• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Biologi Ular Sendok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Biologi Ular Sendok"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Taksonomi dan Biologi Ular Sendok

Menurut Hoser (2009) bahwa ular sendok (Naja sputatrix Boie 1827) secara taksonomi termasuk Kelas Reptilia, Ordo Squamata, Sub Ordo Serpentes, Famili Elapidae dan Genus Naja. Dalam genus Naja terdapat 11 spesies kobra yaitu: Naja naja (Linnaeus 1758), Naja kaouthia Lesson 183, Naja siamensis Laurenti 1768, Naja sputatrix Boie 1827, Naja samarensis Peters 1861, Naja atra Cantor 1842, Naja sumatrana Muller 1890, Naja philippinensis Taylor 1922, Naja mandalayensis Slowinski and Wüster 2000, Naja oxiana (Eichwald 1831), Naja sagittifera Wall 1913 (Hoser, 2009). Sebaran genus Naja di Asia meliputi: Naja naja tersebar di India dan sekitarnya, Naja oxiana tersebar di Asia tengah antara laut Kaspia sampai India Utara, Naja Kaothia tersebar India Utara, Malaysia, Vietnam dan Pulau Andaman, Naja atra tersebar dari China hingga Thailand, Naja sumatrana tersebar di Semenanjung Melayu dan beberapa daerah di katulistiwa Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) dan Palawan, Naja sputatrix tersebar di Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumabawa, Fores dan Alor, Naja samarensis tersebar di Kepulauan Philipina bagian selatan meliputi Mindanao, Samar, Leyte, Bohol dan Camiguin dan Naja philipinensis tersebar di Kepulauan Philipina bagian utara meliputi Luzon, Mindoro, Masbate, dan Marinduque (Wuster & Thorpe 1991).

Ular sendok mempunyai warna punggung hitam dengan warna perut biru keabu-abuan dan warna keputih-putihan pada leher, bibir dan moncongnya (Supriatna, 1995). Telur ular sendok betina mencapai 20-25 butir dan saling berlekatan satu dengan yang lain sehingga sulit untuk dipisahkan. Induk ular sendok meletakkan telur-telur tersebut pada sarang/lubang dan akan terus berada di sekitar sarang hingga telur menetas. Ular sendok yang baru menetas mempunyai warna kepala putih dan menunjukkan sikap yang agresif (Hoesel 1959). Pada lokasi bagian timur Provinsi Jawa Timur warna punggung ular sendok cenderung berwarna terang, yaitu coklat kekuningan. Panjang ular sendok dapat mencapai 250 cm.

(2)

Ular sendok sangat mudah dikenali, yaitu bila dalam kondisi marah atau merasa terancam maka akan mengembangan leher dan menegakkan tubuhnya. Kebiasaan lain ular tersebut adalah menyemburkan bisanya ke muka mangsanya. Bila bisa tersebut mengenai mata akan menyebabkan kebutaan sementara, tetapi dapat disembuhkan dengan membasuh menggunakan air dicampur amoniak (Hoesel, 1959; Supriatna, 1995). Ular sendok merupakan predator utama bagi tikus dan memasuki sarang/lubang tikus untuk melakukan perburuan/pemangsaan (Hoesel 1959). Menurut Mumpuni, Subasli dan Mulyadi (2002) ular sendok banyak ditemukan pada dataran rendah, terutama pada persawahan dengan perbandingan perjumpaan dengan ular jali (Ptyas mucosus) 1:17 untuk bagian selatan Jawa Timur (Ponorogo, Trenggalek dan Tulungagung) dan 1:1 untuk bagian utara Jawa Timur (Bojonegoro). Ular sendok tersebar pada sawah, semak hingga hutan, tetapi juga dapat hidup di pekarangan rumah (Supriatna, 1995). Ular sendok dapat hidup dengan baik pada habitat yang terganggu (Boeadi et.al, 1998).

Sumber pakan ular sendok adalah satwa yang hidup di sawah hingga pekarangan rumah seperti ular, katak, tikus, anak burung dan telur burung (Hoesel, 1959; Supriatna, 1995). Ular sendok dan ular jali mempunyai kemiripan sumber pakannya. Hasil pembedahan yang dilakukan pada kedua satwa tersebut ditemukan tikus, ular dan katak, serta sumber pakan lain yang berupa hancuran yang dapat dilihat dengan mikroskop (Mumpuni et al, 2002). Mangsa utama ular sendok adalah binatang yang menyusui, terutama tikus (Boeadi et.al, 1998).

