• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan pembangunan perumahan dipengaruhi jumlah penduduk beserta kegiatannya yang semakin meningkat. Kebutuhan perumahan yang terus meningkat merupakan bentuk hubungan antara jumlah penduduk dan ketersediaan perumahan yang tidak seimbang (Yunus, 2007). Rumah sebagai tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, karena merupakan syarat setiap individu maupun keluarga untuk mencapai hidup yang sejahtera. Menurut data statistik tahun 2012, jumlah kekurangan rumah tinggal di Indonesia terus meningkat sebanyak 700.000 unit setiap tahun sejak tahun 2010. Hingga tahun 2012, kekurangan jumlah rumah tinggal diperkirakan mencapai 15 juta unit (Prayitno dkk., 2012).

Kebutuhan perumahan yang semakin meningkat mendorong pembangunan komplek perumahan tidak hanya di wilayah perkotaan, namun juga masuk hingga ke wilayah perdesaan. Douglas (2006) menjelaskan, wilayah pinggiran kota sebagai wilayah pengembangan perumahan, menjadi sangat dinamis karena mendapat pengaruh dari wilayah desa dan kota sekaligus. Penduduk perkotaan membeli atau membangun rumah di pinggiran kota agar dapat merasakan kehidupan yang lebih bersifat perdesaan. Penduduk dari wilayah perdesaan memilih untuk tinggal di wilayah pinggiran kota dengan tujuan mencari pekerjaan dan akses yang lebih mudah terhadap fasilitas pelayanan. Perkembangan perumahan hingga ke wilayah perdesaan juga merupakan dampak dari wilayah perkotaan yang semakin padat dan tidak mampu menyediakan ruang bagi pemenuhan kebutuhan perumahan.

Skema pemenuhan kebutuhan perumahan menurut Drakakis-Smith (1981) dibagi menjadi dua tipe, yaitu perumahan konvensional dan perumahan non konvensional. Klasifikasi ini didasarkan pada beberapa aspek, yakni lembaga pengembang perumahan, keruntutan prosedur perizinan, kesesuaian dengan kerangka hukum (rencana tata ruang wilayah), dan kualitas bangunan. Pembangunan perumahan konvensional dapat diartikan pembangunan perumahan

(2)

2 yang dibangun secara formal, melalui proses perizinan yang runtut dan lengkap, memiliki legalitas hukum (sesuai rencana tata ruang wilayah) dan kualitas bangunan sesuai standar yang baik. Pengembangan perumahan jenis ini pada umumnya dilakukan oleh lembaga negara ataupun pengembang perumahan resmi, dan didukung lembaga pembiayaan formal atau sektor perbankan.

Skema pembangunan perumahan yang kedua disebut juga sebagai perumahan non konvensional. Perumahan tipe ini biasanya memiliki beberapa ciri, yakni dibangun tanpa melalui runtutan prosedur perizinan sesuai peraturan yang berlaku, tidak atau kurang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah setempat, dan kualitas bangunan maupun lingkungan yang berada di bawah standar kelayakan (Drakakis-Smith, 1981). Perumahan non konvensional dapat dibagi menjadi dua, pertama adalah slum atau perumahan kumuh dan yang kedua adalah squatter atau perumahan ilegal. Perumahan kumuh (slum) dinilai berdasarkan kualitas bangunan rumah dan lingkungan permukiman yang biasanya di bawah standar layak huni. Penilaian rumah ilegal (squatter) didasarkan pada aspek legalitas, misalkan saja berdasarkan prosedur pembangunan, perizinan dan kesesuaian dengan rencana tata ruang.

Rakowsky (1994) secara lebih sederhana mengklasifikasi pengembangan perumahan menjadi dua jenis, yakni perumahan formal dan perumahan informal. Klasifikasi perumahan ini lebih sederhana karena menggunakan aspek legalitas pembangunan perumahan dari segi perizinan dan kesesuaian dengan tata ruang sebagai indikator penilaian. Perumahan formal secara umum dibangun melalui prosedur perizinan yang sistematis, dilengkapi dokumen legalitas, dan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Karakter perumahan informal berkebalikan dengan perumahan formal, yakni perumahan yang tidak disertai dokumen legalitas perizinan dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang diberlakukan pemerintah.

