• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi

A. Pengenalan Atas Wacana

Wacana adalah kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Sedangkan menurut Michael Foucault (1972), wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.

Menurut Eriyanto (Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media), Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam bahasa. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) -- Analisis Isi (kuantitatif)

Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna

(2)

dari sang pembicara. --Analisis Framing (bingkai)

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse

analysis).

B. Paradigma Kritis

Everett M. Roger, seperti dikutip oleh Eriyanto, mengemukakan bahwa “media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan.” Saya memahami pernyataan Everett M. Roger bahwa media memiliki kemungkinan besar dikuasai oleh kelompok berkuasa atau kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan.

Menurut Eriyanto ada beberapa pertanyaan yang muncul dari sebuah paradigma kritis. Yaitu: siapa yang mengontrol media? Kenapa ia mengontrol? Keuntungan apa yang bisa diambil dengan kontrol tersebut? Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi obyek pengontrolan?

Mengapa pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting? Karena paradigma kritis ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan, bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Sehingga jawaban yang diharapkan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol suatu proses komunikasi.

Menurut Horkheimer, seperti dikutip Eriyanto, salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Karena kondisi masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak.

(3)

Mengenai paradigma kritis, Stephen W. Littlejohn, seperti dikutip Alex Sobur, menjelaskan: “Perkembangan teori komunikasi massa yang didasarkan pada tradisi kritis Eropa (Marxis) cenderung memandang media sebagai alat ideologi kelas dominan. Tradisi Eropa berusaha mematahkan dominasi model komunikasi Amerika yang notabene adalah penganut aliran Laswellian ataupun stimulus-respon, teori yang berasumsi khalayak adalah konsumer pasif media massa. Dengan kata lain, fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses yang linear atau sebatas transmisi (pengiriman) pesan kepada khalayak massa, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan (atau teks) berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan memproduksi makna tertentu.”

Dari pernyataan yang diberikan Stephen W. Littlejohn dan Everett M. Roger mengenai paradigma kritis, saya dapat menyimpulkan bahwa media merupakan sebuah alat penyebaran ideologi kelas dominan (para penguasa maupun pemilik modal). Sehingga komunikasi didefinisikan sebagai sarana pertukaran pesan yang bertujuan memproduksi makna tertentu, dimana komunikasi tersebut tentunya mewakili kepentingan kelompok dominan.

Menurut Stuart Hall, paradigma kritis bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah oleh kaum pluralis, tetapi juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari sebuah pertarungan kekuasaan. Karena melalui media, nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak.

Dalam proses pembentukan realitas, Stuart Hall menekankan pada dua titik, yaitu bahasa dan penandaan politik. Penandaan politik disini diartikan sebagai bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna. Menurut Hall, media berperan dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu, dan menunjukkan bagaimana kekuasaan ideologi di sini berperan – karena ideologi menjadi bidang di mana pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat.

Peta Paradigma dan Teori Wacana dalam CDA

(4)

Teori Wacana Michel Foucault Louis Althusser Antonio Gramsci Juergen Habermas Posmodernisme Postcolonialism Political Economy Gender and Feminism Religius Order

Julia Kristeva Mikhail Bakhtin Valentin N. Volosinov

Model CDA Roger Fowler

Theo van Leewen Sara Mills

Teun A. Van Dijk Norman Fairclough Ruth Wodak Shoemaker-Reese

C. Teori Kritis dan CDA

Guna mencapai tujuan objektifnya, yaitu membongkar praktik ideologis dalam teks, CDA membutuhkan amunisi dari teori-teori kritis. Teori-teori ini membantu peneliti CDA untuk memahami bagaimana ideologi (atau kepentingan tertentu) memproduksi teks. Dengan kata lain, teori-teori tersebut membantu peneliti untuk memahami kerangka kerja CDA.

Michel Foucault: Kuasa dan Wacana

Bagaimana wacana diproduksi, siapa yang memproduksi, dan apa efek dari produksi wacana? Wacana adalah sesuatu yang memproduksi yang lain, baik itu gagasa, konsep, maupun efek. Kuasa tidak dimiliki tapi dipraktekkan. Ini mewujud di antaranya dalam praktik pemakaian bahasa. Untuk menormalisasi atau mendisiplinkan khalayak agar bersetia dengannya. Realitas dipahami sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana. Kita baru bisa memahami wacana tersebut jika kita punya akses pada pembentukan struktur diskursif. Struktur ini mendefinisikan batasan objek, definisi dari pespektif yang sah, maka dipandang benar.

(5)

Jelas, wacana berhubungan dengan kekuasaan. Wacana adalah wujud dari praktik-praktik kekuasaan. Wacana tidaklah steril. Karena wacana menyangkut legitimasi, maka tentu ada wacana alternative di luar wacana yang dominan (artinya ‘sah’ menurut kekuasaan tertentu). Wacana itu adalah wacana terpinggirkan (marginalized discourse) yang tidak dilegitimasi kuasa tersebut, atau wacana yang terpendam (submerged discourse)

Louis Althusser: RSA dan ISA

Althusser mengadopsi gagasan-gagasan Marxian untuk menganalisis masyarakat. Ia meyakini adanya struktur ideologis yang mendominasi arus kesadaran subjek dalam praktik kehidupan sehari-hari. Struktur menciptakan subjek, praktik kehidupan sehari-hari. Struktur menciptakan subjek, yaitu kita, dalam proses interpelasi. Media, dalam hal ini, menjadi salah satu agen interpelasi yang ampuh. Bagi Althusser, ideologi sebagai superstruktur dominant merupakan wujud negara. Terdapat dua dimensi negara: repressive state apparatus (RSA) adalah institusi negara yang mendisiplinkan subjek melalui kuasa represif, misalnya militer, peradilan, dsb. Sifatnya eksplisit. Sedangkan ideological state apparatus (ISA) adalah kuasa yang berwujud prinsip hidup, visi dan misi, dasar negara. Tercipta dalam ruang pendidikan, agama, budaya, seni, dan lain-lain. Sifatnya implisit.

Antonio Gramsci: Hegemoni

Teori dasarnya berbunyi: hegemoni adalah dominasi yang dicapai lewat konsensus yang ‘sengaja’ diciptakan. Media, dalam hal ini, menciptakan konsensus tersebut sehingga khalayak tidak merasa dimanipulasi kesadarannya. Meminjam konsep Gramsci, ‘hegemoni’, Althusser menunjukkan bahwa wacana merupakan produk hegemoni ideologi.

Juergen Habermas: Public Sphere

Gagasan Public Sphere Juergen Habermas diawali dengan konsep bahwa yang namanya ruang public sejatinya merupakan ruang terbuka tempat semua

(6)

wacana dilontarkan dan tidak ada factor kuasa. Dalam praltiknya, ternyata ruang publik menjadi ajang konflik kekuasaan dan kepentingan.

Julia Kristeva: Intertekstualitas

Menurut teori ini proses intermediary terjadi ketika teks menjadi alat atau produk kekuasaan. Intertekstualitas memiliki dua makna. Pertama, menyatakan bahwa sebuah teks senantiasa terkait dengan wacana yang mendahuluinya. Kedua, intertekstualitas berimpilkasi adanya genre/struktur/format diskursif tertentu yang mengaitkan sebuah teks dengan teks atau wacana lainnya. Wodak mengistilahkannya sebagai ‘skema atau frame’.

Mikhail Bakhtin dan Valentin N. Volosinov: Properti dialog teks

Pada dasarnya ini sama saja dengan intertekstualitas. Teks dipandang bergantung pada repertoir genre yang telah ditentukan sebelumnya.

D. Media massa

Menurut Alex Sobur, media (pers) sering disebut banyak orang sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat. Bahkan, media, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial-budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch, menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government).

Alex Sobur sendiri mendefinisikan media massa sebagai: “Suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.”

Berdasarkan pendefinisian media massa menurut Alex Sobur, dapat dipahami bahwa media massa merupakan suatu alat yang digunakan untuk menyebarkan pendapat

(7)

umum (opini publik) dari pihak-pihak dominan, misalnya pemerintah. Biasanya kelompok dominan menggunakan media massa untuk melakukan pengkonstruksian realitas yang berujung pada upaya legitimasi masyarakat terhadap suatu wacana.

