• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS BIOEKONOMI RENCANA PENERAPAN KEBIJAKAN MINIMUM LEGAL SIZE RAJUNGAN (BLUE SWIMMING CRAB) TERHADAP PROFITABILITY NELAYAN KABUPATEN CIREBON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS BIOEKONOMI RENCANA PENERAPAN KEBIJAKAN MINIMUM LEGAL SIZE RAJUNGAN (BLUE SWIMMING CRAB) TERHADAP PROFITABILITY NELAYAN KABUPATEN CIREBON"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BIOEKONOMI RENCANA PENERAPAN KEBIJAKAN MINIMUM LEGAL SIZE RAJUNGAN (BLUE SWIMMING CRAB)

TERHADAP PROFITABILITY NELAYAN KABUPATEN CIREBON

WAHYU NUGRAHA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

RINGKASAN

WAHYU NUGRAHA. Analisis Bioekonomi Rencana Penerapan Kebijakan

Minimum Legal Size Rajungan (Blue Swimming Crab) Terhadap Profitability

Nelayan Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.

Rajungan merupakan salah satu komoditas sumberdaya perikanan yang prospekif untuk di ekspor. Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah yang terdapat penangkapan rajungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi dan menganalisis tingkat pemanfaatan sumber daya rajungan ditinjau dari tingkat effort dan harvest pada kondisi aktual, lestari dan optimal di Kabupaten Cirebon, mengestimasi tingkat profitability atau rente ekonomi nelayan rajungan di Kabupaten Cirebon dan mengestimasi dan menganalisis potensi dampak kebijakan minimum legal size terhadap profitability

nelayan di Kabupaten Cirebon. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai bioekonomi berbagai rezim pengelolaan dari sumberdaya rajungan (blue swimming crab). Analisis penghitungan menggunakan pendekatan analisis bioekonomi Gordon-Shaefer dengan metode Walters-Hilborn dalam mencari parameter biologi untuk mengetahui tingkat kesejahteraan nelayan sebelum dan sesudah diterapkan minimum legal size crab serta tingkat pemanfaatan stok pada kondisi perikanan lestari, open access, dan sole owner

yang dilihat dari net benefit yang diterima nelayan. Hasil analisis dengan Model Bioekonomi Gordon-Schaefer menghasilkan batasan penangkapan rajungan lestari sebanyak 2.487,55 ton/tahun dan effort lestari 591.994 days fishing/tahun. Sedangkan penangkapan dalam rezim sole owner penangkapan sebesar 1.961,45 ton/tahun dan effort sebesar 319.744 days fishing/tahun. Kondisi rezim open access penangkapan sebanyak 2.471,54 ton/tahun dan effort 639.489 days fishing/tahun. Hasil analisis bioekonomi dilihat dari net benefit untuk usaha penangkapan menunjukkan keuntungan rata-rata nelayan rajungan di Kabupaten Cirebon Rp. -2.522,76 juta/tahun. Nilai net benefit aktual dibawah profit MEY yang dikhawatirkan terjadi overfishing secara ekonomi. Apabila diberlakukan regulasi minimum legal size rajungan > 8,5 cm, dimana share rata-rata rajungan dibawah ukuran legal mencapai lima persen. Hasil analisis tersebut menghasilkan batasan penangkapan rajungan berbagai rezim perikanan lestari, sole owner, dan

open access berturut-turut sebesar 2.425,41, 1.856,26, dan 2.423,05 ton/tahun. Dan effort lestari, sole owner, dan open access sebesar 607.994, 313.471, 626.943 days fishing/tahun. Simulasi penerapan kebijakan minimum legal size

secara grafik menunjukan terjadinya efisiensi dan efektifitas penggunaan input perikanan tangkap. Kebijakan dapat mendorong tingkat stok lebih stabil, mengefektifitaskan penggunaan effort yang menghasilkan keuntungan maksimal, produksi yang memberikan nilai rajungan besar yang stabil setiap tahunnya, serta profitability nelayan rajungan selama lima tahun kedepan yang stabil.

Kata Kunci : Bioekonomi, Nelayan, Rajungan, Profitability, Minimum Legal Size, Kebijakan

(3)

ABSTRACT

WAHYU NUGRAHA - A Bioeconomic analysis of implementation plan for Minimum Legal Size policy of the Blue Swimming Crab (Rajungan) towards Fishermen’s profitability in the regency of Cirebon. Guided by Rizal Bahtiar

The Blue Swimming Crab (Rajungan) is one of the prospective fishery resource commodities for export. West Java province, precisely in Cirebon regency, is one area where this small crab catching can be found. The purpose of this study are to estimate and to analyze the level of rajungan resource utilization reviewed from the level of effort and harvest in actual condition, sustainable and optimal in the regency of Cirebon, to estimate profitability or the economic rent of

rajungan fishermen and to estimate and to analyze the potential impact of minimum legal size policy towards fishermen’s profitability in the regency of Cirebon. In general this research aims to calculate the value of suistainable yield, sole owner and open access condition from rajungan resources. Analysis calculation using Gordon-Shaefer’s bioeconomy analytical approach and Walters-Hilborn method to determine biologycal parameter is to determine fishermen’s welfare level before and after minimum legal size crab implementation, along with stock utilization level in condition of sustainable fisheries, open access, dan

sole owner seen from the net benefit received by the fishermen. Analysis result with Gordon-Schaefer bioeconomy bring out maximum sustainable catching quota of rajungan (MSY) is at 2.487,55 tons/year and EMSY 591.994 days fishing/year, whereas the Optimum catching quota (MEY) is at 1.961,45 tons/year and EMEY 319.744 days fishing/year. The Open Access condition production is 2.471,54 tons/year and EOA 639.489 days fishing/year. Bioeconomy analysis results reviewed from net benefit for the fishing effort shows the average fishermen benefit in the regency of Cirebon is Rp. -2.522,76 million/year. The actual Net benefit value exceeds MEY which feared overfishing is happened. If the minimum legal size of rajungan regulation >8.5cm is applied, where the average share of rajungan under the legal size reached five percent. The analysis result generate rajungan catch quotas in various regime MSY, MEY, dan OA respectively amounting at 2.425,41, 1.856,26, and 2.423,05 tons/year, and MSY, MEY, dan OA effort at 607.994, 313.471, 626.943 trips/year. Simulation of implementation plan for Minimum Legal Size policy in a grafh is showing an effectiveness and efficiency fisheries input. The policy can make stock level grow, effectiveness of effort used who to produce maximum profitability, growing of rajungan production, and growing a fisherman profitability for five years later after implementation.

Key Word : Bioekonomics, Fishermen, Blue Swimming Crab, Profitability, Minimum Legal Size, Regulation

(4)

ANALISIS BIOEKONOMI RENCANA PENERAPAN KEBIJAKAN MINIMUM LEGAL SIZE RAJUNGAN (BLUE SWIMMING CRAB)

TERHADAP PROFITABILITY NELAYAN KABUPATEN CIREBON

WAHYU NUGRAHA H44070074

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Bioekonomi Rencana Penerapan Kebijakan Minimum Legal Size Rajungan (Blue Swimming Crab) Terhadap Profitability Nelayan Kabupaten Cirebon adalah benar merupakan hasil karya bersama kerjasama dengan project Economic Evaluation of Implementing Minimum Legal Size on Blue Swimming Crab Fishery in Indonesia yang diketuai oleh bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si yang didanai oleh EEPSEA dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini

Bogor, Juli 2011

Wahyu Nugraha H44070074

(6)

Judul Skripsi : Analisis Bioekonomi Rencana Penerapan Kebijakan Minimum Legal Size Rajungan (Blue Swimming Crab) Terhadap

Profitability Nelayan Kabupaten Cirebon. Nama : Wahyu Nugraha

NRP : H44070074

Tanggal Lulus:

Menyetujui Pembimbing,

Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si NIP 19800603 200912 1 006

Mengetahui Ketua Departemen,

Dr, Ir Aceng Hidayat, MT NIP 19660717 199203 1 003

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. skripsi ini dilakukan sebagai salah satu prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasullallah SAW, kepada keluarga, para sahabat, dan pada kita selaku umat-Nya.

