• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan

Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 famili dan 32 genus (Tabel 3). Famili Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus,

Stolephorus, Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan berturut-turut adalah 1836, 392,, 316, 301, 266, 159 dan 79 individu per 100 m3.

Tabel 3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan

Famili Genus Kelimpahan Panjang Standar (mm) Keterangan Ind/m3 % Rata-rata Kisaran

Ambassidae Ambassis 21 0,54 5 2,5-6,7 F,Pf

Atherinidae Hypoatherina 5 0,12 3,4 2,5-5,1 Pof

Blenniidae Omobranchus 301 7,6 2,4 1,8-4,1 Pf,F

Cynoglossidae Cynoglossus 1 0,02 1,8 1,8 Pf

Carangidae Caranx 10 0,25 2,4 2,0-2,7 Pf

Clupeidae Herklotsichthys 79 2,01 5,8 4,3-11,6 F, Pof

Clupeidae Sardinella 316 7,98 5,6 4,0-11,2 F, Pof

Engraulidae Engraulis 159 4,01 6,2 2,1-10,5 Pf,F,Pof

Engraulidae Stolephorus 266 6,71 10,6 4,0-21,9 Pf,F,Pof

Eleotridae Eleotris 2 0,06 8,6 8,3-8,6 Pof

Gerreidae Gerres 1 0,02 2,5 2,2-3,5 Pf

Gobiidae Gobiidae sp1 285 7,19 2,2 1,8-2,7 Pf

Gobiidae Gobiidae sp 2 94 2,37 2,3 1,8-2,8 Pf

Gobiidae Glossogobius 24 0,62 4,2 2,3-9,0 F

Gobiidae Tridentiger 1836 46,39 7,2 1,8-14,2 Pf, F,Pof

Gobiidae Rhinogobius 392 9,91 2,5 1,9-3,3 Pf

Gobiidae Rediogobius 2 0,06 3,1 2,8-3,3 Pf

Gobiidae Acentrogobius 2 0,06 4,4 2,8-7,7 Pf

Gobiidae Parachaeturichthys 1 0,02 2,8 2,8 Pf

Leioghnatidae Secutor 12 0,31 14,2 12,6-17,8 Pof

Mugilidae Mugil 18 0,44 1,8 1,6-2,5 F

Mugilidae Liza 12 0,31 7,9 6,9-8,8 Pof

Mugiloididae Parapercis 3 0,08 2 1,8-2,5 Pf Mullidae Upeneus 7 0,17 2,5 1,7-2,8 Pf Ostracidae Ostracidae spp 2 0,04 4,0 3,5-5,4 Pf Pomacentridae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Pomachantidae Pomacentrus 2 0,04 1,7 1,3-2,0 Pf Polynemidae Eleutheronema 2 0,04 4,1 3,8-4,3 F Silaginidae Silago 1 0,02 3,3 3,3 Pf Synghnatidae Parasyngnathus 95 2,41 14,4 7,4-24,8 F Synghnatidae Oostethus 2 0,04 4,4 4,3-4,5 F Tetraodontidae Tetraodontidae spp 4 0,10 2,2 1,5-2,8 Pf

Pf=preflexion; F=flexion; Pof=Postflexion

Larva ikan Gobiidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selama penelitian ini, seperti halnya pada penelitian Sugiharto (2005) dan Nursid

(2)

27 (2002) di estuaria Segara Anakan. Beberapa penelitian lain juga menemukan bahwa larva ikan Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dalam komunitas larva di ekosistem estuaria (Sanvicente-Añorve et al.,2003; Bonecker et al.,2009; Ramos et al.,2012). Famili Gobiidae terdiri dari 212 genera dan 1875 spesies (Nelson, 1994). Anggota jenis dari famili Gobiidae hidup di habitat air tawar, estuaria hingga laut. Sebagian besar dari famili Gobiidae hidup di ekosistem estuaria. Gobiidae memiliki toleransi terhadap rentang salinitas yang cukup luas. Beberapa anggota jenis Gobiidae yang hidup di air tawar akan pergi ke perairan estuaria untuk memijah (Miller, 1984). Anggota jenis dari famili Gobiidae yang mendominasi pada penelitian ini adalah genus Tridentiger. Jenis tersebut juga dominan ditemukan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sugiharto (2005).

Famili Engraulidae merupakan penyusun komunitas larva terbesar kedua setelah Gobiidae pada penelitian ini. Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nursid (2002) di laguna Segara Anakan. Penelitian di estuaria lain yang dilakukan Morais and Morais (1994) serta Barleta–Bergan (2002) juga menemukan bahwa larva ikan Engraulidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selain Gobiidae. Menurut hasil penelitian Sanchez-Velasco et al. (1996), ikan Gobiidae dan Engraulidae dalam siklus hidupnya memiliki ketergantungan terhadap ekosistem estuaria terutama pada fase larva. Anggota jenis dari Engraulidae dikenal sebagai ikan konsumsi ekonomis penting di berbagai perairan estuaria dan laut. Genus dari famili Engraulidae yang ditemukan selama penelitian ini adalah Stolephorus dan

Engraulis dengan kelimpahan Stolephorus lebih tinggi daripada Engraulis. Larva ikan famili Clupeidae merupakan larva terbanyak setelah Gobiidae dan Engraulidae. Penelitian yang dilakukan Nursid (2002) di perairan Laguna Segara Anakan juga mendapatkan famili tersebut, namun tidak demikian halnya pada penelitian Sugiharto (2005) yang dilakukan di Pelawangan Timur. Larva ikan Clupeidae yang tertangkap pada penelitian ini terdiri dari genus Sardinella

dan Herklotsichthys. Habitat Clupeidae adalah perairan laut dan pesisir. Beberapa jenis dari famili tersebut mampu mentolerir salinitas yang lebih rendah dan melakukan migrasi ke daerah muara sungai untuk bertelur. Ikan Clupeidae hidup berkumpul membentuk schooling dan berenang secara bersama-sama di suatu perairan (Carpenter and Niem, 1999).

(3)

28 Larva ikan famili Blennidae merupakan larva ikan berikutnya yang cukup banyak dalam komposisi hasil tangkapan di selama penelitian. Famili Blenniidae tersebar di perairan tawar, payau hingga laut, merupakan ikan dasar yang menyukai daerah pasang surut dan berbatu dengan kedalaman lebih kurang 20 m. Beberapa anggota dari famili ini bahkan hidup di aliran sungai. Anggota jenis Bleniidae bukan ikan konsumsi ekonomis penting.

Secara temporal kelimpahan larva ikan paling tinggi terjadi pada bulan Juni dengan komposisi yang dominan adalah famili Gobiidae (Gambar 7). Pada bulan Juli, jumlah kelimpahan menurun demikian juga pada bulan Agustus. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli didominasi oleh famili Clupeidae sedangkan pada bulan Agustus adalah Engraulidae. Larva Gobiidae tertangkap pada setiap bulan pengamatan sedangkan Clupeidae hanya tertangkap pada bulan Juli dan Engraulidae pada bulan Agustus. Tingginya kelimpahan larva ikan pada bulan Juni dapat berkaitan dengan masa pemijahan dari ikan. Beberapa jenis ikan Gobiidae memiliki masa pemijahan sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada waktu tertentu.

Secara spasial kelimpahan larva ikan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV Sapuregel (Gambar 8). Larva Gobiidae merupakan larva ikan yang ditemukan di semua stasiun penelitian dengan kelimpahan yang tinggi dibandingkan famili lainnya. Larva Engraulidae tertangkap di stasiun I (Muara Donan), II (Donan), III (Cigintung), IV (Sapuregel) dan VI (kembang Kuning), namun kelimpahan tertinggi hanya ada di stasiun II, sedangkan larva Clupeidae ditemukan melimpah di stasiun I (Muara Donan), walaupun juga terdapat di stasiun lainnya dengan kelimpahan yang rendah dibandingkan di stasiun I. Seperti halnya pada larva Gobiidae, larva ikan Blenniidae juga tertangkap di semua stasiun penelitian namun dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan Gobiidae.

