• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOHERENSI WACANA PERCAKAPAN DOKTER DAN P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOHERENSI WACANA PERCAKAPAN DOKTER DAN P"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KOHERENSI

WACANA PERCAKAPAN DOKTER DAN PASIEN

DALAM PROGRAM KONSULTASI SEKS RADIO FM DI SURABAYA

1

Oleh

Agung Pramujiono

Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Email: pram4014@yahoo.com

Abstract

Verbal interactions between doctor and patient form a discourse. As it is, it can be found in the interaction that the speakers make great efforts to build discourse coherence in order that the communication resulted runs smoothly. Coherence as meaning link which does not use formal link or overt signals can be interesting phenomena to be studied. In conversational exchanges between doctor and patient, doctor domination is often recognized which results in unbalanced or asymmetrical interaction. In this kind of context, a certain strategy is needed to form discourse coherence. Based on the data analysis some findings were obtained, they were: conversational discourse between doctor and patient was a coherence one; the strategies applied to maintain the coherence of the discourse covered the use of presupposition, conversational implicature, and inference.

Key Words: coherence strategy, conversational discourse, doctor-patient conversational exchanges, sex consultation

1. Pendahuluan

Brown dan Yule (1996: 1) membedakan fungsi bahasa menjadi dua, yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Fungsi transaksional berhubungan dengan upaya untuk menyampaikan informasi faktual atau proporsional, sedangkan fungsi interaksional berkaitan dengan upaya

memantapkan dan memelihara hubungan-hubungan sosial. Ketika kedua fungsi tersebut diterapkan dalam suatu komunikasi akan menghasilkan sebuah wacana.

Interaksi secara verbal antara dokter dan pasien merupakan sebuah wacana. Sebagai sebuah wacana, dalam interaksi tersebut dapat ditemukan upaya penutur untuk membangun koherensi wacana sehingga komunikasi yang terjadi dapat berjalan dengan baik.

Koherensi wacana percakapan dokter dan pasien merupakan suatu fenomena yang menarik untuk diteliti. Hal ini berkaitan dengan sering tidak seimbangnya komunikasi dokter dan pasien. Penelitian Tannen dan Wallat (1986) yang mengkaji percakapan antara petugas medis dengan lima keluarga yang anaknya menderita sakit dan penelitian Robert (1996) yang mengkaji interaksi antara dokter dengan pasien penderita kanker payudara menemukan adanya ketidakseimbangan pertukaran informasi antara dokter dan pasien. Dalam konteks wacana percakapan yang tidak berimbang tersebut, upaya yang dilakukan penutur untuk membangun koherensi wacana menarik untuk dikaji lebih lanjut. Fokus penelitian ini adalah koherensi wacana percakapan dokter dan pasien dalam program konsultasi seks radio FM di Surabaya.

(2)

dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana (Alwi, dkk., 2000: 427), sedangkan koherensi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata (Alwi, dkk., 2000: 428). Secara tegas, Kramsch (2006:28) menyatakan bahwa koherensi tidak ditemukan dalam ujaran penutur, tetapi tercipta dalam benak penutur dan mitra tuturnya melalui inferensi yang disusun berdasarkan kata-kata yang mereka dengar. Koherensi pragmatik mengaitkan antarpenutur dalam lingkup konteks budaya yang luas dalam sebuah komunikasi.

Strategi yang dapat dijadikan sarana untuk membangun koherensi suatu wacana, menurut Brown dan Yule (1983) dan Kartomihardjo (1993) antara lain (1) praanggapan, (2) implikatur percakapan, dan (3) inferensi.

a. Praanggapan

Praanggapan merupakan pengetahuan bersama (common ground) antara pembicara dan

pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. Sumber praanggapan adalah pembicara. Pembicaralah yang berpraanggapan bahwa pendengar memahami apa yang dipraanggapkan (Kartomihardjo, 1993: 30). Brown dan Yule (1983: 29) menyitir pandangan Stalnaker yang menyatakan praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Misalnya pada teks berikut.

A:Kucing belangku beranak lagi tiga ekor.