Terima kasih kepada bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si selaku pembimbing. atas segala kritik, saran, bimbingan dan arahan yang diberikan selama penelitian ini. Terimakasih pula kepada ibu Dessy Anggraeni, Nuva SP, M.Sc, Nia Kurniawati SP dan bapak Arif yang telah banyak membantu dalam skripsi ini. Serta semua pihak yang telah membantu segala bentuk bantuan dalam penyelesaian kripsi ini.

Teristimewa penulis ucapkan kepada kedua orangtua (Ading dan Koryati), saudara-saudaraku dan keluarga besar yang senantiasa memberikan doa, semangat, dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa kepada COAST Teater, teman-teman ESL angkatan 44, PMR SMAN 1 Cigombong, dan The Binderz atas segala yang mereka berikan kepada penulis.

Penulis menyadari terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, sehingga mampu meningkatkan keilmuan serta berguna bagi bangsa Indonesia.

Bogor, Juli 2011

(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, akhirnya skripsi Analisis Bioekonomi Rencana Penerapan Kebijakan Minimul Legal Size Rajungan (Blue Swimming Crab) Terhadap Profitability Nelayan Kabupaten Cirebon telah selesai disusun. Isi skripsi ini disusun berdasarkan pengalaman penulis selama menenpuh kuliah dan arahan serta bimbingan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Analisis Bioekonomi merupakan salah satu bahasan dalam mata kuliah ekonomi perikanan, dimana kita dapat melakukan pengelolaan yang didasari oleh aspek biologi dan ekonomi yang melekat dalam perikanan tangkap. Hasil analisis ini dapat digunakan untuk menyusun kebijakan yang dapat mendorong sumberdaya rajungan memberikan manfaat optimal namun ramah lingkungan. Salah satu kebijakan yang penulis analisis adalah Minimum Legal Size. kebijakan ini berupa pembatasan penangkapan berdasarkan ukuran kerapas rajungan.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini sangatlah tidak sempurna. Dan pada penyusunan skripsi ini merupakan hasil arahan beberapa dosen, diantaranya bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si. Penulis sangat mengharapkan saran-saran dan perbaikan dari semua pihak untuk membantu penyempurnaan skripsi ini.

(9)

vi DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Konsep Sumber daya Perikanan ... 10

2.1.1 Tipologi Nelayan ... 11

2.1.2 Klasifikasi Sumber daya Perikanan Tangkap ... 12

2.1.3 Sumber daya Rajungan ... 16

2.1.3.1 Klasifikasi Rajungan... 17

2.1.3.2 Habitat dan Daerah Penyebaran Rajungan ... 18

2.2 Pengkajian Stok ... 19

2.2.1 Definisi Overfishing dan Overcapacity ... 20

2.3 Model Bioekonomi ... 21

2.3.1 Logistic Growth Rate of Species ... 22

2.3.2 Fishing Effort dan Fungsi Produksi Perikanan... 25

2.3.3 Model Gordon- Schaefer ... 26

2.4 Konsep Profitability ... 29

2.5 Penelitian Terdahulu ... 29

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 31

3.1 Kerangka Teoritis ... 31

3.2 Kerangka Operasional ... 32

3.3 Hipotesis Penelitian ... 35

IV. METODE PENELITIAN ... 36

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

4.2 Metode Pengambilan Sampel dan Jenis Data ... 36

4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 37

4.3.1 Standarisasi Alat Tangkap ... 39

4.3.1 Estimasi Parameter Biologi ... 39

4.3.2 Estimasi Parameter Ekonomi ... 40

4.4 Simulasi Penerapan Kebijakan Minimum Legal Size Rajungan... ... 41

(10)

vii

V. GAMBARAN UMUM ... 43

5.1 Kondisi Geografis Kabupaten Cirebon ... 43

5.2 Keadaan Penduduk Kabupaten Cirebon ... 43

5.3 Potensi Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Cirebon ... 45

5.4 Karakteristik Nelayan di Kabupaten Cirebon ... 48

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

6.1 Data Produksi Rajungan ... 50

6.2 Standarisasi Alat Tangkap ... 53

6.3 Estimasi Parameter Biologi ... 55

6.4 Estimasi Parameter Ekonomi ... 56

6.5 CPUE Sumberdaya Rajungan Kabupaten Cirebon ... 58

6.6 Laju Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Rajungan ... 59

6.7 Analisis Bioekonomi Tanpa Kebijakan Minimum Legal Size .. 62

6.8 Mengestimasi profit Nelayan Rajungan ... 66

6.7 Simulasi Penerapan Kebijakan Minimum Legal Size Rajungan 67 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

7.1 Kesimpulan ... 75

7.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN ... 80

(11)

viii DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Matrik Pemanfaatan Sumberdaya Perairan ... 11

2. Data dan Penggunaan ... 37

3. Analisis Bioekonomi Berbagai Rezim Pengelolaan Perikanan 38 4. Jumlah Nelayan Perikanan Tangkap di Laut ... 44

5. Jumlah Perahu per Kecamatan Kabupaten Cirebon ... 45

6. Jumlah Nelayan di Kabupaten Cirebon... 47

7. Produksi Rajungan Kabupaten Cirebon 1994-2009 ... 49

8. Jumlah Produksi Rajungan Berdasarkan Alat Tangkap Tahun 1994-2009 ... 51

9. Persentase Rajungan di Bawah Legal Size yang Ditangkap Nelayan ... 52

10.Produksi Rajungan Diatas 8,5 cm ... 53

11.Standarisasi Effort dari Alat Tangkap yang Digunakan Tahun 1994-2009 ... 55

12.Estimasi Parameter Tanpa Kebijakan dan Dengan Kebijakan . 55 13.Harga Riil dan Biaya Riil yang Telah Dikonversi IHK Kota Cirebon ... 57

14.Nilai CPUE Alat Tangkap Dominan ... 59

15.Laju Degradasi dan Depresiasi Rajungan Tahun 2001-2010 ... 60

16.Solusi Bioekonomi Berbagai Rezim ... 62

(12)

ix DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Grafik Volume Produksi Perikanan Tangkap di Laut ... 1

2. Proporsi Produksi Perikanan Tangkap di Laut Jawa Barat berdasarkan Daerah ... 3

3. Rajungan (Portunus pelagicus) ... 17

4. Langkah Pemodelan Bioekonomi ... 32

5. Alur Kerangka Operasional... 34

6. Produksi Rajungan Kabupaten Cirebon ... 46

7. Perkembangan Jumlah Kapal Motor 1994-2009... 47

8. Tren Produksi Rajungan Berdasarkan Alat Tangkap Jaring Insang Tetap dan Perangkap Lainnya Tahun 1994-2009 ... 52

9. Grafik Tren CPUE Suberdaya Rajungan ... 58

10.Grafik Produksi Aktual dan Lestari Rajungan Tahun 1994-2009 ... 61

11.Grafik Produksi Rajungan Tahun 1994-2009 ... 63

12.Grafik dalam Kondisi Open Access Sumberdaya Rajungan .... 65

13.Grafik Perbandingan Profit Sumberdaya Rajungan ... 68

14.Bagan Simulasi Vensim Penerapan Kebijakan Minimum Legal Size Terhadap Tingkat Profitability Nelayan ... 70

15.Peningkatan Stok Rajungan Lima Tahun Kedepan ... 70

16.Grafik Effort ketika Diberlakukannya Kebijakan Minimum Legal Size ... 71

17.Grafik Produksi ketika Diberlakukannya Kebijakan Minimum LegalSize ... 72

(13)

x DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Wilayah Kabupaten Cirebon ... 80

2. Alat Tangkap Dominan yang Menangkap Rajungan di Kabupaten Cirebon... 81

3. Data Produksi Effort dan Standarisasi Alat Tangkap ... 82

4. Standarisasi Biaya ... 83

5. Konversi Harga Kebentuk Riil ... 84

6. Bahan Analisis Regresi Dengan Pendekatan Walters-Hilborn 85

7. Hasil Analisis Regresi Rajungan Dengan Model Estimasi Walters-Hilborn... 86

8. Jumlah Produksi Dengan Kebijakan ... 87

9. Laju Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Rajungan ... 88

10.Bahan Analisis Regresi Kebijakan Minimum Legal Size Dengan Pendekatan Walters-Hilborn ... 89

11.Hasil Analisis Regresi Kebijakan Minimum Legal Size Dengan Model Estimasi Walters-Hilborn ... 90

12.Perhitungan Profitability Nelayan Rajungan ... 91

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah kedaulatan dan yuridiksi Indonesia terbentang dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan dari 94°45' BT hingga 141°05' BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia. Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional 1982. Kepulauan Indonesia terdiri dari 17.504 pulau besar dan pulau kecil dan memiliki garis pantai 95.181 km, serta luas laut terbesar di dunia yaitu 5,8 juta km2. Wilayah laut Indonesia terdiri dari laut teritorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2, dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km2. Luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya . Dengan kondisi tersebut dimasa yang akan datang, kontribusi produksi dari sektor perikanan selayaknya lebih besar dibanding sektor tanaman pangan ataupun peternakan (KKP, 2009).

Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan yang diolah, (2009)

(15)

2 Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap di laut (Marine Fisheries) yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Dalam Gambar 1 terlihat bahwa produksi perikanan tangkap di laut nasional tahun 2008 mencapai 4,7 juta ton. Dari perikanan tangkap di laut menyumbang 52 persen terhadap produksi perikanan nasional dengan laju pertumbuhan perikanan tangkap di laut sejak tahun 2001 hingga tahun 2008 sekitar 2,4 persen per tahun. Kenaikan tersebut dipicu akibat adanya peningkatan jumlah sarana dan prasarana perikanan tangkap sebesar 2,11 persen (KKP, 2008).

Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia berdasarkan hasil survei Sensus Panel 2009 sebesar 15.39 kg/kapita/tahun. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), konsumsi ikan tahun 2009 mencapai 30,17 kg/kapita/tahun (termasuk konsumsi diluar rumah tangga). Namun demikian patut dicatat hal yang mengembirakan yakni rata-rata dalam empat tahun terakhir konsumsi ikan mengalami kenaikan sebesar 5,96 persen kg/kapita/tahun sejak 2005. Data tersebut mengambarkan kebutuhan produk perikanan yang terus meningkat baik untuk konsumsi masyarakat, maupun bahan baku industri pengolahan. Dengan begitu perlu adanya suatu kebijakan yang dapat mendorong produksi perikanan tangkap yang lestari mengingat perikanan tangkap merupakan sumberdaya yang kompleks dalam pengelolaannya.

(16)

3 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat yang diolah, (2008)

Gambar 2. Proporsi Produksi Perikanan Tangkap di Laut Jawa Barat Berdasarkan Daerah

Provinsi Jawa Barat merupakan penghasil ikan dengan total volume produksi perikanan tangkap laut mencapai 176.448 ton pada tahun 2008. Dengan nilai produksi yaitu Rp 63.882.745.300 (DKP Jabar, 2009). Dalam gambar 2 terlihat, bahwa perikanan di Jawa Barat khususnya perikanan tangkap dilaut Kabupaten Cirebon menempati peringkat dua besar dalam produksi dengan persentase 20 persen, atau terbesar kedua berdasarkan perairan penangkapan di laut utara jawa.

Rajungan merupakan salah satu komoditas sumberdaya perikanan yang prospekif untuk di ekspor. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang diekspor terutama ke negara Amerika, yaitu mencapai 60 persen dari total hasil tangkapan rajungan. Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat di Perairan Indonesia yang biasa ditangkap di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah Lampung, daerah

5% 0% 2% 1% 1% 20% 54% 10% 4% 1% 2% Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Cirebon Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang

(17)

4 Medan dan daerah Kalimantan Barat1. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri, oleh karena itu harganya relatif mahal. Rajungan (Portunus pelagicus) banyak ditemukan pada daerah dengan geografi yang sama seperti kepiting bakau (Scylla serrata). P. pelagicus

dikenal dengan blue swimming crab atau kepiting pasir dan merupakan hasil samping dari tambak tradisional pasang-surut di Asia. Sejak tahun 1973 di negara tetangga, rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang penting dalam sektor perikanan.

Tingginya tingkat permintaan berdampak meningkatnya penangkapan rajungan. Bila laju peningkatan upaya penangkapan tidak sebanding dengan pertumbuhan sumberdaya ikan, stok ikan akan berkurang dan akhirnya mengakibatkan turunnya hasil tangkapan nelayan. Kondisi ini dikenal dengan istilah tangkap lebih secara biologi (biological overfishing). Sparre dan Vanema (1999). Tingkat permintaan kepiting dan rajungan untuk restoran sea food di Amerika Serikat sudah mencapai 450 ton per bulan. Sebagian besar, rajungan diekspor dalam bentuk rajungan beku tanpa kepala dan kulit.

Untuk mengantisipasi kecenderungan peningkatan penangkapan yang bisa melebihi tangkapan lestarinya diperlukan pengelolaan penangkapan rajungan yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan kebijakan minimum legal size

sebagai kebijakan dalam mengontrol sumberdaya perikanan rajungan yang berkelanjutan. Kebijakan ini berupa pembatasan ukuran tangkapan rajungan lestari. Dimana nelayan tidak boleh menangkap rajungan yang belum mencapai ukuran optimal atau dengan pembatasan ukuran alat tangkap tertentu.

1Najiri, Zaldi. 2010. Klasifikasi Rajungan. di akses dari

http://zaldibiaksambas.wordpress.com/2010/06/21/klasifikasi -rajungan/ pada tanggal 14 Desember 2010.

(18)

5 1.2 Perumusan Masalah

Perikanan merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang penting dalam kesejahteraan suatu bangsa. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sangat penting untuk memperhatikan tingkat produksi yang akan diekstraksi. Hal ini terkait dengan kemampuan sumberdaya perikanan dalam memperbaharui stok sumberdaya perikanan. Hingga tercipta produksi sumberdaya perikanan yang lestari. Namun penangkapan berlebih atau ‘overfishing’ sudah menjadi kenyataan

pada berbagai perikanan tangkap di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75 persen dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, mengalami tangkap lebih (overfishing) atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras hanya 25 persen dari sumberdaya yang masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002 dalam Wiadnya et al. 2005).

Indonesia juga berpotensi miningkatkan pangsa pasar ekspor perikanan jika mutu produk perikanan terus ditingkatkan. Permasalahan umum bagi perikanan Indonesia bukanlah pada volume hasil tangkapan tetapi kualitas produk perikanan yang belum memenuhi standar pasar. Semakin tingginya permintaan rajungan baik pasar lokal maupun pasar internasional mendorong nelayan untuk meningkatkan produksi tangkapannya. Tren penangkapan rajungan sejak tahun 1993 hingga 2002 cenderung naik hingga mencapai 600 ton dengan ukuran rajungan lebih dari 100 gr (DKP Jabar, 2008). Namun terjadi penurunan hasil tangkapan sejak 2002 sehingga nelayan mengecilkan ukuran jaring demi mempertahankan produksi. Hal tersebut membuat ukuran rajungan yang tertangkap menjadi lebih kecil, 60 sampai 80 gr pun tertangkap. Dengan penurunan hasil tangkap serta ukuran rajungan, membuat penerimaan menurun

(19)

6 akibat tingginya standar rajungan yang bisa masuk ke perusahaan untuk diekspor. Nelayan pun sekarang mengusahakan kulit rajungan untuk keperluan obat yang berdampak terhadap overfishing rajungan.

Tetapi untuk itu diperlukan informasi mengenai pertumbuhan rajungan. Secara khas tingkat pertumbuhan stok yang diambil keseluruhannya tergantung dari ukurannya. Sebelumnya kita harus mengatahui batasan maksimum jumlah populasi rajungan disuatu regional setiap tahunnya. Jika melebihi batas tersebut akan terjadi kompetisi antar sesama dan spesies lain dalam perebutan makanan. Dan hal tersebut dapat menurunkan jumlah populasi.

