• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan terhadap Kajian Percakapan

KAJIAN PUSTAKA, DAN KONSTRUK ANALISIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.2 Pendekatan terhadap Kajian Percakapan

Percakapan telah menjadi perhatian khusus dalam kajian bahasa selama beberapa dekade terahir ini. Kajian-kajian itu berupaya untuk mencari seluruh fenomena penggunaan bahasa dalam konteks sosial atau yang lebih dikenal sebagai Sosiolinguistik. Ilmu sosiologi bahasa ini menggambarkan bagaimana bahasa digunakan dan faktor-faktor apa saja yang mem-pengaruhinya.Terdapat beberapa pendekatan tentang kajian percakapan yang akan diuraikan berikut ini. Paparan ini bertujuan sebagai latar belakang memilih Lingusitik Sistemik Fungsional sebagai landasan teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini

2.1.2.1Etnometodologi

Pendekatan etnometodologi pertama sekali diperkenalkan oleh Harold Garfinkel pada tahun 1967. Ia mengembangkan pendekatan ini untuk melihat bagaimana sifat tindakan manusia yang berhubungan dengan kemampuan menyampaikan dan memahami tindakan dan aktifitas sosial sehari-sehari. (Bell & Garrett, 2001:162). Jadi, pendekatan ini pada dasarnya tidak secara langsung mengkaji kegiatan kebahasaan manusia dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, tetapi berdasarkan pendekatan inilah kemudian muncul pendekatan Analisis Percakapan (Conversation Analysis = CA) sebagai salah satu cabangnya.

2.1.2.2Analisis Percakapan

Sebenarnya analisis percakapan telah diawali lebih dini oleh Bellack dkk (1966) dan Flanders (1970). Penelitian mereka lebih berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Mereka menganalisis wacana guru di kelas, yakni bagaimana guru bertanya, memerintah, dan merespon dan bukan mengkaji bagaimana perintah direalisasikan dalam bahasa. Selanjutnya analisis percakapan berkembang tidak hanya sebatas wacana di kelas melainkan wacana alami yang terjadi di masyarakat dalam berbagai aktifitas. Beberapa tokoh yang mengawali Analisis Percakapan ‘Conversation Analysis’ atau lebih dikenal dengan singkatan CA adalah Goffman (1981), Sacks, Schegloff dan Jefferson (1992) yang berfokus pada giliran percakapan ‘turn taking’ dan ‘adjacency pairs’.. CA banyak mengambil data dari percakapan yang direkam berdasarkan interaksi percakapan. Levinson (1985:295) mengatakan bahwa data itu terdiri dari rekaman kaset dan transkrip percakapan yang terjadi secara natural, dengan sedikit saja perhatian kepada sifat konteksnya (misalnya apakah partisipan merupakan teman atau kenalan saja, atau apakah berada satu kelompok sosial tertentu, atau apakah konteksnya formal atau tidak formal, dsb.). Sacks et al. dalam Eggins dan Slade (1997:25) berpendapat bahwa terdapat dua fakta ketika mereka mengobservasi data interaksi percakapan, yaitu:

a) hanya satu orang berbicara pada waktu tertentu b) perubahan pembicara terus terjadi

Secara umum bisa dipahami bahwa kedua fakta ini biasa dijumpai dalam konteks percakapan. Inilah yang sering disebut dengan ‘pengambilan giliran’ atau ‘turn taking’. Fasold (1990:66) melihat ‘turn-taking’ dalam sebuah percakapan merupakan isu sentral dalam pengelolaan wacana dan bahkan mendapat banyak perhatian dari berbagai sudut pandang. Ia juga

Schegloff, dan Jefferson, Fasold (1990) mengatakan terdapat beberapa fakta penting dalam

turn-taking seperti: (1) terjadinya perubahan pembicara, yang berarti bahwa dalam percakapan tidak satu orang saja yang berbicara terus menerus; (2) berkuasa penuh, yang berarti bahwa salah satu pihak berbicara pada waktu tertentu; (3) meskipun ada kecenderungan berkuasa penuh, bisa saja terjadi lebih dari satu orang berbicara pada saat yang bersamaan, namun biasanya tidak berlangsung pada waktu yang panjang; (4) pertukaran giliran tanpa adanya gap atau overlap

adalah hal wajar; dan (5) tidak ada teknik alokasi-giliran, artinya siapa saja bisa menjadi

addressee.

