• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN DESALINASI MEMBRAN KOMPOSIT SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA DENGAN POLI(ETILENA GLIKOL) SEBAGAI POROGEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN DESALINASI MEMBRAN KOMPOSIT SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA DENGAN POLI(ETILENA GLIKOL) SEBAGAI POROGEN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN DESALINASI MEMBRAN KOMPOSIT

SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA

DENGAN POLI(ETILENA GLIKOL) SEBAGAI POROGEN

NURYONO

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

ABSTRAK

NURYONO. Kajian Desalinasi Membran Komposit Selulosa Asetat-Polistirena dengan Poli(Etilena Glikol) sebagai Porogen. Dibimbing oleh SRI MULIJANI dan AHMAD SJAHRIZA.

Penggunaan membran dalam proses desalinasi telah banyak dilaporkan. Salah satunya adalah membran selulosa asetat (CA). CA mudah terurai secara hayati sehingga berdampak pada kekuatannya. Pencampurannya dengan polimer sintetik, seperti polistirena (PS), dapat meningkatkan kekuatan membran yang terbentuk. Akan tetapi, pori-porinya tidak selalu seragam. Pengaruh penambahan porogen dan aplikasi membran dalam proses desalinasi dipelajari dalam penelitian ini.

Penelitian diawali dengan melarutkan setiap bahan dalam pelarut campuran metilena klorida-aseton (1:1). Setiap larutan dicampur dengan nisbah CA-PS, yaitu 9:1 dan variasi penambahan poli(etilena glikol) (PEG), sebagai porogen, adalah 0, 5, dan 10 ml untuk setiap 100 ml CA:PS. Membran dibentuk dengan mencetak campuran menjadi lapisan tipis. Selanjutnya membran ditentukan nilai fluks air dan indeks rejeksi NaCl menggunakan modul alat saring cross flow dan dilakukan analisis terhadap morfologi permukaannya dengan mikroskop elektron susuran (SEM).

Hasil analisis SEM memperlihatkan bahwa PEG berpengaruh terhadap jumlah dan ukuran pori, serta tekstur permukaan membran. Selain itu, nilai fluks air semakin tinggi dan nilai rejeksi NaCl semakin rendah dengan bertambahnya jumlah PEG. Nilai fluks air tertinggi terjadi pada membran CSE 3, yaitu 38.1090 l/(m2.jam), sedangkan nilai rejeksi

NaCl tertinggi terjadi pada membran CSE 1, yaitu 10.84%. Berdasarkan nilai rejeksinya, diketahui bahwa membran tersebut mampu mengurangi kadar garam terlarut dalam permeat. Akan tetapi, nilai rejeksi yang rendah menandakan bahwa permeat tersebut belum memenuhi syarat dalam penggunaannya untuk konsumsi.

ABSTRACT

NURYONO. Desalination Study of The Cellulose Acetate-Polystyrene Composite Membrane with Poly(ethylene Glycol) as Porogen. Supervised by SRI MULIJANI and AHMAD SJAHRIZA.

The use of membrane in desalination process had been much reported. One of the membrane is cellulose acetate (CA) membrane which is a biodegradable material having impact to its strength. Blending of CA with synthetic polymer, such as polystyrene (PS), can increase the strength of the membrane formation. However, the membrane pores were not uniform. The effect of porogen addition and application of membrane in desalination process were studied in this research.

The research was started with dissolution of each material in solvent mixture of methylene chloride-acetone (1:1). Each solution was mixed with CA:PS ratio of 9:1 and porogenized with poly(ethylene glycol) (PEG) variation of 0, 5, and 10 ml for 100 ml CA:PS mixture. The membranes were formed by molding the mixture into films. The water flux and NaCl rejection index were determined with cross flow filtration apparatus and the surface morphology were analyzed with scanning electron microscope (SEM).

The SEM photo showed that PEG influenced to the amount and the size of pores, and membrane surface textures as well. Increasing water flux and decreasing NaCl rejection index were found with increasing amount of PEG. The highest water flux value was in the CSE 3 membrane, that was 38.1090 l/(m2.hour) and the highest NaCl rejection index

was in the CSE 1 membrane, namely 10.84%. Based on the rejection values, these membrane has the ability to reduce dissolve salts content in the permeate. However, the low rejection value indicated that the permeate has not fulfilled the requirement for consumption use.

(3)

KAJIAN DESALINASI MEMBRAN KOMPOSIT

SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA

DENGAN POLI(ETILENA GLIKOL) SEBAGAI POROGEN

NURYONO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(4)

Judul : Kajian Desalinasi Membran Komposit Selulosa Asetat-Polistirena dengan Poli(etilena Glikol) sebagai Porogen

Nama : Nuryono NIM : G44203034

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Sri Mulijani, MS Drs. Ahmad Sjahriza

NIP 131 950 978 NIP 131 842 413

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. Hasim, DEA

NIP 131 578 806

(5)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT, karena berkat rahmat,

hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul Kajian Desalinasi Membran Komposit Selulosa Asetat-Polistirena Dengan Poli(etilena Glikol) sebagai porogen, yang dilaksanakan pada bulan Juni hingga November 2007 di Laboratorium Kimia Anorganik, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini, di antaranya Dra. Sri Mulijani, MS dan Drs. Ahmad Sjahriza selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan pengarahan kepada penulis, juga kepada seluruh laboran di Departemen Kimia IPB, khususnya Bagian Anorganik, Ibu Endang (Bidang Zoologi LIPI) atas analisis SEM, dan tidak lupa juga kepada teman-teman yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, di antaranya Mario, Romi, Diana, Uti, Yayan, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada keluarga: Bapak, Ibu, Mbak Nur, Mas Muji, dan Abil atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis, Juga kepada Bapak Hamzah, Bapak Lukman Sastra, dan Jokam (Desa Ciparigi; kelompok Warung Jambu) atas bantuan moral maupun material. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan Kimia 39, 40, 41, dan 42 atas keceriaan dan persahabatan yang telah terjalin.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2008

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 Januari 1985 sebagai anak kedua dari pasangan Sidi dan Warti. Tahun 2003, Penulis lulus dari SMU Negeri 6 Bogor, dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Tahun 2006, Penulis mengikuti kegiatan praktik lapangan di Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor, dengan judul Sintesis Karet Siklo Dengan Metode Pelarutan Karet Alam Berkadar Protein Rendah.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan dan kepanitiaan. Pada tahun ajaran 2004/2005 aktif dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen Kimia, IPB. Tahun ajaran 2006/2007 Penulis menjadi asisten praktikum Kimia Anorganik dan Kimia Lingkungan bagi mahasiswa sarjana. Sedangkan tahun ajaran 2007/2008 aktif sebagai asisten praktikum Kimia Lingkungan bagi mahasiswa sarjana dan pascasarjana.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN... ix PENDAHULUAN ... 1 TINJAUAN PUSTAKA Selulosa Asetat ... 1 Polistirena... 2 Poli(etilena glikol)... 2 Membran ... 3 Desalinasi ... 3

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ... 4

Metode... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN Kelarutan CA, PS, dan PEG. ... 5