Louis Althusser, menulis bahwa, “Media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai saran legitimasi. Media massa sebagimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological

states apparatus).”

Namun, pandangan Althusser tentang media ini dianggap Antonio Gramsci, dalam Al-Zastrouw, mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies).

Antonio Gramsci dalam Alex Sobur melihat, “Media sebagai ruang di mana berbagai ideologi di representasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.”

Dari semua penjabaran mengenai media massa, saya menyimpulkan, media massa merupakan alat atau sarana penyebaran ideologi kelompok dominan, alat legitimasi, dan alat kontrol sosial atas wacana publik. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya praktek diskursif oleh media terhadap kelompok-kelompok marjinal, yang ditekan oleh kelompok dominan (penguasa). Bahkan, praktek diskursif tadi dapat dimanfaatkan media sebagai alat legitimasi atau pembenaran-pembenaran terhadap suatu konteks permasalahan yang tidak sesuai dengan ideologi dominan.

Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Begitu juga media cetak, isi media cetak menggunakan teks dan bahasa.

Guy Cook menyebut tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut, “Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga

(8)

semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.” Jelas, teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana.

Menurut Ibnu Hamad, benar bahwa unsur utama dalam konstruksi realitas adalah bahasa. Kemudian ia mengutip dari Giles dan Wiemann, “bahasa (teks) mampu menentukan konteks”. Karena lewat bahasa disini orang mencoba mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya) melalui pemilihan kata yang secara efektif mampu memanipulasi konteks.

Namun, menurut Hotman M. Siahaan: “Bahasa tak dapat dipandang sebagai alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara wewenang menunjuk sesuatu realitas monolitik. Bahasa merupakan bahasa sosial dan bukan sesuatu yang netral atau konsisten, melainkan partisipan dalam proses tahu, budaya, dan politik. Bahasa bukan merupakan sesuatu yang transparan, yang menangkap dan memantulkan segala sesuatu diluarnya secara jernih. Secara sosial, terikat bahasa dikonstruksi dan direkonstruksi dalam kondisi khusus dan setting sosial tertentu dan bukan semata tertata menurut hukum yang diatur secara alamiah dan universal. Karenanya sebagai representasi hubungan sosial tertentu, bahasa senantiasa membentuk subyek-subyek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana atau diskursus tertentu.”

Norman Fairclough melihat bahasa sebagai praktek kekuasaan. Karena bahasa secara sosial dan historis dianggap sebagai bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Sehingga dalam menganalisis wacana, Fairclough memusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak hanya sebagai bahasa verbal, melainkan juga sebagai sebuah kegiatan sosial yang tidak netral dan tidak konsisten. Dalam konteks sosial, bahasa dapat dikonstruksi ataupun direkonstruksi pada kondisi dan setting sosial tertentu.

Untuk kalangan kritis (critical), bahasa dipandang sebagai alat perjuangan kelas. Makna dalam hal ini tidak ditentukan oleh struktur realitas, melainkan oleh kondisi ketika pemaknaan dilakukan melalui praktek sosial, dimana terdapat peluang yang sangat besar bagi terjadinya pertarungan kelas dan ideologi.

(9)

E. Prinsip umum CDA

CDA berkepentingan dengan permasalahan social. Ia tidak berkepentingan dengan bahasa atau penggunaan bahasa, tetapi dengan karakter linguistic proses-proses dan struktur-struktur sosial dan budaya.

Ada kaitan antara wacana dan relasi kuasa. CDA mempelajari baik kuasa dalam wacana maupun kuasa atas wacana.

Masyarakat dan budaya secara diakletis berhubungan dengan wacana: masyarakat dan budaya dibentuk oleh wacan, dan pada saat yang sama juga menetapkan wacana. Setiap penggunaan bahasa mereproduksi atau mentransformasi masyarakat dan budaya, termasuk relasi kuasa.

Penggunaan bahasa bersifat ideologis. Untuk menentukanini, perlu dilakukan analisis teks guna menyelidiki penafsiran, penerimaan, dan efek-efek sosialnya.

Wacana bersifat historis dan hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan konteks mereka.

Koneksi atau kaitan antara teks dan masyarakat bersifat tidak langsung, namun terwujud melalui sejumlah intermediary seperti socio-cognitiveyang dicapai seseorang dalam model pemahaman teks secara socio-psychological.

Analisis wacana bersifat interpretatif dan eksplanatoris. Analisis kritis merupakan sebentuk metodologi sistematik yang mewacanakan hubungan antara teks serta kondisi-kondisi social, ideologi, dan relasi kuasa. Penafsiran-penafsiran senantiasa bersifat dinamis dan terbuka bagi konteks-konteks baru dan informasi baru.

F. Tujuan CDA

Berupaya membuat manusia menyadari pengaruh resiprokal bahasa dan struktur social. Lazimnya hal ini tidak disadari hingga membuat manusia terus-menerus menjadi objek praktik kuasa yang melanggengkan kuasa ideologis tertentu.

Membuat manusia tak abai pada makna tersembunyi di balik teks, membuat pengguna bahasa memahami dan peka terhadap kuasa ideologis yang sarat kepentingan di balik penggunaan bahasa.

(10)

Untuk memahami perkembangan analisis wacana (discourse analysis) dalam ilmu sebaiknya kita pahami terlebih dahulu hubungan antara teori wacana (theories of

discourse) dan teori komunikasi (theories of communications). Hal demikian dikarenakan

berbicara analisis wacana dalam ilmu komunikasi tidak dapat dilepaskan dari perbincangan tentang pengaruh teori wacana terhadap teori komunikasi.

Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi berasal dari James P. Gee (2005 : 26). Gee membedakan discourse kedalam dua jenis: Pertama, “discourse” (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on

site”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik.

Kedua, “Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language “stuff” ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language

“stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan,

penilaian satu komunikator dari komunikator lainnnya dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain.

Mengingat bahwa setiap tindakan komunikasi senantiasa mengandung kepentingan, apalagi komunikasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka layaklah jika dikatakan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah suatu Discourse (dengan D besar). Dalam pandangan communication as Discourse ini, komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau “kenyataan kedua” dalam bentuk wacana (discourse) dari “kenyataan yang pertama”. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana (realitas kedua) itu adalah sebuah proses yang disebut konstruksi realitas atau construction of reality.

Seperti tampak dalam Gambar 1, berdasarkan sebuah penelitian (Hamad, 2004), proses konstruksi realitas oleh pelaku (2) dalam media massa dimulai dengan adanya realitas pertama berupa keadaan, benda, pikiran, orang, pristiwa, dan sebagainya (1). Secara umum, sistem komunikasi adalah faktor yang mempengaruhi sang pelaku dalam membuat wacana. Dalam sistem komunikasi libertarian, wacana yang terbentuk akan berbeda dalam sistem komunikasi yang otoritarian. Secara lebih khusus, dinamika internal dan eksternal (4) yang mengenai diri si pelaku konstruksi tentu saja sangat mempengaruhi proses kontruksi. Ini juga menunjukkan bahwa pembentukan wacana tidak berada dalam

(11)

Realitas Pertama: Kedaan, Benda, Pikiran, Orang, Peristiwa, ... (1)

Dinamika

Internal dan Eksternal Pelaku Konstruksi

(4) Strategi Mengkonstruksi Realitas (6)

Sistem Komunikasi yang Berlaku

(3)

Proses Konstruksi Realitas oleh Pelaku

(2)

Makna, Citra, dan Kepentingan di Balik Wacana (9)

ruang vakum. Pengaruh itu bisa datang dari pribadi si pembuat dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis, dan sebagainya maupun dari kepentingan eksternal dari khalayak sasaran sebagai pasar, sponsor dan sebagainya (5).

Gambar 1: Proses Konstruksi Realitas dalam Pembentuk Discourse

Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai suatu strategi tertentu (6). Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal, strategi konstruksi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraf; pilihan fakta yang akan dimasukkan/dikeluarkan dari wacana yang populer disebut strategi framing, dan pilihan teknik menampilkan wacana di depan publik atau strategi priming (7). Selanjutnya, hasil

(12)

dari proses ini adalah wacana (discourse) atau realitas yang dikonstruksian (8) berupa tulisan (text), ucapan (talk), tindakan (act) atau peninggalan (artifact). Oleh karena discourse yang terbentuk ini telah dipengaruhi oleh berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan (9).

