• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN ASPEK GEOLOGI SEBAGAI PENYEBAB TERJADINYA LONGSORAN PADA RUAS JALAN POROS MALINO SINJAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN ASPEK GEOLOGI SEBAGAI PENYEBAB TERJADINYA LONGSORAN PADA RUAS JALAN POROS MALINO SINJAI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN ASPEK GEOLOGI SEBAGAI PENYEBAB TERJADINYA

LONGSORAN PADA RUAS JALAN POROS MALINO – SINJAI

( THE ROLE OF GEOLOGICAL ASPECTS AS THE CAUSE OF LANDSLIDES AT

ROAD MALINO - SINJAI)

A. M. Imran , Busthan Azikin, dan Sultan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Makassar

Pos-el: mudimran@yahoo.com

(Diterima 24 Oktober 2012; Disetujui 01 Desember 2012) ABSTRAK

Wilayah studi terletak pada lereng bagian atas di sebelah utara-timurlaut dari puncak Gunung Lompobattang. Wilayah ini sering mengalami longsoran baik skala kecil maupun skala besar pada setiap musim hujan akibat wilayah tersebut relatif kurang stabil. Morfologi wilayah ini merupakan daerah berbukit terjal dengan batuan penyusunnya adalah vulkanik muda. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemetaan geologi permukaan detail meliputi litologi, morfologi dan struktur geologi. Pengukuran resistivitas batuan dengan alat geolistrik pada dua titik. Pengukuran dilakukan dengan memotong jalan poros Malino – Sinjai atau mengikuti kemiringan lereng. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa morfologi wilayah studi sangat terjal dengan kelerengan rata-rata 60O dan ditemukan gawir-gawir. Litologi penyusun adalah breksi vulkanik, tuf dan lava

dengan posisi stratigrafi berselingan. Kondisi batuan secara umum telah terlapukkan kuat. Struktur geologi

berupa rekahan dan perlapisan dengan dip 25O yang umumnya searah lereng. Berdasarkan analisis tersebut maka disimpulkan bahwa terdapat bidang-bidang gelincir antara lapukan tufa dengan batuan asalnya, diskontinuitas oleh rekahan/patahan dan adanya lapisan lava (impermeabel) diantara lapisan tuf dan breksi vulkanik.

Kata kunci : Longsor, batuan vulkanik, bidang gelincir, kontrol geologi ABSTRACT

The study area lies on the north-east slope of Lompobattang Mountian. Due to unstabil slope, landslide often occurs both in small and large scale, especially in the rainy season. Morphology consists of steep slope hilly area with lithology of young volcanics.It was applied detail geological surface mapping that is involving lithology, morphology and geological structure. Measuring the resistivity of rocks was done by applying geoelectric resistivity at two locations crossing Manipi – Malino road that parallel to the slope.The results revealed that the morphology of the study area is very steep slope with an average 60O and it is found escarpments. Lithology consists of an alternating stratigraphic position between volcanic breccias, tuffs and lavas. Generally the rocks are strongly weathered. Geological structures such as fractures and folds with dip 25O parallel to the slope. Based on the analysis, it is concluded that the are three types of sliding plane: sliding plane lies between soil and tuff, discontinuities of crack and/or fault, and bedding plane between lava and overlying rocks.

(2)

PENDAHULUAN

Kejadian longsor dinding Kaldera G Bawakaraeng pada tanggal 26 Maret 2004 di Sulawesi Selatan telah meningkatkan kewaspadaan masyarakat yang bertempat tinggal disekitar G Bawakaraeng terhadap bahaya tanah longsor. Longsoran ini menghasilkan sedimen sekitar 200–300 Juta M³. Jika dilihat batuan penyusun lereng G Bawakaraeng yang relatif masih muda maka wilayah-wilayah yang berada di sekitar lereng G Lompobattang potensi untuk terjadi longsoran. Longsor terjadi setiap tahunnya pada jalur Malino-Sinjai (Gambar 1), sehingga telah mengganggu sistem transportasi pada jalur jalan tersebut. Longsoran yang terjadi pada lereng G Bawakaraeng terakumulasi sekian lama pada aliran sungai dan menampung sementara air sungai yang kemudian menyebabkan banjir bandang sangat

dahsyat di Kabupaten Sinjai tahun 2006 lalu. Banjir

bandang tersebut menjadi suatu peristiwa yang membutuhkan perhatian bagi para ilmuan karena tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi tetapi juga oleh adanya longsor di daerah hulu. Pada daerah Sinjai Barat ini banyak ditemukan titik longsor seperti di jalan poros Malino-Sinjai dengan 7 titik longsor yang berdimensi agak besar.

