• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PROSESI SURYA SEVANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DALAM PROSESI SURYA SEVANA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

E-JOURNAL

JAPA DALAM PROSESI SURYA SEVANA DAN PEGANGGAN

PARA SULINGGIH PADA KALI YUGA DI DENPASAR UTARA

PERSPEKTIF TEOLOGI HINDU

Oleh :

LUH PUTU MULIANI HANDAYANI

govindamohini@yahoo.com

ABSTRAK

Ritual atau persembahan sesajen kepada Tuhan merupakan salah satu bentuk.Yajna adalah korban suci yang didasari atas ketulusan dan tanpa pamrih.

Yajna adalah bentuk nyata kehidupan beragama umat Hindu di Bali. Yajna tidak

dapat dilepaskan dari peranan seorang Sulinggih. Peranan ulinggih sebagai “Adi

Guru Loka”. artinya Seorang Sulinggih berperan sebagai guru spiritual yang

membimbing dan memimpin umat Hindu di daerah atau wilayah tertentu. Sedangkan “Ngelokaparasraya” artinya peranan seorang Sulinggih untuk menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kegiatan yang dapat meningkatkan religiusitas. Pemujaan kepada Tuhan yang wajib dilakukan yaitu: Surya Sewana dan Peganggan. Dalam pemujaan ini seorang Sulinggih melakukan proses

Berjapa (mengucapkan nama smaranam/nama Suci Tuhan). Terkait dengan latar

belakang masalah tersebut penelitian ini berjudul: “ Berjapa Dalam Prosesi Surya

Sevana dan Peganggan Para Sulinggih Pada Kali Yuga di Denpasar Utara dalam

Perspektif Teologi Hindu.

Rumusan masalah yang akan di bahas tiga masalah, yaitu: Bagaimana Bentuk Pelaksanaan Berjapa para Sulinggih pada Kali Yuga di Denpasar Utara? Mengapa Berjapa pada Kali Yuga dilakukan oleh Sulinggih di Denpasar Utara? Bagaimana makna Teologi Berjapa pada Kali Yuga yang di lakukan oleh

Sulinggih di Denpasar Utara? Bertujuan untuk mengetahui bentuk Berjapa. Untuk

menjelaskan alasan Berjapa dan untuk menganalisis Makna Teologi dalam

Berjapa.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat langsung bagi seorang

Sulinggih untuk mengetahui bentuk Berjapa, untuk mempelajari alasan Sulinggih Berjapa,untuk memperoleh dampak terhadap prilaku Sulinggih. Ketiga rumusan

masalah ini dibedah dengan tiga terori sebagai pisau bedah, yaitu: teori fungsional, teori rasa dan teori interaksionisme simbolik.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Lokasi penelitian Di Denpasar Utara. Jenis data dalam bentuk keyakinan dan persepsi. Sumber data primer dan data sekunder Penentuan informan Purposive Sampling dan juga pendekatan partisipatif. Teknik pengumpulan data, yaitu: observasi, wawancara dan dokumentasi. Kegiatan analisis terdiri dari reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verivikasi dan metode Triangulasi.

(2)

2 Hasil penelitian di temukan adanya tiga bentuk Berjapa yang di lakukan oleh Sulinggih, yaitu Berjapa yang di lakukan pada saat Surya Sevana dan

Peganggan serta diluar keduanya. Persamaan dan perbedaan berjapa di tinjau dari

waktu, tempat dan sarana berjapa. Alasan Sulinggih Berjapa, aspek internal dan eksternal. Makna teologi Sulinggih Berjapa untuk meningkatkan religiusitas dalam penyucian diri dan pranayama,sedangkan spiritualitas dalam kebahagiaan bhatin dan kesadaran spiritual .

