• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Dan Struktur Percakapan Dalam Bahasa Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sistem Dan Struktur Percakapan Dalam Bahasa Karo"

Copied!
266
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM DAN STRUKTUR PERCAKAPAN

DALAM BAHASA KARO

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp A(K)

Dipertahankan pada tanggal, 6 April 2010 Di Medan, Sumatera Utara

Siti Aisah Ginting

058107014/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Ginting, Siti Aisah. 2010. Sistem dan Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo. Fokus penelitian adalah menemukan sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo serta menemukan realisasi metafora di dalam sitem dan struktur tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnometodologi. Data penelitian ini adalah ujaran-ujaran yang terdapat dalam (1) kegiatan konteks situasi biasa mencakup situasi perkawinan, dan situasi sehari-hari dan (2) dalam konteks situasi yang tidak biasa yang mencakupi memasuki rumah baru dan kematian. Data diperoleh dengan cara pengamatan berperan serta. Instrumen penelitian adalah peneliti sebagai instrumen utama dilengkapi dengan lembar observasi, alat rekam gambar dan suara, lembar butir pertanyaan/ wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara paradigmatik untuk menemukan sistem percakapan dan secara sintagmatik untuk menemukan struktur percakapan berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Dalam tataran sistem percakapan ditemukan tiga jejaring percakapan, yaitu jejaring percakapan dalam konteks biasa dan jejaring percakapan dalam konteks tidak biasa mencakup jejaring percakapan memasuki rumah baru dan jejaring percakapan kematian.Baik dalam konteks biasa dan tidak biasa terdapat penutur tertentu yang tidak dapat berbicara langsung sehingga pembicaraan dilakukan dengan perantara manusia atau benda mati. Akibatnya, penutur melakukan pilihan linguistik dalam berkomunikasi. Dalam konteks tidak biasa, yaitu dalam acara memasuki rumah baru tidak terdapat interaksi verbal sedangkan dalam acara kematian ditemukan interaksi antara penutur dan orang mati di mana penutur memproyeksikan dirinya sebagai orang mati. Dalam tataran struktur percakapan sebagai realisasi dari sistem percakapan ditemukan sebagian struktur percakapan yang bermarkah/berbeda dan struktur pengembangan yaitu pengembangan dari struktur yang tidak bermarkah. Lazimnya struktur percakapan memberi dan meminta informasi adalah k1 dan k2, dalam bahasa Karo selain kedua struktur tersebut terdapat struktur percakapan k1(a2) dan k2(a2) dalam memberi dan meminta informasi. Selain itu, terdapat struktur percakapan yang kompleks yang tidak hanya disebabkan oleh dinamika percakapan tetapi juga disebabkan oleh hubungan tenor dan konteks situasi. Metapora dalam bahasa Karo tidak hanya terdapat pada tataran gramatika dan leksis, tetapi juga terdapat dalam aspek lain, yakni metafora modus, metafora langkah dan metafora kontekstual dengan jenis pelibat.

Hubungan tenor sebagai unsur penentu konteks situasi dan budaya sebagai salah satu unsur dari konteks sosial secara bersama-sama mempengaruhi sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo.

(3)

ABSTRACT

Ginting, Siti Aisah. 2010. Conversational System and Structure of Karonese Language.

This research is aimed at discovering the conversational systems and structures of the Karonese language. Besides, it attempts to find out the causes of how such system and structure are realized. This study is based on a descriptive qualitative research that applies ethno-methodological approach. The data are utterances produced in (1) typical contexts of situation covering weddings and other ordinary events and (2) uncommon contexts of situation such as moving in to a new house and mourning. The data were collected through participant observation. The instrument was the researcher herself equipped with observation sheets, handycams, recorders, and questions for interview. The data obtained were analyzed into two ways: syntagmatically and paradigmatically. The former was done to find out the systems and the latter to determine the structures.

The results revealed that there were two conversational systems, namely, of typical and uncommon contexts. In both contexts there were speakers who are not permitted to do a direct talk, and hence, they had to speak via another person or an object. As a consequence, the speakers had to choose specific linguistic features in the communication. Specifically in the uncommon context of moving in to a new house, No interactions were found whilst in the context of mourning situation, an interaction between a speaker and the corpse took place where the speaker projected himself/herself as the dead. In the conversational structures, as the realizations of conversational systems, it was found some marked structures. These marked structures were expanded from the common ones. Normally, the structures of giving and asking for information are represented by k1 and k2, but in Karonese language there are other representations, namely k1(a2) and k2(2). In addition, there exist complex structures which were resulted not only from challenges, clarifications, confirmations, etc. but also from the relationships of tenors and contexts of situation. Metaphors in Karonese language were not merely found in grammatical and lexical aspects but in mood, move, and contextual elements as well.

The interaction of tenors as one of the situational context elements and culture as one of the cultural context elements simultaneously affect the Karonese conversational systems and structures.

(4)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah Swt atas segala rahmat, nikmat, kesabaran, kekuatan, keimanan, dan ridhaNya sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis menyadari berbagai pihak dan institusi terlibat dalam bentuk dukungan moral dan materil. Untuk itu, dari lubuk hati terdalam penulis menyampaikan ucapan terimakasih

Ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis haturkan kepada promotor Prof. Amrin Sargih, M.A, Ph.D atas bimbingan, arahan dan motivasi dalam penulisan disertasi ini. Di sela-sela kesibukannya, beliau terus menerus mengingatkan penulis untuk menyelesaikan disertasi ini dan karena beliau pula penulis mengenal lebih dalam Linguistik Sistemik Fungsional. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis memberikan penghargaan yang tak terhingga kepada beliau.

Penghargaan yang sama penulis haturkan kepada kedua pembimbing penulis Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S dan Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. yang tak jemu-jemunya memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dan berharga dalam penyelesaian disertasi ini sehingga disertasi ini dapat menjadi sebuah karya ilmiah yang layak.

Terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada komisi penguji, Prof. Dr. Tina Silvana Sinar, M.A., Ph.D Prof. Dr. Oktavianus, M. Hum., Prof. Dr. Busmin Gurning, M. Pd., dan Dr. Edi Setia, M.A., atas masukan-masukan berharga yang diberikan demi penyempurnaan disertasi ini.

(5)

Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana, para guru besar dan doktor sebagai pengajar di Program Doktor Linguistik yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang belum penulis ketahui sebelumnya.

Terimakasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada Rektor dan Pembantu Rektor, Dekan dan Pembantu Dekan FBS Universitas Negeri Medan yang telah meberikan izin dan dukungan moril dan materil selama penulis mengikuti Program Doktoral.

Terimakasih yang tulus penulis haturkan kepada Almarhum ayahanda H. Dahlan Ginting dan bunda Almarhumah Hj. Anita Tarigan yang hanya berpendidikan Sekolah Dasar tapi telah menanamkan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam kehidupan kepada anak-anaknya sejak dini. Kkd. Almarhum Dra. Hj. Nila Sari Ginting, M. Hum atas bantuan moril dan materil kepada penulis semasa hidupnya hingga sekarang. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka.

(6)

Terimakasih penulis sampaikan kepada ananda berdua Indra Hartoyo, S. Pd. M.Hum dan keluarga, Azhar Kasim, S. Pd. M.Hum dan Keluarga atas dukungan moril, materil, waktu, tenaga, motivasi, dan pengetahuan dari sejak penulisan proposal, pengambilan data, pengumpulan referensi hingga penyelesaian disertasi ini.

Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Captain Chris Entwisle, B.Sc Flight Officer System Manager Thompson Airlines yang telah memberikan buku-buku terbaru dan sangat berharga sebagai referensi disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada adinda Meisuri dan Rahmah yang telah membantu dalam pengadaan referensi disertasi ini. Terimakasih yang sama penulis sampaikan kepada Dr. Matius C. Sembring, M.A., dan Malem Ukur Ginting yang telah bersedia memberikan pernyataan tentang keabsahan data penelitian ini.

Terimakasih penulis sampaikan kepada teman-teman di Jurusan Bahasa Inggris FBS Unimed atas keleluasan waktu yang diberikan selama penulis mengikuti program doktoral dan juga kepada Anggraini serta Nora yang telah meringankan tugas penulis selama menyelesaikan disertasi ini.

Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan teori-teori linguistik umumnya dan teori Linguistik Sistemik Fungsional khususnya.

Medan, Maret 2010

(7)

DAFTAR ISI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KONSTRUK ANALISIS SISTEM DAN STRUKTUR PERCAKAPAN DALAM BAHASA 6 2.1 Kajian Pustaka……… 6

2.1Tinjauan Umum Tentang Percakapan……….……….. 6

2.2 Pendekatan Terhadap Kajian Percakapan……….. 6

2.3 Hubungan Wacana dan Konteks……… 7

2.4 Metafungsi Bahasa………..……… 8

2.5 Sistem Percakapan………..………. 9

2.6 Struktur Percakapan………..………. 14

2.7 Stratifikasi Struktur Percakapan ………..………. 22

2.8 Pertukaran, Langkah, dan Aksi …………..……… 23 2.13 Konstruk Analisis Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo…………. 35

BAB III METODE PENELITIAN………..……… 37

3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian………. 37

(8)

4.2.1 Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo dalam Konteks Situasi Biasa... 43

4.2.2 Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo dalam Konteks Situasi Tidak Biasa... 49 4.3 Analisis Metafora dalam Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo… 57 BAB V TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 69

5.1 Sistem Percakapan Bahasa Karo………..……… 69

5.2 Struktur Percakapan Bahasa Karo………..………. 72

5.3. Metafora dalam Sistem dan Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo... 80

5.4. Pembahasan ……….………... 80

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN………..……… 85

6.1 Simpulan………..………..……….. 85

6.2 Saran-saran………..………..……… 86

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Fungsi Ujaran dan Respon………. 39

Tabel 2.2 Fungsi Ujaran dan Modus Klausa Tipikal………. 42 Tabel 5.1 Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Meminang ‘embah belo

selambar’……….