Kemudian mereka menciptakan apa yang disebut dengan ‘Turn Constructional Units’

(TCUs) karena pembicara berbicara dalam unit-unit. TCU merupakan unit bahasa yang lengkap secara gramatika seperti kalimat, klausa atau frasa, yang ahirnya memungkinkan orang-orang yang berinteraksi untuk melakukan transfer. TCU ini digunakan untuk menentukan bagaimana

turn taking itu terlaksana, siapa dan kapan harus berbicara. (Eggins dan Slade, 1997:26) menggambarkan sistem turn-taking sebagai berikut:

Figura 2.1 Sistem turn-taking

Current speaker selects next speaker

Selects a different speaker Titik awal pertukaran giliran Pembicara memilih pembicara berikutnya Pembicara berikutnya memilih dirinya sendiri Memilih pembicara berikutnya Memilih diri sendiri

Observasi CA memiliki kekuatan pada pengumpulan datanya karena diperoleh dari interaksi alami yang direkam sedemikian rupa dan kemudian ditranskripsi secara rinci. (Eggins dan Slade: 1997:31). Namun, terdapat kelemahan di dalamnya, yaitu: (1) kurangnya katagori analitis sistemik, yang berarti bahwa analisis kuantitatif yang bersifat komprehensif tidak bisa dilakukan, (2) berfokus pada fragmen, yang artinya tidak mampu menjabarkan interaksi yang lengkap dan berkesinambungan, dan (3) interpretasi percakapannya yang mekanistik, artinya menganggap percakapan sebagai mesin tidak menjelaskan untuk apa orang-orang yang berinteraksi menggunakan mesin itu.

2.1.2.3Etnografi Percakapan

Etnografi Percakapan merupakan bagian dari Pendekatan Sosiolinguistik terhadap percakapan. Tokoh yang berjasa dalam pendekatan ini adalah Dell Hymes dengan konsep yang diperkenalkannya sebagai SPEAKING. Akronim ini mengacu kepada komponen percakapan yang ia masukkan ke dalam general grid. (Hymes, 1974:54-62). Komponen-komponen itu adalah: bentuk berita ‘Message form’, isi berita ‘Message content’, latar ‘Setting’, ‘Scene’,

penutur ‘Speaker’ atau Sender, Addressor, Hearer atau receiver atau audience, Addressee, Purpose – outcomes, Purpose – goals, Key, Channels, Forms of Speech, Norms of interaction,

dan Genre.

Mengutip Hymes, Wardaugh (1986:239-240) menjelaskan akronim SPEAKING adalah sebagai berikut:

1. S untuk ‘Setting’ dan ‘Scene’ (waktu dan tempat terjadinya percakapan); 2. P untuk ‘Participants’ (pihak-pihak yang terlibat di dalamnya);

4. A untuk ‘Act sequence’ (bentuk dan isi dari apa yang diucapkan); 5. K untuk ‘Key’ (cara bagaimana makna disampaikan);

6. I untuk ‘Instrumentalities’ (media penyampai makna, apakah secara lisan atau tulisan); 7. N untuk ‘Norms of Interaction and interpretaion’ (norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai), dan;

8. G untuk ‘Genre’ (ranah komunikasinya).

Istilah yang digunakan ini menunjukkan bahwa percakapan merupakan aktifitas yang cukup rumit. Oleh karena itu tidaklah mudah untuk dapat menyampaikan makna atau pesan jika pemahaman akan hal-hal tersebut tidak dimiliki.

Pendekatan Hymes terhadap percakapan ini lebih baik dibandingkan dengan pendekatan etnometodologi dengan analisis percakapannya. Pendekatan etnografi percakapan ini memberikan kategori yang lebih luas dengan memperhatikan aspek-aspek sosial lainnya seperti dimensi kontekstual yang terdapat dalam percakapan sehari-hari yang dapat disetarakan dengan analisis register sistemik. (Eggins & Slade: 1997:34). Jadi, jelas terlihat bahwa analisis dengan pendekatan ini tidak hanya melihat kompetensi bahasa orang-orang yang berinteraksi tetapi juga konteks sosial dan budayanya Konteks sosial dan budaya ini akan membimbing orang untuk menggunakan ujaran yang tepat sesuai dengan lawan bicaranya. Selain Eggin dan Slade (1997), Young dan Fitzgerald (2006) menyatakan bahwa percakapan sehari-hari adalah aktifitas yang terstruktur sebagai hubungan khusus di antara partisipan dalam melakukan negosiasi pengalamannya. Mereka secara tidak sadar telah membentuk wacana yang terstruktur.

Penelitian yang sejenis dengan Hymes tetapi dengan objek yang berbeda yaitu wacana guru dan siswa di kelas yang dilakukan oleh Sinclair dan Coulthard (1975), Stubbs (1976 dan 1986), Barnes dan Todd (1977), Mehan (1979) Heath (1983), Cazden (1988), Green dan Kentor

Smith (1988) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian ini lebih bersifat pendidikan yang bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Penelitian tentang wacana di kelas ini berkembang, antara lain dilakukan oleh Gazden, C.V.J., John V.P., and Hymes, D (1972), Edwards dan Westgate (1944), Hicks (1995) dan Lemke (1998) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian yang mereka lakukan ini sifat pendidikannya berkurang dan lebih berfokus kepada analisis wacana. Mereka berpendapat untuk dapat menganalisis wacana unsur konteks sosial dan budaya harus diperhatikan karena bahasa manusia adalah kreatifitas aktifitas sosial dan membentuk gabungan budaya, kelompok sosial dan institusi

Ketidakpuasan para linguis dalam menganalisis bahasa, khususnya dalam menganalisis percakapan yang tidak berfokus pada fungsi bahasa, maka muncullah pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional.