Kata Kunci: Berjapa, Sulinggih dan Kali Yuga

PENDAHULUAN

Setiap kegiatan yajna yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali tidak dapat dilepaskan dari peranan seorang Brahmana. Brahmana di Bali pada umumnya disebut dengan istilah Sulinggih. Peranan seorang Sulinggih pada umumnya di bagi menjadi dua, yaitu: pertama, peranan Sulinggih sebagai “Adi Guru Loka”. Kedua, peranan Sulinggih dalam“Ngelokaphalasraya”.

Pentingnya peranan seorang Sulinggih dalam menyucikan diri umat Hindu beserta alam semesta, sehingga seorang Sulinggih di tuntut harus tetap dalam keadaan suci. Menyucikan diri bagi seorang Sulinggih adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban yang pertama yaitu Tapa. Tapa artinya teguh dan tekun dalam melakukan pemujaan kepada Tuhan. Pemujaan kepada Tuhan yang wajib dilakukan oleh seorang Sulinggih pada pagi hari disebut dengan

Surya Sevana dan Peganggan.

Japa dengan menggunakan genitri pada umumnya di laksanakan pada

proses Ngelokaphalasraya, khususnya upakara dengan menggunakan sarana upakara Bebangkit atau identik dengan upakara yang besar. Dalam pelaksanaan beragama di Bali umat Hindu selalu di identikkan dengan adanya kemeriahan, semarak, biaya yang besar dan juga terjadi kehampaan spiritualitas. Kehampaan spiritualitas juga sangat dipengaruhi oleh kualitas seorang Sulinggih. Masih ada ditemukan seorang Sulinggih, yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam

Surya Sevana dan Peganggan, yang berdampak kepada kesucian seorang Sulinggih. Sehingga dapat dipahami kehampaan spiritualitas Umat Hindu juga

(3)

3

Sulinggih akan ternoda dengan ketidakmampuan seorang Sulinggih

mengendalikan indria khususnya Sadripu dan juga karena dipengaruh pada karakteristik Kali Yuga. Japa pada saat Surya Sevana dan Peganggan di lakukan setiap hari. Implementasi dari Japa mampu melepaskan keterikatan seorang

Sulinggih dari keduniawian sehingga seorang Sulinggih benar-benar pada

keadaan suci.

Fakta inilah yang menyebabkan peneliti untuk meneliti makna Teologi yang tersurat dan tersirat dalam suatu proses Japa. Japa atau proses pengucapan nama suci Tuhan. Berdasarkan latar belakang diatas, judul penelitian ini adalah ”Japa Dalam Prosesi Surya Sevana dan Peganggan Para Sulinggih Pada Kali

Yuga di Denpasar Utara Perspektif Teologi Hindu. Berdasarkan latar belakang di

atas dapat diambil rumusan masalah, sebagai berikut: pertama, Bagaimana Bentuk Pelaksanaan Japa para Sulinggih pada Kali Yuga di Denpasar Utara? Kedua, Apakah Penyebab Japa pada Kali Yuga dilakukan oleh Sulinggih di Denpasar Utara? Ketiga Bagaimana makna Teologi Japa pada Kali Yuga yang di lakukan oleh Sulinggih di Denpasar Utara?

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang bentuk, fungsi, makna teologis serta tata cara Japa kepada umat Hindu. Penelitian ini juga dapat memberikan suatu pengetahuan salah satu bentuk yajna sederhana yang mampu menjadi filter dalam menghadapi pengaruh Kali Yuga. Penelitian ini pada akhirnya akan memberikan informasi dan pengetahuan cara menyucikan diri dan mengendalikan indria melalui Japa. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah pertama, Untuk Mengetahui Bentuk Pelaksanaan Japa. Kedua, Untuk menjelaskan alasan mengapa dilakukannya Japa. Ketiga, Untuk menganalisis Makna Teologi yang tersurat dan tersirat dalam Japa yang dilakukan pada Kali Yuga oleh Sulinggih di Denpasar Utara.