Nilai Fluks Air... 5

Nilai Rejeksi NaCl dan Pengaruhnya Terhadap Proses Desalinasi ... 6

Pengaruh Jumlah PEG terhadap Fluks Air dan Rejeksi NaCl... 7

Kajian SEM Membran Komposit Berporogen dan Tanpa Porogen ... 7

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan... 9

Saran... 9

DAFTAR PUSTAKA ... 9

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hubungan antara derajat substitusi, pelarut, dan aplikasi

dari selulosa asetat... 2

2 Nilai rejeksi membran pada tekanan 15 psi ... 7

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Nilai fluks air membran CSE 3 pada tekanan 20 psi... 6

2 Hubungan antara tekanan dan nilai fluks air pada membran ... 6

3 Pengaruh jumlah poli(etilena glikol) (PEG) terhadap rerata nilai fluks air dan rejeksi NaCl pada membran. ... 7

4 Membran komposit (a) CSE 1; (b) CSE 2; dan (c) CSE 3 ... 8

5 Mikrograf SEM membran a) CSE 1; b) CSE 2; c) CSE 3 dengan perbesaran x 3500... 8

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Diagram alir penelitian. ... 12

2 Penetapan kadar air dan kadar asetil selulosa asetat ... 13

3 Data (a) kadar air; (b) kadar asetil selulosa asetat... 14

4 Grafik nilai fluks air Membran CSE 1, CSE 2, dan CSE 3... 15

5 Nilai fluks air Membran CSE 1, CSE 2, dan CSE 3 pada beberapa variasi tekanan... 16

(9)

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi membran saat ini telah meluas pada berbagai kalangan, baik kalangan akademisi maupun industri. Pemisahan menggunakan teknologi membran memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan proses-proses pemisahan yang lain, di antaranya lebih sederhana dan ramah terhadap lingkungan. Baker (2004) menambahkan keuntungan lain dari penggunaan membran, yaitu mampu mengendalikan laju aliran larutan yang melewatinya.

Membran dapat dibuat dari bahan anorganik maupun organik. Membran anorganik dapat dibuat dari beberapa bahan seperti kaca, logam, ataupun keramik. Sementara itu, membran organik terbuat dari polimer, baik alami maupun sintetik, sehingga dikenal juga sebagai membran polimer (Ghosh 2003).

Modifikasi terhadap bahan dasar membran kini semakin beragam. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja membran. Salah satunya ialah dengan pencampuran beberapa jenis bahan sehingga dihasilkan sifat yang lebih baik. Meenakshi et al. (2001) menyebutkan bahwa pencampuran antara polimer yang dapat urai secara hayati dan polimer sintetik dapat menghasilkan sifat fisik yang baru. Selain itu, pencampuran polimer dilakukan untuk membentuk bahan baru dengan sifat yang sesuai dalam penggunaannya, sehingga dapat memperluas aplikasinya. Pencampuran beberapa polimer dalam pembuatan membran telah banyak dilakukan, antara lain oleh Meenakshi et al. (2001) yang mencampurkan polistirena dan selulosa asetat, Ekiner (2002) mencampurkan polieterimida dan fenilindena yang mengandung poliimida, dan Charmot et al. (2004) yang mencampurkan selulosa asetat dengan beberapa polimer sintetik. Akan tetapi, keteruraian suatu produk di alam merupakan sifat yang diperlukan dan penting pada saat ini untuk mengurangi permasalahan yang mungkin ditimbulkan.

Salah satu bahan dasar pembuatan membran yang bersifat dapat-urai adalah selulosa asetat (CA). Bahan ini dapat dicampur dengan bahan lainnya dalam proses pembuatan membran. Beberapa peneliti telah melakukan modifikasi terhadap membran CA, di antaranya adalah Meenakshi et al. (2001), Fadillah (2003), Charmot et al. (2004), dan Rahmawati (2007). Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut dilakukan untuk mengatasi kekurangan atau mempelajari pengaruh

pencampuran antarpolimer dalam membran CA, dan belum ditemukan kajian desalinasi terhadap membran komposit CA yang dihasilkan.

Membran CA yang digunakan pada penelitian ini akan dimodifikasi dengan penambahan polimer sintetik, yaitu polistirena (PS), karena memiliki sifat mekanik yang lebih baik dibandingkan dengan CA (Cowd 1982). Meenakshi et al. (2001) dan Rachmadetin (2007) menyebutkan bahwa penambahan PS berpengaruh terhadap sifat fisik membran CA. Selain dilakukan modifikasi dengan PS, ditambahkan pula bahan pembentuk dan penyeragam pori-pori membran atau porogen, yaitu poli(etilena glikol) (PEG). Porogen ini telah banyak digunakan dalam pembentukan membran, di antaranya oleh Yang et al. (2001), Nisa (2005), dan Ristiyani (2006).

Penelitian ini bertujuan membentuk membran komposit CA-PS dengan distribusi ukuran pori yang lebih seragam karena adanya porogen dan mengkaji kinerjanya dalam proses desalinasi. Pencirian membran ini dilakukan dengan mengukur nilai fluks air, rejeksi garam, dan melihat morfologi permukaannya dengan mikroskop elektron susuran (SEM).

TINJAUAN PUSTAKA

Selulosa Asetat

Selulosa asetat (CA) merupakan ester organik selulosa yang berupa padatan putih, tidak berbau, dan tidak berasa, dihasilkan melalui esterifikasi molekul selulosa dengan anhidrida asetat dan sejumlah katalis. Selain asam sulfat, dalam pembentukan CA dapat digunakan katalis asam perklorat dan zink klorida (Sjöström 1995).

Pembentukan CA pada umumnya menggunakan bahan dasar selulosa dari kapas atau pulp kayu, namun saat ini telah banyak dilaporkan penggunaan selulosa bakteri sebagai bahan dasar pembuatan CA, salah satunya oleh Safriani (2000) yang membuat biopolimer CA dengan bahan dasar nata de soya. Nata merupakan biomassa yang sebagian besar terdiri dari selulosa bakteri Acetobacter xylinum pada permukaan medium cair yang asam dan mengandung gula (Anonim tt). Selulosa bakteri relatif lebih murni dibandingkan dengan selulosa kapas atau pulp kayu, karena relatif tidak bercampur

(10)

dengan lignin, sehingga CA yang dihasilkan pun menjadi lebih murni (Brown tt).

Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per residu anhidroglukosa, sehingga dapat dibentuk menjadi selulosa mono-, di-, atau triasetat. CA yang homogen hanya diperoleh dari substitusi sempurna gugus-gugus hidroksil anhidroglukosa menjadi selulosa triasetat. Hal ini dapat terjadi karena sifat alami yang acak dari suatu reaksi (Sjöström 1995).

Jumlah gugus hidroksil yang tergantikan oleh gugus asetil berpengaruh terhadap aplikasi CA. Fengel & Wegener (1984) menyebutkan bahwa CA tidak mudah terbakar jika dibandingkan dengan selulosa nitrat. Hal ini turut berpengaruh dalam penggunaan CA dalam bidang industri. Sifat-sifat teknis CA ditentukan oleh derajat substitusinya, yang berperan terhadap kelarutannya dalam suatu pelarut dan aplikasinya (Tabel 1).