Industri perikanan tangkap merupakan industri dengan sumber daya yang memiliki akses terbuka (open access) sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Sifat industri perikanan yang terbuka tersebut mengakibatkan tidak adanya hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk dan keluar dari industri tersebut. Selain itu, tidak ada pula hambatan untuk mengeksploitasi sebanyak mungkin sumber daya perikanan yang tersedia. Sumber daya perikanan merupakan sumber daya terbarukan. Sehingga jumlah stok ikan di laut sebenarnya akan terus berkembang hingga batas daya dukung lingkungannya. Namun, laju penambahan jumlah populasi ikan tersebut sangat tergantung pada faktor internal ikan tersebut serta faktor eksternal lingkungannya. Selain dua hal tersebut, faktor manusia sebagai pelaku yang mengambil manfaat dari sumber daya perikanan, akan sangat mempengaruhi. Perilaku manusia dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan akan turut mempengaruhi jumlah stok ikan yang berada di laut. Laju pertumbuhan populasi akan terus meningkat dan akan menurun setelah mencapai titik optimum pertumbuhannya, sedangkan perilaku manusia dalam mengekstraksi perikanan

(20)

7 akan terus meningkat selama pelaku usaha masih melihat adanya keuntungan dari kegiatan penangkapan ikan. Pada akhirnya akan terjadi inefisiensi ekonomi karena pelaku usaha tidak mendapatkan keuntungan yang optimum dari kegiatan ekstraksi sumber daya perikanan. Dengan melihat kondisi sumber daya perikanan dan perilaku pelaku usaha yang terus berupaya untuk memaksimumkan hasil tangkapan, perlu dilakukan pengelolaan perikanan supaya tetap lestari dan memberikan hasil yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pembatasan baik dari sisi output maupun input

Dari uraian tersebut perlu dibuat pengelolaan rajungan yang berkelanjutan dengan pendekatan model bioekonomi agar tercipta maximum economic yield. Mengacu pada rumusan masalah diatas maka disusun pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana tingkat pemanfaatan sumber daya pengelolaan rajungan ditinjau dari tingkat effort dan harvest pada kondisi aktual, lestari dan optimaldi Kabupaten Cirebon?

2. Bagaimana tingkat profitability atau rente ekonomi rajungan di Kabupaten Cirebon

3. Apakah dampak setelah dilakukannya kebijakan minimum legal size

rajungan terhadap kesejahteraan nelayan? 1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengestimasi dan menganalisis tingkat pemanfaatan sumber daya rajungan ditinjau dari tingkat effort dan harvest pada kondisi aktual, lestari dan optimaldi Kabupaten Cirebon.

(21)

8 2. Mengestimasi tingkat profitability atau rente ekonomi nelayan rajungan di

Kabupaten Cirebon

3. Mengestimasi dan menganalisis potensi dampak kebijakan minimum legal size terhadap profitability nelayan di Kabupaten Cirebon.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, nelayan, pemerintah dan pihak akademisi.

1. Bagi Penulis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta kemampuan hasil studi yang berlangsung di bangku kuliah kedalam kehidupan sehari-hari sehingga penulis siap dalam menghadapi dunia kerja serta membantu perekonomian bangsa ketika lulus bangku kuliah.

2. Bagi Nelayan

Dengan penelitian ini diharapkan nelayan rajungan khususnya dapat mengetahui dampak yang ditimbulkan ketika terjadi kebijakan minimum legal size

rajungan terhadap profitability. 3. Bagi Pemerintah

Diharapkan pemerintah dapat mengetahui sejauh mana dampak kebijakan

minimum legal size rajungan terhadap profitability nelayan. Sehingga tercipta kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

4. Bagi Akademisi

Diharapkan hasil penelitian ini berguna untuk penelitian-penilitian lain serta dapat dijadikan bahan rujukan dalam upaya peningkatan mutu akademisi dan dapat dikembangkan untuk penelitian lain yang diperlukan.

(22)

9 1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat begitu luasnya ruang lingkup pada penelitian ini, maka penulis membatasi permasalahan tersebut pada:

1. Analisis bioekonomi hanya dilakukan terhadap satu jenis sumber daya ikan, yaitu, rajungan (Blue Swimming Crabs),

2. Mengingat banyaknya jumlah nelayan di Indonesia, maka penulis dalam penelitiaan ini hanya memfokuskan penelitian dari nelayan cirebon.

3. Peneliti hanya menganalisis rente ekonomi kebijakan minimum legal size

rajungan terhadap profitabiility nelayan yang ditinjau dari analisis bioekonomi.

4. Data yang digunakan adalah data tangkapan terakhir, data produksi rataan normal dan data primer dari hasil wawancara. Data sekunder yaitu produksi dan effort selama 16 tahun.

5. Alat bantu yang digunakan untuk menganalisa data statistik agar dapat diolah, dan ditampilkan sehingga dapat menyajikan suatu informasi dalam penelitian ini menggunakan piranti lunak atau software Vensim dan Excel. 6. Effort yang di standarisasi berupa biaya dalam day fishing penangkapan

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sumber Daya Perikanan

Grima dan Barkes (1998) dalam Fauzi (2006), mendefinisikan sumber daya sebagai aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Lebih lanjut Ress (1990) dalam Fauzi (2006) menyebutkan bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai sumber daya harus memiliki dua kriteria, yaitu :

1. Harus ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkan 2. Harus ada permintaan terhadap sumber daya tersebut

Fauzi dan Anna (2005) menyebutkan bahwa laporan FAO akhir tahun 2000 mensinyalir adanya penurunan produksi perikanan yang sangat tajam. FAO dalam SOFA (state of fisheries and aquaculture) 2000 mengatakan bahwa saat ini hampir 70 persen sumberdaya sumberdaya perikanan dalam fully dan over-exploited.

Secara umum, Merriam-Webster Dictionary dalam Fauzi (2010) mendefinisikan perikanan sebagai kegiatan, industri atau musim pemanenan ikan atau hewan lainnya. Dalam artian yang lebih luas, perikanan tidak saja diartikan aktivitas menangkap ikan namun juga termasuk kegiatan mengumpulkan kerang-kerangan, rumput laut dan sumber daya hayati lainnya dalam suatu wilayah geografis tertentu

Dalam konteks legal, Indonesia mengartikan perikanan melalui pengertian yang dituangkan dalam aturan perundang-undangan. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang perikanan yang diubah dalam UU NO45/2009 mendefinisikan perikanan sebagai (Fauzi, 2010):

(24)

11 “semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan samapai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan..”.

Sumber daya perikanan dikelompokan ke dalam empat kelompok berdasarkan beberapa pemanfaatan sumber daya hayati sebagai mana terlihat pada Tabel 1 berikut. Kolom satu pada Tabel 1 di bawah ini menggambarkan tipologi pemanfaatan berdasarkan proses eksploitasi, mobilitas sumber daya, struktur kepemilikan dan klasifikasi sektor atau kelompok kegiatan (Fauzi,2010).

Tabel 1. Matriks pemanfaatan sumber daya perairan Proses Eksploitasi Hunting

(berburu) Gathering (mengumpulkan) Husbandry (Farming) Mobilitas Sumberdaya Furgitive (bergerak) Sedentary (menetap) Contained (dikendalikan) Struktur hak kepemilikan Common property Private property

Klasifikasi sektor Fishing Aquaculture

Sumber : Ekonomi Perikanan (Fauzi, 2010).

2.1.1. Tipologi Nelayan

Nelayan dibedakan menjadi empat kategori yang didasarkan sifat dan latar belakang kegiatan penangkapan perikanan tertentu (Charles, 2001).

1. Subsistence fishers : menangkap sumberdaya perikanan hanya untuk sumber makanan nya sendiri.

2. Native/indigenous/aboroginal fishers : kelompok penduduk asli yang sering menangkap untuk menyambung kehidupan.

(25)

12 3. Recreational fishers : menangkap ikan hanya untuk kesenangan saja. 4. Commercial fishers : menangkap ikan untuk dijual baik pasar domestik

atau pasar ekspor.