Perkembangan perumahan informal yang muncul sebagai akibat dari ketimpangan antara kebutuhan perumahan dan ketersediaan perumahan. Penduduk perkotaan khususnya di negara-negara berkembang di Asia, Amerika Selatan, Afrika Utara, dan Timur Tengah tinggal di perumahan informal. Persentase

(3)

3 penduduk yang menghuni perumahan informal antara 25% hingga mencapai 70% (Durand-Lasserve dan Royston, 2002). Perumahan informal kaitannya dengan perolehan lahan dan proses pembangunanmya dapat diklasifikasi menjadi dua, yakni squatter settlement dan unauthorized development. Squatter settlement merupakan perumahan yang dibangun di lahan yang illegal, karena tidak memperoleh izin dari pemilik lahan yang sah. Unauthorized development menilai perumahan informal dari sisi legalitas pembangunan perumahan. Perumahan tipe ini tidak memiliki kelengkapan dokumen perizinan membangun sesuai yang ditetapkan pemerintah daerah. Selain itu dapat pula dikatakan perumahan tersebut menempati lokasi yang tidak sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang.

Perumahan informal memang menjadi permasalahan yang harus dihadapi pemerintah di berbagai wilayah di dunia, namun di sisi lain juga memiliki peranan penting dalam perkembangan wilayah. Nino Ruiz (2006) mengungkap perkembangan perumahan informal menjadi bagian dari proses perkembangan perkotaan Kota Bogota (Kolombia). Kota Bogota, pada awal perkembangannya sekitar tahun 1970an menghadapi permasalahan dalam memenuhi kebutuhan perumahan formal. Rumahtangga yang tidak dapat mengakses perumahan formal mencapai 45,9%, kemudian tinggal di perumahan informal. Pemerintah Kolombia bahkan mengklaim bahwa 23,7% dari wilayah Bogota berkembang menjadi wilayah perkotaan disebabkan oleh perkembangan perumahan yang sifatnya illegal dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Perkembangan perumahan di Kota Pune (India) juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh peningkatan jumlah perumahan informal (Kapoor dan Le Blanc, 2008). Persentase perumahan informal di salah satu kota besar di India ini mencapai 40% dari total perumahan yang dibangun. Berkembangnya perumahan informal diakibatkan birokrasi dan prosedur perizinan yang rumit. Selain itu, upaya untuk memperoleh dokumen legalitas perumahan atau membangun perumahan secara formal juga membutuhkan biaya yang banyak dan waktu yang cukup lama. Banyak pengembang perumahan memilih tidak mengikuti prosedur perizinan yang baku dengan tujuan agar dapat segera menyediakan perumahan bagi konsumen. Sikap

(4)

4 tersebut diambil demi memperoleh keuntungan yang lebih besar. Investasi pada perumahan informal terus tumbuh juga disebabkan oleh tingginya permintaan terhadap perumahan informal. Perumahan formal cenderung memiliki harga yang lebih tinggi daripada perumahan informal. Pemerintah belum mampu menyediakan perumahan formal dengan harga yang terjangkau bagi penduduknya khususnya yang berpenghasilan rendah. Kondisi ini melatarbelakangi terus meningkatnya jumlah perumahan informal.

Penyediaan perumahan formal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga dihadapi pemerintah di Bahir Dar, Ethiopia. Laju perkembangan perkotaan yang cepat mengakibatkan kebutuhan tempat tinggal menjadi sangat tinggi. Adam (2014) menjelaskan pemerintah mengalokasikan lahan untuk membangun perumahan di perkotaan yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Program pembangunan perumahan formal tersebut menjadi tidak tepat sasaran karena justru dikuasai oleh penduduk yang berpenghasilan tinggi. Proses perolehan rumah yang rumit serta harga rumah yang tidak dapat dijangkau masyarakat pada klas bawah menjadi penyebab gagalnya kebijakan penyediaan perumahan formal oleh pemerintah. Sebagai akibatnya, perumahan informal berkembang pesat di wilayah pinggiran kota. Perumahan yang dibangun pada umumnya tidak mengikuti prosedur yang berlaku dan tidak memiliki dokumen perizinan.

