• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTITUSI GEN PADA PROTEIN PUTIH TELUR BURUNG PUYUH SEBAGAI DASAR DALAM KLASIFIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTITUSI GEN PADA PROTEIN PUTIH TELUR BURUNG PUYUH SEBAGAI DASAR DALAM KLASIFIKASI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTITUSI GEN PADA PROTEIN PUTIH TELUR BURUNG PUYUH SEBAGAI DASAR DALAM KLASIFIKASI

(Gene Constitution in Japanese Quail Egg White as A Standard for Classification) Riztyan

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa perbedaan konstitusi gen dan heterozigositas putih telur burung puyuh diantara garis keturunan pada dua populasi berbeda (yang dikembangbiakkan dan diseleksi selama beberapa generasi di kandang pembibitan Universitas Saga dan Universitas Kagoshima) serta bermanfaat sebagai salah satu cara klasifikasi. Polimorfisme protein ditunjukkan dengan 4 lokus polimorfik pada 5 garis keturunan menggunakan 219 sampel putih telur dari kedua populasi. Frekuensi gen, yang mengkode protein menunjukkan bahwa Ov dan TfEW adalah monomorfik untuk semua populasi. Polimorfisme pada lokus G1 hanya terjadi pada garis RR populasi Universitas Saga. Ovoglobulin adalah lokus yang paling polimorfik, menunjukkan 6 alel yang diamati pada garis seleksi dan kontrol, 3 alel pada SS, dan sisanya 2 pada LL dan RR. Hasil perhitungan menyatakan variabilitas genetik yang rendah pada hampir semua populasi. Proporsi lokus polimorfik berkisar antara 0,25 sampai 0,5; perbedaan terbesar ditunjukkan oleh garis RR. Interval heterozigositas adalah 0,0577 sampai 0,1764 pada kedua populasi dan koefisien inbreeding masing-masing 62,5% dan 31,9% pada garis LL dan SS. Besar relatif perbedaan gen terhitung 0,003 antar populasi. Jarak genetik antar populasi dalam populasi Universitas Saga adalah dekat dimana garis RR berada pada angka rata-rata dan LL mempunyai jarak genetik paling jauh. Garis seleksi dan kontrol populasi Universitas Kagoshima secara genetik memiliki hubungan yang dekat, sedangkan jarak genetik antara garis seleksi dan LL jauh.

Kata kunci : putih telur, polimorfisme protein, variabilitas genetik, heterozigositas ABSTRACT

This study was undertaken to analyze the differences of gene constitution and heterozygosity of Japanese quail egg white among lines from two different populations (Japanese quails those have been reared and selected for generations at Saga and Kagoshima University animal breeding house) with different treat-ments as for classifications. Protein polymorphism were screened at 4 polymorphic loci on 5 lines using total 219 quail egg white samples from both populations. The frequencies of the genes, which encoded the proteins, was expressing that Ov and TfEW were monomorphic within all populations. Polymorphism on G1 locus was occurred exclusively only in RR lines belongs to Saga University population. Ovoglobulin was the most polymorphic locus, exhibiting the observed six alleles in selection and control lines, three alleles in SS line, and the rest two in LL and RR lines. Measurement of genetic variability was consistently low for almost in all populations. Proportion of polymorphic loci ranged from 0.25 to 0.5, in which the greatest different was displayed by RR line. The range of heterozygosity was extent from 0.0577 to 0.1764 in both populations and inbreeding coefficient was estimated as 62.5% and 31.9% in LL and SS lines, respectively. The relative magni-tude of gene differentiation was calculated into 0.003 among populations. Genetic distances between popula-tion estimapopula-tion within Saga University populapopula-tion were low with RR line being on average and LL line was the most genetically distant while in Kagoshima University population, selection and control lines were

(2)

geneti-cally close. In general, genetic distance between selection line and LL line were high. Keywords : egg white, protein polymorphism, genetic variability, heterozygosity

PENDAHULUAN

Penelitian polimorfisme protein burung puyuh Jepang umumnya menggunakan sampel darah seperti dilakukan oleh Maeda et al. (1980). Protein putih telur lebih mudah dipurifikasi daripada kuning telur karena tidak terdapat lemak yang mengganggu proses purifikasi (Stevens, 1999a). Protein putih telur adalah larutan utama dalam putih telur, sebanyak kurang lebih 10 % dari beratnya (Stevens, 1999b). Penetapan perbedaan polimorfisme protein antar str ain dengan per bedaan fun gsi fisiologi menimbulkan keingintahuan beberapa peneliti. Penelitian secara kuantitatif di bidang genetika dengan sampel burung puyuh belum banyak dilakukan, sehingga mendorong dilakukannya penelitian ini.

