• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA GEL DAN BAKSO DARI SURIMI IKAN LAYARAN (Istiophorus sp.) FREKUENSI PENCUCIAN DUA KALI DWI OKTAVIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA GEL DAN BAKSO DARI SURIMI IKAN LAYARAN (Istiophorus sp.) FREKUENSI PENCUCIAN DUA KALI DWI OKTAVIANI"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

FREKUENSI PENCUCIAN DUA KALI

DWI OKTAVIANI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) frekuensi pencucian dua kali. Dibimbing oleh Djoko Poernomo dan Sugeng Heri Suseno.

Ikan layaran (Istiophorus sp.) merupakan ikan bernilai ekonomis. Ikan layaran mengandung protein sebesar 23.4 g/100 g (Leung et al. 1972). Ikan dengan kadar protein tinggi baik untuk diolah menjadi produk berbasis gel seperti bakso ikan. Penggunaan surimi dengan frekuensi pencucian dua kali sebagai bahan baku produk berbasis gel memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan daging lumat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisika kimia gel dan bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali, serta membandingkan karakteristik fisika dan kimia bakso ikan hasil penelitian dengan bakso ikan yang ada di pasaran. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu penentuan kesegaran ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ikan, pembuatan surimi dengan proses pencucian dua kali, pembuatan gel ikan, pembuatan bakso dan analisis karakteristik fisika (uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, derajat putih dan Water Holding Capacity) serta kimia (uji proksimat, protein larut garam dan pH) gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.).

Gel memiliki karakteristik sensori yaitu parameter warna, penampakan dan tekstur bernilai 6, rasa dan aroma bernilai 5. Karakteristik fisik yaitu uji lipat dan uji gigit yang bernilai 3 dan 8, derajat putih dan Water Holding Capacity sebesar 66.26% dan 75.20%, nilai kekuatan gel sebesar 2624.90 gram force (gf). Karakteristik kimia yaitu kadar air 72.25%, kadar abu 2.59%, kadar protein 14.74%, kadar lemak 0.59% dan kadar karbohidrat 9.81% serta protein larut garam sebesar 2.79%. Bakso hasil penelitian memiliki karakteristik sensori yaitu parameter warna, penampakan dan aroma bernilai 6, rasa dan tekstur bernilai 5. Karakteristik fisik yaitu uji lipat dan uji gigit yang bernilai 3 dan 6, derajat putih dan Water Holding Capacity sebesar 66.78% dan 67.42%, sedangkan nilai kekuatan gel sebesar 916.25 gram force (gf). Karakteristik kimia bakso hasil penelitian dapat diketahui melalui uji proksimat, kadar air sebesar 66.73%, kadar abu sebesar 1.19%, kadar protein sebesar 11.68%, kadar lemak sebesar 3.17% dan kadar karbohidrat sebesar 17.21%. Selain itu juga dilakukan uji protein larut garam dan pH yang bernilai 2.72% dan 6.57.

Hasil perbandingan karakteristik fisik dan kimia antara bakso hasil penelitian dengan bakso merk X dan merk Y menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik sensori untuk semua parameter bakso hasil penelitian bernilai lebih tinggi dari bakso merk X namun bernilai rendah daripada bakso merk Y. Karakteristik fisik yaitu secara umum bakso ikan hasil penelitian memiliki nilai karakteristik fisik lebih tinggi dari bakso ikan merk X dan Y (kecuali nilai kekuatan gel). Berdasarkan karakteristik kimianya, secara umum bakso ikan hasil penelitian berada diantara bakso komersial merk X dan merk Y (kecuali komposisi protein dan abu).

(3)

FREKUENSI PENCUCIAN DUA KALI

DWI OKTAVIANI

C34080058

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Menyetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Ir. Djoko Poernomo B, Sc) (Dr. Sugeng Heri Suseno S.Pi, M.Si) NIP. 1958 0419 1983 03 1 001 NIP. 1973 0116 1999 03 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil) NIP. 1958 0511 1985 03 1 002

Tanggal Lulus : ……….

Surimi Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Frekuensi Pencucian Dua Kali

Nama : Dwi Oktaviani

NIM : C34080058

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul “Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Frekuensi Pencucian Dua Kali” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

Dwi Oktaviani C34080058

(6)

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Frekuensi Pencucian Dua Kali”. Doa dan harapan semoga Allah selalu meridhoi upaya yang penulis lakukan.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada :

1 Ir. Djoko Poernomo B, Sc dan Dr. Sugeng Heri Suseno S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2 Dr. Pipih Suptijah MBA selaku dosen penguji atas segala masukan, pengarahan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

3 Dr. Ir. Ruddy Suwandi, Ms, Mphil, selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4 Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-Biol selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan.

5 Keluarga terutama Bapak, Mama, Kakak Esa, tante Yani, Eni, Ita dan Enung yang telah memberikan cinta, kasih sayang, semangat, materil dan doanya kepada penulis.

6 Dosen dan staf Tata Usaha Departemen Teknologi Hasil Perairan.

7 Teman seperjuanganku : Siska, Bayu dan Ikhsan terimakasih atas kerjasama dan kebersamaan selama ini.

8 Fida, Henry, Icha, Ukon, Desy, Diah dan Ika terimakasih atas kebersamaan, bantuan dan motivasi selama ini.

9 Teman-teman THP 45 terutama lista, intan, wulan, ningrum, helmy dan hardi, THP 43, 44, 46 dan 47 yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah banyak memberikan masukan, semangat, informasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(7)

11 Teman-teman wisma Edelwise (Euis, Pipit, Gita, Iin, Nia, Hastin, Nisa, Dewi, Gigis, Syafa) yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. 12 Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2012

Dwi Oktaviani C34080058

(8)

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 15 Oktober 1990. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Edi Wusnaedi Iskandar dan Ibu Umpiah. Penulis mengawali jenjang pendidikan di SDN 06 Jakarta pada Tahun 1997 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMPN 208 Jakarta dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2005, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 64 Jakarta dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2008.

Tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menjalani pendidikan akademik di IPB penulis pernah aktif menjadi Asisten Luar Biasa m.k Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan pada tahun 2012. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (DPM FPIK) divisi Administrasi dan Keuangan pada tahun 2010 sebagai anggota, Himpunan Profesi Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) pada tahun 2011 sebagai Sekretaris. Penulis pun aktif dalam Pekan Karya Tulis Mahasiswa pada tahun 2012.

Penulis telah melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul “Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Frekuensi Pencucian Dua Kali” dibimbing oleh Ir. Djoko Poernomo B.Sc dan Dr. Sugeng Heri Suseno S.Pi, M.Si.