2.1.2 Klasifikasi Sumber Daya Perikanan Tangkap

Sumberdaya perikanan sama seperti sumber daya pertambangan ada batasnya, namun berbeda dengan sumber daya produk pertambangan seperti minyak bumi, sumberdaya perikanan memiliki daya reproduksi atau bersifat dapat diperbaharui, sehingga apabila dikelola dengan baik maka akan dapat digunakan secara berkesinambungan. Dengan kata lain, apabila dilakukan pengelolaan terhadap sumber daya perikanan secara tepat, maka akan dapat memasok protein (hewani) secara stabil. Pada saat yang sama, juga memiliki kontribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor produk perikanan, penciptaan lapangan kerja, yang jelas akan memberikan dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan (KKP, 2009).

Ada dua rezim pengelolaan sumber daya perikanan yaitu rejim akses terbuka (open access regime) dan rejim pengelolaan secara terpusat (centrally planned management). Perbedaan kedua rejim ini terletak pada terkontrol tidaknya pengelolaan sumber daya dan bebas tidaknya nelayan melakukan ekpansi penangkapan ikan baik secara teknologi, hari menangkap ikan maupun daerah penangkapan. Akses terbuka seringkali disamakan dengan milik bersama (common property) namun keduanya memiliki arti yang sangat berbeda. Sumber daya milik bersama dapat saja pemanfaatannya terkelola dengan baik karena memang ada yang memilikinya atau kepemilikan bersama (co-owners). Di luar dari kelompok pemilik, pemanfaatan sumber daya tidak dapat diikutkan, akan

(26)

13 tetapi menimbulkan kesukaran bagi kelompok pemilik sumber daya (exlusion). Sedangkan sumber daya akses terbuka tidak dimiliki oleh siapapun, maka tidak ada yang bisa mengeluarkan seseorang dari mengkonsumsi suatu sumber daya sehingga lebih sering tidak tertata dalam pemanfaatannya (Fox, 1992 dalam Alimudin, 2006).

Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan sumber daya perikanan, tidak dapat terlepas dari pengelolaan system dinamik, karena bagaimanapun, sumber daya perikanan merupakan sumber daya yang dinamis. Sumber daya perikanan adalah asset (capital yang dapat bertambah dan berkurang baik karena alamiah maupun intervensi manusia. Seluruh dinamika alam dan intervensi manusia ini mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi sumber daya perikanan tersebut sepanjang waktu (Fauzi, 2005).

Pada awalnya, perikanan dikelola berdasarkan faktor biologi semata, dengan pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY). Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Namun pendekatan ini ternyata tidak dapat menjawab permasalahan yang ada, sebab aspek sosial-ekonomi pengelolaan sumber daya alam tidak dipertimbangkan sama sekali (Fauzi, 2006).

Conrad dan Clark (1987) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa kelemahan pendekatan MSY antara lain :

1. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurangan stok.

(27)

14 2. Didasarkan pada konsep keseimbangan semata sehingga tidak berlaku

pada kondisi tidak seimbang.

3. Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen 4. Sulit diterapkan pada kondisi di mana perikanan memiliki ciri ragam jenis.

Industri perikanan tangkap merupakan industri dengan sumber daya yang memiliki akses terbuka sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Sifat industri perikanan yang terbuka tersebut mengakibatkan tidak adanya hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk dan keluar dari industri tersebut. Selain itu, tidak ada pula hambatan untuk mengeksploitasi sebanyak mungkin sumber daya perikanan yang tersedia. Sumber daya perikanan merupakan sumber daya terbarukan. Sehingga jumlah stok ikan di laut sebenarnya akan terus berkembang hingga batas daya dukung lingkungannya. Namun, laju penambahan jumlah populasi ikan tersebut sangat tergantung pada faktor internal ikan tersebut serta faktor eksternal lingkungannya. Selain dua hal tersebut, faktor manusia sebagai pelaku yang mengambil manfaat dari sumber daya perikanan, akan sangat mempengaruhi. Perilaku manusia dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan akan turut mempengaruhi jumlah stok ikan yang berada di laut. Laju pertumbuhan populasi akan terus meningkat dan akan menurun setelah mencapai titik optimum pertumbuhannya, sedangkan perilaku manusia dalam mengekstraksi perikanan akan terus meningkat selama pelaku usaha masih melihat adanya keuntungan dari kegiatan penangkapan ikan. Pada akhirnya akan terjadi inefisiensi ekonomi karena pelaku usaha tidak mendapatkan keuntungan yang optimum dari kegiatan ekstraksi sumber daya perikanan. Dengan melihat kondisi sumber daya perikanan dan perilaku pelaku usaha yang terus berupaya untuk memaksimumkan hasil

(28)

15 tangkapan, perlu dilakukan pengelolaan perikanan supaya tetap lestari dan memberikan hasil yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan terebut perlu dilakukan pembatasan baik dari sisi output maupun input. Beberapa pembatasan dari sisi input dan output yang bisa dilakukan menurut pendapat beberapa ahli pengelolaan perikanan antara lain :

1. Input Control, yaitu pengaturan jumlah effort (usaha) yang dikeluarkan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan meliputi :

a. Limmiting entry, yaitu membatasi jumlah nelayan yang dapat melakukan penangkapan ikan.

b. Limmiting capacity per vessel, yaitu membatasi jenis serta ukuran kapal dan alat tangkap yang digunakan.

c. Limmiting time and location, yaitu membatasi waktu dan lokasi penangkapan ikan.

2. Output Control, yaitu pembatasan hasil tangkapan setiap nelayan. Meliputi:

a. Total Allowable Catch (TAC), yaitu batasan jumlah ikan maksimum yang dapat ditangkap oleh seluruh nelayan per tahun

b. Individual Quotas, yaitu pemberian kuota penangkapan ikan kepada setiap individu yang melakukan penangkapan ikan

c. Community Quotas, yaitu pemberian kuota penangkapan ikan kepada suatu kelompok.

Metode tradisional yang sering digunakan dalam kebijakan perikanan yang bersifat nonexclusive. Sebagai contoh (Clark, 1985) :

(29)

16 1. Vassel and gear restriction, yaitu karakteristik fisik dari kapal dan alat

tangkap (tipe, ukuran, dimensi, dll).

2. Time and place restriction, seperti musim, waktu dan area dalam penangkapan.

3. Catch restriction, seperti pembatasan spesies, ukuran, jenis kelamin yang dapat ditangkap dan dipertahankan ; restriction on by-catches, incidental kills, discards.

4. TACs : Total kuota berdasarkan spesies dan area dimana penangkapan menjadi tertutup ketika kuota telah terpenuhi.

5. Quality controls, seperti penggunaan es, pendingin, dan pra penyajian ; penangan ikan.

2.1.3 Sumber Daya Rajungan

Kepiting yang ada di Perairan Indo Pasifik lebih dari 234 jenis dan sebagian besar yaitu 124 jenis ada di Perairan Indonesia (Zaldi Najiri, 2010). Jenis kepiting yang populer sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal adalah Scylla serrat dan jenis lain yang tidak kalah penting di pasaran adalah Portunus pelagicus yang biasa disebut rajungan. Sumberdaya rajungan merupakan salah satu sumberdaya kelautan yang memiliki potensi dalam industri perikanan Indonesia. Rajungan merupakan salah satu komoditas sumberdaya perikanan yang prospekif untuk diekspor. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk diekspor .

(30)

17 2.1.3.1 Klasifikasi Rajungan

sumber: www.oceansatlas.org

Gambar 3. Rajungan (Portunus pelagicus)

Rajungan atau smimming crab secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air (Zaldi Najiri, 2010).

Rajungan (P. pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat duri sembilan buah, di mana duri yang terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang.

Klasifikasi rajungan menurut Stephenson dan Chambel (1959) dilihat dari sistematikanya, rajungan termasuk ke dalam:

(31)

18 Kingdom :Animalia

Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria

Divisi : Eucoelomata Section : Protostomia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea

Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Reptantia Seksi : Brachyura

Sub Seksi : Branchyrhyncha Famili : Portunidae

Sub Famili : Portunninae Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus 2.1.3.2 Habitat dan Daerah Penyebaran Rajungan

Habitat rajungan adalah pada pantai berpasir, pasir berlumpur dan di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 65 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria. Rajungan jantan mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 3,7 cm. Dengan demikian ada kesempatan rajungan-rajungan tersebut bereproduksi. Adapun yang mempunyai

(32)

19 nilai ekonomis, setelah mempunyai karapas antara 9,5-22,8 cm (Rounsefell, 1975).

Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa. Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang. Sebagaimana halnya dengan kerabatnya, yaitu kepiting bakau, di alam makanan rajungan juga berupa ikan kecil, udang-udang kecil, binatang invertebrata, detritus dan merupakan binatang karnivora. Rajungan juga cukup tanggap terhadap pemberian pakan furmula/pellet. Sewaktu masih stadia larva, hewan ini merupakan pemakan plankton, baik phyto maupun zooplakton.

2.2 Pengkajian Stok

Analisis biologi dilakukan untuk menduga stok sumberdaya ikan di laut. Pengkajian stok ini diharapkan dapat memberikan saran tentang pemanfaatan sumberdaya hayati yang optimum seperti ikan dan rajungan. Sumberdaya hayati bersifat terbatas, tetapi dapat diperbahurui. Pengkajian stok sumberdaya dapat diartikan sebagai upaya perencanaan tingkat pemanfaatan dalam jangka panjang yang memberikan tangkapan yang maksimum dalam bentuk bobot (Spare dan Venema, 1999).

Pendugaan stok untuk analisis biologi menggunakan pendekatan model surplus produksi. Model surplus produksi digunakan untuk menentukan upaya optimum. Upaya optimum ialah suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu

(33)

20 tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok dalam jangka panjang. Tangkapan lestari disebut juga Maxsimum Sustainable Yield

(Spare dan Venema, 1999).

2.2.1 Definisi Overfishing dan Overcapacity

Overfishing adalah penangkapan ikan yang melebihi kapasitas stok (sumber daya), sehingga kemampuan stok untuk memproduksi pada tingkat

maximum sustainable yield menurun (Fauzi, 2010).

Masalah perikanan lainnya yang cukup serius adalah adanya fenomena kapasitas lebih atau overcappacity. Hal ini terjadi karena investasi yang tidak terkendali dalam perikanan serta sifat dari “open access” dalam pengelolaan perikanan. Pascoe dan Greboval (2003) lebih lanjut melihat beberapa pemicu terjadinya kapasitas lebih ini antara lain (Fauzi, 2010):

1. Harga ikan yang relatif inelastis dianggap dapat mengkompensasi penurunan sumber daya.

2. Dampak dari penambahan wilayah laut dan kebijakan nasional perikanan serta subsidi besar-besaran pada sektor perikanan.

3. Kapasitas perikanan yang relatif mobile yang menyebabkan ekses kapital bisa dipindahkan dari satu armada ke armada lainnya.

4. Perubahan pola industri perikanan yang cenderung global dan menuntut industri bersifat kompetitif dan capital intensive.

5. Kegagalan kebijakan perikanan secara umum.

Dalam perspektif ekonomi, overcapacity merupakan pemborosan sumber daya karena input yang digunakan tidak semestinya untuk menangkap ikan pada produksi tertentu. Sehingga keuntungan tidak maksimum, biaya juga tidak

(34)

21 minimum dan masyarakat secara umum tidak memperoleh manfaat maksimal dari sumber daya ikan.

2.3 Model Bioekonomi

Setidaknya ada empat tipe model yang umum digunakan dan bisa diaplikasikan dalam menganalisis overfishing Yaitu :

1. single species and constant price models 2. single species and variable price models 3. multiple species and constant price models 4. multiple species and variabe price model

Dalam penelitian ini digunakan single species and constant price models. model tersebut dikenal dua model lagi yaitu Gordon Schaefer (GS) model dan Gompertz/Fox Model.

Membuat model ekonomi dalam perikanan tanpa mengetahui dinamika biologi perikanan sangatlah sulit. Model yang lebih canggih dapat mengestimasi struktur umur dalam populasi ikan jika data terperinci cukup tersedia dan hal tersebut tidak temasuk dalam penelitian saya. Model biologi untuk multi-species

perikanan seluruhnya komplek tetapi single species models dapat digunakan dalam berbagai macam kasus penangkapan perikanan (rajungan).

Scott Gordon adalah seorang ahli ekonomi yang pertama sekali menggunakan pendekatan ekonomi untuk mengenalisis pengelolaan sumberdaya yang optimal. Gordon menggunakan basis biologi yang sebelumnya digunakan oleh Schaefer (1954). Pendekatan Gordon ini kemudian disebut sebagai model bioekonomi. Teori GS mengemukakan beberapa konsep dasar biologi penangkapan dalam pemodelannya. Dimisalkan bahwa pertumbuhan populasi

(35)

22 ikan (x) pada periode t pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Dengan kata lain, perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi awal periode.

2.3.1 Logistic Growth Rate of Species

Fungsi pertumbuhan seperti ini disebut sebagai Instantaneous growth.

Untuk beberapa spesies ikan, termasuk crustaceans seperti rajungan, secara khas diasumsikan bahwa growth rate untuk stok sepenuhnya tergantung dari ukuran biomass ikan.

Pertumbuhan suatu populasi dapat digambarkan dalam bentuk percent growth rate atau laju pertumbuhan persentase. Jika stok ikan pada periode t kita notasikan dengan xt dan stok ikan pada periode berikutnya ditulis sebagai

x

t+1 ,

maka percent growth rate dapat ditulis menjadi (Fauzi,2010):

... (2.1) Jika persentasi pertumbuhan ini dianggap konstan sebesar r, maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi (Fauzi,2010):

... (2.2)

( ) ... (2.3) Persamaan (2.3) analog dengan persamaan compounding pada model finansial dimana aset pada periode t+1 setara dengan aset periode sebelumnya ditambah dengan suku bungayang diperoleh dikalikan dengan aset awal. Analogi ini cukup beralasan karena dalam konteks bioekonomi perikanan, stok ikan diperlaukan sebagai aset ekonomi seperti halnya aset finansial. Jika perbedaan waktu di atas ditulis secara umum dalam bentuk (bukan interval satu periode, maka persamaan (2.3) dapat ditulis dalam bentuk (Fauzi,2010):

(36)

23 ( ) ( )

( ) ... (2.4) Penyederhanaan aljabar menjadi:

( ) ... (2.5) Jika perubahan waktu atau menjadi sangat kecil, maka persamaan (2.4) kemudian menjadi persamaan differential yakni persamaan yang menggambarkan perubahan waktu yang kontinyu (Fauzi, 2010).

( ) ... (2.6) Solusi dari persamaan di atas akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode t atau x(t) sebesar x(t) = x0ert di mana x0adalah stok pada periode awal

(Fauzi, 2010).

Persamaan pertumbuhan di atas adalah persamaan pertumbuhan generik yang umum digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan populasi dalam bentuk yang paling sederhana. Untuk kemudahan dalam pemahaman, maka aspek biologi stok ikan didekati melalui model pertumbuhan ikan yang bersifat density dependent. Pertumbuhan ini diartikan bahwa pertumbuhan populasi dalam setiap periode bervariasi terhadap ukuran pupulasi periode awal. Secara matematis ditulis menjadi (Fauzi, 2010):

( ) ... (2.7) Dengan kata lain laju pertumbuhan ikan pada periode dan dapat ditulis menjadi (Fauzi, 2010):

( ) ... (2.8) Bentuk persamaan kontinyu persamaan (2.8) dapat ditulis menjadi

(37)

24 Persamaan (2.9) disebut sebagai persamaan logistik umum (Clark dalam Fauzi, 2010) dan fungsi F(x) sering juga disebut lumped parameter model karena mengasumsikan bahwa mortalitas, natalitas, rekruitmen, dan berbagai parameter biofisik lainya disatukan dalam fungsi pertumbuhan. Berbagai kemungkinan bentuk pertumbuhan pada persamaan (2.9) dan salah satunya disebut sebagai net proportional growth rate (NPGR) atau laju pertumbuhan proporsional bersih alamiah (kelahiran – kematian), sehingga persamaan (2.6) dapat ditulis dalam bentuk lain menjadi (Fauzi, 2010):