2.2. Tata Niaga

Pemanfaatan kulit ular sebagai komoditi ekspor penting setelah perdagangan kulit buaya sejak tahun 1980-an. Ekspor kulit ular sendok pertahun mencapai 121.039 lembar dengan negara tujuan Singapura (43,18%), Meksiko (22,41%), Hongkong (14,00%), Amerika Serikat (10,14%) dan sisanya ke berbagai negara lainnya. Ular sendok di ekspor dalam bentuk masih hidup sebagai peliharaan dengan negara tujuan China (55,05%) Amerika Serikat (24,47%), Hiongkong (18,55%) dan negara lainnya (Mardiastuti & Soehartono 2003). Bagian tubuh yang lain juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional (herbal) dan bahan makanan. Menurut Kartikasari (2008) ular sendok merupakan satwaliar yang dipercaya

(3)

mempunyai kasiat obat dibandingan dengan satwaliar lain yang memiliki fungsi obat. Ular sendok dipercaya mempunyai kasiat untuk menambah stamina tubuh juga dapat menyembuhkan penyakit dalam, asthma, diabetes dan memperjelas penglihatan. Hasil penelitian Situngkir (2009) menyebutkan terdapat 8 bagian ular sendok yang mempunyai kasiat obat, yaitu darah dan empedu mempunyai kasiat meningkatkan stamina dan menetralkan racun dalam tubuh, sedangkan daging mempunyai kasiat mengurangi gatal-gatal dan meningkatkan stamina. Untuk obat menghilangkan bekas luka dan penyakit kulit lainnya menggunakan lemak/minyaknya dan tangkur/hemipenis dipercaya meningkatkan gairah seks. Otak mempunyai kasiat penyakit kuning, paru-paru dan mata rabun. Arisnagara (2009) menemukan ular sendok yang diperdagangkan untuk obat tradisional di Provinsi DKI Jakarta sebagai obat penyakit kulit yang diambil dari darah segar dan empedunya.

Untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan eksport saat ini masih dilakukan pengambilan/pemanenan dari alam. Sebanyak 73,33% pemanenan dilakukan dengan kriteria tertentu yaitu dengan menangkap satwaliar dengan ukuran yang diminta pasar. Ular sendok yang dipanen dari alam memiliki ukuran tubuh minimal sepanjang 90 cm. Hal ini disebabkan kebutuhan ular sendok untuk pasar lokal sebagai bahan obat-obatan merupakan hasil sampingan dari komoditi utamanya (kulit). Di Provinsi Jawa Tengah harga antara ular yang mempunyai ukuran panjang >90 cm sebesar Rp 10.000,- sedangkan untuk ular yang berukuran <90 cm harganya Rp 2.000,-. Perbedaan harga yang cukup besar memberikan rangsangan bagi penangkap ular sendok di alam untuk menangkap secara selektif. Perdagangan ular sendok yang pemanenannya berasal dari alam, memiliki mata rantai yang panjang dan tiap daerah mempunyai pola yang berbeda-beda. Menurut Situngkir (2009) bahwa dalam perdagangan ular tradisional di Kabupaten Bogor meliputi penangkap, pengumpul kecil, pengumpul besar dan konsumen. Perdagangan ular sendok tergabung dengan perdagangan reptil lainnya, penangkap hingga pengumpul besar menjual/membeli ular sendok bersama-sama dengan ular atau reptil lainnya. Rantai perdagangan ular sanca batik di Sumatera Utara terdapat empat komponen, yaitu penangkap (masyarakat), sub agen/agen, pengumpul daerah dan pengumpul besar (eksportir) (Semiadi &

(4)

Sidik 2011). Pelaku tata niaga ular juga merupakan pelaku tata niaga reptil lainnya, termasuk kura-kura. Hasil penelitian Widagti (2007) menunjukkan bahwa perdagangan kura-kura Cuora amboinensis terdiri dari empat tingkatan, yaitu penangkap/pencari, pengumpul, penampung dan eksportir. Penampung menjembatani antara pencari/penangkap dan penampung dengan eksportir, hal ini karena jarak lokasi antara eksportir dengan penangkap/pencari dan penampung dengan eksportir yang cukup jauh.

Penangkapan/perburuan ular sendok dari alam oleh sebagian masyarakat merupakan mata pencaharian utama dan bagi sebagian kecil lainnya sebagai mata pencaharian sampingan/musiman. Siregar (2012) membagi penangkap berdasarkan aktifitasnya, yaitu: penangkap profesional penuh yaitu orang-orang yang hanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai penangkap ular dengan berkelana ke berbagai tempat untuk mencari ular dalam waktu yang panjang dan berkelompok. Penangkap profesional sambilan adalah orang yang mempunyai mata pencaharian sebagai penangkap ular sebagai sambilan, yaitu dengan memasang perangkap pada tempat/tempat yang diduga merupakan tempat/habitat ular yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya, misalnya pada kebun/pekarangan sendiri atau orang lain disekitarnya. Penangkap amatir adalah orang yang sebenarnya mempunyai pekerjaan lain yang secara kebetulan bertemu dengan ular, maka ular tersebut ditangkap kemudian dijual kepada agen atau pengumpul.

