• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, DAN KONSTRUK ANALISIS. Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang berguna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, DAN KONSTRUK ANALISIS. Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang berguna"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, DAN KONSTRUK ANALISIS

Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang berguna untuk menjawab permasalahan penelitian yang secara garis besar meliputi: percakapan, sistem dan struktur percakapan, aturan percakapan, konteks sosial, bahasa Karo, penelitian terdahulu yang relevan serta konstruk analisis.

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Tinjauan Umum tentang Percakapan

Percakapan pada dasarnya adalah interaksi antara dua sisi, yakni penutur ‘addresser’ dan petutur ‘addressee’. Dalam proses itu keduanya saling bertukar pesan, dan bila pesan itu dapat dipahami dalam konteks yang ada maka percakapan itu berhasil. Percakapan merupakan bagian dari proses komunikasi secara umum, yang didefinisikan sebagai penyampaian informasi, pertukaran pendapat, atau sebagai proses pembentukan kesamaan atau kesatuan pemikiran antara penyampai dan penerima. (Belch & Belch, 1990:127). Dalam hal yang sama Lindsay dan Knight (2006) berpendapat bahwa percakapan adalah interaksi dengan orang lain dengan menggunakan semua unsur bahasa dan dilakukan untuk tujuan sosial, seperti menginginkan sesuatu, melakukan sesuatu untuk orang lain, merespon orang lain, mengungkapkan perasaan, pendapat, dan bertukar informasi yang berhubungan dengan masa lalu, saat ini dan masa mendatang. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan dalam percakapan tidak lengkap karena tidak direncanakan, ada jeda, tekanan, intonasi, pengulangan, penggunaan

‘fabricated fillers’ (upaya-upaya yang dilakukan dalam berinteraksi agar pembicaraan tidak

(2)

terputus) secara singkat semua ini berguna untuk memberikan waktu berpikir bagi penutur untuk menyampaikan pesan dan juga memberikan kejelasan pesan bagi petutur.

Percakapan merupakan komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih dan percakapan akan terlaksana dengan baik bila penutur dan petutur dapat memberi reaksi terhadap apa yang didengarnya serta memberi umpan balik (Lindsay dan Knight,2006) menyatakan bahwa. Dengan demikian, baik penutur dan petutur selain harus memiliki keterampilan untuk menyampaikan sesuatu secara lisan juga harus menangkap dan bereaksi terhadap apa yang didengar (Hariss, 1979). Lebih jauh dinyatakan oleh Savignon (1978) bahwa berbicara merupakan proses komunikasi dan proses akan terjadi bila terdapat kesepakatan mengenai arti dalam konteks bahasa antara penutur dan petutur. Kesesuaian arti dalam konteks bahasa itulah yang pada akhirnya menentukan keefektifan suatu informasi yang disampaikan lewat percakapan tersebut.

Percakapan yang efektif terjadi apabila pesan yang disampaikan identik dengan pesan yang diterima. Hal ini bermakna, walaupun pesan yang disampaikan ada kaitannya dengan konteks bahasa, tetapi jika tidak dimengerti oleh si penerima informasi maka cara menyampaikan pesan tidak efektif. Hal ini terjadi karena proses komunikasi itu sendiri ditentukan oleh berbagai hal seperti, situasi dan konteks komunikasi, pengetahuan bahasa yang setara antara penutur dan petutur, faktor-faktor di luar kebahasaan seperti budaya, pengetahuan pragmatik serta pemahaman terhadap intensitivitas komunikasi yang disampaikan pembicara (Gross, 1988). Berkaitan dengan hal tersebut, Brown dan Yule (1984) menyatakan bahwa proses percakapan ditentukan oleh lima hal, yakni: (1) latar kejadian, (2) waktu, (3) peserta percakapan (penutur dan petutur), (4) jenis peristiwa dan (5) poin pembicaraan. Sedangkan Hymes lebih rinci memormulasikan bahwa dalam proses percakapan ada tujuh faktor yang perlu diperhatikan dalam mencapai komunikasi yang efektif, yaitu: (1) waktu dan tempat terjadinya

(3)

percakapan, (2) pihak-pihak yang terlibat di dalam percakapan, (3) tujuan masing-masing pihak, (4) bentuk dan isi dari apa yang diucapkan, (5) cara bagaimana makna disampaikan, (6) media penyampai maknanya, apakah secara lisan atau tulisan, (7) norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai, dan (8) ranah komunikasinya.

2.1.2 Pendekatan terhadap Kajian Percakapan

Percakapan telah menjadi perhatian khusus dalam kajian bahasa selama beberapa dekade terahir ini. Kajian-kajian itu berupaya untuk mencari seluruh fenomena penggunaan bahasa dalam konteks sosial atau yang lebih dikenal sebagai Sosiolinguistik. Ilmu sosiologi bahasa ini menggambarkan bagaimana bahasa digunakan dan faktor-faktor apa saja yang mem- pengaruhinya.Terdapat beberapa pendekatan tentang kajian percakapan yang akan diuraikan berikut ini. Paparan ini bertujuan sebagai latar belakang memilih Lingusitik Sistemik Fungsional sebagai landasan teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini

2.1.2.1 Etnometodologi

Pendekatan etnometodologi pertama sekali diperkenalkan oleh Harold Garfinkel pada tahun 1967. Ia mengembangkan pendekatan ini untuk melihat bagaimana sifat tindakan manusia yang berhubungan dengan kemampuan menyampaikan dan memahami tindakan dan aktifitas sosial sehari-sehari. (Bell & Garrett, 2001:162). Jadi, pendekatan ini pada dasarnya tidak secara langsung mengkaji kegiatan kebahasaan manusia dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, tetapi berdasarkan pendekatan inilah kemudian muncul pendekatan Analisis Percakapan (Conversation Analysis = CA) sebagai salah satu cabangnya.

(4)

2.1.2.2 Analisis Percakapan

Sebenarnya analisis percakapan telah diawali lebih dini oleh Bellack dkk (1966) dan Flanders (1970). Penelitian mereka lebih berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Mereka menganalisis wacana guru di kelas, yakni bagaimana guru bertanya, memerintah, dan merespon dan bukan mengkaji bagaimana perintah direalisasikan dalam bahasa. Selanjutnya analisis percakapan berkembang tidak hanya sebatas wacana di kelas melainkan wacana alami yang terjadi di masyarakat dalam berbagai aktifitas. Beberapa tokoh yang mengawali Analisis Percakapan ‘Conversation Analysis’ atau lebih dikenal dengan singkatan CA adalah Goffman (1981), Sacks, Schegloff dan Jefferson (1992) yang berfokus pada giliran percakapan ‘turn taking’ dan ‘adjacency pairs’.. CA banyak mengambil data dari percakapan yang direkam berdasarkan interaksi percakapan. Levinson (1985:295) mengatakan bahwa data itu terdiri dari rekaman kaset dan transkrip percakapan yang terjadi secara natural, dengan sedikit saja perhatian kepada sifat konteksnya (misalnya apakah partisipan merupakan teman atau kenalan saja, atau apakah berada satu kelompok sosial tertentu, atau apakah konteksnya formal atau tidak formal, dsb.). Sacks et al. dalam Eggins dan Slade (1997:25) berpendapat bahwa terdapat dua fakta ketika mereka mengobservasi data interaksi percakapan, yaitu:

a) hanya satu orang berbicara pada waktu tertentu b) perubahan pembicara terus terjadi

Secara umum bisa dipahami bahwa kedua fakta ini biasa dijumpai dalam konteks percakapan. Inilah yang sering disebut dengan ‘pengambilan giliran’ atau ‘turn taking’. Fasold (1990:66) melihat ‘turn-taking’ dalam sebuah percakapan merupakan isu sentral dalam pengelolaan wacana dan bahkan mendapat banyak perhatian dari berbagai sudut pandang. Ia juga memberikan fakta yang lebih banyak yang terjadi dalam interaksi percakapan. Mengutip Sacks,

(5)

Schegloff, dan Jefferson, Fasold (1990) mengatakan terdapat beberapa fakta penting dalam turn-taking seperti: (1) terjadinya perubahan pembicara, yang berarti bahwa dalam percakapan tidak satu orang saja yang berbicara terus menerus; (2) berkuasa penuh, yang berarti bahwa salah satu pihak berbicara pada waktu tertentu; (3) meskipun ada kecenderungan berkuasa penuh, bisa saja terjadi lebih dari satu orang berbicara pada saat yang bersamaan, namun biasanya tidak berlangsung pada waktu yang panjang; (4) pertukaran giliran tanpa adanya gap atau overlap adalah hal wajar; dan (5) tidak ada teknik alokasi-giliran, artinya siapa saja bisa menjadi addressee.

Kemudian mereka menciptakan apa yang disebut dengan ‘Turn Constructional Units’

(TCUs) karena pembicara berbicara dalam unit-unit. TCU merupakan unit bahasa yang lengkap secara gramatika seperti kalimat, klausa atau frasa, yang ahirnya memungkinkan orang-orang yang berinteraksi untuk melakukan transfer. TCU ini digunakan untuk menentukan bagaimana turn taking itu terlaksana, siapa dan kapan harus berbicara. (Eggins dan Slade, 1997:26) menggambarkan sistem turn-taking sebagai berikut:

Figura 2.1 Sistem turn-taking Current speaker

selects next speaker

Selects a different speaker

Titik awal pertukaran giliran

Pembicara memilih pembicara

berikutnya

Pembicara berikutnya memilih dirinya sendiri

Memilih pembicara berikutnya

Memilih diri sendiri

(6)

Observasi CA memiliki kekuatan pada pengumpulan datanya karena diperoleh dari interaksi alami yang direkam sedemikian rupa dan kemudian ditranskripsi secara rinci. (Eggins dan Slade: 1997:31). Namun, terdapat kelemahan di dalamnya, yaitu: (1) kurangnya katagori analitis sistemik, yang berarti bahwa analisis kuantitatif yang bersifat komprehensif tidak bisa dilakukan, (2) berfokus pada fragmen, yang artinya tidak mampu menjabarkan interaksi yang lengkap dan berkesinambungan, dan (3) interpretasi percakapannya yang mekanistik, artinya menganggap percakapan sebagai mesin tidak menjelaskan untuk apa orang-orang yang berinteraksi menggunakan mesin itu.