(9)

ix  

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Deskripsi Ikan Layaran (Istiophorus sp.) ... 3

2.2 Protein Ikan ... 4

2.2.1 Protein miofibril ... 5

2.2.2 Protein sarkoplasma ... 6

2.2.3 Protein jaringan ikat (Stroma) ... 6

2.3 Surimi ... 7

2.4 Mekanisme Pembentukan Gel ... 8

2.5 Bakso Ikan ... 9

2.5.1 Pembuatan bakso ikan ... 11

2.5.2 Bahan utama ... 12

2.5.3 Bahan pengisi ... 13

2.5.4 Bahan tambahan ... 14

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 17

3.1 Waktu dan Tempat ... 17

3.2 Bahan dan Alat ... 17

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 18

3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 18

3.3.3 Pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 19

3.3.4 Pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 20

3.3.5 Pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 21

3.4 Prosedur Analisis ... 22

3.4.1 Rendemen daging dan surimi ... 23

3.4.2 Analisis organoleptik (Rahayu 2001) ... 23

3.4.3 Analisis fisik ... 24

(10)

x  

5) Water Holding Capacity (WHC) (Granada 2011) ... 25

3.4.4 Analisis kimia ... 26

1) Kadar air (AOAC 1995) ... 26

2) Kadar abu (AOAC 1995) ... 27

3) Kadar protein (AOAC 1995) ... 27

4) Kadar lemak (AOAC 1995) ... 28

5) Kadar karbohidrat (by difference) ... 29

6) Protein larut garam (Eryanto 2006) ... 29

7) Nilai pH (Suzuki 1981) ... 29

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Pembuatan Daging Lumat ... 30

4.2 Pembuatan Surimi ... 32

4.3 Rendemen ... 32

4.4 Pembuatan Gel Ikan Layaran (Istiophorus sp.) ... 33

4.4.1 Karakteristik sensori .. ... 33 1) Warna ... 33 2) Penampakan ... 34 3) Rasa ... 34 4) Tekstur ... 35 5) Aroma ... 35 4.4.2 Karaketristik fisik ... 36 1) Uji lipat ... 36 2) Uji gigit ... 36 3) Derajat putih ... 37 4) Kekuatan gel ... 37

5) Water Holding Capacity (WHC) ... 37

4.4.3 Karakteristik kimia ... 38

1) Kadar air (AOAC 1995) ... 38

2) Kadar abu (AOAC 1995) ... 39

3) Kadar protein (AOAC 1995) ... 39

4) Kadar lemak (AOAC 1995) ... 39

5) Kadar karbohidrat (by difference) ... 39

6) Protein larut garam (Eryanto 2006) ... 40

4.5 Pembuatan Bakso Ikan Layaran (Istiophorus sp.). ... 40

4.5.1 Karakteristik sensori .. ... 40 1) Warna ... 41 2) Rasa ... 42 3) Aroma ... 43 4) Tekstur ... 44 5) Penampakan ... 45

(11)

xi  

3) Derajat putih ... 47

4) Kekuatan gel ... 48

5) Water Holding Capacity (WHC) ... 48

4.5.3 Karakteristik kimia ... 49

1) Kadar air (AOAC 1995) ... 50

2) Kadar abu (AOAC 1995) ... 51

3) Kadar protein (AOAC 1995) ... 51

4) Kadar lemak (AOAC 1995) ... 52

5) Kadar karbohidrat (by difference) ... 52

6) Derajat keasaman (pH) (Suzuki 1981) ... 53

7) Protein larut garam (Eryanto 2006) ... 53

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 54

5.1 Simpulan ... 54

5.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(12)

xii  

Nomor Halaman

1 Ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 3

2 Mekanisme pembentukan gel ikan ... 9

3 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 18

4 Diagram alir penyiapan daging lumat ikan layaran (Istiophorus sp.) 19

5 Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 20

6 Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 21

7 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 22

(13)

xiii  

Nomor Halaman

1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 4

2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) ... 10

3 Syarat mutu tepung tapioka (SNI 01-3451-1994) ... 14

4 Komposisi gizi daging lumat ikan layaran ... 31

5 Nilai rata-rata uji hedonik gel ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 33

6 Hasil uji karakteristik fisik gel ikan layaran (Istiophorus sp.) ... 36

7 Nilai kandungan gizi dan protein larut garam gel ikan ... 38

8 Nilai rata-rata hasil uji hedonik bakso ikan ... 41

9 Hasil uji karakteristik fisik bakso ikan ... 46

(14)

xiv  

Nomor Halaman

1 Lembar penilaian uji lipat ... 61

2 Lembar penilaian uji gigit ... 62

3 Lembar penilaian uji hedonik ... 63

4 Lembar penilaian organoleptik ikan segar ... 64

5 Rekapituasi uji organoleptik ikan segar ... 66

6 Rekapituasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit gel dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali ... 67

7 Rekapituasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali ... 68

8 Rekapitulasi hasil analisis kekuatan gel ... 69

9 Rekapitulasi hasil analisis derajat putih ... 69

10 Rekapitulasi hasil analisis WHC ... 69

11 Rekapitulasi hasil analisis proksimat ... 70

12 Rekapitulasi hasil analisis PLG ... 70

13 Rekapitulasi hasil analisis kadar air surimi ... 70

14 Contoh perhitungan rendemen ... 71

15 Grafik kekuatan gel dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali ... 72

16 Grafik kekuatan gel bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali ... 72

17 Grafik kekuatan gel bakso merk X ... 73

18 Grafik kekuatan gel bakso merk Y ... 73

(15)

1.1 Latar Belakang

Ikan layaran (Istiophorus sp.) merupakan ikan bernilai ekonomis yang biasa ikut tertangkap oleh nelayan ketika menangkap ikan menggunakan alat tangkap long line, alat pancing tonda serta kapal-kapal besar yang biasa menangkap ikan tuna. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010), volume produksi ikan layaran dari tahun 2004–2008 yaitu 2.075; 2.054; 2.661; 3.878 dan 3.957 ton dengan rata-rata kenaikan sebesar 19,07%. Ikan layaran mengandung protein sebesar 23.4 g/100 g (Leung et al. 1972). Ikan dengan kadar protein cukup tinggi, baik untuk diolah menjadi produk berbasis gel seperti bakso ikan. Menurut Suzuki (1981), mutu suatu produk gel ikan dapat ditentukan oleh kekenyalan atau elastisitas produk yang dihasilkan.

Salah satu upaya pemanfaatan daging ikan layaran yaitu dengan mengolahnya menjadi produk bakso ikan. Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari daging atau ikan yang dihaluskan, dicampur dengan tepung, dibentuk bulat-bulat sebesar kelereng atau lebih besar dan dimasak dalam air panas hingga bakso tersebut mengapung (Agustin dan Mewengkang 2008). Bakso ikan yang berkualitas baik dipengaruhi oleh penampakan, tekstur dan cita rasa, serta nilai gizinya. Tekstur bakso dipengaruhi oleh kekuatan gel yang dibentuk oleh surimi. Kekuatan gel surimi dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, kematangan gonad, tingkat kesegaran ikan, pH, kadar air, volume, konsentrasi dan jenis penambahan antidenaturant (cryoprotectant), serta frekuensi pencucian (Suzuki 1981).

Penggunaan surimi dalam pembuatan bakso ikan dapat memberikan keuntungan yaitu pembentukan gel yang lebih baik karena pada surimi sebagian besar protein larut air yang menghambat pembentukan gel telah terbuang, warna dan penampakan lebih baik, menghilangkan bau yang tidak dikehendaki, serta rasa dapat diatur sesuai selera dengan menggunakan bumbu-bumbu dan bahan-bahan pembentuk rasa (Irianto dan Giyatmi 2009). Surimi merupakan produk olahan perikanan setengah jadi (intermediate product) berupa hancuran daging ikan yang mengalami proses pencucian dengan larutan garam dingin,

(16)

pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive), pengepakan dan pembekuan (Djazuli et al. 2009).