(10)

DAFTAR SINGKATAN

ch:challenge

rch: repond to challenge cl: clarification

rcl: respond to clarification cf:confirmation

rcf: respond to confirmation rp: replay

rrp:respond to replay k1: primary knower’s move k2: secondary knower’s move a1: primary actor’s move a2: secondary actor’s move dk1: delayed primary knower da1: delayed secondary actor k1f: primary knower’s follow-up k2f: secondary knower’s follow-up a1f: primary actor’s follow -up a2f: secondary actor’s follow -up NV: non verbal

Decl: Declarative Interr: Interrogative Imper: Imperative Subst: Subsitution

Dec ellip: Declarative ellipsis

Prn: Pernyataan

RPrn: Respon terhadap pertanyaan Pn: Pertanyaan

RPn: Respon terhadap pertanyaan Ph: Perintah

(11)

DAFTAR SIMBOL

▪▪▪▪: Mengikuti satu struktur berarti bahwa struktur itu terjadi lebih dari empat kali oleh penutur yang sama

▪▪▪: Mengikuti satu struktur berarti bahwa struktur itu terjadi lebih dari tiga kali oleh penutur yang sama

▪▪: Mengikuti satu struktur berarti bahwa struktur itu terjadi lebih dari dua kali oleh penutur yang sama

▪ Mengikuti satu struktur berarti bahwa struktur itu terjadi lebih dari empat kali oleh penutur yang sama

NV: Berati tidak ada respon

[ ]: Di dalamnya terdapat beberapa langkah yang maknanya berkaitan atau tidak berkaitan dengan apa yang sedang dibicarakan dan penuturnya dapat sama atau tidak sama

( ): Terjadi langkah yang maknanya berkaitan atau tidak berkaitan dengan apa yang sedang dibicarakan.

(a/k): struktur sebelumnya direalisasikan oleh a atau k dsbnya

(12)

DAFTAR IMFORMAN

Alamat : Desa Munte Kecamatan Munte Kabupaten Karo Pekerjaan : Pensiunan Departemen Pertanian

3.

Nama : Lipat br Ginting Usia : 63 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Munte Kecamatan Munte Kabupaten Karo Pekerjaan : Pensiunan Guru Sekolah Dasar

4.

Nama : Raten Bangun Usia : 70 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Alamat : Jl. Letjen Djamin Ginting Gg. Sederhana No.6 Pekerjaan : Wiraswasta

(13)

ABSTRAK

Ginting, Siti Aisah. 2010. Sistem dan Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo. Fokus penelitian adalah menemukan sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo serta menemukan realisasi metafora di dalam sitem dan struktur tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnometodologi. Data penelitian ini adalah ujaran-ujaran yang terdapat dalam (1) kegiatan konteks situasi biasa mencakup situasi perkawinan, dan situasi sehari-hari dan (2) dalam konteks situasi yang tidak biasa yang mencakupi memasuki rumah baru dan kematian. Data diperoleh dengan cara pengamatan berperan serta. Instrumen penelitian adalah peneliti sebagai instrumen utama dilengkapi dengan lembar observasi, alat rekam gambar dan suara, lembar butir pertanyaan/ wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara paradigmatik untuk menemukan sistem percakapan dan secara sintagmatik untuk menemukan struktur percakapan berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Dalam tataran sistem percakapan ditemukan tiga jejaring percakapan, yaitu jejaring percakapan dalam konteks biasa dan jejaring percakapan dalam konteks tidak biasa mencakup jejaring percakapan memasuki rumah baru dan jejaring percakapan kematian.Baik dalam konteks biasa dan tidak biasa terdapat penutur tertentu yang tidak dapat berbicara langsung sehingga pembicaraan dilakukan dengan perantara manusia atau benda mati. Akibatnya, penutur melakukan pilihan linguistik dalam berkomunikasi. Dalam konteks tidak biasa, yaitu dalam acara memasuki rumah baru tidak terdapat interaksi verbal sedangkan dalam acara kematian ditemukan interaksi antara penutur dan orang mati di mana penutur memproyeksikan dirinya sebagai orang mati. Dalam tataran struktur percakapan sebagai realisasi dari sistem percakapan ditemukan sebagian struktur percakapan yang bermarkah/berbeda dan struktur pengembangan yaitu pengembangan dari struktur yang tidak bermarkah. Lazimnya struktur percakapan memberi dan meminta informasi adalah k1 dan k2, dalam bahasa Karo selain kedua struktur tersebut terdapat struktur percakapan k1(a2) dan k2(a2) dalam memberi dan meminta informasi. Selain itu, terdapat struktur percakapan yang kompleks yang tidak hanya disebabkan oleh dinamika percakapan tetapi juga disebabkan oleh hubungan tenor dan konteks situasi. Metapora dalam bahasa Karo tidak hanya terdapat pada tataran gramatika dan leksis, tetapi juga terdapat dalam aspek lain, yakni metafora modus, metafora langkah dan metafora kontekstual dengan jenis pelibat.

Hubungan tenor sebagai unsur penentu konteks situasi dan budaya sebagai salah satu unsur dari konteks sosial secara bersama-sama mempengaruhi sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo.

(14)

ABSTRACT

Ginting, Siti Aisah. 2010. Conversational System and Structure of Karonese Language.

This research is aimed at discovering the conversational systems and structures of the Karonese language. Besides, it attempts to find out the causes of how such system and structure are realized. This study is based on a descriptive qualitative research that applies ethno-methodological approach. The data are utterances produced in (1) typical contexts of situation covering weddings and other ordinary events and (2) uncommon contexts of situation such as moving in to a new house and mourning. The data were collected through participant observation. The instrument was the researcher herself equipped with observation sheets, handycams, recorders, and questions for interview. The data obtained were analyzed into two ways: syntagmatically and paradigmatically. The former was done to find out the systems and the latter to determine the structures.

The results revealed that there were two conversational systems, namely, of typical and uncommon contexts. In both contexts there were speakers who are not permitted to do a direct talk, and hence, they had to speak via another person or an object. As a consequence, the speakers had to choose specific linguistic features in the communication. Specifically in the uncommon context of moving in to a new house, No interactions were found whilst in the context of mourning situation, an interaction between a speaker and the corpse took place where the speaker projected himself/herself as the dead. In the conversational structures, as the realizations of conversational systems, it was found some marked structures. These marked structures were expanded from the common ones. Normally, the structures of giving and asking for information are represented by k1 and k2, but in Karonese language there are other representations, namely k1(a2) and k2(2). In addition, there exist complex structures which were resulted not only from challenges, clarifications, confirmations, etc. but also from the relationships of tenors and contexts of situation. Metaphors in Karonese language were not merely found in grammatical and lexical aspects but in mood, move, and contextual elements as well.

The interaction of tenors as one of the situational context elements and culture as one of the cultural context elements simultaneously affect the Karonese conversational systems and structures.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

(16)

Penutur bahasa Karo dalam berkomunikasi hubungan partisipan menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Seorang menantu perempuan misalnya tidak bisa berbicara secara langsung dengan bapak mertua dan jika hal ini dilanggar maka menantu tersebut dikatagorikan tidak atau kurang beradat. Fenomena ini menimbulkan satu istilah di Sumatera Utara yaitu: “Orang Jawa sopan tapi tak beradat sementara orang batak beradat tapi tak sopan”. Hal ini bermakna bahwa konteks sosial sangat menentukan keberhasilan komunikasi.

Berbicara tentang budaya tidak terlepas dari adat istiadat karena nilai-nilai budaya merupakan tingkat yang tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat (Sibarani, 2004). Akibatnya, penutur bahasa Karo yang melanggar budaya disebut sebagai orang yang kurang beradat Penggunaan bahasa yang berterima merupakan salah satu unsur budaya yang menjadi tolak ukur untuk menyatakan seseorang berbudaya. Oleh karena itu, sudah seharusnya penutur mempertimbangkan konteks sosial dalam penggunaan bahasa agar komunikasi berjalan lancar serta informasi yang diinginkan penutur dapat terpenuhi.