2.1.2.3 Etnografi Percakapan

Etnografi Percakapan merupakan bagian dari Pendekatan Sosiolinguistik terhadap percakapan. Tokoh yang berjasa dalam pendekatan ini adalah Dell Hymes dengan konsep yang diperkenalkannya sebagai SPEAKING. Akronim ini mengacu kepada komponen percakapan yang ia masukkan ke dalam general grid. (Hymes, 1974:54-62). Komponen-komponen itu adalah: bentuk berita ‘Message form’, isi berita ‘Message content’, latar ‘Setting’, ‘Scene’, penutur ‘Speaker’ atau Sender, Addressor, Hearer atau receiver atau audience, Addressee, Purpose – outcomes, Purpose – goals, Key, Channels, Forms of Speech, Norms of interaction, dan Genre.

Mengutip Hymes, Wardaugh (1986:239-240) menjelaskan akronim SPEAKING adalah sebagai berikut:

1. S untuk ‘Setting’ dan ‘Scene’ (waktu dan tempat terjadinya percakapan);

2. P untuk ‘Participants’ (pihak-pihak yang terlibat di dalamnya);

3. E untuk ‘End’ (tujuan masing-masing pihak);

(7)

4. A untuk ‘Act sequence’ (bentuk dan isi dari apa yang diucapkan);

5. K untuk ‘Key’ (cara bagaimana makna disampaikan);

6. I untuk ‘Instrumentalities’ (media penyampai makna, apakah secara lisan atau tulisan);

7. N untuk ‘Norms of Interaction and interpretaion’ (norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai), dan;

8. G untuk ‘Genre’ (ranah komunikasinya).

Istilah yang digunakan ini menunjukkan bahwa percakapan merupakan aktifitas yang cukup rumit. Oleh karena itu tidaklah mudah untuk dapat menyampaikan makna atau pesan jika pemahaman akan hal-hal tersebut tidak dimiliki.

Pendekatan Hymes terhadap percakapan ini lebih baik dibandingkan dengan pendekatan etnometodologi dengan analisis percakapannya. Pendekatan etnografi percakapan ini memberikan kategori yang lebih luas dengan memperhatikan aspek-aspek sosial lainnya seperti dimensi kontekstual yang terdapat dalam percakapan sehari-hari yang dapat disetarakan dengan analisis register sistemik. (Eggins & Slade: 1997:34). Jadi, jelas terlihat bahwa analisis dengan pendekatan ini tidak hanya melihat kompetensi bahasa orang-orang yang berinteraksi tetapi juga konteks sosial dan budayanya Konteks sosial dan budaya ini akan membimbing orang untuk menggunakan ujaran yang tepat sesuai dengan lawan bicaranya. Selain Eggin dan Slade (1997), Young dan Fitzgerald (2006) menyatakan bahwa percakapan sehari-hari adalah aktifitas yang terstruktur sebagai hubungan khusus di antara partisipan dalam melakukan negosiasi pengalamannya. Mereka secara tidak sadar telah membentuk wacana yang terstruktur.

Penelitian yang sejenis dengan Hymes tetapi dengan objek yang berbeda yaitu wacana guru dan siswa di kelas yang dilakukan oleh Sinclair dan Coulthard (1975), Stubbs (1976 dan 1986), Barnes dan Todd (1977), Mehan (1979) Heath (1983), Cazden (1988), Green dan Kentor

(8)

Smith (1988) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian ini lebih bersifat pendidikan yang bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Penelitian tentang wacana di kelas ini berkembang, antara lain dilakukan oleh Gazden, C.V.J., John V.P., and Hymes, D (1972), Edwards dan Westgate (1944), Hicks (1995) dan Lemke (1998) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian yang mereka lakukan ini sifat pendidikannya berkurang dan lebih berfokus kepada analisis wacana. Mereka berpendapat untuk dapat menganalisis wacana unsur konteks sosial dan budaya harus diperhatikan karena bahasa manusia adalah kreatifitas aktifitas sosial dan membentuk gabungan budaya, kelompok sosial dan institusi

Ketidakpuasan para linguis dalam menganalisis bahasa, khususnya dalam menganalisis percakapan yang tidak berfokus pada fungsi bahasa, maka muncullah pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional.

2.1.2.4 Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)

Penelitian wacana berdasarkan fungsi bahasa (LSF) telah diawali sebelumnya oleh Benson dan Graves (1985), Fawcet (1984) dan selanjutnya dilanjutkan oleh Martin (1992), Halliday (1985), Matthiesen (1992), Halliday dan Matthiesen (1999). Penelitian wacana yang berdasarkan fungsi bahasa dengan berfokus pada ‘register’ dan ‘genre’ dilakukan oleh Gregory dan Carroll (1978), Halliday dan Hasan (1985), Martin (1984 dan 1992) serta Christie dan Martin (1997).

Pendekatan LSF adalah pendekatan kajian bahasa yang berdasarkan prinsip semiotik.

Dengan kata lain, tata bahasa fungsional sistemik adalah tata bahasa yang berdasarkan prinsip- prinsip semiotic yang menjadi dasar utama dalam tata bahasa fungsional sistemik.

(9)

Halliday (1997) menyatakan bahwa LSF berfokus pada fungsi yang bertujuan memahami teks lisan dan tulisan agar kita dapat mengutarakan hal-hal yang bermanfaat.

Selanjutnya dikatakannya bahwa bahasa adalah fenomena sosial. yaitu bagaimana bahasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan sosial. Lebih jelasnya dikatakan Eggin (1997) bahwa LSF berorientasi pada makna yaitu bagaimana bahasa digunakan, dan bagaimana manusia menggunakan bahasa agar bermakna. Berkaitan dengan penggunaan bahasa, Halliday (1996) menyatakan bahasa adalah sumber makna berarti bahasa adalah pilihan, yaitu apa yang dikatakan seseorang berhubungan dengan apa yang dapat dikatakan. Dengan kata lain bahwa penggunaan bahasa berfokus pada hubungan yang bersifat paradigmatik. Lebih lanjut Halliday menyatakan bahwa yang terpenting bukanlah jenis pilihan yang dibuat melainkan yang berhubungan dengan kalimat yang dapat dipilih. Selanjutnya Halliday (1985:xiii) menyatakan bahwa komponen fundamental makna dalam bahasa adalah komponen fungsional. Komponen- komponen inilah yang dikenal sebagai metafungsi. Ketiga metafungsi tersebut adalah eksperiensial atau ideasional, fungsi antarpersona, dan fungsi tekstual. Ketiganya, fungsi antarpersonalah yang berkaitan dengan analisis percakapan karena di dalam fungsi ini tergambarkan interaksi yang menyatakan pembicara menyampaikan makna untuk dapat membangun dan menciptakan ikatan sosial dengan orang lain. (Thompson, 1996:38). Negosiasi makna seperti ini adalah untuk menginformasikan apa yang ia tahu tetapi orang lain tidak, menunjukkan sikapnya terhadap sesuatu untuk kemudian, bila mungkin, mengubah pandangan atau perilaku orang lain. Eggins dan Slade (1997:49-50) memberikan alasan mengapa fungsi antarpersona yang menjadi fokus:

1. Fungsi utama percakapan adalah negosiasi identitas sosial dan hubungan sosial; percakapan semacam ini didorong oleh makna antarpersona dan bukan makna ideasional atau tekstual.

(10)

2. Giliran percakapan ‘Turn-taking’ seperti dinyatakan dalam pendekatan CA direalisasikan dalam pola antarpersona yaitu modus dan struktur percakapan, khususnya dalam bahasa Inggris.

Pendekatan ini dipilih karena LSF menekankan pada analisis teks bukan kalimat-kalimat.

Seperti yang disarankan para pakar LSF bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik sebaiknya dikaji dari tiga posisi, yaitu dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di astnya itu, unit linguistik menjadi elemen/konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian. Dengan mengkaji bahasa dari tiga sisi tersebut pemahaman fungsional akan diperoleh (Saragih, 2009).

Oleh karen itu, kesatuan bahasa yang lengkap bukanlah pada tingkat kata atau kalimat sehingga unit terkecil bahasa sekalipun, yaitu bunyi, memiliki makna ketika berfungsi di dalam konteks. Artinya, sistem arti dan sistem lain untuk merealisasikan arti tersebut berada pada tataran terdepan kajian LSF.

2.1.3 Hubungan Wacana dan Konteks

CA dan LSF memandang sama bahwa dalam menganalisis wacana tidak terlepas dari konteks. Hal ini merupakan pandangan yang sama antara CDA dan LSF. Perbedaan di antara CDA dan LSF tepatnya antara pandangan model Fairclough dan model Halliday, yakni . bagaimana konteks diinterpretasikan atau direalisasikan.

Fairclough (2003:147) mendiskripsikan konteks situasi atas empat komponen, yaitu: (1) apa yang sedang terjadi; (2) siapa yang terlibat; (3) apa hubungan yang terjadi dengan yang terlibat; serta (4) apa fungsi bahasa pada kejadian tersebut. Komponen yang pertama berkaitan

(11)

dengan apa yang dikatakan Halliday (1985) ‘Field Dicourse’, yaitu apa yang dibicarakan atau ranah percakapan dan komponen 2 dan 3 adalah apa yang disebut Halliday sebagai orang-orang yang terlibat ‘Tenor’ dan komponen keempat adalah yaitu bagaimana bahasa disampaikan.