Hampir semua wilayah di sekitar G Bawakaraeng mempunyai kemiringan lereng yang besar (Gambar 2) sehingga menjadi salah satu faktor penyebab longsor. Dengan kondisi lereng dan litologi yang rentan terhadap gerakan tanah maka jika dipicu oleh curah hujan dengan intensitas tinggi, turun maka potensi untuk terjadinya longsor akan terjadi

seperti di daerah Kompang dan sekitarnya (jalan

poros Malino-Sinjai). Material longsoran beserta bawaannya (prasarana, pepohonan dan lain-lain) terbawa masuk ke badan sungai (Sungai Mangottong

dan Sungai Kalamisu) yang kemudian terbawa oleh

arus sungai yang mempunyai debit besar.

Potensi longsor di daerah ini memang cukup besar, hal ini disebabkan kondisi geologi sebagai faktor penyebab sangat berperan, seperti litologi vulkanik muda, yang berada pada lereng yang terjal. Hasil penelitian Dinas Pertambangan dan Energi Prov. Sulawesi Selatan tahun 2001 juga menyebutkan bahwa wilayah Sinjai Barat merupakan wilayah yang rentan terhadap gerakan tanah. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wilayah tersebut rentan

terhadap longsoran yaitu a) topografi yang merupakan

pegunungan dengan kelerengan yang cukup terjal; b) kondisi litologi berupa batuan vulkanik muda dan belum terkonsolidasi dengan baik; c) struktur geologi (kekar dan patahan) yang relatif rapat; serta d) tata lahan perladangan/persawahan dan curah hujan yang tinggi yang bertindak sebagai pemicu.

(3)

Gambar 2. Kondisi topografi Gunung Bawakaraeng dan sekitarnya yang memperlihatkan kemiringan

terjal di bagian puncak. U

T B

S

Dari hasil penelitian pendahuluan (2010) disepanjang jalan poros Malino – Sinjai menunjukkan bahwa telah terjadi longsoran berdimensi kecil dibeberapa titik (Gambar 3). Dari kejadian longsoran atau yang dikenal dengan runtuhan kaldera di Malino tahun 2004, diawali dengan adanya longsoran-longsoran kecil pada lereng, maka wilayah Sinjai bagian barat perlu waspada pada setiap musim hujan agar terhindar dari bencana banjir bandang seperti tahun

2006 di Kabupaten Sinjai diawali dengan longsoran

dibeberapa titik di bagian hulu.

Kegiatan ini dilakukan dengan beberapa metode

yaitu survei geologi (litologi, struktur dan

morfologi) pada daerah-daerah yang teridentifikasi

mempunyai potensi longsor dan pada daerah-daerah yang pernah longsor termasuk sebaran, jenis material yang longsor dan asal material longsoran. Pengukuran Geolistrik dilakukan pada lokasi yang diketahui telah pernah mengalami longsoran dan wilayah yang potensial terjadi longsoran. Hal ini selain untuk mengetahui kondisi airtanahnya terutama dimaksudkan untuk mengetahui lapisan batuan jenuh air dan dapat menjadi bidang gelincir. Terdapat dua titik yang telah diukur dan dianggap mewakili dengan bentangan tegak lurus jalan. Lokasi penelitian berada pada jalan poros Malino – Manipi yang dapat ditempuh dengan menggunakan

kendaraan roda dua maupun roda empat dari kota Makassar kearah Timur dengan jarak tempuh ± 170 km.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk

mengidentifikasi tanah longsor di sepanjang jalan

poros Manipi – Sinjai, antara lain oleh Mahdi (2011).

Teridentifikasi wilayah di sekitar G Bawakaraeng

memiliki kemiringan lereng yang cukup besar yaitu mencapai 85O. Litologi yang menyusun adalah tuf kasar yang mengalami pengkekaran. Yuwono

(1989) mengungkapkan stratigrafi vulkanik G.