Penggunaan surimi dengan frekuensi pencucian dua kali sebagai bahan baku produk berbasis gel memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan daging lumat. Menurut Shahidi dan Botta (1994), surimi dari ikan Mackerel dengan frekuensi pencucian dua kali memiliki karakteristik fisik yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan daging lumat ikan Mackerel tanpa pencucian. Sedangkan menurut Kim dan Park (2004), semakin banyak proses pencucian dalam pembuatan surimi maka akan mengurangi residu protein sarkoplasma dalam daging lumat yang dapat menghambat pembentukan gel.

Menurut Toyoda et al. (1992), secara umum kekuatan gel akan meningkat sampai dengan pencucian kedua karena fungsi dari konsentrasi protein miofibril sudah tercapai pada level tertingginya. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel, menghilangkan bau anyir, pigmen, lemak dan senyawa-senyawa organik yang mempunyai berat molekul rendah. Pada penelitian ini dilakukan kajian mengenai karakteristik fisika kimia gel dan bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Mengkarakterisasi fisika dan kimia gel dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali.

2) Mengkarakterisasi fisika dan kimia bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali.

3) Membandingkan karakteristik fisika dan kimia bakso ikan hasil penelitian dengan bakso ikan yang ada di pasaran.

(17)

2.1 Deskripsi Ikan Layaran (Istiophorus sp.)

Ikan layaran (Istiophorus sp.) termasuk kedalam sumberdaya ikan pelagis besar yang termasuk jenis ikan pedang atau setuhuk dan sering muncul kepermukaan dengan sirip punggung yang dikembangkan. Habitat ikan layaran adalah di permukaan laut (pelagis dan epipelagis) di atas lapisan termoklin. Ikan layaran banyak ditemukan di daerah perairan yang dekat dengan pesisir dan pulau-pulau (Shaw 1972). Ikan pelagis besar tersebar dihampir semua wilayah pengelolaan perikanan di mana tingkat pemanfaatan berbeda-beda antar perairan (Mallawa 2006). Penangkapan ikan ini menggunakan alat tangkap tonda dan long line. Klasifikasi ikan layaran (Istiophorus sp.) (Saanin 1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Scombroidea Famili : Istiophoridae Genus : Istiophorus

Spesies : Istiophorus gladius Istiophorus orientalis Istiophorus platypterus

(18)

Daerah penyebaran ikan layaran di Indonesia meliputi : Pelabuhan Ratu, Selat Bali, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, dan perairan barat Sumatera (KKP 2006). Ikan layaran memiliki panjang yang dapat mencapai 300 cm, memiliki badan memanjang berwarna putih perak dengan punggung berwarna kehitaman. Kepala ikan layaran berbentuk kerucut dengan paruh panjang dan merupakan ikan perenang cepat. Sirip punggung ikan layaran memiliki 20 jari-jari keras yang membentuk seperti layar berwarna kebiruan. Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.)

Komposisi Satuan Bagian yang dapat dimakan

Kalori Kal 129 Air % 72,4 Protein g 23,4 Lemak g 3,2 Total karbohidrat g  - Serat g  - Abu g  1 Calsium mg 9 Phospor mg  190 Fe mg  0,8 Sodium mg  71 Potasium mg  - Retinol mg  5 B-caroten eqivalen mg  - Thiamin mg  0,10 Riboflavin mg  0,06 Niasin mg  4,5 Ascorbic acid mg  1

Sumber : Leung et al. (1972)

2.2 Protein Ikan

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai hormone, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein (Almatsier 2006). Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno 2008). Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu

(19)

membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Protein merupakan komponen ikan yang sangat penting ditinjau dari sudut gizi dan terkandung sekitar 15-25% dari berat total daging (Irianto dan Giyatmi 2009). Protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Protein ikan terdiri dari asam-asam amino yang diperlukan oleh tubuh manusia. Molekul protein terutama terdiri dari asam amino, yang merupakan senyawa organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino dan satu atau lebih gugus karboksil (Irianto dan Giyatmi 2009).

Protein ikan kurang stabil bila dibandingkan dengan protein daging mamalia, artinya mudah rusak oleh pengolahan, terkoagulasi dan terdenaturasi, karena struktur alamiah miosin yang labil (Winarno 1993). Protein ikan mudah dicerna dan diabsorpsi. Absorpsi protein ikan lebih tinggi dibandingkan daging sapi, ayam dan lainnya, karena daging ikan mempunyai serat-serat protein lebih pendek dari pada serat-serat daging sapi atau ayam (Ikayanti 2007). Protein ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril sebesar 65-75%, sarkoplasma sebesar 20-30% dan stroma 1-3% (Junianto 2003). Asam amino dalam teknologi pangan mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan, misalnya D-triptofan mempunyai rasa manis 35 kali kemanisan sukrosa, sebaliknya L-triptofan mempunyai rasa yang sangat pahit. Asam glutamat sangat penying peranannya dalam pengolahan makanan karena dapat menimbulkan rasa yang lezat, gugusan glutamat akan bergabung dengan senyawa lain menghasilkan rasa enak tersebut (Winarno 2008).

2.2.1 Protein miofibril

Protein miofibril atau protein larut garam adalah salah satu dari protein yang terdapat pada daging ikan serta berjumlah paling besar diantara protein sarkoplasma dan stroma. Protein ini terdiri atas aktin, miosin, serta protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Protein miofibril memiliki peranan penting dalam pembentukan gel makanan berbasis surimi. Kemampuan protein miofibril dalam membentuk gel akan berkurang karena perlakuan selama pengolahan dan penyimpanan (Uju 2006). Protein miofibril bertanggung jawab terhadap daya ikat air daging ikan, tekstur produk serta sifat fungsional daging lumat khususnya kemampuan membentuk gel (Irianto dan Giyatmi 2009). Pada

(20)

umumnya protein yang larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air (Junianto 2003). Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan elastisitas gel protein. Miosin merupakan fraksi miofibril yang paling berlimpah dalam otot ikan dan memiliki kontribusi sekitar 50-60% dari berat total jumlah protein. Aktin merupakan fraksi miofibril terbesar kedua setelah miosin, menyusun sekitar 20% dari kandungan total jumlah protein. Tropomiosin dan troponin berjumlah 10% dari kandungan total jumlah protein (Shahidi dan Botta 1994). Aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin. Protein miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran pH kurang dari 6,5 yang berdampak pada kemampuan pembentukkan gel.

2.2.2 Protein sarkoplasma

Sarkoplasma (miogen) merupakan protein terbesar kedua pada daging ikan yang mengandung bermacam-macam protein yang larut dalam air. Protein ini terdiri dari albumin, mioalbumin dan mioprotein. Kandungan sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi, selain tergantung dari jenis ikan dan habitat ikan tersebut. Pada umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Junianto 2003). Menurut Lee dan Lanier (1992), sarkoplasma tidak menghasilkan gel walaupun dipanaskan dan jika tidak dihilangkan akan menghambat pembentukan gel. Protein sarkoplasma sebagian besar mengandung enzim-enzim, termasuk enzim proteolitik. Protein ini larut dalam air dan larutan garam yang kekuatan ion rendah (konsentrasi garam 0,5%). Pemanasan protein sarkoplasma selama 10 menit pada suhu 90 oC akan menggumpal (mengkoagulasi) protein tersebut (Rahayu et al. 1992).