Polimor fisme mer upakan peristiwa terdapatnya dua atau lebih alel yang berlainan dengan frekuensi relatif besar (biasanya lebih dari 1%) bagi gen yang sama (Nei dan Kumar, 2000). Peristiwa tersebut dapat terjadi dalam suatu populasi atau antar populasi dan menyebabkan terjadinya beberapa bentuk fenotip (Griffiths et al., 1999a). Hal ini dapat diketahui ketika sebuah lokus genetik teridentifikasi pada tingkat protein. Polimorfisme genetik pada lokus bisa terjadi karena mutasi (Nei dan Kumar, 2000). Kemajuan metode elektroforesis untuk pemisahan protein mampu melihat polimorfisme protein yang menyebar luas. Penelitian polimorfisme genetik telah dilakukan pada tingkat polipeptida yang dikode oleh gen strukturalnya (Griffiths et al., 1999a). Penetapan perbedaan polimorfisme protein antar strain berguna untuk membandingkan struktur pro-tein spesifik yang terbentuk pada setiap strain untuk menetapkan hubungan filogenetik dan membuat pohon filogenetik. Polimorfisme juga dapat menjelaskan sejarah terdekat burung puyuh sejalan dengan pengetahuan akan hubungan dominansi. Polimorfisme protein dapat mendeteksi fenotip baru maupun alel dan bermanfaat untuk menentukan

derajat variabilitas genetik (Stevens, 1987). Salah satu cara untuk mengetahui polimorfisme dalam sebuah populasi adalah menghitung rata-rata proporsi lokus polimorfik yaitu dengan membandingkan jumlah lokus polimorfik dengan seluruh sample lokus (Hsiung Li dan Graur, 1991).

Penelitian bertujuan untuk menganalisa perbedaan konstitusi gen dan heterozigositas putih telur antar garis keluarga burung puyuh Jepang dari dua populasi serta bermanfaat sebagai salah satu cara gun a klasifikasi. Hasil pen elitian diperoleh berdasarkan hasil analisa gel, perhitungan data, dan didukung oleh referensi. Secara umum diharapkan agar manfaat seperti tersebut di atas dapat diperoleh dan secara khusus memperluas kajian polimorfisme protein putih telur burung puyuh Jepang.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pembibitan Ternak dan Genetik, Fakultas Pertanian, Universitas Kagoshima, Jepang.

Preparasi Sampel Putih Telur. Sampel diambil dari dua populasi yang berbeda dari kandang pembibitan burung puyuh. Populasi pertama berasal dari gen er asi ketujuh populasi Un iver sitas Kagoshima. Terdapat dua garis keturunan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu garis seleksi (S) dan non-seleksi (C), masing-masing 45 dan 40 ekor. Kedua garis keturunan tersebut mempunyai ukuran sedang dan dikenal sebagai jenis acak. Dua param-eter yang diperlakukan pada kedua garis tersebut adalah efisiensi pakan dan produksi telur. Telur diambil pada umur 36 minggu. Populasi kedua berasal dari Universitas Saga berupa dua garis seleksi yang digunakan sebagai bahan penelitian, yaitu garis keturunan besar (LL) dan kecil (SS). Garis keturunan ini telah diseleksi sejak 80 generasi terakhir untuk peningkatan dan penurunan bobot badan. Burung

(3)

Tabel 1. Metode Pemisahan Protein Putih Telur Burung Puyuh

Nama Lokus Protein Metode Pustaka

Ov Ovalbumin Native-PAGE Davis (1964)

G3 Ovoglobulin Native-PAGE Davis (1964)

TfEW Ovotransferrin Native-PAGE Davis (1964)

G1 Lysozyme Acid Native-PAGE Reisfield et al., (1962)

