• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna Natuna Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. Ranai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR PUSTAKA. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna Natuna Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. Ranai."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Lautan Kupang

Nusa Tenggara Timur. Pusbina-Inderasig Bakosurtanal. Cibinong.

Bappeda Kabupaten Natuna dan Puslit UGM. 2001. Penyusunan Data Pokok

Pembangunan Daerah Kabupaten Natuna Tahun Anggaran 2001. Ranai.

Indonesia.

Bappeda Kabupaten Natuna dan Lemtek UI. 2005. Pemutakhiran Penyusunan

RTRW Kabupaten Natuna (Tahap Awal). Ranai. Indonesia.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. 2004. Natuna Dalam Angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. Ranai.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna 2003. Natuna Dalam Angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. Ranai.

Bengen DG. 2001.

Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data

Biofisik Sumberdaya

Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan

Lautan Institut Pertanian Bogor.

Bengen DG. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan

Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Kantor Kementrian Lingkungan Hidup RI

dan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Candra A. 2003. Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir Pulau Natuna, Tesis

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Dahuri R. 1997. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk Perencanaan

Dan Pengelolaan Tata Ruang Pesisir. Makalah disampaikan pada Pelatihan

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB. Bogor

Dahuri R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil

Berkelanjutan.

Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau

Kecil di Indonesia,

Jakarta; 7-10 Des 1998, Kerjasama Departemen Dalam

Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA,

BPPT, Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID. Jakarta.

B-32.

Dahuri R. 2000. Strategi dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Indonesia. Dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah

Pesisir Terpadu. Bogor.

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001.

Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Lautan Secara Terpadu

. Ed rev. Jakarta: PT. Pradnya Paramita Jakarta

.

(2)

Darwin M, 2005. Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil di Kecamatan Siantan dan Palmatak Kabupaten Natuna. Thesis

Pascarasjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Deni R. 2000. Konsep, Startegi, Kebijakan dan Pradigma Baru Pembangunan

Wilayah.

Makalah Pelatihan Penataan Ruang Propinsi

. Jakarta: Direktorat

Penataan Ruang Wilayah. Departemen Pemukiman dan Pengembangan

Wilayah. Jakarta.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2000.

Prosiding Temu Pakar

Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir

. Dirjen Urusan Pesisir, Pantai dan

Pulau-Pulau Kecil. DKP. Jakarta

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001a. Pedoman Teknis Zonasi

Kawasan Lindung dan Budidaya di Wilayah Pesisir. Direktorat Jendral

Peisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Tata Ruang. DKP. Jakarta.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001b. Pedoman Umum Pengelolaan

Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. P2K DKP.

Jakarta.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan 2006. Laporan Pendahuluan

Penyusunan Rencana Tata Ruang Kepulauan Anambas. Direktorat Tata

Ruang Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Kelautan,

Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. Jakarta

Dutton IM, Bengen DG dan Tulungen JJ. 2001. The Challanges of Coral Reefs

Management in Indonesia. In: Oceanographic Process of Coral Reefs:

Physical and Biological Links in The Great Barrier Reefs. Ed. Eric

Wolanski. CRC Press.

ESRI. 1990. Understanding GIS: The Arc/Info Method Environmental System

Research, Institut. Redlands, CA. USA.

Hutabarat S dan Evans SM. 1994. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia

Press. Jakarta.

Ilahude AG. 1999. Pengantar ke Oseanologi Fisika. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta.

Kusumastanto T. 2000. Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil,

Prosiding Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir

; Jakarta,

Okt 2000. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. hlm B.2.

Kusumastanto T. 2002. Reposisi “Ocean Policy” Dalam Pembangunan Ekonomi

Indonesia Di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang

Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(3)

Keputusan Mentri Pertanian RI. No. 392 Tahun 1999. Tentang Jalur Penangkapan

Ikan

Keputusan Presiden RI. Nomor 32 tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung.