Dalam kenyataan, wujud dari bentuk wacana itu dapat dilihat dalam beragam buah karya si pembuat wacana:

Text (wacana dalam wujud tulisan/garfis) antara lain dalam wujud berita, features,

artikel opini, cerpen, novel, dsb.

Talk (wacana dalam wujud ucapan), antara lain dalam wujud rekaman wawancara,

obrolan, pidato, dsb.

Act (wacana dalam wujud tindakan) antara lain dalam wujud lakon drama, tarian,

film, defile, demonstrasi, dsb.

Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud bangunan, lanskap,

fashion, puing, dsb.

Keberadaan bermacam bentuk wacana dapat kita temukan dalam media cetak (seperti novel), media audio (seperti pidato), media visual (seperti lukisan), media audiovisual (seperti film), di alam (seperti lanskap dan bangunan), atau discourse/Discourse yang dimediasikan (seperti drama yang difilmkan). Jadi tak selamanya discourse/Discourse itu berada dalam bentuk media massa, apalagi hanya media cetak.

Kondisi itulah yang menyebabkan metode penelitian komunikasi mengalami perkembangan atau penambahan dengan analisis wacana (discourse analysis). Hal-ikhwal yang berkenaan dengan isi komunikasi (content of communication) tidak lagi hanya dapat dijelaskan melalui metode analisis isi (content analysis) melainkan juga mesti memakai analisis wacana (discourse analysis).

H. Analisis Wacana untuk Komunikasi: Sejarah Perkembangan dan Ragam Metode

Kapankah analisis wacana mulai merambahi kajian komunikasi? Analisis wacana ini mulai marak dalam ilmu komunikasi termasuk di Indonesia adalah pada dekade 90-an. Kehadiran buku-buku yang berkenaan dengan wacana antara lain dari Fairclough (1995a dan 1995b), Mills (1997), Gee (1999, 2005) dan Titscher dkk (2000) serta penerbitan buku di dalam negeri seperti Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Hamad (2004), memperkuat metode dan pelaksanaan riset dengan memakai analisis wacana baik sebagai analisis

(13)

naskah maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).

Namun demikian, cikal bakal pemikiran yang menghantar tibanya analisis wacana (discourse analysis) sesungguhnya dimulakan oleh Krippendorff (1980). Ia berpendapat bahwa analisis isi kuantitatif harus diperkuat dengan kajian tentang indeks dan simptom serta representasi linguistik. Kemudian, Berger (1982) menyediakan teknik-teknik analisis media (media analysis techniques) yang sama sekali beda dari analisis isi dalam tradisi kuantitatif. Ia membahas empat teknik analisis media : semiological analysis, marxist

analysis, psychoanalityc critism, dan sociological.

Dewasa ini di Indonesia, sudah banyak mahasiswa komunikasi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar yang memakai analisis wacana sebagai metode penelitian ilmiah. Terdapat bermacam-macam metode analisis wacana yang mereka pergunakan sesuai dengan pilihan mereka:

Berdasarkan penggunaan metode, ada di antara mereka yang memakai: (a) analisis wacana sintagmatis (lihat Tabel 1), yang menganalisis wacana dengan metode kebahasaan (syntaxis approach) dimana peneliti mengeksplorasi kalimat demi kalimat untuk menarik kesimpulan; dan (b) analisis wacana paradigmatis (lihat Tabel 2), yang menganalisis wacana dengan memperhatikan tanda-tanda (signs) tertentu dalam sebuah wacana untuk menemukan makna keseluruhan;

Berdasarkan bentuk analisis, ada di antara mereka yang menggunakan: (a) analisis wacana linguistik yang membaca suatu naskah dengan memakai salah satu metode analisis wacana (sintaksis ataupun paradigmatis); dan (b) analisis wacana sosial, yang menganalisis wacana dengan memakai satu/lebih metode analisis wacana (sintaksis ataupun paradigmatis), menggunakan perspektif teori tertentu, dan menerapkan paradigma penelitian tertentu (positivis, post positivis, kritikal, konstruktivis dan partisipatoris).

Berdasarkan level analisis, ada di antara mereka yang menerapkan: (a) analisis pada level naskah, baik dalam bentuk text, talks, act dan artifact; baik secara sintagmatis ataupun secara paradigmatis; dan (b) analisis multilevel yang dikenal dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) yang menganalisis wacana pada level naskah beserta konteks dan historisnya (lihat Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4). Berdasarkan bentuk (wujud) wacana, ada di antara mereka yang melakukan analisis

wacana terhadap wacana dalam bentuk tulisan, ucapan, tindakan, peninggalan (jejak); baik yang dimuat dalam media maupun di alam sebenarnya.

(14)

Tabel 1 : Ragam Metode Analisis Naskah Sintagmatik

No Nama

Metode

Dimensi Teoritis (Sebuah abstraksi) Penggunaan sebagai Metode Analisis Wacana 1 MCD (Titscher , 2000:105 -109)

Membership Categorization Device Analysis atau MCD saja adalah metode analisis wacana yang bertujuan untuk memahami kapan dan bagaimana para anggota suatu masyarakat membuat sebuah deskripsi supaya segera setelah itu diketahui mekanisme yang digunakan untuk memproduksi deskripsi tersebut secara pantas dan cocok.

Dimulai dengan satu dua kalimat

yang secara gramatikal

berhubungan (misalnya, kalimat majemuk) dalam sebuah teks; guna dianalisis struktur dan aturannya yang berlaku dalam kalimat tersebut, yang lazimnya mencakup aspek-aspek indeksial (fenomena yang dibicarakan), refleksifitas (fakta yang terkandung), dan demonstrasi (aturan yang dipakai).

2 CA

(Titscher ,

2000:109 -114)

Conversation Analysis (CA) bertujuan menemukan prinsip dan prosedur yang dipergunakan partisipan dalam memproduksi struktur dan aturan dari suatu situasi komunikasi.

Menganalisis suatu percakapan antara dua orang atau lebih dengan memperhatikan cara mereka berinteraksi seperti sikap saling bergantian berbicara, situasi komunikasi yang terjadi, dsb.

3 FP

(Titscher ,

2000:171 -184)

Functional Pragmatic (FP) membahas bentuk percakapan (speech action) dan prilaku percakapan (speech act) untuk menemukan tujuan (purpose) dari partisipan sebuah percakapan.

Memperhatikan prosedur dan pola (pattern) percakapan. Prosedur adalah unit terkecil dari tindakan percakapan seperti saya, di sini, sekarang; Pola adalah potensi yang mendukung pada tindakan

percakapan, seperti setting tugas, pemenuhan tugas, penalaran yang efektif. 4 DTA ((Titsche r, 2000:185 -197)

Distinction Theory Approach (DTA) melihat bahwa komunikasi terdiri dari

tiga unsure: informasi,

ucapan/penyampaian (utterance), dan pemahaman. DTA menganalisis aspek-aspek utterance ini baik segi eksplisitnya maupun segi implisitnya.

Menganalisis aspek pembeda bagian luar (explicit distinction) dan aspek pembeda bagian dalam (implicit distinction) suatu naskah dengan menemukan konsep-konsep serta memberinya makna.

Kemudian membadingkan aspek eksplisit dan implisit;

menganalisisnya; dan menarik kesimpulan.

(15)

5 Objectiv e Hermene utika (Titscher , 2000:198 -212)

Metode ini berusaha memahami makna sebagai sesuatu yang bersifat obyektif berdasarkan struktur sosial (as an objective social structure) yang muncul secara interaktif. Makna adalah hasil interaksi mutual, walaupun para pelakunya tidak dapat mengaksesnya, sehingga diperlukan pihak luar untuk menelitinya.

Memperhatikan aspek-aspek konteks internal dan eksternal dari sebuah wacana, melakukan interpretasi ekstensif, interpretasi menyeluruh, dan mengajukan hipotesis individual tentang kepentingan ekonomi para aktor. Analisis dimulai dengan yang bersifat sekuensial, kemudian dilanjutkan dengan analisis rinci.