Ilustrasi 1. Fenotip Elektroforesis pada Polimorfisme Protein Putih Telur pada Kedua Populasi; (1) Lysozyme G1(alel: FS dan FF) , (2) Ovotransferrin (alel: BB), (3) Ovalbumin (alel: AA),(4) Ovoglobulin G3 (alel: AC, AD, BD, BB, CD, C’D’, C’C’, AD’)

AA FS

FF

BB AD AC BD BB CD C’D’ C’C’ AD’ 1 2 3 4

+

-

+

-

+

-

(4)

puyuh yang diamati masing-masing berjumlah 45 dan 33 ekor pada LL dan SS. Garis keturunan selanjutnya adalah kontrol (RR) yang merupakan populasi tersendiri dan telah dipertahankan melalui perkawinan acak selama lebih dari 20 tahun. Burung puyuh yang diamati pada garis RR berjumlah 56 ekor. Setiap telur dipecah diatas glassware dan lapisan albumen tipis dari telur segar tersebut diambil dengan pipet 1000 µl. Albumen disimpan dalam tabung plastik menggunakan pelarut 50 % gliserol.

Analisis Elektroforesis. Empat lokus pengkode protein terdiri dari ovalbumin (Ov), ovoglobulin (G3), ovotransferin (TfEW), dan lisozim (G1). Penelitian menggunakan gel acid native polyacrylamide untuk lisozim sedangkan untuk ketiga lokus lainnya menggunakan 8 – 12% (Laemmli, 1970) gel native polyacrylamide (Native-PAGE). Elektroforesis menggunakan 10 – 12% gel starch horizontal juga digunakan untuk ovoglobulin (G3) sesuai metode Stratil (1968) atau Baker dan Manwell(1962). Elektroforesis dilakukan dalam ruang penelitian dengan suhu 4 0C. Metode elektroforesis dan petunjuk staining yang digunakan pada setiap lokus protein ditunjukkan Tabel 1.

Hasil elektroforesis protein putih telur kecuali lisozim, dipisahkan menjadi beberapa pita. Pemisahan tersebut dibedakan sesuai wilayahnya berdasarkan kecepatan migrasi ovalbumin, ovoglobulin dan ovotransferin (Ilustrasi 1).

Perhitungan Variabilitas Genetik. Frekuensi alel dihitung dengan metode perhitungan alel langsung. Perhitungan tiap lokus polimorfik diharapkan sesuai kondisi keseimbangan Hardy-Weinberg pada semua populasi. Variabilitas genetik dihitung berdasarkan proprosi lokus polimorfik (PPoly) dan rata-rata heterozigositas (H). PPoly diperoleh dari perbandingan lokus polimorfik dengan total lokus yang dianalisa. Rata-rata heterozigositas tiap populasi pada semua lokus yang dideteksi diperoleh menurut Nei (1978), dengan rumus di bawah ini:

H = 2n Σ(1-qi 2)/(2n-1)

Dimana qi adalah frekuensi alel ke i pada sebuah lokus, n adalah jumlah individu pada populasi dan bar (H) berarti rata-rata semua lokus yang diamati. Koefisien inbreeding relatif (F) garis LL dan SS diperoleh dengan model berikut:

FLL= (HRR-HLL)/HRR FSS= (HRR-HSS)/HRR

Besar relatif perbedaan gen antar strain diukur dengan koefisien perbedaan gen, GST (Nei, 1973; Nei dan Kumar, 2000). Koefisien diperoleh dari :

GST= (HT-HS)/HT

Dimana HT adalah perhitungan rata-rata heterozigositas dari total populasi yang dihitung dari rata-rata frekuensi gen seluruh strain dan HS adalah rata-rata heterozigositas seluruh strain. Jarak genetik standar (Ds) dihitung seperti perhitungan persamaan genetik antar populasi menurut Nei (1972), Ds =

-log

eI, I = Jxy/(Jx.Jy)1/2, dimana Jx, Jy, dan Jxy masing-masing adalah rata-rata Óxi2, Σy

i

2, dan Σx iyi lokus yang dipelajari. xi adalah frekuensi alel ke i pada satu lokus dalam populasi x dan yi dalam populasi y. Pohon filogenetik dibuat berdasar metode neighbor join-ing (Saitou dan Nei, 1987) menggunakan aplikasi piranti lunak MEGA untuk average distance methode atau unweighted pair group methode with arith-metic mean (UPGMA) (Kumar,1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme Protein Putih Telur

Polimorfisme protein menggunakan teknik gel elektroforesis membentuk pita-pita dengan pola tertentu. Hal ini memungkinkan munculnya sebuah pertanyaan sejauh mana proporsi gen – gen struktural dalam genom suatu spesies yang polimorfik dan berapa rata-rata heterozigositasnya dalam populasi. Nei dan Kumar (2000) menguatkan bahwa teknik ini mampu mendeteksi banyaknya variasi genetik dan tidak perlu mendeteksi seluruh alel yang berbeda pada tingkat DNA.