Dalam perdagangan ular sanca batik dan sanca darah hubungan antara penangkap, pengumpul kecil dan pengumpul besar tidak memiliki kerjasama secara formal, kecuali pengumpul besar dengan eksportir yang mempunyai ikatan kerjasama untuk memenuhi pesanan kulit.

2.3. Parameter Demografi

Populasi adalah sekumpulan individu makhluk hidup yang tergabung dalam satu spesies dan menempati suatu wilayah atau ruang tertentu (Tarumingkeng 1994) yang mempunyai interaksi dan melakukan perkembangbiakan (Alikodra 2002). Populasi mempunyai sifat yang khas, yaitu kerapatan (densitas), laju

(5)

kematian (mortalitas), laju keahiran (natalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi).

Menurut Odum (1994) bahwa sebaran umur merupakan penciri atau sifat penting populasi yang mempengaruhi mortalitas dan natalitas. Indriyanto (2010) menjelaskan bahwa penyebaran umur merupakan salah satu karakteristik populasi yang mempengaruhi laju kelahiran dan laju kematian. Dalam populasi terdapat berbagai golongan umur individu-individu yang akan menentukan status reproduksi yang sedang berlangsung dan menyatakan kondisi yang akan datang. Populasi yang sedang berlangsung cepat mengandung bagian besar individu-individu muda, populasi yang stationer/tetap memiliki pembagian umur yang merata antara muda, dan tua, sedangkan populasi yang menurun akan mengandung individu-individu yang telah tua (Odum 1994).

Perbandingan jenis kelamin (sex ratio) merupakan perbandingan jumlah jantan dan betina dalam suatu populasi yang sering dinyatakan dalam jumlah jantan terhadap 100 ekor betina (Indriyanto 2010). Perbandingan jenis kelamin sangat mempengaruhi populasi satwaliar di alam dan tiap jenis satwaliar mempunyai perbandingan jenis kelamin yang berbeda-beda pada setiap populasinya. Bila dalam suatu populasi mempunyai jumlah jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan betina, maka akan terjadi persaingan dalam melakukan perkawinan yang mengakibatkan tidak terbuahinya betina dalam masa produktif. Hal tersebut juga dapat terjadi pada populasi yang mempunyai jumlah betina lebih besar dibandingkan dengan jantan, tetapi untuk beberapa spesies tertentu memiliki sistem hirarki yang kurang berpengaruh dengan perbandingan jumlah kelamin tersebut.

Konservasi satwaliar merupakan proses sosial yang mempunyai tujuan pemanfaatan satwaliar, memelihara kelestarian satwaliar dan produktifitas habitatnya (Bailey 1984). Satwaliar yang mempunyai nilai komersil harus dilakukan secara pemanfaatan lestari, sebagai cara konservasi yang ideal (Amir et al. 1998). Pemanfaatan/pemanenan satwaliar telah dilakukan oleh masyarakat yang hidup berdekatan dengan habitatnya dengan jumlah yang sedikit dan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan sumber makanan (Platt et al. 2008, Soehartono &

(6)

Newton 2002). Sumberdaya yang sangat besar (waktu, alat dan jarak) dan sulitnya melakukan pemanenan merupakan indikasi terjadinya penurunan populasi akibat pemanenan (Soehartono & Newton 2002, Traffic 2005, Traffic 2008).

2.4. Morfometri

Morfometri merupakan salahsatu penciri kelas umur dan jenis kelamin pada satwa. Ular sendok dewasa mempunyai panjang SVL yang berbeda antara jantan dan betina. Boeadi et al. (1998) mengukur morfometri ular sendok yang diambil dari beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta yang hasilnya adalah ukuran rata-rata ular sendok betina lebih besar dibandingkan dengan ular jantan yaitu 957,6 cm untuk jantan dan 1.013,0 cm untuk betina. Rata-rata ukuran morfometrik yang lain (panjang kepala, panjang ekor dan massa tubuh) jantan lebih besar dibandingkan dengan betina. Berbeda dengan hasil pengukuran Akani et al. (2005) terhadap Pseudohaje goldii di bagian selatan Nigeria yang menemukan bahwa ular jantan lebih besar dibandingkan dengan betina. Kelas umur ular Pseudohaje goldii anak berukuran <62,3 cm, kelas umur muda berukuran 62,3- 89,6 cm dan dewasa berukuran > 89,6 cm.