Pemerintahan Kecamatan Siantan. 2006. Data Bantuan ComDev WNC di

Kepaulauan Anambas, Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Terempa.

Purwono, B. 2000. Penggunaan Lahan dan Tata Ruang Wilayah Pesisir. Pusat

Studi Lingkungan Hidup (PSLH). Universitas Pakuan. Bogor.

Retraubun AWS. 2001. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil,

Makalah Dalam

Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

. Bogor: Proyek Pesisir

PKSPL-IPB dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Raup SA. 2004 Kajian Kesesuaian Lahan dan Persepsi Masyarakat Untuk Tata

Ruang Wilayah Pesisir dan Laut di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar,

Sulawesi Selatan. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saaty TL. 1991. Pengampilan Keputusan Bagi Para Pemimpin; Proses Hierarki

Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Seri

Manajemen No. 134 (terjemahan). PT. Pustakan Binaman Pressindo.

Jakarta.

Stasiun Meteorologi Terempa. 2004. Data Klimatologi Badan Meteorologi dan

Geofisikan Stasiun Tarempa. Terempa.

Sugandhy A. 1999.

Penataan Ruang Dalam Lingkungan Hidup

. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992. Tentang Penataan Ruang.

Widiatmaka SR. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah;

Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(4)
(5)

Lampiran 1 Rekapitulasi hasil kuisioner respoden di Kecamatan Siantan, dan

Kecamatan Palmatak, Kepulauan Anambas

(6)

Lampiran 2 Data klimatologi stasiun Terempa 2001 - 2005

I. Data klimatologi tahun 2001

Angin Maksimum Angin Minimum Suhu Udara Curah Hujan No. Bulan Arah Kecepatan (m/s) Arah Kecepatan (m/s) rata-rata (oC) maks (oC) mm 1 Jan Utara 11,5 - 2,5 26,6 30,6 193 2 Feb Utara 9,5 - 2,5 26,1 30,4 224,3 3 Mar Utara 16,5 - 3 27 33 91,4 4 Apr Selatan 11,5 - 2 27,5 34,2 205,2 5 Mei Selatan 7,5 - 2 28,8 34,6 58,6 6 Jun Selatan 17,5 - 2 28,1 33,8 195,4 7 Jul Selatan 12 - 2,5 28,7 34,6 18,8 8 Agust Selatan 12 - 2,5 28,5 33,6 124 9 Sep Selatan 12,5 - 3 27,8 33,4 281,7 10 Okt Selatan 14 - 2,5 27,3 33,8 304,9 11 Nop Utara 15 - 2 26,8 33,4 479,7 12 Des Utara 14 - 3 26,3 31,2 524,9

Sumber: DKP (2006)

II. Data Klimatologi Tahun 2002

Angin Maksimum Angin Minimum Suhu Udara Curah Hujan No. Bulan Arah Kecepatan (m/s) Arah Kecepatan (m/s) rata-rata (oC) maks (oC) mm 1 Jan Utara 13,5 - 4 26,4 30 104,5 2 Feb Utara 11 - 3 26,6 30 48 3 Mar Utara 11,5 - 2 27,1 32 73,4 4 Apr Selatan 8 - 2 27,5 33,8 246,2 5 Mei Selatan 10 - 3 28,5 35 215,6 6 Jun Selatan 9,5 - 2 28,6 35,2 90,5 7 Jul Selatan 14,5 - 2,5 28,7 34,8 64,1 8 Agust Selatan 13 - 3 28,4 34,6 101,3 9 Sep Selatan 10 - 2 27 34,2 93,4 10 Okt Selatan 8,5 - 2 27,6 34,2 45,8 11 Nop Selatan 11 - 1,5 26,6 31,6 399,1 12 Des Utara 14 - 1,5 27,3 31,6 319,4

Sumber: DKP (2006)

(7)