Perkembangan perumahan informal juga menjadi permasalahan di kota-kota di Indonesia. DKI Jakarta merupakan contoh kota-kota yang memiliki permasalahan dalam menangani perumahan informal (Zhu dan Simartama, 2015). Perumahan informal terus berkembang seiring dengan bertambahnya kebutuhan perumahan dan di sisi lain penduduk tidak mampu menguasai perumahan formal. Harga unit perumahan formal pada umumnya tidak terjangkau bagi kalangan ekonomi bawah. Perumahan formal cenderung dikuasai oleh mekanisme pasar yang tidak mampu dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Perumahan formal umumnya hanya mampu dijangkau masyarakat ekonomi kelas menengah hingga masyarakat ekonomi kelas atas. Perkembangan perumahan informal kemudian memunculkan berbagai permasalahan wilayah, baik dari aspek tata ruang, lingkungan, hingga ke

(5)

5 aspek sosial. Kasus perkembangan perumahan informal di DKI Jakarta ini memunculkan beberapa permasalahan seperti, segregasi sosial antara penduduk yang tinggal di perumahan formal dengan penduduk yang tinggal di perumahan informal, permasalahan lingkungan yakni sanitasi lingkungan permukiman dan kualitas lingkungan permukiman yang rendah, hingga permasalahan perkembangan wilayah yang secara spasial cenderung tidak teratur.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, perumahan informal merupakan permasalahan yang terjadi di berbagai wilayah. Permasalahan perumahan informal ditandai dengan beberapa kondisi sebagai berikut, yakni (1) kebutuhan perumahan bagi penduduk yang terus meningkat belum dapat dipenuhi oleh pemerintah; (2) pembangunan perumahan seringkali tidak sesuai prosedur dan tidak memiliki dokumen perizinan yang lengkap; (3) lokasi perumahan sering kali kurang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah maupun kriteria lokasi yang menjadi standar pembangunan perumahan; dan (4) pemerintah daerah belum memiliki regulasi yang kuat dalam wujud peraturan daerah yang operasional untuk mengatur perkembangan perumahan. Permasalahan perumahan tersebut juga terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya di Kabupaten Sleman.

Wilayah Kabupaten Sleman yang berada di pinggiran Kota Yogyakarta berkembang menjadi bagian dari wilayah Perkotaan Yogyakarta. Fungsi wilayahnya sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), kota pendidikan, kota budaya, dan kota wisata menjadikan Perkotaan Yogyakarta menampung beban berbagai kepentingan sekaligus (Sutaryono, 2013). Berbagai fungsi yang melekat pada Perkotaan Yogyakarta menjadikan wilayah sekitarnya berkembang menjadi tujuan investasi pembangunan perumahan. Semakin banyaknya penduduk yang berkeinginan untuk memiliki rumah dan tinggal di Wilayah Perkotaan Yogyakarta berarti semakin banyak pula permintaan jumlah unit perumahan.

Peningkatan kebutuhan perumahan mendorong berkembangnya kompleks perumahan, terutama di wilayah Kabupaten Sleman yang merupakan bagian dari wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta. Sutaryono menulis artikel tentang permasalahan semrawutnya perizinan perumahan di Kabupaten Sleman dengan judul “Dualisme Pembangunan Perumahan” (Kedaulatan Rakyat, 23 Juni 2012).

(6)

6 Permasalahan dualisme pembangunan perumahan menciptakan kondisi perumahan yang dapat dikatakan setengah legal. Banyak perumahan yang dibangun tanpa disertai dokumen perizinan yang lengkap seperti izin lokasi atau izin pemanfaatan tanah, perolehan tanah, penyusunan dokumen lingkungan, penyusunan rencana tapak bangunan dan izin mendirikan bangunan. Beberapa kasus menunjukkan ada perumahan yang sudah bersertifikat, namun tidak memiliki dokumen perizinan. Hal ini berarti, pemilikan hak atas tanah legal, namun bangunan rumah tidak berizin atau illegal. Ada pula perumahan yang sudah dipasarkan, namun pengembang hanya mengurus izin lokasi atau IPT tanpa menyelesaikan perizinan hingga IMB. Kasus tersebut memunculkan permasalahan perizinan perumahan yang dapat dikatakan setengah legal.