Tabel 1 Hubungan antara derajat substitusi, pelarut, dan aplikasi dari selulosa asetat (Ranby & Rydholm 1956 dalam Sjöström 1995; Fengel & Wegener 1984)

Derajat

Substitusi Pelarut Aplikasi

0.6–0.9 Air -

1.2–1.8 2-Metoksietanol Pernis dan plastik 1.8–1.9

Air-Propanol-Kloroform Tekstil komposit 2.2–2.3 Aseton Pernis dan

plastik 2.3–2.4 Aseton Rayon asetat 2.5–2.6 Aseton Film sinar-X 2.8–2.9 Metilena

klorida-Etanol Lembaran penginsulasi 2.9–3.0 Metilena klorida Tekstil

Polistirena

Polistirena (PS) merupakan polimer yang secara struktural terbentuk dari ikatan hidrokarbon dengan gugus fenil terdapat pada salah satu atom karbonnya. PS bersifat termoplastik dan tak berwarna. Selain itu, PS tahan terhadap senyawa asam dan basa, mudah larut dalam hidrokarbon aromatik dan berklorin, memiliki tegangan tarik sebesar 46– 60 MPa dengan densitas 1050 kg/m3.

Pelunakan PS dapat terjadi pada suhu 100 ºC dan penyinaran dalam waktu yang lama dengan sinar ultraviolet dapat memengaruhi kekuatan dan ketahanannya terhadap panas (Cowd 1982).

Struktur polistirena

Menurut Meenakshi et al. (2001) dan Rachmadetin (2007), penambahan PS dapat meningkatkan kekuatan tarik membran CA. Akan tetapi, interaksi antara CA dan PS yang dicampurkan hanya terjadi secara fisik dan tidak ada interaksi kimia (Rahmawati 2007).

Poli(etilena Glikol)

Poli(etilena glikol) (PEG) merupakan polimer sederhana dengan struktur molekul linear dan secara umum memiliki sifat tidak berbau, tidak beracun, tidak mudah menguap, dan tidak menyebabkan iritasi. Selain itu, PEG dapat larut dalam air dan pelarut organik seperti metanol, benzena, dan metilena klorida, tetapi tidak larut dalam dietil eter, heksana, dan hidrokarbon alifatik lainnya (Anonim 2005).

Struktur poli(etilena glikol)

Bentuk fisik PEG, pada suhu ruang, bergantung pada bobot molekulnya (BM). PEG dengan BM kurang dari 700 berbentuk cairan tak berwarna, sedangkan yang memiliki BM 700-1000 berbentuk semipadat berwarna putih, dan PEG dengan BM lebih dari 1000 berbentuk serpihan berwarna putih (Anonim 2005). PEG memiliki nama lain seperti macrogol, polioksietilena, aquaffin, nycoline, dan poliglikol. PEG banyak dimanfaatkan di antaranya dalam deterjen, obat-obatan, sabun, kosmetik, tekstil, dan sebagai pemlastis (Anonim 2005).

Menurut Fadillah (2003), interaksi antara konsentrasi PEG dan CA berpengaruh terhadap ukuran pori-pori membran. Fluks membran akan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi PEG atau berkurangnya konsentrasi CA. Yang et al. (2001) menyebutkan pula bahwa peningkatan jumlah PEG dapat meningkatkan porositas membran komposit kitosan-selulosa, yang diperlihatkan melalui peningkatan nilai fluks membran tersebut.

(11)

Membran

Membran adalah lapisan tipis dari suatu material berpori yang dapat melewatkan molekul air dan secara bersamaan menahan molekul yang ukurannya lebih besar (Younos & Tulou 2005). Menurut Ghosh (2003), membran adalah lapisan tipis atau film yang secara selektif dapat memisahkan komponen pelarut dan terlarut. Menurut Koros et al. (1996), membran merupakan suatu struktur dengan dimensi lateral yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ketebalannya, dan transfer massa dapat berlangsung dengan adanya gaya dorong.

Klasifikasi Membran

Membran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, di antaranya (1) berdasarkan bahan dasar, yaitu organik dan anorganik, (2) dari segi struktur: simetrik dan asimetrik, (3) morfologi: berpori dan tidak berpori, dan (4) dari segi bentuk: lembaran datar, serat berongga, dan tubular (Ghosh 2003). Mulder (1996) menggolongkan membran berdasarkan material asalnya menjadi dua macam, yaitu membran alami yang terdapat pada sel tumbuhan, hewan, dan manusia; dan membran sintetik yang dibuat sesuai kebutuhan dan sifatnya disesuaikan dengan membran alami. Selain itu, membran juga dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan ukuran pori-porinya.

Pencirian Membran

Kinerja suatu membran bergantung pada sifat yang dimilikinya. Oleh karena itu, pencirian membran menjadi faktor yang sangat penting dan diperlukan untuk penggunaan dan proses membran selanjutnya. Beberapa ciri membran yang perlu dianalisis antara lain adalah dari segi pori-pori, sifat fisik, sifat kimia, permeabilitas, dan selektivitasnya (Ghosh 2003).

Pengukuran nilai fluks dan rejeksi merupakan beberapa contoh pencirian membran untuk mengetahui kinerja dari suatu membran. Fluks adalah jumlah aliran fluida yang mampu melewati membran dengan luas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Sementara itu, rejeksi merupakan nisbah antara bagian yang tertahan dan jumlah umpan yang dilewatkan pada membran (Baker 2004). Nilai fluks dan rejeksi dipengaruhi oleh bahan dasar pembuatan membran, gaya dorong atau tekanan yang diberikan pada membran, konsentrasi umpan, serta sifat pelarut dan partikel terlarut dalam larutan

umpan (Ghosh 2003). Selain itu, nilai fluks dan rejeksi dipengaruhi oleh adanya fouling dan polarisasi konsentrasi yang terjadi pada permukaan membran.

Morfologi permukaan membran dapat ditinjau menggunakan mikroskop elektron susuran (SEM). SEM merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menganalisis sifat mikrostruktural suatu objek padatan. Alasan utama penggunaan SEM adalah kemampuan resolusinya yang tinggi sehingga dapat memperlihatkan suatu objek hingga perbesaran 100000 kali dari ukuran asalnya. Keuntungan lain dari penggunaan SEM adalah pengamatan objek dapat dilakukan secara langsung (Hearle et al. 1972), sehingga keadaan permukaan objek dapat teramati dengan jelas.

Desalinasi

Desalinasi merupakan suatu proses pemisahan yang bertujuan untuk mengurangi kandungan garam terlarut dalam air hingga mencapai taraf yang dapat digunakan. USGS (2005) mengklasifikasi air ke dalam beberapa jenis, yaitu (1) air tawar dengan kandungan garam terlarut kurang dari 1000 ppm, (2) air berkadar garam rendah dengan kandungan garam terlarut 1000–3000 ppm, (3) air berkadar garam sedang dengan kandungan garam terlarut 3000–10000 ppm, dan (4) air berkadar garam tinggi dengan kandungan garam terlarut 10000–35000 ppm. UNEP (1997) menyebutkan bahwa kandungan garam terlarut yang diizinkan untuk kepentingan domestik, industri, dan pertanian adalah kurang dari 500 ppm.

