• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBAIKAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA MISKIN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Kasus Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Kotamadya Bandung) MAHYUDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBAIKAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA MISKIN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Kasus Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Kotamadya Bandung) MAHYUDI"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

130

PERBAIKAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA MISKIN

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

(Kasus Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Kotamadya Bandung)

MAHYUDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

140

PERNYATAAN TENTANG TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Perbaikan Sistem Pembinaan Narapidana Miskin di Lembaga Pemasyarakatan (Kasus Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kotamadya Bandung)” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas ini.

Bogor, Agustus 2008

M A H Y U D I NRP. I354060185

(3)

141

ABSTRAK

MAHYUDI, Perbaikan Sistem Pembinaan Narapidana Miskin di Lembaga Pemasyarakatan (Kasus Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kotamadya Bandung). Dibimbing oleh NURAINI W. PRASODJO sebagai Ketua, IRAWAN SOEHARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), tidak lagi menerapkan sistem kepenjaraan dan penghukuman bagi narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan. Kegiatan Lembaga Pemasyarakatan telah berubah seiring berkembangnya kemajuan jaman. Sistem pembinaan yang dilakukan mengacu kepada sistem pemasyarakatan, yaitu untuk memulihkan kembali menjadi manusia baru yang lebih mandiri dan dapat diterima kembali dalam masyarakat.

Narapidana sebagai individu yang terbelenggu kemerdekaannya, tidak dapat melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama bagi narapidana miskin. Untuk itu, perlu ada upaya dari narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan melalui penerapan sistem pembinaan yang dilaksanakan.

Permasalahan yang dihadapi narapidana miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, disebabkan sistem pembinaan yang dilaksanakan kurang efektif.

Tujuan kajian ini adalah (1) mengetahui sejauhmana sistem pembinaan narapidana miskin dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan dan setelah mereka keluar dari Lapas (2) mengetahui respons narapidana miskin terhadap pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan dan (3) menyusun strategi pembinaan yang tepat di Lembaga Pemasyarakatan dengan melihat faktor-faktor yang ada, baik faktor penghambat maupun faktor pendukung.

Kajian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu pemetaan sosial, evaluasi program dan kajian lapangan dengan fokus kegiatan merancang strategi pembinaan yang tepat guna membantu narapidana miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di Lembaga Pemasyarakatan dan dalam rangka mempersiapkan kemampuan mereka di luar Lapas. Metode kajian yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan pengamatan berperan serta, wawancara mendalam, studi dokumentasi dan focus group discussion (FGD). FGD dilakukan dengan melibatkan Kepala Lapas, Petugas Lapas, narapidana dan keluarganya, pada saat pertemuan rutin dan kunjungan masal.

Penyusunan rancangan strategi dan program dilakukan secara partisipatif dengan tahap-tahap, yaitu membahas masalah yang dihadapi dan menentukan masalah yang menjadi prioritas, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi potensi ekonomi narapidana, serta melakukan penggalian aspirasi dalam rangka penyusunan strategi dan rancangan program pengembangan masyarakat.

Hasil kajian digunakan untuk merumuskan program yang tepat dalam pembinaan narapidana miskin, juga untuk menjawab respons narapidana terhadap pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan selama ini, yang terdiri dari program Kerjasama atau Kemitraan dengan instansi terkait dan melalui pembentukan Lapas berbasis Masyarakat (Lapas Terbuka).

(4)

142

ABSTRACT

MAHYUDI, The treatment rehabilitation system of the poor prisoner in the Correctional Institution. (Case of Treatment in The Correctional Institution Sukamiskin, Bandung Regency). Advisor Team NURAINI W. PRASODJO, as the Chairman, and IRAWAN SOEHARTONO, as the Member of Advisor Committion.

Treatment was conducted in The Correctional Institution, is not again use prisons system or funishment for prisoner. The Correctional Institution activity has been changed along with developing of age progress. The treatment system which is carried out aim at to the correctional system, namely to make recover to be a new person it more acceptable and self-supportingly returned to community.

The Prisoner is as an individual whose freedom shacled, cant do anything to fulfill their life need and also for their families who are left, because of that, there is need an effort, either prisoners their selves as well as the correction institution by using treatment system which is carried out.

The problem which is faced by the poor prisoner are to fulfill their life need and also rehabilitation treatment system in the.Correctional Institution, in order more effective.

The purpose of this study is (1) knowing how far the treatment system for the poor prisoner done in the Correctional Institution and after they out from the institution (2) knowing how a respons of the poor prisoner by the treatment done in the Correctional Institution and (3) make design treatment strategy in order more effective in the Correctional Institution by seeing available factors, either resistor factor as well as support factor.

There are three stages used in this study, namely social mapping, program evaluation, and field study focused on designing the increasing treatment strategy more effective for helping poor prisoner to fulfiil their life need in the Correctional Institution and for the skill purposed when they out from the Correctional Institution. This study uses a qualitative method and data collection techniques used were participation observations, in-depth interviews, documents, and focus group discussion (FGD) is carriout by in volving the leader, guardian Correctional Institution, prisoners and their families at the time of regularity meeting and public visiting.

The program and strategy was designed in a participatory way with several stages : discussing and determining an encountered and prioritized problem, analyzing any factors influencing prisoner economic potency and triggering some aspiration in the effort to design the strategy and program of community development.

The research result were used to formulate the program concerning in effective treatment strategy to increase of prisoner economic potency in fulfill the life need, what consists of partnership program with the related institutions and through forming of Community-based correction.

Keywords : Treatment system, the correctional institution, partnership and community-based correntions.

(5)

143

RINGKASAN

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Lapas merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lapas bisa narapidana (napi) atau tahanan. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.

Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin merupakan institusi pemerintah berada di wilayah Kecamatan Arcamanik Kelurahan Sukamiskin. Jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin per Agustus 2007 sebanyak 485 orang, narapidana yang menjalani pembebasan pada bulan Agustus 2007 sebanyak 6 orang, dan pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu atau dari lingkungan keluarga miskin, karena sebagian besar terdiri dari pekerja tidak tetap dan beberapa diantaranya bekerja sebagai buruh serta petani.

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, terletak di Jalan AH. Nasution No. 114 Bandung, termasuk dalam wilayah Kelurahan Sukamiskin Bandung. Sarana dan prasarana yang ada di Lapas Sukamiskin, yaitu ; luas tanah 146.355 m², luas bangunan 9.351, 35 m², kapasitas hunian 552 orang, kamar hunian besar 84 ruang (ukuran 3 m x 2,15 m), kamar hunian kecil 467 ruang (ukuran 2,15 m x 1,5 m), ruang bengkel kerja seluas 1.296 m², lahan pertanian di dalam Lapas 100 m², lahan pertanian di luar Lapas 2.800 m², kolam ikan di dalam Lapas 300 m² dan kolam ikan di luar Lapas 500 m².