Manfaat teoretis yang diharapkan dari penelitian ini adalah pertama, sebagai pengembangan Ilmu Agama, kedua untuk memahami konsep ajaran agama Hindu, khususnya tentang Japa dan Kali Yuga. Kedua memotifasi umat dalam melatih

(4)

4

Japa dan ketiga mengendalikan Sadripu dengan mengamalkan ajaran agama

Hindu melalui Japa. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat langsung bagi seorang Sulinggih untuk mengetahui bentuk Japa, untuk mempelajari alasan mengapa melakukan Japa dan dasar Tattwa Japa yang di lakukan oleh seorang oleh Sulinggih.

METODE

Sebelum menguraikan metode yang digunakan terlebih akan diuraikan sekilas tentang konsep yang akan di bahas dalam penelitian ini meliputi; pertama, Japa (pengucapan Nama Tuhan secara berulang –ulang). Kedua, Surya Sevana artinya proses Pemujaan (pelayanan) dalam bentuk Japa yang di lakukan setiap hari oleh Sulinggih Siwa. Ketiga, Peganggan artinya proses Pemujaan (pelayanan) dalam bentuk Japa yang di lakukan setiap hari oleh Sulinggih Buddha. Keempat,

Kali Yuga merupakan zaman yang memiliki karakteristik alam beserta isinya

selalu pnuh dengan ilusi, kepalsuan, sifat serakah, munafik, mudah tersinggung, mudah kalut. Kelima, Brahmana khusus untuk Pandita di Bali disebut dengan

Sulinggih. Dan keenam adalah perspektif teologi Hindu artinya sudut pandang

atau kajian analisis lebih menekankan kepada Ketuhanan dalam Hindu.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, teori fungsional yang menanalisis tentang fungsi bentuk Japa. Kedua, teori rasa di gunakan untuk membedah ulasan tentang alasan para Sulinggih melakukan Japa. Ketiga Teori interaksionisme simbolik digunakan untuk membahas tentang makna teologi dari bentuk Japa yang dilakukan oleh Sulinggih pada Kali Yuga.

Peneliti menggunakan delapan tahapan antara lain; pertama, jenis penelitian ini kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Kedua, Lokasi penelitian di Denpasar Utara. Ketiga, penelitian ini menggunakan jenis data dalam bentuk keyakinan dan persepsi yang berdasarkan rasa yang muncul pada saat melaksanakan Japa. Sumber data primer, dengan mengamati gambaran perilaku subjek, Para Sulinggih yang Japa. Dan sumber skunder meliputi komentar, interpretasi dari suatu hasil penelitian terdahulu. Istrumen Penelitian, peneliti itu sendiri yang juga disebut sebagai alat ukur dalam penelitian. Dalam penelitian ini

(5)

5 peneliti mengambil anggota sampel sebagai informan dengan menggunakan sistem Purposive Sampling.

Untuk mendapat data yang valid dan akurat peneliti menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu: 1) observasi, 2) wawancara dan 3) dokumentasi. Analisis data adalah dengan cara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verivikasi. Selain itu dalam metode ini peneliti juga menggunakan metode Triangulasi Akhirnya ditarik suatu kesimpulan sebagai akhir dari proses penelitian. Penyajian hasil analisis data yang disajikan secara formal terlihat dalam bentuk narasi atau deskripsi yang dirangkai dengan sedemikian rupa yang memenuhi standar penulisan ilmiah.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian, terdiri atas: pertama bentuk berJapa ada tiga yaitu; 1. Bentuk berJapa dalam proses Surya Sevana. Sarana yang di gunakan

berjapa dalam pada prosesi Surya Sevana adalah “sarana yang dipergunakan dalam Surya Sevana antara lain: api, air, bunga, beras,

asepan, gandha (cendana), kalpika, Śiro-viñta, tripada, Śhiwamba, Ghaṇöa, Sesirat, Śiva -Lingga dan terkadang diiringi dengan Mudra”.