Proses desalinasi dapat dilakukan dengan penyaringan ataupun dengan proses termal. Pada umumnya, proses desalinasi dilakukan dengan penyaringan osmosis balik. Air yang dihasilkan dari proses tersebut memiliki kandungan garam terlarut kurang dari 500 ppm, sedangkan produk sampingnya adalah air asin dengan kandungan garam terlarut melebihi 35000 ppm (UNEP 1997). Akan tetapi, kombinasi antara berbagai metode dapat dilakukan untuk menghasilkan air dengan kualitas yang lebih baik.

(12)

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini ialah selulosa asetat, polistirena, poli(etilena glikol)-6000, NaCl, metilena klorida, aseton teknis, NaOH, HCl, etanol teknis, air suling, (COOH)2.2H2O, dan

fenolftalein.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah alat-alat kaca laboratorium, pemanas listrik, oven, pengaduk magnetik, neraca analitik, eksikator, pelat kaca, modul penyaring cross flow, konduktometer CON 510, dan SEM JSM-5310 LV. Analisis SEM dilakukan di Bagian Zoologi LIPI, Cibinong.

Metode

Diagram alir keseluruhan penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pembuatan membran komposit CA-PS berporogen dan tanpa-porogen Pembuatan membran dilakukan dengan metode pembalikan fase. Tahap pertama diawali dengan pembuatan larutan polimer CA (15% b/

v), PS (10% b/v), dan PEG (10% b/

v) dalam pelarut campuran metilena

klorida-aseton (1:1). Larutan dicampur dengan nisbah antara CA:PS adalah 9:1 dan ditambahkan 0, 5, dan 10 ml PEG untuk setiap 100 ml CA:PS. Larutan diaduk dengan pengaduk magnetik hingga homogen. Kemudian larutan polimer dituang di atas pelat kaca (18×18 cm2) yang

telah diberi selotip pada kedua sisinya untuk mendapatkan ketebalan yang diinginkan, lalu dicetak dengan cara menekan dan mendorong larutan tersebut hingga diperoleh lapisan tipis. Selanjutnya polimer yang menempel pada pelat kaca ini dibiarkan selama 15–30 menit untuk menguapkan pelarut. Pelat kaca beserta polimer tersebut kemudian dipanaskan sesaat untuk melarutkan PEG dan dilanjutkan dengan pelepasan polimer dari pelat kaca. Polimer tipis tersebut kemudian direndam dalam air. Perendaman ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan PEG yang terperangkap di antara matriks CA-PS. Hilangnya PEG dari matriks tersebut meninggalkan rongga berupa pori-pori. Polimer tipis ini selanjutnya digunakan sebagai membran.

Pencirian Membran Fluks air

Sampel membran ditempatkan dalam modul alat saring cross flow yang dihubungkan dengan selang pengalir umpan, retentat, permeat, serta selang pengatur tekanan. Kemudian umpan dialirkan dan tekanan diatur untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Variasi tekanan yang digunakan adalah 10, 15, dan 20 psi. Nilai fluks ditentukan sebagai fungsi waktu hingga tercapai kondisi tunak (steady state). Fluks dinyatakan dengan persamaan berikut (Mulder 1996):

t

A

V

J

=

J : Fluks (L/(m2.jam)) V : Volume permeat (L) A : Luas membran (m2) t : Waktu (jam) Rejeksi garam

Perolehan rejeksi garam dilakukan dengan menggunakan alat yang sama dengan penentuan fluks air, namun parameter yang perlu diperhatikan dan dicatat ialah konduktivitas permeat dan umpan.

Larutan umpan yang digunakan adalah NaCl dengan konsentrasi 10000 ppm. Analisis konduktivitas NaCl ditentukan dengan konduktometer CON 510. Persen rejeksi NaCl dihitung dari perbandingan antara konduktivitas permeat (Cp) dan umpan (Cf), sebagai berikut (Hendy 1989):

100% 1 Rejeksi % × ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − = f p C C SEM

Sampel direkatkan pada permukaan suatu silinder logam steril berdiameter 1 cm dengan menggunakan perekat ganda. Sampel tersebut kemudian dipreparasi dan dilapisi dengan logam emas dalam kondisi vakum menggunakan sputter coating. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya akumulasi listrik statis pada sampel, karena iradiasi elektron diperlukan selama proses pengambilan gambar. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam instrumen dan dikondisikan dalam keadaan vakum, lalu diatur dan difoto dengan perbesaran tertentu.

(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelarutan CA, PS, dan PEG CA yang digunakan pada penelitian ini dapat larut dalam aseton, sedangkan dalam metilena klorida hanya mengalami pembengkakan. Hal ini dapat terjadi karena kadar asetil yang dimiliki adalah 39.90% (Lampiran 2 dan 3), yang setara dengan derajat substitusi antara 2.2 dan 2.6. Ranby & Rydholm (1956) dalam Sjöström (1995) dan Fengel & Wegener (1984) menyebutkan bahwa CA dengan derajat substitusi pada kisaran tersebut dapat larut dalam aseton dan tidak larut dalam metilena klorida.

Pada penelitian ini digunakan pelarut campuran antara metilena klorida dan aseton. Rabek (1980) menyebutkan bahwa polimer dapat larut dalam pelarut campuran, yaitu campuran antara pelarut, pelarut-nonpelarut, dan nonpelarut-nonpelarut yang menghasilkan sistem pelarut yang dikenal dengan cosolvency. Penggunaan pelarut campuran metilena klorida-aseton dapat melarutkan CA yang digunakan. Pembengkakan CA oleh metilena klorida dapat mempercepat kelarutannya dalam aseton. Hal ini terjadi karena pembengkakan pada molekul CA akan meningkatkan aksesibilitasnya terhadap aseton, yaitu mempermudah penetrasi aseton ke dalam serat-serat CA, sehingga dapat meningkatkan interaksi antara CA dan aseton.

PS tahan terhadap senyawa asam dan basa, namun mudah larut dalam hidrokarbon aromatik dan berklorin (Cowd 1982). Oleh karena itu, PS dapat larut dalam metilena klorida dan tidak larut dalam aseton. Sementara PEG dapat larut dalam air dan beberapa pelarut organik, salah satunya adalah metilena klorida. PEG tidak larut dalam aseton murni namun dapat larut dalam aseton teknis (Anonim 2005). Penggunaan pelarut campuran metilena klorida-aseton dimaksudkan untuk membentuk larutan yang homogen antara CA, PS, dan PEG. Apabila CA, PS, dan PEG yang dicampurkan tidak homogen, maka pada proses pencetakan membran udara akan terperangkap dan proses pencetakan menjadi lebih sulit dan permukaannya menjadi tidak rata. Hal ini dapat berpengaruh pada proses pencirian membran yang terbentuk.

Nilai Fluks Air

Fluks air merupakan ukuran banyaknya volume permeat per satuan luas membran yang ditentukan dalam jangka waktu tertentu. Besarnya nilai fluks suatu membran ditentukan oleh jumlah dan ukuran pori-pori membran, serta besarnya tekanan yang digunakan pada proses. Nilai fluks membran berbanding terbalik terhadap fungsi waktu, yaitu dengan semakin bertambahnya waktu maka nilai fluks akan cenderung semakin turun.

