1. Trauma oromaksilofasial a. Definisi:
b. Klasifikasi : gejala klinis , penatalaksanaan , dampak, prognosis c. Pemeriksaan penunjang 2. Tingkat kesadaran a. Definisi b. Klasifikasi c. Interpretasi d. Jenis pemeriksaan
3. Penanganan kegawatan fraktur oromaksilofasial a. Definisi
b. Prosedur : laserasi, avulsi, floating, fraktur mahkota terbuka c. Kontra dan indikasi
2.4 Penatalaksanaan Pasien Fraktur Maksilofasial (Fonseca, 2005; Hupp et al., 2008)
2.4.1 Kontak Awal Pasien
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan
pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka. Advance Trauma
Life Support (ATLS) yang dianjurkan oleh American College of Surgeon ialah perawatan
trauma ABCDE.
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
1.
Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
2.
Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah untuk membuka
jalan nafas oral dan nasofaringeal.
3.
Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua kondilus
dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.
B: Breathing and adequate ventilation
1.
Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua
kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.
C: Circulation with control of hemorrhage
1.
Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas dan
mengontrol perdarahan.
2.
Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.
3.
Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang meluas dan
perdarahan kepala.
D: Disability: neurologic examination
1.
Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi.
2.
Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung maupun tdak
langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon yang dapat mengaburkan
pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.
3.
Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol atau obat)
yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.
E: Exposure/ enviromental control
2.
Menghilangkan lensa kontak.
2.4.2 Penilaian Glasgow Coma Scale (Hupp et al., 2008)
Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran
yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali
terjadi trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon
membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan berdasarkan skor
yang diperoleh berdasarkan tabel berikut.
Tabel 2.3 Glasgow Coma Scale (GCS)
Glasgow Coma Scale
Nilai
Respon Membuka Mata
(E)
Buka mata spontan
4
Buka mata bila dipanggil
/ ada rangsangan suara
3
Buka mata bila ada
rangsang nyeri
2
Tidak ada reaksi dengan
rangsangan apapun
1
Respon Verbal
(V)
Komunikasi verbal baik,
jawaban tepat
5
Bingung, disorientasi
waktu, tempat, dan orang
4
Kata-kata tidak teratur
3
Suara tidak jelas
2
Tidak ada reaksi dengan
rangsangan apapun
1
Mengikuti Perintah
6
Dengan rangsangan nyeri,
dapat mengetahui tempat
rangsangan
5
Dengan rangsangan nyeri,
menarik anggota badan
Respon Motorik
(M)
Dengan rangsangan nyeri,
timbul reaksi fleksi
abnormal
3
Dengan rangsangan nyeri,
timbul reaksi ekstensi
abnormal
2
Dengan rangsangan nyeri,
tidak ada reaksi
1
Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5), dan respon
membuka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya, cedera kepala
dikelompokkan menjadi :
(1)
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
(2)
Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13
(3)
Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
Glasgow Coma Scale ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian
tergantung pada respon verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi baru lahir,
bayi, dan anak kecil. Oleh karena itu, diajukan beberapa modifikasi untuk anak. Anak dengan
kesadaran normal mempunyai nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan gangguan
kesadaran ringan, nilai 9-11 berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai dibawah 8
menunjukkan koma berat. (The Paediatric Accident and Emergency Research Group, 2008)
Tabel 2.4 Glasgow Coma Scale Modifikasi Untuk Bayi dan Anak
Glasgow Coma Scale
Nilai
Respon Verbal
(V)
Berceloteh, bersuara,
berkata-kata seperti
biasanya
5
Rewel, Bingung
4
Menangis bila ada
rangsangan nyeri,
berkata-kata tidak jelas
3
Merintih bila ada
rangsang nyeri, bersuara
tidak jelas
2
Tidak ada reaksi dengan
rangsangan apapun
2.4.3 Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis (Fonseca, 2005; Hupp et al.,
2008)
Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien
penderita fraktur maksilofasial ialah:
1.
Bagaimana kejadiannya?
2.
Kapan kejadiannya?
3.
Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang kemungkinan
dapat menyebabkannya?
4.
Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5.
Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi, perubahan
penglihatan, dan maloklusi?
Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi
tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.
Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan
sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.
Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman
penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan
infraorbital, dan obstruksi jalan nafas.
Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada
rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.
Gambar 2.8 Perubahan Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral Pasien Instalasi
Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung
Menandakan Adanya Fraktur Mandibula.
Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik
termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi
terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma
seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama
dengan adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur
zigomatikus kompleks dan fraktur rima orbita.
Gambar 2.9 Hematoma Pada Orbita Sinistra Pasien Fraktur Maksilofasial di Instalasi Gawat darurat
RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa
penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.
Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral
mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi
pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila,
stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu
tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat
mobilisasi maksila.
Gambar 2.11 Pemeriksaan Mobilisasi Maksila (Hupp et al., 2008)
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di
daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area
tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika
adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari
telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.
2.4.4
Pemeriksaan Radiografis (Hupp et al., 2008)
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan
radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
Pemeriksaan
radiografis
pada
mandibula
biasanya
memerlukan
foto
radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral oblique
view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga
digunakan foto oklusal dan periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang
dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak
pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai
gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian
radiografi.
Pemeriksaan
radiografis
untuk
fraktur
sepertiga
tengah
wajah
dapat
menggunakan Water’s view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dansubmental
vertex view.