Yang disebut dengan cara ‘Mode’, Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat hubungan wacana sebagai praktek sosial melebihi praktek individu dengan metafungsi bahasa yang berimplikasi kepada tiga hal, yaitu: (1) wacana mempresentasikan realitas, (2) wacana memiliki hubungan denngan struktur sosial, dan (3) wacana adalah daya yang memberikan sumbangan terhadap pengetahuan dan sistem percakapan.

Ketiga aspek wacana tersebut berhubungan dengan tiga dimensi makna di dalam bahasa yang disebut Fairclough (2003) fungsi ideasional, fungsi identitas dan fungsi relasional. Fungsi ideasional berhubungan dengan cara-cara di mana wacana memaparkan dunia, hubungan dan proses. Fungsi identitas berkaitan dengan konstruksi hubungan sosial dan fungsi relasional adalah menghubungkan peran dan negosiasi dari hubungan sosial di antara partisipan. Dari uraian ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara apa yang dimaksud Halliday sebagai fungsi ideasional yaitu memaparkan pengalaman atau realitas dan fungsi identitas dan relasional sebagai fungsi antarpersona yang memaparkan realitas sosial.

Fairclough menyusun seperangkat hubungan antara wacana sebagai praktek sosial dan metafungsi bahasa. Halliday menyusun seperangkat hubungan antara variabel konteks seperti ranah ‘field’, pelibat ‘tenor’ dan sarana ‘mode’ dengan metafungsi bahasa. Selanjutnya metafungsi bahasa dihubungkan dengan leksikogramar tetapi Fairclough kelihatannya menghubungkan metafungsi bahasa dengan kosakata bukan dengan struktur atau leksikogramar.

(12)

2.1.4 Metafungsi Bahasa

Dalam LSF dikenal metafungsi bahasa, yaitu fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa yang terjadi dari fungsi memaparkan ‘ideational function’, mempertukarkan ‘interpersonal function’, dan merangkai pengalaman ‘textualfunction. Fungsi ideasional terbagi ke dalam dua bahagian, yaitu fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman (experiential function) dan fungsi logis (logical function), yaitu fungsi bahasa untuk menghubungkan pengalaman.

Fungsi eksperiensial adalah fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman manusia.

Pemakai bahasa memaparkan pengalamannya tentang alam semesta, yakni pengalaman bukan linguistik ke dalam pengalaman semiotik-linguistik karena hanya representasi semiotik-linguistik yang dapat dipertukarkan dalam konteks sosial dengan mitra interaksi ‘addressee’ bahasa sebagai lawan berkomunikasi. Pengalaman seseorang terhadap sesuatu apakah itu peristiwa, situasi atau kondisi berbeda-beda. Penutur dapat mengungkapkan perbedaan itu dengan menggunakan bahasa. Dengan kata lain bahasa mampu menyatukan persepsi terhadap realitas itu dengan penutur mentransperkan /memaparkan pengalamanny itu ke dalam bentuk bahasa.

Pengalaman manusia terdiri atas bagian-bagain. Pemahaman terhadap bagian-bagian pengalaman itu diperlukan hubungan antarbagian pengalaman itu karena sesuatu dapat dipahami dengan baik dalam hubungan dengan yang lain. Dalam hal ini bahasa berfunsgi menghubungkan satu unit pengalaman dengan pengalaman lainnya. Huabungan pengalaman ini paling sedikit meliputi dua klausa yang disebut dengan hubungan logis. Hubungan logis ini tidak hanya terdapat dalam bentuk klausa, tetapi juga terdapat dalam bentuk kata, grup dan frasa.

Selain memaparkan pengalamannya, pemakai bahasa dalam interaksi sosial melakukan pertukaran pengalaman linguistik dengan mitra interaksi bahasa untuk memenuhi kebutuhannya yang disebut makna antarpersona ‘interpersonal meaning’. Selanjutnya pemakai bahasa

(13)

merangkai pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk keterkaitan: satu (unit) pengalaman dalam ‘ideational meaning’ dan ‘interpesonal meaning’ relevan dengan pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan sesudahnya yang disebut sebagai fungsi tekstual ‘textual function’ (Halliday, 1978; Matthiesen, 1995).

Dalam menukarkan pengalamannya, penutur menggunakan fungsi ujar yang berbentuk pertanyaan, pernyataan, perintah dan tawaran. Keempat bentuk fungsi ujar ini direalisasikan dalam bentuk modus ‘mood’, modalitas ‘modality’, epitet, dan struktur percakapan ‘exchange structure’yang membentuk struktur percakapan ‘conversational structure’. Menurut Young dan Fitzgerald (2006) ketika seseorang bertukar informasi, dia memperlihatkan sikap dan pendiriannya ke dalam wacana mencakup topik pembicaraan dan mitra bicara. Sikap dan pendiriannya ini ditampilkan melalui modalitas dan kata keterangan. Melalui penggunaan modalitas dan kata keterangan penutur dapat menambahkan unsur yang memodifikasi proposisi serta merubah proposisi ke dalam bentuk pernyataan yang ditandai oleh pendapat-pendapat, keyakinan dan pandangan. Misalnya, seorang penutur mengatakan Dosen datang hari ini.

Klausa ini dapat berisikan muatan pribadi sehingga dapat berubah bentuk seperti Dosen mungkin datang hari ini, Dosen pasti datang hari ini, Dosen akan datang hari ini. Penggunaan modalitas pasti, akan, dan mungkin disebut sebagai pertimbangan pribadi. Ketika pertukaran terjadi, penutur dan petutur diposisikan sebagai peran pembicara yang berbeda melalui penggunaan modus apakah memberikan informasi atau menanyakan informasi.

Martin dan Rose (2002) serta Saragih (2009) menyatakan bahwa fungsi antarpersona bersifat prosodik; bermakna bahwa fungsi ujar atau modalitas direalisasikan dengan suara. Suara penutur dapat bervariasi dalam menggunakan fungsi ujar apakah dengan intonasi datar, naik, turun, naik-turun, turun-naik dan lain sebagainya seperti pada klausa berikut. Dia mengangkat

(14)

kursi intonasi turun, Angkat kursi itu intonasi naik-turun, Mengangkat kursikah dia? intonasi turun-naik.

Fungsi tekstual merupakan fungsi bahasa untuk merangkai pengalaman. Penutur dapat merangkai atau mengurutkan pengalamannya dengan menggunakan bahasa.Apa yang diinginkan penutur untuk dipaparkan terlebih dahulu dan diikuti dengan yang lain dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa. Unsur bahasa yang dipaparkan terlebih dahulu disebut dengan tema dan yang mengikutinya disebut dengan rema. Misalnya, Presiden menyampaikan pidatonya dengan berapi-api dan Dengan berapi-api Presiden menyampaikan pidatonya. Dalam Presiden menyampaikan pidatonya dengan berapi-api, unsur yang dikedepankan adalah Presiden sedangkan dalam Dengan berapi-api presiden menyampaikan pidatonya, unsur yang dikedepankan adalah cara Presiden menyampaikan pidatonya.

2.1.5 Sistem Percakapan

Dalam pengertian LSF, sistem adalah pilihan. Sistem dinyatakan dengan sistem jaringan Dalam sistem jaringan ditampilkan ciri. Jika suatu ciri dipenuhi, maka pilihan dilakukan.

Sistem merupakan pilihanyang unsur-unsur berbentuk vertikal dan bersifat paradigmatik.

Berbeda dengan sistem, struktur merupakan urutan unsur horizontal dan bersifat sintagmatik.

Menurut Hjelmslev (1961) dalam Martin (1992:4), hubungan paradigmatik dipetakan dalam bentuk yang bersifat potensial (terpendam), sedangkan sintagmatik dalam bentuk nyata. Dengan kata lain, struktur merupakan realisasi dari sistem yang mendasarinya. Semua aspek bahasa dan konteks sosial dapat dideskripsi berdasarkan sistem dan struktur.

Untuk menggambarkan sistem, Matthiessen (1992: 632) mengkategorikannya ke dalam dua bentuk, yaitu secara matematis/aljabar dan secara grafis. Dalam kategori pertama dapat

(15)

disebutkan secara sederhana dengan bentuk ‘x: a/b’ yang berarti bahwa x direpresentasikan oleh fitur-fitur ‘a’ dan ‘b’. Secara lebih rinci sistem tersebut dapat dibaca jika terdapat ‘x’ maka pilihan yang ada adalah apakah sebuah fitur ‘a’ atau fitur ‘b’ sebagai pilihannya. Untuk kategori kedua yaitu penggunaan bentuk grafik secara sederhana dapat dilihat seperti berikut:

1. x

Notasi ini menyatakan bahwa aspek x terdiri atas a dan b. Jika dipilih x, selanjutnya x itu adalah a atau b.

Di dalam penggunaan bahasa, dapat diambil contoh yang lebih konkrit, yaitu misalnya sebuah ‘kalimat’ dapat direpresentasikan dengan pilihan ‘positif’ atau ‘negatif’. Secara aljabar, sistem ini akan terbaca sebagai ‘kalimat: positif/negatif’. Ekuivalensi sistem ini dapat terlihat pada bentuk grafik berikut:

Kalimat

Dengan mudah dapat secara langsung dipahami bahwa Kalimat bisa terdiri atas kalimat positif atau negatif. Kedua representasi ini dapat berkembang terus semakin luas ketika ketersediaan pilihan-pilihan itu semakin banyak dan semakin tertentu sesuai dengan konteks. Sistem itu bisa meluas misalnya jika ‘P’ maka x/y; jika x maka a/b; jika y maka c/d. Bentuk ini equivalen dengan grafik berikut ini.

a

b

Positif Negatif

(16)

2. P

Lebih luas lagi dapat diterangkan dari grafik tersebut bahwa aspek P terdiri dari atas 2 komponen x dan y. Selanjutnya x terdiri atas a dan b dan y terdiri atas c dan d. Setiap pilihan satu unsur akhir dari satu komponen harus disertai pilihan unsur akhir dari komponen lain. Sistem itu harus menghasilkan 4 pilihan ac, ad, bc, dan bd. Di dalam penggunaan bahasa dapat diambil contoh yang sangat konkrit seperti tergambar dalam grafik berikut ini.