2. BerJapa dalam proses Peganggan Sarana yang digunakan pada saat proses peganggan“alat alat yang di pergunakan dalam melaksanakan

upakara pada umumnya adalah: Rarapan, Ghanta, Santi, Genitri, Wajra, tempat cendana, Tempat Beras, Tempat Dhupa, Tempat Dhipa, pamandyangan, Mudra dan mantra”.

3. BerJapa di luar proses Surya Sevana dan Peganggan dengan menggunakan sarana (japamala) genitri yang dirangkai dalam bentuk satu lingkaran dan terdiri sebanyak 108 biji mala.

TEMUAN

Hasil penelitian menemukan Tiga Puluh Satu (31) Sulinggih yang ada di Denpasar Utara dan berasal dari soroh yang berbeda. 1) Jumlah Sulinggih yang

(6)

6 berasal dari keturunan Ide Bagus sebanyak 13 orang. 2) Jumlah Sulinggih yang berasal dari keturunan Gusti sebanyak 2 orang. 3) Jumlah Sulinggih yang berasal dari keturunan Pasek sebanyak 5 orang. 4) Jumlah Sulinggih yang berasal dari keturunan Dukuh sebanyak 4 orang. 5) Jumlah Sulinggih yang berasal dari keturunan Pande sebanyak 5 orang. 6) Jumlah Sulinggih yang berasal dari keturunan Bhujangga sebanyak 2 orang. Jumlah Sulinggih lanang sebanyak 13 0rang dan jumlah Sulinggih Istri sebanyak 18 orang.

gegelaran Sulinggih sebagai berikut: 1). Ida Pedanda adalah gelar atau

sebutan Sulinggih yang berasal dari soroh keluarga Ida Bagus. 2). Ida Pedanda

Buddha adalah gelar atau sebutan Sulinggih yang berasal dari soroh keluarga Ida Bagus (Buddha Keling). 3). Sri Bhagawan adalah gelar atau sebutan Sulinggih

yang berasal dari soroh keluarga Ksatria. 4). Ida Rsi Bhujangga adalah gelar atau sebutan Sulinggih yang berasal dari soroh keluarga Bhujangga Waisnawa. 5). Ida

Pandita Mpu adalah gelar atau sebutan Sulinggih yang berasal dari soroh

keluarga Pasek. 6). Sira Empu adalah gelar atau sebutan Sulinggih yang berasal dari soroh keluarga Pande.7). Ida Jero Dukuh adalah gelar atau sebutan Sulinggih

yang berasal dari soroh keluarga dukuh. 8) Ida Pandita Dukuh adalah gelar atau

sebutan Sulinggih yang berasal dari soroh keluarga Pasek Celagi.

Ditemukan sebanyak 38,70 % Sulinggih yang melakukan Surya Sevana dan

Sulinggih yang melakukan japa dalam Peganggan sebanyak 9,67 %. Jumlah ini

sangat fantastis bila dibandingkan dengan jumlah Sulinggih yang tidak berjapa. Jumlah Sulinggih yang tidak berjapa lebih banyak di bandingkan jumlah

Sulinggih yang berjapa. Sulinggih yang menerapkan ajaran Siwaphaksa sebanyak

80 % ( 12 dari 15 0rang) Sulinggih yang berjapa. Sulinggih yang berjapa berdasarkan Siwaphaksa berasal dari keturunan (klan) Ide bagus, Dukuh,

Bhagawan, Pande dan Pasek. Sementra 20 % (3 dari 15 orang) Sulinggih yang

berjapa menerapkan Buddhaphaksa. Sulinggih yang menerapkan Buddhaphaksa. Peneliti menemukan tidak semua Sulinggih menggunakan siwopakarana khususnya Sulinggih Buddha. Sulinggih yang berasal dari Brahmana Buddha tidak menggunakan siwopakarana

(7)

7 Hasil Penelitian menemukan penyebab para Sulinggih berJapa pada Kali

Yuga ada dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

merupakan penyebab Japa yang dilakukan para Sulinggih yang berasal dari dalam diri seorang Sulinggih itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara pada umumnya

Japa dalam Surya Sevana atau Peganggan merupakan suatu keinginan untuk

lebih meningkatkan ketenangan diri, hati semakin nyaman dan Japa juga merupakan suatu proses pembelajaran dalam melancarkan pengucapan atau perapalan mantra atau melatih disiplin spiritual. Japa dalam Surya Sevana merupakan Dharmaning Kawikon. Serta menjalankan Kesulinggihan merupakan suatu media untuk mempersiapkan diri menuju kematian.