B:Anaknya juga belang kayak yang dulu?(Kartomihardjo, 1993: 30)

Pada teks di atas, A selaku penutur berpraanggapan jika B sebagai lawan tuturnya mengetahui bahwa dia mempunyai seekor kucing belang. Hal ini terbukti dari respon yang dikemukakan oleh B. Jika B tidak mengetahui bahwa A memiliki kucing belang seperti yang dipraanggapkan oleh A, pasti B akan menanyakannya. Dalam konteks tersebut bahkan B mengetahui bahwa dulu anak kucing A juga belang.

b. Implikatur Percakapan

Istilah implikatur pertama kali dikemukakan oleh Grice (1975) untuk mengatasi persoalan makna yang tidak bisa dipecahkan oleh semantik. Implikatur digunakan untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur (Brown dan Yule, 1983: 31). Implikatur merupakan ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan (Kartomihardjo, 1993: 30). Dengan implikatur, Grice mengembangkan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna penutur, dan implikasi dari suatu tuturan. Grice membedakan implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional (implikatur

percakapan) yang dibedakan atas implikatur percakapan khusus dan implikatur percakapan umum, serta praanggapan.

Kartomihardjo (1993: 30) memberikan contoh ujaran yang mengandung implikatur sebagai berikut.

A:Ati, itu air yang sedang direbus barangkali sudah mendidih. B:Ya Bu, Bapak kopi apa teh?

Konteks ujaran di atas adalah seorang ibu di Jawa Timur menyuruh anak gadisnya membuat minuman untuk bapaknya. Si ibu hanya mengatakan,itu air yang sedang direbus barangkali sudah mendidih.Si ibu menggunakan implikatur percakapan untuk menyuruh anaknya. Ati memahami implikatur yang dimaksudkan ibunya, namun dia ingin mendapatkan ketegasan dari ibunya tentang pilihan ayahnya pada waktu itu. Menurut Kartomihardjo, implikatur akan dengan mudah dipahami jika antara pembicara dan pendengar telah berbagi pengalaman dan pengetahuan. Mereka menerapkan maksim kerja

(3)

c. Inferensi

Inferensi diperlukan karena penganalisis wacana, seperti halnya pendengar tidak dapat langsung memahami arti yang dimaksudkan penutur ketika mengucapkan ujaran. Sering kali seseorang harus mengandalkan usaha menarik simpulan untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran atau hubungan antarujaran (Brown dan Yule, 1983: 33). Karena jalan pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin saja simpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila hal ini terjadi, pendengar harus membuat inferensi lagi (Kartomihardjo, 1993: 31). Inferensi yang salah sering dijumpai dalam percakapan sehari-hari. Misalnya pada teks (11) berikut.

A:Saya dengar Sampean baru datang dari barat ya. B:Iya.

A:Sudah berapa kali? B:Sudah berapa ya? Sering.

A:Wah, Sampean banyak duit ya…Ji! B: Lho, siapa yang haji?

A:Jangan main-main Sampean.

Konteks percakapan pada teks (11), A dan B berasal dari etnis yang sama. Bagi etnis tertentu, naik haji merupakan sebuah prestise. A mendengar kalau B sekarang tinggal di Surabaya dan sudah hidup enak. A juga mendengar kalau B sudah sering ke barat untuk naik haji. Suatu ketika A bertemu dengan B dan ingin membuktikan kebenaran berita itu. Jalan pikiran A dan B berbeda. A melakukan kesalahan dalam membuat inferensi. Memang pada umumnya kalau orang baru pulang menunaikan ibadah haji dikatakanbaru dari barat. Karena B sering ke barat, A membuat inferensi bahwa B adalah seorang haji dan banyak duit. Sementara dalam jalan pikiran B, dia memang baru datang dari barat dan memang sering pergi ke barat, yaitu pergi ke daerah Tuban, Kudus, Demak, dan Cirebon. B sengaja membiarkan A dengan simpulan-simpulannya karena ingin memberikan “pelajaran” pada A.