Kalimat

Dari grafik ini akan terdapat empat pilihan kalimat, yaitu Kalimat : - [ Positif/Aktif ]: Dia menangkap harimau.

- [ Positif/Pasif ]: Dia ditangkap harimau.

- [ Negatif/Aktif ]: Dia tidak menangkap harimau - [ Negatif/Pasif ]: Dia tidak ditangkap harimau.

x

y

a b

c d

Sisi

Transitivitas

Positif

Negatif

Pasif Aktif

(17)

Berikut ini adalah pengembangan lebih lanjut tentang kemungkinan terbentuknya sistem yang direpresentasikan oleh salah satu dari kedua bentuk di atas. Kemudian, secara spesifik dari unsur-unsur kebahasaan diberikan contoh-contoh yang tujuan akhirnya adalah untuk memudahkan kajian ini.

3. X

Sistem ini menyatakan dua komponen menjadi satu, yakni b dan c membentuk r. Contoh dalam bahasa dapat terlihat seperti berikut:

Finite

Predicator b

c

r a

Modal

Tense

Proses

Verba

Verba Y

d

(18)

4.

Sistem ini menyatakan bahwa bila pilihannya adalah a maka akan diikuti oleh c/d, dan bila dipilih d maka muncul e/f. Sistem semacam ini dapat terlihat dalam penggunaan bahasa seperti contoh di bawah ini:

deklaratif

indikatif ya/tidak interogatif

informasi

imperatif

Contoh ini menggambarkan adanya pilihan yang berasal dari modus (sumber daya untuk menegosiasikan makna dalam percakapan), yaitu apakah pilihannya jatuh pada indikatif atau imperatif. Bila indikatif yang dipilih, maka pilihannya harus salah satu apakah deklaratif atau interogatif. Begitu pula, bila interogatif yang dipilih, terdapat lagi pilihan lainnya, apakah interogatif itu akan berbentuk klausa tanya yang bersifat ya/tidak atau klausa tanya. Jadi pilihan selalu muncul dan bukan satu-satunya, dan ini menunjukkan bahwa sistem jaringan itu dipresentasikan bahasa sebagai sebuah sumber daya dan bukan sebagai perangkat aturan (Martin, 1992:5).

X

a

b

c d

e f

Modus

(19)

Seperti yang diketahui bahwa penggunaan bahasa tidak pernah lepas dari konteks sosial.

Penggunaan unsur-unsur bahasa seperti yang telah diuraikan terdahulu sangat ditentukan oleh konteks sosial terjadinya komunikasi. Pilihan unsur bahasa seperti kalimat deklratif, imperatif, dan sebagainya oleh penutur dan petutur senantiasa berdasarkan konteks sosial. Konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideology (Martin, 1992).

Berbagai pendapat yang dirumuskan oleh pakar bahasa tentang konteks situasi seperti Poynton; Thomas, dan kawan-kawan (2000); Fowler, Hodge, Kress (2001); Romaine (2000), Holmes (2001); Stockwell (2002) dan Fitsgerald (2006) yang satu sama lain terdapat perbedaan . Namun, Perbedaan-perbedaan tersebut tidak bertentangan antara satu dengan lain . Pendapat-pendapat mereka dapat dirumuskan menjadi satu sistem yang tergambar pada Figura 2.2 yang dapat dilihat bahwa dalam konteks situasi ada unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi, yaitu status, formalitas, afektif dan kontak. Status dibedakan atas sama dan tidak sama, Formalitas adalah keadaan situasi percakapan yang dibedakan atas formal dan tidak formula, Afektif juga merupakan keadaan percakapan apakah bersifat positif atau negatif dan kontak merupakan sering atau tidak sering terjadinya komunikasi. Sistem konteks sosial tersebut juga memperlihatkan bahwa penutur dalam berkomunikasi akan memperhatikan siapa lawan bicaranya berdasarkan keempat komponen di atas. Status yang dimiliki seseorang menyebabkan orang tersebut memiliki kekuasaan ‘power’ dan dengan kekuasan yang dimilikinya memaksa seseorang melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkannya (Poynton1985; Thomas, dan kawan-kawan (2000). Keberadaan status dan kekuasaan seorang penutur di sebabkan oleh beberapa faktor seperti kekayaan, etnik, posisi sosial, umur, keadaan geografis, jenis kelamin, ilmu pengetahuan, tampilan fisik (Fowler, Hodge, Kress, 2001).

Menurut Romaine (2000), Holmes (2001), dan Stockwell (2002) keberadaan status dan

(20)

kekuasaan disebabkan oleh usia, jenis kelamin, etnik, gender, jaringan sosial, jabatan dan kelas sosial. Sementara Fitsgerald (2006), Thomas, dan kawan-kawan (2000) menyatakan bahwa selain faktor- faktor yang telah disebutkan di atas, rasis dan politik juga sebagai penyebab adanya keberadaan status dan kekuasaan. Seorang penutur yang memiliki usia lebih muda akan menggunakan kalimat tanya berikut “Apakah anda tidak keberatan mengangkat kursi itu?”

sebagai pengganti kalimat perintah ‘command’ “Angkat kursi itu!”. Selain status, penutur dalam menukarkan pengalamannya juga harus memperhatikan konteks pembicaraan terjadi apakah dalam konteks social yang biasa atau tidak biasa. Konteks sosial biasa merupakan situasi percakapan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sedangkan konteks sosial yang

Sama Status

Tidak sama

Formal Formalitas

Sistem Tidak formal

Positif Afekif

Negatif

Sering kontak

Tidak sering

Figura 2.2: Sistem Percakapan berdasarkan Konteks Situasi

(21)

tidak biasa merupakan aktivitas sosial yang berkaitan dengan budaya dan agama. Dalam bertukar pengalaman, penutur dan petutur juga dapat melakukan pilihan apakah secara langsung maupun tidak langsung, yaitu penutur berhadapan langsung dengan petutur atau menggunakan sarana komunikasi.

Berdasarkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan penutur dan petutur, maka dapat diinterpretasikan bahwa dalam bertukar pengalaman atau lebih tepatnya dalam berkomunikasi terjadi suatu sistem jaringan, di mana para penutur dan petutur dapat melakukan pilihan-pilihan seperti yang tergambar dalam Figura 2.3.

A 1.Petutur B

Langsung 1.Peristiwa 2. Kontak

Tidak langsung Biasa

3.Konteks

1. Memulai Tidak biasa Sistem Percakapan 2. Orientasi

2. Menanggapi

1. Ada 3. Interaksi

2. Tidak ada

Figura 2.3 : Sistem Jejaring Percakapan

(22)

Figura 2.3 memperlihatkan bahwa sistem percakapan secara umum terdiri dari tiga faktor, yaitu peristiwa, orientasi dan interaksi. Peristiwa sebagai faktor pertama terdiri dari tiga unsur, yaitu penutur, kontak dan konteks. Petutur biasanya terdiri dari dua orang atau lebih yang satu sama lain dapat berbicara langsung, Kontak sebagai unsur kedua dari peristiwa merupakan keadaan komunikasi yang terjadi apakah penutur melakukan komunikasi secara langsung atau menggunakan sarana komunikasi. Orientasi adalah peran penutur memulai atau menanggapi. Interaksi sebagai faktor ketiga dari sistem percakapan adalah kelangsungan percakapan. Jika percakapan berlangsung, maka terjadi interaksi dan jika tidak berlangusng berarti tidak ada interaksi.

Konteks merupakan situasi terjadinya percakapan apakah percakapan berlangsung alam situasi formal atau tidak formal, situasi biasa dan tidak biasa. Orientasi sebagai faktor kedua dalam sistem percakapan memperlihatkan apakah penutur memulai atau menanggapi percakapan. Faktor ketiga dari sistem percakapan adalah interaksi. Bila ada tanggapan akan terjadi interaksi dan percakapan akan berlanjut sesuai kebutuhan penutur. Bila tidak ada tanggapan, maka tidak terjadi interaksi. Berdasarkan pilihan-pilihan di atas, penutur menukarkan pengalamannya yang akan membentuk struktur percakapan

2.1.6 Struktur Percakapan

Struktur merupakan realisasi dari sistem. Sistem bersifat vertikal dan merupakan pilihan, sedangkan struktur bersifat horizontal dan merupakan urutan atau susunan. Konteks sosial dideskripsikan secara paradigmatik, yaitu berbentuk sistem dan sebaliknya, langkah percakapan direalisasikan dalam struktur.

(23)

Setelah diambil sebuah pilihan dari sistem itu, pilihan itu kemudian dapat direpresentasikan dengan struktur seperti contoh berikut di mana yang dipilih adalah ‘hormat’

yang bersumber dari posisi ‘tidak sama’ dari segi pilihan ‘status’.

Struktur: + hormat k2: Pak, boleh saya pergi?

+ positif k1: Ya.

Untuk dapat menjabarkan struktur percakapan lebih rinci dan jelas, maka akan diuraikan terlebih dahulu negosiasi, modus, fungsi ujar dan respon.