Dari uraian tabel 1 di atas, tampak bahwa terdapat kemiripan antara satu metode dengan metode lain dalam hal fokusnya pada analisis sintagmatis suatu naskah. Cara penerapan keempat metode analisis naskah sintagmatik ini pada dasarnya sama; yaitu membaca/menafsirkan makna instrinsik dan ekstrinstik kalimat demi kalimat sebuah naskah dengan memperhatikan hubungan antar bagian dalam kalimat, paragraf, bait, frase, baik yang bersifat menghubungkan (conjuntion), berlawanan (oppositional) dan seterusnya. Analisisnya bersifat in situ dalam sebuah naskah. Tujuannya adalah menangkap ide besar yang dikandung naskah tersebut.

Adapun analisis wacana paradigmatis, terdapat sejumlah pilihan metode seperti tampak dalam Tabel 2.

Tabel 2 : Ragam Metode Analisis Naskah Paradigmatik

Nama Metode

Dimensi Teoritis (Sebuah abstraksi)

Penggunaan sebagai Metode Analisis Wacana

1 Semiotika (Berger, 1982)

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), makna tanda, dan cara kerja tanda. Menurut semiotika strukturalis tanda dibagi kedalam tiga jenis: ikon, indeks, simbol. Menurut semiotika post strukturalis, sebuah naskah memiliki ”gagasan inti” atau ”benang merah”.

Secara strukturalis, menemukan tanda-tanda dalam suatu naskah dan menafsirkannya sesuai perspektif teori yang dipergunakan dalam penelitian yang sedang dilakukan. Secara post strukturalis menangkap ”benang merah” dari naskah.

(16)

2 Analisis Marxis (Berger, 1982)

Bersumber dari teori Marxis, analisis ini melihat realitas sosial sebagai yang penuh dengan pertentangan antara kelas serta pertarungan ideologis dan kekuasaan.

Menemukan tanda-tanda dalam suatu naskah dan menafsirkannya sebagai jalan untuk mengetahui siapa mengekspolitasi siapa serta ideologi apa yang ada di balik suartu naskah.

3 Psikoanalisis (Berger, 1982)

Aliran psikologi Fruedian; berbicara tentang id, libido; ego, super-egonya dan sebagainya. Percaya bahwa semua hal yang dilakukan manusia mencerminkan alam bawah sadarnya.

Menemukan tanda-tanda dalam suatu naskah dan menafsirkannya guna menunjukkan bahwa tanda-tanda tersebut mencerminkan alam bawah sadar si pembuat atau si pemakai tanda.

4 Analisis Sosiologis (Berger, 1982)

Aliran struktur-fungsional melihat bahwa dalam bermasyarakat terdapat pembagian tugas dan fungsi. Setiap individu dalam struktur sebuah masyarakat memiliki status dan peran masing-masing

Menemukan tanda-tanda dalam suatu naskah dan menafsirkannya untuk mencari siapa yang diberi status dan peran apa serta bentuk relasi antar indivudu dalam naskah itu. 5 Semiotika Sosial (Halliday, 1993)

Semiotika sosial memandang bahwa sebuah naskah terdiri dari tiga komponen utama: medan wacana (cara pembuat wacana memperlakukan suatu peristiwa); pelibat wacana (sumber yang dikutip atau orang-orang yang dilibatkan beserta atribut sosial mereka dalam suatu wacana), dan sarana wacana (cara pembuat wacana menggunakan bahasa dalam manggambarkan peristiwa).

Mengamati suatu naskah untuk menemukan apa medan wacana yang ada di sana; siapa yang menjadi pelibat wacananya, dan bagaimana sarana wacananya. Kemudian menafsirkannya sesuai perspektif teori yang dipergunakan dalam penelitian yang sedang dilakukan.

(17)

6 Analisis Framing (Sobur, 2001; Erianto, 2002 Hamad, 2004; Van Dijk, 1988)

Teori framing berbicara tentang seleksi isu yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana. Menurut framing, dalam wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang mau diangkat, fakta mana yang mau disembunyikan, atau fakta mana dihilangkan sama sekali. Wacana menurut framing terdiri dari sejumlah komponen yang diisi dengan fakta-fakta pilihan itu.

Terdapat beberapa varian analisis framing. Cara menganalisis analisis wacana dengan framing adalalh memenuhi setiap komponen framing dengan fakta (bagian naskah) yang terdapat dalam suatu naskah.

Komponen framing Gamson dan Modigliani: Metaphors, Exemplars, Catchphrases, Depictions, Visual images, Roots, Consequences, dan Appeals to principals.

Komponen framing Pan & Kosicki: Sintaksis (skema berita); Skrip (kelengkapan berita); Tematik (detail; koherensi; bentuk kalimat; kata ganti); Retoris (leksikon; grafis; metafora)

Komponen framing Van Dijk: Summary (Headline; lead); Story (situation and comments). Situation (episode and background); Comments (verbal reactions and conclussions). Episode (main events and consequences). Background (context and history). History (circumtances and previous events). Conclussion (expectations and evaluations)

Komponen framing Robert Entman: Problem Identification, Causal Interpretation, Moral Evaluation: dan Treatment Recommendation

Komponen framing Ibnu Hamad: Perlakuan atas peristiwa (Tema yang diangkat dan Penempatan berita), Sumber yang dikutip (Nama dan atribut sosial sumber), Cara Penyajian (Pilihan fakta yang dimuat dan Struktur penyajian), dan Simbol yang dipergunakan (Verbal : kata, istilah, frase; dan Non-verbal: foto, gambar)

(18)

7 Ethnographic of

SPEAKING (Titscher, 2000:94-99)

Berasal dalam tradisi Antropologi yang melihat bahwa penggunaan symbol komunikasi dan cara komunikasi itu terikat dengan budaya. Pendekatan terhadap masalahnya menggabungkan teori antropologi dan linguistik untuk komunikasi. Tujuan: untuk melihat pola interaksi komunikasi antar partisipan sesuai konteks, tempat dan waktu. Untuk menggambarkan siapa di antara partisipan berperan apa.

Mengamati pola interaksi komunikasi yang terjadi di lapangan untuk melihat siapa di antara partisipan berperan apa. Menganalisis rekaman (lebih mudah bila dalam bentuk film) suatu interaksi komunikasi melalui komponen-komponen S (setting, scene), P (participants), E (ends, goal, purpose), A (act sequence), K (key, tone, manner), I (instrumentalities), norms (belief), Genre (textual categories)

8 Grounded

Theory (Titscher, 2000:74-89)

Grounded Theory (GT) dalam analisis teks mencoba membangun konsep atau kategori berdasarkan data dari teks. Penggunaan GT untuk analisis teks mencoba mengkonseptualisasi asumsi-asumsi basis data.

Memperhatikan bagian demi bagian dari teks untuk menemukan

sedikitnya sepuluh kategori konsep (coding families) antara lain c-families (causes, consequences...), process families (stages, phases, duration...), culture families (norms, values, sosially shared attitudes)....

9 SYMLOG

(Titscher, 2000:136-143)

System for Multiple Observation of Group (Symlog) menganalisis tindakan komunikasi suatu kelompok dengan mengamati tiga level: prilaku verbal dan nonverbal, ide yang muncul selama komunikasi, dan nilai (pro kontra) saat berkomunikasi.

Menganalisis tujuh aspek dari wacana: waktu interaksi, nama aktor, nama alamat, bahasa simpel sebagai komentar atas prilaku/ide, nilai yang diekspresikan pelaku (pro-kontra), catatan atas orientasi prilaku dan ide aktor dalam ruang ketika berinterkasi dalam kelompok, dan alokasi dari salah satu ide tentang diri, orang lain, kelompok, situasi, masyarakat, dan fantasi

Berbeda dari penerapan analisis naskah sintagmatik yang mengeksplisitikan makna instrinsik sebuah naskah kalimat demi kalimat maka penerapan analisis metode-metode paradigmatik adalah dengan cara menemukan bukti-bukti dalam naskah atau menunjukkan bagian-bagian dari naskah sebagai temuan data untuk menjawab permasalahan penelitian. Untuk itu, peneliti mencari tanda (signs) yang relevan dengan pertanyaan penelitian.