3. Metode Penelitian

Penelitian yang berjudul “Koherensi Wacana Percakapan Dokter dan Pasien dalam Program Konsultasi Seks Radio FM di Surabaya” ini merupakan jenis penelitiankualitatif deskriptif. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan koherensi wacana percakapan dokter dan pasien. Menurut Bogdan dan Tailor (Moleong, 1995: 3), penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Data penelitian ini adalah interaksi verbal dokter-pasien dalam program konsultasi seks,

sedangkan sumber datanya adalah radio FM di kota Surabaya yang menyiarkan program konsultasi seks. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dengan teknik rekam (Sudaryanto, 1993: 139; Soekemi, dkk., 2000: 114). Alat perekam yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah radio-tape recorder yang dilengkapi dengan fasilitas rekam. Teknik ini digunakan untuk pengumpulan data berupa komunikasi lisan dokter-pasien dalam program konsultasi seks radio FM di Surabaya

Analisis data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik segmentasi seperti yang digunakan oleh Suparno (2000) dan mengikuti alur analisis data interaktif, simultan, dan berkelanjutan yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992: 15-20). Kegiatan analisis tersebut meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan simpulan sedangkan langkah analisis datanya mengikuti prosedur analisis percakapan yang dikembangkan oleh Deborah Tannen (1986).

(4)

Pm: Dua puluh tujuh.Yah… persoalannya Ibu. Silakan Ibu. (3) Dr: Nggak pernah absen Pak Sam ini.

Pm:Gimana Pak Sam?

Munculnya ujaran,kenapa ini?pada (1), Yah… persoalannya Ibupada (2), dan Gimana Pak Sam?pada (3) didasarkan pada dua praanggapan tersebut. Di sini pasien juga menyadari sehingga mereka tidak merasa tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Praanggapan tentang dokter adalah (1) dokter mempunyai kemampuan untuk membantu pasien mengatasi masalah, (2) dokter bersedia membantu pasien mengatasi masalah. Praanggapan tersebut dapat dilihat dari ujaran pasien berikut.

(4) Pm: Silakan Pak Rafli. Ps: Apa?

Pm: Iya, silakan.

Ps:Oh ya, gini Dokter Hudi. (5) Pm: Mas Ifan, usianya berapa?

Ps: Dua puluh dua.

Pm: Dua puluh dua. Silakan Mas Ifan. Ps:Ini mau tanya Dok.

UjaranOh ya, gini Dokter Hudipada (4) dan Ini mau tanya Dokpada (5) yang disampaikan oleh pasien didasari oleh praanggapan bahwa dokter mempunyai kemampuan untuk membantu

memecahkan masalah dan dokter bersedia membantu pasien dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.

b. Implikatur Percakapan

Keberadaan implikatur percakapan dalam percakapan dokter-pasien dapat dilihat pada data berikut.

(6) Pm: Rileksasinya dengan seks, ya Dok? Ps: Eh…eh… Oh ya, betul-betul itu Dok.

Dr: Jadi kalau memang begitu, ya jangan capek-capek dulu Buk. Ps:Gitu ya, lak ndak makan Dok.

Konteks percakapan pada (6) adalah seorang pasien wanita berkonsultasi pada dokter kalau dirinya mempunyai kecenderungan menjadi hiperseks. Setiap malam pasien tersebut ingin melakukan hubungan badan dan setiap kali melakukan dia selalu puas dan merasa nikmat. Padahal pasien tersebut memiliki pekerjaan yang cukup melelahkan. Pasien berprofesi sebagai sales. Dokter memprediksi dorongan melakukan hubungan setiap hari itu disebabkan oleh kecapekan akibat kerja sehingga perlu rileksasi dengan seks. Ketika dokter memberikan solusi agar si pasien tidak terlalu capek, si pasien menjawab, Gitu ya, lak ndak makan Dok. Antara ujaran dokter dengan ujaran pasien seolah tidak berhubungan. Di situ terdapat beberapa ujaran yang hilang yaitu (1) Kalau tidak boleh capek-capek berarti kan tidak bekerja. (2) Tidak bekerja tidak akan dapat uang. (3) Kalau tidak punya yang berarti tidak makan.