Faktor eksternal yang menyebabkan para Sulinggih berjapa adalah karena dalam beragama terjadi kehampaan spiritual hal ini disebabkan karena tingkat pemahaman teradap suatu sumber-sunber sastra yang sangat dangkal. Sumber sastra juga mewajibkan untuk Japa. Sumber sastra yang menganjurkan untuk menerapkan pelaksanaan Japa pada Kali Yuga antara lain: Sumber sastra yang memperkuat atau menguraikan tentang Berjapa. Sastra sastra yang menganjurkan untuk Japa (mengucapkan nama tuhan) antara lain: Bhagavadgita, Bhagavata

Purana, Veda Caitanya Caritamrta, Brhan naradiya-Purana dan Manawa Dharmasastra. Selain sumber sastra di atas peneliti juga menemukkan beberapa lontar yang sudah di bukukan. Lontar yang berkaitan dengan Pengucapan nama

Suci Tuhan (Japa) dalam bentuk Ista Dewata, Mantra Om dan Aksara Suci. Lontar Tattva Sangkaning Dadi Janma, Tutur Angkus Prana dan Bhuwana

Mereke sudah dibukukan ini di Dokumentasi, alih aksara dan di terjemahkan oleh

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Bhagavadgita merupakan untaian sabda sabda Tuhan (Bhagavan, Krisna.

Bhaktivedanta (2006:373-540) menguraikan tentang; yajna, Nama Suci Tuhan (nama Smaranam) atau Ista Dewata, aksara Om dan Aksara Suci. Dan faktor eksternal yang kedua adalah peran Sulinggih sebagai adi Guru Loka menuntut seorang Sulinhgih untuk menjadi manusia super, hal ini berkaitan dengan Sulinggih adalah Siwa itu sendiri. Dibawah ini terdapat jumlah ista

(8)

8 dewata, Aksara Suci dan Aksara Suci Om yangdi puja pada prosesi Surya Sevana dan Peganggan.

Jumlah Berjapa Dalam Proses Surya Sevana dan Peganggan

No Berjapa Dalam

Peganggan

Jumlah No Berjapa Dalam Surya Sevana

Jumlah

1 Gangga 106 kali 1 Çiva 41 kali

2 Buddha 101 kali 2 Rudrä 20 kali

3 Siwa 32 kali 3 Agni 17 kali

4 Visnu 21 kali 4 Çiva-Äditya 12 kali

5 Surya 21 kali 5 Brahmä 12 kali

6 Iswara 17 kali 6 Viñëu 12 kali

7 Saraswati 16 kali 7 Éçvarā 11 kali

8 Yamuna 9 kali 8 Parama Çiva 8 kali

9 Sindhu 7 kali 9 Gaìga 8 kali

10 Bhima 7 kali 10 Sada Çiva 6 kali

11 Serayu 7 kali 11 Mahadeva 6 kali

12 wipasa 6 kali 12 Surya 3 kali

13 Kausaki 6 kali 13 Sarasvati 3 kali

14 Isana 6 kali 14 Yamuna 3 kali

15 Mahadewa 5 kali 15 Oà 628 kali

16 Indra 5 kali 16 Aksara Suci 713 kali

17 Candra 4 kali

18 Rudra 4 kali

19 Baherawa 4 kali

20 Bamadewa 3 kali

21 Om 861 kali

22 Aksara Suci 1025 kali

jumlah 2237 kali jumlah 1521 kali

Implementasi prosesi religi dalam pelaksanaan Surya Sevana atau

Peganggan terlihat dalam: pertama, adanya keinginnan untuk Japa dalam Surya Sevana atau Peganggan yang didasari atas dasar pengetahuan. Sulinggih