(4)

29 Gambar 7. Komposisi famili larva ikan secara temporal

Gambar 8. Komposisi famili larva ikan secara spasial

Berdasarkan bentuk morfologinya larva ikan yang tertangkap terdiri dari stadia preflexion, flexion dan postflexion. Komposisi fase larva tersebut tidak sama pada setiap genus selama periode penelitian. Larva Tridentiger yang tertangkap pada bulan Juni terdiri dari fase preflexion, flexion dan postflexion

dengan komposisi dominan adalah fase post flexion sedangkan larva yang tertangkap pada bulan Juli dan Agustus didominasi oleh fase flexion (Gambar 9). Tingginya kelimpahan larva Tridentiger fase postflexion pada bulan Juni diduga merupakan hasil pemijahan pada periode sebelumnya yang sudah berkembang sedangkan larva yang masih tahap preflexion merupakan hasil pemijahan pada periode yang berbeda dari larva postflexion tersebut. Sedangkan larva

Rhinogobius lebih banyak ditemukan pada fase preflexion di setiap bulan.

0 500 1000 1500 2000 2500

juni juli agsts

in d /100 m 3 Syngnathidae Gobiidae Engraulidae Clupeidae Blenniidae 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 I II III IV V VI in d /100 m 3 stasiun Syngnathidae Gobiidae: Engraulidae: Clupeidae Blenniidae:

(5)

30 Larva Sardinella yang tertangkap pada bulan Juli terdiri dari fase

preflexion dan sebagian kecil flexion sedangkan Herklotsichthys terdiri dari fase

flexion dan post flexion (Gambar 9 C dan D). Hal tersebut mengindikasikan bahwa larva Sardinella yang ditemukan pada bulan Juli tersebut merupakan larva yang baru berkembang setelah menetas sedangkan larva Herklotsichtys

sudah mengalami tahap perkembangan yang lebih dulu dibanding Sardinella. Larva Stolephorus pada bulan Juni ditemukan pada fase flexion dan

postflexion sedangkan pada bulan Agustus terdiri dari fase preflexion dan flexion. Jika dilihat dari bentuk perkembangannya maka larva Stolephorus yang ditemukan pada bulan Juni tersebut sudah mengalami perkembangan lebih lanjut setelah menetas, sedangkan larva yang ditemukan pada bulan Agustus sebagian merupakan larva yang mengalami perkembangan awal setelah menetas. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa larva Stolephorus yang masuk ke pearian estuaria Pelawangan Timur masih dalam tahap perkembangan setelah menetas.

Larva Engraulidae lainnya yakni Engraulis yang tertangkap pada bulan Juni merupakan fase flexion sedangkan pada bulan Agustus terdiri dari fase

preflexion, flexion dan postflexion dengan komposisi terbesar adalah fase flexion

(Gambar 9 F) Larva yang tertangkap pada bulan Juni dan Agustus merupakan larva yang telah mengalami perkembangan lanjut setelah menetas .

Komposisi larva ikan secara temporal menunjukkan bahwa beberapa famili larva ikan seperti Clupeidae dan Engraulidae berada di perairan pada waktu tertentu dengan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemijahan terjadi pada waktu tertentu yang diperkuat oleh bentuk morfologi larva (Gambar 9). Larva ikan yang masih dalam fase preflexion adalah larva yang baru mengalami tahap perkembangan setelah cadangan makanannya (kuning telur) habis, kemudian selama kurun waktu tertentu berkembang menjadi fase flexion,

postflexion dan juvenil. Tahapan morfologi larva ikan tersebut dapat dijadikan dasar untuk menduga waktu pemijahan dan penetasan dari larva ikan pada suatu peraira. Bulan Juli diduga merupakan waktu pemijahan serta penetasan

Sardinella dan Herklotsichthys, sedangkan pada bulan Agustus adalah waktu pemijahan dan penetasan larva Stolephorus dan Engraulis.

(6)

31

A.Tridentiger B. Rhinogobius C Sardinella

D. Herklotsichthys E. Stolephorus

F. Engraulis

: preflexion; : flexion : post flexion

Gambar 9. Komposisi morfologi larva ikan secara temporal

Nilai indeks keanekaragaman Shanon (H’) di lokasi penelitian berkisar antara 1,08-1,98 (Gambar 10). Stasiun VI (Kembang Kuning) memiliki nilai indeks H’ yang tertinggi (1,98) sedangan stasiun III (Cigintung ) memilki indeks H’ terendah (1,08). Kisaran indeks tersebut menunjukkan keanekaragaman yang sedang. Indeks keseragaman di lokasi penelitian berkisar antara 0,45-0,68. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sebaran individu antar jenis masih cukup merata. Hal tersebut terlihat dari ditemukannya berbagai genus larva ikan di seluruh lokasi penelitian. Nilai dominasi di stasiun pengamatan berkisar antara 0,21-0,50, artinya bahwa belum terlihat adanya dominasi genus yang sangat kuat di komunitas larva tersebut. Walaupun secara umum terlihat genus dari Gobiidae (Tridentiger) mendominasi hasil tangkapan di setiap lokasi penelitian namun pada waktu tertentu ditemukan pula larva ikan selain Gobiidae yang di lokasi penelitian dengan demikian belum terlihat adanya dominasi genus yang sangat kuat di komunitas larva tersebut.

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Agst

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Agst

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Agst

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Ags

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Jun Jul Agst

0% 20% 40% 60% 80% 100%

(7)

32 Gambar 10. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi di lokasi

penelitian

4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Pelawangan Timur

4.2.1 Kondisi Parameter Bio Fisika Kimia Perairan Pelawangan Timur

Perairan Pelawangan Timur merupakan bagian dari ekosistem estuaria Segara Anakan yang merupakan pintu masuk air laut dari sisi bagian timur yang menuju ke laguna Segara Anakan. Perairan Pelawangan Timur mendapatkan masukan air laut dari sebelah timur dan air tawar dari beberapa sungai yang mengalir ke kawasan tersebut yaitu Sapuregel, Donan dan Kembang Kuning.

Perairan Pelawangan Timur dimanfaatkan sebagai jalur transportasi, jalur kegiatan industri dan daerah penangkapan ikan. Perairan Sungai Donan merupakan kawasan lalu lintas kapal tanker dan perahu penyeberangan, sedangkan perairan Kembang Kuning dan Sapuregel merupakan kawasan penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dominan adalah apong. Selain itu sepanjang Perairan Donan hingga pintu masuk Pelawangan Timur merupakan kawasan kegiatan industri.

Pengamatan parameter bio-fisika kimia perairan dilakukan di enam stasiun pengamatan. Hasil pengamatan parameter fisika kimia perairan Pelawangan Timur tertera pada tabel 4 berikut ini.

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 I II III IV V VI

(8)

33 Tabel 4. Nilai rataan parameter bio-fisika kimia perairan pelawangan timur

Parameter Stasiun I II III IV V VI Suhu (ºC) Rataan Stdev 27,9 1,20 29,37 1,00 29,23 0,80 28,09 0,70 28,58 1,00 28,23 0,70 Kecerahan (cm) Rataan Stdev 70,00 45,3 62,10 30,7 45,42 16,6 77,92 37,44 64,58 36,3 65,83 50,6 Kedalaman (m) Rataan Stdev 7,8 0 3,31 6,80 0,60 3,30 1,40 5,70 1,80 3,60 1,09 4,60 1,22 Arus (mps) Rataan Stdev 0,29 0,28 0,14 0,17 0,09 0,08 0,15 0,19 0,11 0,19 0,10 0,10 Kekeruhan (NTU) Rataan

Stdev 27,9 27,30 28,55 41,70 27,24 17,30 18,64 17,10 28,27 24,20 30,64 35,10 pH Rataan Stdev 7,88 0,20 7,75 0,30 7,67 0,20 7,75 0,30 7,58 0,20 7,75 0,30 Salinitas (°/◦◦) Rataan Stdev 32,67 2,10 30,92 1,83 29,75 2,01 30,92 1,98 31,25 2,49 30,92 1,51 Oksigen terlarut (mg/l) Rataan Stdev 3,97 0,64 4,03 0,68 4,06 0,55 3,56 0,86 3,53 0,87 3,81 0,90 N-Nitrat (mg/l) Rataan Stdev 0,336 0,47 0,468 0,57 0,395 0,58 0,380 0,47 0,461 0,58 0,378 0,41 Ortofosfat (mg/l) Rataan Stdev 0,016 0,012 0,016 0,009 0,021 0,016 0,018 0,013 0,021 0,013 0,024 0,014 Fitoplankton (sel/l) Rataan 16.155.579 9.803.491 3.040.222 9.651.923 6.511.088 8.796.296

Suhu air di Pelawangan Timur berkisar antara 27,90-29,23°C Suhu berpengaruh pada proses fisik perairan dan daya larut serta difusi oksigen pada perairan serta kehidupan organisme perairan. Setiap organisme memiliki suhu optimum untuk mendukung perkembangannya. Pada biota akuatik seperti ikan, suhu perairan berpengaruh pada proses pertumbuhan dan siklus reproduksinya (Bye,1984). Menurut beberapa penelitian bahwa suhu air berpengaruh pada pertumbuhan larva ikan dimana perubahan suhu secara drastis dapat meningkatkan mortalitas larva ikan (Bjornsson et al., 2001; Jordaan and Kling, 2003).

Salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 29,75-32,67 °/◦◦ dengan nilai rataan terendah berada di stasiun 3 (Cigintung) sedangkan yang tertinggi di stasiun I (Muara Donan). Berdasarkan KepMen Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004, nilai salinitas di perairan tersebut masih termasuk rentang nilai yang sesuai untuk kehidupan biota laut. Salinitas merupakan salah satu parameter yang paling mempengaruhi organisme yang hidup pada ekosistem estuaria. Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme akuatik. Semakin tinggi salinitas maka semakin tinggi pula tekanan osmosis tubuh terhadap lingkungannya maka semakin besar pula energi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri. Pada ekosistem estuaria dimana fluktuasi salinitas kerap terjadi, biota akuatik seperti ikan yang dapat hidup di perairan tersebut adalah yang memiliki toleransi dan adaptasi yang luas terhadap perubahan salinitas.

(9)

34 Kekeruhan (turbiditas) di perairan Pelawangan Timur berkisar 18,64-30,64 NTU. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan-bahan organik dan anorganik tersuspensi dan terlarut misalnya lumpur dan pasir halus, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa mikroorganisme lain (Davis dan Cornwell,1991 dalam Effendi, 2003). Nilai kekeruhan yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada penelitian sebelumnya di lokasi yang sama yaitu 5-11,6 NTU (Siregar, 2007) dan 0,19-30,4 NTU (Sugiharto, 2005). Perbedaan nilai turbiditas tersebut dapat disebabkan karena perubahan kondisi lingkungan perairan dimana masukan air tawar dari daratan yang membawa partikel organik dan anorganik terlarut serta masuknya limbah aktivitas manusia di sekitar perairan tersebut semakin hari semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia di ekosistem tersebut. Kekeruhan yang tinggi dapat menghambat penetrasi cahaya matahari yang digunakan dalam proses fotosintesis oleh fitoplankton. Akibatnya produktivitas primer fitoplankton menurun sehingga ketersediaan makanan bagi organisme pemakan fitoplankton seperti larva ikan akan terganggu. Kekeruhan yang diakibatkan meningkatkan partikel lumpur terlarut di perairan menghambat perkembangan telur dan menyebabkan kerusakan pada insang sehingga mengakibatan kematian pada ikan terutama fase larva (Robertson, et al.,2006).

Oksigen terlarut yang diperoleh di lokasi pengamatan berkisar 3,56-4,06 mg/l. Kandungan oksigen terlarut (O2) dalam perairan turut menentukan kualitas

perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) makhluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Sebagai contoh ikan yang hidup dalam perairan yang kekurangan oksigen akan terganggu fungsi insangnya dan dapat menyebabkan insang berlendir (anoxia) sehingga menimbulkan kematian. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai indikator senyawa-senyawa kimia di perairan. Sumber oksigen di perairan adalah difusi udara dan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Perairan yang mengalir pada umumnya memiliki kandungan oksigen yang cukup karena gerakan air oleh arus dan angin menjamin berlangsungnya difusi udara.

Derajat keasaman (pH) merupakan parameter yang juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Konsentrasi pH yang

(10)

35 diperoleh selama penelitian berkisar antara 7,5-7,8. Nilai ini masih dalam kisaran normal dan sebagian besar biota akuatik di suatu perairan menyukai nilai pH dengan kisaran 7 – 8,5. Perubahan kadar pH di perairan mengganggu reproduksi organisme perairan seperti ikan, udang atau pun moluska. Menurut Ross et al.

(2011), perubahan pH menyebabkan perubahan respon olfactory pada larva ikan

Amphiprion percula yang berpotensi terhadap disorientasi pemilihan habitat yang sesuai.

Rataan nilai kandungan N-nitrat (N-NO3) di lokasi penelitian adalah

0,34-0,47 mg/l dengan konsentrasi tertinggi di stasiun II (Donan) dan yang terendah di stasiun I (Muara Donan). Baku mutu untuk perairan berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 maksimal 10 mg/l, sedangkan kadar ortofosfat yang diperoleh di lokasi penelitian adalah 0,016-0,024 mg/l. Baku mutu air untuk ortofosfat tidak lebih dari 0,1 mg/l. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan disertai dengan keberadaan nitrogen dapat memacu ledakan pertumbuhan alga di perairan. Algae yang berlimpah dapat membentuk lapisan di permukaan air yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan.

Kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian berkisar antara 3.040.222-16.155.579 sel/l dengan kelimpahan tertinggi ditemukan di stasiun I (Muara Donan) dan kelimpahan terendah ditemukan di stasiun III (Cigintung). Fitoplankton dalam jejaring makanan di ekosistem perairan berperan sebagai produsen. Melalui proses fotosintesis, fitoplankton menyumbang oksigen bagi perairan. Larva ikan yang sudah tidak memiliki kuning telur sebagai cadangan makanan memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber makanannya.

Rata-rata kecepatan arus pada saat pengamatan berkisar antara 0,09-0,29 m/detik. Kecepatan arus air di lokasi cukup berfluktuatif. Arus air berperan mendistribusikan massa air dari laut menuju estuaria atau pun sebaliknya sehingga memungkinkan kondisi parameter lain seperti salinitas, DO dan turbiditas berfluktuasi. Arus sangat mempengaruhi keberadaan komunitas larva ikan. Larva ikan masih bersifat planktonik dimana pergerakannya sangat dipengaruhi oleh pola arus. Sifat larva ikan yang belum dapat berenang secara sempurna membuat keberadaaan komunitas larva sangat tergantung pola arus yang membawanya. Induk ikan saat memijah memilih lokasi yang sesuai untuk pemijahannya, namun arus dapat membawa telur atau larva ikan ke lokasi yang

(11)

36 tidak mendukung perkembangannya, misalnya lokasi dengan kondisi salinitas yang ekstrim, turbiditas tinggi atau banyak predator.

4.2.2 Kondisi Biofisika Kimia Perairan Pelawangan Timur Secara Spasial dan Temporal

Hasil pengamatan terhadap parameter lingkungan setiap bulan di perairan Pelawangan Timur menunjukkan hasil yang bervariasi. Nilai kecerahan setiap bulannya berfluktuasi namun memiliki pola yang sama yaitu pada stasiun III nilai kecerahan lebih rendah dari stasiun lainnya (Gambar 11). Hal tersebut dapat disebabkan karena di sekitar stasiun III merupakan vegtasi mangrove dan bagian hulu dari perairan tersebut merupakan daratan dimana saat terjadi hujan partikel-partikel tanah akan terbawa air hujan masuk ke perairan tersebut. Rata-rata nilai kecerahan pada bulan Juni lebih tinggi daripada bulan lainnya, hal ini disebabkan pada waktu pengamatan tidak terjadi hujan sehingga tidak terdapat lumpur atau partikel terlarut dari daerah hulu yang terbawa masuk ke perairan.

Gambar 11. Nilai kecerahan selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur

Kecepatan arus yang terukur pada bulan Juni dan Agustus relatif lebih besar daripada bulan Juli (Gambar 12). Kecepatan arus yang lebih besar tercatat di stasiun I (Muara Donan). Arus di estuaria Pelawangan Timur disebabkan oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai.