2.2.3 Protein jaringan ikat (Stroma)

Protein jaringan ikat (stroma) merupakan fraksi protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin, terdapat di luar serabut daging.

Stroma tidak larut dalam air, asam, basa serta larutan garam 0,01-0,1 M (Rahayu et al. 1992). Protein stroma ikan lebih kecil daripada hewan-hewan

mamalia. Daging merah pada ikan umumnya mengandung lebih banyak stroma, sedikit mengandung sarkoplasma jika dibandingkan dengan daging putih ikan.

(21)

Daging merah terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat di hampir seluruh bagian tubuh (Junianto 2003). Protein stroma penting dalam proses pangan karena mempunyai beberapa pengaruh merugikan terhadap sifat funsional daging. Kolagen mudah terdenaturasi oleh panas yang akan mempengaruhi sifat fisik. Stroma memiliki kelarutan yang rendah, mengandung muatan rendah dan proporsi asam-asam amino esensial yang rendah, sehingga dapat menurunkan kapasitas emulsi daging, dengan mengganggu kapasitas daya pengikatan air pada daging dan berpengaruh terhadap nilai nutrisi daging (Nurfianti 2007).

2.3 Surimi

Surimi adalah daging lumat ikan yang mengalami proses pencucian dengan larutan garam dingin untuk menghilangkan lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma dengan penambahan cryoprotectants dan dibekukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu surimi adalah kesegaran bahan baku, namun komposisi kimia ikan khususnya protein dan lemak juga berperan terhadap pembentukan gel. Surimi merupakan konsentrat dari protein miofibrilar yang mempunyai kemampuan pembentukan gel, pengikatan air, pengikat lemak dan sifat-sifat fungsional yang baik yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produk bakso, sosis, otak-otak dan sebagainya yang spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel. Salah satu sifat surimi adalah membentuk gel yang elastis dan kuat dengan perlakuan panas. Surimi yang bermutu tinggi harus berasal dari bahan baku yang segar, dimana protein yang terkandung dalam ikan tidak mengalamidenaturasi (Djazuli et al. 2009).

Pada prinsipnya pengolahan surimi menerapkan teknologi yang sederhana dan mudah dilakukan, sedangkan peralatan yang digunakan tergantung pada tingkat kecanggihan dan skala produksi. Secara umum, tahapan pengolahan surimi, meliputi penyiangan, pemisahan daging dan tulang, pembuangan air, pencampuran dengan krioprotektan, serta pembekuan. Proses pencucian pada pembuatan surimi dilakukan dengan mencuci daging lumat dengan air dingin (10-15 oC) yang ditambahkan garam 0,2-0,3% sebanyak 2-3 kali pencucian. Volume air yang digunakan adalah 4-5 kali berat daging lumat. Penambahan

(22)

garam dalam proses pencucian daging lumat membantu pelepasan air dari daging lumat (Irianto dan Giyatmi 2009).

Proses pencucian pada pembuatan surimi dapat memberikan beberapa keuntungan antara lain :

a. Meningkatkan kemampuan daging lumat membentuk gel dengan membuang sebagian besar protein larut air yang mengganggu pembentukan gel

b. Memperbaiki warna dan penampakan daging lumat c. Menghilangkan bau yang tidak dikehendaki

d. Menghasilkan surimi beku yang memiliki rasa hambar sehingga rasa produk olahan lanjut dapat diatur sesuai selera dengan menggunakan bumbu-bumbu dan bahan-bahan pembentuk rasa

e. Memperpanjang umur penyimpanan beku dari daging yang telah dicuci dengan penambahan gula dan poliposfat

Pengaruh pencucian yang tidak menguntungkan, yaitu hilangnya komponen rasa alami yang ada didaging dan berkurangnya kandungan protein. Penghilangan protein larut air (sarkoplasma) memberikan pengaruh yang baik terhadap surimi, yaitu peningkatan kemampuan membentuk gel (Irianto dan Giyatmi 2009).

2.4 Mekanisme Pembentukan Gel

Gelasi protein daging ikan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua adalah terjadinya agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi (Niwa 1992). Menurut Hudson (1992), proses gelasi terbagi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama, pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Niwa (1992) menyatakan bahwa ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini, pasta surimi akan mengeras,

dimana ikatan intermolekuler sulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein (Niwa 1992). Ikatan disulfida akan intensif terjadi pada suhu

pemanasan yang tinggi (di atas 80 0C). Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Tingkatan elastisitas ini terjadi

(23)

karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).

Pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dan dipanaskan akan menyebabkan pasta daging tersebut berubah menjadi gel swari. Gel swari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul miofibril. Gel swari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel swari terjadi pada pemanasan dengan suhu 50 0C (Suzuki 1981).

Pemanasan gel bila ditingkatkan hingga di atas suhu 50 0C, maka struktur tersebut akan hancur, fenomena ini disebut modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 0C selama 20 menit, pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Berkaitan dengan fenomena tersebut, maka dibuat sebuah metode untuk membuat gel surimi yang kuat dengan melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada zona rentang suhu dimana modori dapat terjadi. Gel surimi yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati suhu modori , dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi lebih besar yang disebut gel ashi (Suzuki 1981). Mekanisme pembentukan gel ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Mekanisme pembentukan gel ikan (Suzuki 1981)

2.5 Bakso Ikan

Bakso ikan merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995). Bahan yang diperlukan untuk pembuatan bakso yaitu: daging ikan, tepung tapioka dan bumbu-bumbu. Bumbu bakso dapat berupa garam NaCl halus 2,5%, sedangkan bumbu

(24)

penyedap dibuat dari campuran bawang putih 3%, bawang merah 2-2,5% dan merica atau lada sebesar 0,5% dari berat daging (Waridi 2004).

Faktor penampakan, tekstur, dan cita rasa, serta nilai gizi merupakan parameter yang penting dalam menentukan kualitas bakso ikan (Uju et al. 2004). Berdasarkan karakteristiknya, bakso ikan tergolong bahan pangan yang mudah rusak akibat aktivitas mikroba, karena memiliki pH yang relatif tinggi (>5,2) dan aktivitas air yang tinggi (aw>0,91) (Chairita et al. 2009). Syarat mutu bakso ikan berdasarkan SNI 01-3819-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 2 3 4 1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 5 6 7 8 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 9 10 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 Keadaan: Bau Rasa Warna Tekstur Air Abu Protein Lemak Boraks

Bahan tambahan makanan

Cemaran logam: Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Mg)

Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba: Angka lempeng total Bakeri bentuk koli Salmonella Staphylococcus aureus Vibrio cholerae - - - - % b/b % b/b % b/b % b/b - Sesuai SNI dan revisinya mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g APM/g - koloni/g -

Normal, khas ikan Gurih

Normal, putih tanpa warna asing lainnya Kenyal Maks. 80,0 Maks. 3,0 Min. 9,0 Maks. 1,0 Tidak boleh ada 01-0222-1987 Maks. 2,0 Maks. 20,0 Maks. 100,0 Maks. 40,0 Maks. 0,5 Maks. 1,0 Maks. 1x107 Maks. 4x102 Negatif Maks. 5x10 Negatif Sumber : BSN (1995)

(25)

2.5.1 Pembuatan bakso ikan

Pada prinsipnya pembuatan bakso terdiri atas empat tahap yaitu: (1) penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencentakan bakso; dan (4) pemasakan. Proses penggilingan daging harus memperhatikan kenaikan suhu akibat panas yang timbul saat proses penggilingan, karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi adalah di bawah 20 oC. Pemasakan bakso setelah dicetak dilakukan dengan cara perebusan dalam air mendidih atau dapat juga dikukus (Bakar dan Usmiati 2007).