2.1.2.4Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)

Penelitian wacana berdasarkan fungsi bahasa (LSF) telah diawali sebelumnya oleh Benson dan Graves (1985), Fawcet (1984) dan selanjutnya dilanjutkan oleh Martin (1992), Halliday (1985), Matthiesen (1992), Halliday dan Matthiesen (1999). Penelitian wacana yang berdasarkan fungsi bahasa dengan berfokus pada ‘register’ dan ‘genre’ dilakukan oleh Gregory dan Carroll (1978), Halliday dan Hasan (1985), Martin (1984 dan 1992) serta Christie dan Martin (1997).

Pendekatan LSF adalah pendekatan kajian bahasa yang berdasarkan prinsip semiotik. Dengan kata lain, tata bahasa fungsional sistemik adalah tata bahasa yang berdasarkan prinsip-prinsip semiotic yang menjadi dasar utama dalam tata bahasa fungsional sistemik.

Halliday (1997) menyatakan bahwa LSF berfokus pada fungsi yang bertujuan memahami teks lisan dan tulisan agar kita dapat mengutarakan hal-hal yang bermanfaat. Selanjutnya dikatakannya bahwa bahasa adalah fenomena sosial. yaitu bagaimana bahasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan sosial. Lebih jelasnya dikatakan Eggin (1997) bahwa LSF berorientasi pada makna yaitu bagaimana bahasa digunakan, dan bagaimana manusia menggunakan bahasa agar bermakna. Berkaitan dengan penggunaan bahasa, Halliday (1996) menyatakan bahasa adalah sumber makna berarti bahasa adalah pilihan, yaitu apa yang dikatakan seseorang berhubungan dengan apa yang dapat dikatakan. Dengan kata lain bahwa penggunaan bahasa berfokus pada hubungan yang bersifat paradigmatik. Lebih lanjut Halliday menyatakan bahwa yang terpenting bukanlah jenis pilihan yang dibuat melainkan yang berhubungan dengan kalimat yang dapat dipilih. Selanjutnya Halliday (1985:xiii) menyatakan bahwa komponen fundamental makna dalam bahasa adalah komponen fungsional. Komponen-komponen inilah yang dikenal sebagai metafungsi. Ketiga metafungsi tersebut adalah eksperiensial atau ideasional, fungsi antarpersona, dan fungsi tekstual. Ketiganya, fungsi antarpersonalah yang berkaitan dengan analisis percakapan karena di dalam fungsi ini tergambarkan interaksi yang menyatakan pembicara menyampaikan makna untuk dapat membangun dan menciptakan ikatan sosial dengan orang lain. (Thompson, 1996:38). Negosiasi makna seperti ini adalah untuk menginformasikan apa yang ia tahu tetapi orang lain tidak, menunjukkan sikapnya terhadap sesuatu untuk kemudian, bila mungkin, mengubah pandangan atau perilaku orang lain. Eggins dan Slade (1997:49-50) memberikan alasan mengapa fungsi antarpersona yang menjadi fokus:

1. Fungsi utama percakapan adalah negosiasi identitas sosial dan hubungan sosial; percakapan semacam ini didorong oleh makna antarpersona dan bukan makna ideasional atau tekstual.

2. Giliran percakapan ‘Turn-taking’ seperti dinyatakan dalam pendekatan CA direalisasikan dalam pola antarpersona yaitu modus dan struktur percakapan, khususnya dalam bahasa Inggris.

Pendekatan ini dipilih karena LSF menekankan pada analisis teks bukan kalimat-kalimat. Seperti yang disarankan para pakar LSF bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik sebaiknya dikaji dari tiga posisi, yaitu dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di astnya itu, unit linguistik menjadi elemen/konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian. Dengan mengkaji bahasa dari tiga sisi tersebut pemahaman fungsional akan diperoleh (Saragih, 2009).

Oleh karen itu, kesatuan bahasa yang lengkap bukanlah pada tingkat kata atau kalimat sehingga unit terkecil bahasa sekalipun, yaitu bunyi, memiliki makna ketika berfungsi di dalam konteks. Artinya, sistem arti dan sistem lain untuk merealisasikan arti tersebut berada pada tataran terdepan kajian LSF.