2.5.2 Defek Septum Atrium (ASD) a. Definisi
Defek Septum Atrium (ASD) adalah salah satu jenis penyakit jantung bawaan non sianosis dimana terdapatnya defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan atau septum interatrial yang terjadi karena kegagalan fusi septum interatrial semasa janin, mulai dari ukuran kecil, sedang, sampai besar. Secara anatomis defek ini dibagi menjadi defek atrium primum, sekundum, tipe sinus venosus dan tipe sinus koronarius. 1,23
b. Epidemiologi
Defek ostium sekundum merupakan jenis terbanyak dari defek septum atrium mencakup sekitar 80% dari seluruh defek. Kelainan ini merupakan 7-10 % dari seluruh penyakit jantung bawaan. Prevalensi defek septum atrium pada remaja lebih tinggi dibandingkan pada masa bayi dan anak, oleh karena sebagian besar pasien asimtomatik sehingga diagnosis baru ditegakkan setelah anak besar atau remaja.1,3
c. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi lubang, diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu ASD sekundum (bila lubang terletak pada daerah fosa ovalis), ASD primum (bila lubang terletak di daerah ostium primum, yang mana ini termasuk salah satu bentuk defek septum atrioventrikular), defek sinus venosus (bila lubang terletak di daerah sinus venosus dekat muara vena kava superior atau inferior).2
d. Patofisiologi
Karena tekanan di atrium kiri lebih daripada tekanan di atrium kanan, maka pada defek septum atrium terjadi pirau ke kanan. Akibatnya terjadilah beban volume di atrium kanan, ventrikel, dan arteri pulmonal. Ketiga struktur ini akan mengalami dilatasi. Derajat dilatasi dipengaruhi oleh besarnya defek serta perbedaan antara tahanan sistemik dan tahanan paru.1
Karena beban tekanan pada defek septum atrium septum tidak begitu berat, maka kelainan vaskular paru tidak terjadi secepat pada kelainan jantung
bawaan dengan beban tekanan yang berlebihan seperti pada defek septum ventrikel atau duktus arteriosus persisten. Pada defek septum atrium kelainan vascular paru biasanya terjadi pada dekade tiga, tetapi bila telah terjadi biasanya bersifat progresif.1
e. Prognosis
Prognosis pasien dengan defek septum atrium sangat baik bila ASD di operasi sebelum terjadi hipertensi pulmonal atau belum terjadi penyakit vaskular paru.2
f. Komplikasi
Pada defek septum atrium yang tidak dioperasi, maka akan timbul komplikasi seperti gagal jantung kongestif (pada ASD besar), hipertensi pulmonal sindroma eisenmenger dan endokarditis. Sedangkan komplikasi pasca bedah yang dapat terjadi pada defek septum atrium adalah sindroma post perikardiotomi.2
2.6.2 Diagnosis Defek Septum Atrium (ASD) a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Sebagian pasien defek septum atrium sekundum asimtomatik, terutama pada masa bayi dan anak kecil. Kecurigaan biasanya timbul bila pada pemeriksaan rutin ditemukan bising jantung. Pada defek septum atrium, dapat terjadi infeksi saluran pernafasan berulang tidak begitu berat dibandingkan dengan defek septum ventrikel. Gagal jantung biasanya tidak terjadi pada masa bayi dan anak, gagal jantung kongestif terjadi pada defek septum atrium yang besar. Selain itu, bila pirau cukup besar akan timbul sesak nafas, keluhan kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat lelah saat aktivitas fisik pada anak lebih besar.1,2,3
Pertumbuhan fisis umumnya normal atau hanya sedikit membesar dengan pulsasi ventrikel kanan yang teraba. Hanya pada defek yang sangat besar didapatkan deformitas dada. Pada palpasi tidak ditemukan getaran bising. Kadang dapat diraba aktivitas ventrikel kanan yang meningkat. Pada auskultasi didapatkan bunyi jantung I normal, sedangkan bunyi jantung II terdengar dengan terpisah
dalam jantung kanan relatif tetap, karena fluktuasi derajat pirau yang seimbang dengan fluktuasi air balik dengan respirasi.1,2,3
Dalam keadaan normal, pada waktu inspirasi alir balik darah ke jantung kanan akan bertambah, sehingga waktu ejeksi ventrikel kanan juga bertambah lama. Pada defek septum atrium penambahan alir balik ke jantung kanan akan menyebabkan tekanan di atrium kanan bertambah, sehingga pirau kiri ke kanan melintasi defek akan berkurang. Sebaliknya, pada ekspirasi pengurangan alir balik ke jantung kanan akan menyebabkan berkurangnya tekanan atrium kanan, sehingga pirau kiri ke kanan bertambah. Dengan demikian maka jumlah darah dari ventrikel kanan, baik pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi, lebih kurang sama. Akibatnya split bunyi jantung II menetap (A2-P2 pada defek septum atrium tidak bervariasi lebih dari 0.02 detik). Split yang melebar dan menetap ini merupakan tanda fisis yang sangat penting pada defek septum atrium.1