Frekuensi alel yang mengkode protein (Tabel 2) menunjukkan bahwa Ov dan TfEW adalah monomorfik dalam semua populasi. Hal itu memperlihatkan bahwa pada homozigot memiliki intensitas war na pita lebih tinggi daripada heterozigot. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat polimorfisme pada ovalbumin, meskipun menurut Iwase et al. (1984) bahwa muncul indikasi penambahan variasi yang berbeda satu sama lain pada rantai oligosakarida ovalbumin. Penelitian menunjukkan dua variasi genetik pada ovalbumin,

(5)

OvA dan OvB. Ovotransferin atau dikenal sebagai conalbumin adalah protein kedua terbesar dari pro-tein putih telur dalam putih telur (Stevens,1991a). Polimorfisme pada ovotransferin belum ditemukan dalam TfEWA, Tf

EW B, Tf

EW C.

Polimorfisme pada lokus G1 terjadi dalam populasi RR Universitas Saga. Tujuh pita heterozigot dalam gel lisozim dengan jelas terlihat pada alel F dan S. Frekuensi alel S lebih tinggi daripada alel F masing-masing 0,94 dan 0,06, sementara pada populasi lain bersifat monomorfik. Menurut Nei (1987) bahwa sebuah lokus dikatakan polimorfik ketika frekuensi dari sebagian besar alel adalah kurang dari 0,99. Penemuan ini telah memperkaya jenis ternak yang mengandung enzim ini mengingat secara keseluruhan hanya 3,4 % dari seluruh protein (Belitz, 1999) dan pada penelitian ini digolongkan dalam tipe-c (ayam) berdasarkan urutan asam amino dan perbedaan anti-gen (Stevens, 1991a). Berdasarkan sudut pandang genetika hanya terdapat dua bentuk polimorfisme yang telah terdeteksi, yaitu G1F dan G

1

S (Baker, 1968). Ovoglobulin adalah lokus yang paling polimorfik, menunjukkan enam alel pada seleksi dan kontrol, tiga alel pada SS, dan masing-masing satu buah pada LL dan RR. A dan C merupakan alel-alel yang sering muncul. Hasil penelitian ini sesuai

Stevens (1991a) dengan membandingkan protein putih telur diatas, ovoglobulin mempunyai polimorfisme lebih besar, tetapi secara kelompok belum banyak terdefinisi dan baru sedikit yang diketahui strukturnya.

Variabilitas dan Heterozigositas

Perhitungan variabilitas genetik tetap rendah pada hampir semua populasi. Proporsi lokus polimorfik berkisar antara 0,25 sampai 0,5, dimana perbedaan terbesar ditunjukkan oleh garis RR. Heterozigositas berkisar antara 0,0577 sampai 0,1764 pada kedua populasi dan nilai koefisien inbreeding adalah 62,5% dan 31,9% pada garis LL dan SS. Terdapat tiga parameter yang mempunyai hubungan erat melalui analisa di bawah ini, yang dideskripsikan pada Tabel 3.

Heterozigositas pada garis seleksi dan kontrol lebih tinggi, dengan asumsi bahwa tidak terdapat seleksi individu dan betina dikawinkan dengan pejantan acak. Heterozigositas dalam populasi Saga kecil, akan tetapi terdapat pengecualian dimana RR mempunyai heterozigositas tinggi (Tabel 3). Menurut Griffith et al. (1999b) bahwa bila suatu alel frekuensinya sangat tinggi maka alel lainnya mendekati nol, selanjutnya heterozigositas menjadi sangat kecil karena sebagian besar individu adalah Tabel 2. Distribusi Frekuensi Gen pada 4 Lokus Protein Putih Telur dalam 5 Kelompok