Adapun analisis wacana dalam bentuk analisis wacana kritis (critical discourse

(19)

konteks wacana tersebut. Penelaahaan atas wacana tidak hanya dilakukan pada level naskah namun dilanjutkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi naskah. Analisis wacana CDA memiliki dua model, yaitu CDA model Norman Fairclough yang melihat teks (naskah) memiliki konteks (Gambar 2) dan CDA dari Ruth Wodak yang menilai teks (naskah) mempunyai sejarah (Gambar 3). (Wodak, 1996:17-20 dalam Titscher, 2000:146-147).

Gambar 2. CDA Norman Fairclough

Proses Produksi

Deskripsi (Analisis Teks) Teks

Interpretasi (Analisis Proses)

Proses Interpretasi Praktik Wacana

Eksplanasi (Analisis Sosial)

Praktik Sosio-kultural (situasional; institusional,

dan kemasyarakatan)

Dimensi-Dimensi Discourse Dimensi-2 Analisis Discourse

Seperti tampak dalam Gambar 2, CDA Norman Fairclough melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks baik berdasarkan “process of production” atau “text production”; “process of interpretation” atau “text consumption” maupun berdasarkan praktik sosio-kultural (Fairclough, 1997: 98). Dengan demikian, untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Proses pengumpulan data yang multilevel dalam CDA Fairlough ini secara sederhana diperlihatkan dalam Tabel 3.

(20)

Tabel 3 : Proses Pengumpulan Data dalam CDA Fairclough

No Level Masalah

Level Analisis

Teknik Pengumpulan Data 1 Praktik

sosiokultur al

Makro Depth interview dengan pembuat naskah dan ahli paham dengan tema penelitian

Secondary data yang relevan dengan tema penelitian Penelusuran Literatur yang relevan dengan tema

penelitian 2 Praktik

Wacana Meso Pengamatan Terlibat pada Produksi Naskah, atauDepth interview dengan pembuat naskah, atau “Secondary Data” tentang pembuatan naskah

3 Text Mikro Satu/lebih metode Analisis Naskah (sintagmatis atau paradigmatis)

Tabel 3 itu memperlihatkan bahwa untuk memahami wacana, kita perlu mengumpulkan data pada level makro, meso, hingga mikro. Posisi metode pengumpulan data pada level meso dan makro menunjukkan prioritas. Jika urutan pertama tidak dapat dilakukan, maka urutan selanjutnya.

Selain konsep yang ditawarkan Fairclough, juga ada beberapa konsep lain yang yang melihat teks memiliki konteks. Misalnya konsep Sara Mills, ataupun Teun A. Van Dijk. Konsep dasar pemikiran Mills lebih melihat pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Posisi – posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subyek penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan akan manentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakuakan dalam teks secara keseluruhan. Selain itu juga diperhatikan bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasikan dirinya dalam penceritaan teks.

Ada dua konsep dasar yang di perhatikan: Posisi Subyek – Obyek, menempatkan representasi sebagai bagian terpenting. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan,dan peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana dan mempengaruhi pemaknaan khalayak.

(21)

Konteks Pembaca TEKS Konteks Penulis Konteks Kognisi Sosial Teks

Penekanannya adalah bagaimana posisi dari aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa ditempatkan dalam teks. Posisi pembaca dalam teks, menurut Mills sangat penting dan diperhitungkan karena pemabaca bukan semata-mata pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melaksanakan transaksi sebagaimana akan terlibat dalam teks.

Gambar 3. CDA Sara Mills

Tabel 4 : Proses Kerangka Analisis CDA Sara Mills

No Tingkat Yang ingin dilihat 1 Posisi

Subjek - Objek

Bagaimana peristiwa itu dilihat, dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat

Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) Siapa yang diposisikan menjadi objek yang

diceritakan (objek)

Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial punya kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri, menampilkan gagasannya sendiri, ataukah kehadirannya/gagasannya ditampilkan oleh kelompok/orang lain.

2 Posisi Penulis - Pembaca

Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks Bagaimana pembaca memposisikan diri dalam teks

yang ditampilkan

Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya?

Gambar 4. CDA Teun A. Van Dijk

Tabel 5 : Kerangka Analisis CDA Van Dijk

(22)

Teks (mikro): menganalisa strategi wacana yang dipakai untuk menampilkan peristiwa atau isu tertentu Struktur makro: makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks Superstruktur: kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan Struktur mikro:

makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh teks

Tematik: topik utama dan subtopiknya A A A A A Skematik: bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan secara utuh

A A

Semantik: latar, detil, maksud, praanggapan, nominalisasi. Sintaksis: bentuk kalimat, koherensi, kata ganti. Stilistik: leksikon/diksi Retoris: grafis, metafora,

ekspresi Critical linguistic Kognisi sosial (meso): memahami bagaimana kognisi produsen teks dalam memahami seseorang atau peristiwa - Skema person - Skema diri - Skema Peran - Skema peristiwa - Bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain - Bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan - Bagaimana peran dan posisi seseorang digambarkan

- Bagaimana peristiwa dipandang dan dibingkai

Observasi, wawancara mendalam Societal analysis: menganalisis bagaimana wacana yang berkembang di tengah masyarakat, bagaimana proses produksi dan reproduksi teks

Praktik kekuasaan Pihak yang berkuasa mendominasi wacana. Dengan mengetahui praktik kekuasaan, dan stakeholdernya, maka akan diketahui

kekuatan-kekuatan apa saja yang mengerangka wacana sehingga memunculkan teks sedemikian rupa

Studi pustaka, penelusuran mendalam, wawancara dengan sosiolog, antropoloh, pengamat politik, dll.

(23)

berlangsung

Untuk CDA dari Ruth Wodak (Titscher, 2000: 155) menyajikan model seperti tampak dalam Gambar 5. Model ini melihat naskah memiliki sejarah perjalanannya, sehingga ia dikenal dengan Discourse- Historical Method. Perjalanan tersebut bukan saja terjadi pada dimensi bahasa melainkan juga pada dimensi pemikiran si pembuat naskah. Keduanya dipengaruhi oleh dimensi psikologis si pembuat naskah yang berinteraksi dengan situasi dan kondisi komunikasi.

Gambar 5. Model CDA Ruth Wodak

SCHEMA:

COGNITIVE DIMENSION

PLAN FRAME SCHEMA SCRIPT

SOCIO-PSYCHOLOGICAL DIMENSION Communicative, functions, Speech, Situation, theme Affectivity , gender, level of speaker, conflict type Time, place, specific sepeaker LINGUISTIC DEMENSION TEXT-THEMATIC MACRO-STRUCTOR TEXT SORT TEXT TYPE REALIZED TEXT

Seperti halnya untuk model CDA Fairclough, agar kita dapat menangkap makna naskah dan sejarah perjalanan yang mempengaruhinya, kita perlu menggali data pada setiap dimensi sebagaimana tampak dalam Tabel 6. Posisi metode pengumpulan data menunjukkan prioritas. Jika urutan pertama tidak dapat dilakukan, maka urutan selanjutnya.

Tabel 6. Teknik Pengumpulan Data pada CDA Wodak

(24)

Cognitive Dimension

Plan of Text Gagasan

pembuatan Teks

Wawancara mendalam dengan pembuat teks

Riwayat hidup pembuat teks Socio-Psycologica l Dimension Pengaruh sosial dan psikologis terhadap Teks Proses

pembuatan Teks Pengamatan Terlibat proses pembuatan teks Wawancara mendalam tentang pembuatan

teks

Secondary data tentang pembuatan teks Linguistic

Dimension

Realized Text Teks yang terwujud

Satu/gabungan metode analisis naskah (sintagmatis atau paradigmatis)

Dari model CDA Norman Fairclough (Gambar 2) dan CDA Ruth Wodak (Gambar 5) kita juga dapat melakukan sintesa dari kedua model tersebut. Model baru ini dibangun untuk kepentingan analisis wacana berupa firman Tuhan dimana kehadiran firman itu jelas tidak dipengaruhi oleh campur tangan manusia. Dalam tradisi Islam misalnya, teks Al-Quran adalah firman Allah SWT. “Process of production” atau “Text of production” dari setiap ayat dalam kitab suci itu semata-mata merupakan urusan Allah SWT. Sementara itu untuk “process of interpretation” atau “text consumption” merupakan upaya manusia untuk memahami ayat-ayat suci tersebut guna memperoleh manfaatnya seraya mempelajari sebab-sebab turunnya ayat (asbabun-nuzul ayat) agar panafsiran atas ayat-ayat berlangsung secara kontekstual. Alhasil, CDA untuk memahami ayat-ayat suci tersebut seperti tampak dalam Gambar 4.