Untuk menjawab permasalahan, tentang bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Lapas Sukamiskin bagi narapidana, terhadap sistem pembinaan yang dilaksanakan selama narapidana berada di Lembaga Pemasyarakatan, dalam menanggulangi masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi narapidana keluarga miskin, meliputi : (1) bagaimana sistem pembinaan narapidana miskin, di Lembaga Pemasyarakatan; (2) bagaimana respons narapidana miskin terhadap pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan; dan (3) bagaimana strategi pembinaan yang lebih tepat agar narapidana miskin dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik selama di dalam Lapas maupun setelah keluar dari Lapas.

Selanjutnya, kajian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui sejauhmana sistem pembinaan narapidana miskin, dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan; (2) mengetahui respons narapidana miskin terhadap pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan; dan (3) menyusun strategi pembinaan yang lebih tepat di Lembaga Pemasyarakatan, agar narapidana miskin dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik selama di dalam Lapas maupun setelah keluar dari Lapas.

Sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan melalui tahap-tahap proses pemasyarakatan, meliputi : Tahap Pertama, pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan tahap ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya maksimum

(6)

144

(maksimum security). Tahap Kedua, jika proses pembinaan terhadap narapidana

yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 (sepertiga) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan melalui pengawasan

medium-security.

Tahap Ketiga, jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ (setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik maupun mental dan juga segi keterampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan assimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian, yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dan pengawasannya sudah memasuki tahap

medium security. Tahap ketiga dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama

sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap assimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan

minimum security.

Tahap Keempat, jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir, yaitu kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.

Kerangka pemikiran didalam kajian ini menerangkan, bahwa sistem pembinaan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sangat dipengaruhi oleh narapidana yang ada di Lapas, berdasarkan karakteristik yang dimilikinya, antara lain, berdasarkan umur, tingkat pendidikan, motivasi dengan dukungan jenis pekerjaan yang sebelumnya digeluti oleh narapidana, kapasitas sarana dan prasarana yang dimiliki Lapas serta perilaku terhadap jenis kejahatan yang membawanya masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang akan mempengaruhi terhadap pembinaan yang .dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan.

Pengertian narapidana miskin yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin adalah sebagai berikut :

a. Narapidana yang sebelum masuk Lapas, pada umumnya berpenghasilan rendah, pada umumnya banyak yang bekerja pada sektor non formal, seperti ; buruh, tukang ojek, serta pegawai rendahan, yang berpenghasilan dibawah Upah Minimun Regional (UMR), antara 500 ribu rupian sampai dengan 700 ribu rupiah perbulan.

b. Sebagian besar narapidana berpendidikan rendah, dari 485 orang narapidana, sebanyak 333 orang berpendidikan rendah (SD dan SMP) atau sebesar 66 %. Respons narapidana terhadap sistem pembinaan yang dilaksanakan selama ini di Lembaga Pemasyarakatan beragam, juga terhadap harapan narapidana terhadap sistem pembinaan selama, secara garis besar belum dapat memenuhi harapan mereka, untuk memudahkan responden dalam kajian, maka dibagi kedalam tipologi responden, terdiri dari :

(7)

145

- Tipe 1, yaitu mereka yang menjalani pidana lama dan berminat terhadap bidang pertanian.

- Tipe 2, yaitu mereka yang menjalani pidana lama dan berminat terhadap bidang industri dan jasa.

- Tipe 3, yaitu mereka yang menjalani pidana tidak lama dan berminat terhadap bidang pertanian dan

- Tipe 4, yaitu mereka yang menjalani pidana tidak lama dan berminat terhadap bidang industri dan jasa.

Sedangkan respons dari Petugas sebagai Pembina dan pendamping narapidana merasakan masih kurang maksimalnya sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, hal in berkenaan dengan tingkat partisipasi dan kepedulian narapidana dalam mengikuti kegiatan pembinaan serta faktor sarana dan prasarana pendukung termasuk dana atau anggaran kegiatan pembinaan serta metode pembinaan yang dilaksanakan, seperti proses kegiatan belajar yang dilaksanakan

Untuk itu, perlu adanya sistem pembinaan narapidana miskin yang lebih efektif dan tepat sasaran serta sesuai dengan harapan dan kebutuhan narapidana yang ada di Lapas, juga harapan petugas sebagai pembina dan pendamping narapidana dalam melaksanakan sistem pembinaan, baik itu metode pembinaan kepribadian yang menitikberatkan kepada pembinaan mental, akhlak dan perilaku, juga terhadap metode pembinaan kemandirian yang menitikberatkan kepada pemberian kegiatan bimbingan keterampilan bagi narapidana, juga kurangnya dukungan dan partisipasi dari masyarakat, karena di dalam sistem pembinaan yang dilaksanakan Lapas, tidak terlepas dari tiga hal yang saling bersinergi, yaitu antara narapidana, petugas dan masyarakat.

Sebagai upaya perbaikan guna peningkatan sistem pembinaan narapidana miskin di Lapas, strategi dan program yang dapat dilaksanakan yaitu dengan menjalin kemitraan dengan instansi terkait (pemerintah/swasta), agar hasil-hasil produksi yang dihasilkan oleh narapidana dapat ditingkatkan, termasuk dalam hal peningkatan sumber daya manusia narapidana dengan memberikan pendidikan dan pelatihan. Juga dengan menumbuhkan perilaku kewirausahaan bagi narapidana, sehingga apabila kelak mereka keluar dan bebas dari Lapas, dapat menerapkan hasil bimbingan keterampilan kerja yang telah diperolehnya selama di Lapas. Program lain adalah dengan mempercepat program integrasi sosial berupa asimilasi yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakat Terbuka.

Pada dasarnya keberhasilan sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, tidak lepas dari narapidana itu sendiri, petugas sebagai pembina dan pendamping narapidana dan yang sangat penting adalah adanya dukungan dan partisipasi masyarakat, sehingga apabila nanti narapidana bebas dapat diterima kembali ke dalam lingkungan masyarakat. Dengan demikian mantan narapidana merasa seperti menjadi manusia kembali dan tidak dikucilkan dalam lingkungannya.

(8)

147

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(9)

131

PERBAIKAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA MISKIN

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

(Kasus Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Kotamadya Bandung)

MAHYUDI

Tugas Akhir

Sebagai Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(10)

133

Judul Tugas Akhir : Perbaikan Sistem Pembinaan Narapidana Miskin di Lembaga Pemasyarakatan

(Kasus Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kotamadya Bandung)

Nama Mahasiswa : MAHYUDI NRP : I354060185

Diketahui :

Mengetahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana, Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. DJUARA P. LUBIS. MS Prof. Dr. Ir. KHAIRIL A. NOTODIPUTRO, MS

Tanggal Ujian : 5 MEI 2008 Tanggal Lulus : 9 SEPTEMBER 2008 Prof. Dr. IRAWAN SOEHARTONO Anggota

Ir. NURAINI W. PRASODJO, MS Ketua

Disetujui, Komisi Pembimbing :

(11)

132

(12)

134

PRAKATA

Puji syukur hanya milik Allah SWT, Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta segenap makhluk-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Tugas akhir ini berupa penulisan Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) sebagai lanjutan dari kajian lapangan yang dilaksanakan di Kelurahan Sukamiskin, tepatnya di salah satu institusi pemerintah, yaitu di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung.