Bawakaraeng (Formasi vulkanik Lompobattang) terdiri atas perselingan antara aliran lava yang bersifat basaltik (ketebalan mencapai puluhan meter), endapan piroklastik (tuf dan breksi vulkanik) dan endapan lahar. Selanjutnya dikemukakan bahwa ke arah puncak didominasi oleh batuan berupa endapan piroklastik berselingan dengan aliran lava asam dan kadang ditemukan intrusi andesit.

Makalah ini berisi hasil penelitian dengan judul “Analisis Sebaran Risiko Bencana Tanah Longsor Dan Penanggulangannya Berbasis Masyarakat Di

Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan” yang dilakukan

guna mengevaluasi daerah potensi longsoran dengan maksud meminimalisasi dampak yang akan ditimbulkannya.

(4)

Gambar 3. Kejadian longsoran berdimensi kecil menutupi jalan poros Malino – Sinjai.

Gambar 4 Model bukaan (rekahan) dan scarp yang banyak dijumpai di sekitar Gunung Lompobattang sebagai tanda awal akan terjadinya longsor.

(5)

KONDISI GEOLOGI DAN LONGSORAN DAERAH PENELITIAN

Besar kecilnya longsoran akan tergantung pada kondisi geologi dan mekanisme penyebab longsoran tersebut. Umumnya longsoran besar dipicu oleh getaran yang ditimbulkan gempabumi dan

longsoran pada material-material vulkanik. Kondisi

geologi daerah penelitian merupakan wilayah yang tidak pernah mengalami gempa yang besare setelah Pleistosen. Oleh karena itu kondisi geologi lainnya

seperti litologi, struktur geologi dan topografi

memegang peranan penting sebagai penyebab longsoran.

Geologi regional menunjukkan bahwa daerah studi disusun oleh batuan vulkanik yaitu Vulkanik Camba, Vulkanik Baturappe-Cindako dan vulkanik Lompobattang (Sukamto & Supriatna, 1982). Daerah penelitian didominasi oleh batuan Vulkanik Lompobattang yang berumur Kuarter. Batuan

Vulkanik Lompobattang berasal dari tipe letusan dari Vulkanik Lompobattang ini adalah strato volcanic

dengan stratigrafi yang merupakan perselingan

antara tuf, breksi vulkanik, breksi laharik dan lava (Yuwono, 1989). Hasil uji kestabilan batuan penyususn wilayah Malino menunjukkan bahwa jika batuannya belum lapuk sempurna dan nilai RQD adalah 49,89%, atau kualitas batuannya tergolong sedang (Mahdi, 2011).

Batuan Vulkanik Lompobattang yang ada di

Kecamatan Sinjai Barat terdiri atas breksi vulkanik, tuf, aglomerat dan basal porfiri.

1. Breksi vulkanik.

Breksi vulkanik merupakan batuan piroklastik yang terdiri atas fragmen dan matriks. Fragmen batuannya umumnya dari batuan beku basa yang berbentuk menyudut dengan ukuran antara 45 – 150 mm. Sedangkan matriknya terdiri atas tufa kasar dengan ukuran butir antara 1/16 – 2mm.

2. Tuf.

Batuan ini umumnya tersingkap pada tebing-tebing sungai dalam bentuk perlapisan dengan arah perlapisan ke tenggara. Secara megaskopis ukuran butir batuan ini berupa pasir halus dan dinamakan tuf halus karena berasal dari debu vulkanik. Batuan ini umumnya lapuk, tidak kompak dan mudah lepas. 3. Aglomerat

Aglomerat merupakan batuan vulkanik yang proses terbentuknya sama dengan breksi vulaknik, hanya saja bentuk fragmennya membundar. Di daerah penelitian aglomerat dijumpai kurang kompak dengan fragmen berukuran antara 45 – 150 cm yang berasal dari batuan beku asam dan matriks berupa tuf kasar.

4. Basal Porfiri

Batuan ini dijumpai di Sungai Tangka dan sekitarnya

serta di Kampung Baru dan sekitarnya di timur laut

wilayah penelitian. Dilapangan batuan ini dijumpai telah mengalami retakan atau penkekaran sehingga mudah mengalami pergerakan.