2.5. Panenan

Pemanenan lestari merupakan jumlah terbesar sumberdaya satwaliar yang dapat dipanen setiap tahunnya melalui pertumbuhan populasi alamiah dapat terbarukan tanpa mengganggu populasinya. Kenyataan pemanenan secara lestari sulit dilakukan, hal tersebut hanya dapat dilakukan pada situasi yang terkontrol (Indrawan et al 2007). Pemanenan satwaliar hingga saat ini masih mengambil dari alam dan berdasarkan perhitungan-perhitungan ekonomi, tanpa memperhatikan kepentingan ekologi dan lingkungan (Dit.KKH 2010). Upaya pengendalian pemanenan satwaliar yang berasal dari alam dilakukan dengan menetapkan kuota yang didasarkan kajian ilmiah tentang populasi di alam dan perkembangannya. Ketersediaan data tersebut hingga saat ini belum ada, sehingga menggunakan data realisasi pemanenan tahun sebelumnya sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 477/Kpts-II/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Dalam

(7)

keputusan menteri tersebut disyaratkan bila dalam penetapan jumlah pemanfaatan satwa liar tidak tersedia data dan informasi ilmiah hasil inventarisasi monitoring populasi, maka dapat diperoleh dari realisasi pengambilan dan penangkapan tumbuhan dan satwa liar dari tahun-tahun sebelumnya. Data realisasi pemanenan yang dilaporkan pemegang ijin tangkap dan ijin edar masih sangat terbatas dan cenderung tidak sesuai dengan jumlah sebenarnya.

Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penghitungan secara langsung agen/sub dan pengumpul daerah atau memberikan kartu kendali kepada pengumpul daerah yang memiliki ijin yang dilkeluarkan oleh UPT Kementrian Kehutanan (Balai Besar atau Balai Konservasi Sumberdaya Alam). Keterbatasan sumberdaya (dana, tenaga dan waktu) menjadi kendala utama dalam pengumpulan data tersebut, sehingga dapat dilakukan dengan penghitungan terhadap agen/sub agen dan pengumpul daerah secara sampel yang kemudian diekstrapolasi.

Pemanenan yang berlebihan didorong oleh permintaan yang tinggi dan tata hubungan antar komponen perdagangan. Pengawasan oleh institusi banyak dilakukan pada level atas yaitu pada pengusaha yang memiliki ijin tetapi pelaksanaan pemanenan di lapangan tidak dikontrol. Hasil penelitian Siregar (2012) menunjukkan bahwa dalam perdagangan ular sanca batik dan sanca darah, pengumpul besar dengan eksportir mempunyai ikatan kerjasama, sedangkan pada tingkat penangkap dan agen/sub agen tidak mempunyai ikatan kerjasama formal. Penangkap dan agen/sub agen dapat menjual ular diluar pengumpul daerah yang menaunginya, sehingga data panenan pada tiap tingkatan perdagangan dapat berbeda.

Aji (2011) menyatakan bahwa ular sendok mempunyai rata-rata keberhasilan tetas 90% dan mempunyai peluang hidup di penangkaran hingga ukuran sedang (antara 1-2 m) sebesar 70-80% dengan umur antara 11-18 bulan. Frekuensi berkembang biak sebanyak 3 kali dalam 2 tahun.

(8)

2.6. Karakteristik Habitat

Alikodra (1990) dan Bailey (1984) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar. Komponen biotik dan fisik merupakan faktor pembatas dari kehidupan satwaliar. Faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan satwaliar adalah air, temperatur/suhu, tanah, radiasi matahari, aliran dan tekanan udara, sedangkan faktor biotik adalah vegetasi, mikro dan makro fauna, serta keberadaan manusia (Alikodra 2002) topografi, vegetasi dan satwa (Smiet 1986 dalam Santosa 1996).

Ular menghabiskan sebagian besar aktivitas waktunya (hampir 95%) untuk mencari makan/mangsa (Lillywhite & Henderson 1993). Mangsa utama ular sendok adalah satwaliar yang menyusui, diantaranya adalah tikus (Boeadi et al 1998, Hoesel 1959, Supriatna 1995, Mumpuni et al 2002). Tikus banyak ditemukan pada lahan pertanian (sawah dan kebun), pemukiman, ekoton (perbatasan antara hutan jati dengan persawahan) dan kawasan hutan jati yang diolah menjadi lahan pertanian.