(17)

Konsekuensinya dalam berkomunikasi atau dalam menukarkan pengalamannya, penutur harus memperhatikan ketujuh faktor tersebut agar percakapan dapat berlangsung dengan lancar. Konteks situasi pada penutur tertentu sangat berpengaruh terhadap tuturan yang akan disampaikan sehingga penutur harus melakukan pilihan ujaran berdasarkan kepada siapa berbicara dan dalam situasi apa. Penutur akan memilih ujaran yang berbeda ketika berbicara dengan atasan dan bawahannya. Demikian pula dalam konteks situasi yang berbeda serta topik yang berbeda penutur akan menggunakan ujaran yang berbeda pula. Pilihan-pilihan ujuran tersebut disebut sebagai sistem percakapan. Pilihan-pilhan ujaran ini akan berpengaruh terhadap struktur percakapan. Jika konteks sosial menentukan pemakaian bahasa, sistem dan struktur percakapan ditentukan oleh bentuk sosial itu.

Struktur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dimotivasi oleh fungsi bahasa. Dengan kata lain, bahasa atau teks yang digunakan terstruktur sesuai dengan tujuan pemakaian bahasa atau fungsi bahasa yang digunakan. Struktur percakapan yang melibatkan dua sisi peserta percakapan akan berbeda dari satu budaya dan situasi dengan budaya dan situasi yang lain. Dalam percakapan, penutur dan petutur melakukan langkah ‘move’ berupa peran memberi atau menerima informasi dan meminta atau memberi barang dan jasa. Dalam teks 1 A meminta informasi dan B memberi informasi. Langkah A disebut k2 ‘secondary knower’ dan B disebut k1 ‘primary knower’. Berbeda dengan teks 1, teks 2 adalah percakapan dengan komoditas barang dan jasa, A disebut melakukan langkah A2 ‘secondary actor’ dan B melakukan A1 ‘primary actor’ Langkah k2, k1, a2, dan a1 membentuk sistem jejaring ‘system network’.

1. k2 A : Mau kemana? k1 B: ke kantor

(18)

a1 B: Ini bukunya

Masing-masing langkah k1, k2, a1, a2 dinyatakan atau diekspresikan dalam struktur klausa. Dalam teks 1 langkah k2 dinyatakan oleh klausa interogatif “Mau ke mana?” dan k1 dinyatakan oleh klausa elipsis “ke kantor”.

Budaya Karo memiliki sistem kekerabatan yang berbeda dari budaya lain atau sub budaya yang dekat, yakni budaya Batak lainnya, seperti batak Toba, Batak Simalungun, Batak Dairi, dan Batak Mandailing. Hubungan kekerabatan dalam budaya Karo berpengaruh terhadap interaksi sosial masyarakatnya. Ini berarti bahwa konteks sosial berpengaruh tidak hanya sampai pada tingkat peran sosial setiap individu dalam berbagai kegiatan sosial, tetapi juga tercermin dalam struktur bahasa serta sistem dan struktur percakapan.

Berdasarkan hubungan kekerabatan dalam suku Karo terdapat budaya ‘Rebu’, di mana penutur dan petutur tertentu tidak dapat melakukan komunikasi lisan secara langsung, yaitu antara mertua laki dengan menantu perempuan, mertua perempuan dengan menantu laki-laki, antara suami dengan istri dari abang atau adik istri, dan antara istri dengan suami dari kakak atau adik suami. Komunikasi yang terjadi antara masing-masing partisipan tersebut dilakukan melalui perantara dan perantara ini dapat berupa manusia atau benda. Di daerah langkat sebagai salah satu daerah yang banyak terdapat penutur bahasa Karo, penggunaan benda sebagai perantara sudah jarang dilakukan. Tenor-tenor seperti yang disebutkan di atas, ketika mereka harus berkomunikasi mereka memerintah seseorang yang tidak berada ditempat di mana komunikasi berlangsung. Orang yang disebut biasanya adalah kerabat dekat, misalnya cucu, anak, istri, atau suami. Berikut contoh percakapan yang bersifat hipotetikal antara menantu perempuan dan mertua laki-laki.

(19)

‘Suruh makan kakek mu, Ani’ Mertua laki-laki : Tik nari ningen man nande ndu kempu ’ Sebentar lagi bilang sama mamak cucu’

Menantu Perempuan: Ula kari masuk anginka bulangndu adi melaunsa ia man Jangan nanti masuk angin kakekmu jika terlalu lama dia makan’ Mertua laki-laki: Tidak menjawab /non verbal

Percakapan di atas antara mertua laki-laki dan menantu perempuan di mana seharusnya mereka tidak dapat berkomunikasi langsung, namun karena tidak ada orang lain yang dapat dijadikan perantara mereka menyebutkan seseorang dalam hal ini cucu atau anak mereka yang tidak berada di tempat. Percakapan juga sangat singkat di mana di akhir percakapan mertua laki-laki tidak menjawab. Hal ini wajar terjadi karena budaya tidak membenarkan mereka berkomunikasi secara langsung.

Konsekuensinya penutur bahasa Karo harus melakukan pilihan berdasarkan hubungannya dengan mitra bicaranya. Keadaan ini tidak sama dengan giliran percakapan ‘turn– taking’ di mana peserta percakapan memperoleh kesempatan berbicara dengan memperhatikan tanda-tanda secara visual dan verbal dari lawan bicara. Meskipun partisipan tertentu tidak dapat berbicara secara langsung namun mereka tetap memenuhi aturan giliran percakapan. Contoh berikut merupakan percakapan yang bersifat hipotetikal antara menantu laki-laki dan mertua perempuan.

Suami: Sungkun mami ah pukul piga kari ia itaruhkan ‘Tanya ibu jam berapa nanti dia diantarkan’

Istri: Begindu kang e nande. Jam piga kari kam itaruhkan ‘ Apakah mamak dengar Jam berapa nanti mamak diantar’ Ibu dari istri: Kai kin nina kela ena? ‘Apa yang diucapkan menantu itu?’ Istri: Jam piga kari kam itaruhkan?

‘Jam berapa nanti mamak diantarkan?’ Ibu dari Istri: Jam telu ‘jam tiga’

(20)

a2 : Sungkun mami ah pukul piga kari ia itaruhkan ‘Tanya ibu jam berapa nanti dia diantarkan’

a1 (k2): Begindu kang e nande. Jam piga kari kam itaruhkan. ‘Dengar mamaknya itu. Jam berapa nanti mamak diantarkan’

cl : Kai kin nina kela ena? ‘Apa rupanya dibilang menantu itu’

rcl : Jam piga kari kam taruhkan ‘Jam berapa nanti mamak diantarkan’ k1 : Jam telu ‘jam tiga’

Sebenarnya percakapan di atas memiliki langkah yang sangat sederhana bila diacu kepada sistem yang diusulkan Martin (1992), yaitu:

k2: (menantu laki-laki): Jam piga kam itaruhken mami?

‘Jam berapa nanti mamak diantarkan’ k1: (ibu mertua) : Jam telu ‘jam tiga’

tetapi karena adanya budaya ‘rebu’ langkah k1 (informasi) direalisasikan atau di transfer dengan penutur yang lain, yaitu menantu melakukan pilihan yang berbeda dari yang diusulkan Martin (1992) dalam meminta informasi. Dalam hubungan tenor seperti di atas, penutur harus melakukan pilihan, misalnya dalam meminta informasi k2, penutur tidak dapat memintanya langsung melainkan harus memerintahkan orang lain a2 sehingga struktur yang terbentuk dalam meminta informasi adalah k2 yang direalsiasikan oleh a2 k2(a2).

Menurut Martin (1992) struktur percakapan dalam meminta informasi adalah (k2) ^ k1 ^ (k2f) ^ (k1f) yang berarti bahwa k2f dan k1f bersifat mana suka ‘optional’ seperti contoh berikut:

k2 : A : Kuja lawesna Budi ndai? ‘Kemana perginya si Budi’? k1 : B : Ku rumah mamana ‘Ke rumah pamannya’.

k2f : A : Bujur ya ‘Terima kasih ya’. k1f : B : Ue ‘Ya’

(21)

a2 ^ a1(k2) ^ cl ^ rcl ^ k1.

Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa sistem dan struktur percakapan antara menantu laki-laki dan mertua perempuan pada suku Karo dalam meminta informasi berbeda dan tidak memenuhi sistem dan struktur percakapan yang diusulkan Martin (1992) dan ini merupakan permasalahan penting dalam penelitian ini.

Perbedaan sistem dan struktur percakapan antara satu budaya dengan budaya yang lain dapat menimbulkan kesenjangan atau kesalahpahaman dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi yang terjadi antara penutur bahasa Karo dengan penutur di luar bahasa Karo.

Dalam budaya Karo meminta tolong atau memerintah tidak dapat dilakukan secara langsung terutama bagi tenor yang mempunyai status yang tidak sama atau dihormati. Misalnya terhadap kalimbubu, puang kalimbubu, mertua laki-laki terhadap menantu laki-laki, mertua perempuan terhadap menantu perempuan dan sebaliknya. Bentuk-bentuk kalimat yang digunakan dalam meminta tolong dan memerintah akan berbeda berdasarkan hubungan/status tenor. Kalimat yang digunakan diawali dengan pernyataan akan kesediaan tenor, misalnya seorang mertua laki-laki yang meminta tolong/memerintah menantunya menggunakan kalimat sebagai berikut, Adi la kam sibuk taruhkendu aku pagi ndahi nini bulangndu ‘Jika kau tidak sibuk antarkan aku besok mengunjungi kakekmu’. Dalam hal ini mertua laki-laki tidak memerintah secara langsung atau menggunan kalimat perintah melainkan menggunakan ‘pre

request’. Berbeda halnya jika dia memerintah atau minta tolong kepada anaknya, dia akan

menggunakan kalimat imperatif Taruhken aku pagi ndahi nini bulangndu ‘Antarkan aku besok mengunjungi kakekmu’.