Berdasarkan Peta Geologi regional (Sukamto & Supriatna, 1982) di wilayah penelitian banyak ditemukan liniamen yang berarah utara – selatan. Arah liniemen tersebut relatif sejajar dengan patahan utama di Sulawesi Selatan yaitu patahan Walanae. Selain patahan minor atau liniemen tersebut dilapangan banyak ditemukan escarpment dan rekahan (crack) dengan lebar bukaan hingga 20 cm (Gambar 4).

Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa jalan poros Malino – Sinjai yang menjadi obyek penelitian umumnya disusun oleh tuf (Gambar 3) dan sebagian kecil adalah breksi vulkanik (Gambar 3 dan 4a). Secara umum litologi yang mengalami longsoran tidak terbatas pada tuf dan breksi vulkanik saja, namun akan tergantung pada kondisi alam dengan

kondisi sebagai berikut:

• Lereng-Lereng pada kelokan sungai, akibat

proses erosi atau penggerusan pada tebing bagian bawah sungai oleh aliran sungai.

Kejadian ini telah terjadi pada bagian hulu

Sungai Jeneberang yang menyebabkan runtuhnya dinding kaldera Bawakaraeng.

• Lereng-lereng yang terpotong oleh jalur jalan

(khususnya jalan poros Malino – Sinjai).

Kejadian longsor untuk pemotongan lereng

pada jalan poros Malino – Sinjai terjadi, pada musim hujan setiap tahun.

• Daerah yang dilalui struktur patahan yang

menjadi kawasan permukiman. Daerah ini dicirikan oleh adanya lembah/sungai dengan lereng curam (> 40O) dan tersusun oleh batuan yang terkekarkan

(retak-retak) secara intensif, serta ditandai dengan munculnya beberapa mata air pada sungai/ lembah tersebut. Retakan-retakan batuan

tersebut dapat mengakibatkan lereng mudah terganggu kestabilannya, sehingga dapat

terjadi jatuhan atau luncuran batuan apabila air meresap dalam retakan saat hujan, atau apabila terjadi getaran.

(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor penyebab terjadinya longsor di wilayah

penelitian adalah kondisi geologi yang terdiri atas: topografi, litologi, dan struktur geologi. Ketiga

parameter tersebut mempunyai peranan yang cukup besar dalam kejadian longsor di daerah penelitian. Berdasarkan analisis AHP Solle (2012) bahwa faktor litologi dan kemiringan lereng merupakan penyebab utama terjadinya longsoran di wilayah DAS Jeneberang.

Struktur geologi yang ditemukan di wilayah penelitian antara lain rekahan dan bidang perlapisan.

Kemiringan perlapisan batuan adalah sekitar 30O,

dan relatif searah dengan kemiringan lereng yang juga mempermudah terjadinya gelinciran. Bukaan rekahan umumnya dari cm hingga 20 cm (Gambar 4). Struktur geologi ini juga sangat berperan terhadap terjadinya gerakan tanah. Sumaryono dan Triyana (2011) menjelaskan bahwa sebaran struktur berupa patahan di sekitar puncak G Bawakaraeng yaitu berupa patahan normal berarah relatif utara – selatan sangat intensif dan mudah bergerak terutama jika ada pemicu seperti hujan atau getaran.

Gambar 5. Singkapan lava (impermeabel) yang menjadi bidang mengalirnya air bawah permukaan. Petrologi batuan G Api Lompobattang menunjukkan

perselingan antara tuf dan lava dan setempat ditemukan breksi vulkanik (Yuwono, 1989). Aliran lava yang ditemukan di lapangan merupakan lapisan yang kedap air (Gambar 5), sedangkan tuf telah mengalami pelapukan kuat membentuk soil tebal. Lava merupakan batuan yang impermeabel sehingga jika ada air dari atas (lapisan soil, tuf dan breksi vulkanik), maka air tersebut akan mengalir pada bidang antara lava bagian atas dengan batuan di atasnya dan dapat bertindak sebagai bidang gelincir.

Topografi

Wilayah penelitian terletak pada lereng timur G Bawakaraeng yang tersusun oleh batuan vulkanik. Merupakan daerah perbukitan dengan bentuk bentang alam yang sangat menonjol. Delvi (2010) membagi wilayah bentangalam tersebut kedalam 2 (dua) satuan morfologi berdasarkan kemiringan, bentuk morfologinya dan morfometrinya yaitu satuan bentangalam berbukit bergelombang miring dan satuan perbukitan sangat terjal (Gambar 6a).