mengetahui bahwa pekaksanaan Japa dalam Surya Sevana atau Peganggan adalah Suatu kewajiban yang harus di lakukan. Kedua, adanya pengalaman rasa yang di muncul pada saat melaksanakan Surya Sevana atau Peganggan. Ketiga, adanya keyakinan yang semakin kuat tentang pelaksanaan Surya Sevana atau Peganggan memberikan fibrasi yang sangat luar biasa bagi bagi dirinya sendiri ataupun bagi

(9)

9 alam semesta. Sulinggih melakukan Berjapa pada saat Surya Sevana atau

Peganggan tanpa pamrih akan meningkatkan kemampuan kecerdasan spiritual.

Kecerdasan spiritual merupakan suatu jalan atau pintu masuk untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan jiwa.

Dalam proses Japa pada proses Surya Sevana dan Peganggan di atas terkandung makna religiusitas, diantaranya: Pertama, proses penyucian diri dan penyucian alat Alat yang di gunakan pada saat melaksanakan Surya Sevana. Kedua, melakukan pranayama dan di akhiri dengan peleburan kotoran yang ada di dalam diri. Pelaksanaan proses Surya Sevana dan Pegannggan selalu di awali dengan penyucian diri yang diiring oleh untaian Japa Mantra dan suara Ghanta serta Mudra. Tujuan menyucikan diri ini juga bertujuan untuk mencapai ketenanagn di dalam diri. Pengendalian diri adalah pengendalian dalam hal berpikir, berkata dan bertindak.

Dalam buku yang sama Muktananda (2007:79) menuliskan keadaan batin ini sinar didalam jiwa paling menakjubkan, kita harus mengenal sinar itu dengan meditasi. Ketika pikiran intelek kita mendekati dalam meditasi maka itu adalah kebahagiaan tertinggi, ananda. Untuk itu bermeditasilah pada jiwa yang sesungguhnya adalah saccidananda - jiwa, kesadaran dan kebahagiaan”. Somvir (2008:55) menuliskan bahwa “tasya vacakah pranavah (mengucapkan dan merenungkan nama Tuhan melalui pikiran adalah meditasi ). AUM, AUM juga nama Tuhan)”. Siwananda (2009:98) menulis bahwa “Keadaan spiritual yang

tinggi akan di capai melalui anugrah Iswara”. Kebahagiaan batin dewasa ini sangat sulit sekali di capai. Banyak sekarang dijumpai sehat secarafisik tapi tidak sehat dalam mental. Kesadaran mentalnya fisik tetapi tidak memiliki rasa percaya diri sehingga menyebabkan bhatinya tidak bahagia.

SIMPULAN

Japa adalah mengucapkan nama Suci Tuhan secara berulang ulang sesuai

dengan aturan yang berlaku. Ada tiga bentuk berjapa yang dilakukan oleh Para

Sulinggih di Denpasar Utara. Pertama; Berjapa dalam proses Surya Sewana oleh Sulinggih Siwa, yang menganut ajaran Siwaphaksa. Kedua, berjapa dalam proses

(10)

10 peganggan oleh Sulinggih Buddha, yang menerapkan ajaran buddhaphaksa. Ketiga Sulinggih yang berjapa di luar Surya Sevana dan Peganggan.

Ada du faktor penyebab para Sulinggih Berjapa. Pertama,faktor internal para Sulinggih berjapa pada Kali Yuga meliputi: japa dapat meningkatkan ketenangan diri. Japa sebagai wujud disiplin spiritual. Berjapa merupakan

dharmaning kawikon dan berjapa merupakan persiapan menuju kematian. Unsur

eksternal meliputi ajuran yang wajib diimplimentasikan dari sastra-sastra suci. Kehampaan spiritual juga disebabkan karena peran Adi guru Loka yang terabaikan serta lebih mengutamakan kepada peranan Sulinggih pada tataran

Nglokaphalasraya.