Gambar 6. CDA untuk Firman Tuhan

“Asbabun-Nuzul” Deskripsi (Bayani) Ayat (Teks) Interpretasi (Burhani) “Kepentingan Manusia” Praktik Penafsiran Eksplanasi (Irfani)

(25)

Dimensi-Dimensi Discourse Dimensi-2 Analisis Discourse

Dari Gambar 6 ini tampak bahwa penafsiran ayat (teks) berdasarkan asbabun-nuzulnya (konteks turunnya ayat) serta relevansinya dengan problematika keummatan memiliki tujuan ganda:

Pemahaman ayat pada level teks bertujuan untuk memahami ayat secara huruf demi huruf sesuai kaidah bahasa kitab suci (: untuk Al-Quran berarti berupa kaidah bahasa Arab). Itulah yang disebut dengan pemahaman ayat secara bayani. Metode yang sudah lazim dipakai pada level bayani adalah Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf. Pada level ini dapat dimanfaatkan pula metode analisis wacana sintagmatik ataupun paradigmatik sebagai alat bantu terutama untuk memahami tanda (signs) tertentu dalam sebuah ayat atau surah.

Pemahaman ayat yang dikaitkan dengan “asbabun-nuzul ayat” dan kepentingan aktual manusia dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman ayat secara kontekstual dan relevan (pemahaman ayat secara burhani). Di sini sangat diperlukan pengetahuan yang cukup tentang “sejarah” setiap turunnya ayat serta tentang hajat manusia atas solusi kehidupan menurut ayat. Dengan memperhatikan aspek kontekstualnya pada masa lalu dan hajat manusia atas solusi kehidupan menurut ayat maka pemahaman ayat disamping akan menjadi proporsional tetapi juga akan mudah mengaitkannya dengan kondisi kekinian.

Pemahaman ayat yang dikaitkan dengan problematika sosial keummatan bertujuan untuk mendapatkan praksis dari firman Tuhan tersebut bagi manusia. Melalui usaha mendapatkan dimensi praktis dari setiap ayat, penafsiran ayat secara irfani ini niscaya akan membuat ayat atau surah tampak kegunaan praktisnya bagi manusia.

Seperti halnya dua model CDA sebelumnya, penerapan CDA untuk firman Allah ini akan mengikuti proses pengumpulan data yang bersifat multilevel seperti tampak dalam Tabel 7.

Tabel 7 : Proses Pengumpulan Data dalam CDA Ayat Suci

No . Level Masalah Level Analisis

(26)

1 Problematik sosiokultural

Irfani Depth Interview dengan ulama/ahli agama mengenai pokok kajian

Penelusuran Literatur yang relevan dengan tema penelitian/pokok bahasan

2 Praktik Penafsiran berdasarkan sebab turunnya ayat dan kepentingan manusia

Burhani Penelusuran Literatur tentang sejarah turunnya ayat (asbabun-nuzul ayat)

Penelusuran Literatur tentang kaidah-kaidah pembuatan hukum (dalil) berdasarkan ayat.

3 Ayat (Teks) Bayani Penggunaan kaidah Nahwu-Sharf Dibantu oleh satu/lebih metode Analisis

Naskah (sintagmatis atau paradigmatis)

Sebagai perbandingan, dunia analisis naskah juga mengenal dua metode yang lebih kuantitatif, yaitu analisis isi (content analysis) dan analisis bibiliometrika (bibliometric

survey). Untuk uraian singkat, lihat Tabel 6. Sebagai metode yang serumpun dengan analisis

wacana, kedua analisis isi dan bibliometrika mencoba mengetahui kandungan isi naskah dengan pendekatan kuantitatif, termasuk menggunakan perhitungan matematik dan statistik

Tabel 8. Dua Metode Analisis Naskah Kuantitatif

No Nama

Metode

Dimensi Teoritis (Sebuah abstraksi)

Penggunaan sebagai Metode Analisis Isi 1 Analisis isi (Titscher, 2000:55-73)

Content analysis atau analisis isi adalah usaha peneliti menemukan isi teks secara obyektif, sistematis, dan kuantitatif tentang kategori-kategori yang menjadi pertanyaan penelitian.

Peneliti membuat kategori-kategori sesuai pertanyaan penelitian kemudian menghitung jumlah dan membuat prosentasi setiap kategori tersebut guna menarik kesimpulan dari hasil perhitungan itu. Dilakukan pula perhitungan realibitas dan obyektivitas penelitian melalui rumusan statistik yang tersedia.

(27)

1 Bibliomet rik (Titscher, 2000:105-109)

Bibliometrika adalah analisis isi yang bertujuan mengukur seberapa besar kecenderungan dipakaianya konsep, teori, metode, serta pendapat tokoh dalam sebuah atau lebih bidang kajian.

Menghitung jumlah kutipan (cititation) tentang konsep, teori, metode, tokoh yang dipergunakan dalam sebuah bidang kajian yang sejenis. Dalam konteks ini dasar perhitungan yang dikenal dengan Social Science Cititation Index (SSCI) dengan metode perhitungan tertentu seperti rumus Lotka yx = C/x2 .

I. Teknik Melakukan Analisis Wacana

Dalam pelaksanaannya, analisis wacana untuk ilmu komunikasi ditempatkan sebagai bagian dari metode penelitian sosial dengan pendekatan kualitatif. Sebagaimana dimaklumi dalam penelitian sosial, setiap permasalahan penelitian selalu ditinjau dari perspektif teori sosial (dalam hal ini teori-teori komunikasi). Analisis wacana sebagai metode penelitian sosial tidak hanya mempersoalkan bahasa (wacana) melainkan pula dikaitkan dengan problematika sosial.

Lebih dari itu, sebagai bagian dari metode penelitian sosial dengan pendekatan kualitatif, analisisis wacana ini juga mamakai paradigma penelitian. Dengan demikian proses penelitiannya tidak hanya berusaha memahami makna yang teradapat dalam sebuah naskah, melainkan acapkali menggali apa yang terdapat di balik naskah menurut paradigma penelitian yang dipergunakan. Walhasil, proses pelaksanaan analisis wacana untuk ilmu komunikasi dapat digambarkan dengan Gambar 7.

Dari Gambar 7 tersebut, aplikasi analisis wacana dimulai dengan pemilihan naskah (text, talk, act, and artifact) dalam suatu bidang masalah sosial, misalnya naskah (:berita) tentang politik. Selanjutnya kita memilih tiga perangkat analisis wacana yang saling berkaita: perpektif teori, paradigma penelitian, dan metode analisis wacana itu sendiri. Dari penerapan ketiga perangkat tadi secara simultan terhadap naskah yang dipilih akan diperoleh hasil penelitian analisis wacana.

Untuk perspektif teori, dalam analisis wacana sebagai metode penelitian sosial lazimnya memakai dua jenis teori: teori substantif dan teori wacana. Teori substantif di sini adalah teori tertentu yang sesuai dengan tema penelitian, misalnya teori politik, teori kekuasaan, teori gender, teori ekonomi-politik, teori ideologi, dan sebagainya. Teori subtanstif diperlukan untuk menjelaskan bidang permasalahan penelitian analisis wacana dari perpektif teori yang bersangkutan.

(28)

Naskah Text Talk Act Artifact

Dalam setiap model CDA selalu terdapat level-level yang berusaha menghubungkan antara teks sebagai penanda wacana, dengan konteks sosio-politiko-historis yang melingkupinya. Relasinya bisa dibahasakan dengan bermacam istilah: Interdiscurtivity,Intermediary, Intertextuality. Tapi intinya selalu ada hubungan kontekstual antara teks atau wacana dengan konteksnya.

Level Analisis dalam CDA

Mikro, yaitu menyoal teks-teks semata yang dianalisis terpusat pada factor-faktor

kebahasaan: morfologi, koherensi, struktur sintaksis, diksi, bentuk kalimat dan lainnya.