(1) Penghancuran daging

Penghancuran daging bertujuan untuk memperluas permukaaan daging sehingga protein yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian jaringan lunak akan berubah menjadi mikro partikel (Astuti 2009). Tahap ini dilakukan penambahan es atau air dingin sebanyak 20% dari berat adonan agar menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan (Winarno dan Rahayu 1994).

(2) Pembuatan adonan

Surimi dicampur dengan garam dan bumbu secukupnya. Setelah tercampur merata, ke dalam surimi tersebut ditambahakan tepung tapioka sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga diperoleh adonan yang homogen. Pada saat pembentukan adonan bakso ikan ditambahakan es sekitar 15-20% atau 30% dari berat daging ikan lumat (Wibowo 2006). Penggunaan es saat pengadonan dapat mempertahankan suhu adonan tetap dingin yaitu sekitar 20 oC. Penambahan es dapat berpengaruh terhadap tekstur bakso dan penggunaan suhu 20 oC dapat mempertahankan stabilitas emulsi (Usmiati 2009).

(3) Pencetakan bakso

Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus atau dikukus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan dengan menggunakan tangan, dengan cara adonan diambil dengan sendok makan kemudian diputar-putar dengan menggunakan tangan sehingga terbentuk bola bakso. Bagi yang sudah mahir untuk membuat bola bakso, cukup dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas kearah ibu jari. Adonan yang

(26)

keluar dari lubang ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan kemudian bulatan tersebut diambil dengan sendok (Wibowo 2006).

(4) Pemasakan

Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan air mendidih yang biasanya dilakukan dengan dua kali perebusan. Lama waktu perebusan bakso ikan yaitu selama 15 menit sehingga akan menghasilkan bakso ikan yang berkualitas. Pemasakan bakso dalam dua tahap dimaksudkan agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat (Desrosier 1988). Apabila bakso yang direbus sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah matang dan dapat diangkat. Kematangan bakso juga dapat dilihat dengan melihat bagian dalam bakso, ketika diiris, bekas irisan bakso yang sudah matang tampak mengkilap agak transparan, tidak keruh seperti adonan lagi. Setelah cukup matang, bakso diangkat dan ditiriskan sambil didinginkan pada suhu ruang (Wibowo 2006).

2.5.2 Bahan utama

Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan bakso ikan adalah daging ikan dari satu jenis ikan atau campuran dari beberapa jenis ikan. Daging ikan yang cocok untuk pembuatan bakso adalah daging putihnya saja. Jenis ikan berdaging merah tidak bagus dijadikan bakso, kecuali jika ikan tersebut juga memiliki daging putih dan mudah dipisahkan dengan daging merahnya, misalnya tuna, cakalang, tongkol dan kembung (Wibowo 2006). Komponen daging yang berperan dalam produk bakso adalah protein, khususnya protein yang bersifat larut dalam garam, terutama aktin dan miosin. Fungsi protein dalam bakso adalah sebagai bahan pengikat dan emulsifier (Winarno dan Rahayu 1994).

Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan bakso harus menggunakan ikan segar, tidak cacat fisik dan berkualitas baik. Semakin segar daging ikan yang digunakan maka semakin menghasilkan rasa enak sebagai flavor bakso yang dihasilkan. Jenis ikan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tekstur dan rendemen bakso yang diperoleh (Waridi 2004). Daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso lebih baik berupa surimi, karena menghasilkan tekstur bakso yang lebih kenyal dan warna yang lebih putih. Kriteria mutu bakso sebagai produk fish jelly adalah kelenturan dan kekenyalannya (Astuti 2009).

(27)

2.5.3 Bahan pengisi

Bahan pengisi merupakan sumber pati. Bahan pengisi ditambahkan dalam produk restrukturisasi untuk menambah bobot produk dengan mensubstitusi sebagian daging sehingga biaya dapat ditekan. Fungsi lain dari bahan pengisi adalah membantu meningkatkan volume produk. Menurut Winarno (1997), pati terdiri atas dua fraksi yang dapat terpisah dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Fraksi amilosa berperan penting dalam stabilitas gel karena sifat hidrasi amilosa dalam pati yang dapat mengikat molekul air dan kemudian membentuk massa yang elastis. Pembuatan bakso biasanya menggunakan tepung tapioka dan merupakan granula dari karbohidrat, berwarna putih, tidak mempunyai rasa manis dan tidak berbau.

Tapioka adalah pati (amilum) yang diperoleh dari umbi kayu segar setelah melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan (BSN 1994). Tepung tapioka banyak digunakan di berbagai industri karena kandungan patinya yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dalam air panas dan membentuk kekentalan yang dikehendaki (Sumaatmaja 1984). Tepung tapioka juga memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang terang dan daya lekatnya yang baik (Astuti 2009). Bahan makanan yang mengandung pati umumnya mengalami penurunan kadar air. Penurunan kadar air akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk interaksi pati dan protein ikan (Manullang et al. 1995).

Produk bakso yang dapat menghasilkan rasa lezat, tekstur bagus dan bermutu tinggi menggunakan jumlah tepung sekitar 10-15% dari daging ikan (Wibowo 2006). Semakin banyak tapioka yang ditambahkan, kekenyalan bakso makin menurun dan kandungan proteinnya makin rendah, karena komposisi daging makin sedikit dan kandungan karbohidrat makin tinggi (BBPPP 2009). Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 dapat dilihat pada Tabel 3.

(28)

Tabel 3 Syarat mutu tepung tapioka (SNI 01-3451-1994)

No Jenis uji Persyaratan

Mutu I Mutu II Mutu III 1 Keadaan Sehat, tidak berbau apek atau masam, murni,

tidak kelihatan ampas dan/atau bahan asing

2 Kadar air maksimum (%) 15 15 15

3 Kadar abu maksimum (%) 0,60 0,60 0,60

4 Serat dan benda asing maksimum (%)

0,60 0,60 0,60

5 Derajat putih minimum (BaSO4=100%) (%)

94,5 92 92

6 Kekentalan (Engler) 3-4 2,5-3 <2,5

7 Derajat asam maksimum (ml N NaOH/100g) 3 3 3 8 Cemaran logam: - Timbal (Pb) (mg/kg) 1,0 1,0 1,0 - Tembaga (Cu) (mg/kg) 10,0 10,0 10,0 - Seng (Zn) (mg/kg) 40 40 40 - Raksa (Hg) (mg/kg) 0,05 0,05 0,05 - Arsen (As) (mg/kg) 0,5 0,5 0,5 9 Cemaran mikroba: - Angka lempeng total

maksimum (koloni/gram) 10 x 106 10 x 106 10 x 106 - E. coli maksimum (koloni/gram) 10 10 10 - Kapang maksimum (koloni/gram) 10x104 10x104 10x104 Sumber : BSN (1994) 2.5.4 Bahan tambahan

Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan maksud tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, citarasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Dewi 2005). Bahan tambahan yang digunakan pada pembuatan bakso ikan terdiri dari garam, bawang merah, bawang putih, soda kue, gula, lada, telur dan air es atau es. Dalam pembuatan bakso, sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan MSG (Monosodium Glutamate) sebagai bumbu penyedap. Sebagai bumbu penyedap dapat digunakan bumbu campuran bawang merah, bawang putih dan jahe dengan perbandingan 15:3:1 (Wibowo 2006).