Jumlah darah yang besar dalam jantung kanan ini akan menyebabkan terjadinya stenosis pulmonal relatif, sehingga akan bising sistolik ejeksi yang halus di sela iga 2 para sterna kiri atau di tepi kiri atas sternum yang biasanya menjalar ke tepi kiri sternum bagian tengah. Pada defek septum atrium yang besar, dapat terjadi stenosis trikuspid relatif akibat aliran yang deras, sehingga terdengar bising mid diastolik yang bertambah keras pada inspirasi di tepi kiri sternum bagiam bawah. Keadaan ini biasanya terjadi bila rasio aliran pulmonal / sistemik lebih dari 2 : 1.1,2
Juga bisa terjadi bising pansistolik mitral insufisiensi di daerah apeks bila terdapat celah pada katup mitral (pada ASD primum) atau penyulit prolaps katup mitral (pada ASD sekundum). Tanda-tanda gagal jantung kongestif pada ASD terjadi dengan aliran pirau yang besar atau dengan komplikasi mitral insifisiensi berat akibat prolaps katup mitral atau celah pada katup mitral.2
b. Pemeriksaan Penunjang Elektrokardiogram
Pada EKG dapat ditemukan adanya deviasi sumbu QRS ke kanan, Right
interval PR memanjang dan sumbu QRS berdeviasi ke kiri, sedangkan pada SVD mungkin sumbu gelombang P negatif.2
Foto rontgen toraks
Akan tampak kardiomegali pada foto rontgen toraks akibat pembesaran atrium dan ventrikel kanan, kadang disertai dengan penonjolan segmen pulmonal. Tampak gambaran vaskular paru yang berkurang di daerah tepi pada hipertensi pulmonal yang sudah terjadi penyakit vaskular paru.2
Ekokardiogram
Terdapat bermacam - macam jenis ekokardiografi, pada ekokardiografi M-mode akan terlihat dilatasi ventrikel kanan dan pergerakan septum ventrikular yang paradox, pada ekokardiografi 2 dimensi, terlihat lokasi celah ASD pada pandangan subsifoid (ASD primum, ASD sekundum, dan SVD superior atau inferior), menentukan semua muara vena pulmonalis khususnya pada SVD karena sering disertai anomalous pulmonary venous drainage, selain itu juga akan tampak mitral insufisiensi akibat prolaps katup mitral pada ASD sekundum besar atau akibat celah pada daun katup mitral anterior pada ASD primum.2
Ekokardiografi doppler dan berwarna digunakan untuk menentukan arah aliran pirau ASD serta menghitung tingginya tekanan arteri pulmonalis bila ada trikuspid insufisiensi. Jenis lain dari ekokardiografi adalah trans esophageal, dilakukan bila direncanakan penutupan ASD sekundum secara non bedah dengan pemasangan amplatzer septal occluder atau adanya keraguan ada tidaknya ASD.2 Sadap jantung
Pemeriksaan sadap jantung dilakukan bila sudah terdapat hipertensi pulmonal atau untuk evaluasi pada pemasangan penutupan ASD sekundum dengan pemasangan ASO atau pada kasus kasus tertentu untuk mengukur flow ratio.2
Diagnosis defek ostium sekundum didasarkan pada riwayat yang asimtomatik dengan pertumbuhan normal atau hamper normal, bunyi jantung II yang split lebar dan menetap, bising ejeksi sistolik di sela iga kiri atas dengan atau tanpa bising mid diastolik di daerah tricuspid. Pada EKG di dapatkan deviasi
sumbu ke kanan, hipertrapi ventrikel kanan, dan mungkin pembesaran atrium kanan. Pada foto dada jantung normal atau membesar tingan, segmen pulmonal menonjol dan corakan vaskular paru bertambah. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan ekokardiografi, atau bila perlu dengan kateterisasi jantung.1
g. Diagnosis Banding
Bising fungsional inosen yang menyerupai bising defek astium sekundum, apalagi bila disertai dengan split yang lebar. Tetapi split ini berubah dengan fase respirasi. Foto dada dan EKG pada bising nosen selalu normal. Stenosis pulmonal ringan atau sedang sering menyebabkan bising ejeksi sistolik dengan komponen P2 yang lambat (split), namun P2 ini lemah, bahkan tidak terdengar pada stenosis berat.1,2