2.1.6.1 Negosiasi Fungsi Ujar, Modus, dan Tanggapan ‘Respon’

Negosiasi dan fungsi ujar merupakan bagian dari semantik wacana, yang keduanya kemudian direalisasikan oleh modus sesuai dengan konteksnya. Negosiasi dan fungsi ujar berperan penting dalam menganalisis wacana karena maksud dari penutur akan tercapai jika dinegosiasikan dengan penggunaan fungsi ujar yang bersesuaian dengan hubungan tenor yang terlibat dalam komunikasi.

a. Negosiasi

Martin (1992:31) menyatakan bahwa negosiasi merupakan struktur percakapan dalam bentuk langkah ‘move’. Dalam hal yang sama Martin dan Rose (2002:219) menyatakan bahwa negosiasi berhubungan dengan interaksi sebagai suatu pertukaran langkah di antara para penutur. Bagaimana para penutur mengadopsi dan menandai perannya masing-masing di dalam percakapan serta bagaimana langkah-langkah disusun dalam kaitan satu dengan yang lain.Langkah itu sendiri diartikan sebagai fungsi atau peran yang dimainkan oleh penutur

‘addresser’ dalam sebuah percakapan yang berhubungan dengan fungsi atau peran yang

(24)

dimainkan oleh petutur ‘addressee’ dan komoditas yang dipertukarkan (Saragih, 2006:14).

Sedangkan menurut Martin (1992) ‘move’ adalah titik keberangkatan yang berharga.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik tiga parameter yang perlu dipertimbangkan dalam percakapan, yaitu apa yang akan dinegosiasikan, peran apa yang dilakukan, memulai percakapan atau merespon percakapan serta apakah memberi atau meminta informasi atau memberi atau meminta barang atau jasa (Martin dan Rose, 2002:222). Dalam meminta dan memberi informasi yang diharapkan adalah respon verbal atau gerak badan ‘gesture’

sedangkan jawaban yang diharapkan dapat berbentuk respon verbal atau aksi atau sekaligus keduanya, yaitu respon verbal dan respon aksi.

Contoh berikut memperlihatkan bahwa A memulai percakapan dengan meminta informasi kepada B (respon).

A : Enggo dung bandu kerina? ‘Sudah siap semua kau buat’?

B : Enggo ‘sudah’

Percakapan berikut merupakan contoh meminta dan barang atau jasa. L memulai percakapan dan M merespon.

L : Banci kita ngerana entisik ‘Boleh kita sebentar bercakap-cakap’?

M : (lalu mereka memulai percakapan)

Kedua contoh di atas memperlihatkan ilustrasi parameter pertama dan kedua yaitu apa yang dinegosiasikan dan peran apa yang dilakukan penutur yaitu memulai atau merespon. A dan L memulai percakapan atau langkah serta B dan M merespon percakapan. Respon yang diberikan B dalam bentuk elipsis sedangkan M tidak memberikan respon verbal tetapi melakukan apa yang diinginkan L.

(25)

Parameter ketiga adalah memberi versus meminta. Memberi atau meminta terdiri dari dua jenis memberi atau meminta informasi dan memberi atau meminta barang atau jasa.

Memberi informasi (pernyataan ‘statement’)

A : Lenga sahun itaruhkenna nande ku kuta ‘Belum jadi mamak diantarkannya ke kampung’

B : Bage nge? ‘Begitunya?

Memberi barang atau jasa (tawaran ‘offer’) A : Man kam pa? ‘Makan bapak?

B : Ue, yah ‘ya’

Meminta informasi ( pertanyaan ‘question’)

A : Enggo kam man pa? ‘Bapak sudah makan’?

B : Enggo ‘sudah’

Meminta barang atau jasa (tawaran ‘command’)

A : Tama nakan ku nakku? ‘Taruh nasi bapak, nak.

B : Ue, pa ‘ya, pak’

b. Fungsi Ujar

Dalam makna antarpersona Halliday (1994:69) menggolongkan fungsi ujaran ke dalam empat kelompok yaitu: tawaran ‘offer’, perintah ‘command’, pernyataan ‘statement’, dan pertanyaan ‘question’. Keempatnya kemudian dipasangkan dengan respons yang diharapkan yaitu menerima tawaran ‘accepting an offer’, melaksanakan perintah ‘carrying out command’, mengakui pernyataan’ acknowledging a statement’, menjawab pertanyaan ‘answering a question’. Thompson (1996:39) menyatakan bahwa tujuan fundamental dalam pertukaran komunikatif adalah memberi (dan menerima) atau meminta (dan diberi) komoditas tertentu.

(26)

Komoditas yang dipertukarkan dalam fungsi ujaran ini terbagi dua yaitu: (1) informasi dan (2) barang & jasa. Yang termasuk ke dalam informasi adalah pernyataan dan pertanyaan, sedangkan tawaran dan perintah termasuk ke dalam barang & jasa. Kemudian, pernyataan dan pertanyaan dianggap sebagai proposisi, dan tawaran dan perintah dianggap sebagai proposal.

Keempat fungsi ujar itu disebut juga sebagai fungsi ujar dasar karena dari keempat fungsi ujar itu dapat diturunkan fungsi ujar yang lain. Secara ringkas Tabel 2.1 memperlihatkan keempat fungsi ujar dan respon terhadap fungsi ujar tersebut.

Tabel 2.1 Fungsi Ujar dan Respons Inisiasi Respons yang

diharapkan

Respons alternatif memberi

menerima memberi menerima

barang & jasa barang & jasa informasi informasi

tawaran perintah pernyataan Pertanyaan

diterima dilaksanakan diakui dijawab

ditolak

tidak dilaksanakan dibantah

tidak dijawab

Tabel 2.1 memperlihatkan terjadinya delapan tindak tutur yang membentuk hati sistem wacana semantik. Selanjutnya Martin dan Rose menyatakan bahwa paling sedikit lima tindak tutur yang dibutuhkan untuk melengkapi tindak tutur yang terdapat dalam tabel di atas. Dua di antaranya adalah salam perjumpaan dan respon terhadap salam tersebut. Ketiga adalah tindak tutur memanggil dan respon terhadap panggilan. Yang terakhir adalah seruan ‘exclamation’ . Tindak tutur ini tidak memiliki respon khusus karena semua tindak tutur yang lainnya dapat direspon dengan tindak tutur seruan. Seruan atau ‘exclamation’ bukan sesuatu yang dapat dinegosiasikan sehingga tidak diperhitungkan sebagai langkah respon. Berdasarkan uraian fungsi ujar di atas diperoleh tiga belas fungsi ujar yang yang dapat digambarkan pada Figura 2.4

(27)

Ekspressi seruan

memulai salam

menyapa

menanggapi jawaban salam

orientasi memulai panggilan

memanggil

Berbicara menanggapi jawaban panggilan

memulai pernyataan

Memberi

Informasi menanggapi jawaban ke pernyataan

memulai pertanyaan

meminta negosiasi

menanggapi jawaban ke pertanyaan

memulai tawaran

memberi

menanggapi jawaban ke tawaran

barang dan

jasa memulai perintah

meminta

menanggapi jawaban ke

perintah

Figura 2.4 Sistem Jejaring Fungsi Ujar

(28)

Figura 2.4 memperlihatkan bahwa fungsi ujar dapat digunakan untuk berekspresi dan berbicara. Ekspresi adalah seruan, seperti oh, uh, ehm dan ekpsresi tidak memiliki tanggapan karena ekspresi juga dapat sebagai tanggapan dari fungsi ujar yang lainnya.

Ketika penutur berbicara maka dia dapat melakukan pilihan apakah orientasi atau negosiasi. Jika orientasi yang dipilih, maka ada dua pilihan yang dapat dilakukan apakah menyapa atau memanggil. Demikian pula negosiasi, terdapat dua pilihan apakah melakukan negosiasi informasi atau negosiasi barang dan jasa. Dalam negosiasi informasi juga terdapat pilihan apakah meminta atau memberi. Demikian juga dalam negosiasi barang dan jasa terdapat dua pilihan apakah menawarkan atau memerintah. Tanggapan bisa saja tidak terjadi.

Berdasarkan uraian ini, maka terdapat tiga belas fungsi ujar dan setiap fungsi ujar direalisasikan dalam modus yang berbeda.

c. Modus

Dari Tabel 2.1 akan terbentuk satu sistem dan struktur, misalnya bila ada pernyatan memberi informasi, maka pilihannya ada dua, yaitu diakui dan dibantah, dan bila ada pertanyaan menerima informasi, maka pilihannya adalah dijawab atau tidak dijawab.

Sistem:

dijawab pertanyaan (interogatif)

Struktur:

pertanyaan k2 : A : Kemana perginya si Budi?

dijawab k1 : B : Ke rumah pamannya.

tidak dijawab

(29)

Thompson (1996:40) menyebutkan bahwa tiga dari keempat fungsi ujar itu berhubungan erat dengan struktur gramatika tertentu. Pernyataan sering diujarkan dengan klausa deklaratif, pertanyaan dengan klausa interogatif, dan perintah dengan klausa imperatif. Yang aneh adalah tawaran karena tidak ada pilihan modus tertentunya, namun tawaran lebih berhubungan dengan modalitas. Dalam leksikogrammatika, modus memiliki peranan yang sangat khusus karena di dalam moduslah wacana semantik terealisasi. Eggins (1994:153) menyimpulkan fungsi ujar dan modus klausa yang biasa digunakan yang dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Fungsi Ujaran dan Modus Klausa Tipikal

Fungsi Ujaran Modus Tipikal dalam Klausa

Pernyataan Modus deklaratif

Pertanyaan Modus interogatif

Perintah Modus imperatif

Tawaran Modus interogatif termodulasi

jawaban Modus deklaratif eliptikal

pengakuan Modus deklaratif eliptikal

penerimaan klausa minor

persetujuan klausa minor

Modus memiliki struktur tersendiri, yang pada intinya terdiri dari dua komponen yaitu komponen Subjek dan komponen Finite. Kedua komponen inilah yang membentuk sebuah modus. Subjek biasanya nominal group dan didefinisikan sebagai partisipan terpenting dalam klausa, orang atau benda yang dimaksud oleh proposisi dan tanpanya tidak terjadi argumen atau negosiasi. Percakapan tidak dapat berlangsung tanpa hadirnya sebuah Subjek. Sedangkan Finite mengekspresikan bagian proses klausa itu yang memungkinkannya berargumen tentang partisipan Subjeknya. (Eggins & Slade, 1997:75&77).