III. Data Klimatologi Tahun 2003

Angin Maksimum Angin Minimum Suhu Udara Curah Hujan No. Bulan

Arah Kecepatan (m/s) Arah Kecepatan (m/s) rata-rata (oC) maks (oC) mm 1 Jan Utara 11,5 - 3,5 26,6 30 223,2 2 Feb Utara 13,5 - 2,5 26,6 30,1 198,3 3 Mar Utara 8 - 2 27,4 32,6 136,3 4 Apr Selatan 13,5 - 1 27,4 33,2 179,9 5 Mei Selatan 12 - 2 28,5 34,2 156,3 6 Jun Selatan 14 - 2 28 34 161,5 7 Jul Selatan 11,5 - 1,5 27,5 33 262,8 8 Agust Selatan 13 - 2,5 28,5 34,8 131,6 9 Sep Selatan 17 - 2 27,3 33,6 135,7 10 Okt Selatan 12 - 2 27,5 33,6 269,6 11 Nop Selatan 7 - 1,5 26,7 32,8 537,1 12 Des Utara 12,5 - 1,5 26,4 29,8 220,3

Sumber: DKP (2006)

IV. Data Klimatologi Tahun 2004

Angin Maksimum Angin Minimum Suhu Udara Curah Hujan No. Bulan Arah Kecepatan (m/s) Arah Kecepatan (m/s) rata-rata (oC) maks (oC) mm 1 Jan Utara 12 - 3 26,7 29,4 113,8 2 Feb Utara 10,5 - 2,5 26,3 30,8 32,8 3 Mar Utara 12,5 - 2 26,7 32 249,4 4 Apr Utara 9,5 - 3,5 27,8 34 39,5 5 Mei Selatan 11 - 4 28,3 35,2 145,7 6 Jun Selatan 13,5 - 1,5 28,4 34,3 234 7 Jul Selatan 13,5 - 1,5 27,2 33,4 132,3 8 Agust Selatan 15 - 1,5 28,4 34,5 53,3 9 Sep Selatan 10 - 1 27,1 33,4 433,6 10 Okt Utara 5 - 1,5 27,2 33,4 370 11 Nop Utara 6,5 - 4 26,8 31,4 271,8 12 Des Utara 10 - 3 26,4 30 596,9

Sumber: DKP (2006)

(8)

Tabel. Data Klimatologi Tahun 2005

Angin Maksimum Angin Minimum Suhu Udara Curah Hujan No. Bulan Arah Kecepatan (m/s) Arah Kecepatan (m/s) rata-rata (oC) maks (oC) mm 1 Jan Utara 7,5 - 2,5 25,8 30,2 143,5 2 Feb Utara 8,5 - 2 27 32,6 44,3 3 Mar Utara 11,5 - 2 27,2 32 301,7 4 Apr Utara 7,5 - 1,5 27,4 32,7 124,7 5 Mei Selatan 15 - 2 28,1 34,8 240,2 6 Jun Selatan 15,5 - 2 28,4 34,8 162,3 7 Jul Selatan 14 - 2 27,8 33,4 250,8 8 Agust Selatan 10,5 - 2,5 28,4 34 60,1 9 Sep Selatan 14 - 2 28,1 34 220,9 10 Okt Selatan 12,5 - 1,5 26,9 33 539,9 11 Nop Utara 8 - 1,5 26,9 33,2 439,4 12 Des Utara 14 - 2 26,5 31 33,6

Sumber: DKP (2006)

(9)

Lampiran 3 Data hasil analisis prediksi gelombang tahun 2001 - 2005

I. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2001

Angin Maksimum Gelombang No. Bulan

Arah Kecepatan (m/s) Tinggi/Hs (m) Periode (det)

1 Jan Utara 11,5 2,63 8,24 2 Feb Utara 9,5 2,17 7,73 3 Mar Utara 16,5 3,77 9,29 4 Apr Selatan 11,5 2,63 8,24 5 Mei Selatan 7,5 1,71 7,14 6 Jun Selatan 17,5 4,00 9,47 7 Jul Selatan 12 2,74 8,35 8 Agust Selatan 12 2,74 8,35 9 Sep Selatan 12,5 2,86 8,47 10 Okt Selatan 14 3,20 8,79 11 Nop Utara 15 3,43 9,00 12 Des Utara 14 3,20 8,79