(7)

Satuan bentangalam berbukit bergelombang miring umumnya di bagian timur wilayah studi dan sebagian kecil di bagian barat. Satuan bentangalam ini mempunyai kemiringan lereng antara 14 – 35O dengan beda tinggi antara 75 – 200 meter. Secara umum bentuk lereng miring landai ke arah timur dengan titik tertinggi sekitar 1000 mdpl di sebelah selatan barat daya dan terendah sekitar 400 mdpl di sebelah timur laut. Dengan tebal tanah pelapukannya antara 50 – 150 cm. Batuan penyusunnya adalah breksi vulkanik, tuf dan batuan beku.

Satuan bentangalam perbukitan sangat terjal menempati umumnya bagian selatan ke arah barat. Satuan ini mempunyai kemiringan lereng antara 35O – 85O dengan beda tinggi antara 200 – 500m. Bentuk bentangalam merupakan pegunungan dengan lereng yang terjal dan lembah berbentuk V (ve). Batuan penyusun satuan ini adalah breksi vulkanik dari batuan Gunungapi Lompobattang. Massinai, A. A., dkk. (2010) mengungkapkan bagian barat G Bawakaraeng (DAS Jeneberang) didominasi oleh kelerengan berbukit (25 0 40%) dari luas DAS. Penelitian tentang kontrol lereng terhadap kejadian longsor di daerah vulkanik dengan memperlihatkan

hal yang sama telah diteliti oleh Kawamura, dkk. 2009.

Mereka menemukan bahwa kegagalan permukaan (longsoran dan erosi) pada daerah vulkanik sangat

tergantung pada sudut kemiringan lereng. Topografi

daerah penelitian mempunyai kemiringan lereng yang mencapai 85O dan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan longsoran. Jika terdapat pemicu misalnya curah hujan yang tinggi, maka kondisi akan semakin kritis dan akhirnya akan terjadi longsoran.

Litologi/ Batuan

Kontrol litologi pada kejadian longsor juga tidak

kalah pentingnya. Selain jenis batuannya, tingkat pelapukan dan kompaksi juga memegang peranan penting. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa batuan penyusun wilayah penelitian adalah vulkanik muda (Vulkanik Lompobattang) dan berumur Pleistosen dengan penanggalan umur 2,33 ±0,12 juta tahun sampai 0,77 ± 0,06 juta tahun (Yuwono, 1989). Batuan vulkanik ini belum terkompaksi secara kuat, sehingga daerah ini termasuk rawan longsor. Di lapangan baik dipermukaan maupun hasil test pit menunjukkan pelapukan batuan tersebut tinggi yang ditandai dengan ketebalan soil mencapai > 1 meter. Sutikno (1999) menemukan bahwa longsoran umumnya terjadi pada litologi batuan vulkanik. Hal ini disebabkan sifatnya yang belum terkonsolidasi dengan baik, erodibilitas tinggi, serta porositas dan permeabilitas tinggi. Hasil penelitian Nurjamil, dkk. (2005) mengungkapkan bahwa batuan dengan tingkat pelapukan tinggi akan mempunyai tingkat pengembangan mineral yang besar pula. Batuan dengan tingkat pengembangan (swelling) tinggi akan mudah mengalami longsoran.

Gambar 6a. Satuan bentangalam bergelombang miring (bagian depan), danbentang alam perbukitan terjal (latar belakang).

(8)

g W cos = Rα Massa tanah potensi bergerak Massa tanah stabil Bidang Gelincir Jalan Raya

W sin = Tα Keterangan:- R= Gaya Penahan (W cos α

- T = Gaya penggerak (W sin α - α = sudut kemiringan

bidang geincir

Gambar 6b. Simulasi kerentanan longsoran daerah penelitian dengan fokus pada badan jalan yang telah distudi. lapisan yang terdiri atas top soil di bagian atas berukuran lempung dan mempunyai ketebalan 25 cm, sedangkan pada bagian tengah merupakan campuran antara soil dan kerikil yang berukuran halus dengan ketebalan 40 cm, dan pada bagian bawahnya merupakan lapisan tuf yang relatif lebih kompak dan mengandung fragmen batuan (tuf lapilli).

Batuan penyusun daerah penelitian terdiri atas

breksi vulkanik, tuf, aglomerat dan basal porfiri.