Kajian Pengembangan Masyarakat ini berjudul Perbaikan Sistem

Pembinaan Narapidana Miskin di Lembaga Pemasyarakatan.

Tulisan ini dapat terselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis secara tulus mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan menyumbangkan pemikiran dalam pembimbingan dan memberikan saran dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan kajian ini;

2. Bapak Prof. Dr. Irawan Soehartono, selaku Anggota Komisi Pembimbing, beserta keluarga, yang telah memberikan motivasi dalam rangkaian proses penyelesaian kajian ini;

3. Departemen Sosial Republik Indonesia, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan finansial/dana kepada penulis untuk menjalani proses belajar pada program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat kerja sama Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung; 4. Segenap Pimpinan dan civitas akademika Sekolah Pascasarjana Magister

Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor;

5. Segenap Pimpinan dan civitas akademika Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung;

6. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan saran dan masukan guna perbaikan kajian ini;

7. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;

8. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat, yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis dalam melaksanakan kewajiban sebagai Tugas Belajar;

9. Pimpinan dan segenap jajaran Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data dalam rangka Kajian Pengembangan Masyarakat;

10. Orang tua dan seluruh keluarga penulis atas segala doa dan dukungannya yang telah memotivasi penulis hingga dapat menyelesaikan tugas;

11. Seluruh sahabat dan kerabat penulis, khususnya mahasiswa Magister Profesional Pengembangan Masyarakat dan Diploma IV STKS Bandung, serta seluruh pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu, yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi selama proses perkuliahan.

(13)

135

Penulis menyadari bahwa kajian lapangan ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disadari karena adanya keterbatasan dan kemampuan penulis dalam melakukan analisa dan membahas data yang ada. Namun, harapan penulis semoga apa yang telah dilakukan ini dapat menjadi langkah awal yang baik untuk proses-proses selanjutnya.

Semoga kajian ini bermanfaat dan semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rakhmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Bogor, Agustus 2008

(14)

136

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Kajian ... 3 1.4. Kegunaan Kajian ... 4

II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1.Tinjauan Pustaka ... 5

2.2. Kerangka Kajian ... 23

III. METODE KAJIAN 3.1. Metode dan Strategi Kajian ... 27

3.2. Lokasi dan Komunitas Subjek Kajian ... 28

3.3. Waktu Kajian ... 28

3.4. Pemilihan Kasus Kajian ... 29

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 30

3.6. Analisis Data dan Pelaporan ... 33

3.7. Penyusunan Rancangan Program ... 33

IV. PETA SOSIAL KELURAHAN SUKAMISKIN DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN SUKAMISKIN BANDUNG 4.1. Keadaan Umum Lokasi ... 35

4.2. Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin ... 37

V. POTENSI EKONOMI DAN KONDISI NARAPIDANA 5.1. Potensi Ekonomi Narapidana ... 42

5.2. Kondisi Narapidana selama di Lembaga Pemasyarakatan ... 42

5.3. Riwayat Hidup (Life Story) Narapidana ………. 43

5.4. Kegiatan pembinaan yang memilik potensi ekonomi... 69

VI. PELAKSANAAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN 6.1. Karakteristik Narapidana ... 74

6.2. Kapasitas kelembagaan Lapas ... 74

6.3. Respons terhadap Pelaksanaan Pembinaan... 78

6.4. Dukungan dari pihak terkait ... 81

(15)

137

6.6. Indikator Keberhasilan Pelaksanaan Sistem

Pembinaan ... 94

6.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi Upaya Peningkatan Potensi Ekonomi Narapidana ... 95

6.8 Analisis Pelaksanaan Sistem Pembinaan Narapidana ( SWOT ) ... 102

VII. RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM PERBAIKAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA MISKIN 7.1. Strategi dan Program Perbaikan Sistem Pembinaan Narapidana Miskin ... 112

7.1.1. Strategi Peningkatan Pembinaan Perilaku Kewirausahaan Narapidana ... 113

7.1.2. Program : 7.1.2.1. Pengembangan Kemitraan ... ... 113

7.1.2.2. Pembentukan Lapas Berbasis Masyarakat ... 114

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan ... 118

8.2. Rekomendasi ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 121

LAMPIRAN ... 124

(16)

138

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kasus Kajian berdasarkan Masa Pidana dan Potensi

Ekonomi Narapidana, Sukamiskin 2007 ... 29

2. Tujuan dan Teknik Pengumpulan Data ……… 32

3. Keadaan Penggunaan Lahan Kelurahan Sukamiskin Tahun 2007 ………... 36

4. Komposisi Penduduk Kelurahan Sukamiskin Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006 ……… 37

5. Karakteristik Narapidana Berdasarkan Tingkat Pendidikan Agustus 2007 ………. 39

6. Karakteristik Narapidana Berdasarkan Jenis Pekerjaan Agustus 2007 ………. 39

7. Data Narapidana Berdasarkan Jenis Kejahatan dan pasal KUHP, Sukamiskin, Bandung 2007 ………... 40

8. Narapidana yang mengikuti kegiatan jenis keterampilan kerja Agustus 2007 ………. 41

9. Menu Makan, pagi, siang dan sore bagi Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas Sukamiskin Bandung tahun 2007... 75

10. Respons dan harapan napi terhadap sistem pembinaan ... 79

11. Persepsi dan harapan petugas terhadap sistem pembinaan... 80

12. Bentuk Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan... 85

13. Kegiatan Pembinaan yang memiliki Potensi Ekonomi, Percetakan, Pertanian, Kerajinan tangan dan Batako bagi Narapidana, Lapas Sukamiskin 2007 ... 88

14. Kegiatan Pembinaan Kepribadian berdasarkan Hari, Tujuan, Penanggung Jawab dan Kerjasama, Sukamiskin 2007... 91

15. Kegiatan Pembinaan Kemandirian berdasarkan Hari, Tujuan, Penanggung Jawab dan Kerjasama, Sukamiskin 2007 ... 92

16. Analisis SWOT ... 105

17. Strategi Perbaikan Sistem Pembinaan Narapidana Miskin, Sukamiskin 2007... 110

18. Strategi dan program Perbaikan Sistem Pembinaan Narapidana Miskin ………... 117

(17)

139

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur Pemikiran ……... 24

2. Peran dalam Keluarga sebelum IN ditahan ... 48

3. Pengambilalihan peran dalam keluarga selama IN ditahan ... 51

4. Peran dalam keluarga sebelum AMN ditahan... 56

5. Peran dalam keluarga selama AMN ditahan …... 59

6. Peran dalam keluarga sebelum S ditahan ... 62

7. Peran dalam keluarga selama S ditahan …... 64

8. Peran dalam keluarga sebelum MR ditahan... 66

(18)

146

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1965 dari pasangan Ibu bernama Omah Muhali (alm) dan Bapak Hj. Mardji Murgani. Penulis merupakan anak keempat dari sebelas bersaudara, telah menikah dengan Ati Nurhayati dan telah dikarunia dua orang anak, anak pertama laki-laki bernama Aditya Mahyudi, usia 11 tahun dan anak kedua perempuan bernama Maharani Prima Mahyudi, usia 3,5 tahun.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Jakarta Pusat dan pada tahun 1986 diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Kantor Pusat Departemen Sosial Republik Indonesia Jakarta. Tahun 1992 penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sebagai Tugas Belajar ke Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung dan lulus pada tahun 1997.