Makna teologis Sulinggih berjapa pada Kali Yuga, yaitu makna religiusitas dan makna spiritualiatas. Makna religiusitas antara lain penyucian diri awal menapaki kehidupan religius. Pengendalian diri mampu memfilter pengaruh Kali

Yuga. Makna spiritualitas adalah adanya kebahagiaan batin dengan melaksanakan

manacika japa. Serta berjapa merupakan puncak kesadaran spiritual

SARAN

Berjapa sebagai suatu kewajiban hendaknya jangan di tinggalkan. Sebab berjapa merupakan yajna yang sangat sederhana tetapi tersirat makna yang sangat luar biasa. Sehingga dipandang perlu untuk:

1. Sulinggih Istri hendaknya mencoba untuk melakukan japa pada proses

Surya Sevana ataupun dalam proses Peganggan, mengingat hal ini

merupakan suatu kewajiban bagi seorang Sulinggih.

2. Mari kita bersama sama unruk menggali jnana yang tersirat dan tersurat pada sekecil apapun yajna yang kita lakukan, sehingga akan mengahasilkan utamaning utama dari suatu yajna.

3. Lakukanlah Prosesi Surya Sevana sebelum matahari terbit agar senantiasa selalu sehat jasmani dan rohani, serta dapat meningkatkan kualitas spiritual badan material yang menyelimuti atman.

(11)

11 4. Implimentasikan pewilangan yang di lakukan oleh Lubdaka tersirat dalam bentuk Japa. Pewilangan ini memiliki makna siapapun yang melakukan

Japa merupakan suatu bentuk sikaphati-hati dan waspada. Dan kita

senantiasa untuk selalu dalam keadaan jagra (waspada dalam keadaan sadar) pada setiap kondisi apapun.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ku persemabhakan Karya Tulis ini kepada Ibunda yang selalu dan senantiasa merestui, Guru (Dosen/Sulinggih) yang selalu membimbing dan menuntun jalanku. Suami dan Putra Putri yang tercinta yang sanantiasa selalu bersabar serta menjadi inspirasiku. Keluaga besar Gd Soemerta Tanaja serta semua pempaca yang budiman

DAFTAR PUSTAKA

A.C Bhaktivedanta Svami Prabupada. 2006. Bhagavadgita Menurut Aslinya Hanoman Sakti: Jakarta.

Muktananda, Swami. 2007. Spiritualitas Hindu Untuk Kehidupan Modern. Media Hindu:Jakarta

Siwananda, Swami. 2009. Cahaya Kekuatan Bhatin dan Kebijaksanaan. Paramita Surabaya

Referensi

Dokumen terkait

Analoginya seperti kita mengisi air didalam jerigen, ketika keran kita buka full, maka air dalam jerigen akan beriak dan akan membuat jerigen seolah- olah sudah penuh, karena

Uji coba sistem KSA dilakukan di seluruh kecamatan di kabupaten Indramayu dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak

yang dinyatakan dalam Y.. Variabel bebas yaitu variabel yang mendahului atau mempengaruhi.. variabel terikat. Variabel bebas

Tepung pisang kepok merupakan alternatif utama dengan prospek yang baik sebagai salah satu sumber karbohidrat yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran dalam

Kegiatan membangun desa merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa dengan cara memberikan pengalaman belajar kepada

Secara yuridis penodaan agama merupakan bagian dari delik agama yang memang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Pengaturan

Menurut Verhaar (1978:137) berpendapat bahwa “hiponim adalah ungkapan biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat beupa frasa atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan

Dalam hal yang sama Lindsay dan Knight (2006) berpendapat bahwa percakapan adalah interaksi dengan orang lain dengan menggunakan semua unsur bahasa dan dilakukan untuk