Perkembangan perumahan di Kabupaten Sleman merupakan suatu bentuk reaksi dari peningkatan kebutuhan perumahan. Namun demikian, keberadaan perumahan informal menjadi permasalahan wilayah yang harus segera diselesaikan. Apabila dikaitkan dengan uraian di atas, permasalahan pengembangan perumahan di Kabupaten Sleman terkait perumahan informal khususnya unauthorized settlements merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Oleh karena itu perlu dilaksanakan penelitian mendalam tentang “Kesesuaian Lokasi dan Perizinan Perumahan di Kabupaten Sleman” untuk menjelaskan fenomena tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Kabupaten Sleman dalam konstelasi wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki fungsi sebagai kawasan strategis, yakni (1) kawasan strategis provinsi kawasan perkotaan untuk menampung perkembangan permukiman dalam sistem Perkotaan Yogyakarta, (2) fungsi strategis kemanan dan ketahanan pangan wilayah; serta (3) fungsi strategis daya dukung lingkungan sebagai kawasan resapan air. Penetapan kawasan strategis tersebut secara jelas tersurat dalam Perda No.12 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Sleman tahun 2011-2031. Tiga fungsi strategis dalam satu wilayah tersebut jika tidak diatur dengan baik berpotensi memunculkan konflik antar fungsi, misalkan saja perkembangan perumahan yang

(7)

7 pesat di kawasan resapan. Perkembangan perumahan dapat mengganggu fungsi lindung kawasan resapan air. Peningkatan lahan terbangun dapat mengurangi volume air yang diresapkan berpengaruh pada sistem hidrologi.

Kawasan peruntukan pengembangan permukiman di Kabupaten Sleman diarahkan di kawasan perkotaan hingga di kawasan perdesaan. Namun, kecenderungan perkembangan perumahan di kedua wilayah ini memang belum diketahui secara rinci. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan terkait dengan kesesuaian lokasi pembangunan perumahan dengan rencana tata ruang, kesesuaian lokasi perumahan dengan pemanfaatan lahan eksisting di sekitarnya, dan kesesuaian lokasi perumahan berdasarkan kriteria aksesibilitas.

Pembangunan perumahan di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, misalkan di kawasan pertanian tentu perlu mendapatkan perhatian khusus terkait dengan langkah pendindakannya. Hal ini karena belum ada mekanisme pengaturan yang jelas dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Pembangunan perumahan di kawasan perdesaan di lokasi yang berdekatan dengan lahan pertanian sawah irigasi misalnya, dapat dikatakan kurang sesuai karena berdampak pada terganggunya kegiatan pertanian. Pembangunan perumahan dapat mengakselerasi perkembangan lahan terbangun di kawasan tersebut sehingga semakin mendesak lahan pertanian.

Kecenderungan perkembangan perumahan yang cepat ini juga perlu mendapat perhatian terutama terkait legalitas atau aspek kelengkapan perizinannya. Pembangunan perumahan yang memenuhi status legal paling tidak harus melalui tiga (3) mekanisme perizinan, yakni mulai dari Izin lokasi atau Izin Pemanfaatan Tanah (IPT), Izin Pengesahan Rencana Tapak Bangunan, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Materi perizinan yang terangkum dalam tiga dokumen perizinan tersebut diantaranya adalah kesesuaian lokasi dengan fungsi ruang, intensitas pemanfaatan ruang, tata masa bangunan, kelengkapan sarana dan prasarana lingkungan perumahan, dan izin mendirikan bangunan.

Permasalahan yang dihadapi terutama adalah sulitnya proses pengaturan perizinan pembangunan perumahan. Tingginya permintaan unit perumahan

(8)

8 menjadikan pengembang perumahan bersaing untuk segera menyediakan perumahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Kondisi tersebut berakibat pada munculnya permasalahan pelanggaran perizinan, baik berupa proses perizinan yang belum selesai ataupun tidak memiliki izin sama sekali. Kondisi tersebut memunculkan perumahan informal dengan status perumahan yang tidak berizin atau perumahan illegal maupun perumahan dengan dokumen perizinan yang tidak lengkap atau perumahan setengah legal.

Pembangunan perumahan di Kabupaten Sleman memunculkan beberapa pertanyaan terkait aspek kesesuaian lokasi dan kelengkapan perizinan. Beberapa pertanyaan yang perlu untuk ditelusuri faktanya:

1. Bagaimana kecenderungan perkembangan pembangunan perumahan di Kabupaten Sleman?

2. Bagaimana kondisi perizinan perumahan di Kabupaten Sleman?

3. Bagaimana kondisi kesesuaian lokasi perumahan di Kabupaten Sleman? 4. Apa saja usulan kebijakan yang dapat diberikan kepada pemerintah daerah

untuk mengatasi permasalahan pembangunan perumahan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi kecenderungan perkembangan perumahan tahun 2004-2014;

2. Mengklasifikasi perumahan berdasarkan kelengkapan dokumen perizinan perumahan;

3. Mengevaluasi kesesuaian lokasi perumahan berdasarkan kriteria rencana tata ruang dan kriteria teknis lokasi perumahan;

4. Menyusun usulan kebijakan untuk permasalahan menurut klasifikasi perizinan perumahan dan kesesuaian lokasi perumahan.

(9)

9 1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna dan memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dalam hal:

1. Mendokumentasikan wujud perkembangan wilayah, yang dapat memberikan kontribusi dan referensi pengetahuan pada disiplin ilmu kewilayahan dan pada studi geografi permukiman.