Nilai fluks akan turun secara terus- menerus hingga tercapai keadaan tunak. Hal ini dapat terjadi akibat adanya polarisasi konsentrasi atau terjadinya fouling pada permukaan membran (Mulder 1996). Fouling merupakan peristiwa penyerapan partikel pada permukaan luar atau dalam pori-pori membran (Ghosh 2003). Menurut Duranceau (2001), fouling merupakan faktor utama yang memengaruhi produktivitas penyaringan air dan terjadi ketika pori-pori membran terhalang oleh residu yang semakin bertambah. Peristiwa fouling dapat terjadi secara dapat-balik (reversible) atau tidak dapat balik. Reversible fouling dapat terjadi jika efeknya mampu dihilangkan dengan prosedur pembersihan tertentu (Ghosh 2003). Prosedur pembersihan tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan pencucian balik (back wash) ataupun dengan pembersihan menggunakan bahan kimia yang dapat menurunkan tegangan permukaan membran, yang akan melemahkan ikatan antara partikel penyebab fouling dan permukaan membran (Handoko et al. 2003).

Nilai fluks air terhadap membran komposit contoh ditentukan dengan beberapa variasi tekanan, yaitu 10, 15, dan 20 psi, yang dilakukan dengan melewatkan akuades melalui alat saring dengan prinsip cross flow filtration, yaitu dengan mengalirkan umpan sejajar dengan posisi membran ke dalam sistem penyaringan. Penggunaan prinsip ini diharapkan mampu mengurangi gejala fouling pada membran. Berdasarkan hasil penyaringan tersebut, dapat terlihat adanya fenomena yang sama, yaitu nilai fluks semakin berkurang dengan semakin bertambahnya waktu. Fenomena ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

Hasil pengukuran menunjukkan telah terjadinya fouling pada membran yang diduga disebabkan oleh akuades yang digunakan sebagai umpan mengandung partikel-partikel yang berukuran lebih besar atau sama dengan

(14)

ukuran pori-pori membran. Partikel-partikel tersebut dapat berasal dari tempat penyimpanan akuades ataupun alat yang digunakan untuk proses penyaringan. Akibatnya partikel tersebut menumpuk pada permukaan atau menutup pori-pori membran, sehingga menghambat aliran permeat yang dilewatkan pada membran. Mulder (1996) menyebutkan bahwa nilai fluks membran akan menjadi konstan setelah tercapai keadaan tunak, apabila gaya dorong yang dikenakan terhadap membran konstan. Contohnya dapat dilihat pada Gambar 1 (tanda lingkaran).

Nilai rerata fluks membran CSE 1 pada tekanan 10, 15, dan 20 psi secara berurutan adalah 0.1052, 0.9165, dan 0.1653 l/(m2.jam).

Membran CSE 2 adalah 0.9295, 2.2756, dan 1.7949 l/(m2.jam). Sedangkan membran CSE

3 adalah 1.5865, 38.1090, dan 4.0545 l/(m2.jam). Nilai fluks air pada setiap interval

waktu dapat dilihat pada Lampiran 5. Ghosh (2003) menyebutkan bahwa nilai fluks suatu membran akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan tekanan yang digunakan. Akan tetapi, peningkatannya tidak terjadi secara linear. Hal ini disebabkan oleh adanya fouling pada membran. Penurunan nilai fluks, seperti yang terjadi pada tekanan 20 psi (Gambar 2), juga dapat disebabkan oleh adanya peristiwa kompaksi membran. Kompaksi membran merupakan perubahan mekanik pada struktur membran polimer dengan adanya tekanan, akibatnya semakin tinggi tekanan yang dikenakan terhadap membran maka kompaksi membran akan berlangsung semakin cepat (Mulder 1996). Ketika terjadi kompaksi, struktur komposit CA-PS menjadi lebih padat dan pori-pori membran menjadi semakin rapat, sehingga menyebabkan penurunan nilai fluks air yang dihasilkan.

Gambar 2 Hubungan antara fluks air dan tekanan pada membran.

Nilai Rejeksi NaCl dan Pengaruhnya Terhadap Proses Desalinasi

Kinerja suatu membran salah satunya dapat diketahui dengan penentuan nilai rejeksi. Prinsip penentuan nilai rejeksi sama dengan fluks air, yaitu melalui penyaringan dengan sistem cross flow. Akan tetapi, larutan umpan yang digunakan adalah larutan NaCl dengan konsentrasi 10000 ppm. USGS (2005) menyebutkan bahwa air dengan konsentrasi tersebut termasuk berkadar garam sedang dan belum dapat digunakan untuk kepentingan konsumsi. Penggunaan NaCl sebagai larutan umpan dimaksudkan untuk mewakili komponen terlarut pada lingkungan air laut atau air payau.

Pengukuran nilai rejeksi dilakukan pada setiap 50 ml permeat yang dihasilkan dari proses penyaringan. Nilai konduktivitasnya diukur menggunakan konduktometer (Lampiran 6). Nilai rejeksi ditentukan pada tekanan 15 psi. Hal ini didasarkan pada optimalisasi nilai fluks air pada berbagai variasi tekanan, dan didapatkan bahwa nilai fluks tertinggi terjadi pada tekanan 15 psi.

Nilai rejeksi larutan NaCl, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2, cenderung meningkat. Akan tetapi, terdapat beberapa nilai yang fluktuatif. Gejala ini dapat disebabkan oleh adanya fouling pada membran, sehingga pori-pori membran tertutup oleh partikel terlarut dalam umpan. Semakin lama penggunaan membran, maka semakin banyak partikel yang tertahan pada membran sehingga dapat menghambat laju

0 1 2 3 4 5 6 7 0 20 40 60 80 100 waktu (menit) fl u k s a ir ( l/( m 2 .ja m ))

Gambar 1 Nilai fluks air membran CSE 3 pada tekanan 20 psi.

(15)

aliran permeat. Oleh karena itu, nilai rejeksi yang dihasilkan semakin tinggi dengan semakin lamanya penggunaan membran. Nilai yang fluktuatif dapat terjadi akibat partikel yang menyebabkan fouling tersebut terbawa arus aliran umpan menjadi retentat, sehingga pori-pori membran menjadi tidak terhalang dan mampu melewatkan permeat dari larutan umpan yang bersirkulasi.

Tabel 2 Nilai rejeksi membran pada tekanan 15 psi

%Rejeksi Membran

Volume 50 ml

ke- CSE 1 CSE 2 CSE 3

1 0.00 0.00 0.00

2 0.00 5.18 11.00

3 1.27 2.15 13.63

4 42.07 22.31 3.03

Rerata 10.84 7.41 6.91

NaCl memiliki diameter sebesar 2.79 Ǻ sehingga mampu melewati pori-pori membran yang dihasilkan dalam penelitian ini (Blaber 1996). Akibatnya nilai rejeksi membran terhadap larutan NaCl menjadi rendah. Salah satu upaya untuk memperbesar nilai rejeksi NaCl terhadap membran yang dihasilkan ialah dengan memperkecil ukuran pori-pori membran. Pori-pori membran dengan ukuran yang lebih kecil dapat diperoleh melalui perendaman membran dalam air hangat selama beberapa menit (Rabek 1980). Pengurangan kandungan NaCl dalam larutan permeat juga dapat dilakukan penyaringan secara bertahap. Selain itu, penggabungan beberapa metode dalam prosesnya dapat dihasilkan permeat dengan kandungan NaCl terlarut yang rendah.