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 I II III IV V VI cm JUNI JULI AGSTS

(12)

37 Gambar 12. Kecepatan arus selama waktu pengamatan pada masing-masing

stasiun di Pelawangan Timur

Derajat keasaman (pH) di perairan Pelawangan Timur setiap bulannya berkisar pada 7,5-7,8 (Gambar 13). Rentang nilai tersebut masih termasuk normal untuk sebuah perairan yang mendukung kehidupan ikan.

Gambar 13. Nilai pH selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di pelawangan timur

Nilai kekeruhan (turbiditas) setiap bulannya berfluktuasi (Gambar 14). Nilai rataan kekeruhan di beberapa stasiun seperti stasiun II (Donan) dan III (Cigintung) pada bulan Agustus lebih tinggi dibandingkan pada bulan lainnya. Kekeruhan yang meningkat dapat disebabkan besarnya jumlah partikel tersuspensi dalam perairan. Partikel tersuspensi dapat berasal dari bahan organik dan anorganik yang masuk ke perairan estuaria dari aliran sungai serta hasil aktivitas manusia. Perairan Donan merupakan jalur lalu lintas kapal dan daerah sekitarnya merupakan pemukiman penduduk yang menghasilkan limbah ke perairan tersebut. 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0.450 I II III IV V VI m /d etik JUNI JULI AGSTS 7.5 7.5 7.6 7.6 7.7 7.7 7.8 7.8 7.9 7.9 I II III IV V VI JUNI JULI AGSTS

(13)

38 Gambar 14. Nilai kekeruhan (turbiditas) selama waktu pengamatan pada

masing-masing stasiun di Pelawangan Timur

Kadar oksigen terlarut di perairan Pelawangan Timur selama penelitian berkisar antara 2,78-4,58 mg/l (Gambar 15). Kadar oksigen tertinggi terjadi pada bulan Agustus di Stasiun 2 (Donan) dan VI (Kembang Kuning) yaitu sebesar 4,58 mg/l. Kadar oksigen terlarut di perairan diperoleh dari difusi udara dan aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton. Adanya pergerakan angin dan arus menjamin keberadaan oksigen melalui proses difusi.

Gambar 15. Kadar oksigen terlarut selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur

Salinitas merupakan parameter penting di perairan estuaria. Nilai salinitas setiap bulannya memiliki pola yang hampir serupa dimana pada stasiun I (Muara Donan), nilai salinitas lebih tinggi dibandingkan di stasiun lainnya (Gambar 16). Pada bulan Agustus salinitas relatif lebih tinggi dibandingkan bulan lainnya. Perubahan salinitas musiman di estuaria biasanya merupakan akibat perubahan penguapan musiman dan atau perubahan aliran tawar. Pada bulan Agustus tersebut kemungkinan terjadi penguapan air yang tinggi sebagai akibat pengaruh musim kemarau dan minimnya hujan.

0 10 20 30 40 50 60 I II III IV V VI N TU JUNI JULI AGSTS 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 I II III IV V VI m g/l JUNI JULI AGSTS

(14)

39 Gambar 16. Salinitas selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di

Pelawangan Timur

4.2.3 KarakteristikKondisi Lingkungan di Stasiun Penelitian

Hubungan karakteristik lingkungan di stasiun pengamatan dilakukan dengan teknik Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis). Matriks korelasi (Tabel 5) menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Dari hasil analisis matriks korelasi diketahui bahwa variabel kecerahan berkorelasi posistif dengan kelimpahan fitoplankton dan salinitas dengan korelasi masing-masing 0,68 dan 0,63. Variabel arus berkorelasi positif terhadap variabel kedalaman, salinitas, dan kelimpahan fitoplankton dengan nilai korelasi masing-masing 0,82; 0,87; 0,89. Variabel suhu air berkorelasi positif terhadap kadar NO3

dengan nilai korelasi 0,70

Tabel 5. Korelasi antar variabel lingkungan hasil analisis komponen utama

CRH ARS DLM T PH DO SAL TRBD NO3 PO4 FITO ZOO

CRH 1 ARS 0,45 1 DLM 0,55 0,82 1 T -0,77 -0,53 -0,32 1 PH 0,42 0,78 0,87 -0,46 1 DO -0,61 0,20 0,28 0,50 0,42 1 SAL 0,63 0,87 0,74 -0,67 0,61 -0,11 1 TRBD -0,49 -0,09 -0,09 0,28 -0,06 0,47 0,10 1 NO3 -0,26 -0,57 -0,31 0,70 -0,69 -0,15 -0,37 0,19 1 PO4 -0,32 -0,68 -0,83 -0,06 -0,56 -0,29 -0,47 0,30 -0,02 1 FITO 0,68 0,89 0,92 -0,62 0,85 0,08 0,92 -0,03 -0,48 -0,62 1 ZOO 0,19 0,96 0,76 -0,35 0,78 0,45 0,74 0,05 -0,58 -0,65 0,79 1

Hasil analisis matriks korelasi data menunjukkan bahwa sumbangan komponen utama mempunyai akar ciri 6,61; 2,51; dan 1,40 yang artinya bahwa sebesar 55%; 21%; dan 12% keragaman gugus data dapat dijelaskan oleh ketiga sumbu, sedang sisanya yaitu sebesar 12 % ragam gugus data dijelaskan oleh sumbu-sumbu berikutnya. Secara rinci analisis tersebut disajikan pada Tabel 6.

24 26 28 30 32 34 I II III IV V VI ° / JUNI JULI AGSTS

(15)

40 Tabel 6. Diagonalisasi Komponen Utama

Diagonalisasi

Akar Ciri 6,61 2,51 1,40

Kontribusi Ragam (%) 55% 21% 12%

Koefisien Variabel dalam Fungsi Linier Sumbu Utama

Variabel Sumbu 1 (F1) Sumbu 2 (F2) Sumbu 3 (F3)

Kecerahan 0,63 -0,70 -0,23 Arus 0,95 0,13 0,02 Kedalaman 0,91 0,20 -0,30 Suhu air -0,63 0,66 -0,41 pH 0,89 0,22 0,14 Oksigen terlarut 0,13 0,95 0,14 Salinitas 0,87 -0,12 0,05 Keruhan (Turbiditas) -0,15 0,57 0,42 Nitrat -0,60 0,11 -0,65 Ortofosfat -0,66 -0,30 0,67 Fitoplankton 0,97 -0,02 -0,03 Zooplankton 0,87 0,37 0,11

Kualitas representasi dari masing-masing variabel pada sumbu utama (sumbu 1, 2, dan 3) ditunjukkan dengan dekat tidaknya variabel-variabel tersebut terhadap masing-masing sumbu. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa variabel arus, kedalaman, pH, salinitas, fitoplankton dan zooplankton merupakan faktor utama pada sumbu pertama yang menjelaskan variabilitas data, yaitu masing-masing sebesar 0,95; 0,91; 0,89 ; 097 dan 0,87. Variabel oksigen terlarut, suhu air dan turbiditas merupakan faktor utama dari sumbu kedua. Sedangkan pada sumbu 3, faktor utama yang menjelaskan sumbu tersebut adalah variabel ortofosfat. Korelasi antar variabel dan sumbu utama tersebut dapat dilihat pada gambar 17 A dan 18 A.