Pada tahun 2000 karena kebijakan dari pemerintah yang berkuasa saat itu, Departemen Sosial Republik Indonesia dilikuidasi, selanjutnya penulis mengajukan mutasi ke Departemen Hukum dan Perundang-undangan pada saat itu, kini menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, sejak itu penulis bertugas di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jakarta Pusat, pada bulan Agustus tahun 2003 penulis mengajukan mutasi kembali ke Jawa Barat, yaitu ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Barat, sejak itu penulis bertugas sebagai staf pada Divisi Pemasyarakatan, Sub Bidang Perawatan dan Bina Khusus Narkotika, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat.

Pada bulan September 2006, penulis berkesempatan kembali menjadi Tugas Belajar yang disponsori oleh Departemen Sosial Republik Indonesia dengan melanjutkan pendidikan di Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat kerjasama Institut Pertanian Bogor dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung atas biaya Departemen Sosial Republik Indonesia.

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara fisolofis, seseorang yang telah dijatuhi vonis oleh hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka orang tersebut dianggap telah bersalah dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, lebih dari itu telah terjadi keretakan kesatuan hubungan antara terpidana dengan masyarakat. Untuk memulihkan kembali hubungan yang telah retak tersebut diperlukan pembinaan dan pembimbingan, agar kelak setelah narapidana keluar dari Lembaga Pemasyarakatan mereka menyadari kesalahannya dan tidak melakukan tindak pidana lagi, lebih jauh dari itu diharapkan agar mereka dapat hidup mandiri serta memiliki keterampilan kerja sebagai modal hidup mereka kelak serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Ilham Jaya, 2005)

Untuk mewujudkan kehendak yang baik itu, tentunya harus didukung pula oleh program pembinaan dan pembimbingan serta pendidikan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu institusi tempat menampung para narapidana, melakukan upaya mengatasi masalah tersebut, dengan memberikan kegiatan pembinaan dan pembimbingan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) atau narapidana. Hal ini sesuai dengan berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan, yaitu memberikan pembinaan dan pembimbingan bagi narapidana dengan kegiatan yang dilaksanakan untuk membantu memenuhi ekonomi keluarga narapidana.

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Lapas merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lapas bisa narapidana (napi) atau tahanan. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.

(20)

Lembaga Pemasyarakatan mendapat kritik atas perlakuan terhadap para narapidana. Pada tahun 2006, hampir 10% di antaranya meninggal dalam lapas. Sebagian besar napi yang meninggal karena telah menderita sakit sebelum masuk penjara, dan ketika dalam penjara kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara. Lapas juga disorot menghadapi persoalan beredarnya obat-obatan terlarang di kalangan napi dan tahanan, serta kelebihan penghuni.

Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin merupakan institusi pemerintah berada di wilayah Kecamatan Arcamanik Kelurahan Sukamiskin. Jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin per Agustus 2007 sebanyak 485 orang, narapidana yang menjalani pembebasan pada bulan Agustus 2007 sebanyak 6 orang, dan pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu atau dari lingkungan keluarga miskin, karena sebagian besar terdiri dari pekerja tidak tetap dan beberapa diantaranya bekerja sebagai buruh serta petani.

Jumlah narapidana yang sering keluar masuk Lembaga Pemasyarakatan (residivis) di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dari tahun ke tahun memang sedikit. Berdasarkan data jumlah residivis yang ada selama tahun 2006 dan pertengahan 2007, tercatat lima orang. Jumlah ini memang relatif kecil bila dibanding jumlah tahanan di Lembaga Pemasyarakatan lainnya, alasan relatif sedikitnya jumlah residivis di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin khusus menampung narapidana yang vonisnya besar, yaitu lima tahun keatas.

Seseorang, terutama mereka keluarga miskin, sebelum masuk ke Lembaga Pemasyarakatan dan menjadi seorang narapidana, adalah manusia bebas, anggota masyarakat, memiliki keluarga, tetangga serta lingkungan sekitarnya, bersosialisasi, bergaul dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pada kondisi ini, mereka akan mudah mencari kerja serta berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama untuk keluarganya. Namun, setelah mereka berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan harus menjalani pidana serta mendapat julukan ”narapidana”, maka mereka dianggap telah melakukan pelanggaran sehingga perlu diisolasi untuk dibina agar dapat kembali hidup dengan baik bersama masyarakat lainnya.

(21)

1.2. Perumusan Masalah

Kajian ini untuk menjawab permasalahan, tentang bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Lapas Sukamiskin bagi narapidana, terhadap sistem pembinaan yang dilaksanakan selama narapidana berada di Lembaga Pemasyarakatan, dalam menanggulangi masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi narapidana keluarga miskin, meliputi :

1. Bagaimana sistem pembinaan narapidana miskin, di Lembaga Pemasyarakatan ?

2. Bagaimana respons narapidana miskin terhadap pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan ?

3. Bagaimana strategi pembinaan yang lebih tepat agar narapidana miskin dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik selama di dalam Lapas maupun setelah keluar dari Lapas ?

1.3. Tujuan Kajian

1. Mengetahui sejauhmana sistem pembinaan narapidana miskin, dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Mengetahui respons narapidana miskin terhadap pembinaan yang dilaksanakan Lembaga Pemasyarakatan.

3. Menyusun strategi pembinaan yang lebih tepat di Lembaga Pemasyarakatan, agar narapidana miskin dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik selama di dalam Lapas maupun setelah keluar dari Lapas.

(22)

1.4. Kegunaan Kajian

Hasil kajian pengembangan masyarakat yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, diharapkan dapat berguna untuk :

1. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat, sebagai bahan penyusunan dan perencanaan program pembinaan bagi narapidana, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

2. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan, yang ada di Jawa Barat khususnya dan seluruh Indonesia pada umumnya, sehingga adanya pola pembinaan yang lebih tepat dan memiliki ciri khas (kekhususan) di dalam melaksanakan pembinaan bagi narapidana.

(23)

II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

Sistem Pembinaan.

Sistem pembinaan dalam kajian ini, yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, adalah suatu sistem atau mekanisme yang dilaksanakan sejak narapidana memasuki Lembaga Pemasyarakatan, masa pengenalan lingkungan, proses pembinaan dan pengakhiran masa hukuman (bebas). Sebagaimana menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995, tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan adalah sistem pemasyarakatan yang melaksanakan tata perlakuan yang lebih manusiawi dan normatif terhadap narapidana berasaskan Pancasila yang bercirikan ; rehabilitatif, korektif, edukatif dan integratif. Sistem kepenjaraan bercirikan ; balas dendam, penjeraan dan munculnya institusi rumah penjara, hal ini sudah tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan yang berlandaskan Pancasila.

Sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan melalui tahap-tahap proses pemasyarakatan, meliputi ; tahap awal (tahap pertama), tahap lanjutan (tahap kedua dan ketiga) dan tahap akhir (tahap keempat).

Tahap Pertama.

Terhadap setiap narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk : sebab-sebabnya ia melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya. Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan tahap ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya maksimum (maksimum security).

(24)

Tahap Kedua.

Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 (sepertiga) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan melalui pengawasan

medium-security.

Tahap Ketiga.

Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ (setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik maupun mental dan juga segi keterampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan assimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian, yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya.

Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium security. Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap assimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum security.

Tahap Keempat.

Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir, yaitu kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.

(25)

Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

Dalam hal ini, sistem pembinaan yang akan dikaji dibatasi pada tahap lanjutan pembinaan, yaitu yang menekankan kepada pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian (keterampilan).

Sistem pembinaan adalah sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, disebutkan bahwa sistem pembinaan atau sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatannya sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang bertanggung jawab.

Dalam rangka melaksanakan sistem pemasyarakatan yang utuh, maka sistem pembinaan pemasyarakatan itu menerapkan 6 (enam) azas, yaitu ; (1) pengayoman; (2) persamaan perlakuan dan pelayanan; (3) pendidikan dan pembimbingan; (4) penghormatan harkat dan martabat manusia; (5) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan (6) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Pengayoman dalam hal ini dimaksudkan sebagai perlakuan terhadap narapidana dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinaan diulanginya tindak pidana oleh narapidana, juga memberikan bekal hidup kepada narapidana agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat. Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada narapidana tanpa membeda-bedakan orang. Sedangkan yang dimaksud ”pendidikan dan pembimbingan” adalah kegiatan berupa penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

(26)

Penjelasan azas ”penghormatan harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang yang tersesat, harus tetap diperlakukan sebagai manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan ”kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan” disini adalah narapidana harus berada dalam lembaga pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di lembaga pemasyarakatan, narapidana tetap memperoleh hak-haknya yang lain, seperti layaknya manusia, dengan kata lain, hak perdatanya tetap dilindungi, seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga dan rekreasi.

Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu dalam azas ke 6 dijelaskan bahwa walaupun narapidana berada di lembaga pemasyarakatan tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat serta tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga melalui program cuti mengunjungi keluarga.

Kegiatan dalam sistem pembinaan pada garis besarnya meliputi ; (1) rehabilitasi; (2) pembinaan dan (3) pembimbingan. Rehabiliasi dilaksanakan dan diberikan kepada narapidana dengan kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Upaya yang dilakukan berupa perawatan/perlakuan guna menghilangkan ketergantungannya terhadap narkoba, setelah itu kemudian baru diberikan pembinaan dan pembimbingan. Penanganan narapidana dengan kasus Narkoba akan berbeda dengan penanganan narapidana kasus lain (pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya).

Kemiskinan dan Narapidana Miskin.

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi ekonomi, khususnya dalam hal pendapatan dan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang diterima oleh seseorang. Namun demikian, makna secara luas, kemiskinan juga sering didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan, baik kekurangan pendidikan, penghasilan, pemenuhan

(27)

kebutuhan hidup sehari-hari, keadaan kesehatan yang buruk serta keterbatasan akses dalam memperoleh kondisi atau keadaan yang diinginkan. (Suharto, 2004)

Kemiskinan adalah menunjuk pada suatu kondisi keterbatasan dan ketidakcukupan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Sumodiningrat (1999), beranggapan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Fakktor internal berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor di luar jangkauan individu yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Dengan perkataan lain, bukan karena seseorang tidak mau bekerja, tetapi struktur yang ada menjadi hambatan.

Dengan demikian kemiskinan yang dialami oleh komunitas narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin bisa diketahui dari kondisi keterbatasan dan ketidakcukupan yang dialami narapidana keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari selama berada di Lembaga Pemasyarakatan.

Pengertian narapidana miskin yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin adalah sebagai berikut :

a. Narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, sebelum masuk Lapas, pada umumnya berpenghasilan rendah, karena pada umumnya banyak yang bekerja pada sektor non formal, seperti ; buruh, tukang ojek, serta pegawai rendahan, yang berpenghasilan dibawah Upah Minimun Regional (UMR), antara 500 ribu rupian sampai dengan 700 ribu rupiah perbulan.

b. Sebagian besar narapidana berpendidikan rendah, dari 485 orang narapidana, sebanyak 333 orang berpendidikan rendah (SD dan SMP) atau sebesar 66 %.

Lembaga Pemasyarakatan.

Kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan miniatur dari kehidupan nyata di dalam masyarakat pada umumnya. Keberadaan penjara adalah sebuah tuntutan masyarakat agar masyarakat luas bisa bebas dari

(28)

kejahatan. Karena itu, harus ada lembaga khusus untuk menampung para penjahat. (Greenberg, David J. Rothman dalam Hamid Awaludin, 2001).

Di dalam penjara atau Lembaga Pemasyarakatan terjadi interaksi sosial antara sesama narapidana dan narapidana dengan petugas Pemasyarakatan yang dilakukan secara terus menerus dan berlangsung lama, sehingga membentuk atau menjadi ”warga komunitas”, dan ini menghasilkan proses simbiosis mutualisme di dalam komunitas penjara itu sendiri.

Lembaga Pemasyarakatan, yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Konsep pemasyarakatan pertama kali dinyatakan oleh Dr. Sahardjo, SH pada tahun 1963, dengan arti pemasyarakatan adalah kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang bersifat mengayomi para narapidana yang tersesat jalan dan memberikan bekal hidup bagi narapidana setelah kembali ke dalam masyarakat. Sedangkan Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. Dalam membina terpidana diperkembangkan hidup kejiwaannya, jasmaniahnya, pribadi serta kemasyarakatannya dan dalam penyelenggaraannya mengikutsertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat.

Di dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan azas Pancasila, bahwa narapidana dipandang sebagai warga negara yang memiliki nilai yang sama dengan warga negara yang lainnya dalam hal tanggung jawab terhadap tercapainya tujuan bangsa. Narapidana harus diikutsertakan dalam pembangunan bangsa sehingga ia dapat berkarya seperti halnya seorang kepala keluarga. Dengan demikian ia dapat menghidupi diri dan keluarganya tanpa memberatkan pemerintah (masyarakat umum), disamping itu dengan karyanya juga dapat menambah secara langsung kemakmuran masyarakat sebagai imbalan terhadap perbuatannya yang telah merugikan dan melatih diri dalam keterampilan bekerja.

Lembaga Pemasyarakatan yang melaksanakan sistem pemasyarakatan tidak memandang narapidana sebagai seorang penjahat dan seolah-olah bukan manusia lagi. Narapidana adalah manusia biasa, seperti manusia lainnya. Hanya karena melanggar hukum dan dipidana oleh Hakim untuk menjalani

(29)

hukuman pidana, maka narapidana tidak boleh diasingkan dari kehidupan masyarakat, tetapi seharusnya lebih diintegrasikan ke dalamnya.