Sumber: DKP (2006)

II. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2002

Angin Maksimum Gelombang No. Bulan

Arah Kecepatan (m/s) Tinggi/Hs (m) Periode (det)

1 Jan Utara 13,5 3,09 8,69 2 Feb Utara 11 2,51 8,11 3 Mar Utara 11,5 2,63 8,24 4 Apr Selatan 8 1,83 7,30 5 Mei Selatan 10 2,29 7,86 6 Jun Selatan 9,5 2,17 7,73 7 Jul Selatan 14,5 3,31 8,90 8 Agust Selatan 13 2,97 8,58 9 Sep Selatan 10 2,29 7,86 10 Okt Selatan 8,5 1,94 7,45 11 Nop Selatan 11 2,51 8,11 12 Des Utara 14 3,20 8,79

Sumber: DKP (2006)

(10)

III. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2003

Angin Maksimum Gelombang No. Bulan

Arah Kecepatan (m/s) Tinggi/Hs (m) Periode (det)

1 Jan Utara 11,5 2,63 8,24 2 Feb Utara 13,5 3,09 8,69 3 Mar Utara 8 1,83 7,30 4 Apr Selatan 13,5 3,09 8,69 5 Mei Selatan 12 2,74 8,35 6 Jun Selatan 14 3,20 8,79 7 Jul Selatan 11,5 2,63 8,24 8 Agust Selatan 13 2,97 8,58 9 Sep Selatan 17 3,89 9,38 10 Okt Selatan 12 2,74 8,35 11 Nop Selatan 7 1,60 6,98 12 Des Utara 12,5 2,86 8,47

Sumber: DKP (2006)

IV. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2004

Angin Maksimum Gelombang No. Bulan

Arah Kecepatan (m/s) Tinggi/Hs (m) Periode (det)

1 Jan Utara 12 2,74 8,35 2 Feb Utara 10,5 2,40 7,99 3 Mar Utara 12,5 2,86 8,47 4 Apr Utara 9,5 2,17 7,73 5 Mei Selatan 11 2,51 8,11 6 Jun Selatan 13,5 3,09 8,69 7 Jul Selatan 13,5 3,09 8,69 8 Agust Selatan 15 3,43 9,00 9 Sep Selatan 10 2,29 7,86 10 Okt Utara 5 1,14 6,24 11 Nop Utara 6,5 1,49 6,81 12 Des Utara 10 2,29 7,86

Sumber: DKP (2006)

(11)

V. Data Hasil Analisis Prediksi Gelombang Tahun 2005

Angin Maksimum Gelombang No. Bulan

Arah Kecepatan (m/s) Tinggi/Hs (m) Periode (det)

1 Jan Utara 7,5 1,71 7,14 2 Feb Utara 8,5 1,94 7,45 3 Mar Utara 11,5 2,63 8,24 4 Apr Utara 7,5 1,71 7,14 5 Mei Selatan 15 3,43 9,00 6 Jun Selatan 15,5 3,54 9,10 7 Jul Selatan 14 3,20 8,79 8 Agust Selatan 10,5 2,40 7,99 9 Sep Selatan 14 3,20 8,79 10 Okt Selatan 12,5 2,86 8,47 11 Nop Utara 8 1,83 7,30 12 Des Utara 14 3,20 8,79

Sumber: DKP (2006)

(12)