(16)

41

Gambar 17 Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) A.korelasi antar variabel, B Sebaran stasiun pada sumbu faktorial utama

Gambar 18. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3), A.Korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama (F1 dan F3); B.Sebaran stasiun pada sumbu faktorial utama

Gambar 17 B dan 18 B menunjukkan bahwa stasiun I (Muara Donan) memiliki salinitas, pH, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang tinggi serta arus yang besar dan kedalaman perairan yang dalam. Stasiun II dicirikan dengan oksigen terlarut dan kekeruhan yang tinggi sedangkan stasiun III

CRH ARS DLM T PH DO SAL TRBD NO3 PO4 FITO ZOO -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 --a x is 2 ( 2 1 % ) --> -- axis 1 (55% ) -->

Correlations circle on axes 1 and 2 (76% ) ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 CRH ARS DLM T PH DO SAL TRBD NO3 PO4 FITO ZOO -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 -5 0 5 10 --a x e 2 ( 2 1 % ) --> -- axe 1 (55% ) -->

Biplot on axes 1 and 2 (76% )

CRH ARS DLM T PH DO SAL TRBD NO3 PO4 FITO ZOO -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 --a x is 3 ( 1 2 % ) --> -- axis 1 (55% ) -->

Correlations circle on axes 1 and 3 (67% )

ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 CRH ARS DLM T PH DO SAL TRBD NO3 PO4 FITO ZOO -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 -5 0 5 10 --a x e 3 ( 1 2 % ) --> -- axe 1 (55% ) --> Biplot on axes 1 and 3 (67% )

(17)

42 dicirikan oleh suhu air yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Stasiun II (Donan) merupakan daerah aliran sungai yang cukup besar dan terbuka dimana ada angin dan arus yang cukup membuat proses difusi udara berlangsung sehingga menjamin adanya oksigen terlarut selain itu Donan juga merupakan daerah alur transportasi dengan berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan limbah ke perairan sehingga kekeruhan meningkat. Sementara itu Stasiun IV cenderung memiliki turbiditas yang rendah dan kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan stasiun II. Stasiun IV (Sapurgel) merupakan perairan terbuka bagian dari muara Sungai Sapuregel. Stasiun V dicirikan oleh kandungan N-NO3

yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sedangkan stasiun VI (Kembang Kuning) ditandai dengan kandungan ortofosfat yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Namun demikian rataan kadar ortofosfat di perairan tersebut masih jauh di bawah ambang batas baku mutu air.

4.3 Distribusi Larva Ikan

Jika dilihat secara umum, distribusi setiap genus larva berbeda di setiap stasiun. Larva ikan Tridentiger, Rhinogobiusdan Gobiidae spp berada di seluruh stasiun pengamatan dengan kelimpahan yang tinggi sedangkan Sardinella, Herklotsichtys, Stolephorus dan Engraulis ditemukan dengan kelimpahan yang tinggi hanya di beberapa lokasi (Gambar 19).

Tridentiger dan Rhinogobius terdapat di seluruh stasiun, namun kelimpahan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV. Stasiun III merupakan aliran sungai diantara vegetasi bakau dan merupakan daerah hulu di estuaria tersebut. Sedangkan stasiun IV merupakan muara Sapuregel sekaligus pertemuan antara Sungai Sapuregel dan Kembang Kuning dengan daerah sekitarnya merupakan vegetasi mangrove. Seperti halnya sebagian Gobiidae lainnya, kedua jenis tersebut menyukai perairan estuari dengan vegetasi mangrove serta daerah berlumpur atau berpasit. Larva Tridentiger yang tertangkap di Cigintung dan Sapuregel didominasi oleh fase postflexion

sedangkan Rhinogobius didominasi oleh fase preflexion (Gambar 20 C dan D).

Sardinella terdistribusi di stasiun I, II, IV, V dan VI namun kelimpahan tertinggi ada di stasiun I sementara Herklotsichthys hanya ditemukan di stasiun I.

Stolephorus terdistribusi di stasiun I, II dan VI namun kelimpahan tertinggi hanya di stasiun II sementara Engraulis hanya ditemukan di stasiun II. Sardinella dan

(18)

43 (Gambar 20 A) demikian pula dengan larva Stolephorus dan Engraulis yang ada di stasiun I dan II (Gambar 20 A dan B). Hal tersebut menunjukkan bahwa larva tersebut masih dalam tahap perkembangan morfologi setelah menetas.

Larva Omobranchus terdistribusi di semua stasiun pengamatan dengan kelimpahan tertinggi di stasiun I sedangkan larva Parasyngnathus ditemukan di seluruh lokasi penelitian dengan jumlah kelimpahan tertinggi di stasiun V (Pisangan). Larva Omobranchus yang tertangkap di setiap stasiun terdiri dari fase yang berbeda-beda, di stasiun I, III dan IV didominasi oleh fase flexion, sedangkan di stasiun V didominasi fase preflexion dan di stasiun II adalah fase

postflexion (Gambar 20). Sementara itu, larva Parasygnathus yang tertangkap lebih banyak merupakan fase postflexion.

Gambar 19. Distribusi larva ikan dominan di lokasi penelitian I II III IV V VI Tridentiger Gobiidae spp Rhinogobius Parasyngnathus Sardinella Stolephorus Omobranchus Engraulis Herklostsichthys IV

(19)

44

A. Stasiun I B.Stasiun II

C Stasiun III D. Stasiun IV

E. Stasiun V F. Stasiun VI

: pre flexion; : flexion : post flexion

Gambar 20. Komposisi morfologi larva ikan secara spasial

Jika dilihat setiap bulan pengamatan, distribusi larva ikan pada bulan Juni paling banyak di stasiun III (Cigintung) dan IV (Sapuregel) yang didominasi oleh genus Tridentiger dan Rhinogobius (Gambar 21). Tridentiger tidak hanya

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Tr id en tig er Sa rd in el la Her klo ts ic h ty s St o lep h o ru s En gr au lis O m o b ra n ch u s Pa ra sy n gn at h u s 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Tr id en tig er R h in o go b u s G o b iid ae sp 1 G o b iid ae sp 2 Sa rd in el la St o lep h o ru s En gr au lis O m o b ra n ch u s Pa ra sy n gn at h u s 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Tr id en tig er R h in o go b u s G o b iid ae sp 1 G o b iid ae sp 2 Sa rd in el la Her klo ts ic h ty s En gr au lis O m o b ra n ch u s Pa ra sy n gn at h u s 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Tr id en tig er R h in o go b u s G o b iid ae sp 1 G o b iid ae sp 2 Sa rd in el la Her klo ts ic h ty s En gr au lis O m o b ra n ch u s Pa ra sy n gn at h us 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Tr id en tig er R h in o go b u s G o b iid ae sp 1 Sa rd in el la O m o b ra n ch u s Pa ra sy n gn at h u s 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Tr id en tig er R h in o go b u s G o b iid ae sp 1 G o b iid ae sp 2 Sa rd in el la St o lep h o ru s En gr au lis O m o b ra n ch u s Pa ra sy n gn at h u s

(20)

45 ditemukan di stasiun III dan IV namun juga tertangkap di stasiun lainnya namun dalam kelimpahan yang lebih rendah dibandingkan di kedua stasiun tersebut. Selain Tridentiger dan Rhinogobius, tertangkap pula larva Stolephorus di stasiun I, II, IV dan VI.

Pada bulan Juli larva ikan terdistribusi paling banyak di stasiun I (Gambar 22), dengan komposisi larva dominan adalah dari Clupeidae (Sardinella

dan Herklotsichthys). Selain ditemukan di stasiun I, larva Sardinella juga terdapat di stasiun II, IV dan VI namun dalam jumlah yang lebih sedikit sedangkan Herklotsichthys hanya ditemukan di stasiun I. Larva ikan lainnya yang tertangkap di stasiun I adalah Omobranchus. Selain ketiga genus larva tersebut pada bulan Juli juga tertangkap larva lainnya seperti Tridentiger, Rhinogobius,

Omobranchus dan Parasyngnathus.

Distribusi larva ikan pada bulan Agustus paling tinggi terdapat di stasiun II (Donan) dengan larva dominan adalah famili Engraulidae yaitu Stolephorus dan

Engraulis (Gambar 23). Stolephorus dan Engraulis hanya tertangkap di stasiun II sedangkan larva ikan seperti Tridentiger, Gobiidae spp dan Omobranchus

tertangkap di semua stasiun penelitian.

Larva Tridentiger, Rhinogobius, Omobranchus memiliki sebaran yang luas di estuaria Pelawangan Timur serta di temukan setiap bulan pengamatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan tersebut melakukan pemijahan selama bulan-bulan pengamatan.