di Universitas Saga dan Kagoshima

Protein

Lokasi Kelompok Ov Tfew G1 G3

A B A B C F S A B C D C' D' Univ. Seleksi 1,00 0 0 1,00 0 0 1,00 0,46 0,06 0,21 0,19 0,03 0,06 Kgs n=45 Univ. Kontrol 1,00 0 0 1,00 0 0 1,00 0,50 0,03 0,35 0,10 0,01 0,01 Kgs n=40 Univ. LL 1,00 0 0 1,00 0 0 1,00 0,87 0,13 -- -- -- -- Saga n=45 Univ. RR 1,00 0 0 1,00 0 0,06 0,94 0,53 -- 0,47 -- -- -- Saga n=56 Univ. SS 1,00 0 0 1,00 0 0 1,00 0,71 -- 0,27 0,02 -- -- Saga n=33 HT = 0,131 HS = 0,130 GST = 0,001

(6)

homozigot pada alel-alel tersebut.

Koefisien inbreeding pada kedua garis ini lebih tin ggi diban din gkan h asil yan g diper oleh Ardiningsasi et al. (1993). Nei (1987) menyatakan bahwa in br eeding men in gkatkan frekuen si homozigot, dan jika tidak terdapat faktor lain, F akan sama dengan koefisien inbreeding pada Wright’s (1969). F dalam hal ini selalu bernilai positif.

Besar relatif perbedaan gen terhitung 0,001 antar populasi (Tabel 2). Nilai ini mengindikasikan bahwa kira-kira 0,1 % keragaman gen yang diamati lebih dikarenakan oleh perbedaan populasi dan hampir 99,9 % karena variasi antar individu dalam populasi. GST sangat tergantung pada nilai HT. Nilai yang rendah sesuai dengan Ardiningsasi et al., (1993) bahwa indeks subdivisi (GST) pada penelitian ini menghasilkan rendahnya derajat perbedaan antar populasi walaupun perbedaan karakter fisiologi tetap ada.

Jarak Genetik

Jarak genetik antar populasi di Universitas Saga adalah rendah dimana RR berada di tengah dan LL berjarak paling jauh, sedangkan populasi Univer-sitas Kagoshima memiliki jarak yang dekat antara garis seleksi dan kontrol (Tabel 4). Jarak genetik berarti besarnya perbedaan genetik (perbedaan genom) antar dua populasi. Hal ini merupakan perbedaan genetik

yang diukur dengan frekuensi alel (Nei dan Kumar 2000). Nei (1972) mengembangkannya melalui pengukuran jarak genetik sebagai jarak genetik standar yang bernilai proporsional terhadap waktu evolusi dengan mempertimbangkan pengaruh mutasi dan arus genetik. Secara umum jarak genetik antara garis seleksi dan LL adalah jauh. Penerapan metode jarak rata-rata mampu membedakan dengan jelas mengkonstruksi pohon filogenetik (Ilustrasi 2). Garis LL mempunyai asal yang berbeda dari garis RR dan SS.

Terdapat hubungan genetik yang dekat antar populasi Universitas Saga dan Kagoshima, dan sulit dijelaskan karena kedua populasi tersebut berada pada dua daerah ekologi berbeda dengan sistem pr oduksi yang berbeda. Hanya ter dapat dua polimorfisme pada lokus G3 yang membuat jarak LL jauh, yaitu 0,87 pada alel A dan 0,13 pada alel B. Alel A mempunyai frekuensi tinggi pada lokus G3 sedangkan pada alel B tidak. Garis LL diperkirakan mempunyai asal yang berbeda dengan RR dan SS dan terdapat polimorfisme pada lokus G3 dan G1. LL dan SS kemungkinan memiliki perbedaan gen yang kecil sebagai akibat dari arus genetik acak. Kinoshita et al. (2002) menegaskan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena adanya kekurangan jumlah burung puyuh pada beberapa generasi terdahulu dan alel-Tabel 3. Variabilitas dan Heterozigositas Setiap Populasi

Lokasi Kelompok Ppoly H

Univ. Kagoshima Seleksi 0,25 0,178

Univ. Kagoshima Kontrol 0,25 0,156

Univ. Saga LL 0,25 0,059

Univ. Saga RR 0,5 0,155

Univ. Saga SS 0,25 0,106

Tabel 4. Matriks Standar Jarak Genetik (Ds) antar Masing-masing Pasangan dalam 5 Populasi Berdasarkan 4 Lokus Menggunakan Nei (1972)

Populasi Kontrol LL RR SS

Seleksi 0,005 0,035 0,019 0,015

Kontrol 0,038 0,005 0,008

LL 0,051 0,016

(7)

alel tersebut hilang oleh efek bottleneck mengingat seleksi telah dilakukan selama lebih dari 80 generasi.