Berdasarkan uraian di atas diperoleh tiga belas fungsi ujar. Untuk dapat menganalisis percakapan harus diketahui bagaimana cara membedakan satu dengan yang lain fungsi ujar

(30)

tersebut. Misalnya, fungsi ujar perintah ‘command’ lazimnya direalisasikan dengan modus imperatif, namun dapat juga direalisasikan dengan bentuk gramatika yang berbeda, yaitu deklaratif dan interogatif.

Contoh:

Ateku ngerana kam ras ia perintah deklaratif ‘Aku mau kau berbicara dengannya’

Banci kang kam ngerana ras ia ? perintah Interogatif ‘Bisa kau berbicara dengannya?’

Ula kam ngerana ras ia perintah imperatif ‘jangan kau berbicara dengannya ‘

Demikian pula halnya dengan fungsi ujar yang lain, seperti pertanyaan. Dalam bahasa Inggris pada umumnya pertanyaan direalisasikan dengan menggunakan kalimat tanya wh- question, tetapi dalam menanyakan nama seseorang tidak hanya dapat dilakukan dengan penggunaan kalimat tanya wh –question tetapi juga dengan penggunaan polaritas pertanyaan.

Penggunaan polaritas memberi pilihan untuk menolak pertanyaan.

Contoh:

Pertanyaan yang direalisasikan dengan penggunaan wh- question

What is your name? ‘siapa namamu’?

Pertanyaan yang direalisasikan dengan penggunaan penggunaan polaritas

Could you tell me your name? ‘Dapatkah kau katakan siapa namamu’?

Dalam posisi atau status yang berbeda untuk menanyakan nama seseorang dapat digunakan modus imperatif atau deklaratif yang tidak lengkap.

Contoh:

Pertanyaan yang direalisasikan dengan penggunaan imperatif

(31)

Tell me your name ‘Bilang siapa namamu’

Pertanyaan yang direalisasikan dengan penggunaan deklaratif tidak lengkap

And your name is....? ‘Dan namamu...’?

Mengikuti pendapat Halliday dan Matthiessen (2004) segala sesuatu yang sama disebut bersesuaian ‘congruent’ dan yang tidak langsung disebut metapora. Pembahasan kesesuaian fungsi ujaran dan modus merupakan salah satu dimensi dari metapora gramatika.

Dari satu sudut pandang, semua contoh di atas menghasilkan hal yang sama di mana penutur meminta dan memberi informasi yang diinginkan. Pada kasus yang sama terjadi realisasi yang berbeda yang mengkonstruksikan hubungan sosial yang berbeda di antara tenor dan memberikan peluang bagi mereka untuk memulai kemungkinan-kemungkinan negosiasi.

Dalam bahasa Inggris kalimat tanya dipolakan dengan menggunakan kalimat tanya wh- question dan kalimat tanya dengan jawaban ya/ tidak yes/no question serta penggunaan finite.

Dalam bahasa Indonesia dan bahasa karo agak berbeda, kalimat tanya dengan menggunakan kata tanya dan kalimat tanya dengan jawaban ya/tidak dengan intonasi menaik dan tanpa finite.

Contoh:

Interogatif menggunakan kata tanya wh-question Bahasa Inggris: When did you come here ? Bahasa Indonesia: Kapan kau datang ke sini?

Bahasa Karo: Digan kam reh ku jenda?

Interogatif menggunakan kata yes/question Bahasa Inggris: Is your mother ill?

Bahasa Indonesia: Sakit ibumu?

Bahasa Karo: Sakit nande ndu?

(32)

Kalimat tanya yes /no question dalam bahasa Inggris menggunakan finite dengan intonasi turun-naik sedangkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Karo tidak menggunakan finite dengan intonasi turun-naik. Kalimat tanya dalam bahasa Indonesia juga dapat dalam bentuk deklaratif dengan intonasi turun-naik. Hal ini terjadi karena bahasa Indonesia dan bahasa Karo dan bahasa-bahasa lainnya dikodekan berdasarkan prosodi bukan struktural sedangkan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa yang terdapat di benua Eropah dikodekan berdasarkan struktural

Contoh : Nande ndu sakit? ‘Ibumu sakit? (intonasi turun-naik)

d. Tanggapan ‘Respond’

Fungsi ujar yang diekspresikan penutur menempatkan petutur pada posisi menanggapi.

Tanggapan berkembang dari struktur Subject – Finite langkah inisiasi yang berbentuk klausa lengkap, Subject dan Finite, klausa tidak lengkap (modalitas, polaritas, dan temporalitas) atau atau tanda-tanda polaritas (misalnya ya, tidak, baiklah) dan sebagainya.

Contoh berikut merupakan bentuk-bentuk respon seperti yang disebutkan di atas.

A: Does Amir live here?

‘Apakah Amir tinggal di sini’?

B: Dia tinggal di sini ( Respon dengan klausa Lengkap) A: Apakah Amir di rumah hari ini?

B: Dia di rumah ( Respon dengan Subject-Finite)

A: Does Amir live here? ‘Apakah Amir tinggal di sini’?

B: Yes ‘ya’ ( Respon dengan tanda-tanda polaritas)

A: Did Amir went to Jakarta yesterday? Apakah kemarin Amir berangkat ke Jakarta?

B: Perhap ‘Mungkin’ ( Respon dengan modal adverb)

A: Has Amir gone ‘Apakah Amir sudah pergi’?

B: Not yet ‘Belum ‘ (Respon dengan klausa temporal adverb)

(33)

Dalam percakapan sedikitnya terdapat satu langkah yang diperankan oleh penutur dalam melakukan transaksi komoditas berupa imformasi, barang dan jasa. Oleh karena itu percakapan dianalisis berdasarkan komoditas dan peran penutur. Peran yang dilakukan penutur dikatagorikan dengan 1 dan 2 yang masing-masing disebut primair dan sekunder. Orang yang memiliki sesuatu bermakna memiliki peran primair ditandai dengan 1 dan orang yang meminta sesuatu bermakna memiliki peran sekunder ditandai dengan 2. Jika percakapan berlanjut ditandai dengan f (follow up)

Sesuatu yang ditransaksikan oleh penutur disebut komoditas yang terdiri dari informasi barang dan jasa. Komoditas informasi ditandai dengan k dan komoditas barang dan jasa ditandai dengan a. Oleh karena itu penutur yang memiliki komoditas informasi ditandai dengan k1 dan penutur yang meminta informasi ditandai dengan k2. Selanjutnya penutur yang memiliki barang dan jasa ditandai dengan a1 dan penutur yang meminta barang dan jasa ditandai dengan a2. Jika percakapan berlanjut, k1 dan k2 menjadi k1f dan k2f, 1 dan a2 menjadi a1f dan a2f. Langkah yang berbeda dari penutur yang berbeda dihubungkan dengan garis lurus seperti pada contoh (1) di mana langkah k2 dan k1 dihubungkan oleh garis lurus. Langkah yang sama dari penutur yang sama serta langkah dinamis dihubungkan dengan tanda panah melengkung. Contoh (6) memperlihatkan bahwa langkah a2 dan a1 dihubungkan oleh garis lurus dan di antara kedua langkah tersebut terdapat dinamika langkah yang dihubungkan oleh tanda panah melengkung.

Contoh berikut menunjukkan bahwa A meminta informasi kepada B:

(1)

k2 A : Digan berkat nande ndu ‘ Kapan berangkat ibumu’?

k1 B : Sendah bi ‘ hari ini bik ‘

Dalam percakapan ini, A dinyatakan sebagai k2 ‘secondary knower move’ karena ia meminta informasi dengan harapan adanya jawaban dari B. Sedangkan B sebagai pemilik informasi

(34)

diistilahkan dengan k1 ‘primary knower move’. Langkah k2 digunakan karena A tidak mengetahui atau memiliki informasi. Ia kemudian mengetahui informasi setelah B memberitahunya. Jadi, yang lebih dahulu mengetahui informasi adalah B. Itulah sebabnya A dinyatakan sebagai k2 dan B sebagai k1. Namun percakapan itu bisa saja berlanjut menjadi:

(2)

k2 : A : Kuja laus na Budi ? ‘Kemana perginya si Budi’?

k1 : B : Ku rumah mamana ‘Ke rumah pamannya’.

k2f : A : Bujur yah ‘Terima kasih ya’.

k1f : B : Bujur ‘Sama-sama’

Tindak lanjut A terhadap jawaban B dinyatakan dengan k2f ‘secondary knower’s follow-up’ dan tindak lanjut B disebut dengan k1f ‘primary knower’s follow-up’. Sehingga diperoleh struktur percakapan sebagai k2^k1^(k2f)^(k1f) yang berarti k2f dan k1f bisa muncul bisa juga tidak.

Dalam situasi lain, A sudah mengetahui jawabannya namun ia seolah-olah bertanya kepada B. Ini sering terjadi dalam konteks percakapan di kelas ketika guru menguji kemampuan siswanya secara lisan.