Gambar 21. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juni 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 I II III IV V VI ind /100 m 3 Parasyngnathus Rhinogobius Tridentiger Gobiidae sp 2 Gobiidae sp1 Stolephorus Engraulis Omobranchus

(21)

46 Gambar 22. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli

Gambar 23. Kelimpahan larva ikan pada bulan Agustus

4.4 Distribusi Larva Ikan Hubungannya dengan Kondisi Lingkungan

Untuk mengetahui pola distribusi dan preferensi larva ikan tersebut terhadap kelompok habitat dibuat matrik hubungan antara hasil pengelompokan habitat dan larva ikan dan dilakukan analisa nodul memakai indeks constancy dan fidelity. Analisis diawali dengan melakukan pengelompokan (cluster) terhadap habitat (stasiun pengamatan) dan kelompok genus larva ikan.

Hasil analisis cluster terhadap stasiun pengamatan menghasilkan 2 kelompok yaitu kelompok 1 yang terdiri dari stasiun I, kelompok 2 terdiri dari stasiun II,III, IV, V dan VI (Gambar 24).

0 50 100 150 200 250 300 350 I II III IV V VI ind /100 m 3 Parasyngnathus Rhinogobius Tridentiger sp Gobiidae sp 2 Gobiidae sp1 Sardinella Herklotsichthys Omobranchus 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 I II III IV V VI ind /100 m 3 Parasyngnathus Rhinogobius Tridentiger Gobiidae sp 2 Gobiidae sp1 Stolephorus Engraulis Omobranchus c

(22)

47 Tree Diagram for 6 Variables

Complete Linkage Euclidean distances 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 (Dlink/Dmax)*100 ST 3 ST 5 ST 6 ST 4 ST 2 ST 1

Gambar 24. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter biofisika kimia perairan

Dari pengelompokkan tersebut terlihat bahwa stasiun I berdiri sendiri, sedangkan stasiun II,III, IV,V dan VI membentuk satu kelompok, artinya bahwa stasiun I memiliki karakteristik yang berbeda dengan stasiun lainnya. Seperti diketahui bahwa stasiun I terletak di mulut estuaria dimana karakteristik parameter kualitas air masih sangat kuat dipengaruhi oleh massa air laut, hal tersebut terlihat dari nilai salinitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sedangkan stasiun II, III, IV, V dan VI merupakan bagian dari aliran sungai yang mendapatkan pengaruh air laut dan terletak lebih jauh dari mulut estuaria sehingga kisaran nilai salinitas lebih rendah dibandingkan dengan stasiun I. Sedangkan hasil analisis cluster untuk komunitas larva ikan (Gambar 25) menghasilkan 6 kelompok sebagai berikut.

(23)

48 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 (Dlink/Dmax)*100 Parasyngnathus Gobiidae sp 2 Stolephorus spEleotris Engraulis sp Pomacentrus Gerres Gobiidae sp1 Hypoatherina Sardinella Upeneus sp Silago Herklotsichthys Tetraodontidae sp Liza Caranx Omobranchus Mugil Parachaeturichthys sp AcentrogobiusCynoglossus Ostracidae sp Rhinogobius Tridentiger sp Secutor oostethus Rediogobius Glossogobius Pomachantidae spParapercis Eleutheronema Ambassis

Gambar 25. Pengelompokan larva ikan dengan analisis cluster Tabel 7. Kelompok Larva Ikan Hasil Analisis Cluster

A B C D E F Ambassis Eleutheronema Parapercis Pomachantus Glossogobius Oosthetus Secutor Tridentiger Rhinogobius Ostraciidae spp Cynoglossus Acentrogobius Mugil Omobranchus Caranx Liza Tetraodon Herklotsichthys Silago Upeneus Sardinella Hypoatherina Gobiidae spp1 Gerres Pomacentrus Engraulis Eleotris Stolephorus Gobiidae spp2 Parasyngnathus

Analisis dengan indeks constancy dan fidelity digunakan untuk melihat keberadaan larva ikan pada habitatnya. Hasil analisis untuk indeks constancy dan fidelity tertera pada Gambar 26 dan 27 di bawah ini.

(24)

49 Gambar 26. Analisis nodul berdasarkan indeks constancy

Gambar 27. Analisa nodul berdasarkan indeks fidelity

Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva ikan dari jenis kelompok A memiliki nilai constancy yang tinggi di semua kelompok stasiun namun nilai fidelity yang cenderung rendah. Tingginya nilai constancy di kedua kelompok habitat menunjukkan bahwa larva ikan dari kelompok tersebut memiliki kecenderungan terdistribusi di seluruh habitat perairan estuaria tersebut. Kelompok larva ikan A terdiri dari family Gobiidae seperti Glossogobius, Tridentiger, Rhinogobius; famili Polynemidae (Eleutheronema), Ambassidae

≥ 0,7: sangat tinggi ≥ 0,5 : tinggi <0,1: sangat rendah ≥ 0,1 : rendah ≥ 0,3 :sedang keterangan <1 sangat rendah ≥ 1 rendah ≥ 2 sedang ≥ 3 tinggi ≥ 4 sangat tinggi I II A B C D E F keterangan I II I F E B A D C

(25)

50 (Ambassis), Mugiloididae (Parapercis), Leioghnatidae (Secutor), Syngnathidae (Oosthesus) Pomachanthidae (Pomachanthus) dan Ostraciidae. Dilihat dari tingginya nilai constansy di kedua kelompok habitat menunjukkan bahwa larva ikan tersebut memiliki sebaran yang luas di perairan estuaria Pelawangan Timur. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan di perairan estuaria mendukung kehidupan larva tersebut. Sebagian besar dari ikan tersebut merupakan ikan-ikan khas daerah estuaria dan mangrove yang berada di estuaria selama hidupnya seperti Gobiidae, Mugiloididae, Polynemidae dan Ambassidae (Leis andCartson-Ewart, 2000; Strydom and d’Hotman, 2005).

Larva ikan dari kelompok B terdiri dari Cynoglossidae (Cynoglossus), Gobiidae (Acentrogobius), Mugiliidae (Mugil) dan Blenniidae (Omobranchus) ditemukan di kelompok habitat 1 (stasiun I) dan 2 (stasiun II,III, IV, V dan VI). Larva tersebut memiliki kecenderungan berada di kelompok habitat II yang ditunjukkan dengan tingginya nilai constancy pada kelompok habitat tersebut. Namun demikian nilai fidelity tergolong rendah di habitat tersebut.

Larva ikan dari kelompok C terdiri dari Caranx, Liza, Tetraodon, Herklotsichthys, Silago, Upeneus dan Sardinella. Jenis ikan dari kelompok tersebut merupakan ikan-ikan dengan habitat pesisir dan laut. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok larva ikan tersebut memiliki nilai indeks constancy dan fidelity yang sangat tinggi di kelompok habitat 1 dan rendah di kelompok habitat 2. Hal tersebut menunjukkan keberadaan kelompok larva tersebut di habitat 1 (stasiun I) yang merupakan bagian terluar dari estuaria dan masih memiliki pengaruh masa air laut yang cukup besar. Stasiun I merupakan perairan yang terletak di mulut estuaria terluar, dimana pengaruh massa air laut masih cukup kuat. Jenis ikan dari kelompok C tersebut merupakan ikan-ikan dengan habitat pesisir dan laut yang menggunakan ekosistem estuaria sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi larvanya (Carpenter and Niem,1999; Criales et al., 2002; Strydom and d’Hotman, 2005). Ikan-ikan yang memiliki affinitas dengan laut seperti famili Clupeidae (Sardinella) cenderung memilih

lower estuary yang masih memiliki karkateristik massa air laut yang kuat untuk memijahkan telur dan membesarkan anak-anaknya. Hal tersebut diperkuat pula dengan melimpahnya larva fase preflexion di habitat tersebut. Fase preflexion

merupakan fase awal perkembangan larva setelah menetas dan cadangan makanan berupa kuning telurnya habis.

(26)

51 Larva ikan dari kelompok D terdiri dari Hypoatherina dan Gobiidae spp. Larva kelompok D memiliki konsistensi yang sedang dikelompok habitat 2 namun rendah di habitat 1 sedangkan nilai fidelity rendah di kedua kelompok habitat tersebut. Larva kelompok D cenderung terdistribusi ke tipe habitat 2 yang merupakan aliran sungai dan daerah hulu di sekitar vegetasi mangrove.