Dalam usaha pembangunan sistem pemasyarakatan, narapidana harus berinteraksi dengan masyarakat. Interaksi dimaksud adalah interaksi untuk saling membantu antara narapidana, lembaga pemasyarakatan dan masyarakat yang menampung hasil pembinaan lembaga untuk bekerja dan belajar bekerja. Artinya lembaga dan masyarakat mengajarkan narapidana untuk bekerja sambil belajar dan bekerja sambil menghasilkan sesuatu yang diperdagangkan, seperti : usaha-usaha pertanian, peternakan, perikanan percetakan, dan pembuatan bahan-bahan bangunan serta kerajinan tangan. Hasil dari usaha tersebut dapat digunakan untuk menggantikan biaya kehidupan narapidana, dan keluarga serta masyarakat sekitarnya.

Usaha pembinaan narapidana dimulai sejak hari pertama ia masuk dalam lembaga hingga saat ia dilepas dari lembaga. Selanjutnya dilakukan pembimbingan lanjutan yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah atau swasta bila masih diperlukan.

Sistem Pemasyarakatan mulai dikenal sejak tanggal 27 April 1964, menurut Sahardjo, 1963, bahwa narapidana bukan orang hukuman, melainkan orang yang tersesat dan memiliki waktu serta kesempatan untuk bertobat, tobat dilaksanakan bukan melalui penyiksaaan, tetapi melalui metode dan proses pembinaan yang mengacu pada sistem pemasyarakatan, bentuk pembinaan yang dilaksanakan meliputi pemberian kegiatan pendidikan agama, pendidikan umum, kursus keterampilan, kegiatan olahraga, rekreasi, kesenian, pendidikan kepramukaan, kegiatan latihan kerja dan kegiatan asimilasi. Sedangkan pembinaan lanjut dilakukan di luar lembaga melalui bimbingan selama narapidana menjalani pidana bersyarat dan proses penelitian kemasyarakatan.

Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan terdapat 3 hal yang saling berhubungan, yaitu manusia, pembinaan dan peraturan hukum. Manusia disini adalah narapidana sebagai anggota masyarakat yang sementara waktu dipisahkan dari komunitasnya di dalam masyarakat. Selama periode tertentu dan dalam proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan, suatu saat narapidana tersebut akan kembali menjadi manusia dan anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum.

(30)

Pembinaan dan potensi ekonomi.

Pembinaan biasanya dikaitkan dengan proses untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas manusia, yaitu melalui pendidikan, latihan dan bimbingan yang berhubungan dengan penanaman pengetahuan, nilai dan keterampilan. Usaha peningkatan kualitas diri diperlukan apabila seseorang atau kelompok ingin meningkatkan penguasaannya terhadap sesuatu yang sebelumnya kurang atau belum dipahaminya secara mendalam.

Seiring perkembangan jaman, pembinaan dalam sistem pemasyarakatan mulai berubah sejak dikeluarkannya Piagam Pemasyarakatan di Indonesia pada tahun 1964 dan disempurnakan oleh Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965. Berdasarkan surat tersebut bahwa arti pembinaan narapidana adalah memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah budi pekerti narapidana seperti membangkitkan rasa berharga pada diri sendiri dan diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat. Selanjutnya mereka dapat mengembangkan potensinya sebagai manusia.

Pengertian pembinaan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “Membangun atau pembaharuan”. (hal. 14). Membangun atau pembaharuan ini dapat diartikan sebagai upaya yang bersifat positif untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi ke arah tujuan yang diinginkan.

Mangunhardjana, 1986, memberikan pengertian pembinaan yang diterjemahkan dari bahasa Inggris “Training” sebagai berikut :

Pembinaan adalah suatu proses belajar dengan melepas hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal yang belum dimiliki dengan tujuan membantu orang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada, serta mendapatkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang seedang dijalaninya secara efektif. (hal. 12)

Dalam pengertian tersebut terkandung makna adanya proses untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan atau potensi yang dimilikinya agar mampu mencapai tujuan hidup atau kerja secara lebih efisien dan efektif

(31)

dari sebelumnya. Pengembangan pengetahuan ini dilakukan dengan cara mempelajari pengetahuan dan keterampilan.

Potensi, adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan atau didayagunakan. Sedangkan ekonomi menurut Mubyarto (dalam Sajogyo dan Martowijoyo, 2005) adalah suatu kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Jadi, yang dimaksud dengan potensi ekonomi adalah unsur-unsur yang dapat memberi kekuatan bagi seseorang agar dapat beraktifitas ekonomi. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah pendidikan (formal dan informal), keterampilan dan waktu yang tersedia untuk melakukan sesuatu (bekerja). (Sadli dan Patmonodewo, dalam Ihromi 1995)

Potensi ekonomi narapidana adalah kemampuan yang dimiliki narapidana untuk menjalankan kegiatan ekonomi, sehingga dapat memberikan kontribusi secara ekonomi dalam keluarga. Tinggi rendahnya sangat tergantung pada tingkat pendidikan, serta keterampilan kerja yang dimiliki. Hal ini tergantung kepada sikap dan penerimaan masyarakat terhadap narapidana tersebut apabila bebas nanti, dan potensi peluang usaha dan bekerja yang akan dicapai.

Kepribadian.

Kepribadian memiliki banyak arti, bahkan sangat banyaknya boleh dikatakan jumlah definisi dan arti dari kepribadian adalah sejumlah orang yang menafsirkannya. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian dan pengukurannya.

Kepribadian secara umum

Personality atau kepribadian berasal dari kata persona, kata persona merujuk pada topeng yang biasa digunakan para pemain sandiwara di Zaman Romawi. Secara umum kepribadian menunjuk pada bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu-individu lainnya. Pada dasarnya definisi dari kepribadian secara umum ini adalah lemah karena hanya menilai perilaku yang dapat diamati saja dan tidak mengabaikan kemungkinan bahwa ciri-ciri ini bisa berubah tergantung pada situasi sekitarnya selain itu definisi ini disebut lemah karena sifatnya yang bersifat evaluatif (menilai), bagaimanapun pada

(32)

dasarnya kepribadian itu tidak dapat dinilai “baik” atau “buruk” karena bersifat netral.

Kepribadian menurut Psikologi

Untuk menjelaskan kepribadian menurut psikologi akan digunakan teori dari George Kelly (1963) yang memandang bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara Gordon Allport (1955) merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah

kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan. (www : trescent.wordpress.com ; diakses, tanggal 13 Maret 2008)

Lebih detail tentang definisi kepribadian menurut Allport yaitu kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran individu secara khas.

Allport menggunakan istilah sistem psikofisik dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Sedangkan istilah khas dalam batasan kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama, karena itu tidak ada dua orang yang berperilaku sama.

Dari sebagian besar teori kepribadian diatas, dapat kita ambil kesamaan sebagai berikut (E. Koswara, 1998):

1. Sebagian besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai suatu struktur atau organisasi hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu yang diorganisasi dan diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain kepribadian dipandang sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah tingkah laku kita.