Makro, menyoal konteks. Analisisnya fokus pada struktur sosial, ekonomi, politik dan

budaya masyarakat. Analisis makro bermaksud memperlihatkan kekuatan atau pengaruh apa saja di tengah masyarakat yang membentuk wacana dan mempraktikan sedemikan rupa dalam produksi teks.

Meso, pada level ini yang dipersoalkan adalah individu baik sebagai produsen teks

maupun konsumen teks. Komponen Prosedur CDA

Deskripsi, dihasilkan dari temuan penelitian: property linguistic, atau teks, pada level mikro. Hasilnya lantas digunakan untuk mengintrepetasikan proses produksi teks atau analisis pada level meso.

Interpretation. Proses mengaitkan deskripsi dengan proses produksi teks. Hasil ini

menjadi pentunjuk untuk menjelaskan kaitan antara teks, produksi teks, dengan konteks.

Explanation. Berupaya mengaitkan temuan interpretasi dengan konteks sosiokultutral.

Prosedur explanation bersumber dari analisis mengenai praktik sosial dan diskursif pada level makro.

(29)

Adapun teori wacana diperlukan untuk membantu menganalisis naskah yang menjadi obyek kajian analisis wacana. Teori wacana mana yang dipakai tergantung pada metode analisis naskah yang dipakai. Jika pada analisis naskah dipakai metode semiotika, misalnya maka dipakailah teori semiotika; bila digunakan framing sebagai metode analisis naskah, maka kita gunakan teori framing sebagai teori wacana. Pun demikian, jika kita menerapkan CDA hendaknya kita paparkan teori CDA dalam pendekatan teori wacana.

Sebagai bagian dari penelitian kualitatif, analisis wacana mengenal lima paradigma penelitian: positivis, post positivus, konstruktif, kritis, dan partisipatoris dimana setiap paradigma memiliki karakteristik dan tuntutan yang berbeda-beda dalam proses dan jenis data yang mesti dikumpulkan (Denzin and and Lincoln, 2005). Dalam banyak hal, pemilihan paradigma ini sangat terkait dengan tujuan analisis wacana yang dirumuskan peneliti.

Secara garis besar, tahapan-tahapan melakukan analisis wacana sosial dapat dijelaskan urutannya sebagai berikut:

Pilih satu atau serangkaian naskah yang akan dianalisis; misalnya berita tentang “Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” di Kantor Berita “Antara” (Indonesia) dan Kantor Berita “Bernama” (Malaysia)

Gunakanlah teori substantif yang dianggap relevan dengan bidang permasalahan penelitian dan tujuan penelitian. Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tersebut mungkin kita akan gunakan teori “national interest”

Pakailah teori wacana yang sejalan dengan metode analisis wacana yang digunakan; misalnya pada level metode akan digunakan semiotika sosial, maka pada level teori wacananya juga adalah semiotika sosial.

(30)

digunakan. Jika teori itu merupakan bagian teori kritis, maka pakailah paradigma kritis, dan seterusnya. Karena teori “national interest” tersebut termasuk teori-teori positivis, maka paradigma penelitian yang dipakai sebaiknya paradigma positivis. Tetapkan tipe analisis wacana apa yang akan digunakan: apakah pada level naskah saja

ataukah hendak memakai CDA.

Jika semuanya telah ditetapkan dan dipandang sudah cocok (saling menguatkan, tidak bertentangan satu sama lain), bacalah naskah dengan metode analisis wacana dan berikan arti atau maknanya.

Tafsirkan hasil analisis tersebut dengan teori substansi (dalam kasus ini teori “national interest”) dengan cara berpikir paradigma positivis, kemudian tarik kesimpulan serta implikasi hasil analisis wacana tersebut.

Sebagai alat bantu melakukan analisis, ada baiknya beberapa hal berikut dipahami agar dalam pelaksanaannya lebih mudah dan hasilnya lebih mendalam.

Sebelum melakukan analisis wacana, sebaiknya dipahami secara saksama teori-teori wacana, khususnya proses terjadinya suatu wacana (lihat kembali Gambar 1)

Sebelum atau ketika melakukan analisis wacana, sebaiknya dibantu dengan teori linguistik dan teori makna, antara lain:

Teori bahasa. Pemahaman teori bahasa yang baik niscaya akan sangat membantu

mengingat basis dari teori dan analisis wacana adalah bahasa. Di antara teori bahasa yang sebaiknya dikuasi adalah yang berkaitan dengan penciptaan Discourse. Dalam kaitan ini, layak dikemukakan pandangan Giles dan Wiemann tentang hubungan bahasa dengan penciptaan realitas (Discourse) seperti tampak dalam gambar 6. Ternyata bahasa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi dapat menciptakan realitas.

Gambar 7 : Hubungan antara bahasa, Realitas, dan Budaya

Language

Reality creates creates creates reality

creates

Teori Segi Tiga Makna (Tri-angle Meaning Theory) antara lain tampak dalam

(31)

membantu menafsirkan tanda (bahasa) dalam naskah.

Gambar 8: Elemen Makna Pierce Gambar 9 : Semantic Triangle Richard Sign Object Interpretan Reference or Thought Symbolizes refers to Symbol Referent

Lay-out argument dari Stephen Toulmin (dalam Foss, et.al 1985: 88) seperti

divisualisaikan dalam gambar 7. Menurut Toulmin penggunaan symbol (warrant) itu memiliki latar belakang (ground) guna mencapai suatu tujuan (claim). Pemikiran ini sangat relevan dengan pembahasan kita di awal mengenai Discourse (dengan D besar) sebagai obyek kajian analisis wacana paradigmatic. Teori ini sangat berguna dalam menafsirkan mengenai “adanya kepentingan” di balik naskah.

Formula Larutan (Lambang-Rujukan-Tujuan). Dalam pandangan ini penggunaan

lambang memiliki rujukan guna mencapai suatu tujuan (Gambar 10) . Seperti halnya dengan logika Toulmin, teori ini niscaya bermanfaat untuk mengetahui “adanya kepentingan” di balik naskah.

Penampang 7 : Lay-out Argument (Logika Toulmin)

Warrant

Ground Claim

Penampang 8 : Relasi Lambang, Rujukan, Tujuan (Formula Larutan)

Lambang

Rujukan Tujuan

Analisis Pentad. Kurang lebih sama dengan yang lain, pemikiran Kenneth Burke

(32)

penggunaan suatu simbol (act) memiliki latar belakang (scene), pelaksana (agent) dan media atau alat (agency) dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu (purpose).

Gambar 11 : Pentad Analysis

Act Scene Purpose

Agent

Agency

Sudah barang tentu, masih banyak teori-teori makna dan hermeneutika yang sangat penting dipelajari untuk memperkaya, memperluas, memperdalam, dan mempertajam analisis wacana. Kegiatan melakukan penelitian analisis wacana sesering mungkin niscaya akan menambah kepercayaan diri dengan hasil analisis wacana walaupun jangan lekas puas dengan satu kali interpretasi.

Oleh karena analisis wacana kerapkali mengangkat topik-topik perbincangan yang bersifat kritikal, misalnya tentang ketimpangan gender, konsumerisme, budaya populer, dan sejenisnya, maka untuk melakukan analisis wacana dengan topik-topik tersebut peneliti hendaknya menguasai teori-teori kritis dengan para pemikirnya seperti Adorno, Hockeimer, Faucoult, Derrida, Habermas, dan sebagainya.

Peta model CDA

Model Tingkat analisis

Mikro Meso Makro

Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther kress, dan Tony Trew

V V

Theo van Leeuwen V V

Sara Mills V V

Teun A. Van Dijk V V V

Norman Fairclough V V V

Ruth Wodak V V V

(33)

Keabsahan Analisis Wacana dan Pemanfaatan Hasil Analisis

Pertanyaan yang sering diajukan seputar analisis analisis wacana sebagai metode penelitian sosial, bagaimanakah cara menjaga ”keabsahan” dalam arti obyektivitas hasil analisis wacana? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus sepakat terlebih dahulu mengenai pengertian obyektif, yaitu kemampuan dapat diulanginya kembali sebuah riset analisis wacana dengan hasil yang sama.