Hypotherina merupakan famili Atherinidae yang mendiami habitat perairan pesisir dan mangrove. Larva kelompok E yang terdiri dari Gerres dan

Pomacentrus memiliki nilai constancy yang sedang di kelompok habitat 1, artinya bahwa kedua jenis larva tersebut lebih cenderung ditemukan di habitat 1.

Gerres merupakan jenis ikan yang hidup di perairan pantai dan menyukai perairan dangkal, jernih dengan dasar berpasir dan terkadang masuk ke perairan estuaria. Pomacentrus menyukai perairan pesisir laut terutama daerah laguna dan karang.

Larva ikan dari kelompok F terdiri dari Stolephorus, Engraulis, Eleotris

dan Parasyngnathus. Larva ikan tersebut cenderung berada di kelompok habitat 2 terutama di perairan Sungai Donan. Larva ikan Engraulidae memiliki keterkaitan yang tinggi dengan ekosistem estuaria. Hasil penelitian Morais et al., (2010) menunjukkan bahwa ikan Engraulidae memilih daerah estuaria untuk memijahkan telur sehingga larvanya akan berkembang di daerah tersebut terutama pada salinitas yang lebih rendah dan bermigrasi ke daerah dengan salinitas yang lebih tinggi pada fase dewasa.

Hasil analisa pada kelompok larva ikan tersebut di atas menghasilkan nilai indeks constancy yang jauh berbeda dengan nilai indeks fidelity seperti pada kelompok A dimana nilai constancy tinggi sementara fidelitynya rendah, demikian juga yang terjadi pada kelompok lainnya. Indeks constancy menunjukkan keberadaan menunjukkan kemunculan kelompok larva ikan pada suatu habitat/tempat dalam setiap kemungkinan kejadian, sedangkan fidelity lebih berkaitan dengan ketetapan larva ikan dalam memilih tipe habitat yang sesuai untuk kehidupannya. Perbedaan nilai indeks constancy dan fidelity yang jauh tersebut disebabkan karena larva ikan masih bersifat planktonik sehingga keberadaannya di suatu habitat perairan lebih ditentukan karena arus yang membawanya sehingga dalam hal ini larva ikan belum memiliki kemampuan untuk berenang memilih perairan yang sesuai untuk hidupnya. Hal tersebut yang menyebabkan nilai fidelity yang rendah.

(27)

52 Larva Tridentiger, Rhinogobius, Omobranchus tersebar luas di perairan estuaria Pelawangan Timur. Keberadaan Tridentiger di stasiun IV dan III cukup besar ditandai dengan kelimpahannya yang tinggi dibandingan di stasiun lainnya. Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama terhadap parameter lingkungan dan stasiun pengamatan, stasiun III dicirikan oleh parameter suhu air sedangkan stasiun IV dicirikan oleh kecerahan yang tinggi atau turbiditas yang rendah. Sedangkan hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa suhu air dan kekeruhan berkorelasi positif terhadap kelimpahan larva tersebut dengan nilai korelasi masing-masing 0,25 dan 0,33 (P<0,05) (Lampiran 9). Sementara itu hasil analisis korelasi antara kelimpahan larva dan parameter lingkungan menunjukkan bahwa suhu air merupakan faktor yang berkorelasi positif dengan kelimpahan larva Rhinogobius. Beberapa jenis dari Gobiidae menyukai perairan dengan suhu yang hangat untuk melakukan pemijahan dan perkembangan telur serta larva. Korelasi positif antara kekeruhan dan kelimpahan larva Tridentiger

menunjukkan bahwa kondisi perairan estuaria yang keruh tidak menjadi penghalang bagi keberadaan larva Tridentiger. Kekeruhan juga memberikan ruang gerak yang terbatas bagi predator untuk memangsanya. Hasil analisis korelasi antara kelimpahan larva Omobranchus dengan parameter kualitas lingkungan menunjukkan bahwa salinitas, kecerahan dan fitoplankton berkorelasi positif terhadap kelimpahan larva Omobranchus.

Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva Stolephorus memiliki constancy yang tinggi di kelompok habitat 2 (stasiun II, III, IV V dan VI). Kelimpahan larva Stolephorus paling tinggi terdapat di stasiun II (Donan). Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama sebelumnya menunjukkan bahwa stasiun II dicirikan oleh kadar oksigen dan kekeruhan yang tinggi. Namun hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa parameter lingkungan yang berkorelasi positif dengan kelimpahan larva adalah suhu, kekeruhan dan arus berkorelasi positif dengan masing-masing nilai koreasi adalah 0,39; 0,31 dan 0,40 (P<0,05) (Lampiran 10). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Tzeng et al. (2008), yang menyatakan bahwa rekrument larva Stolephorus insularis meningkat pada saat musim panas ketika suhu perairan tinggi, sedangkan menurut Arockiamary et al.

(2011), kelimpahan telur Engraulidae berkorelasi posistif dengan suhu air. Sedangkan arus air berperan membawa larva ikan masuk ke perairan estuari. Namun dalam penelitian ini belum tergambar dengan jelas peran arus terhadap distribusi larva di perairan estuari. Korelasi positif antara kekeruhan dan

(28)

53 kelimpahan larva Stolephorus menunjukkan bahwa larva Stolephorus masih dapat bertahan hidup pada perairan yang keruh.

Larva Engraulis ditemukan melimpah pada tempat yang sama dengan

Stolephorus. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara kekeruhan dengan kelimpahan larva tersebut. Kiddeys et al.,

(1999) menyatakan bahwa distribusi telur dan larva anchovy (Engraulis)

berkorelasi secara nyata dengan salinitas, suhu dan zooplankton. Namun dengan melihat adanya korelasi antara larva Engraulis dengan kekeruhan menunjukkan bahwa larva tersebut masih dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang keruh.

Sardinella dan Herklotsichtys merupakan larva yang memiliki constancy dan fidelity tinggi di kelompok habitat 1 (stasiun I). Berdasarkan analisis komponen utama, stasiun I dicirikan oleh parameter salinitas dan kelimpahan fitoplankton yang tinggi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa salinitas dan fitoplankton berkorelasi positif terhadap kelimpahan larva Sardinella dengan masing-masing nilai korelasi 0,26 dan 0,36 (p<0,05), demikian pula dengan larva

Herklotsichthys memiliki korelasi positif dengan salinitas (0,253, p<0,05). Famili Clupeidae menyenangi perairan dengan kadar salinitas yang lebih tinggi dibandingkan perairan tawar, bahkan Cupeidae akan masuk ke perairan estuaria yang dekat dengan laut dimana pengaruh massa air laut masih cukup besar ditandai dengan salinitas yang masih tinggi untuk melakukan pemijahan dan pengasuhan bagi larvanya (Carpenter and Niem, 1999).

Larva ikan Tridentiger dan Rhinogobius ditemukan di seluruh lokasi penelitian pada setiap waktu pengamatan dengan berbagai bentuk tahapan perkembangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan penghuni tetap perairan estuari Pelawangan Timur dan melakukan pemijahan sepanjang bulan pengamatan. Sedangkan jenis ikan lainnya seperti Sardinella, Herklotsichthys, Stolephorus dan Engraulis yang hanya ditemukan melimpah pada waktu dan lokasi tertentu merupakan ikan yang masuk ke perairan estuaria berkaitan dengan aktivitas pemijahan serta pengasuhan larvanya. Menurut penelitian Morais and Morais (1994), larva Engraulidae selalu ditemukan di perairan estuari. Beberapa jenis ikan laut memiliki ketergantungan terhadap ekosistem estuaria dalam siklus hidupnya terutama pada fase larva. Pada saat memijah, beberapa jenis ikan laut akan masuk ke perairan estuaria sehingga larva-larva ikan yang baru menetas akan berada di perairan tersebut hingga

(29)

54 berkembang menjadi juvenil. Beberapa jenis ikan dari famili Clupeidae, akan masuk ke perairan estuaria terutama di bagian muara (upper estuary) untuk memijah dan larva-larva yang ditetaskan akan berkembang di perairan tersebut.