Semua batuan penyusun tersebut telah mengalami

pelapukan baik secara fisik maupun secara kimia

membentuk soil. Secara umum daerah penelitian didominasi oleh tuf yang terlapukkan kuat serta perselingan antara tuf dan lava atau breksi laharik. Pada litologi tuf yang terlapukkan kuat mempunyai

Aglomerat yang dijumpai bersifat kurang kompak dan fragmennya berasal dari batuan beku asam

sedangkan matriksnya berupa tuf kasar. Basal porfiri

dijumpai telah mengalami retakan atau penkekaran sehingga mudah mengalami pergerakan. Pada daerah-daerah yang relatif datar ketebalan soil mencapai 7,5 meter dan sebaliknya lapisan soil menjadi tipis pada lereng bukit.

Selain kondisi batuannya, stratigrafi wilayah

penelitian juga mempengaruhi tingkat kelongsoran di daerah penelitian. Hasil penelitian petrologi batuan G Api Lompobattang oleh Yuwono (1989) mengungkapkan adanya perselingan batuan penyusun antara tuf dan lava. Lava yang ditemukan di lapangan bertindak sebagai lapisan yang kedap air, sedangkan tufnya mudah mengalami pelapukan

dan membentuk soil yang cukup tebal. Keberadaan

lava pada lapisan tuf dan breksi vulkanik, akan mempermudah terjadinya longsoran karena lapisan tersebut adalah lapisan impermeabel yang dapat bertindak sebagai bidang gelincir.

Struktur geologi yang juga ditemukan di wilayah penelitian antara lain rekahan dan perlapisan batuan. Rekahan ditemukan terutama pada wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang sangat terjal dan pada lereng-lereng yang mengalami pemotongan dibagian bawahnya (Gambr 7). Lebar rekahan (crack) mencapai 20 cm dan sangat potensial terjadi longsor.

Faktor rekahan sebagai salah satu penyebab terjadinya longsoran juga telah dijelaskan oleh

Klimeš dan Vilímek (2011). Struktur perlapisan

yang dijumpai pada lapisan batuan umumnya searah dengan kemiringan lereng. Dengan kondisi demikian maka dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya longsoran dan bahkan dapat bertindak sebagai bidang gelincir.

Potensi longsor semakin besar karena dibeberapa tempat terjadi pemotongan lereng, baik oleh sungai maupun oleh pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya. Gerakan-gerakan tanah secara kasat mata juga ditemukan dengan adanya gawair-gawir (Gambar 8) yang umumnya berada pada bagian atas dari pemotongan lereng. Sudarno dan Hussein (2010) menemukan bahwa tidak semua gawir (escarpment) dapat menentukan kejadian gerakan tanah, tetapi merupakan kombinasi antara rekahan (crack), litologi dan kemiringan lereng.

Pendugaan Geolistrik

Pendugaan geolistrik yang dilakukan di titik S 5O 12’

37,3”/ E 120O 0’ 40’) yaitu pada jalan poros Malino

– Manipi memperlihatkan litologi penyusunnya adalah tuf yang terlapukkan kuat dengan ketebalan soil mencapai 1 m dan kemiringan lereng sekitar 50O. Di bagian bawah dilokasi ini disusun oleh batuan yang relatif keras berupa tuf lapilli.

(9)

Gambar 7. Pemotongan lereng oleh pembangunan jalan poros Malino – Sinjai pada litologi breksi vulkanik.

(10)

Hasil yang hampir sama ditemukan pada titik 2 (S

5O 12’ 52,1” / E 120O 0O 52,4” jalan poros Malino

– Manipi. Litologi penyusun pada lokasi ini adalah tuf dan lava dengan kemiringan lereng sekitar 47o. Bidang gelincir pada titik ini diinterpretasi pada kedalaman 10 meter yang merupakan batas antara batuan hasil lapukan (resistivity 2,6 – 25 ohm.m) dengan batuan asalnya atau dengan lapisan lava (resistivity 35 – 200 ohm.m).