(22)

belo selambar’, bertunangan ‘nganting manok’dan pesta pernikahan ‘mata kerja’. Percakapan dalam upacara perkawinan tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung oleh orang tua laki-laki terhadap orangtua perempuan meskipun mereka telah saling mengenal sebelumnya. Percakapan harus dilakukan melalui perantara yaitu pihak anak beru laki-laki dan pihak anak beru perempuan. Hal ini berakibat terbentuknya struktur percakapan yang sangat dinamis dan rumit.

Selain itu, budaya rebu yang terdapat di dalam penutur bahasa Karo berpotensi membentuk metafora yang bukan hanya metafora leksis dan gramatika melainkan juga metafora langkah, metafora modus, dan metafora kontekstual dengan jenis pelibat. Penutur bahasa Karo melakukan pilihan-pilihan ujaran berdasarkan hubungan kekerabatan sehingga terjadi ketidaksesuaian fungsi ujar dan modus. Konsekuensinya terbentuk metafora modus. Demikian juga dengan konteks situasi seperti situasi kematian, penutur bahasa Karo memperoyeksikan dirinya seperti orang yang mati sehingga terjadi interaksi antara penutur dan orang mati. Situasi demikian berpotensi terjadinya metafora yang disebut sebagai metafora kontekstual dengan jenis pelibat. Ketikdaksesuaian fungsi ujar dengan modus dan pemeroyeksian diri sebagai orang mati dikatakan metafora karena terdapat pengodean atau pemaknaan arti dari dua sisi. Hal ini sesuai dengan perspektif semiotik tentang metafora, yakni pengodean atau pemaknaan arti dari dua sisi. Satu arti atau konsep dimaknai dari dua sisi. Dengan kata lain, di dalam pengodean atau pemaknaan metafora secara eksplisit atau implisit terjadi perbandingan dari bentuk yang lazim menjadi bentuk yang tidak lazim.

(23)

saja kepada keluarga yang ditinggalkan, melainkan juga kepada orang mati. Penutur berdialog dengan orang yang mati dengan cara memproyeksikan dirinya sebagai orang mati sehingga terbentuklah metafora di mana penutur memaknai orang yang mati sebagai mahluk hidup yang dapat berkomunikasi. Akibatnya terbentuklah struktur percakapan yang tidak lazim. Dikatakan tidak lazim karena struktur percakapan yang terbentuk berbeda dengan struktur percakapan yang lazim seperti yang telah dipaparkan di atas.

Penutur bahasa Karo tersebar di berbagai daerah di Indonesia, tetapi pada umumnya mereka terdapat paling banyak di Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Ketiga kabupaten ini berbeda dialeknya, akibatnya terdapat dua bahagian besar dialek bahasa Karo, yaitu dialek Karo Gugung yang terdapat di Kabupaten Karo dan dialek Karo Jahe-jahe yang terdapat di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Dialek Karo Jahe-Jahe-jahe di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang juga berbeda. Perbedaan dialek ini terjadi karena masing-masing kabupaten berbatasan dengan daerah lain yang memiliki bahasa yang berbeda pula dan juga pengaruh penutur bahasa-bahasa lain yang terdapat atau bermukim di daerah tersebut. Oleh karena itu lokasi penelitian ini adalah kabupaten Karo karena diasumsikan bahasa Karo yang digunakan di daerah ini masih baku. Penelitian ini tidak berkaitan dengan dialek melainkan berfokus pada langkah-langkah percakapan yang dilakukan penutur bahasa Karo dalam menukarkan pengalamannya sehingga segala sesuatunya yang berkaitan dengan dialek, seperti kosakata, bunyi, dan struktur kalimat diabaikan dalam kajian ini.

1.2 Fokus Penelitian

(24)

perkawinan dalam bahasa Karo? (2) apakah ada perbedaan di antara setiap fase? (3) Bagaimana fungsi eksperiensal dan tekstual secara leksikogramatika dari tataran klausa hingga ke tataran wacana dari masing-masing tuturan percakapan dalam upacara perkawinan, kematian, dan kegiatan sehari-hari? (4) Fungsi yang mana di antara fungsi eksperiensial dan tekstual yang paling banyak ditemukan dalam tuturan percakapan dari setiap kegiatan tersebut? (5) Bagaimana bentuk pilihan modus yang dilakukan penutur bahasa Karo dalam setiap kegiatan tersebut? (6) Bagaimana bentuk struktur percakapan yang terjadi akibat pilihan-pilihan modus tersebut? (7) Apakah dasar pemilihan modus yang dilakukan penutur bahasa Karo? Bagaimana bentuk dinamika langkah dalam struktur percakapan bahasa Karo?

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang dipaparkan di atas, maka secara operasional fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah sistem percakapan bahasa Karo? b. Bagaimana struktur percakapan dalam bahasa Karo?

c. Bagaimana realisasi metafora dalam sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menggambarkan sistem dan struktur percakapan bahasa Karo dalam konteks situasi biasa meliputi perkawinan dan kegiatan sehari-hari serta dalam konteks situasi tidak biasa mencakup situasi memasuki rumah baru dan kematian. Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengungkapkan dan mengkaedahkan:

(25)

c. Realisasi metafora dalam sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo.

1.4Manfaat Penelitian

Temuan penelitian diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis.

a. Secara teoritis, untuk tingkat nasional, hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan kepustakaan mengenai kajian wacana yang pernah dilakukan di Indonesia. Untuk tingkat Internasional, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan teori-teori wacana ‘discourse’, khususnya teori LSF. Baik untuk tingkat nasional dan internasional dapat memberikan sumbangan sebagai model penelitian tentang wacana lisan

b. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat memberi gambaran terhadap masyarakat bahwa setiap penutur bahasa memiliki budaya yang berbeda yang tercermin lewat percakapannya. Oleh karena itu, hasil penelitian diharapkan bermanfaat terhadap upaya pembangunan karena dapat membantu aparat atau agen pemerintah dalam menyampaikan pesan, informasi, dan kepada rakyat tanpa terjadi konflik

1. 5 Ruang Lingkup Penelitian

(26)

dengan konteks sosial, konteks budaya dan ideologi (Eggin dan Martin 1997; Martin 2000; Christie dab Unsworth 2000).

Sistem dan struktur percakapan dianalisis secara sintagmatik dan paradigmatik yang mencakup negosiasi, pertukaran, langkah dan aksi. Demikian juga konteks sosial yang terdiri dari ideologi, budaya dan konteks situasi dideskripsikan secara paradigmatik. Oleh karena itu, penelitian ini akan menghubungkan sistem percakapan yang bersifat vertikal (paradigmatik) dan struktur yang bersifat horizontal (sintagmatik) serta konteks sosial. Berdasarkan sistem dan struktur percakapan yang diperoleh akan dicari faktor-faktor penyebab terbentuknya sistem dan struktur percakapan tersebut.

1.6Definisi Istilah

Untuk menghindari kerancuan terminologi dan untuk memahami dengan mudah beberapa terminologi yang terdapat dalam budaya karo, maka dianggap perlu untuk menjelaskannya.

a. ‘Sangkep geluh’ atau ’daliken sitelu’ adalah sistem kekerabatan dalam suku Karo yang terdiri dari tiga unsur, yaitu ‘kalimbubu’, ‘anak beru’, dan ‘senina’.

b. ‘Kalimbubu’ adalah persaudaraan yang terjadi dari pihak perempuan apakah dari pihak

nenek, ibu maupun istri.

c. ‘Anak beru’ adalah persaudaraan yang terjadi dari pihak perempuan apakah dari pihak

nenek, ibu maupun istri.

d. ‘Senina’ adalah orang yang bersaudara yang sekata dan sependapat

(27)

belo selambar’ ini pihak laki-laki menanyakan jumlah mahar ‘tukur’, waktu dan tempat upacara perkawinan ‘mata kerja’, bentuk upacara perkawinan (besar dan kecilnya berdasarkan jumlah yang diundang)

d. ‘Nganting manok’ adalah upacara kedua setelah ‘embah belo selambar’ yang bertujuan untuk memastikan segala sesuatu yang telah dibicarakan pada saat ‘embah belo selambar’. Dalam nganting manok ini masih ada kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan tentang hal yang telah dibicarakan

e. Mata kerja merupakan tahapan akhir dari upacara perkawinan, yaitu melaksanakan semua hal-hal yang telah disepakati pada ‘nganting manok’

f. Nggalari utang adat merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upacara kematian orang yang sudah berkeluarga, di mana pihak keluarga yang ditinggalkan wajib memberikan

sejumlah uang dan pakaian yang meninggal kepada pihak kalimbubu

g.Mengket rumah adalah upacara memasuki rumah baru

h. Rebu merupakan salah satu budaya Karo di mana penutur tertentu tidak dapat

berkomunikasi secara langsung

(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, DAN KONSTRUK ANALISIS

Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang berguna untuk menjawab permasalahan penelitian yang secara garis besar meliputi: percakapan, sistem dan struktur percakapan, aturan percakapan, konteks sosial, bahasa Karo, penelitian terdahulu yang relevan serta konstruk analisis.