(29)

Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada pembuatan bakso. Pemakain garam biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada keperluan. Garam mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganism (Buckle et al. 1978). Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet. Garam yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso adalah sekitar 2,5 % (Wibowo 2006).

Bawang putih merupakan produk alami yang biasanya ditambahkan ke dalam bahan makanan. Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih termasuk salah satu familia Licliaceae yang popular di dunia dengan nama ilmiah Allium sativum. Kandungan bawang putih antara lain air mencapai 60,9-67,8%, protein 3,5-7%, lemak 0,3%, karbohidrat 24,0-27,4% dan serat 0,7%, juga mengandung mineral penting dan beberapa vitamin dalam jumlah tidak besar (Wibowo 1999). Bawang merah mengandung cukup banyak vitamin B dan C dan biasanya bawang merah digunakan sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional. Bawang merah sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein 1,5%, lemak 0,3% dan karbohidrat 9,2%. Umbi bawang merah mengandung ikatan asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air.

Lada biasanya ditambahkan pada bahan makanan sebagai penyedap makanan. Lada sangat digemari karena memiliki sifat penting, yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimiawi organik yang terdapat pada lada (Dewi 2005). Lada yang digunakan umumnya sekitar 1% dari berat daging (Wibowo 2006).

Minyak merupakan bahan cair diantaranya disebabkan rendahnya kandungan asam lemak jenuh dan tingginya kandungan asam lemak yang tidak jenuh, yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap di antara atom-atom karbonnya sehingga mempunyai titik lebur yang rendah. Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan (Winarno 2008).

(30)

Es atau air es merupakan bahan penting lainnya yang digunakan dalam pembuatan bakso. Bahan ini berfungsi membantu pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es berfungsi meningkatkan air ke dalam adonan kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Es dapat mempertahankan suhu agar tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Oleh karena itu, dalam adonan bakso dapat ditambahakan es sebanyak 5-20% atau bahakan 30% dari berat daging (Wibowo 2006).

(31)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2012 dan bertempat di beberapa laboratorium. Analisis kekuatan gel, derajat putih, protein larut garam dan Water Holding Capacity bertempat di Laboratorium Teknologi Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, analisis proksimat bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, analisis derajat keasaman (pH) bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, pembuatan gel dan bakso bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan serta uji organoleptik bertempat di Laboratorium Organoleptik Teknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk membuat bakso meliputi ikan layaran (Istiophorus sp.) yang diperoleh dari TPI Pelabuhan ratu Sukabumi. Ikan dibawa menggunakan cool box yang diberi es dengan perbandingan es 2 : 1. Bahan lain yang digunakan adalah tepung tapioka, bawang merah goreng, bawang putih, garam, merica, minyak goreng, air dan es batu serta bahan-bahan yang digunakan

untuk analisis fisik dan kimia antara lain akuades, HCl 0,2 N, H2SO4, NaOH 40%, H3BO3 dan sebagainya.

Alat yang digunakan dalam pembuatan surimi, gel dan bakso ikan antara lain pisau, talenan, baskom plastik, sendok, karet, tabung stainless, timbangan digital, meat grinder, food processor, alat pengepres surimi, kain belacu, panci perebusan dan kompor. Alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia antara lain oven, desikator, kompor, tanur, tabung Kjeldahl, erlenmeyer, soxhlet, kondensor, labu lemak, waring blender, gelas kimia, termometer, pH meter dan kertas saring, Chromameter, carverpress dan Texture analyzer (TA-XT21).

(32)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu penentuan kesegaran ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ikan, pembuatan surimi dengan proses pencucian dua kali, pembuatan gel ikan, pembuatan bakso serta analisis karakteristik fisik kimia gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.).

3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.)

Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel ikan layaran dari TPI Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. Ikan layaran ditransportasikan menuju bogor dengan menggunakan bus, ikan disimpan dalam cool box dan steyrofoam yang diberikan tambahan es untuk tetap menjaga kesegaran ikan. Setelah sampai di laboratorium, ikan disimpan dalam freezer, kemudian ikan diuji organoleptik untuk mengetahui kesegaran ikan oleh 30 panelis semi terlatih. Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.)

3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.)

Ikan layaran yang telah diuji organoleptik kemudian dipreparasi. Ikan layaran dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang menempel,

kemudian di fillet untuk memisahkan daging dengan bagian lain (kepala, isi perut, Pembelian ikan layaran di

TPI

Penyimpanan ikan layaran dalam cool box yang diberi es (2:1)

Pentransportasian

Penyimpanan sementara dalam freezer

Uji organoleptik (mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau dan

(33)

sirip dan tulang), dilakukan skinless untuk memisahkan daging ikan dengan kulit serta dilakukan pemisahan antara serat daging dengan daging untuk memudahkan ketika pelumatan daging ikan dengan meat grinder. Selanjutnya dilakukan pencampuran seluruh bagian daging ikan yang sudah dilumatkan. Hal ini dilakukan agar seluruh bagian daging ikan layaran dapat tercampur dengan rata. Dilakukan uji proksimat pada daging lumat yang dihasilkan. Diagram alir preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alir penyiapan daging lumat ikan layaran (Istiophorus sp.)

3.3.3 Pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.)

Daging ikan layaran yang sudah lumat ditimbang untuk mengetahui berat awal daging lumat, kemudian dicuci sebanyak dua kali dengan perbandingan air es dan daging lumat sebesar 3:1. Pada proses pencucian daging lumat dicuci dengan air es (5-8 oC) dan diaduk selama 10 menit dengan penambahan garam 0,3% (b/b) pada pencucian kedua. Setelah itu disaring menggunakan kain blacu dan diperas menggunakan alat pemeras surimi untuk menghilangkan

Ikan layaran

Pencucian

Pelumatan dengan meat grinder 

Pemisahan serat daging dengan daging Pelepasan kulit

Pem-fillet-an

Pencampuran seluruh daging lumat

Daging lumat Analisis : - Rendemen - Proksimat

(34)

air dengan tingkat pemerasan yang sama, proses pencucian ini dilakukan sebanyak dua kali sebagai perlakuan. Daging lumat yang sudah menjadi surimi ditimbang untuk mengetahui berat akhirnya. Dilakukan pengujian kadar air surimi. Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.)

3.3.4 Pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.)

Surimi yang dihasilkan ditimbang dan dilakukan pencampuran dengan garam 2,5% (b/b) menggunakan food processor hingga adonan homogen dan dicetak dengan menggunakan tabung stainless. Dilakukan pemanasan dengan suhu 45-50 oC selama 20 menit dan dilanjutkan dengan suhu 80-90 oC selama 30 menit. Gel ikan yang dihasilkan dilakukan analisis untuk mengetahui

Daging lumat

Pencucian I (air es : ikan = 3:1) 10 menit

Penyaringan

Surimi Pemerasan

Penimbangan berat awal

Pencucian II (air es : daging lumat = 3:1) + garam 0,3% (b/b) 10 menit Penyaringan Pemerasan Analisis: - Rendemen - Kadar air

(35)

karakteristik fisik dan kimia yaitu terdiri dari uji sensori, uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji proksimat dan protein larut garam. Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.)