Lampiran 4 Salinan keputusan Menteri Pertanian tentang jalur-jalur penangkapan

ikan

MENTERI PERTANIAN

REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN

Nomor : 392/Kpts/IK.120/4/99

TENTANG

JALUR-JALUR PENANGKAPAN IKAN

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. Bahwa dengan surat keputusan menteri pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976

jo Nomor 608/Kpts/Um/9/1976 dan Nomor 300/Kpts/Um/5/1978, telah diatur mengenai Jalur-Jalur Penangkapan Ikan;

b. Bahwa dengan adanya perkembangan teknologi penangkapan ikan, surat keputusan menteri pertanian tersebut di atas perlu diadakan perubahan, dan sekaligus melaksanakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985, perlu diatur kembali mengenai jalur-jalur penangkapan ikan dalam keputusan menteri pertanian.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983;

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985;

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992;

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 jo Nomor 46 Tahun 1993; 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun1974; 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998; 9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M Tahun 1998; 10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 957/Kpts/IK.120/12/96; 11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1016/Kpts/OT.210/12/98;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN TENTANG JALUR- JALUR

PENANGKAPAN IKAN.

Pasal 1

Dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai alur-alur pelayaran yang ditetapkan pemerintah, menetapkan jalur-Jalur penangkapan ikan di wilayah perikanan Republik Indonesia.

Pasal 2

Wilayah perikanan Republik Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) jalur penangkapan ikan yaitu : a. Jalur penangkapan ikan I;

b. Jalur penangkapan ikan II; dan c. Jalur penagkapan ikan III.

Pasal 3

(1). Jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut.

(2). Jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi menjadi sebagai berikut:

a. Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut;

(13)

(3). Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, hanya dibolehkan bagi:

a. Alat penangkap ikan yang menetap;

b. Alat penangkap ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi; dan/atau

c. Kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m. (4). Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut, sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) huruf b, hanya dibolehkan bagi:

a. Alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi; b. Kapal perikanan :

1. Tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m;

2. Bermotor tempel dan bermotor-dalam dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau;

3. Pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m; 4. Jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1000 m.

(5). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan I wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan :

a. Dengan warna putih bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan sampai dengan 3 (tiga) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah;

b. Dengan warna merah bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil.

Pasal 4

(1). Jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut ke arah laut.

(2). Pada jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam ayai (1), dibolehkan bagi : a. Kapal perikanan bermotor-dalam berukuran maksimal 60 GT;

b. Kapal perikanan dengan menggunakan alat penangkap ikan :

1. Pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 600 m dengan cara pengoperasian menggunakan 1 (satu) kapal (tunggal) yang bukan grup atau maksimal 1000 m dengan cara pengoperasian menggunakan 2 (dua) kapal (ganda) yang bukan grup;

2. Tuna long line (pancing tuna) maksimal 1200 buah mata pancing; 3. Jaring insang hanyut (drift gill net), berukuran panjang maksimal 2500 m.

(3). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan II, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat maksimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna oranye.

Pasal 5

(1). Jalur penangkapan ikan III, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf c meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan II sampai dengan batas terluaar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

(2). Pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur sebagai berikut:

a. Perairan Indonesia dibolehkan bagi kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap Ikan purse seine pelagis besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran;

b. Perairan ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap ikan pukat ikan (Fish Net) minimal berukuran 60 GT;

c. Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi:

1). Kapal perikanan berbendera Indonesia dan berbendera asing berukuran maksimal 350 GT bagi semua alat penangkap ikan;

2). Kapal perikanan berukuran di atas 350 GT – 800 GT yang menggunakan alat penangkap ikan

purse seine, hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia;

3). Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan purse seine dengan sistem group hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia.

(3). Kapal perikanan berbendera asing boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku.

(4). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan III, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna kuning.

(14)

Pasal 6

(1). Semua alat penangkap ikan yang dipergunakan pada setiap jalur penangkapan ikan wajib diberi tanda pengenal alat penangkap ikan.

(2). Ketentuan mengenai penggunaan tanda pengenal alat penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perikanan.

Pasal 7

Kapal perikanan yang menggunakan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm (1 inchi) dan purse seine cakalang (tuna) dengan ukuran mata jaring kurang dari 75 mm (3 inchi) dilarang untuk dioperasikan di semua jalur penangkapan ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net).