2. Memberikan gambaran dan informasi perkembangan perumahan di Kabupaten Sleman.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna dan memberikan masukan bagi pemerintah, yaitu dalam hal:

1. Memberikan informasi kecenderungan perkembangan perumahan di Kabupaten Sleman.

2. Memberi masukan bagi pengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah perizinan dan kesesuaian tata ruang lokasi perumahan di Kabupaten Sleman.

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan tema perumahan baik yang memilih lokasi di Kabupaten Sleman ataupun daerah lain memang bukan penelitian baru. Namun demikian, penelitian dengan judul “Kesesuaian Lokasi dan Perizinan Perumahan di Kabupaten Sleman” belum pernah dilakukan. Ada enam (6) judul penelitian terdahulu yang memiliki mengkaji tentang permasalahan perumahan terutama perumahan informal, namun secara keseluruhan terdapat perbedaan yang dapat menyatakan bahwa tidak ada unsur plagiarisme dalam penelitian ini.

Penelitian terkait dengan fenomena perumahan informal dilakukan oleh Ruiz (2006), dengan judul “Formal and Informal Housing Practices in Bogotá, Colombia: The experience of Metrovivienda and Juan XXIII”. Data sekunder

(10)

10 digunakan untuk mengungkap secara deksriptif kebijakan pemerintah Kota Bogota dalam mengelola perkembangan perumahan formal dan informal. Perumahan informal di Juan XXIII berkembang begitu pesat di lokasi yang tidak strategis dan ketersediaan fasilitas permukiman yang minim. Pemerintah melakukan legalisasi perumahan informal untuk dapat memberikan kepastian hukum kepada penduduk miskin terhadap aset yang berupa rumah agar dapat digunakan sebagai agunan untuk mengakses jasa keuangan. Kebijakan mengembangkan perumahan formal dilakukan dengan menjalin kemitraan pihak swasta. Mekanisme bank tanah diimplementasikan untuk menguasai lahan di pinggiran kota yang biasanya menjadi lokasi pengembangan perumahan informal. Penelitian ini memiliki persamaan terkait dengan tema dan obyek kajian, yakni perumahan informal. Hasil penelitian ini terkait dengan kebijakan penanganan perumahan informal juga dapat menjadi salah satu rujukan dalam merumuskan arahan kebijakan.

Kapoor dan le Blanc meneliti perumahan informal dari sudut pandang ekonomi, yakni berjudul “Measuring risk on investment in informal (illegal) housing: Theory and evidence from Pune, India”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menganalisis keputusan rumah tangga berinvestasi pada perumahan informal khususnya di negara berkembang. Penelitian menggunakan data sekunder untuk menyusun model regresi investasi perumahan baik formal dan informal. Penelitian ini memiliki kesamaan obyek kajian, yakni perumahan informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pada perumahan informal memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap kerusakan, baik yang diakibatkan oleh bencana maupun kemungkinan adanya kebijakan pembongkaran dari pemerintah bila dibandingkan dengan perumahan formal. Harga sewa unit perumahan informal lebih murah daripada perumahan formal sehingga banyak diminati dan jumlah permintaannya terus meningkat. Tingginya permintaan terhadap perumahan informal mendorong tingginya nilai pengembalian modal pada sektor perumahan informal dibandingkan dengan perumahan formal.