Dalam konteks itu, sebuah riset analisis wacana dapat dapat diulangi kembali dengan hasil yang sama jika pengulangan tersebut menggunakan pendekatan teori yang sama, paradigma penelitian yang sama, serta tipe dan metode analisis yang sama. Misalnya, peneliti A melakukan riset analisis wacana Editorial koran X tentang ”Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” yang dimuat pada hh/mm/yyy. Teori yang digunakan adalah ”teori national interest” (pada teori substantifnya) dan teori framing (pada teori wacananya), memakai paradigma konstruktivis, dan memilih CDA Norman Fairclough sebagai strategi risetnya serta menerapkan analisis framing Robert Entman untuk menganalisis naskahnya. Jika peneliti B mengulangi riset tersebut dengan peralatan penelitian yang sama dengan si A, niscaya hasil penelitian keduanya mesti sama. Dengan demikian maka absahlah hasil analisis wacana tersebut. Kalau terjadi perbedaan, besar kemungkinan salah satu peralatan riset di antara keduanya yang berbeda, misalnya berbeda dalam paradigma penelitian!

Lagi pula, seperti sudah diuraikan sebelumnya, masing-masing metode analisis memiliki karakteristik tersendiri. Demikian pula paradigma penelitian memiliki kiteria kualitas dan cara berpikir sendiri. Semua itu berpengaruh pada obyektivitas yang akan diperoleh oleh analisis wacana.

Jadi, obyektivitas hasil penelitian analisis wacana terletak pada konsistensi si peneliti mengaplikasikan suatu pendekatan teori, paradigma penelitian dan jenis riset serta metode analisis wacana. Selama ia mengacu sekuat tenaga pada peralatan riset tersebut dalam rangka menjawab permasalah dan membuktikan tujuan penelitian, maka hasil risetnya dapat dikatakan sudah obyektif. Oleh karena itu hindarilah opini pribadi dan selalulah memakai kriteria kualitas paradigma penelitian dan karakter metode analisis wacana yang dipakai sebelum, selama, dan sesudah penelitian dilakukan. Upaya untuk senantiasa konsisten dengan kriteria kualitas paradigma penelitian ini pada gilirannya bagian dari usaha peneliti menjaga validitas hasil penelitian analisis wacana sesuai paradigma masing-masing.

(34)

mana yang harus dipercayai? Untuk ini perlu diperhatikan 7 (tujuh) aspek utama yang ada dalam penelitian: perumusan masalah, tujuan penelitian, teori substantif yang dipakai, teori wacana yang digunakan, paradigma penelitian yang dipilih, metode analisis wacana yang diterapkan serta teknik analisis yang dilakukan. Jika dua atau lebih penelitian sama dalam ketujuh aspek tersebut, seharusnya sama hasilnya dan sama validnya. Kalau sebuah penelitian memiliki perbedaan dalam satu atau lebih dari tujuh aspek tersebut, maka hasil penelitian itu valid untuk penelitian yang bersangkutan; dan tak dapat dibandingkan dengan hasil analisis wacana lainnya yang memiliki pendekatan yang berbeda karena setiap hasil analisis wacana memiliki validitasnya masing-masing.

Lantas, sejauhmana tingkat generalisasi sebuah hasil analisis wacana? Yang jelas, analisis wacana tak mengenal tingkat generalisasi seperti yang dimaksudkan dalam pendekatan kuantitatif. Analisis wacana hanya berupaya menerangkan kandungan isi naskah dan jika perlu beserta konteks atau hitorisnya tentang sebuah tema/isu yang dimuat dalam naskah tersebut. Dengan demikian, hasil penelitian analisis wacana bersifat ideografis.

Pertanyaan lain yang kerap muncul, buat apa analisis wacana dilakukan, hatta sudah dilaksanakan secara obyektif? Dalam kasus “Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan”, dari hasil analisis pada level naskah dengan metode semitoka sosial, misalnya, kita dapat mengetahui cara pandang (field of discourse) masing-masing kantor berita kedua negara terhadap kasus tersebut. Adakah kesamaan cara pandang ataukah berbeda? Adakah kemungkinan cara membahasakan (mode of discourse) yang dimiliki oleh kedua kantor berita tersebut memperuncing sengketa kedua negara? Siapa saja yang dikutip selaku nara sumber (tenor of discourse) dalam kasus tersebut? Jalan keluar apa yang ditawarkan oleh masing-masing kantor berita tersebut?

Dengan demikian, tak berlebihan kiranya jika dikatakan analisis wacana mampu memberikan kemanfaatan yang tak sedikit kepada perubahan sosial termasuk di dalamnya saling pemahaman dalam hubungan antar bangsa. Di samping signifikansi sosial tersebut, penggunaan analisis wacana setidak-tidaknya menyadarkan para penafsir naskah untuk lebih bertanggung jawab atas “bacaan” yang dilakukannya, tidak semata-mata didasarkan atas pendapat pribadi melainkan dipandu oleh prinsip-prinsip metodologi penelitian secara konsisten dan bertanggung jawab.

Kriteria validitas penelitian CDA:

Holistik. CDA mengaitkan teks dengan konteks.

(35)

yang ditelitinya dalam konteks historical situatedness yang melingkupinya.

Teori substantive. Tidak cuma mampu menempatkan apa yang diteliti dalam konteks historis yang tepat, penelitian CDA dikatakan berhasil apabila mampu dijelaskan dan diinterpretasikan sesuai dengan teori substansial yang melandasinya.

Daftar Pustaka:

Andre, Yulianus, 2008, Studi Analisis Wacana Kritis,

http://andreyuris.wordpress.com/2008/08/08/studi-analisis-wacana-kritis. Asri Sjafirah, Nuryah, 2008, Critical Discourse Analysis, materi presentasi.

BASCOMMS, Handout materi pelatihan Critical Discourse Analysis, Bandung, 2007. Eriyanto, 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS Fiske, John, 1991. Introduction to Communication Studies. London and New York:

Routledge

Hamad, Ibnu, 2005, Perkembangan Analisis Wacana Dalam Ilmu Komunikasi, Sebuah

Telaah Ringkas,

http://ccm.um.edu.my/umweb/fsss/images/persidangan/Kertas%20Kerja/Dr.%20Ibnu %20Hamad.doc

Menik, 2005, Analisis Wacana, http://garis-cakrawala.blogspot.com/2005/11/analisis-wacana.html

Purba, Amir, 2007, Menyelami Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis, rubrik Riset, Dictum edisi Perdana.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis

Gambar

Tabel 1 :  Ragam Metode Analisis Naskah Sintagmatik
Tabel 2 :  Ragam Metode Analisis Naskah Paradigmatik
Gambar 2. CDA Norman  Fairclough
Tabel 3 : Proses Pengumpulan Data dalam CDA Fairclough
+4

Referensi

Dokumen terkait

a) biaya perolehan aset yang dikapitalisasi dikurangi akumulasi depresiasi, deplesi, atau amortisasi sebagaimana yang terlihat dalam pembukuan. b) selisih antara total aset

Ia juga boleh ditakrifkan sebagai satu sistem politik yang memberi peluang kepada rakyat membentuk dan mengawal pemerintahan negara (Hairol Anuar 2012). Dalam hal

Adalah sebuah fakta bahwa jumlah perempuan di dunia ini lebih banyak dari

(BOS) based on instruction and technical in aspects of application, distribution, and stakeholders engagement in planning, forming, and reporting of BOS in SMA Negeri 37

Kelompok Kerja Jasa Konsultansi Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Lamandau mengumumkan pemenang seleksi sederhana untuk Pekerjaan Pengawasan Rehabilitasi /

Saudara dianjurkan untuk membawa Berkas Dokumen Asli yang berkenaan dengan data isian sebagaimana yang telah saudara sampaikan pada Dokumen Penawaran Admnistrasi,

Menurut Syed Ahmad Hussein (1996) terdapat beberapa rumusan dan hipotisis utama yang timbul dari kajian-kajian ini yang dijadikan panduan am kepada mereka yang berminat untuk

Setiap blok penyimpanan di gudang ini hanya menampung satu jenis produk dan satu tanggal kadaluarsa, sehingga penempatan barang harus di blok yang kosong dan tidak