Contoh:

(3)

dk1 : A : Disebut apakah hewan pemakan daging?

k2 : B : Karnivora k1 : A : Bagus

Struktur percakapan ini adalah dk1^k2^/k1/. A disebut sebagai dk1 ‘delayed primary knower’

yang menunjukkan bahwa orang yang bertanya sebenarnya sudah mengetahui jawabannya.

(35)

Begitu juga dengan interaksi dengan tujuan untuk memberikan atau meminta barang dan jasa ‘goods & services’, strukturnya dapat terbentuk sedemikian rupa dengan istilah yang berbeda dengan permintaan dan pemberian informasi.

Contoh:

(4)

da1 : A : Kopi man bandu? ‘Minum kopi’?

a2 : B : Ue ‘Ya’.

a1 : A : Enda kopi ndu ‘Ini kopinya’.

a2f : B : Bujur ‘Terima kasih’.

a1f : A : Bujur ‘Sama-sama’

Struktur percakapan itu dapat dipahami sebagai da1 ^ a2 ^ a1 ^ (a2f) ^ (a1f). dA1 merepresentasikan orang yang menunda pemberian barang & jasa ‘delayed primary actor’, a2 orang yang meminta barang dan jasa ‘secondary actor’, a1 orang yang memberi barang dan jasa ‘primary actor’, a2f langkah tindak lanjut orang yang meminta barang dan jasa, dan a1f langkah tindak lanjut orang yang memberi barang dan jasa.

d. Dinamika Langkah

Contoh-contoh percakapan di atas menggambarkan hanya kondisi-kondisi percakapan yang biasa tanpa terjadi dinamika di dalamnya. Percakapan-percakapan semacam itu bisa saja bersifat hipotetikal dan bukan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam percakapan atau wacana yang lebih luas dan lebih alami bisa saja muncul penghalang. Martin (1992:66) menyatakan bahwa interaksi tidak selalu terbentuk berpasangan ‘adjacency pair’; ini berarti bahwa bila sebuah ujaran meminta informasi atau barang dan jasa disampaikan maka jawaban atau aksi yang diterima secara langsung memenuhi keinginan orang yang menyampaikan ujaran

(36)

itu begitu juga sebaliknya. Saragih (2006:16) juga mengungkapkan hal yang sama: sejumlah kendala bisa saja terjadi dalam sebuah interaksi ‘some hindrances may occur to the smoothness of an interaction’ Kendala-kendala itu diklasifikasikan ke dalam tantangan ‘challenge’, klarifikasi ‘clarification’, dan konfirmasi ‘confirmation’. Contoh-contoh berikut akan memberikan ilustrasi yang jelas:

(5)

a2 A : Buatken sitik teh ku dek ‘ambilkan teh ku dik’

ch B : Laku sempat bang Sangana aku sibuk bang ‘Tidak sempat aku bang aku sedang sibuk bang’

Dalam percakapan itu proposisi yang disampaikan a2 ditolak oleh pendengar dengan tantangan

‘challenge’ (ch) disertai dengan justifikasi penolakannya.

(6)

a2 : A : Tukurken ge tambar ku dek ‘belikan obatku dek’

cl : B : mmm, gundari? ‘mmm, sekarang?

rcl : A : Ue.’ya ‘

a1 : B : Ue yah ‘baiklah’

Ujaran pertama B sebagai respons perintah a2 dianggap sebagai klarifikasi ‘clarification’ (cl), sedangkan respons A disebut dengan respon terhadap klarifikasi ‘response to clarification’ (rcl).

Setelah itu barulah muncul a1.

(7)

a2 : A : Tukurken ge sitik bengkau ‘ Tolong belikan lauk’

cf : B : Bengkau? ‘Lauk’?

rcf : A : Ue ‘ya’

a1 : B : Ue yah ‘baiklah’

Dalam konteks ini aksi yang diharapkan dari B juga tertunda dengan adanya konfirmasi

‘confirmation’ (cf) yang dimintanya atas ujaran a1. Respons A dalam percakapan seperti ini disebut dengan ‘response to confirmation’ (rcf).

(37)

Semua langkah dalam contoh 1s/d7 adalah tipikal percakapan yang terjadi antara partisipan dengan peran yang setara sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada sistem percakapan terdahulu.

Jika Martin (1992) mengklasifikasikan dinamika langkah atau kendala-kendala percakapan ke dalam tantangan ‘challenge’, klarifikasi ‘clarification’, dan konfirmasi

‘confirmation’. Lain pula halnya dengan Ventola (1987), Ventola mengklasifikasikan kendala- kendala tersebut menjadi dua bagian, yaitu (1) langkah sinopsis ‘Synopsis moves’ dan (2) langkah dinamis ‘dynamic moves’. Langkah sinopsis adalah langkah yang standar dan sederhana.

Contoh:

(1)

k1 A: Ujian dimulai tepat pukul 08.00.

k2 B: Baik, pak

Struktur percakapan tersebut sangat sederhana, k1 dan k2 hanya terdiri dari satu informasi.

Langkah dinamis adalah langkah yang lebih kompleks dari langkah sinopsis. Satu struktur dapat berisikan dua atau lebih informasi dan juga terdapat kendala-kendala di dalamnya.

Contoh:

(2)

k1 Dosen : Besok kita berangkat pukul 07.00

k1: Semua peserta diharapkan hadir tepat waktu k1: Kita berkumpul di Kantor

k2: Mahasiswa: Baik Pak (3)

k1 Dosen : Besok kita berangkat pukul 07.00

k1: Semua peserta diharapkan hadir tepat waktu cf: Mahasiswa: Pukul 07.00?

rcf: Dosen: Ya k2: Mahasiswa: Baik Pak

(38)

Langkah dalam percakapan (2) dan (3) ini lebih kompleks dari langkah dalam percakapan (1).

Percakapan (1) informasi k1 yang diberikan dosen lebih dari satu dan sangat sederhana sedangkan pada percakapan (2) selain informasi k1 yang diberikan dosen lebih dari satu juga terdapat kendala yang berbentuk konfirmasi dan respon terhadap konfirmasi. Langkah dinamis konfirmasi bertujuan untuk memastikan apa yang didengar sebelumnya. Langkah dinamis tidak hanya berbentuk klarifikasi dapat juga berbentuk, tantangan, respon terhadap klarifikasi dan tantangan, ulangan, bahkan tidak ada jawaban ‘Non verbal’ juga termasuk dalam dinamika langkah. Berdasarkan bentuk-bentuk langkah dinamis yang terdapat di dalam percakapan, Ventola membagi langkah dinamis atas tiga bahagian, yaitu ( 1) Perluasan ‘suspending’ yang terdiri atas empat bagian, yaitu konfirmasi ‘confirmation’, pemindai ‘back chanelling’, respon terhadap konfirmasi‘respon to confirmation’, dan cek ‘checking’; (2) pengguguran/pembatalan

‘aborting’ yang berguna untuk menantang percakapan yang sebelumnya, yang termasuk di dalamnya adalah tantangan ‘challenge’ dan respon terhadap tantangan ‘respone to challenge’;

dan (3) penjelasan terhadap apa yang didengar sebelumnya ‘elucidating’ yang terdiri dari klarifikasi dan respon terhadap klarifikasi ‘clarification’ dan ‘respon to clarification’.

Selanjutnya Martin menyatakan bahwa struktur percakapan baik memberi dan meminta informasi maupun memberi dan meminta jasa dapat diformulasikan sebagai berikut.

1. Memberi dan meminta informasi: (dk1) ^ (k2) ^ k1^ (k2f) ^ (k1f) dan dari formula ini dapat diturunkan sembilan struktur percakapan berikut:

1. k1 2. k1^ k2f 3. k1^k2f ^ ^k1f 4. k2^k1

(39)

5. k2^k1^k2f 6. k2 ^k1^k2f^k1f 7. dk1^k2^k1 8. dk1^k2^k1^k2f 9. dk1^k2^k1^k2f^k1f

2. Memberi dan meminta barang atau jasa: (da1) ^ (a2) ^ a1^ (a2f) ^ (a1f) dan dari formula ini dapat diturunkan sembilan struktur percakapan berikut:

1. a1 2. a1^ a2f 3. a1^a2f ^ a1f 4. a2^a1 5. a2^a1^a2f 6. a2 ^a1^a2f^a1f 7. da1^a2^a1 8. da1^a2^a1^a2f 9. da1^a2^a1^a2f^a1f

Namun Martin menambahkan bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya pengembangan dari formula tersebut karena struktur yang ditetapkannya adalah struktur berdasarkan percakapan yang lazim terjadi di masyarakat dan konteks sosial merupakan salah satu penyebab terjadinya perkembangan struktur tersebut. Struktur percakapan di atas terjadi karena adanya pilihan yang dilakukan penutur dan petutur dalam bertukar pengalaman. Ketika penutur memulai percakapan, penutur melakukan pilihan apakah meminta informasi (k2) atau memberikan informasi (k2) atau meminta jasa (a2) dan memberikan jasa (a1). Selanjutnya bila terjadi tanggapan maka akan

(40)

berkembang menjadi k1f dan k2f dalam meminta atau memberi informasi dan berkembang menjadi a2f dan a1f dalam meminta dan memberi jasa. Pilihan-pilihan yang dilakukan penutur dan petutur dalam menukarkan pengalaman membentuk sistem jejaring percakapan yang dapat dilihat pada Figura 2.1. Pilihan-pilihan yang terdapat dalam figura tersebut dapat saja berubah dalam bahasa-bahasa tertentu di mana konteks situasi terjadinya percakapan dan hubungan antara penutur dan petutur memberikan pengaruh terhadap pembentukan struktur percakapan.