3.3.5Pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.)

Bahan baku pembuatan bakso ikan menggunakan surimi dengan pencucian dua kali. Surimi ditimbang kemudian dimasukan ke dalam food processor dan ditambahkan garam 2,5%, tambahkan bumbu-bumbu yaitu bawang merah goreng 2,5%, bawang putih 4% dan lada 1% kemudian food processor dinyalakan kembali, tambahkan tepung tapioka 10% lalu diaduk, tahap terakhir pengadonan yaitu masukan minyak goreng 10% dan air es sedikit demi sedikit kemudian diaduk. Total pengadukan adonan yaitu selama 5 menit.

Surimi

Penimbangan

Pencampuran dengan garam 2,5% (b/b)

Pengadonan hingga homogen

Pemanasan I suhu 45-50 OC (20 menit) dilanjutkan pemanasan II suhu 80-90 OC (30 menit)

Pencetakan dalam tabung stainless (diameter 3,25 cm; tinggi 3 cm)

Gel ikan Analisis : warna, penampakan, aroma, tekstur, rasa, kekuatan gel,

derajat putih, uji lipat,uji gigit, Water Holding Capacity, proksimat

(36)

Adonan yang dihasilkan dicetak menyerupai bola kecil menggunakan tangan. Adonan yang telah dicetak kemudian direbus dengan 2 kali proses pemanasan, yaitu pemanasan 1 dengan suhu 45-50 oC selama ± 5 menit dan pemanasan 2 dengan suhu 80-90 oC selama ± 15 menit atau sampai bakso mengapung. Bakso hasil penelitian, bakso komersial merk X (diperoleh dari

Palabuhan Ratu) dan bakso merk Y (diperoleh dari swalayan) dilakukan uji sensori, analisis karakteristik fisik dan kimia yaitu terdiri dari uji lipat, uji gigit, uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji WHC, uji proksimat (uji kadar air, lemak, abu dan protein), uji protein larut garam (PLG) dan uji pH. Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.)

3.4 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji organoleptik, analisis fisik dan kimia. Analisis organoleptik dilakukan dengan menggunakan

Ikan layaran

Bakso ikan layaran Surimi

Pengadonan

Pemanasan I suhu 45-50 oC selama ± 5 menit Pemanasan II suhu 80-90 oC selama ± 15 menit

Pendinginan suhu ruang Pencetakan bakso

Garam 2,5%

Bawang merah goreng 2,5% Bawang putih 4%

Lada 1%

Tepung tapioka 10% Minyak goreng 10% Air es

Analisis : warna, penampakan, aroma, tekstur, rasa, kekuatan gel,

derajat putih, uji lipat,uji gigit, Water Holding Capacity, proksimat,

(37)

uji scoring (skor mutu). Analisis fisik yang dilakukan terdiri dari uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji lipat, uji gigit dan uji WHC. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak), PLG dan pengukuran nilai pH.

3.4.1 Rendemen daging dan surimi

Rendemen daging dihitung dengan membandingkan antara berat daging dengan berat ikan utuh. Ikan layaran utuh ditimbang sebagai berat awal (a). Kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut, sirip dan kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Selanjutnya rendemen daging dihitung dengan persamaan :

Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan berat daging lumat. Daging lumat ditimbang sebagai berat awal (a). Kemudian dagingnya dilumatkan, dicuci dan diperas lalu ditimbang sebagai berat akhir (c). Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan persamaan :

3.4.2 Analisis organoleptik (Rahayu 2001)

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan, panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan.

Tingkatan disebut skala hedonik dan dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya.

Penelitian ini menggunakan sembilan skala hedonik yang menunjukkan tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan cara menyajikan bakso yang telah diberi kode (menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penampakan, termasuk uji lipat dan uji gigit. Parameter rasa

Rendemen daging = b x 100 % a

Rendemen surimi = c x 100 % a

(38)

dinilai pada saat memakan bakso ikan. Parameter warna dan aroma dinilai dengan melihat dan mencium aroma bakso ikan yang disajikan. Parameter tekstur dinilai dengan perabaan oleh lidah pada saat bakso dimakan dan parameter kekenyalan dinilai berdasarkan kemudahan dalam melipat bakso ikan.

3.4.3 Analisis fisik

Analisis fisik yang dilakukan terhadap gel dan bakso ikan adalah kekuatan gel, derajat putih, uji lipat, uji gigit dan Water Holding Capacity.

(1) Uji kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Granada 2011)

Pengukuran kekuatan gel dilakukan secara objektif dengan menggunakan Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan bakso ikan dinyatakan dalam gram force tiap cm2 (gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan dibawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali dan hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel pada suatu bahan.

(2) Uji derajat putih (Park 1994 dalam Chaijan et al. 2004)

Derajat putih sampel dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu analisis warna secara objektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur. Skala warna yang digunakan untuk mengukur tingkatan dari lightness L* adalah hitam (0) sampai cerah/terang (100), a* adalah merah (60) sampai hijau (-60) dan b* adalah kuning (60) sampai biru (-60). Bila ΔL* bernilai positif, contoh lebih putih dibandingkan standar, sedangkan bila bernilai negatif artinya contoh lebih gelap dibandingkan standar. Bila Δa* positif, contoh lebih merah dibandingkan dengan standar, sedangkan bila bernilai negatif artinya contoh lebih hijau dibandingkan standar. Bila Δb* bernilai positif, contoh lebih kuning dibandingkan standar dan bila Δb* bernilai negatif artinya contoh

(39)

lebih biru dibandingkan standar. Nilai derajat putih atau whiteness dihitung dengan rumus:

(3) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981)

Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu gel yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 3 mm. Potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya keretakan pada produk. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut: 5 : Tidak retak bila dilipat dua kali

4 : Tidak retak bila dilipat satu kali 3: Sedikit retak bila dilipat satu kali 2 : Retak bila dilipat satu kali 1 : Hancur bila ditekan jari

(4) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981)

Uji gigit ini merupakan taksiran secara obyektif dari seorang panelis terhadap produk, panelis yang melakukan pengujian sebanyak 30 orang. Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5 mm. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut :

10 : Amat sangat kuat 5 : Agak lunak 9 : Sangat kuat 4 : Lunak

8 : Kuat 3 : Sangat lunak

7 : Agak kuat 2 : Amat sangat lunak 6 : Normal 1 : Hancur

(5) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Granada 2011)

Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel sebanyak 0,3 gram diletakkan pada kertas saring kemudian dijepit dengan carverpress, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman no 40. Luas area basah

(40)

yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam gel dan bakso yang terlepas) dapat dihitung sebagai berikut :

WHC dihitung dengan menggunakan rumus:

3.4.4 Analisis kimia

Analisis kimia yang dilakukan terhadap gel dan bakso ikan meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak) pH dan protein larut garam.