Purwaningsing pada tahun 2009 melakukan penelitian tesis dengan judul “Aspek Yuridis Penertiban Perumahan Liar di Kabupaten Sleman (Studi Kasus di Kabupaten Sleman)”. Fokus penelitian ini juga terkait dengan legalitas dan

(11)

11 perizinan perumahan terutama ditinjau dari aspek yuridis administrasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) memberikan informasi kepada masyarakat bagaimana cara mengamankan hak atas tanah yang sudah diperoleh atau yang akan diperoleh; (2) mengetahui akibat hukum yang timbul akibat dari membeli perumahan yang belum berizin. Metode penelitian survei digunakan untuk membuktikan hukum normatif empiris. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan responden dan narasuber. Hasil penelitian ini menekankan pada status hak atas tanah dan bangunan perumahan liar yang dibeli konsumen tanpa dilengkapi dokumen perizinan yang lengkap. Akta dari PPAT memiliki kekuatan hukum dan sah sebagai bukti hak atas tanah namun untuk memperoleh sertifikat tanah tetap harus melalui prosedur dan melengkapi dokumen perizinan terlebih dahulu. Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih memiliki kesamaan tema, namun terdapat perbedaan yang jelas terutama pada penekanan kajiannya pada aspek administrasi pemilikan hak atas tanah. Peneliti menekankan kajian pada permasalahan aspek administrasi namun lebih mengarah pada perizinan pembangunan perumahan.

Penelitian dengan judul “Fenomena ‘Membangun Dulu Sebelum Ijin’ Pada Kasus Pengembangan Perumahan di Kabupaten Sleman” oleh Sumarwoto pada tahun 2011. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan fenomena pengembang perumahan yang cenderung membangun terlebih dahulu sebelum proses perizinan selesai pada pengembangan perumahan di Kabupaten Sleman. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis Kualitatif Naturalistik-Eksploratif (Fenomenologi). Data diperoleh dari wawancara mendalam dengan stakeholders yang terdiri dari pemerintah, pengembang, maupun konsumen. Hasil penelitian ini berupa latar belakang fenomena pembangunan perumahan sebelum izin selesai diproses di Kabupaten Sleman. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarwoto memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, terutama fokus kajiannya pada masalah perizinan perumahan di Kabupaten Sleman. Namun demikian, permasalahan perizinan pembangunan perumahan dikaji untuk mendeskripsikan latar belakang fenomena pengembang yang membangun perumahan sebelum perizinan selesai diproses. Pihak yang terkait adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, pengembang perumahan, dan konsumen.

(12)

12 Asmat dan Zamzani (2012) melakukan penelitian dengan judul “Automated House Detection and Delineation using Optical Remote Sensing Technology for Informal Human Settlement”. Penelitian ini bertujuan mengenalkan identifikasi perumahan informal menggunakan teknik analisis data penginderaan jauh. Data Citra Spot-5 dengan resolusi 5 meter dan Citra Quickbird dengan resolusi 2,4 meter digunakan untuk menghitung jumlah perumahan informal di lokasi kajian. Perumahan informal yang cenderung memiliki pola tidak teratur memiliki jumlah yang lebih banyak daripada perumahan formal. Artinya, teknik penginderaan jauh dapat digunakan untuk menduga dengan cepat jumlah dan lokasi perumahan informal. Kajian yang dilakukan oleh peneliti juga menggunakan data peta untuk mengidentifikasi kesesuaian lokasi perumahan kaitannya dengan jarak perumahan dengan akses jalan dan kesesuaian penggunaan lahan sekitarnya.

Penelitian Adam (2014) yang berjudul “Informal settlements in the peri-urban areas of Bahir Dar, Ethiopia: An institutional analysis” juga mengkaji perumahan informal sebagai obyek. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis proses perkembangan perumahan informal dan perkembangan wilayah di peri-urban. Metode penelitian survey dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan FGD, sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk miskin tidak dapat mengakses perumahan formal karena harga yang tidak terjangkau dan mekanisme perolehan yang rumit. Petani pemilik lahan juga memiliki peran dalam perkembangan perumahan informal, yakni sebagai penyedia lahan.

Penelitian terkait perumahan informal yang dilakukan Jauhari (2016) berjudul “Kesesuaian Lokasi dan Perizinan Perumahan di Kabupaten Sleman”. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi perkembangan perumahan; (2) menganalisis kelengkapan perizinan perumahan; (3) mengevaluasi kesesuaian lokasi perumahan; dan (4) menyusun usulan kebijakan penanganan permasalahan perumahan di lokasi kajian. Penelitian ini menggunakan metode survai. Data sekunder dari pemerintah daerah dan data primer hasil pengecekan di lapangan digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan

(13)

13 perkembangan perumahan di Kabupaten Sleman dalam kurun waktu 2010-2014 mengarah ke barat laut dan timur laut. Sebagian besar perumahan di wilayah kajian masuk dalam klas perizinan lengkap dengan persentase sebesar 73,49%. Sebagian besar perumahan berada pada lokasi yang sesuai, berturut-turut dengan persentase terbesar menurut RTRW (94,37%), Penggunaan lahan (90,76%) maupun aksesibiltas lokasi perumahan (78,31%). Penjelasan mengenai penelitian ini memberikan gambaran perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Tabel 1.1. menunjukan keaslian penelitian, terkait dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, disajikan sebagai berikut:

(14)

14 Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian dengan penelitian sebelumnya.