2.1.7 Stratifikasi Struktur Percakapan

Bahasa merupakan sistem semiotik yang kompleks yang terdiri dari banyak tingkatan, atau strata. Strata yang paling utama, yaitu inti paling dalam bahasa, adalah gramatika, yang dalam konteks LSF disebut dengan leksikogramatika. (Halliday, 1985:15). Leksikogramatika dalam makna antarpersona adalah modus, di mana di dalam modus inilah terealisasi Subjek (sebagai partisipan terpenting) dan Finite (sebagai bagian proses klausa agar dapat bernegosiasi tentang partisipan Subyeknya). Modus, seperti dikatakan sebelumnya, berhubungan dengan fungsi ujaran dengan jaringannya yang dapat terbentuk. Martin (1992:45) menjabarkan tujuh adjacency pairs sebagai berikut:

1. Panggilan [attending:calling/initiating]

Tanggapan terhadap panggilan l [attending:calling/responding to]

2. Salam [attending:greeting/initiating]

Tanggapan terhadap salam [attending:greeting/responding to]

3. Seruan [negotiating:reacting/initiating]

Tanggapan terhadap seruan [negotiating:reacting/responding to]

4. Tawaran [negotiating:exchanging:giving/goods & services//initiating]

(41)

Perimaan tawaran [negotiating:exchanging:giving/goods & services//responding to]

5. Perintah [negotiating:exchanging:demanding/goods & services/initiating]

Tanggapan terhadap perintah [negotiating:exchanging:demanding/goods & service//

responding to]

6. Pernyataan [negotiating:exchanging:giving/information/initiating]

Tanggapan terhadap pernyataan [negotiating:exchanging:giving/information/ responding to]

7. Pertanyaan [negotiating:exchanging:demanding/information/initiating]

Tanggapan terhadap pertanyaan [negotiating:exchanging:demanding/information/responding to]

Martin dan Rose (2002) seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa seruan tidak memiliki pasangan tertentu karena seruan dapat sebagai tanggapan terhadap keenam fungsi ujar lainnya

Adjacency pairs ini tidak dapat menunjukkan bagaimana pertukaran itu berlangsung berdasarkan sequence of interacts, melainkan modus dan fungsi ujarnya hanya mencakup individual interacts. Karena itu, Martin menggunakan pendekatan Birmingham school yang melihat struktur pertukaran berdasarkan skala tingkatan, yakni langkah dan pertukaran, di mana pertukaran itu mengandung struktur dengan tiga bagian yaitu Initiation^(Respons)^(Feedback).

2.1.8 Pertukaran, Langkah, dan Aksi

Pertukaran dapat didefinisikan sebagai urutan langkah yang berhubungan dengan negosiasi sebuah proposisi yang dinyatakan secara tersurat dan tersirat dalam langkah sebelumnya. Pertukaran dapat diidentifikasi sebagai sebuah awal dengan langkah pembuka, dan berlanjut hingga langkah pembuka lainnya terjadi. (Eggins dan Slade, 1997:222). Jadi,

(42)

pertukaran berisikan langkah-langkah untuk menyampaikan atau menegosiasikan sebuah proposisi, yang bisa saja terindikasikan secara eksplisit maupun implisit. Martin (1992:50) menggambarkan pertukaran, langkah, dan aksi berdasarkan strata dan tingkatan sebagai berikut:

Langkah seperti dikatakan Halliday dalam Eggins dan Slade (1997:185) merupakah realisasi dari pola wacana fungsi ujar, yang dipertentangkan dengan klausa karena klausa merupakah realisasi pola gramatika modus. Langkah dan klausa saling tidak berhubungan baik dari ukuran maupun konstituensi; dengan kata lain, langkah tidak terbentuk dari klausa, dan klausa bukan merupakan bagian dari langkah. Hubungan keduanya hanya bahwa langkah, yang merupakan unit wacana, direalisasikan dalam bahasa melalui klausa, yang merupakan unit gramatika.

tingkat sistem sistem tingkat

pertukaran

langkah klausa Semantik wacana leksikogramatika

Figura 2.5: Perangkat Dialog (dengan strata dan tingkat)

Dalam contoh berikut dapat dilihat bagaimana langkah respons, fungsi ujaran, dan struktur pertukaran muncul dalam interaksi:

(8)

A : Bisa saya tahu nomor telepon si Kasim?

B : Ya, saya punya. 7947892 NEGOSIASI

FUNGSI MODUS UJARAN

(43)

Langkah respons dalam contoh ini bersumber dari gramatikanya (Bisakah anda...Ya), fungsi ujarnya (tahu....saya punya) dan struktur pertukarannya (nomor telepon si Kasim... 7947892).

Struktur ini disebut dengan k2^k1 (karena pertukaran itu hanya bisa terjadi dengan memberikan informasi yang tepat); k2 direalisasikan dengan permintaan akan jasa, yang kemudian dikodekan melalui gramatika sebagai sebuah interogatif polar termodalisasi.

Pada tingkat berikutnya dalam struktur multivariate yang digunakan Martin mengadopsi Birmingham school muncul aksi (act) sebagai konstituensi dalam langkah. Dengan kata lain, aksi merupakan unsur struktur langkah sehingga keduanya tidak terpisahkan karena aksi dibatasi oleh langkah. Martin mengadopsi interpretasi Butler yang berfokus pada langkah negosiasi barang &

jasa. Dengan interpretasi ini, Butler memperkenalkan dua jenis aksi Pre-Head dalam langkah A2 (sebagai aktor sekunder) yaitu starter dan preface. Starter didefinisikannya sebagai directing attention’ terhadap hal tertentu untuk dapat menghasilkan respons pendengar terhadap inisiasi yang akan muncul, sedangkan preface sebagai ‘penanda reintroduksi topik teralihkan, atau interupsi, atau tanggapan personal terhadap apa yang akan muncul’.

Contoh:

a2 preface Tentang perjanjian yang bapak sebutkan tadi, direktif Oh, ya. Tolong persiapkan.

Dalam Post-Head ia juga memperkenalkan comment dan prompt. Comment berfungsi memperluas, menjustifikasi atau memberikan informasi tambahan terhadap informatif atau komentar awalnya dan prompt memperkuat direktif atau elisitasi awalnya.’ Contoh:

a2 preface Tentang perjanjian yang bapak sebutkan tadi, direktif Oh, ya. Tolong persiapkan.

comment Tapi sudah terlambat, Pak.

(44)

Selain untuk a2, aksi Pre-Head dan Post-Head juga diperkenalkan untuk langkah a1;

untuk Post-Head, comment didefinisikan sama seperti di atas sedang untuk Pre-Head diperkenalkan accept yang berfungsi untuk ‘mengindikasikan bahwa pembicara telah mendengar dan mengerti ujaran sebelumnya dan menyetujuinya.’ Dalam model seperti ini, Head langkah a1 selalu berbentuk aksi non-verbal yang berarti bahwa untuk pertukaran aksi tertunda tidak terdapat Head dalam langkah a1. Karena itu, diperkenalkanlah istilah marker dan summons, di mana marker ‘menandakan batas wacana, dan menunjukkan bahwa si pembicara memiliki topik untuk dibicarakan’, sedangkan summons mengindikasikan bahwa pembicara ingin mendapatkan perhatian pendengar untuk dapat memperkenalkan sebuah topik

2.1.9 Metafora

Metafora secara umum dipahami sebagai penggunaan kata yang memaknai sesuatu yang berbeda dari maknanya secara literal. Metafora bukanlah gejala bahasa yang istimewa karena dalam beragam konteks metafora dapat dijumpai, baik dalam bahasa tulisan maupun lisan Metafora dari perspektif semiotik merupakan pengodean atau pemaknaan arti dari dua sisi. Satu arti atau konsep dimaknai dari dua sisi. Dengan kata lain, di dalam pengodean atau pemaknaan metafora secara eksplisit atau implisit terjadi perbandingan. Dalam perspektif LSF metafora memperlihatkan pengodean satu petanda oleh penanda yang lain, karena berdasarkan perbandingan itu terdapat persamaan atau kemiripan di antara satu tanda dengan tanda yang lain.

Dari serangkaian penanda yang merealisasikan satu petanda dalam rentang mulai dari yang lazim (unmarked) sampai ke penanda yang tidak lazim (marked). Akan tetapi dalam proses penggunaan sesuatu yang tidak lazim dapat menjadi lazim jika sudah biasa digunakan.

Gambar

Figura  2.1 Sistem turn-taking Current speaker
Figura  2.2: Sistem Percakapan berdasarkan Konteks Situasi
Figura 2.3 : Sistem Jejaring  Percakapan
Tabel 2.1 Fungsi Ujar dan Respons  Inisiasi  Respons yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misalkan pada Gambar 2, jika Anda ingin bepergian dari stasiun Okayama menuju stasiun Kurashiki, maka Anda harus menaiki kereta dengan line hijau (keterangan mengenai jenis

BPR Syariah Artha Mas Abadi Pati sudah sesuai dengan teori yang ada antara lain: Penerapan unsur-unsur pembiayaan, jenis pembiayaan merupakan modal kerja yang

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

yang dinyatakan dalam Y.. Variabel bebas yaitu variabel yang mendahului atau mempengaruhi.. variabel terikat. Variabel bebas

Analoginya seperti kita mengisi air didalam jerigen, ketika keran kita buka full, maka air dalam jerigen akan beriak dan akan membuat jerigen seolah- olah sudah penuh, karena

Uji coba sistem KSA dilakukan di seluruh kecamatan di kabupaten Indramayu dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak

Bravais lattice,miller indices 3,4 Mampu menjelaskan kurva stress and strain pada material teknik serta mengidentifikasi material teknik berdasarkan mechanical

Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui tingkat keterlaksanaan Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada tahapan 1) masukan (antecedents), 2) proses (transactions), 3)