Pasal 8

Dikecualikan dari ketentuan jalur-jalur penangkapan ikan sebagaimana diatur dalam keputusan ini yaitu kapal perikanan bermotor yang melakukan kegiatan penelitian, survey, eksplorasi dan latihan penangkapan ikan harus memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Perikanan.

Pasal 9

(1). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi di jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, jalur penangkapan ikan II dan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan c.

(2). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan c.

(3). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan dilarang beroperasi pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).

(4). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dilarang beroperasi pada jalur penangkapan Ikan I dan II sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b.

Pasal 10

(1). Direktur Jenderal Perikanan mencantumkan jalur-jalur penangkapan ikan yang dilarang dalam SPI dan SIPI bagi setiap kapal.

(2). Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II mencantumkan jalur-jalur penangkapan ikan yang dilarang dalam surat ijin kapal ikan (SIKP) bagi setiap kapal perikanan.

Pasal 11

Setiap kapal perikanan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan jalur penangkapan ikan, ketentuan kapal perikanan, ketentuan alat penangkap ikan serta ketentuan tanda pengenal alat penangkap ikan dapat dikenakan pencabutan SPI atau SIPI atau IUP dan atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan.

Pasal 12

Pemberian tanda pengenal jalur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 5 ayat (4) harus telah dilaksanakan paling lambat 1 tahun setelah berlakunya keputusan ini.

Pasal 13

Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976 tentang jalur-jalur penangkapan, Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 608/Kpts/Um/9/1976 tentang penetapan jalur penangkapan bagi kapal-kapal milik perusahaan-perusahaan perikanan negara dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 300/Kpts/Um/5/1978 tentang pemasangan tanda pengenal jalur penangkapan ikan pada kapal-kapal ikan, dinyatakan tidak berlaku lagi.

(15)

Pasal 14

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 April 1999 MENTERI PERTANIA

ttd

Prof.Dr.Ir.H.SOLEH SOLAHUDDIN, M.Sc

SALINAN keputusan ini disampaikan kepada Yth : 1. Menteri Negara Sekretaris Negara;

2. Menteri Dalam Negeri;

3. Menteri Pertahanan dan Keamanan;

4. Menteri Perhubungan;

5. Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

6. Menteri Kehakiman;

7. Menteri Keuangan;

8. Jaksa Agung;

9. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 10. Kepala Staf TNI-AL;

11. Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan;

12. Para Pimpinan Unit Kerja Eselon I lingkup Departemen Pertanian; 13. Direktoral Jenderal Perhubungan Laut;

14. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia;

15. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian seluruh Indonesia; 16. Para Kepala Dinas Perikanan Propinsi Dati I dan II seluruh Indonesia.

(16)

Lampiran 5 Hasil olahan data PCA,

Cluster

dan DFA

Eigenvalue (Akar ciri) hasil analisis komponen utama

Eigenvalues (datapca.sta)

Extraction: Principal components

% total Cumul. Cumul.

Eigenval Variance Eigenval %

1 4.934 49.336 4.934 49.336

2 2.021 20.205 6.954 69.541

3 1.558 15.576 8.512 85.117

Communalities

Communalities (datapca.sta) Extraction: Principal components Rotation: Unrotated

From 1 From 2 From 3 Multiple

Factor Factors Factors R-Square

JRK_KK 0.890 0.952 0.985 1 PADAT 0.400 0.847 0.945 1 PRASEJAH 0.037 0.762 0.888 1 SD 0.776 0.784 0.919 1 SLTP 0.825 0.905 0.917 1 SLTA 0.863 0.863 0.905 1 LADANG 0.853 0.856 0.859 1 RUMAH 0.054 0.704 0.925 1 KEL_IKAN 0.065 0.095 0.786 1 KEL_BUD 0.171 0.185 0.384 1

Faktor loding PCA

Factor Loadings (Varimax normalized) (datapca.sta) Extraction: Principal components

(Marked loadings are > .700000)