2. Sebagian besar batasan menekankan perlunya memahami arti perbedaan - perbedaan individual. Dengan istilah kepribadian”, keunikan dari setiap individu ternyatakan. Dan melalui studi tentang kepribadian, sifat-sifat atau kumpulan sifat individu yang membedakannya dengan individu lain diharapkan dapat menjadi jelas atau dapat dipahami. Para teoris kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik

(33)

dan atau khas pada diri setiap orang.

3. Sebagian besar batasan menekankan pentingnya melihat kepribadian dari sudut “sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teoris kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan subyek atau individu atas pengaruh-pengaruh internal dan eksternal yang mencakup faktor - faktor genetik atau biologis, pengalaman- pengalaman sosial, dan perubahan lingkungan. Atau dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh faktor- faktor bawaan dan lingkungan.

(www : trescent.wordpress.com ; diakses, tanggal 13 Maret 2008)

Sedangkan dalam kajian ini, kepribadian dimaksud adalah kemampuan narapidana untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, sehingga mereka dapat mengikuti kegiatan pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, agar memiliki kepribadian yang lebih baik dari sebelumnya.

Indikator keberhasilan pembinaan kepribadian, antara lain seperti :

1. Adanya perubahan perilaku narapidana ke arah yang lebih baik, yaitu tumbuhnya sikap menghargai diri sendiri, toleransi sesama narapidana dan petugas.

2. Tidak adanya keinginan atau niat untuk mencoba melarikan diri, membuat kericuhan dan melanggar peraturan serta ketentuan yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sehingga terciptanya suasana aman dan nyaman dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

3. Banyaknya narapidana yang mengikuti kegiatan keagamaan, seperti pesantren bagi yang beragama Islam, acara-acara Kebaktian bagi yang beragama Kristen, serta kegiatan keagamaan lainnya.

4. Berkurangnya penghuni atau kapasitas isi Lembaga Pemasyarakatan, karena banyaknya narapidana yang memperoleh pembebasan.

Kemandirian.

Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 UU No. 12 Th 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan

(34)

Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab serta mandiri.

Sebagaimana tujuan pembinaan yaitu menciptakan manusia mandiri, jadi kemandirian dalam kajian ini adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana) dengan masyarakat, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.

Indikator kemandirian dimaksud, antara lain :

1. Bagi narapidana yang telah memiliki keterampilan sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan :

a. Adanya peluang dan potensi ekonomi yang dapat diperoleh dengan menerapkan keterampilan yang dimiliki, dengan dipekerjakan pada bidang-bidang usaha ekonomi, seperti bidang percetakan, pertanian, peternakan dan sebagainya, sehingga mereka akan memperoleh premi atau pendapatan.

b. Dapat menularkan pengetahuan keterampilan yang dimiliki kepada sesama narapidana yang belum memiliki keterampilan tersebut, karena kegiatan ini merupakan salah satu unsur dalam upaya memperoleh pengurangan masa pidana (remisi), yaitu mengangkat mereka sebagai ”Pemuka Kerja”.

2. Bagi mereka yang belum / tidak memiliki pengetahuan keterampilan sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan :

a. Dapat memperoleh pengetahuan keterampilan, sehingga mereka pun diikutsertakan dalam kegiatan usaha ekonomi yang diselenggarakan Lembaga Pemasyarakatan, dan kepada mereka pun akan memperoleh premi atau pendapatan.

b. Meningkatnya motivasi dalam mengikuti kegiatan keterampilan kerja, sehingga mereka tidak menghabiskan waktunya di dalam Lembaga Pemasyarakatan secara sia-sia.

(35)

Motivasi

Motivasi manusia terdiri dari serangkaian ’motif’ yang melatarbelakangi, mendorong seseorang untuk bertindak, hal ini dapat dilihat dalam tingkah laku secara umum maupun secara khusus dalam interaksi sosial. Untuk mengetahui motivasi lebih jauh, banyak para ahli yang mengajukan pendapatnya, tetapi agar tidak terlalu beragam dan membingungkan, maka dalam kajian ini, konsep motivasi yang digunakan adalah sebagai berikut ; Motivasi adalah suatu dorongan dan usaha untuk memenuhi sesuatu atau memuaskan kebutuhan atau untuk mencapai suatu tujuan (Moekijat, 1984).

Motivasi merupakan suatu alat untuk mencapai keinginan manusia akan suatu tujuan. Alat tersebut banyak bentuknya antara lain niat yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Biasanya lingkungan dapat mempengaruhi seseorang sehingga timbullah niat untuk bertindak. Keinginan bisa disebut niat. Niat untuk melakukan tindakan dengan didasari inisiatif sendiri biasanya akan mencapai hasil yang maksimal, dengan tidak melupakan faktor-faktor pendukung yang ada di dalamnya seperti lingkungan teman, keluarga dan lain-lain. Bohar Suharto (1982), mengungkapkan bahwa motivasi merupakan suatu proses dari suatu inisiatif untuk menggerakan kesadaran seseorang untuk melakukan sesuatu yang didasarkan atas pengembangan potensinya.

Motivasi merupakan suatu proses yang mendorong seseorang untuk bertindak dan melakukan kegiatan yang telah direncanakannya, sebagaimana Lembaga Pemasyarakatan berusaha memotivasi narapidana untuk mengikuti kegiatan yang diselenggarakan.

Motivasi terdiri atas motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. • Motivasi Intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.

• Motivasi Ekstrinsik adalah motivasi yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian narapidana mau melakukan sesuatu atau belajar untuk mengikuti kegiatan pembinaan.

(36)

Motivasi adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau

activities) dan memberikan kekuatan (energy) yang mengarah kepada

pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidakseimbangan.

Oleh karena itu tidak akan ada motivasi, jika tidak dirasakan rangsangan-rangsangan terhadap hal semacam di atas yang akan menumbuhkan motivasi, dan motivasi yang telah tumbuh memang dapat menjadikan motor dan dorongan untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan atau pencapaian keseimbangan. Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memacu atau memotivasi narapidana untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Lembaga Pemasyarakatan, guna merubah dan meningkatkan potensi yang ada dalam dirinya, dilakukan berbagai cara, yaitu. melalui penyuluhan, pengarahan dan peraturan-peraturan

Pada dasarnya, setiap individu mempunyai keinginan, harapan, dan kebutuhan. Setiap kebutuhan dan keinginan senantiasa harus terpenuhi, bahkan dalam batas tertentu didalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut seringkali merupakan suatu tujuan. Jadi jika tujuan tercapai, maka kebutuhan dan keinginan akan terpenuhi. Sedangkan dorongan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut merupakan motivasi, sehingga semua tindakan yang dilakukan demi terpenuhinya kebutuhan dan keinginan tersebut akan memberikan pengaruh terhadap sikap dan perilakunya kearah yang lebih baik.

(37)

Pembinaan efektif.

Dalam konteks sistem pembinaan narapidana dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (Community - Based corrections) menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan. Community - Based corrections

merupakan suatu metode baru yang digunakan untuk mengintegrasikan narapidana kembali ke kehidupan masyarakat. Semua aktifitas yang mengarah ke usaha penyatuan komunitas untuk mengintegrasikan narapidana ke masyarakat.