Pengaruh Jumlah PEG terhadap Fluks Air dan Rejeksi NaCl

PEG yang digunakan pada penelitian ini berdiameter 32–45.8 Ǻ (Krajewska & Olech 1995). Yang et al. (2001) menyebutkan bahwa pada proses pembalikan fase, penggunaan porogen yang besar akan menghasilkan ukuran pori yang besar pula. Pada Gambar 3, terlihat adanya peningkatan nilai fluks air membran karena adanya PEG.

Penambahan PEG berpengaruh pula pada nilai rejeksi NaCl yang dilewatkan pada membran. Nilai rejeksi semakin berkurang dengan bertambahnya jumlah PEG. Hal ini terjadi akibat bertambahnya jumlah pori-pori atau membesarnya ukuran pori-pori membran seiring dengan bertambahnya jumlah PEG,

sehingga molekul NaCl dapat lebih mudah atau lebih cepat melewatinya.

Gambar 3 Pengaruh jumlah poli(etilena glikol) (PEG) terhadap rerata fluks air dan rejeksi NaCl.

Peningkatan nilai fluks air dan penurunan nilai rejeksi NaCl akibat penambahan PEG dapat diatasi antara lain dengan menambahkan jumlah polimer pembentuk membran dan mengurangi jumlah PEG yang digunakan (Fadillah 2003). Perendaman membran dalam air hangat selama beberapa menit juga dapat dilakukan untuk mengurangi ukuran pori-pori membran (Rabek 1980). Selain itu, jenis PEG dengan bobot molekul yang lebih rendah dapat digunakan untuk membentuk pori-pori membran dengan ukuran yang lebih kecil. Ukuran pori-pori membran yang semakin kecil akan memperbesar kemungkinan jumlah NaCl yang tertahan pada permukaan membran, sehingga nilai rejeksi yang dihasilkan akan meningkat.

Kajian SEM Membran Komposit Berporogen dan Tanpa-Porogen Membran komposit yang dihasilkan dalam penelitian ini tampak seperti plastik berwarna putih (Gambar 4). Sifat morfologi membran, seperti porositas dan tekstur permukaan, dapat diketahui dengan analisis menggunakan SEM. Berdasarkan hasil SEM, terlihat bahwa membran yang dihasilkan memiliki tekstur yang tidak rata serta jumlah dan ukuran pori-pori yang acak pada permukaannya. Tekstur permukaan membran yang tidak rata dapat terjadi akibat CA dan PS hanya bercampur secara fisik dan tidak terbentuk adanya ikatan antarpolimer (Stevens 2001). Meenakshi et al. (2001) dan Rahmawati (2007) telah melakukan pengujian terhadap membran komposit CA-PS, dan diketahui bahwa antara CA dan PS tidak terjadi interaksi kimia atau dengan kata lain campuran hanya berinteraksi secara fisik. Akan tetapi, terlihat pada Gambar

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 5 10 Jumlah (PEG) (ml) N ila i f lu k s a ir ( l/( m 2 .ja m )) d a n rej e ksi N a C l

(16)

5 bahwa dengan penambahan PEG membran yang terbentuk memiliki tekstur permukaan yang lebih halus dibandingkan dengan tanpa penambahan PEG. Pada Gambar 4 terlihat bahwa membran yang dihasilkan memiliki ketebalan yang sedikit berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh proses pembuatan membran yang dilakukan secara manual. Tekanan yang berbeda pada setiap sisi membran saat pencetakan menyebabkan ketebalan permukaannya menjadi tidak sama. Oleh karena itu, dapat digunakan instrumen pencetak yang mampu membentuk membran dengan ketebalan yang sama.

PEG yang ditambahkan berpengaruh terhadap pembentukan pori-pori pada membran. Hal ini ditunjukkan dari ukuran dan jumlah pori-pori yang terbentuk. Dengan adanya PEG, jumlah pori-pori yang terbentuk menjadi semakin banyak, sedangkan ukurannya menjadi semakin seragam. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5, pori-pori yang terbentuk ditunjukkan dengan tanda lingkaran. Ukuran rerata pori-pori membran CSE 1, CSE 2, dan CSE 3, secara berurutan, adalah 0.51, 0.46, dan 0.43 µm. Pada Gambar tersebut terlihat pula bahwa pembentukan pori-pori membran terjadi secara acak dan hanya terdapat pada sebagian permukaannya yang menegaskan bahwa membran yang dihasilkan bersifat asimetris. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mulder (1996), yaitu CA merupakan bahan dasar pembuatan membran asimetris. Penegasan sifat keasimetrisan membran yang dihasilkan dapat dilakukan analisis menggunakan mikroskop transmisi elektron (TEM), karena analisis menggunakan TEM dapat memperlihatkan struktur yang hampir tiga dimensi (Stevens 2001).

(a)

(b)

(c)

Gambar 5 Mikrograf SEM membran a) CSE 1;

b) CSE 2; dan c) CSE 3 dengan perbesaran ×3500.

Gambar 4 Membran komposit (a) CSE 1; (b) CSE 2; dan (c) CSE 3.

(17)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Membran yang dihasilkan memiliki ukuran pori antara 0.43 dan 0.51 µm, sehingga termasuk dalam jenis membran mikrofiltrasi. Penambahan PEG pada proses pembuatan membran berpengaruh terhadap tekstur permukaan, ukuran dan jumlah pori-porinya. Ukuran pori yang relatif seragam dan jumlahnya semakin banyak, serta tekstur permukaan menjadi halus dengan adanya PEG. Oleh karena itu, nilai fluks air semakin tinggi dan rejeksi NaCl semakin rendah dengan bertambahnya jumlah PEG.

Membran yang dihasilkan diketahui dapat menurunkan kadar garam dalam permeat. Akan tetapi, permeat yang dihasilkan memiliki kandungan garam yang tergolong tinggi, sehingga belum sesuai untuk keperluan konsumsi.

Saran

PEG dengan bobot molekul dan konsentrasi yang bervariasi perlu diujikan agar pembentukan pori, baik jumlah maupun ukurannya, dapat dianalisis. Dengan demikian dapat diketahui jenis dan konsentrasi PEG yang optimum dalam pembentukan pori. Selain itu, pengukuran terhadap sifat reologi membran yang dihasilkan perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan PEG.

Penggunaan penyaringan bertahap dan penggabungan beberapa metode, dalam proses desalinasi, dapat dilakukan untuk mendapatkan permeat dengan kadar garam terlarut yang rendah. Selain itu, diperlukan beberapa analisis lainnya terhadap permeat, sehingga permeat yang dihasilkan dapat dikatakan baik untuk keperluan konsumsi.

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2005. Polyethylene Glycol. http://www.chemicalland21.com/AROK ORHI/industrialchem/organic/Polyethyle ne Glycol.htm [24 Okt 2007]

[Anonim]. tt. Nata de Soya. http://warintek.progressio.or,id/ttg/panga n/nata_de_soya.htm [15 Feb 2007]

Baker RW. 2004. Membrane Technology and Application. New York: J Wiley.