Ketiga jenis bidang gelincir tersebut di atas (batas

antara batuan lapuk dan batuan segarnya, kehadiran batuan impermeable atau lava dan patahan/rekahan) merupakan bidang diskontinyu yang dapat menjadi tempat berkumpulnya air yang masuk kedalam tanah. Air yang ada pada bidang diskontinyu tersebut akhirnya akan memutus ikatan ion dalam tanah sehingga tanah akan menjadi lepas satu sama lain. Putusnya ikatan tersebut ditambah dengan beban soil itu sendiri dan kemiringan lereng yang terjal menyebabkan wilayah penelitian rentan terhadap longsoran. Peresapan air kedalam tanah akibat curah hujan yang tinggi, menyebabkan bobot massa tanah juga bertambah.

Hasil interpretasi pendugaan geolistrik (Gambar 9) menunjukkan bahwa terdapat setidaknya dua bidang yang diduga merupakan bidang gelincir dan adanya tubuh intrusi batuan berbentuk bongkah pada sisi bagian atas badan jalan. Intrusi ini tidak diketahui hingga kedalaman berapa, namun hasil penelitian Yuwono (1989) mengatakan bahwa bentuk tubuh intrusinya berupa dike. Bidang gelincir tersebut terdapat pada kedalaman 7,5 meter pada sisi bagian bawah badan jalan dan 25 meter pada sisi bagian atas badan jalan. Pada sisi bagian bawah badan jalan merupakan tumpukan hasil longsoran sebelumnya yang telah ditumbuhi pepohonan.

Bidang gelincir yang pertama terdapat pada batas antara batuan hasil longsoran dengan batuan dasarnya (tuf), sedangkann pada bidang ke II terdapat pada bidang patahan/rekahan. Bidang gelincir yang ke 2 terdapat antara batuan tufa yang lapuk (nilai resistivity 15 – 29,5 ohm.m) dengan batuan yang lebih massif (batuan beku dengan resistivity 400 – 1000 ohm.m) atau pada zona remukan patahan. Bidang tersebut menerus hingga ke lapisan bagian bawah pada kedalaman lebih dari 25 meter (Gambar 10).

(11)

SIMPULAN DAN SARAN

Faktor geologi sangat menentukan kerentanan wilayah Sinjai Barat terhadap longsoran. Faktor

tersebut adalah topografi yang terjal dengan

kemiringan lereng antara 35 – 85O, jenis batuan yang merupakan vulkanik muda dan belum kompak sempurna, kondisi litologi yang relatif terlapukkan

kuat, stratigrafi yang terdiri atas perselingan

antara batuan yang impermeabel (lava) dengan lapisan lapisan batuan vulcani lainnya, banyaknya diskontinyu berupa rekahan/patahan dan gawir-gawir. Gawir yang dijumpai di lapangan merupakan bidang yang terjal akibat adanya gerakan tanah sebelumnya dan umumnya dijumpai pada sisi bagian atas badan jalan.

Keterdapatan bidang sesar dengan kedalaman hingga

25 meter diduga adalah zona hancuran patahan sangat potensi untuk bergerak jika ada pemicu seperti curah hujan yang sangat tinggi atau getaran yang relatif besar. Bidang gelincir juga diduga berada pada batas antara lapisan batuan terlapukkan (soil) dengan batuan segarnya, serta kehadiran lava yang sifatnya impermeabel (tidak tembus air). Batas antara lava dengan tuf di atasnya merupakan bidang mengalirnya air yang masuk ke dalam tanah/batuan. Daerah jalan poros Malino - Sinjai merupakan daerah rawan gerakan tanah/longsor, dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya untuk memitigasi atau dalam uasaha memperkecil dan mengurangi dampak dari gerakan tanah/longsor yang mungkin terjadi setiap saat.

(b) interpretasi dimana diinterpretasi terdapat dua bidng gelincir yang potensial untuk terjadinya longsoran. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M dan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan dana penelitian melalui grant hibah penelitian unggulan perguruan Tinggi. Terima kasih juga disampaikan kepada Hamzah dan Nandy yang telah membantu secara teknis selama penelitian dan penulisan laporan penelitian.

ACUAN

Delvi, M., 2010. Geologi Daerah Magala Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai Provinsi

Sulawesi-Selatan, (laporan Pemetaan Geologi) Jurusan Teknik Geologi, Universitas

Hasanuddin.(Tidak di Publikasikan)

Karnawati, D., 2005. Bencana Alam Gerakan Massa

Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Geologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Kawamura, S., Miura, S., Ishikawa, T., & Ino H.