Secara umum community-based corrections atau juga disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (Lapas Terbuka) dapat diterjemahkan sebagai metode pembinaan yang berbasis masyarakat, yaitu metode pembinaan yang baru yang berbeda dengan metode yang ada pada umumnya, yakni program non-institusi bagi narapidana/tahanan kriminal.

Melalui metode Community-based corrections (Lapas Terbuka) memungkinkan Warga Binaan Pemasyarakatan membina hubungan lebih baik, sehingga dapat mengembangkan hubungan baru yang lebih positif. Tujuan utama Community-based corrections (Lapas Terbuka) ini adalah untuk mempermudah narapidana berinteraksi kembali dengan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penerapan Community-based corrections perlu didasarkan pada standar kriteria sebagai berikut :

1. Lokasi pembinaan yang memberikan kesempatan bagi narapidana untuk berinteraksi dengan masyarakat

2. Lingkungan yang memiliki standar pengawasan yang minimal.

3. Program pembinaan seperti pendidikan, pelatihan, konseling dan hubungan yang didasarkan kepada masyarakat

4. Diberikan kesempatan untuk menjalankan peran sebagai warga masyarakat, anggota keluarga, siswa, pekerja dan lain lain.

5. Diberikan kesempatan untuk menumbuhkan dan mengembangkan diri. Penerapan Community-based corrections (Lapas Terbuka) dapat dilakukan dengan memberdayakan Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana) melalui 3 upaya sebagai berikut :

(38)

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering)

dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan ( input ) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

3. Memberdayakan mengandung pola melindungi, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya menghadapi yang kuat.

Lembaga Pemasyarakatan Terbuka merupakan suatu sistem pembinaan dengan pengawasan minimum (Minimum Security) yang penghuninya telah memasuki tahap asimilasi dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dimana diantaranya telah menjalani setengah dari masa pidananya dan sistem pembinaan serta bimbingan yang dilaksanakan mencerminkan situasi dan kondisi yang ada pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menciptakan kesiapan narapidana kembali ke tengah masyarakat ( integrasi ).

Pemberdayaan

Pemberdayaan adalah suatu upaya meningkatkan kemampuan terhadap individu, kelompok/komunitas dan masyarakat, agar menjadi lebih berdaya. Sebagaimana yang dikatakan Ife (1995) ; Pemberdayaan dalam arti luas menambah kekuasaan pada yang kurang beruntung secara struktural berdasakan kelas, jenis kelamin, dan ras untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Sedangkan pemberdayaan masyarakat menurut Usman (2004) adalah sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut

Community self reliance atau kemandirian. Dalam proses ini masyarakat

didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif solusi masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources yang dimiliki dan dikuasai.

(39)

Pengembangan masyarakat juga merupakan suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat.

Pemidanaan dalam Lembaga Pemasyarakatan

Sejalan dengan pemikiran bahwa pemidanaan bukanlah merupakan tujuan yang terakhir melainkan sebagai upaya pembinaan, maka adalah tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Bambang Poernomo (1986) :

Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh negara atau lembaga negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan akhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pembinaan (treatment).

Di dalam rancangan KUHP tahun 1968 dapat dijumpai gagasan tentang maksud dan tujuan pemidanaan, yaitu :

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk.

2. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota yang berbudi baik dan berguna.

3. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana

4. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Tujuan pemidanaan dari konsep KUHP tersebut kemudian ditinjau kembali, sebagaimana dirumuskan dalam Bab III Pasal 43 Buku Kesatu Rancangan KUHP baru pada tahun 1982 yang oleh Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana, disusun yaitu :

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

(40)

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam sistem pembinaan yang terpadu. Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan tersebut berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan.

Berdasarkan rumusan tersebut, maka telah diakui oleh undang-undang bahwa sistem penghukuman sudah tidak relevan lagi untuk difungsikan sebagai bagian dari sistem represif.

Sering dinyatakan oleh sebagian besar orang, bahwa hukuman merupakan suatu pembalasan atas kejahatan yang dilakukan, sehingga sangat wajar apabila dikenakan hukuman berupa pemidanaan. Terhadap pernyataan ini, Gerson W. Bawengan (1991), menyatakan ; Dengan landasan Pancasila, hukuman itu bukan merupakan pembalasan, bukan pula sekedar prevensi, tetapi harus membawa manfaat bagi masyarakat umum dan berguna bagi pribadi terhukum.

Dengan demikian, maka dalam proses menjalani hukuman si terpidana diharapkan dapat memperbaiki perilakunya dengan pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah/negara, sehingga pada akhirnya nanti ketika ia kembali ke masyarakat dapat diterima serta timbul kesadaran bagi dirinya untuk mentaati hukum dengan tingkat kesadaran yang telah terbentuk selama menjalani proses pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan.

Dalam proses pemidanaan tersebut, Lembaga Pemasyarakatan mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan, setelah melalui proses perisidangan di pengadilan. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana (pihak yang merugikan), agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai.

Gambar

Tabel 1 :  Kasus Kajian Berdasarkan Masa Pidana dan Potensi                        Ekonomi Narapidana, Sukamiskin 2007
Tabel 3 :   Keadaan Penggunaan Lahan Kelurahan Sukamiskin Tahun 2006
Tabel 4 :   Komposisi Penduduk Kelurahan Sukamiskin Berdasarkan  Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006
Tabel 5 :  Karakteristik Narapidana Berdasarkan Tingkat Pendidikan, 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Studi ini mengukur tingkat kematangan manajemen konstruksi dari perusahaan konstruksi di wilayah Yogyakarta dan mencari hubungan antara usia perusahaan, pengalaman kerja,

Tindakan Karantina Ikan Transit untuk Pengeluaran MP/HP yang Dilakukan Pengawalan oleh Petugas Karantina Sejak dari Area Asal sampai dengan Area Transit Terakhir. SOP ini

Setiap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki STR mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimilikLSyarat

Penggunaan karikatur yang dibuat oleh siswa sendiri secara berkelompok, dapat melatih siswa untuk bekerjasama dalam mengembangkan materi, memahami materi dan

Tabel 4.13 Manfaat dari Hasil Belajar Menejemen Usaha Boga Tentang Pengorganisasian Pembelian Bahan Makanan Pada Usaha Jasa Boga.... Tabel 4.14 Manfaat dari Hasil

Perancis berarti layar). Selain pengangkatan karya sastra ke dalam bentuk film, ada juga fenomena pengalihan wahana dari film ke dalam bentuk novel yang sering disebut

Secara simultan jumlah anggota, jumlah simpanan dan pinjaman anggota berpengaruh signifikan terhadap Sisa Hasil Usaha pada Koperasi Karyawan Timah Mitra

Tabel Supplier Tabel Resep Tabel Produk Kode user* Nama user Password Bagian Kode produk* Nama produk Kode resep** Kategori Harga Kode supplier* Nama supplier Alamat Telepon Kode