KESIMPULAN

Perbedaan konstitusi gen putih telur puyuh Jepang antar garis keturunan menghasilkan sebuah dasar baru dengan klasifikasi untuk meyakinkan variasi genetik dari dua populasi dan perlakuan yang berbeda yaitu Universitas Saga dan Kagoshima. Penelitian sebaiknya dilanjutkan untuk mengamati populasi lain yang berada di sekitar Saga dan Kagoshima. Metode penelitian dapat diterapkan pada

di daerah lain menggunakan jumlah lokus lebih banyak sehingga nilai diversitas genetik lebih akurat dan mengurangi kesalahan sampling yang lebih besar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Yoshizane Maeda dan Dr. Keiji Kinoshita (Fac-ulty of Agriculture, Kagoshima University, Japan) atas kesempatan dan penyediaan fasilitas selama penelitian, serta saran dan koreksi pada naskah.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiningsasi, S. M., Y. Maeda, Shin Okamoto, Satoru Okamoto and T Hashiguchi. 1993. Protein polymorphism in the quail line selected for large and small body weight. Jpn. Poultry Sci. 30(2) : 123-128.

Baker, C.M and C. Manwell. 1962. Molecular genet-ics of avian protein. The egg proteins of do-mestic fowl. Br. Poultry Sci. 3 : 161-167. Baker, C.M. 1964. Molecular genetics of avian

pro-teins. III. The egg protein of an isolated popu-lation of jungle fowl, Gallus gallus (L). Comp. Biochem. Physiol. 12: 389-396.

Baker, C.M. 1968. Molecular genetics of avian pro-teins. IX. Interspecific and intraspecific varia-tion of egg white proteins of the genus Gallus. Genetics 58:211-219.

Groschm, B. 1999. Food Chemistry 2nd Ed. Springer, Verlag Berlin Heidelberg.

0.002

Seleksi

Kontrol

LL

RR

SS

(8)

Buvanendran, V. 1967. Egg white polymorphism and economic characters in the domestic fowl. Br. Poultry Sci. 8: 119-227.

Davis, B. J. (1964 ). Disc electrophoresis ?-method and application to human serum proteins. Ann. NY Acad. Sci. 121: 404-408.

Desert, C., C. Gue’rin Dubiard, F. Nau, G. Jan, F. Val and J. Mallard. 2001. Comparison of different electrophoretic separations of hen egg white proteins. J. Agric. Food Chem. 49(10) : 4553-4561.

Fairbanks, D. J and W. Andersen. 1999. Genetics: The Continuity of Life. Brooks/Cole Publ. Co. New York.

Griffiths, A.J.F., William M.G., Jeffery H.M and Rich-ard C.L. 1999a. Modern genetic analysis. W.H. Freeman and Co., New York.

Griffiths, A.J.F., David Suzuki, William M.G., Jeffery H.M and Richard C.L. 1999b. An introduction to genetic analysis. W.H. Freeman and Co., New York.

Hsiung Li, W and D. Graur. 1991. Fundamental of Molecular Evolution. Penerbit Sinauer Asso-ciates, INC Publishers, Massachusetts. Iwase, H., Kato, Y and Hotta, K. (1984). Comparative

study of ovalbumins from various avian spe-cies by Con A/ Sepharose chromatography. Comp. Biochem. Physiol. 77B : 743-747. Kinoshita, K., S. Okamoto, T. Shimogiri, K. Kawabe,

T. Nishida, R. Kakizawa, Y.Yamamoto and Y. Maeda. 2002. Gene constitution of egg white proteins of native chicken in Asian countries. Asian-Austral. J. Anim. Sci. 15 (2) : 157-165. Kumar, S., K. Tamura and M. Nei. 1993. MEGA

(mo-lecular Evolutionary Genetic Analysis), ver. 1.01. The Pennsylvania State University, Uni-versity Park, PA 16802.