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Tinjauan Umum tentang Percakapan

(29)

terputus) secara singkat semua ini berguna untuk memberikan waktu berpikir bagi penutur untuk menyampaikan pesan dan juga memberikan kejelasan pesan bagi petutur.

Percakapan merupakan komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih dan percakapan akan terlaksana dengan baik bila penutur dan petutur dapat memberi reaksi terhadap apa yang didengarnya serta memberi umpan balik (Lindsay dan Knight,2006) menyatakan bahwa. Dengan demikian, baik penutur dan petutur selain harus memiliki keterampilan untuk menyampaikan sesuatu secara lisan juga harus menangkap dan bereaksi terhadap apa yang didengar (Hariss, 1979). Lebih jauh dinyatakan oleh Savignon (1978) bahwa berbicara merupakan proses komunikasi dan proses akan terjadi bila terdapat kesepakatan mengenai arti dalam konteks bahasa antara penutur dan petutur. Kesesuaian arti dalam konteks bahasa itulah yang pada akhirnya menentukan keefektifan suatu informasi yang disampaikan lewat percakapan tersebut.

(30)

percakapan, (2) pihak-pihak yang terlibat di dalam percakapan, (3) tujuan masing-masing pihak, (4) bentuk dan isi dari apa yang diucapkan, (5) cara bagaimana makna disampaikan, (6) media penyampai maknanya, apakah secara lisan atau tulisan, (7) norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai, dan (8) ranah komunikasinya.

2.1.2 Pendekatan terhadap Kajian Percakapan

Percakapan telah menjadi perhatian khusus dalam kajian bahasa selama beberapa dekade terahir ini. Kajian-kajian itu berupaya untuk mencari seluruh fenomena penggunaan bahasa dalam konteks sosial atau yang lebih dikenal sebagai Sosiolinguistik. Ilmu sosiologi bahasa ini menggambarkan bagaimana bahasa digunakan dan faktor-faktor apa saja yang mem-pengaruhinya.Terdapat beberapa pendekatan tentang kajian percakapan yang akan diuraikan berikut ini. Paparan ini bertujuan sebagai latar belakang memilih Lingusitik Sistemik Fungsional sebagai landasan teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini

2.1.2.1Etnometodologi

(31)

2.1.2.2Analisis Percakapan

Sebenarnya analisis percakapan telah diawali lebih dini oleh Bellack dkk (1966) dan Flanders (1970). Penelitian mereka lebih berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Mereka menganalisis wacana guru di kelas, yakni bagaimana guru bertanya, memerintah, dan merespon dan bukan mengkaji bagaimana perintah direalisasikan dalam bahasa. Selanjutnya analisis percakapan berkembang tidak hanya sebatas wacana di kelas melainkan wacana alami yang terjadi di masyarakat dalam berbagai aktifitas. Beberapa tokoh yang mengawali Analisis Percakapan ‘Conversation Analysis’ atau lebih dikenal dengan singkatan CA adalah Goffman (1981), Sacks, Schegloff dan Jefferson (1992) yang berfokus pada giliran percakapan ‘turn taking’ dan ‘adjacency pairs’.. CA banyak mengambil data dari percakapan yang direkam berdasarkan interaksi percakapan. Levinson (1985:295) mengatakan bahwa data itu terdiri dari rekaman kaset dan transkrip percakapan yang terjadi secara natural, dengan sedikit saja perhatian kepada sifat konteksnya (misalnya apakah partisipan merupakan teman atau kenalan saja, atau apakah berada satu kelompok sosial tertentu, atau apakah konteksnya formal atau tidak formal, dsb.). Sacks et al. dalam Eggins dan Slade (1997:25) berpendapat bahwa terdapat dua fakta ketika mereka mengobservasi data interaksi percakapan, yaitu:

a) hanya satu orang berbicara pada waktu tertentu b) perubahan pembicara terus terjadi

(32)

Schegloff, dan Jefferson, Fasold (1990) mengatakan terdapat beberapa fakta penting dalam

turn-taking seperti: (1) terjadinya perubahan pembicara, yang berarti bahwa dalam percakapan tidak satu orang saja yang berbicara terus menerus; (2) berkuasa penuh, yang berarti bahwa salah satu pihak berbicara pada waktu tertentu; (3) meskipun ada kecenderungan berkuasa penuh, bisa saja terjadi lebih dari satu orang berbicara pada saat yang bersamaan, namun biasanya tidak berlangsung pada waktu yang panjang; (4) pertukaran giliran tanpa adanya gap atau overlap

adalah hal wajar; dan (5) tidak ada teknik alokasi-giliran, artinya siapa saja bisa menjadi

addressee.

Kemudian mereka menciptakan apa yang disebut dengan ‘Turn Constructional Units’

(TCUs) karena pembicara berbicara dalam unit-unit. TCU merupakan unit bahasa yang lengkap secara gramatika seperti kalimat, klausa atau frasa, yang ahirnya memungkinkan orang-orang yang berinteraksi untuk melakukan transfer. TCU ini digunakan untuk menentukan bagaimana

turn taking itu terlaksana, siapa dan kapan harus berbicara. (Eggins dan Slade, 1997:26)

menggambarkan sistem turn-taking sebagai berikut:

Figura 2.1 Sistem turn-taking

Current speaker selects next speaker

Selects a different speaker

Titik awal pertukaran giliran

Pembicara memilih pembicara

berikutnya

Pembicara berikutnya memilih dirinya sendiri

Memilih pembicara berikutnya

(33)

Observasi CA memiliki kekuatan pada pengumpulan datanya karena diperoleh dari interaksi alami yang direkam sedemikian rupa dan kemudian ditranskripsi secara rinci. (Eggins dan Slade: 1997:31). Namun, terdapat kelemahan di dalamnya, yaitu: (1) kurangnya katagori analitis sistemik, yang berarti bahwa analisis kuantitatif yang bersifat komprehensif tidak bisa dilakukan, (2) berfokus pada fragmen, yang artinya tidak mampu menjabarkan interaksi yang lengkap dan berkesinambungan, dan (3) interpretasi percakapannya yang mekanistik, artinya menganggap percakapan sebagai mesin tidak menjelaskan untuk apa orang-orang yang berinteraksi menggunakan mesin itu.

2.1.2.3Etnografi Percakapan

Etnografi Percakapan merupakan bagian dari Pendekatan Sosiolinguistik terhadap percakapan. Tokoh yang berjasa dalam pendekatan ini adalah Dell Hymes dengan konsep yang diperkenalkannya sebagai SPEAKING. Akronim ini mengacu kepada komponen percakapan yang ia masukkan ke dalam general grid. (Hymes, 1974:54-62). Komponen-komponen itu adalah: bentuk berita ‘Message form’, isi berita ‘Message content’, latar ‘Setting’, ‘Scene’,

penutur ‘Speaker’ atau Sender, Addressor, Hearer atau receiver atau audience, Addressee, Purpose – outcomes, Purpose – goals, Key, Channels, Forms of Speech, Norms of interaction,

dan Genre.

Mengutip Hymes, Wardaugh (1986:239-240) menjelaskan akronim SPEAKING adalah sebagai berikut:

1. S untuk ‘Setting’ dan ‘Scene’ (waktu dan tempat terjadinya percakapan); 2. P untuk ‘Participants’ (pihak-pihak yang terlibat di dalamnya);

(34)

4. A untuk ‘Act sequence’ (bentuk dan isi dari apa yang diucapkan); 5. K untuk ‘Key’ (cara bagaimana makna disampaikan);

6. I untuk ‘Instrumentalities’ (media penyampai makna, apakah secara lisan atau tulisan); 7. N untuk ‘Norms of Interaction and interpretaion’ (norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai), dan;

8. G untuk ‘Genre’ (ranah komunikasinya).

Istilah yang digunakan ini menunjukkan bahwa percakapan merupakan aktifitas yang cukup rumit. Oleh karena itu tidaklah mudah untuk dapat menyampaikan makna atau pesan jika pemahaman akan hal-hal tersebut tidak dimiliki.

Pendekatan Hymes terhadap percakapan ini lebih baik dibandingkan dengan pendekatan etnometodologi dengan analisis percakapannya. Pendekatan etnografi percakapan ini memberikan kategori yang lebih luas dengan memperhatikan aspek-aspek sosial lainnya seperti dimensi kontekstual yang terdapat dalam percakapan sehari-hari yang dapat disetarakan dengan analisis register sistemik. (Eggins & Slade: 1997:34). Jadi, jelas terlihat bahwa analisis dengan pendekatan ini tidak hanya melihat kompetensi bahasa orang-orang yang berinteraksi tetapi juga konteks sosial dan budayanya Konteks sosial dan budaya ini akan membimbing orang untuk menggunakan ujaran yang tepat sesuai dengan lawan bicaranya. Selain Eggin dan Slade (1997), Young dan Fitzgerald (2006) menyatakan bahwa percakapan sehari-hari adalah aktifitas yang terstruktur sebagai hubungan khusus di antara partisipan dalam melakukan negosiasi pengalamannya. Mereka secara tidak sadar telah membentuk wacana yang terstruktur.