Factor Factor Factor 1 2 3 JRK_KK 0.9652 -0.2268 -0.0376 PADAT 0.5428 -0.7529 -0.2884 PRASEJAH 0.2505 0.9075 0.0406 SD 0.9447 0.1494 0.0609 SLTP 0.8263 0.2066 -0.4375 SLTA 0.9465 0.0450 -0.0861 LADANG 0.9018 -0.0749 -0.2008 RUMAH -0.0541 -0.6399 0.7158 KEL_IKAN 0.0013 0.0674 0.8838 KEL_BUD -0.2731 0.2507 0.4970 Expl.Var 4.6508 1.9914 1.8695 Prp.Totl 0.4651 0.1991 0.1870

(17)

Faktor skor PCA

Factor Scores (datapca.sta) Rotation: Varimax normalized Extraction: Principal components

Factor Factor Factor

1 2 3 1 -0.246 -0.103 1.849 2 -0.411 -0.173 -0.168 3 0.393 -1.932 0.343 4 2.694 0.128 -0.245 5 -0.442 1.015 0.164 6 -0.165 1.140 1.449 7 -0.207 0.479 -0.989 8 -0.352 0.463 -1.075 9 -0.338 0.471 -1.005 10 -0.925 -1.488 -0.324

Tipologi desa-desa di Kepulauan Anambas

Tipologi Wilayah Jumlah Desa Persentase

Tipologi I 2 0,2

Tipologi II 6 0,6

Tipologi III 2 0,2

Total 10

Matrik tipologi desa hasil analisis fungsi diskriminan (DFA)

Percent G_1:1 G_2:2 G_3:3 Correct p=.20000 p=.60000 p=.20000 G_1:1 100 2 0 0 G_2:2 100 0 6 0 G_3:3 100 0 0 2 Total 100 2 6 2

(18)

Fungsi klasifikasi desa hasil analisis diskriminan (DFA)

G_1:1 G_2:2 G_3:3 p=.20000 p=.60000 p=.20000 FACTOR_1 -1.10 0.65 -0.87 FACTOR_2 -8.07 1.58 3.34 FACTOR_3 -0.87 -2.37 7.98 Constant -8.65 -1.53 -9.15

Berdasarkan persamaan umum Y = A + B

1

X

1

+ B

2

X

2

+ …+ B

n

Xn

Didapat model persamaan baru yang berasal dari analisis fungsi

diskiminasi sebagai berikut:

1.

Untuk tipologi wilayah I persamaan yang didapat:

Y= -8,65 - 1,10F1 –8,07F2 –0,087F3

2.

Untuk tipologi wilayah II persamaan yang didapat:

Y= -1,53 + 0,65F1 + 1,58F2 – 2,37F3

3.

Untuk tipologi wilayah III persamaan yang didapat:

Referensi

Dokumen terkait

Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004, Buku 1 : Provinsi.Jakarta: Badan Pusat Statistik.. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2005, Buku 1 : Provinsi.Jakarta: Badan

Terjadinya penurunan produksi tanaman jagung manis sebanyak 30,51 % akibat pemupukan tanpa N (hanya PK) bila dibandingkan dengan produksi jagung manis akibat

Solusi Dengan adanya usulan sistem ini diharapkan status order pengerjaan editing dan rekap pengambilan produk dapat dilakukan secara terkomputerisasi sehingga kepala

Direktorat Jenderal Peternakan Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengelolaan Hasil Peternakan Bagian Proyek Pembinaan Usaha Petani Ternak Unggas:

P3 Jemaat Yesus Kristus, marilah kita menyatakan syukur dan memuliakan nama Tuhan yang bertakhta di Kerajaan Sorga dengan memberikan persembahan, sambil mengingat pesan

Sehingga dalam aktivitasnya juga mengalami hambatan seperti kegiatan mengamati yaitu objek pembelajaran sulit untuk disediakan, kegiatan menanya seperti siswa

[BPS] Badan Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota.. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam

Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Natuna dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan