambut koklea. Hal itu merupakan akibat sekunder terhadap vasokonstriksi pembuluh darah auditorik.11

3. Efek Respiratorik

Asam salisilat mampu menstimulasi pusat pernapasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Gejala dan tanda toksisitas respiratorik meliputi hiperventilasi, alkalo-sis respiratorik, dan asidoalkalo-sis metabolik. Efek ini mulai dapat diamati pada kadar plasma 350 µg/ml. Keadaan hiperven-tilasi pernafasan dapat diamati secara jelas pada kadar plasma 500 µg/ml. Bila keadaan ini terus berlanjut dapat terjadi depresi pernafasan yang berakhir pada kegagalan sistem perna-fasan.11

4. Efek Metabolik

Asam salisilat mampu menginduksi sekresi steroid oleh kelenjar adrenal. Efek inilah yang dimanfaatkan sebagai efek anti-inflamasi.11 Pada dosis tinggi asam salisilat dapat

mempengaruhi penggunaan glukosa yang berpotensi menyebabkan status hipoglikemik pada pasien.3

5. Efek Teratogenik

Pada kejadian absorpsi sistemik dalam dosis terapeutik sistemik, asam salisilat tidak terbukti memiliki efek teratogenik. Ibu yang mengkonsumsi salisilat dan turunannya dalam jangka waktu panjang selama masa kehamilan ternyata melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah. Peng-gunaan asam salisilat dalam jangka panjang pada trimester ke-3 dapat meningkatkan mortalitas perinatal akibat penu-tupan prematur duktus arteriosus, anemia, perdarahan an-tepartum dan postpartum, dan komplikasi pada proses

(6)

persalinan. 11

6. Interaksi Obat

Saat mengalami absorpsi sistemik, 80-90% asam salisilat pada plasma berikatan dengan protein (terutama albumin). Asam salisilat berkompetisi dengan berbagai obat yang terikat pada albumin, yaitu tiroksin, triodotironin, penisilin, fenitoin, kaptopril, probenesid, dan berbagai obat anti-inflamasi nonsteroid. Penggunaan asam salisilat secara bersamaan dengan antikoagulan lain (sebagai contoh: war-farin dan heparin), obat hipoglikemia, dan metotreksat perlu berhati-hati. Asam salisilat dapat meningkatkan toksisitas obat-obat tersebut.11

Klinisi perlu mempertimbangkan pendekatan sistemik secara rasional, misalnya: fototerapi atau terapi sistemik alternatif pada pasien dengan kelainan kulit yang luas. Pengetahuan ini mampu menjadi panduan dalam memak-simalkan efektivitas dan tolerabilitas asam salisilat sebagai bahan dermatoterapi topikal.40

Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak iritan merupakan efek samping yang paling sering dijumpai pada penggunaan asam salisilat topikal, terutama pada penggunaan konsentrasi tinggi.11

Tiong dan Kelly43 melaporkan dua kasus luka bakar derajat 2

pada penggunaan plester asam salisilat 40% untuk mengobati veruka pada lengan. Penggunaan asam salisilat konsentrasi tinggi oleh pasien di rumah hendaknya dibekali dengan edukasi tentang penggunaannya dengan tepat.

Asam salisilat memiliki potensi sebagai bahan sensi-tizer lemah. 3,9,43,44 Kepustakaan yang melaporkan sensitisasi

akibat kontak terhadap asam salisilat topikal sangat terbatas.45

Lin dan Nakatsui,3 melaporkan enam kasus pasien yang

mendapatkan terapi asam salisilat topikal dan memiliki hasil uji tempel yang positif terhadap asam salisilat.Hidson46

melaporkan satu kasus kejadian dermatitis kontak alergik terhadap metil salisilat yang diperberat dengan pemberian aspirin secara oral.

Pasien yang diduga mengalami dermatitis kontak alergik terhadap asam salisilat topikal dapat memberikan hasil uji tempel yang negatif terhadap asam salisilat. Pasien dapat mengalami dermatitis kontak alergik terhadap kom-ponen lain yang terkandung dalam sediaan asam salisilat topikal tersebut.9

Kontraindikasi

Penggunaan asam salisilat topikal relatif aman. Zat ini digunakan sebagai obat bebas di Amerika Serikat dalam konsentrasi 1-40%. Konsentrasi yang lebih tinggi dapat diberikan dengan kewaspadaan dan edukasi penggunaan yang tepat. Pasien dengan riwayat sensitivitas atau alergi kontak terhadap asam salisilat topikal sebaiknya tidak diberikan preparat ini.6