(35)

Smith (1988) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian ini lebih bersifat pendidikan yang bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Penelitian tentang wacana di kelas ini berkembang, antara lain dilakukan oleh Gazden, C.V.J., John V.P., and Hymes, D (1972), Edwards dan Westgate (1944), Hicks (1995) dan Lemke (1998) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian yang mereka lakukan ini sifat pendidikannya berkurang dan lebih berfokus kepada analisis wacana. Mereka berpendapat untuk dapat menganalisis wacana unsur konteks sosial dan budaya harus diperhatikan karena bahasa manusia adalah kreatifitas aktifitas sosial dan membentuk gabungan budaya, kelompok sosial dan institusi

Ketidakpuasan para linguis dalam menganalisis bahasa, khususnya dalam menganalisis percakapan yang tidak berfokus pada fungsi bahasa, maka muncullah pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional.

2.1.2.4Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)

Penelitian wacana berdasarkan fungsi bahasa (LSF) telah diawali sebelumnya oleh Benson dan Graves (1985), Fawcet (1984) dan selanjutnya dilanjutkan oleh Martin (1992), Halliday (1985), Matthiesen (1992), Halliday dan Matthiesen (1999). Penelitian wacana yang berdasarkan fungsi bahasa dengan berfokus pada ‘register’ dan ‘genre’ dilakukan oleh Gregory dan Carroll (1978), Halliday dan Hasan (1985), Martin (1984 dan 1992) serta Christie dan Martin (1997).

(36)

Halliday (1997) menyatakan bahwa LSF berfokus pada fungsi yang bertujuan memahami teks lisan dan tulisan agar kita dapat mengutarakan hal-hal yang bermanfaat. Selanjutnya dikatakannya bahwa bahasa adalah fenomena sosial. yaitu bagaimana bahasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan sosial. Lebih jelasnya dikatakan Eggin (1997) bahwa LSF berorientasi pada makna yaitu bagaimana bahasa digunakan, dan bagaimana manusia menggunakan bahasa agar bermakna. Berkaitan dengan penggunaan bahasa, Halliday (1996) menyatakan bahasa adalah sumber makna berarti bahasa adalah pilihan, yaitu apa yang dikatakan seseorang berhubungan dengan apa yang dapat dikatakan. Dengan kata lain bahwa penggunaan bahasa berfokus pada hubungan yang bersifat paradigmatik. Lebih lanjut Halliday menyatakan bahwa yang terpenting bukanlah jenis pilihan yang dibuat melainkan yang berhubungan dengan kalimat yang dapat dipilih. Selanjutnya Halliday (1985:xiii) menyatakan bahwa komponen fundamental makna dalam bahasa adalah komponen fungsional. Komponen-komponen inilah yang dikenal sebagai metafungsi. Ketiga metafungsi tersebut adalah eksperiensial atau ideasional, fungsi antarpersona, dan fungsi tekstual. Ketiganya, fungsi antarpersonalah yang berkaitan dengan analisis percakapan karena di dalam fungsi ini tergambarkan interaksi yang menyatakan pembicara menyampaikan makna untuk dapat membangun dan menciptakan ikatan sosial dengan orang lain. (Thompson, 1996:38). Negosiasi makna seperti ini adalah untuk menginformasikan apa yang ia tahu tetapi orang lain tidak, menunjukkan sikapnya terhadap sesuatu untuk kemudian, bila mungkin, mengubah pandangan atau perilaku orang lain. Eggins dan Slade (1997:49-50) memberikan alasan mengapa fungsi antarpersona yang menjadi fokus:

(37)

2. Giliran percakapan ‘Turn-taking’ seperti dinyatakan dalam pendekatan CA direalisasikan dalam pola antarpersona yaitu modus dan struktur percakapan, khususnya dalam bahasa Inggris.

Pendekatan ini dipilih karena LSF menekankan pada analisis teks bukan kalimat-kalimat. Seperti yang disarankan para pakar LSF bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik sebaiknya dikaji dari tiga posisi, yaitu dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di astnya itu, unit linguistik menjadi elemen/konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian. Dengan mengkaji bahasa dari tiga sisi tersebut pemahaman fungsional akan diperoleh (Saragih, 2009).

Oleh karen itu, kesatuan bahasa yang lengkap bukanlah pada tingkat kata atau kalimat sehingga unit terkecil bahasa sekalipun, yaitu bunyi, memiliki makna ketika berfungsi di dalam konteks. Artinya, sistem arti dan sistem lain untuk merealisasikan arti tersebut berada pada tataran terdepan kajian LSF.

2.1.3 Hubungan Wacana dan Konteks

CA dan LSF memandang sama bahwa dalam menganalisis wacana tidak terlepas dari konteks. Hal ini merupakan pandangan yang sama antara CDA dan LSF. Perbedaan di antara CDA dan LSF tepatnya antara pandangan model Fairclough dan model Halliday, yakni . bagaimana konteks diinterpretasikan atau direalisasikan.

(38)

dengan apa yang dikatakan Halliday (1985) ‘Field Dicourse’, yaitu apa yang dibicarakan atau ranah percakapan dan komponen 2 dan 3 adalah apa yang disebut Halliday sebagai orang-orang yang terlibat ‘Tenor’ dan komponen keempat adalah yaitu bagaimana bahasa disampaikan. Yang disebut dengan cara ‘Mode’, Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat hubungan wacana sebagai praktek sosial melebihi praktek individu dengan metafungsi bahasa yang berimplikasi kepada tiga hal, yaitu: (1) wacana mempresentasikan realitas, (2) wacana memiliki hubungan denngan struktur sosial, dan (3) wacana adalah daya yang memberikan sumbangan terhadap pengetahuan dan sistem percakapan.

Ketiga aspek wacana tersebut berhubungan dengan tiga dimensi makna di dalam bahasa yang disebut Fairclough (2003) fungsi ideasional, fungsi identitas dan fungsi relasional. Fungsi ideasional berhubungan dengan cara-cara di mana wacana memaparkan dunia, hubungan dan proses. Fungsi identitas berkaitan dengan konstruksi hubungan sosial dan fungsi relasional adalah menghubungkan peran dan negosiasi dari hubungan sosial di antara partisipan. Dari uraian ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara apa yang dimaksud Halliday sebagai fungsi ideasional yaitu memaparkan pengalaman atau realitas dan fungsi identitas dan relasional sebagai fungsi antarpersona yang memaparkan realitas sosial.

(39)

2.1.4 Metafungsi Bahasa

Dalam LSF dikenal metafungsi bahasa, yaitu fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa yang terjadi dari fungsi memaparkan ‘ideational function’, mempertukarkan ‘interpersonal function’, dan merangkai pengalaman ‘textualfunction. Fungsi ideasional terbagi ke dalam dua bahagian, yaitu fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman (experiential function) dan fungsi logis (logical function), yaitu fungsi bahasa untuk menghubungkan pengalaman.

Fungsi eksperiensial adalah fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman manusia. Pemakai bahasa memaparkan pengalamannya tentang alam semesta, yakni pengalaman bukan linguistik ke dalam pengalaman semiotik-linguistik karena hanya representasi semiotik-linguistik yang dapat dipertukarkan dalam konteks sosial dengan mitra interaksi ‘addressee’ bahasa sebagai lawan berkomunikasi. Pengalaman seseorang terhadap sesuatu apakah itu peristiwa, situasi atau kondisi berbeda-beda. Penutur dapat mengungkapkan perbedaan itu dengan menggunakan bahasa. Dengan kata lain bahasa mampu menyatukan persepsi terhadap realitas itu dengan penutur mentransperkan /memaparkan pengalamanny itu ke dalam bentuk bahasa.

Pengalaman manusia terdiri atas bagian-bagain. Pemahaman terhadap bagian-bagian pengalaman itu diperlukan hubungan antarbagian pengalaman itu karena sesuatu dapat dipahami dengan baik dalam hubungan dengan yang lain. Dalam hal ini bahasa berfunsgi menghubungkan satu unit pengalaman dengan pengalaman lainnya. Huabungan pengalaman ini paling sedikit meliputi dua klausa yang disebut dengan hubungan logis. Hubungan logis ini tidak hanya terdapat dalam bentuk klausa, tetapi juga terdapat dalam bentuk kata, grup dan frasa.

(40)

merangkai pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk keterkaitan: satu (unit) pengalaman dalam ‘ideational meaning’ dan ‘interpesonal meaning’ relevan dengan pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan sesudahnya yang disebut sebagai fungsi tekstual ‘textual function’ (Halliday, 1978; Matthiesen, 1995).