( ) ... (2.10) Solusi dari persamaan (2.10) akan menghasilkan x(t) = x0ert dimana stok

ikan pada periode t atau x(t) akan tumbuh secara ekponensial jika nilai r>0 dan akan menurun jika r<0. Kondisi tersebut tentu tidak realistis karena faktor lingkungan seperti ruang, kesetersediaan makanan, penyakit, dan sebagainya bias membatasi pertumbuhan ikan. Maka akan lebih realistik jika mengasumsikan bahwa pertumbuhan ikan akan dibatasi oleh lingkungan dan nilai r ini tergantung dari bagaimana stok bervariasi atau r=r(x) maka persamaan (2.10) kemudian ditulis menjadi (Fauzi, 2010):

( ) ... (2.11) Jika r(x) kemudian merupakan fungsi yang menurun terhadap x atau

( ) ( ) ... (2.12)

Maka pertumbuhan logistik ini dikenal dengan istilah pure compensation

(kompensasi murni). Salah satu bentuk r(x) yang menggambarkan fungsi penurunan terhadap x ini adalah (Fauzi, 2010):

(38)

25

( ) ... (2.13)

Di mana K adalah kapasitas daya dukung lingkungan atau titik kejenuhan. Dengan menggunakan persamaan (2.13), persamaan (2.11) kemudian menjadi (Fauzi, 2010) :

( ) ... (2.14) Persamaan pure compensation yang dikenal sebagai persamaan logistik pertama kali yang dikenalkan oleh Verhulst dan digunakan untuk perikanan oleh Graham (Fauzi, 2010).

2.3.2 Fishing Effort dan Fungsi Produksi Perikanan

Secara umum kita akan menggunakan effort sebagai variabel faktor produksi yang diukur dalam ukuran standarisasi alat. Fishing effort bias ditulis mengikuti definisi Squire (1987) dimana upaya atau effort untuk alat tangkap i

pada periode waktu t merupakan fungsi dari waktu yang dicurahkan oleh tangkap

i pada periode waktu t serta kekuatan alat tangkap i pada periode t, atau (Fauzi, 2010):

( ) ... (2.15) Penyertaan variabel waktu ini penting dalam prespektif ekonomi karena waktu yang dicurahkan perjalanan ke tempat berkumpulnya ikan (fishing ground), waktu pencarian (search time) dan waktu penanganan (handling) akan menimbulkan konsekuensi ekonomi berupa biaya dan penerimaan yang akan berpengaruh kepada keuntungan (Profitability). Oleh karenanya dalam ekonomi perikanan unit pengukuran seperti “day fished” atau hari melaut dapat menjadi

(39)

26 Dalam produksi perikanan tangkap dikenal dengan ”biological feedback

yaitu umpan balik dimana stok ikan juga menjadi factor produksi yang sangat menentukan. Maka fungsi produksi h (harvest) dapat ditulis (Fauzi, 2010):

( ) ... (2.16) produksi merupakan fungsi dari input capital yang diwakili oleh unit upaya dan modal sumber daya yang diwakili oleh stok ikan (Fauzi, 2010).

Sehingga fungsi produksi perikanan bias ditulis secara sederhana menjad (Fauzi, 2010)

... (2.17) dimana q adalah konstanta dan sering disebut sebagai qatchability coefficient atau koefisien kemampuan tangkap (Fauzi, 2010). Fungsi ini dikenal dengan model Schaefer. Persamaan produksi perikanan ini berlaku dengan asumsi sebagai berikut (Clark dalam Fauzi, 2010):

1. Distribusi populasi ikan seragam

2. Alat tangkap tidak mengalami kejenuhan 3. Tidak ada kepadatan pada armada perikanan 2.3.3 Model Gordon-Schaefer

Model Schaefer secara sebenarnya menggunakan dua persamaan dasar yakni persamaan (2.14) sebagai basis dinamika populasi ikan dan persamaan (2.17) sebagai persamaan fungsi produksi perikanan. Dengan adanya aktivitas penangkapan oleh nalayan maka dinamika populasi ikan kemudian menjadi (Fauzi, 2010):

(40)

27 Laju pertumbuhan ikan pada periode t sama dengan pertumbuhan populasi ikan dikurangi dengan penangkapan. Persamaan tersebut merupakan persamaan

ordinary differential equation (ODE) yang dipecahkan untuk menentukan nilai x

pada periode t melalui teknik pemecahan kalkulus. Namun, dalam pengelolaan perikanan, variabel x adalah variabel yang tidak teramati, sementara pengelolaan perikanan bekerja dengan variabel yang dapat diamati yakni input yang digunakan (effort) dan output yang dihasilkan (produksi atau h). agar menjadi dapat diamati maka dilakukan dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan jangka panjang dimana dalam keseimbangan jangka panjang perubahan laju pertumbuhan mendekati nol (lim ( )⁄ ). Hal ini untuk mentranformasi peubah yang tidak teramati menjadi peubah yang teramati, serta menyederhanakan pemecahan kompleksitas matematis. Sehingga x dalam bentuk (Fauzi, 2010):

* + ... (2.19)

Persamaan (2.19) menggambarkan variabel stok (x) sebagai fungsi dari parameter biofisik (q,K,r) dan variabel input (E). dengan mensubstitusi variabel (x) ke persamaan (2.17) (Fauzi, 2010) maka diperoleh:

* + ... (2.20)

Dalam presfektif Schaefer, pengelolaan sumber daya ikan yang terbaik adalah pada saat produksi lestari berada pada titik tertinggi kurva yield-effort.

Titik ini dikenal dengan maximum sustainable yield atau dikenal dengan MSY. Secara matematis dapat ditulis (Fauzi, 2010):

... (2.21)

(41)

28 Tingkat biomas pada level MSY dapat dihitung dengan cara (Fauzi, 2010):

... (2.23)

Kelemahan MSY menurut Conrad dan Clark (1987) misalnya menyatakan bahwa (Fauzi, 2010):

1. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok

2. Didasarkan pada konsep keseimbangan semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi ketidakseimbangan.

3. Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen 4. Mengabaikan aspek interdependensi dari sumber daya.

5. Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ragam jenis. Model Gordon-Schaefer merupakan pengembangan Model Schaefer dengan penambahan aspek ekonomi. Model Gordon-Schaefer didasarkan pada beberapa asumsi mendasay yakni (Fauzi, 2010):

1. Harga persatuan output (p) (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan yang elastis sempurna

2. Biaya persatuan upaya (c) dianggap konstan. 3. Spesies sumber daya ikan bersifat tunggal 4. Struktur pasar bersifat kompetitif

5. Nelayan adalah price taker

6. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan

Total Sustainable Revenue (TSR) diperoleh dari perkalian antara harga per satuan ikan dengan produksi lestari. Secara matematis dapat ditulis

(42)

29

( ) * + ... (2.24)

Gordon juga mengasumsikan bahwa total biaya (TC) bersifat linear terhadap input (effort):

... (2.25) 2.4 Konsep Profitability

Rente ekonomi atau profitability pada dasarnya adalah surplus, yakni perbedaan antara harga yang diperoleh dari penggunaan sumber daya dengan biaya per unit input. Rente juga dapat diartikan sebagai nilai dari input produktif ketika digunakan melebihi biaya yang digunakan (Fauzi, 2010).

(2.26)

* + ... (2.27)

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan Oskar Yulanda dalam penelitiannya yang berjudul “Pengelolaan Penangkapan Perikanan Rajungan yang Berkelanjutan di Kabupaten Belitung :suatu pendekatan system dynamics” Penangkapan rajungan di Kecamatan Membalong dan Badau memperlihatkan kecenderungan penurunan stok biomasa rajungan dikarenakan tangkapan yang berlebih. Peningkatan upaya penangkapan ini terutama dipicu oleh adanya permintaan pasar ekspor terhadap rajungan, dan nelayan biasanya menangkap ikan yang diminta oleh pasar. Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang didapat, mereka melakukan perubahan atau modifikasi alat tangkap yaitu dengan mengecilkan ukuran jaring. Modifikasi alat tangkap ini dalam jangka pendek akan meningkatkan hasil tangkap, namun hal tersebut akan mempercepat berkurangnya stok biomasa rajungan.