Pada data (7) konteks percakapannya, seorang pasien wanita berkonsultasi dengan dokter tentang vaksin apa yang minimal perlu dilakukan oleh pasangan yang mau menikah. Kemudian dokter bertanya berapa hari lagi menikahnya?, si pasien mengelak kalau masih beberapa bulan lagi. Dokter dan pemandu acara menggoda dengan pernyataan bahwa si pasien takut mengundang mereka. Si pasien menjawab, Nggak rame-rame kok Dok. Ujaran pasien tersebut mengandung implikatur percakapan karena perkawinannya tidak dirayakan jadi dia tidak menyebarkan undangan.

(7) Dr: He…eh. Kapan berapa hari lagi menikahnya? Ps: Ah…Enggak, kok.

Dr: Heh…heh….

Ps: Masih beberapa bulan lagi.

Dr: Takut kalau saya datang gitu ya. Heh…heh…heh. Ps: Heh…heh….

Pm: Takut kalau ngundang ya, heh…heh…. Ps:Nggak rame-rame, kok Dok.

Dr: Oh, gitu ya….

(5)

Ini sudah tidur semua kok Buk anak kecil-kecil. Sahutan pemandu acara tersebut mengandung implikatur percakapan. Pada saat itu anak-anak sudah tidur jadi si pasien bisa berterus terang menceritakan apa yang dialaminya kepada dokter.

(8) Ps: Eh…begini Dok, saya mau nanya mengenaiMr.P-nya seorang laki-laki, ya Dok. Dr: He…eh, he…eh.

Ps: Begini, ini saya eh… ngomong terus terang nggak pa-pa ya dok ya. Dr: Oh, bagus Buk tambahan Buk.

Pm: Nggak pa-pa. Dr: Heh…heh…heh….

Pm:Ini sudah tidur semua kok Buk anak kecil-kecil.Heh…heh…heh….

c. Inferensi

Selain dengan praanggapan dan implikatur percakapan, koherensi wacana dalam percakapan dokter dan pasien juga dibangun dengan inferensi. Pada (9) si pasien menyatakan bahwa dia sudah lama menikah dan sudah punya anak tiga tetapi dia tidak ikut KB dan dia sudah tidak bisa mempunyai anak lagi berdasarkan informasi dari seorang dokter. Dokter menanyakan apakah pasien tersebut sudah menopause, ikut steril, atau sudah dioperasi kandungannya? Pertanyaan-pertanyaan dokter tersebut merupakan hasil inferensi berdasarkan pengalaman dokter dan pemahaman dokter terhadap dunianya. Kasus tidak bisa punya anak lagi itu disebabkan antara lain oleh faktor-faktor yang ditanyakan oleh dokter tadi, yaitu sudah menopause, sudah steril, dan sudah mengalami operasi kandungan. Penggunaan inferensi tersebut dapat dilihat pada data berikut.

(9) Pm: Usia perkawinannya sudah berapa lama Ibu Lia. Ps: Ya udah lama.

Pm: Sudah lama ya.

Dr: Wah… hebat ya. Putranya berapa Buk? Ps: Tiga.

Dr: Iya... terus KB-nya pakai apa Buk? Ps: Endak.

Dr: Endak pakai KB, lo ndak takut kebobolan? Ps: Sekarang sudah ndak ada itu.

Dr:Menopause? Ps: Belum.

Pm:Steril maksudnya Buk? Ps: Enggak.

Dr: Lo! Ke….

Pm: Yang nggak ada itu apa Buk maksudnya?

Ps: Katanya dokter sudah nggak bisa punya anak, gitu. Dr:Oh… sudah dioperasi tempat anaknya?

Ps: Enggak, belum.

Dr: Masak? Tiga puluh sembilan itu masih suburnya orang lo Buk.

Ps: Tapi saya kan masih pingin punya anak lagi. Tapi katanya dokter ndak tahu, sudah nggak bisa, gitu.

Dr: Lha iya, sebabnya apa ndak tahu?

Demikian juga pada (10) dan (11), pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dokter

(6)

Ps: Terus apa ndak ada pengaruhnya ke kandungan saya, Dok? Dr: Heh…. Mbak Diah inihobi makan pedas-pedasmungkin ya? Ps: Iya.

Dr:Suka, suka jajan rujak atau apa gitu? Ps: Iya…iya.

(11) Ps: Mau tanya ini, ciri-cirivarikokelitu bagaimana Dok? Dr: Ciri-cirivarikokelya?

Ps: He…eh. Dr: Hem….

Ps: Kalau bisa langsung dijawab Dok, mungkin saya bisa…bisa…. Dr:Pak Hari ini ABRI ya?

Ps: Enggak Dok.

Dr: Oh, enggak.Suka loncat-loncat atau angkat berat? Ps: Enggak juga.

Dr: Enggak ya.Suka mengejan? Ps: Enggak juga.

Pada (11), konteksnya si pasien menderita varikokel kemudian bertanya kepada dokter tentang ciri-ciri varikokel. Pertanyaan-pertanyaan dokter yang diajukan oleh dokter merupakan suatu inferensi. Suatu simpulan awal yang digunakan oleh dokter untuk memprediksi faktor penyebab varikokel yang diderita oleh pasien. Pekerjaan sebagai ABRI dan kebiasaan suka loncat-loncat, angkat berat, dan suka mengejan menurut pengalaman dalam dunia medis dapat menjadi faktor penyebab seseorang dapat mengalami varikokel.

5. Simpulan

Koherensi merupakan tautan makna yang tidak menggunakan penghubung formal (formal link) atau penanda katon (overtly signalled) dalam wacana. Koherensi mengikat penutur dan mitra tutur dalam konteks budaya yang luas dalam suatu komunikasi. Koherensi wacana dapat dipahami dengan menggunakan strategi tertentu. Strategi koherensi dalam wacana percakapan dokter dan pasien meliputi (1) praanggapan, (2) implikatur percakapan, dan (3) inferensi.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H., dkk. 2000.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Brown, G. dan Yule, G. 1996.Analisis Wacana. Penerjemah I. Soetikno. Jakarta: P.T. Gramedia.

Cook, G. 1989.Discourse.Oxford: University Press.

Halliday dan Hasan, R. 1976.Cohesion in English. New York: Longman Group Ltd.

Kramsch, C. 2006.Language and Culture. New York: Oxford University Press.

Kartomihardjo, S. 1993. “Analisis Wacana dengan Penerapannya pada beberapa Wacana” dalamPellba 6 (Bambang Kaswanti Purwo Ed.). Yogyakarta: Kanisius.

Miles, B.M. dan Huberman, A.M. 1992.Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-Metode baru.Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.

Moleong, L. 1995.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soekemi, Soewono, dan Lestari, L.A. 1996.Metodologi Penelitian Bahasa. Surabaya: Unesa University Press.

(7)

Suparno. 2000. “Wacana Jual-Beli Berbahasa Indonesia” dalamLinguistik Indonesia Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. Tahun 18, Nomor 2. Jakarta: MLI bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia.

Tannen, D. 1986.Conversational Style: Analyzing Talk Among Friends.New Jersey: Ablex Pub Co.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah di lakukan tentang peran guru dalam mengembangkan bakat siswa di SD Negeri 34/1 Teratai, dapat disimpulkan bahwa guru sudah mengembangkan

Vanhempien osallisuus ja sen vahvistaminen lasten ja perheiden palveluissa Maaret Vuorenmaa, TtT, Tampereen yliopisto, Terveystieteiden yksikkö Nina Halme, TtT, Terveyden

Dalam oligopoli, setiap perusahaan memposisikan dirinya sendiri sebagai bagian yang terikat dengan permainan pasar, dimana keuntungan yang mereka dapatkan tergantung pada

Dalam penulisan laporan Skripsi ini, untuk mendapatkan informasi secara lengkap maka penulis melakukan suatu metode suatu tanya jawab mengenai semua kegiatan yang

Mahasiswa dapat menjelaskan kembali hasil kajian terhadap perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, terhadap sistem perijinan dalam perlindungan lingkungan hidup serta

Dwi Mahardika, Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan metode resitasi terhadap hasil belajar matematika siswa SMP Negeri 1 Boyolangu tahun

Selanjutnya luas lahan sawah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2006 dan tahun 2015- 2016 hasil klasifikasi citra MODIS EVI dibandingkan dengan data statistik pertanian dari

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun Pueraria javanica berpotensi menurunkan perkecambahan dan pertumbuhan serta