Berdasarkan komposisi, kelimpahan, distribusi dan analisis nodul (indeks constancy dan fidelity) serta beberapa pustaka mengenai siklus hidup dan habitat ikan, beberapa Genus ikan yang berada di Estuaria Pelawangan Timur terdiri dari ikan yang merupakan penghuni tetap estuaria (resident), ikan yang melakukan migrasi ke estuaria dalam siklus hidupnya (migratory) atau pun ikan yang hanya sesekali berada di estuaria selama siklus hidupnya (occasional) (Tabel 8).

Tabel 8. Kelompok ikan berdasarkan siklus hidupnya di ekosistem estuaria

Genus Kelompok Keterangan

Ambassis estuaria komersial

Hypoatherina estuaria non komersial

Omobranchus estuaria non komersial

Cynoglossus sesekali di estuaria non komersial

Caranx sesekali di estuaria komersial

Sardinella bermigrasi ke estuaria komersial

Herklotsichthys bermigrasi ke estuaria komersial

Stolephorus bermigrasi ke estuaria komersial

Engraulis bermigrasi ke estuaria komersial

Eleotris estuaria non komersial

Gerres sesekali di estuaria non komersial

Tridentiger estuaria non komersial

Rhinogobius estuaria non komersial

Glossogobius estuaria non komersial

Secutor sesekali estuaria non komersial

Leioghnathus sesekali di estuaria komersial

Mugil estuaria komersial

Parapercis estuaria non komersial

Upeneus sesekali di estuaria komersial

Ostraciidae spp sesekali di estuaria non komersial

Pomacentrus sesekali di estuaria non komersial

Pomachantus estuaria non komersial

Eleutheronema estuaria komersial

Silago sesekali di estuaria komersial

Parasyngnathus estuaria non komersial

Tetraodontidae spp sesekali di estuaria non komersial

4.5.Komposisi Jenis Ikan di Estuaria Pelawangan Timur

Perairan estuaria Pelawangan Timur merupakan kawasan perairan yang dimanfaatkan oleh nelayan setempat sejak lama untuk menangkap ikan. Beberapa lokasi yang merupakan daerah penangkapan meliputi Sapuregel,

(30)

55 Kembang Kuning dan Karang Bolong (di sekitar Muara Donan). Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan setempat meliputi apong (Fyke net) dan jaring. Alat tangkap dominan yang beroperasi di kawasan tersebut adalah apong. Apong merupakan alat tangkap pasif yang dioperasikan dengan mengandalkan kondisi pasang surut air laut. Ketika kondisi pasang, banyak ikan yang masuk ke perairan estuaria dan masuk ke dalam perangkap apong. Ketika air surut nelayan setempat akan mengambil hasil tangkapan dari apong tersebut.

Perairan Pelawangan Timur memiliki berbagai jenis ikan yang dimanfaatkan oleh nelayan setempat. Selain ikan, hasil tangkapan nelayan tersebut adalah udang. Jenis ikan di kawasan Pelawangan Timur didominasi oleh ikan teri (Engraulidae). Komposisi jenis ikan di estuaria Pelawangan Timur yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan setempat adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Jenis dan komposisi ikan hasil tangkapan nelayan di Pelawangan Timur, Segara Anakan.

Nama Daerah Jenis Famili Proporsi(%)

Teri Stolephorus sp Engraulidae 51,20

Petek Leiognathus sp; Secutor sp Leioghnatidae 4,73

Layur Trichurus sp Trichluridae 3,27

Mursia Sardinella sp Clupeidae 8,10

Leak Thryssa sp Engraulidae 4,40

Kiper Scatophagus argus Scatophagidae 3,14

Belanak Mugil cephalus Mugilidae 3,22

Cangkek Caranx sp Carangidae 3,01

Rek rekan Pomadasys argenteus Pomadacidae 0,16

Kapasan Gerres sp Gerreidae 2,41

Pempreng Apogon sp Apogonidae 5,44

Lendra Cynoglossus sp Cynoglossidae 2,12

Kuro Eleutheronema tetradactylum Polynemidae 0,31

Bojor Silago sihama Silaginidae 1,15

Tiga waja Johnius sp Scianidae 0,23

Kuniran Upeneus sp Mullidae 1,50

Tungon Trypauchen sp Gobiidae 3,14

Buntal Tetraodon sp Tetraodontidae 0,20

Terogan Therapon theraps Theraponidae 0,16

Pelus Anguilla sp Anguillidae 2,11

4.6 Implikasi Penelitian Larva Ikan di Estuaria Pelawangan Timur bagi Pengelolaan Perikanan

Pengetahuan mengenai komunitas larva ikan dan dinamikanya dalam suatu perairan menjadi salah satu unsur yang diperlukan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya ikan di suatu kawasan perairan. Data mengenai sebaran larva ikan di suatu perairan menjadi salah satu informasi untuk

(31)

56 mengetahui tempat pemijahan (spawning ground) dan pengasuhan (nursery ground) ikan yang diperlukan untuk upaya pengelolaan sumberdaya ikan melalui perlindungan habitat pemijahan dan pengasuhannya. Sebagaimana diketahui bahwa fase larva merupakan fase kritis dalam siklus hidup ikan yang akan menentukan keberlanjutan stoknya maka perubahan habitat pemijahan dan pengasuhan akibat degradasi lingkungan perairan akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan stok ikan di perairan. Saat ini data mengenai komunitas larva ikan, dinamika serta sebarannya di perairan menjadi data penting untuk menentukan kawasan refugia perikanan (fisheries refugia) (UNEP, 2007).

Kawasan estuaria Pelawangan Timur merupakan alur lalu lintas kapal dari beberapa kegiatan industri di sekitarnya. Selain itu beberapa wilayah di perairan tersebut merupakan daerah penangkapan ikan oleh nelayan. Dalam Perda Kab. Cilacap No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Perikanan di Kawasan Segara Anakan, telah dinyatakan adanya kawasan lindung yang meliputi kawasan perairan pintu masuk bagian timur dari samudera Hindia (pintu masuk kawasan Pelawangan Timur) sampai perairan Sungai Sapuregel, daerah pertemuan Sungai Sapuregel dan Kembang Kuning (Gambar 28).

(32)

57 Berdasarkan data komunitas larva ikan yang diperoleh di estuaria Pelawangan Timur, maka beberapa kawasan perairan tersebut perlu dipertimbangkan untuk menjadi daerah perlindungan bagi ikan-ikan laut yang melakukan pemijahan di kawasan estuaria. Beberapa stasiun pengambilan sampel termasuk ke dalam kawasan lindung yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Cilacap (Gambar 28). Berdasarkan data sebaran komunitas larva ikan, implementasi kawasan lindung harus segera dilaksanakan mengingat potensi kawasan tersebut sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan larva namun hingga saat ini kawasan tersebut masih menjadi daerah penangkapan oleh nelayan dengan alat tangkap apong (Fyke net).

Gambar

Tabel 3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan
Gambar 8. Komposisi famili larva ikan secara spasial
Gambar 9. Komposisi morfologi larva ikan secara temporal
Gambar 13. Nilai pH selama waktu pengamatan pada masing-masing  stasiun di  pelawangan timur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengangkat penelitian yang berjudul “ Pengaruh Pengetahuan Keuangan, Sikap Keuangan, dan Kepribadian Terhadap Perilaku Manajemen

Berdasarkan atas uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Dimensi Kualitas Produk terhadap Minat Beli Konsumen Gelamai Merk

Berdasarkan hukum Hardy-Weinberg populasi itik Tegal yang digunakan untuk penelitian merupakan populasi yang seimbang dan pewarisan karakteristik polimorfisme protein

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, maka perlu mengatur Biaya Transportasi

lebih hijau dan tebal, juga memiliki batang yang lebih tebal sehingga mampu menyimpan cadangan makanan, maupun unsur hara dan air agar tanaman dapat bertahan

1) Teknik observasi. Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data melalui pengamatan langsung dilapangan, dan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi objektif di

Setelah sampel sedimen terdestruksi secara sempurna, larutan tersebut didinginkan dan diencerkan dengan aquabides menjadi 40 ml dan disaring dengan kertas whattman

NPSH atau Net pressure suction head adalah head yang tersedia di mata impeller yang nilainya harus lebih besar dari NPSH minimum yang dibutuhkan oleh pompa pada suatu laju