(43)

30 Minimun Legal Size (MLS) merupakan alat dasar manajemen untuk membatasi tingkat ekploitasi di perairan perikanan tangkap yang banyak diusulkan. Model sangat penting dalam memprediksi konsekuensi dari kebijakan dan memonitor tingkat keberhasilan kebijakan. Model bioekonomi dapat memprediksi perubahan nilai rente ekonomi nelayan dan nilai eksistensi biomass rajungan di ekosistem.

(44)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

Aktivitas penangkapan rajungan tanpa adanya kebijakan yang memperhatikan keberlanjutan sumber daya rajungan dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian sumber daya rajungan di perairan. Tingkat permintaan yang tinggi mendorong nelayan untuk meningkatkan produksinya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dilakukan nelayan rajungan adalah dengan menangkap rajungan yang berukuran kecil. Apabila kegiatan penangkapan terhadap sumber daya rajungan semakin meningkat, maka sumber daya akan mengalami degradasi. Degradasi akan berpengaruh terhadap penurunan rente yang akan diterima nelayan dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis bioekonomi untuk mengetahui

Instantaneous growth, rente kegiatan perikanan rajungan, dan persepsi nelayan di Kabupaten Cirebon. Sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya rajungan dapat menghasilkan rente optimum apabila tetap menjaga kelestarian sumber daya rajungan. Analisis bioekonomi dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek bilogi dengan mengetahui laju interistik sumberdaya rajungan (r), koefisien daya tangkap (q), serta daya dukung lingkungan (K) dan aspek ekonomi yaitu parameter harga (p) dan biaya (c). adapun bagan dari kerangka pemikiran teoritis dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:

(45)

32 Langkah yang tidak dilakukan =

Sumber : Fauzi dan Anna (2005)

Gambar 4. Langkah Pemodelan Bioekonomi 3.2 Kerangka Operasional

Penelitian ini diawali dengan penelitian lapang untuk mendapatkan data primer dan sekunder yang dibutuhkan dalam perhitungan analisis. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengematan langsung dan survey, sedangkan data sekunder didapatkan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kecamatan Gebang, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, dan instansi terkait lainnya. Data primer dan sekunder

Konversi unit moneter ke riil

Solusi bioekonomi Data ekonomi (IHK),

harga dan Biaya

Data Statistik produksi dan upaya

Dekomposisi dan disagregasi data Standarisasi alat tangkap Uji stationarity Estimasi parameter (OLS)

Analisis kontras dan sensitivitas

Stationer Differencing

Y N

(46)

33 digunakan untuk menganalisis aspek bioekonomi sehingga didapatkan CPUE, effort, harvest, dan rente ekonomi dengan berbagai skenario penerapan minimum legal size. Data primer khususnya akan digunakan untuk mengetahui harga dan biaya.

Untuk menjawab tujuan dapat dilakukan dengan menganalisis data sekunder dan primer yang didapat. Sehingga dapat diketahui bagaimana pengelolaan rajungan yang terjadi di Kabupaten Cirebon. Model disimulasikan dalam kurun waktu 5 tahun,. Simulasi dilakukan dengan asumsi bahwa kecenderungan perilaku model yang terjadi sekarang akan berlanjut sampai simulasi berakhir. Nilai uang untuk menentukan harga dan biaya mengacu pada harga rata-rata pada tahun sebelumnya.

Skenario dalam penerapan kebijakan minimum legal size rajungan terhadap profitability nelayan dibagi dalam tiga size yaitu berdasarkan rajungan yang memiliki nilai ekonomis setelah memiliki kerapas antara 9,5-22,8 cm (Rounsefell, 1975). Penentuan minimum legal size yaitu batas bawah 8,5 cm. lalu disimulasikan selama 5 tahun kedepan untuk melihat profitability yang telah didiskontokan dengan suku bunga yang belaku tahun 2011

Data tersebut kemudian diolah dengan program komputer Vensim, Maple dan Excel dengan membuat simulasi model. Kerangka pemikiran dan operasional yang penulis lakukan dapat disederhanakan menjadi bagan kerangka operasional dibawah ini:

(47)

34 Gambar 5. Alur Kerangka Operasional

Analisis bioekonomi

Kondisi hasil tangkapan, effort dan

rente ekonomi (profitability) rajungan

secara aktual

Kondisi hasil tangkapan,

effort dan rente ekonomi (profitability) rajungan

yang optimal secara biologi dan ekonomi Kebijakan yang

sustainable dalam pengelolaan rajungan

Penerapan kebijakan

minimum legal size

Simulasi kebijakan

Kondisi perikanan rajungan dalam aspek biologi dan

ekonomi di masa yang akan datang

Overfishing, overcapacity dan penurunan ukuran rajungan

yang tertangkap

Aspek Biologi Aspek Ekonomi

Penurunan stok rajungan

Penurunan tingkat keuntungan (profitability)

(48)

35 3.3 Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki hipotesis yaitu penerapan kebijakan

minimum legal size terhadap profitability nelayan rajungan di Kabupaten Cirebon, dengan hipotesis sebagai berikut:

1. Penerapan kebijakan minimum legal size dapat meningkatkan tingkat stok biomas (x) dalam jangka panjang.

2. Tingkat rente ekonomi (profitability) nelayan akan menurun secara signifikan dalam jangka pendek, namun lambat laun meningkat.

3. Kebijakan minimum legal size akan menurunkan penerimaan TR nelayan secara aktual dalam jangka pendek.

(49)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2011. Pengambilan data dilakukan di Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan yang memiliki potensi terhadap sumber daya rajungan.

4.2 Metode Pengambilan Sampel dan Jenis Data

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara

purposive sampling terhadap nelayan dan key person. Nelayan yang dimaksud adalah nelayan rajungan yang memiliki alat tangkap rajungan dan key person

adalah orang yang bekerja di Dinas Kelautan dan Perikanan serta intansi terkait lainnya.

Menurut Nasution (2003), tidak terdapat aturan yang jelas mengenai jumlah sampel yang disyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia. Selain itu tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan sampel yang besar dan kecil. Penentuan jumlah sampel yang sering digunakan yaitu sebanyak 10 persen dari jumlah populasi. Jika populasinya besar maka sampel yang diambil dapat kurang dari 10 persen dan jika populasinya kecil maka jumlah sampelnya dapat lebih besar dari 10 persen. Sampel diambil dari nelayan di Kabupaten Cirebon sebagai unit analisis. Teknik penarikan sampel dengan sistem

Gambar

Gambar 3. Rajungan (Portunus pelagicus)
Gambar 4. Langkah Pemodelan Bioekonomi  3.2   Kerangka Operasional
Grafik  pertumbuhan  produksi  dan  penambahan  kapal  motor  yang  menangkap rajungan dapat dilihat pada Gambar 6
Tabel 6. Jumlah Nelayan di Kabupaten Cirebon
+7

Referensi

Dokumen terkait

DAFTAR KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA RSJ PROF... Inst RM pada RSJS Magelang

Apakah terapi tambahan Transcranial Magnetic Stimulation pada pasien skizofrenia efektif untuk mengurangi frekuensi merokok..

Sebagai langkah lebih lanjut pada tahun 2007 telah terbit Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang penetapan Benda eagar Budaya, Situs dan Kawasan

Tujuan dari penelitian yang dilakukan di PT Panca Lestari Primamulya adalah menentukan rute kendaraan dalam mendistribusikan produk Mayora berdasarkan nilai jarak terpendek

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan penulis kesehatan, kekuatan, petunjuk dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR DAN USIA GESTASI TERHADAP TERJADINYA GANGGUAN FUNGSI TIROID PADA NEONATUS SAKIT YANG.. DIRAWAT

Interaksi antara jumlah benih per lubang tanam dan pemberian limbah sludge berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dimana rataan tertinggi pada perlakuan S3B3 (90 gram,