Tidak terdapat penelitian penggunaan asam salisilat

topikal pada ibu hamil maupun ibu menyusui. Asam salisilat diekskresi pada ASI dan berpotensi menimbulkan abnor-malitas trombosit dan perdarahan pada bayi. Penggunaan aspirin pada ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan. Asam salisilat masuk dalam kategori C oleh FDA.47 Terdapat laporan

kasus kejadian sindrom Reye pada penggunaan aspirin per-oral pasien dengan varisela sehingga salisilat dan turunannya tidak direkomendasikan pada pasien yang menderita varisela, enam minggu pasca- varisela, dan pasien yang baru mendapat vaksinasi varisela.47

Produk dan Peresepan Dalam Racikan

Asam salisilat telah menjadi bahan aktif utama dalam berbagai produk terapi topikal. Sediaan asam salisilat dapat berupa salap, krim, solusio, gel, plester, maupun sampo.10,27

Saat ini dikenal pula berbagai vehikulum baru yaitu liposom yang mampu membawa asam salisilat dalam konsentrasi tinggi ke sel target dengan efek iritatif yang minimal.48

Sediaan asam salisilat bervariasi dengan konsentrasi 0,5%-60%.17 Selain itu asam salisilat juga kerap menjadi bahan

kombinasi dengan zat aktif lain untuk meningkatkan penetrasi dan aktivitas zat aktif tersebut (efek sinergistik).

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dalam sifat kimia, asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam lemak. Kelarutan dalam air dapat ditingkatkan dengan menambahkan amonium sitrat, kalium sitrat, dan natrium fosfat. Pemberian asam salisilat dengan oxydum zincicum akan membentuk senyawa salicylicum zincicum yang tidak aktif. Asam salisilat tidak dapat dicampurkan ke dalam vanishing cream, sebab cincin aromatiknya akan menghancurkan komponen sabun yang diperlukan dalam pembentukan emulsi.3 Pencampuran asam salisilat dengan

kalsipotrien tidak dianjurkan karena membuat senyawa yang tidak stabil.1

Kombinasi asam salisilat dengan kortikosteroid topikal, misalnya pada terapi psoriasis, sebaiknya memperhatikan faktor kestabilan jenis kortikosteroid dalam asam. Jenis korti-kosteroid yang stabil dalam kondisi asam adalah flusinolon.18

Kombinasi asam salisilat dengan sulfur memiliki efek sinergistik yaitu meningkatkan aktivitas keduanya sebagai bahan keratolitik dan antipruritus. Demikian pula penambahan asam salisilat pada preparat antralin memiliki efek mengun-tungkan, yaitu mencegah oksidasi antralin.3

Untuk bekerja dengan optimal, pembuatan produk yang mengandung asam salisilat harus memerhatikan pKa, yaitu pH optimal yang menyebabkan konsentrasi bentuk senyawa terionisasi dan tidak terionisasi berada dalam keadaan seimbang. Formulasi sediaan asam salisilat yang efektif ialah yang memiliki pH mendekati 2,97, sehingga memiliki efek deskuamasi yang optimal.3

Penutup

Asam salisilat sebagai bahan keratolitik tertua masih digunakan secara luas pada dermatoterapi topikal dan

(7)

peng-J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 7, peng-Juli 2012

gunaannya semakin berkembang. Asam salisilat sebagai zat aktif utama maupun tambahan tersedia dalam berbagai produk dengan beragam vehikulum. Meskipun penggunaan asam salisilat relatif aman, dapat terjadi absorpsi sistemik yang berpotensi menimbulkan toksisitas sistemik. Penggunaan asam salisilat harus tetap berhati-hati dan tidak boleh diberikan pada area yang luas dalam jangka panjang. Populasi bayi, anak, wanita hamil, usia lanjut, pasien dengan gangguan fungsi hati dan/ ginjal, dan pasien diabetes melitus yang mendapatkan asam salisilat topikal harus mendapatkan edukasi dan pengawasan yang baik. Penggunaan pada area yang luas dalam jangka waktu panjang sebaiknya dihindari. Klinisi perlu memahami interaksi antara konsentrasi obat, bioavailibilitas penetrasi yang bervariasi sesuai vehikulum dan prosedur oklusi, serta prinsip manajemen berbagai penyakit kulit secara holistik untuk meminimalkan risiko toksisitas pada pemberian asam salisilat topikal.

Daftar Pustaka

1. Del Rosso J. Pharmacotherapy update: current therapies and research for common dermatologic conditions. The many roles of topical salicylic acid. Skin and Aging. 2005;13:38-42. 2. Hessel AB, Cruz-Ramon JC, Lin AN. Agents used for treatment

of hyperkeratosis. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007;41:745-60.

3. Lin AN, Nakatsui T. Salicylic acid revisited. Int J Dermatol. 1998;37:335-42.

4. Lee HS, Kim IH. Salicylic acid peels for the treatment of acne vulgaris in Asian patients. Dermatol Surg. 2003;29:1196–9. 5. Grimes PE. The safety and efficacy of salicylic acid chemical

peels in darker racial-ethnic groups. Dermatol Surg. 1999; 25:18-22.

6. Fung W, Orak D, Re TA, Haughey DB. Relative bioavailability of salicylic acid following dermal application of a 30% salicylic acid skin peel preparation. J Pharmaceutical Sciences. 2008; 97(3):1325-8.

7. Collier AP, Freeman SR, Dellavalle RP. Acne Vulgaris. In: Will-iams H, editor. Evidence-based dermatology. 2nd Ed. Singapore: Blackwell Publishing; 2008. p. 83-104.

8. Gibbs S. Local treatments for cutaneous warts. In: Williams H, editor. Evidence-based dermatology. 2nd Ed. Singapore: Blackwell Publishing; 2008. p. 347-53.

9. Hessel AB, Cruz-Ramon JC, Lin AN. Agents used for treatment of hyperkeratosis. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive der-matologic drug therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 745-60.

10. Parish LC, Witkowski JA. Tradisional therapeutic agents. Clin Dermatol. 2000;18:5-9.

11. Burke A, Smyth E, FitzGerald GA. Analgesic-Antipyretic agents; Pharmacotherapy of gout. In: Brunton LL, editor. Goodman & Gilman’s The Pharmacological basis of therapeutics. 11th Ed. New York: Pergamon Press; 2005. p. 671-715.

12. Jabarah A, Gilead LT, Zlotogorski Z. Salicylate intoxication from topically applied salicylic acid. J Eur Acad Dermatol Venereal. 1997;8:41-2.

13. Davies M, Marks RL. Studies on the effect of salicylic acid on normal skin. Br J Dermatol. 1976;95:187.

14. Roberts DL, Marshal R, Marks R. Detection of the action of salicylic acid on the normal stratum corneum. Br J Dermatol. 1980;102:191-6.

15. Imayama S, Ueda S, Isoda M. Histologic changes in the skin of hairless mice following peeling with salicylic acid. Arch Dermatol.

2000;136:1360-5.

16. Leveque JL, Saint-Leger D. Salicylic acid and derivatives. In: Leyden JJ, Rawlings AV, editors. Skin moisturization. New York: Marcel Dekker; 2002. p. 353-64.

17. Burkhart CN, Katz KA. Other topical medications. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatologic in general medicine. 7th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2130-7.

18. Baden HP, Baden LA. Keratolytic agents. In: Wolff K, Gold-smith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitz Patrick Dermatology in General. 5th Ed. New York: Mc Graw Hill medical. 2003; p. 2352-5.

19. Djuanda A. Pengobatan topikal dalam dermatologi. Maj Kedok Indon. 1994;(Suppl):S15-6.

20. Draelos ZD. Salicylic acid in the dermatologic armentarium. Cosmet Derm. 1997;10(suppl 4):S7-8.

21. Bashir SJ, Dreher F, Chew AL, Zhai H, Levin C, Stern R, et al. Cutaneous bioassay of salicylic acid as a keratolytic. Int J Phar-maceutics. 2005;292:187-94.

22. Lim HW. Photoprotection and sun-protective agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatologic in general medicine. 7th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2137-41.

23. Jones JB. Topical therapy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of dermatology. Singapore: Wiley Blackwell; 2010. p. 1-52.

24. Lebwohl M. The role of salicylic acid in the treatment of psoria-sis. Int J Dermatol. 1999;38:16-24.

25. Tiplika GS, Salavastru CM. Mometasone furoate 0.1% and sali-cylic acid 5% vs. mometasone furoate 0.1% as sequential local therapy in psoriasis vulgaris. J Eur Acad Dermatol Venerol. 2009;23:905-12.

26. Tosti A, Piraccini BM, Cameli N, Kokely F, Plozzer C, Cannata GE, et al. Calcipotriol ointment in nail psoriasis: a controlled double-blind comparison with betamethasone dipropionate and salicylic acid. Br J Dermatol. 1998;139:655-9.

27. Brodell RT, Cooper KD. Therapeutic shampoos. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 719-29.

28. Rubeiz N, Kibbi AG. Management of ichtiosis in infants and children. Clin Dermatol. 2003;21:325–8.

29. Gibbs S, Harvey S. Topical treatments for cutaneous warts. [Cochrane review] In: The Cochrane Library, issue 1, 2009. Wiley Intersience.

30. Micali G, Dall’Oglio F, Nasca MR, Tedeschi A. Management of cutaneous warts: An evidence-based approach. J Clin Dermatol. 2004;5:311-7.