Blaber M. 1996. Basic Concepts of Chemical Bonding. www.mikeblaber.org/oldwine/ chm1045/notes/Bonding/IonSize/Bond03. htm [27 Ags 2007]

Brown M. tt. Microbial Cellulose: A New Resource for Wood, Paper, Textiles, Food, and Specialty Products. http://www.botany.utexas.edu/facstaff/fac pages/mbrown/position1.htm [21 Des 2006]

Charmot D et. al., penemu; Symyx Technologies. 12 Okt 2004. Cellulose copolymers that modify fibers and surfaces. US patent 6 803 410 B2. www.freepatentsonline.com/6803410.pdf [12 Jul 2007].

Cowd MA. 1982. Polymer Chemistry. London: J Murray.

Duranceau SJ. 2001. Reverse osmosis and nanofiltration technology: Inorganic, softening, and organic control. [komunikasi singkat]. J. Contempor. Water Res. Education 132:6.

Ekiner OM, penemu; L’Air Liquide Societe Anonyme A Directoire et Consell de Surveillance Pour l’Etude et l’Exploitation des Procedes Georges Claude. 7 May 2002. Polymer blend membrane with improved mechanical properties. US patent 6 383 265 B1. www.freepatentsonline.com/6383265.pdf [12 Jul 2007].

Fadillah F. 2003. Pengaruh penambahan polietilena glikol (PEG) terhadap karakteristik membran selulosa asetat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Fengel D, Wegener D. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin: Walter de Gruyter.

Ghosh R. 2003. Protein Bioseparation Using Ultrafiltration: Theory, Application, and New Development. London: Imperial College Pr.

(18)

Handoko DK, Adiarto T, Anggono TP. 2003. Upaya penanganan membrane fouling yang terjadi pada proses membran selulosa asetat (SA) pada pengolahan limbah tekstil. Jurnal Penelitian Medika Eksakta 4(2):120-128.

Hearle JWS, Sparrow JT, Cross PM. 1972. The Use of the Scanning Ekectron Microscope. Oxford: Pergamon Pr.

Hendy B, penemu; Imperial Chemical Industries PLC. 12 Sep 1989. Membrane. US patent 4 866 099. www.freepatents online.com/4866099.pdf [30 Jul 2007] Koros WJ, Ma YH, Shimidzu T. 1996.

Terminology for membranes and membrane processes (IUPAC Recommendations). Pure & Appl. Chem 68 (7): 1479-1489. http://www.che. utexas.edu/nams/IUPAC.html [15 Mei 2007]

Krajewska B, Olech A. 1995. Pore structure of gel chitosan membranes. I. Solute diffusion measurements. Polym Gels Networks 4: 33-4.

Meenakshi P et al. 2001. Mechanical and microstructure studies on the modification of CA film by blending with PS. Bull. Mater. Sci. 25(1):25-29.

Mulder M. 1996. Basic and Principles of Membrane Technology. London: Kluwer. Nisa K. 2005. Karakteristik fluks membran

kitosan termodifikasi poli(vinil alkohol) dengan variasi poli(etilena glikol) sebagai porogen. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Rabek JK. 1980. Experimental Methods in Polymer Chemistry: Physical Principles and Applications. Chichester: J Wiley.

Rachmadetin J. 2007. Pencirian membran komposit selulosa asetat berbahan dasar limbah tahu menggunakan polistirena. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Rahmawati S. 2007. Kajian mikrostruktur membran komposit selulosa asetat-polistirena berbahan dasar limbah tahu.

[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Ristiyani R. 2006. Pencirian membran selulosa asetat dari kulit nanas dengan penambahan poli(etilena glikol) sebagai porogen. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Safriani. 2000. Produksi biopolimer selulosa asetat dari nata de soya .[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sjöström E. 1995. Kimia Kayu: Dasar-Dasar dan Penggunaan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Pr. Terjemahan dari: Wood Chemistry: Fundamentals and Application.

Stevens MP. 2001. Kimia Polimer. Sopyan I, Penerjemah. Jakarta: Pradnya Paramita. Terjemahan dari: Polymer Chemistry: An Introduction.

[UNEP] United Nations Environment Programme. 1997. Source Book of Alternative Technologies for Freshwater Augmentation in Latin America and the Caribbean. Organization of American States. http://www.oas,org/dsd/publicati ons/Unit/oea59e/begin.htm#Contents [17 Apr 2007]

[USGS] United States Geological Survey. 2005. Saline Water. http://ga.water.usgs. gov/edu/saline.html [23 Nov 2007] Yang L, Hsiao WW, Chen P. 2001.

Chitosan-cellulose composites membrane for affinity purification of biopolymers and immunoadsorption. J Membr Sci 197:185-197.

Younos T, Tulou KE. 2005. Overview of desalination techniques. J Contempor Water Res Educ 132:3-10.

(19)
(20)

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Selulosa asetat

Penetapan kadar air dan kadar asetil

Pembuatan membran komposit CA-PS berporogen dan tanpa porogen

Pengukuran fluks air Pengukuran rejeksi garam Analisis SEM

(21)

Lampiran 2 Penetapan kadar air dan asetil selulosa asetat

Cawan petri kosong dikeringkan pada suhu (105±3) °C selama 1 jam. Setelah didinginkan dalam eksikator, bobotnya ditimbang dengan teliti (W1). Sebanyak 1 g

selulosa asetat ditimbang teliti (W2) di dalam cawan tersebut, lalu dikeringkan kembali

pada suhu yang sama selama 2 jam. Setelah itu ditempatkan dalam eksikator dan bobot (selulosa asetat+cawan) ditetapkan setiap interval 1–3 hari. Setelah tercapai bobot konstan (W3), kadar air dapat dihitung dengan persamaan berikut:

% 100 1 air Kadar 2 1 3 × ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − = W W W

Penetapan kadar asetil dilakukan dengan modifikasi prosedur ASTM (1991), dan volume larutan yang dituliskan berikut adalah untuk ±1 g selulosa asetat. Jika digunakan kurang dari 0.5 g, digunakan volume yang sesuai untuk 0.5 g. Selulosa asetat kering sebanyak ±1 gram ditempatkan dalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan 40 ml etanol 75%, dan labu dipanaskan pada suhu 55 °C selama 30 menit. Labu dikeluarkan dari penangas dan ditambahkan 40 ml NaOH 0.5 N, dan dipanaskan kembali selama 15 menit pada suhu yang sama. Selanjutnya, labu ditutup rapat dengan lembaran aluminium dan dibiarkan selama 72 jam pada suhu kamar.