Temperatur/suhu mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan dan kematian organisme (Alikodra 2002). Adaptasi satwaliar terhadap temperatur sangat berbeda antara organisme air dengan organisme darat dan memiliki pola adaptasi yang khas. Respon organisme terhadap temperatur disebut dengan aklimatisasi. Respon organisme terhadap temperatur mempunyai selang yang berbeda-beda, semakin besar selang temperatur maka organisme tersebut semakin mudah melakukan adaptasi dan sebaliknya, semakin sedikit/kecil selang temperaturnya maka semakin kurang adaptasi organisme tersebut terhadap perubahan temperatur. Satwaliar yang berkembangbiak melalui telur sangat dipengaruhi oleh temperatur. Aji (2011) menyatakan bahwa telur ular jali (Ptyas mucosus) dapat menetas 100% pada suhu 32-340 C.

Indriyanto (2010) menjelaskan bahwa satwaliar merupakan bagian yang saling berhubungan erat dengan masyarakat tumbuhan. Satwaliar tersebut selain memerlukan tumbuhan sebagai sumber makanan, juga memanfaatkan tumbuhan

(9)

sebagai tempat untuk melakukan aktifitas hidupnya, baik sebagai pelindung (cover) juga sebagai tempat perlindungan dan berkembangbiak. Beberapa spesies ular arboreal menggunakan tumbuhan untuk melakukan aktifitas mencari mangsa dan istirahat (Lillywhite & Henderson 1993).

Ular sendok mempunyai habitat yang luas mulai dari semak di hutan, sawah hingga pemukiman (Supriatna 1995, Wowor 2010) terutama pada dataran rendah di utara Pulau Jawa (Mumpuni 2002). Hasil penelitian Husna (2006) menunjukkan bahwa ular sendok ditemukan pada hutan dataran rendah di TN Alas Purwo yang berada di bagian selatan Pulau Jawa yang mempunyai suhu antara 22-31⁰C dan kelembaban yang mencapai 40-85%. Kebiasaan lain ular sendok yang menyemburkan bisanya pada saat ada bahaya/ancaman juga masuk kedalam sarang tikus untuk mencari/memangsa tikus dan mengambil sarang tikus sebagai sarangnya (Hoesel 1959). Ular sendok menggunakan sarang tikus sebagai sarangnya, pada ular sendok betina akan memilih sarang yang dalam dan mempunyai ruang yang cukup lebar untuk menempatkan telur-telurnya.

Berdasarkan makanannya, ular sendok termasuk dalam satwaliar generalis. Boeadi et al. (1998) yang melakukan pembedahan terhadap isi perut ular sendok menemukan bahwa satwa yang dimangsa sebanyak 59% merupakan mamalia dan sisanya adalah hewan yang tidak dapat diidentifikasi lagi. Hasil pengamatan Phelps (2007) terhadap Naja nivea menunjukkan bahwa ular tersebut memangsa tikus (31%), ular (20% ), kadal (11%), burung (11%) dan satwa lain yang ada di habitatnya. Akani et al. (2005) melakukan pengamatan terhadap ular Pseudohaje goldii yang memangsa ikan, katak dan tikus, sehingga ular tersebut termasuk generalis dalam kebiasaan makanannya dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya.

Referensi

Dokumen terkait

Ukuran biji (bobot 100 biji) memiliki korelasi negatif dengan jumlah N yang diremobilisasi dari tajuk, hal ini diduga disebabkan oleh kandungan N daun pada varietas

“Harapan saya kepada para lulusan keguruan iya selain mereka menggunakan ijasahnya untuk mengajar besar harapan saya iya sekalipun mereka belum lulus mereka iya tetep belajar

Metode menyuntikkan nutrien berupa cairan ke dalam amnion embrio ( in ovo feeding) , menyebabkan embrio tersebut secara alami mengkonsumsi nutrien tersebut secara oral sebelum

Karakteristik berdasarkan umur dan tingkat kelas terhadap pengetahuan, sikap, serta perilaku terhadap aborsi, umumnya pada usia 16-19 tahun atau kelas XI

Pada siklus II peneliti juga memberikan tes untuk mengetahui hasil belajar siswa, dengan membagi lembar soal kepada siswa dengan jumlah 1 soal yang diikuti oleh 32 siswa.

11 Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. 11.1 Pengembangan data dan informasi lingkungan

Kriteria komplikasi kehamilannya adalah ≥3 kali kejadian keguguran secara berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu, ≥1 kali kematian janin yang tidak

Dalam hal penawaran yang disampaikan telah sama atau dibawah Owner Estimate, spesifikasi kapal yang ditawarkan telah sesuai atau lebih baik dari spesifikasi teknis yang