(2009). Failure mechanism of volcanic slope due to rainfall and freeze-thaw action thaw action Prediction and Simulation Methods for Geohazard Mitigation. Taylor & Francis Group, London, p. 25-31.

Klimeš, J., and Vilímek, V., 2011. A catastrophic

landslide near Rampac Grande in the Cordillera Negra, northern Peru Landslides (2011) 8DOI 10.1007/s10346-010-0249-1. ©

(12)

Mahdi, 2011, Studi Gerakan Tanah Pada Poros

Jalan Raya Daerah Manipi Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai Provinsi

Sulawesi-Selatan. Skripsi S-1 Jurusan Teknik Geologi, Unhas. Tidak dipublikasikan.

Massinai, A. A., Sudrajat, A., Hirnawan, F., Syafri, I., Hasanuddin, Tahir, I., 2010. Gerakan Tanah pada Daerah Rawan Longsor di DAS

Jeneberang, Bagian Barat Lembah Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan. BTGL Vol. 20. No. 2. Badan Geologi ESDM. Hal. 93-102. Nurjamil, A., Sadisun, I. A., dan Bandono., 2005.

Pengaruh Derajat Pelapukan Terhadap Potensi Mengembang Batulempung Formasi Subang, Poster Proceedings Joint Convention– HAGI-IAGI-PERHAPI The 30th HAGI, The 34th IAGI, and The 14th PERHAPI Annual Conference and Exhibition, SURABAYA. Solle, M. S., Mustafa, M., Baja, S., Imran, A. M.,

2012. Landslide Susceptibility Zonation Model On Jeneberang Watershed Based On Geographical Information System And Analytical Hierarchy Process. Jurnal Pasca Sarjana Unhas, Makassar. (in press).

Sukamto, & Supriatna, 1982. Geologi Lembar Ujungpandang, Benteng dan Sinjai Sulawesi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung.

Sumaryono, & Triyana, Y. D., 2011. Simulasi Aliran Bahan Rombakan di Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan. Jurnal

Lingkungan dan Bencana Geologi. Vol 2 no 3. Bandung h.191–202.

Sudarno, I. dan Hussein, S., (2010), Controls of Geological Structures on Cikangkareng

Rockslide. International Symposium and the 2nd AUN/Seed-Net Regional Conference on Geo-Disaster Mitigation in ASEAN, Februari, Bali , p 219 – 224.

Sutikno, 1999. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. Jakarta.

Yuwono, Y.S., 1989. Petrologi dan Mineralogi

Gunung Lompobattang, Sulawesi Selatan:

dalam Geologi Indonesia (Sudrajat, A., Tjia,

H.D., Azikin S., & Katili, A.N., Eds.), Jurnal

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian; (1) empat jenis alam paling potensial yaitu tsunami, longsor, banjir limpasan, dan banjir genangan, (2) tingkat multibahaya bencana yang mencakup

Dalam perancangan ini penulis ingin membuat rak buku dinding khusus untuk buku komik dan novel yang juga bisa sekaligus menjadi lampu tidur pada malam hari.

atau belum tahu manfaat imunisasi bagi anak, tetapi barang kali juga karena rumahnya terlalu jauh dengan pelayanan kesehatan tempat mengimunisasi anaknya

berdasarkan bukti penguasaan fisik yang dilakukan oleh peserta PTSL dan pendahulunya. Kegiatan pengumpulan data yuridis dapat dilaksanakan sebelum, sesudah atau bersamaan dengan

Hasil penelitian menunjukkan secara signifikan bahwa asesmen portofolio dapat dipakai untuk pemberdayaan kecakapan berpikir kreatif pada perkuliahan EHB mencakup

Sebagai contoh fungsi inisialisasi yaitu return (0); merupakan pernyataan untuk memberikan nilai akhir pada fungsi berupa nol,... Contoh

Kegiatan penutup siswa bersama guru menyimpulkan pembelajaran, dan siswa mengerjakan tes formatif 1 untuk mengukur keaktifan dan hasil belajar siswa dalam tindakan pembelajaran

Kenyataan ini terlihat dari perbedaan angka kelumpuhan dan kematian pada sangkar yang sejajar lantai dan pada ketinggian 1,75 m angka kelumpuhan maupun kematian lebih