Setelah 72 jam, sisa NaOH dititrasi dengan HCl 0.5 N standar menggunakan indikator fenolftalein sampai lenyapnya warna merah muda. Sebanyak 1 ml titran dilebihkan dari titik akhir itu, lalu labu ditutup rapat kembali, dan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar untuk menarik NaOH yang terdifusi ke dalam selulosa teregenerasi. Setelah itu, sisa HCl dititrasi dengan NaOH 0.5 N standar sampai muncul warna merah muda permanen pertama kali. Titrasi dilakukan dengan hati-hati karena titrat tidak tanwarna, tetapi berwarna kuning muda sampai cokelat, bergantung pada warna selulosa asetat setelah penetapan kadar air. Blangko, yaitu perlakuan yang serupa dengan penetapan kadar asetil contoh, tetapi tanpa menggunakan contoh, dibuat bersamaan dengan contoh. Kadar asetil selulosa asetat dapat dihitung dengan persamaan berikut:

[

]

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − + − = W M N B A N C D a b ) 1 ( ) ( ) ( 305 . 4 (%) asetil Kadar Keterangan:

A = Volume NaOH untuk titrasi contoh (ml) B = Volume NaOH untuk titrasi blangko (ml) Nb = Normalitas NaOH

C = Volume HCl untuk titrasi contoh (ml) D = Volume HCl untuk titrasi blangko (ml) Na = Normalitas HCl

M = Kadar air selulosa asetat

(22)

Lampiran 3 Data (a) kadar air; (b) kadar asetil selulosa asetat (a) Data kadar air

Bobot selulosa asetat sebelum pengeringan (W2) = 4.9945 g

Bobot cawan petri kosong (W1) = 38.6950 g

Bobot cawan petri + selulosa asetat kering (W3) = 43.4723 g

Kadar air 1 100% 2 1 3 × ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − = W W W % 100 4.9945 38.6950 -43.4723 1 air Kadar × ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = = 4.35% (b) Data kadar asetil Ulangan W (g) C (ml) A (ml) Kadar asetil (%) Rerata (%) 1 2 0.9921 0.9942 32.60 32.20 0.60 0.75 39.32 40.48 39.90 Keterangan:

Volume HCl untuk titrasi blangko = 48.80 ml Volume NaOH untuk titrasi blangko = 0.15 ml Konsentrasi HCl = 0.5228 N Konsentrasi NaOH = 0.4373 N Contoh perhitungan: Ulangan 1:

[

]

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − + − = W M N B A N C D a b ) 1 ( ) ( ) ( 305 . 4 (%) asetil Kadar 921 0.9565)0.9 -(1 3] 0.15)0.437 -(0.6 28 32.60)0.52 -80 4.305[(48. asetil Kadar ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ + =

= 39.32%

(23)

Lampiran 4 Grafik nilai fluks air membran CSE 1, CSE 2, dan CSE 3 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 0 20 40 60 80 100 waktu (menit) fl u k s a ir ( l/m2 .ja m) 10 psi 15 psi 20 psi 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 0 20 40 60 80 100 waktu (menit) fl u k s a ir ( l/m2 .ja m) 10 psi 15 psi 20 psi

CSE 1

CSE 2

CSE 3

(24)

Lampiran 5 Nilai fluks air Membran CSE 1, CSE 2, dan CSE 3 pada beberapa variasi tekanan

Nilai Fluks air (L/(m2.jam))

CSE 1 CSE 2 CSE 3

Waktu (menit)

P=10 psi P=15 psi P=20 psi P=10 psi P=15 psi P=20 psi P=10 psi P=15 psi P=20 psi

6 1.9231 2.8846 2.4038 2.8846 133.8942 5.7692 12 0.0000 1.3221 0.7212 1.2019 2.6442 1.9231 1.9231 59.8558 5.0481 18 1.2019 2.8846 2.1635 2.1635 51.9231 4.3269 24 0.1202 1.0817 0.2404 1.2019 2.6442 2.1635 1.4423 50.4808 4.0865 30 1.2019 2.8846 2.1635 1.9231 47.1154 4.3269 36 0.1202 1.2019 0.1202 0.9615 2.4038 1.6827 1.4423 43.9904 3.8462 42 1.2019 2.4038 1.9231 1.2019 40.8654 4.0865 48 0.0000 0.8413 0.1202 0.9615 2.1635 2.1635 1.2019 42.0673 4.0865 54 0.7212 1.9231 1.6827 1.4423 40.8654 4.0865 60 0.1202 0.8413 0.1202 0.7212 2.1635 1.9231 1.2019 25.4808 3.6058 66 0.4808 1.9231 1.6827 1.2019 8.1731 3.6058 72 0.2404 0.8413 0.0000 0.7212 1.9231 1.6827 1.4423 8.1731 3.8462 78 0.4808 1.9231 1.4423 1.4423 6.2500 3.3654 84 0.1202 0.6010 0.0000 0.4808 1.6827 0.9615 1.4423 6.2500 3.3654 90 0.4808 1.6827 0.9615 1.4423 6.2500 3.3654 96 0.1202 0.6010 0.0000 Rerata 0.1052 0.9165 0.1653 0.9295 2.2756 1.7949 1.5865 38.1090 4.0545

(25)

Lampiran 6 Penentuan nilai rejeksi permeat NaCl.

Data konduktivitas standard NaCl Konsentrasi (ppm) Konduktivitas (µS/cm) 50 83 100 155.4 250 391 500 731 1000 1416 2500 3400 5000 6710 10000 12550 Data rejeksi NaCl

Konduktivitas (mS/cm) %Rejeksi Membran Volume Permeat

(50 ml ke-) CSE 1 CSE 2 CSE 3 CSE 1 CSE 2 CSE 3

1 12.55 12.55 12.55 0.00 0.00 0.00

2 12.55 11.90 11.17 0.00 5.18 11.00

3 12.39 12.28 10.84 1.27 2.15 13.63

4 7.27 9.75 12.17 42.07 22.31 3.03

Rerata 11.19 11.62 11.68 10.84 7.41 6.91

Contoh Perhitungan (Membran CSE 3 pada 50 ml ke-3):

100% 1 Rejeksi % × ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − = f p C C 100% 12.55 10.84 1 Rejeksi % =⎢⎣⎡ − ⎥⎦⎤× = 13.63% Keterangan: Cp = Konduktivitas Permeat Cf = Konduktivitas Umpan (12.55 mS/cm)

Gambar

Tabel 1 Hubungan antara derajat substitusi,  pelarut, dan aplikasi dari selulosa  asetat (Ranby & Rydholm 1956  dalam Sjöström 1995; Fengel &
Gambar 1 Nilai fluks air membran CSE 3                        pada tekanan 20 psi.
Gambar   3  Pengaruh     jumlah     poli(etilena    glikol) (PEG)  terhadap rerata     fluks air dan rejeksi NaCl
Gambar   4   Membran   komposit   (a)   CSE 1;

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dapat disimpulkan secara keseluruhan implementasi sistem penjaminan mutu internal bagian standar pendidikan akademik di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Mamuju

Analisa seismic adalah analisa dinamis, dinama massa struktur dan beban, kekakuan, damping dari stuktur dan jenis tanah pendukung struktur jacket diperhitungkan dalam

Permasalahan perumahan informal ditandai dengan beberapa kondisi sebagai berikut, yakni (1) kebutuhan perumahan bagi penduduk yang terus meningkat belum dapat dipenuhi oleh

BPR Bank Klaten adalah adanya kompetitor sesama bank yang mempunyai produk dan sistem kredit karyawan yang hampir sama; dan (4) strategi yang tepat dalam mempertahankan

Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan

Gejala sesar yang dijumpai pada lokasi penelitian berupa data struktur bidang sesar, zona hancuran (breksiasi), slickensides, dan struktur penyerta lainya berupa

Adapun strategi yang dilakukan untuk mengatasi risiko adalah analisa atau survei dengan 5C, memberi pembiayaan pada usaha yang tidak berisiko tinggi, seleksi