Pada EKG juga didapatkan deviasi sumbu ke kanan dan hipertropi ventrikel kanan. Pada stenosis pulmonal murni corakan paru adalah normal. Gambaran klinis dan foto dada pasien dengan defek ostium primum sama dengan pasien defek sekumdum. Kelainan ini dapat dibedakan dengan defek sekundum karena pada defek ostium primum sumbu berdeviasi ke kiri. Pemeriksaan ekokardiografi 2 dimensi memastikan diagnosis. 1
2.7.2 Tatalaksana
Tatalaksana pada defek septum atrium tergantung dari besar defek dan komplikasi yang sudah ditimbulkan, diantaranya:
a. ASD dengan aliran pirau yang kecil
Pada ASD dengan aliran pirau yang kecil perlu dipantau baik secara klinis maupun ekokardiografi. Bila hasil ekokardiografi meragukan antara kecil dan sedang, sebaiknya pada usia 15 tahun dilakukann pemeriksaan sadap jantung untuk memastikan besarnya FR. Penutupan ASD sekundum dengan pemasangan ASO (bila memenuhi syarat) atau operasi. Penutupan ASD dilakukan bila FR sama dengan atau lebih dari 5.2
b. ASD dengan aliran pirau yang besar
Pada bayi dengan ASD besar atau dengan penyulit mitral insufisiensi berat biasanya timbul gagal jantung kongestif, sedangkan pada anak atau orang dewasa
biasanya gejala yang timbul adalah akibat HP. Punutupan ASD secara bedah ataupun non bedah (ASO) sebaiknya segera dilakukan.2
c. Bayi tanpa GJK
Meskipun aliran pirau cukup besar tetapi tanpa gejala GJK, maka operasi penutupan ASD dapat ditunda sampai usia pra sekolah (3-4 tahun).2
d. Bayi dengn GJK
Pada bayi yang mengalami GJK harud diberikan obat obat anti gagal jantung yaitu digitalis, diuretik dan vasodilator. Bila GJK dapat teratasi secara medikamentosa maka operasi penutupan ASD dapat ditunda sampai usia diatas 1 tahun tanpa didahului pemeriksaan sadap jantung. Tetapi bila tidak teratasi maka operasi penutupan harus dilakukan lebih dini.2
e. Anak atau orang dewasa dengan hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal terjadi pada ASD yang besar dan perlu mendapat perhatian khusus karena akan meningktkan resiko operasi. Bila belum ada tanda tanda penyakit vascular paru, mak aoperasi penutupan ASD dapat dilakukan tanpa didahului pemeriksaan sadap jantung. Tetapi bila diduga sudah terjadi PVP, maka perlu dilakukan pemeriksaan sadap jantung untuk menilai reaktifitas vascular paru. Pemasangan ASO pada ASD sekundum dengan HP tidak dianjurkan.
Bila trnyata perhitungan PARI kurang dari U/m2 maka resiko operasi penutupan ASD kecil. Tetapi bila PARI lebih atau sama dengan 8 U/m2 dan dengan pemberian O2 100 % dapat turun sampai kurang dari 8 U/ m2, maka operasi penutupan masih dapat dilakukan tetapi dengan resiko tinggi dengan atau tanpa membuat celah seperti PFO pada septum. Bila dengan O2 100 % ternate masih lebih atau sama dengan 8 U/m2, maka operasi penutupan tidak dianjurkan lagi.2
f. Anak atau orang dewasa ranpa HP
Bila tidak ada tanda tanda HP, operasi penutupan ASD dilakukan secara elektif. Pada anak dianjurkan usia prasekolah ( 3-4 tahun). Bila pada pemeriksaan ekokardiografi lubang ASD sudah cukup jelas, maka penutupan ASD sekundum dengan pemasangan ASO atau dengan operasi dapat dilakukan tanpa pemeriksaan sadap jantung.2
Pada ASD, tatalaksana juga mencakup perawatan, baik perawatan sebelum operasi yang dilakukan hanya bila ada gagal jantung kongestif atau infeksi saluran nafas yang berat, di rawat di ruang perawatan biasa bila tidak memerlukan pemantauan yang ketat, di ruang perawatan intermerdiate bila memerlukan pemantauan yang ketat, dan di ruang perawatan intensif bila terdapat gagal nafas dan memerlukan bantuan pernafsan mekanik (ventilator). Untuk lama perawatan tergantung pada kondisi dan respon pengobatan.2
Perawatan untuk tatalaksana dengan pemasangan ASO dilakukan mulai sehari sebelum tindakan dan dipulangkan sehari sesudah tindakan bila tidak ada komplikasi. Sedangkan untuk perawatan operasi penutupan ASD dilakukan sehari sebelum tindakan operasi sampai sekitar 5 – 7 hari setelah operasi bila tidak ada komplikasi.2
Lama perawatan juga tergantung dari dimana pasien dirawat, jika di rawat di ruang perawatan intensif sampai dipisahkan dari mesin pernafasan mekanik dan hemodinamik stabil dengan obat inotropik intravena dosis minimal, jika di ruang perawatan intermediate sampai drain toraks dicabut dan obat inotropik intravena dihentikan, dan jika di ruang perawatan biasa untuk pemulihan, mobilisasi, dan rehabilitasi sampai dipulangkan dari rumah sakit.2