Laemmli, U.K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of Bacte-riophage T4. Nature 227: 680 - 688.

Legates, J.E and E.J. Worwick. 1990. Breeding and

Improvement of Farm Animals. 8

th Ed. McGraw Hill Publishing Co. Agricultural Science Okla-homa State Univ.

Lush, I.E. 1961. Genetics polymorphism in the egg albumen proteins of the domestic fowl. Na-ture 189 : 981-998.

Maeda, Y., K.W. Wasburn and H.L Marks. 1980. Pro-tein polymorphism in quail population selected for large body size. Animal Blood Groups Bio-chemical Genetics, 11: 251-260.Stevens, L. 1991a. Genetics and evolution of the domes-tic fowl. Cambridge Univ. Press.

Minkema, D. 1987. Dasar Genetika dalam Pembudidayaan Ternak. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta.

Nei, M. 1972. Genetic distance between populations. Am. Nat. 106: 283-292.

Nei, M. 1973. Analysis of the gene diversity in sub-divided populations. Proc. Nat. Acad. Sci. USA. 70: 3321-3327.

Nei, Mashatoshi. 1987. Molecular evolutionary ge-netics. Columbia University Press, New York. Nei, M and Kumar, S. 2000. Molecular evolution and genetics. Oxford University Press, New York. Reisfield, R.A., U.J. Lewis, and D.E. Williams. 1962. Disk electrophoresis of basic proteins and peptides on polyacrylamide gels. Nature. 4838: 281-283.

Saitou and M. Nei. 1987. The neighbor-joining method: a new method for reconstructing phy-logenetic trees. Mol. Bio. Evol. 4: 406-412. Stevens, L. 1991b. Egg white proteins. Comp.

(9)

Stratil, A. 1968. Transferrin and albumin loci in chicken, Gallus L. Comp. Biochem. Physiol. 24: 113-118.

William, P.W., G.B. Edward, O.C. Carl dan V.B. Robert. 1967. The nature of the biochemical lesion in avian renal riboflavinuria-II. The inherited change of a riboflavin-binding protein from blood and eggs. Comp. Biochem. Physiol. 22: 897-903.

Wright, S. 1969. Evolution and the genetics of popu-lations. vol. 2: The theory of gene frequen-cies. Chicago: III. University of Chicago Press.

Gambar

Ilustrasi 1.   Fenotip Elektroforesis pada Polimorfisme Protein Putih Telur pada Kedua Populasi; (1) Lysozyme  G1(alel: FS dan FF) , (2) Ovotransferrin (alel:  BB), (3)   Ovalbumin (alel:  AA),(4) Ovoglobulin  G3 (alel:  AC, AD, BD, BB, CD, C’D’, C’C’, AD’
Tabel 4. Matriks Standar Jarak Genetik (Ds) antar Masing-masing Pasangan dalam 5 Populasi                              Berdasarkan 4 Lokus Menggunakan Nei (1972)

Referensi

Dokumen terkait

Pemakaian Metafora dalam Judul-judul Berita di Media Massa Cetak Kalimantan Selatan. Penelitian ini meneliti metafora yang merupakan salah satu kajian semantik yang

Berdasarkan hasil studi lapangan diketahui bahwa 1) Guru sudah menggunakan LKS dalam proses pembelajaran; 2) Sebagian besar LKS yang digunakan berasal dari membeli; 3)

Tujuan penciptaan program dokumenter “Manusia Pasir” ini yakni dapat menciptakan sebuah program televisi dengan format program dokumenter berjudul “Manusia Pasir” yang

Program dokumenter “Secangkir Kisah Dari Merapi” ini memberikan suguhan segelintir kisah yang terjadi di lereng Gunung Merapi Yogyakarta, dihadirkan melalui potret

Hasil identifikasi terhadap karakter morfologi buah diketahui bahwa buah pisang barangan secara umum memiliki posisi buah melengkung ke arah tangkai, bentuk buah

Selain bersubstrat batang-batang pohon beberapa jenis lumut di lokasi penelitian juga ada yang bersubstrat kayu-kayu lapuk ataupun batu karang. Kayu lapuk merupakan media yang baik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur infertil sisa hasil penetasan yang difermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae pada level yang berbeda berpengaruh nyata