No. Nama peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

1. Alexander Nino Ruiz, 2006. Jurnal: Revista de Derecho Privado.

Formal and Informal Housing Practices in Bogotá, Colombia: The experience of Metrovivienda and Juan XXIII. 1. Menganalisis kebijakan Pemerintah Kota Bogota dalam mengelola

perkembangan perumahan formal dan informal

1. Penelitian menggunakan data sekunder

2. Data diperoleh dari pemerintah Kota Bogota yang kemudian dianalisis secara deskriptif

1. Perumahan informal menempati lahan secara illegal di lokasi yang tidak strategis, rentan bencana dan minim fasilitas pelayanan

2. Legalisasi perumahan informal memberikan kepastian hukum terhadap aset (rumah) agar

penduduk miskin dapat mengakses jasa keuangan

3. Pemerintah mengembangkan perumahan formal melalui kemitraan dengan swasta dan menggunakan mekanisme bank tanah 2. M. Kapoor dan D. Le Blanc, 2008. Jurnal: Regional Science and Urban Economics. Measuring risk on investment in informal (illegal) housing: Theory and evidence from Pune, India

1. Menganalisis keputusan rumah tangga berinvestasi pada unit rumah informal di negara berkembang

1. Penelitian menggunakan data sekunder

2. Regresi digunakan untuk menyusun model investasi perumahan formal dan informal.

1. Perumahan informal memiliki resiko lebih tinggi terhadap kerusakan daripada perumahan formal

2. Rata-rata harga sewa perumahan informal hanya satu per tiga dari perumahan formal

(15)

15

No. Nama peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

3. Perumahan informal memiliki tingkat pengembalian modal yang lebih tinggi daripada perumahan formal 3. Muwun Susilo Purwaningsih, 2009. Tesis. Prodi Magister Kenotariatan. Aspek Yuridis Penertiban Perumahan Liar di Kabupaten Sleman (Studi Kasus di Kabupaten Sleman) 1. Memberikan informasi kepada masyarakat bagaimana cara

mengamankan hak atas tanah yang sudah diperoleh atau yang akan diperoleh.

2. Mengetahui akibat hukum

yang timbul akibat dari membeli perumahan yang belum berizin.

1. Metode penelitian survei, untuk membuktikan hukum normatif empiris

2. Perolehan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan

responden dan narasumber.

1. Status hak atas tanah dan

bangunan yang diperoleh sebelum memperoleh Izin Peruntukan Penggunaan Tanah tidak akan berubah, sertifikat tidak dapat diproses.

2. Akta dari PPAT atas peralihan hak tetap sah meski tidak dapat

dilanjutkan ke setifikasi apabila syarat administrasi tidak dipenuhi 4. Ignatius Sumarwoto, 2011. Tesis. Prodi MPKD. Fenomena “Membangun Dulu Sebelum Ijin” Pada Kasus Pengembangan Perumahan di Kabupaten Sleman 1. Mendeskripsikan fenomena pengembang perumahan yang cenderung membangun terlebih dahulu sebelum proses perizinan selesai pada pengembangan perumahan di Wilayah Kabupaten Sleman

1. Penelitian dengan metode analisis kualitatif

Naturalistik-eksploratif (Fenomenologi)

2. Perolehan data dengan wawancara mendalam kepada stakeholders.

1. Latar belakang fenomena

‘membangun dahulu sebelum ijin’ ada 3 yakni; latar belakang lingkup pemda, latar belakang lingkup pengembang dan latar belakang lingkup konsumen.