31. Bruggink SC, Gussekloo J, Berger MY, Zaaijer K, Assendelft WJJ, de Wall MWM, et al. Cryotherapy with liquid nitrogen versus topical salicylic acid application for cutaneous warts in primary care:randomized controlled trial. Canad Med Associat J. 2010;182:1624-30.

32. Leslie KS, Dootson G, Sterling C. Topical salicylic acid gel as a treatment for molluscum contagiosum in children. J Dermatol Treatment. 2005;16:336-40.

33. Ohkuma M. Molluscum contagiosum treated with iodine solution and salicylic acid plaster. Pharmacol and therapeutics. 1990;29:6:443-5.

34. Akhavan A, Bershad S. Topical acne drugs: review of clinical properties, systemic exposure, and safety. Am J Clin Dermatol. 2003;4:473-92.

35. Garg KV, Sinha S, Sarkar R. Glycolic acid peels versus salicylic– Mandelic acid peels in active acne vulgaris and post-acne scarring and hyperpigmentation: a comparative study. Dermatol Surg. 2009;35:59-65

36. Dainichi T, Ueda S, Imayama S, Furue M. Excellent clinical results with a new preparation for chemical peeling in acne: 30% salicylic acid in polyethylene glycol vehicle. Dermatol Surg.

(8)

2008;34:891–9.

37. Bole WP, Shalita AR. Effective over the counter acne treat-ments. J S Cutan Dermatol. 2008;170-6.

38. Sharquie K, Al Tikreety MM, Al Mashhadani SA. Lactic acid chemical peels as a new therapeutic modality in melasma in comparison to Jessner’s solution chemical peels. Dermatol Surg. 2006;32:1429–36.

39. Bergstrom KG, Strober BE. Principles of topical therapy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatologic in general medicine. 7th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 2091-6. 40. Aronson PJ. Systemic adverse effects due to topical medications.

In: Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 803-12. 41. Belsito D, Bickers D, Bruze M, Calow P, Greim H, Hanifin JM, et

al. A toxicologic and dermatologic assessment of salicylates when used as fragrance ingredients. J Food and Chemical Toxicol. 2007;45:(Suppl.)318-61.

42. Fox LP, Merk HF, Bickers. Dermatological pharmacology. In: Brunton LL, editor. Goodman & Gilman’s The pharmacological basis of therapeutics. New York: Pergamon Press; 2005. p. 1679-706.

43. Tiong WHC, Kelly EJ. Salicylic acid burn induced by wart remover:A report of two cases. Burns. 2009;35:139-40. 44. Goh CL, Ng SK. Contact allergy to salicylic acid. Contact

Der-matitis. 1986;14:114.

45. Rudzki E, Koslowska A. Sensitivity to salicylic acid. Contact Dermatitis. 1976;178-82.

46. Hindson C. Contact eczema from methyl salicylate reproduced by oral aspirin. Contact Dermatitis. 1977;3:348-9.

47. Physician desk reference. 56th Ed. New York: Medical Econo-mics Company Inc; 2002.

48. Thau P, Tech P. Controlled delivery and enhancement of topical activity of salicylic acid. In: Rosen MR, editor. Delivery systems handbook for personal care and cosmetic product. New York: William Andrew; 2005. p. 873-90.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan keyword “Keakraban”, diharapkan dapat dijadikan acuan dalam memberikan visualisasi dan dapat menyampaikan maksud dan tujuan yang sesuai dengan

Dalam perang besar Baratayuda, dewata ternyata berpihak kepada Pandawa. Keberpikahan para Dewa ini ditunjukan dengan bergabungnya Prabu Kresna kepada Pandawa. Perlu

Strategi untuk meningkatkan pendaftaran bagi calon mahasiswa baru yang tepat sasaran untuk setiap wilayah berdasarkan cluster yang terbentuk adalah dengan mengirim tim

Dan juga pengelolaan administrasi yang baik dibutuhkan untuk dapat mempermudah pihak manajemen universitas dalam melaksanakan rekrutmen pegawai dan juga membantu

Setelah dilakukan penelusuran variabel penyebab pengamatan yang out of control, kemudian perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan proses produksi Woven

Truck, angkutan barang jenis box yang bertonase di atas 1 (satu) ton dan sejenisnya Rp 1.500,00 (seribu lima ratus rupiah)c. Angkutan barang jenis box yang bertonase sampai dengan

utama. HSR I  – V merupakan sub-alur yang berfungsi untuk memperkenalkan Rawana yang nanti dalam hidup Rama akan memegang peranan yang penting. Pola semacam ini dijumpai

Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan total kandungan DOC pada sampah yang masuk ke ke TPA Tanjung Belit, Kota Pasir Pangaraian Kabupaten Rokan Hulu