• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa tidak pernah terjadi bila tidak ada konteks dengan kata lain bahasa terjadi di dalam konteks. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Halliday dan Martin (993:24) bahwa dalam kajian LSF terdapat hubungan antara bahasa dan konteks sosial. Hubungan ini dinamis dan disebut sebagai hubungan dua cara, yaitu bahasa adalah menguraikan informasi dan diuraikan oleh konteks sosialnya. Berdasarkan konteks bahasa yang digunakan dapat diprediksi dan sebaliknya dari bahasa yang digunakan dapat diketahui konteks di mana interaksi terjadi. Hubungan bahasa dan konteks direpresentasikan sebagai model strata seperti yang dapat dilihat pada Figura 2.6.

Figura 2.6: Hubungan Bahasa dan Konteks

Konteks sosial yang dimaksud pada Figura 2.6 adalah konteks yang mengacu kepada segala sesuatu di luar yang tertulis atau terucap yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atara interaksi sosial. Konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi, konteks budaya genre dan konteks ideology (Martin, 1992).

Konteks situasi terdiri atas (1) field atau medan yang dibicarakan, (2) tenor siapa

yang membicarakan, dan (3) sarana mode, yaitu bagaimana pembicaraan itu dilakukan, yaitu lisan atau tulisan (Halliday dan Hasan, 1985). Bidang ‘field’ yaitu apa yang dibicarakan mengacu kepada peristiwa, aktivitas sosial, karakter pembicara dan lawan bicara serta domain makna. Dengan kata lain, bidang ‘field’ adalah bagaimana partisipan terlibat di dalamnya dan bagaimana bahasa direalisasikan sebagai komponen yang esensial ( Halliday, 1985:12). Martin (1992:292) mendefinisikan bidang ‘field’ sebagai satu perangkat aktivitas yang berurutan yang berorientasi pada tujuan institusi yang global. Pelibat ‘tenor’ yaitu menggambarkan hubungan pembicara dan lawan bicara, serta peranan tuturan yang dilakukan masing-masing pembicara dan lawan bicara yang disebut juga sebagai hubungan sosial dimana mereka terlibat (Halliday,

Konteks sosial

1985:12). Aspek lain yang berkaitan dengan tenor adalah formalitas, status atau kekuasaan, dan afeksi. Komponen ketiga dari konteks adalah ‘Mode’, yaitu bentuk bahasa yang bagaimana yang digunakan para partisipan dalam situasi tertentu termasuk juga media atau sarana yang digunakan dalam berkomunikasi, lisan atau tulisan. Komponen yang tercakup di dalam ‘mode’ adalah perencanaan, jarak, media atau jaringan. Halliday menambahkan bahwa pada konteks ‘mode’ juga tercakup tujuan dari wacana yaitu apa yang diperoleh dengan teks yang direalisasikan, apakah persuasi, eksposisi, dan sebagainya.

Berkaitan dengan ‘mode’, Martin mengembangkannya dengan keterkaitan ‘mode’ dengan metafungsi bahasa, yaitu makna eksperiensial dan makna antarpersona. Makna eksperiensial mengetengahkan ruang semiotik antara bahasa sebagai bagian dari aksi dan bahasa sebagai refleksi, yaitu seberapa jauh kes bergantung kepada konteksnya. Makna antarpersona mengetengahkan ruang antar monolog dan dialog , jenis visual, kontak oral dan umpan balik yang mungkin terjadi di antara partisipan.

Konteks budaya dibatasi sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan (Martin 1986). Konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu (1) batasan kemungkinan ketiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Setiap interaksi sosial mempunyai tujuan tertentu yang disebut sebagai fungsi teks.

Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang dalam satu interaksi sosial. Konteks ideologi mencakup nilai, pandangan, dan persfektif (Eggin, 1994) yang disepakati oleh masyarakat dalam satu komunitas. Dengan kata lain, ideologi adalah konsep atau gambaran ideal yang diinginkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas, yang terdiri atas apa yang

diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi. Ketiga unsur konteks ini mendampingi bahasa secara bertingkat dan membentuk hubungan semiotik bertingkat dengan teks bahasa. Hubungan dari tataran terendah fonologi hingga ke tataran tertinggi ideologi dapat digambarkan seperti Figura 2.7.

Figura 2.7: Bahasa dan Lingkungan Semiotiknya

Figura 2.7 memperlihatkan bahwa konteks yang paling konkret karena konteks situasi/register langsung berhubungan dengan teks atau bahasa, yakni semantik, gramatika dan fonologi sebagai unsur bahasa. Selanjutnya adalah konteks budaya dan yang paling asbtrak adalah konteks ideologi karena kedua konteks ini direalisasikan lewat bahasa.

Ketiga komponen konteks ini disebut Halliday (1985: 38) sebagai register. Register adalah konfigurasi makna yang secara tipikal berasosiasi dengan situasi konfigurasi dari field,

mode dan tenor. Ketiga komponen register, field, tenor, dan mode erat kaitannya dengan ketiga metafungsi bahasa. Fungsi ideasional berkaitan dengan field, fungsi antarpersona berkaitan dengan tenor, dan fungsi tekstual berkaitan dengan mode.

fonologi gramatika semantik register jonre ideologi

Bagaiamanapun, terdapat perbedaan register antara Halliday dan Martin. Halliday (1978,1985) menyatakan bahwa register adalah realisasi konteks situasi yang mengakibatkan konstelasi ‘field’, ‘tenor’ dan ‘mode’ yang berbeda. Sementara dalam hal yang berbeda, Martin menyatakan register adalah sistem semiotik. Dalam model ini, Martin berpendapat bahwa register adalah semiotik konotatif di mana bahasa adalah sebagai tataran ekspresinya. Register digunakan sebagai sistem semiotik dan didukung oleh variabel konteks, yaitu ‘field’, ‘tenor’, dan ‘mode’ (Martin 1992:502).

Berkaitan dengan penilitian ini, yaitu sistem dan struktur percakapan dalam bahasa karo, maka konteks budaya, yaitu budaya rebu akan mempengaruhi sistem dan struktur percakapan, yakni peran dari setiap antarpemakai bahasa yaitu pembicara dan lawan bicara. Selain konteks budaya, konteks situasi juga memberikan pengaruh terhadap sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo.

Konteks situasi dalam penelitian ini dibagi atas dua bagian, yaitu konteks situasi biasa dan konteks situasi tidak biasa. Konteks situasi biasa adalah situasi/kegiatan yang biasa dilakukan oleh penutur bahasa Karo, misalnya kegiatan di rumah tangga, di warung, di pasar dan acara perkawinan. Konteks situasi tidak biasa adalah situasi/kegiatan yang jarang dilakukan oleh penutur bahasa Karo. Kegiatan yang termasuk di dalam konteks situasi tidak biasa adalah acara memasuki rumah baru ‘mengket rumah’ dan kematian ‘si mate-mate

.Acara perkawinan sebagai salah satu kegiatan budaya dikategorikan dalam konteks situasi biasa sedangkan acara memasuki rumah baru ‘mengket rumah’ dan kematian ‘si mate-mate’ dikategorikan ke dalam konteks situasi tidak biasa karena kedua acara ini tidak biasa/jarang dilakukan oleh penutur bahasa Karo mengingat biaya yang dibutuhkan untuk mengadakan masing-masing kegiatan tersebut sangat besar.