(16)

16

No. Nama peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

5. Asmat, A. dan Zamzami, S.Z. 2012. Jurnal: Procedia- Social and Behavioral Sciences Automated House Detection and Delineation using Optical Remote Sensing Technology for Informal Human Settlement

1. Mengidentifikasi perumahan informal menggunakan teknik analisis data penginderaan jauh

1. Metode analisis data sekunder

2. Data yang digunakan adalah Citra Spot-5 (res. 5m) dan Citra Quickbird (res. 2,4m)

1. Menurut hasil interpretasi citra jumlah perumahan informal lebih banyak daripada perumahan formal

2. Perumahan informal memiliki pola yang tidak teratur dan berada di lokasi yang tidak sesuai dengan perencanaan. 6. Achamyeleh Gashu Adam, 2014. Jurnal: Habitat International. Informal settlements in the peri-urban areas of Bahir Dar, Ethiopia: An institutional analysis 1. Menganalisis proses perkembangan perumahan informal dan pembangunan di wilayah peri-urban

1. Metode penelitian survey dengan menggunakan data primer dan data sekunder 2. Data primer diperoleh

melalui wawancara dan FGD. Data sekunder diperoleh dari dokumen pemerintah lokal

1. Proses munculnya perumahan informal adalah pada fase infasi.

2. Penduduk miskin mendapatkan

lahan untuk membangun perumahan informal dari petani di wilayah peri-urban.

3. Perumahan informal berkembang karena harga dan proses perolehan perumahan formal yang tidak dapat dipenuhi penduduk miskin.

(17)

17

No. Nama peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

7. Agung Jauhari, 2016. Tesis. Prodi S2 Geografi. Kesesuaian Lokasi dan Perizinan Perumahan di Kabupaten Sleman. 1. Mengidentifikasi kecenderungan perkembangan perumahan di Kabupaten Sleman; 2. Menganalisis kelengkapan dokumen perizinan perumahan; 3. Mengevaluasi kesesuaian lokasi perumahan; 4. Menyusun usulan kebijakan penanganan permasalahn perumahan di lokasi kajian.

1. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan mengambil sampel di Kabupaten Sleman

2. Analisis data yang digunakan yakni analis tabel frekuensi, analisis kecenderungan

perkembangan perumahan, analisis spatial clustering, analisis klasifikasi

permasalahan perumahan

1. Perkembangan perumahan lebih pada periode lima tahun terakhir mengarah ke barat laut dan timur laut.

2. Sebagian besar perumahan di wilayah kajian masuk dalam klas perizinan lengkap dengan persentase sebesar 73,49% setara dengan 183 dari total 249 perumahan.

3. Sebagian besar perumahan berada pada lokasi yang sesuai, baik menurut RTRW( 94,37%),

Penggunaan lahan (90,76%) maupun aksesibiltas lokasi (78,31%).

4. Kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah yakni : legalisasi perumahan informal, pemberian sanksi administratif, pemberian denda, penyesuaian rencana pola ruang.

Sumber: Ruiz, N.A. (2006); Kapoor M. dan le Blanc. D.(2008). Sumarwoto, Ignatius (2011), Purwaningsih, Muwun Susilo (2009); Asmat, A. dan Zamzani. S.Z. (2012); Adam, A.G. (2013).

Referensi

Dokumen terkait

Pemulihan bertahap dalam ekonomi dunia dan harga-harga komoditas yang lebih tinggi diperkirakan akan mendukung pertumbuhan yang kuat dalam volume dan harga ekspor Indonesia di atas

Perubahan secara fisuiologis sebagai hasil dari proses kematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat dalam peredaran waktu tertentu..

---Setelah Berita )3ara pemeriksaan ini selesai dibuat kemudian diba3akan kembali kepada yang diperiksa dengan bahasa yang dimengertinya dan a tetap pada keterangannya dan untuk

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanolik Herba Ciplukan memberi- kan efek sitotoksik dan mampu meng- induksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7

Merupakan penyakit yang penyebabnya Merupakan penyakit yang penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif, autoimun bersifat kronik dan residitif, ditandai dengan

Menurut Kotler (2001:298) kepuasan pelanggan adalah sejauh mana kinerja yang diberikan oleh sebuah produk sepadan dengan harapan pembeli. Jika kinerja produk kurang dari

Kuda pejantan tidak perlu diberi pakan tambahan berupa telur karena kebutuhan nutrisinya sudah tercukupi dari konsentrat dan rumput yang diberikan, sedangkan kuda induk

ayo kita coba bermain ayo kita coba bermain gerakan yang agak sulit gerakan yang agak sulit yaitu berjalan di balok titian yaitu berjalan di balok titian naiklah ke atas balok