2.4.5 Perawatan Fraktur Maksilofasial (Hupp et al., 2008)
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah
penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi
nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase
perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi
pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa
tidak nyaman.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus
dipersiapkan sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur
(mengembalikan segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi
segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi segmen-segmen-segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai
tambahan, sebelum tindakan, oklusi sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur
sebaiknya di cegah dan dihilangkan terlebih dahulu.
Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat
merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka
dibiarkan terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi
dan malunion.
Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga
reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara
langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar.
Gambar 2.12 Jenis Teknik Maxillomandibular fixation wiring Arch bar Pada Pasien Fraktur Maksilofasial
Instalasi Gawat Darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi
terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka
dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka
ialah berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur
angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi
segmen proksimal mandibula.
2.5.2 Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras
wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.a
a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus. b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula
Gambar 4. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B. Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis
Gambar 5. Fraktur pada daerah mandibula : A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis
2. Berdasarkan Tipe fraktur :9
a. Fraktur simpel
• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
• Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
b. Fraktur kompoun
• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
c. Fraktur komunisi
• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.
• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
d. Fraktur patologis
• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
3. Perluasan tulang yang terlibat 3,9
1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )
4 . Konfigurasi ( garis fraktur ) 7,9
1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. 2. Oblique ( miring )
3. Spiral (berputar) 4. Komunisi (remuk)
5. Hubungan antar Fragmen 3
1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat 2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :
a. Angulasi / bersudut b. Distraksi
c. Kontraksi d. Rotasi / berputar e. Impaksi / tertanam
Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : 8
a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti
h. Lateral ke midline dalam regio insisivus
a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita) b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III c. Fraktur segmental mandibula
Gambar 6. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital)
2.6 Patofisiologi Trauma Maksilofasial1
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak.
Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.1
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior
sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat
disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medialorbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan
dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.1,7
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari trauma
langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.9
Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan memisahkan proses
alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus.
Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas melalui tulang lacrimalis;
ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.
Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah dari dasar
tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis fraktur meluas melalui
tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.9
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher
condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.8
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat
hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah.1
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah
atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.1
2.7 Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula.
Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
Rasa nyeri pada sisi fraktur.
Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.
Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.
Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris.
Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan
penurunan visus.3,10
2.8.1 Anamnesa 1
Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu,
merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut: bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian, untuk berapa lama? Apakah gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo? Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas-cairan dari hidung atau telinga?Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah ada rasa sakit atau
kejang otot? Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa
seperti kedudukan gigi tidak normal? Apakah daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?
2.8.2 Pemeriksaan Fisik1,3
A. Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. Luka tembus.
Asimetris atau tidak.
Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. Cedera kelopak mata.
Ecchymosis, epistaksisi.
Defisit pendengaran.
Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas
B. Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan
perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil. 2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang
frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata,
ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis danproptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, sepertihyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara
bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan"
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan
dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur,
atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani,
hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan
memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung.
16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral, air mata,
atau adanya krepitasi.
18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak
dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
19. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk,
atau ecchymosis.
20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka
dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
21. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.3
2.9 Pemeriksaan Penunjang3
1. Wajah Bagian Atas :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT-scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala 2. Wajah Bagian Tengah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles).
3. Wajah Bagian Bawah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
Panoramic X-ray.
Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi : - Posteroanterior (Caldwells).
- Posisi lateral (Schedell). - Posisi towne.
Gambar 7. Pemeriksaan Radiologi
2.10 Penatalaksanaan3
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu meliputi : 1. Periksa kesadaran pasien.
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih. 3. Apakah ada Hematoma :
a. Fraktur Zygomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secaracepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b.Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat kearah medial. c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?
Apakah sejajar atau bergeser ?
Apakah pasien bisa melihat ?
Apakah dijumpai diplopia ? Hal ini karena :
o Pergeseran orbita
o Pergeseran bola mata
o Paralisis saraf ke VI
o Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas, iregularitas dan krepitasi. Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,pada fraktur Le Fort tipe II atau III
banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf
Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas). f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya.
2.11 Prosedur penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma maksilofacial.11
Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani secara sistematis, di titik beratkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma.
1. Apakah Pasien dapat bernapas ?
Jika sulit : Ada obstruksi. Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak. 2.Curiga adanya Fraktur Mandibula.
Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki jalan napas dan
sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.
Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep khusus (Rowes) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan.
Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya,dan secara lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi
4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan
Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepalapada salah satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut di antara pegangan.
5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk
Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya. Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah. Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.
6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah
Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebalyang sejenis ke satu sisi.
Jika terjadi perdarahan : Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan. Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.
Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial : a. Memperbaiki jalan napas.
b. Mengontrol perdarahan.
c. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.
d. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma
7. Pemeriksaan Intra Oral.
Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :
Mandibular floating.
Maxillar floating.
Zygomaticum floating
Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau
fraktur pada tulang tersebut.3
Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainnya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan
ini dengan baik dapat berakibat fatal.11
Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi dalam 2 kelompok : 1. Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat darurat.
2. Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat darurat :
1.Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area diikuti dengan teknik ATLS
2.Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : Dengan jari, O-slik suture atau dengan handuk
3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi 4. Berikan oksigenasi yang adekuat .
5.Monitor tanda vital setiap 5 ± 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.
6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan. 7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum /elektrolit / kreatinin. 8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.
a. Penekanan langsung. Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.
b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selama 5 ± 10 menit.3,11
Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan luka pada wajah :
1. Asepsis.
2. Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.
3. Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah dijahit. 4. Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka.
5. Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.
6. Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti.
7. Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang hanya berfungsi sebagai pemegang
8. Eksposure, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan dan perawatan luka