Dalam menukarkan pengalamannya, penutur menggunakan fungsi ujar yang berbentuk pertanyaan, pernyataan, perintah dan tawaran. Keempat bentuk fungsi ujar ini direalisasikan dalam bentuk modus ‘mood’, modalitas ‘modality’, epitet, dan struktur percakapan ‘exchange structure’yang membentuk struktur percakapan ‘conversational structure’. Menurut Young dan Fitzgerald (2006) ketika seseorang bertukar informasi, dia memperlihatkan sikap dan pendiriannya ke dalam wacana mencakup topik pembicaraan dan mitra bicara. Sikap dan pendiriannya ini ditampilkan melalui modalitas dan kata keterangan. Melalui penggunaan modalitas dan kata keterangan penutur dapat menambahkan unsur yang memodifikasi proposisi serta merubah proposisi ke dalam bentuk pernyataan yang ditandai oleh pendapat-pendapat, keyakinan dan pandangan. Misalnya, seorang penutur mengatakan Dosen datang hari ini. Klausa ini dapat berisikan muatan pribadi sehingga dapat berubah bentuk seperti Dosen mungkin datang hari ini, Dosen pasti datang hari ini, Dosen akan datang hari ini. Penggunaan modalitas pasti, akan, dan mungkin disebut sebagai pertimbangan pribadi. Ketika pertukaran terjadi, penutur dan petutur diposisikan sebagai peran pembicara yang berbeda melalui penggunaan modus apakah memberikan informasi atau menanyakan informasi.

(41)

kursi intonasi turun, Angkat kursi itu intonasi naik-turun, Mengangkat kursikah dia? intonasi turun-naik.

Fungsi tekstual merupakan fungsi bahasa untuk merangkai pengalaman. Penutur dapat merangkai atau mengurutkan pengalamannya dengan menggunakan bahasa.Apa yang diinginkan penutur untuk dipaparkan terlebih dahulu dan diikuti dengan yang lain dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa. Unsur bahasa yang dipaparkan terlebih dahulu disebut dengan tema dan yang mengikutinya disebut dengan rema. Misalnya, Presiden menyampaikan pidatonya dengan berapi-api dan Dengan berapi-api Presiden menyampaikan pidatonya. Dalam Presiden

menyampaikan pidatonya dengan berapi-api, unsur yang dikedepankan adalah Presiden

sedangkan dalam Dengan berapi-api presiden menyampaikan pidatonya, unsur yang dikedepankan adalah cara Presiden menyampaikan pidatonya.

2.1.5 Sistem Percakapan

Dalam pengertian LSF, sistem adalah pilihan. Sistem dinyatakan dengan sistem jaringan Dalam sistem jaringan ditampilkan ciri. Jika suatu ciri dipenuhi, maka pilihan dilakukan. Sistem merupakan pilihanyang unsur-unsur berbentuk vertikal dan bersifat paradigmatik. Berbeda dengan sistem, struktur merupakan urutan unsur horizontal dan bersifat sintagmatik. Menurut Hjelmslev (1961) dalam Martin (1992:4), hubungan paradigmatik dipetakan dalam bentuk yang bersifat potensial (terpendam), sedangkan sintagmatik dalam bentuk nyata. Dengan kata lain, struktur merupakan realisasi dari sistem yang mendasarinya. Semua aspek bahasa dan konteks sosial dapat dideskripsi berdasarkan sistem dan struktur.

(42)

disebutkan secara sederhana dengan bentuk ‘x: a/b’ yang berarti bahwa x direpresentasikan oleh fitur-fitur ‘a’ dan ‘b’. Secara lebih rinci sistem tersebut dapat dibaca jika terdapat ‘x’ maka pilihan yang ada adalah apakah sebuah fitur ‘a’ atau fitur ‘b’ sebagai pilihannya. Untuk kategori kedua yaitu penggunaan bentuk grafik secara sederhana dapat dilihat seperti berikut:

1. x

Notasi ini menyatakan bahwa aspek x terdiri atas a dan b. Jika dipilih x, selanjutnya x itu adalah a atau b.

Di dalam penggunaan bahasa, dapat diambil contoh yang lebih konkrit, yaitu misalnya sebuah ‘kalimat’ dapat direpresentasikan dengan pilihan ‘positif’ atau ‘negatif’. Secara aljabar, sistem ini akan terbaca sebagai ‘kalimat: positif/negatif’. Ekuivalensi sistem ini dapat terlihat pada bentuk grafik berikut:

Kalimat

Dengan mudah dapat secara langsung dipahami bahwa Kalimat bisa terdiri atas kalimat positif atau negatif. Kedua representasi ini dapat berkembang terus semakin luas ketika ketersediaan pilihan-pilihan itu semakin banyak dan semakin tertentu sesuai dengan konteks. Sistem itu bisa meluas misalnya jika ‘P’ maka x/y; jika x maka a/b; jika y maka c/d. Bentuk ini equivalen dengan grafik berikut ini.

a

b

(43)

2. P

Lebih luas lagi dapat diterangkan dari grafik tersebut bahwa aspek P terdiri dari atas 2 komponen x dan y. Selanjutnya x terdiri atas a dan b dan y terdiri atas c dan d. Setiap pilihan satu unsur akhir dari satu komponen harus disertai pilihan unsur akhir dari komponen lain. Sistem itu harus menghasilkan 4 pilihan ac, ad, bc, dan bd. Di dalam penggunaan bahasa dapat diambil contoh yang sangat konkrit seperti tergambar dalam grafik berikut ini.

Kalimat

Dari grafik ini akan terdapat empat pilihan kalimat, yaitu Kalimat : - [ Positif/Aktif ]: Dia menangkap harimau.

- [ Positif/Pasif ]: Dia ditangkap harimau.

- [ Negatif/Aktif ]: Dia tidak menangkap harimau - [ Negatif/Pasif ]: Dia tidak ditangkap harimau.

x

y

a b c d

Sisi

Transitivitas

Positif

Negatif

(44)

Berikut ini adalah pengembangan lebih lanjut tentang kemungkinan terbentuknya sistem yang direpresentasikan oleh salah satu dari kedua bentuk di atas. Kemudian, secara spesifik dari unsur-unsur kebahasaan diberikan contoh-contoh yang tujuan akhirnya adalah untuk memudahkan kajian ini.

3. X

Sistem ini menyatakan dua komponen menjadi satu, yakni b dan c membentuk r. Contoh dalam bahasa dapat terlihat seperti berikut:

Finite

Predicator b

c

r a

Modal

Tense

Proses

Verba

Verba Y

(45)

4.

Sistem ini menyatakan bahwa bila pilihannya adalah a maka akan diikuti oleh c/d, dan bila dipilih d maka muncul e/f. Sistem semacam ini dapat terlihat dalam penggunaan bahasa seperti contoh di bawah ini:

deklaratif

indikatif ya/tidak interogatif

informasi

imperatif

Contoh ini menggambarkan adanya pilihan yang berasal dari modus (sumber daya untuk menegosiasikan makna dalam percakapan), yaitu apakah pilihannya jatuh pada indikatif atau imperatif. Bila indikatif yang dipilih, maka pilihannya harus salah satu apakah deklaratif atau interogatif. Begitu pula, bila interogatif yang dipilih, terdapat lagi pilihan lainnya, apakah interogatif itu akan berbentuk klausa tanya yang bersifat ya/tidak atau klausa tanya. Jadi pilihan selalu muncul dan bukan satu-satunya, dan ini menunjukkan bahwa sistem jaringan itu dipresentasikan bahasa sebagai sebuah sumber daya dan bukan sebagai perangkat aturan (Martin, 1992:5).

X

a

b

c d

e f

(46)

Seperti yang diketahui bahwa penggunaan bahasa tidak pernah lepas dari konteks sosial. Penggunaan unsur-unsur bahasa seperti yang telah diuraikan terdahulu sangat ditentukan oleh konteks sosial terjadinya komunikasi. Pilihan unsur bahasa seperti kalimat deklratif, imperatif, dan sebagainya oleh penutur dan petutur senantiasa berdasarkan konteks sosial. Konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideology (Martin, 1992).

(47)

kekuasaan disebabkan oleh usia, jenis kelamin, etnik, gender, jaringan sosial, jabatan dan kelas sosial. Sementara Fitsgerald (2006), Thomas, dan kawan-kawan (2000) menyatakan bahwa selain faktor- faktor yang telah disebutkan di atas, rasis dan politik juga sebagai penyebab adanya keberadaan status dan kekuasaan. Seorang penutur yang memiliki usia lebih muda akan menggunakan kalimat tanya berikut “Apakah anda tidak keberatan mengangkat kursi itu?” sebagai pengganti kalimat perintah ‘command’ “Angkat kursi itu!”. Selain status, penutur dalam menukarkan pengalamannya juga harus memperhatikan konteks pembicaraan terjadi apakah dalam konteks social yang biasa atau tidak biasa. Konteks sosial biasa merupakan situasi percakapan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sedangkan konteks sosial yang

Sama Status

Tidak sama

Formal Formalitas

Sistem Tidak formal

Positif Afekif

Negatif

Sering kontak

Tidak sering

(48)

tidak biasa merupakan aktivitas sosial yang berkaitan dengan budaya dan agama. Dalam bertukar pengalaman, penutur dan petutur juga dapat melakukan pilihan apakah secara langsung maupun tidak langsung, yaitu penutur berhadapan langsung dengan petutur atau menggunakan sarana komunikasi.

Berdasarkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan penutur dan petutur, maka dapat diinterpretasikan bahwa dalam bertukar pengalaman atau lebih tepatnya dalam berkomunikasi terjadi suatu sistem jaringan, di mana para penutur dan petutur dapat melakukan pilihan-pilihan seperti yang tergambar dalam Figura 2.3.

A

1.Petutur B

Langsung 1.Peristiwa 2. Kontak

Tidak langsung Biasa

3.Konteks

1. Memulai Tidak biasa Sistem Percakapan 2. Orientasi

2. Menanggapi

1. Ada 3. Interaksi

2. Tidak ada

(49)

Figura 2.3 memperlihatkan bahwa sistem percakapan secara umum terdiri dari tiga faktor, yaitu peristiwa, orientasi dan interaksi. Peristiwa sebagai faktor pertama terdiri dari tiga unsur, yaitu penutur, kontak dan konteks. Petutur biasanya terdiri dari dua orang atau lebih yang satu sama lain dapat berbicara langsung, Kontak sebagai unsur kedua dari peristiwa merupakan keadaan komunikasi yang terjadi apakah penutur melakukan komunikasi secara langsung atau menggunakan sarana komunikasi. Orientasi adalah peran penutur memulai atau menanggapi. Interaksi sebagai faktor ketiga dari sistem percakapan adalah kelangsungan percakapan. Jika percakapan berlangsung, maka terjadi interaksi dan jika tidak berlangusng berarti tidak ada interaksi.

Konteks merupakan situasi terjadinya percakapan apakah percakapan berlangsung alam situasi formal atau tidak formal, situasi biasa dan tidak biasa. Orientasi sebagai faktor kedua dalam sistem percakapan memperlihatkan apakah penutur memulai atau menanggapi percakapan. Faktor ketiga dari sistem percakapan adalah interaksi. Bila ada tanggapan akan terjadi interaksi dan percakapan akan berlanjut sesuai kebutuhan penutur. Bila tidak ada tanggapan, maka tidak terjadi interaksi. Berdasarkan pilihan-pilihan di atas, penutur menukarkan pengalamannya yang akan membentuk struktur percakapan

2.1.6 Struktur Percakapan

(50)

Setelah diambil sebuah pilihan dari sistem itu, pilihan itu kemudian dapat direpresentasikan dengan struktur seperti contoh berikut di mana yang dipilih adalah ‘hormat’ yang bersumber dari posisi ‘tidak sama’ dari segi pilihan ‘status’.

Struktur: + hormat k2: Pak, boleh saya pergi? + positif k1: Ya.

Untuk dapat menjabarkan struktur percakapan lebih rinci dan jelas, maka akan diuraikan terlebih dahulu negosiasi, modus, fungsi ujar dan respon.

2.1.6.1 Negosiasi Fungsi Ujar, Modus, dan Tanggapan ‘Respon’

Negosiasi dan fungsi ujar merupakan bagian dari semantik wacana, yang keduanya kemudian direalisasikan oleh modus sesuai dengan konteksnya. Negosiasi dan fungsi ujar berperan penting dalam menganalisis wacana karena maksud dari penutur akan tercapai jika dinegosiasikan dengan penggunaan fungsi ujar yang bersesuaian dengan hubungan tenor yang terlibat dalam komunikasi.

a. Negosiasi

Martin (1992:31) menyatakan bahwa negosiasi merupakan struktur percakapan dalam bentuk langkah ‘move’. Dalam hal yang sama Martin dan Rose (2002:219) menyatakan bahwa negosiasi berhubungan dengan interaksi sebagai suatu pertukaran langkah di antara para penutur. Bagaimana para penutur mengadopsi dan menandai perannya masing-masing di dalam percakapan serta bagaimana langkah-langkah disusun dalam kaitan satu dengan yang lain.Langkah itu sendiri diartikan sebagai fungsi atau peran yang dimainkan oleh penutur

(51)

dimainkan oleh petutur ‘addressee’ dan komoditas yang dipertukarkan (Saragih, 2006:14). Sedangkan menurut Martin (1992) ‘move’ adalah titik keberangkatan yang berharga.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik tiga parameter yang perlu dipertimbangkan dalam percakapan, yaitu apa yang akan dinegosiasikan, peran apa yang dilakukan, memulai percakapan atau merespon percakapan serta apakah memberi atau meminta informasi atau memberi atau meminta barang atau jasa (Martin dan Rose, 2002:222). Dalam meminta dan memberi informasi yang diharapkan adalah respon verbal atau gerak badan ‘gesture’ sedangkan jawaban yang diharapkan dapat berbentuk respon verbal atau aksi atau sekaligus keduanya, yaitu respon verbal dan respon aksi.

Contoh berikut memperlihatkan bahwa A memulai percakapan dengan meminta informasi kepada B (respon).

A : Enggo dung bandu kerina? ‘Sudah siap semua kau buat’?

B : Enggo ‘sudah’

Percakapan berikut merupakan contoh meminta dan barang atau jasa. L memulai percakapan dan M merespon.

L : Banci kita ngerana entisik ‘Boleh kita sebentar bercakap-cakap’? M : (lalu mereka memulai percakapan)

(52)

Parameter ketiga adalah memberi versus meminta. Memberi atau meminta terdiri dari dua jenis memberi atau meminta informasi dan memberi atau meminta barang atau jasa.

Memberi informasi (pernyataan ‘statement’)

A : Lenga sahun itaruhkenna nande ku kuta ‘Belum jadi mamak diantarkannya ke kampung’ B : Bage nge? ‘Begitunya?

Memberi barang atau jasa (tawaran ‘offer’) A : Man kam pa? ‘Makan bapak? B : Ue, yah ‘ya’

Meminta informasi ( pertanyaan ‘question’)

A : Enggo kam man pa? ‘Bapak sudah makan’? B : Enggo ‘sudah’

Meminta barang atau jasa (tawaran ‘command’)

A : Tama nakan ku nakku? ‘Taruh nasi bapak, nak.

B : Ue, pa ‘ya, pak’

b. Fungsi Ujar

Dalam makna antarpersona Halliday (1994:69) menggolongkan fungsi ujaran ke dalam empat kelompok yaitu: tawaran ‘offer’, perintah ‘command’, pernyataan ‘statement’, dan pertanyaan ‘question’. Keempatnya kemudian dipasangkan dengan respons yang diharapkan yaitu menerima tawaran ‘accepting an offer’, melaksanakan perintah ‘carrying out command’, mengakui pernyataan’ acknowledging a statement’, menjawab pertanyaan ‘answering a

question’. Thompson (1996:39) menyatakan bahwa tujuan fundamental dalam pertukaran

(53)

Komoditas yang dipertukarkan dalam fungsi ujaran ini terbagi dua yaitu: (1) informasi dan (2) barang & jasa. Yang termasuk ke dalam informasi adalah pernyataan dan pertanyaan, sedangkan tawaran dan perintah termasuk ke dalam barang & jasa. Kemudian, pernyataan dan pertanyaan dianggap sebagai proposisi, dan tawaran dan perintah dianggap sebagai proposal. Keempat fungsi ujar itu disebut juga sebagai fungsi ujar dasar karena dari keempat fungsi ujar itu dapat diturunkan fungsi ujar yang lain. Secara ringkas Tabel 2.1 memperlihatkan keempat fungsi ujar dan respon terhadap fungsi ujar tersebut.

(54)

Gambar

Figura  2.1 Sistem turn-taking
Figura  2.2: Sistem Percakapan berdasarkan Konteks Situasi
Figura 2.3 : Sistem Jejaring  Percakapan
Tabel 2.1 Fungsi Ujar dan Respons
+7

Referensi

Dokumen terkait

kata permintaan maaf dalam percakapan (44), (49), (50) ini dalam bentuk nomina yang mana dalam bahasa Jerman bisa diubah polanya menjadi verba (percakapan 45) dan lebih

Penelitian ini terdapat tiga tujuan, yaitu untuk mendeskripsikan wujud implikatur percakapan dalam wacana stiker angkutan umum angkot di wilayah Kudus, memaparkan maksud

Adapun fokus dari penelitian ini adalah pada bagaimana (1) diksi dan gaya bahasa yang digunakan tokoh Sentilan dan Sentilun dalam percakapan “Sentilan Sentilun”

Dalam tahapan ini mencakup 3 (tiga) kegiatan sekaligus, yaitu menggunakan sistem melakukan audit terhadap sistem yang bersangkutan dan melakukan.. perawatan terhadap sistem.

kata permintaan maaf dalam percakapan (44), (49), (50) ini dalam bentuk nomina yang mana dalam bahasa Jerman bisa diubah polanya menjadi verba (percakapan 45) dan lebih

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat terdapat dua jenis implikatur yaitu implikatur percakapan dan implikatur konvensional, tiga sifat implikatur, yaitu

Berdasarkan analisis data dan pembahasan tindak tutur direktif dalam percakapan siswa di jejaring sosial facebook, dapat disimpulkan bahwa bentuk tindak tutur direktif

Terdapat dua jenis implikatur percakapan yang terdapat dalam percakapan antartokoh dalam film pendek Tilik karya Ravacana Films, yaitu implikatur percakapan konvensional yang terdapat