(1) Kadar air (AOAC 1995)

Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama

30 menit dengan suhu 105 0C, lalu didinginkan di dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan kedalam

cawan kemudian dikeringkan dalam oven 105 0C selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali. Perhitungan kadar air dapat dilihat pada rumus sebagai berikut:

Keterangan : B = berat sampel (g)

B1 = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g) B2 = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g)

Berat air (mg) =   

WHC (%) = 

Kadar air (%) = x 100%  % air bebas = Berat air x 100 %

(41)

(2) Kadar abu (AOAC 1995)

Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 600 oC. Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 0C, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan diletakkan dalam cawan. Sampel dipanaskan di atas kompor listrik sampai tidak berasap atau uap air hilang. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 8 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit, setelah dingin cawan ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

(3) Kadar protein (AOAC 1995)

Penentuan kadar protein yaitu dengan mengukur kandungan nitrogen yang ada di dalam bahan makanan menggunakan metode Kjeldahl. Tiga tahapan yang dilakukan meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi.

1) Destruksi

Sampel ditimbang seberat 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec, lalu ditambahkan satu butir kjeltab dan 15 ml H2SO4 pekat ditambahkan secara perlahan ke dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 0C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening.

2) Destilasi

Tahap ini dimulai dari memindahkan sampel dari tabung kjeltec ke alat destilasi kemudian mencuci tabung kjeltec dengan akuades lalu air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman dan dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 1 % dengan perbandingan 2:1.

(42)

3)Titrasi

Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Pembacaan volume titran kemudian dilanjutkan dengan perhitungan kadar protein.

Perhitungan kadar protein dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(4) Kadar lemak (AOAC 1995)

Contoh diekstrak dengan pelarut heksana, kemudian pelarut yang digunakan diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh. Lemak tersebut kemudian ditimbang dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi soxhlet. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dihaluskan ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, lalu dialiri dengan air pendingin melalui kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Berat residu dalam labu lemak dinyatakan sebagai berat lemak. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar N (%) = (ml HCL – ml blanko) x N HCL x 14,007x fp x 100% mg sampel

Kadar protein (%) = % nitrogen x faktor konversi (6,25)

Kadar lemak (%) = x 100%

(43)

(5) Kadar karbohidrat (by difference)

Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan mengunakan rumus:

(6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Eryanto 2006)

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit pada suhu 10 oC. Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat ditampung dalam Erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 oC. Sebanyak 1 ml dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah:

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel B = ml titrasi HCl blangko W = berat sampel (g) FP = faktor pengenceran

(7) Nilai pH (Suzuki 1981)

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang dinyalakan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7 dibiarkan beberapa saat hingga stabil. Sampel sebanyak 5 g ditambahkan akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan stirrer selama 2 menit. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca setelah menunjukkan angka stabil.

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (%air + %abu +%protein + %lemak)

(44)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Daging Lumat

Ikan layaran yang akan diolah telah dilakukan uji organoleptik terlebih dahulu untuk melihat tingkat kesegarannya. Uji organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu ikan hidup dan produk perikanan yang segar utuh. Ikan layaran yang digunakan memiliki ciri-ciri bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan dan kornea agak keruh, insang mulai ada diskolorisasi, merah kecoklatan, sedikit lendir dan tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih dan kurang transparan, sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifikasi jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang dan dinding perut daging utuh, bau ikan netral, serta tekstur agak padat, agak elastik bila ditekan dengan jari dan sulit menyobek daging dari tulang belakang. Bau netral dan tekstur daging agak padat, agak elastik bila ditekan dengan jari, sulit menyobek tulang daging dari belakang. Selanjutnya, dilakukan preparasi, dipisahkan antara daging, tulang dan jeroan serta benda asing lainnya. Daging dilumatkan dengan grender hingga menjadi daging lumat. Satu ekor ikan layaran dengan berat 20 kg setelah dipreparasi terdiri dari insang 2,36%, tulang 9,25%, sirip 5,09%, kepala 5,68%, kulit 8,23%, jeroan 7,62%, daging samping 14,63% dan daging 44,49%. Rendemen bagian-bagian tubuh dari ikan layaran disajikan dalam diagram lingkaran pada Gambar 8.    44.49% 2.36% 9.25% 5.09% 5.68% 8.23% 7.62% 14.63% 2.65% Daging Insang Tulang Sirip Kepala Kulit Jeroan Daging samping Lain‐lain

(45)

Dilakukan uji proksimat terhadap daging lumat untuk melihat komposisi kimia daging ikan layaran. Nilai komposisi kimia daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia daging lumat ikan layaran

Parameter (%) Daging lumat

Kadar air 79,10±0,25

Kadar abu 1,09±0,15

Kadar protein 12,43±0,02

Kadar lemak 0,39±0,02

Kadar karbohidrat 6,98±0,39

Berdasarkan hasil uji proksimat daging lumat ikan layaran yaitu kadar air sebesar 79,10%, kadar air ini tinggi. Kandungan air semua bahan makanan berbeda-beda dan menentukan acceptability, kesegaran serta daya tahan bahan itu. Banyaknya air dalam suatu bahan tidak dapat ditentukan dari keadaan fisik bahan tersebut (Winarno 2008). Kadar abu sebesar 1,09%, kadar abu ini rendah. Kadar abu berasal dari kandungan mineral yang terdapat pada ikan tersebut. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas lemak. Kadar protein sebesar 12,43%, kadar ini cukup tinggi, sedangkan kadar lemak sebesar 0,39%, kadar ini sangat rendah. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang terbaik (Almatsier 2006). Kandungan protein erat sekali kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar (Adawyah 2008). Apabila kandungan lemak pada ikan kurang dari 2% maka ikan tersebut termasuk dalam golongan leng (golongan ikan tidak berlemak) (Shahidi dan Botta 1994). Kadar karbohidrat sebesar 6,98%, kadar ini rendah karena bahan makanan seperti ikan sedikit mengandung karbohidrat (Almatsier 2006). Kadar karbohidrat diperoleh dengan cara perhitungan kasar atau Carbohydrate by Difference yang berarti kandungan karbohidrat termasuk serat kasar bukan melalui analisis tetapi melalui perhitungan (Winarno 2008).

(46)

4.2 Pembuatan Surimi

Surimi yang digunakan untuk membuat gel dan bakso terbuat dari daging lumat sebanyak 4 kg. Surimi diproses dengan frekuensi pencucian dua kali. Proses pencucian kedua dilakukan dengan menambahkan garam sebanyak 0,3% untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996). Pencucian dilakukan menggunakan air dengan perbandingan daging lumat dan air 1:3. Air yang digunakan yaitu air mineral bermerk yang ada dipasaran. Kadar air adalah jumlah molekul air tidak terikat yang terkandung dalam suatu produk. Total surimi yang dihasilkan yaitu sebanyak 2,480 kg. Surimi yang dihasilkan kemudian diuji kadar airnya. Kadar air surimi ikan layaran yaitu sebesar 76,24%. Kadar

air ini lebih rendah daripada kadar air ketika dalam bentuk daging lumat. Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan surimi dilakukan pengepresan untuk menghilangkan air. Kadar air yang terdapat pada surimi akan mempengaruhi kekuatan gel yang dihasilkan, pH, sejumlah garam yang ditambahkan, waktu dan proses pemanasan (Utomo et al. 2004).

4.3 Rendemen

Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan berat ikan utuh. Perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan (Hadiwiiyoto 1993). Rendemen yang dianalisis meliputi rendemen daging dan rendemen surimi. Rendemen daging lumat yang dihasilkan yaitu sebesar 8.898 kg dari berat ikan utuh sebesar 20 kg.

Bobot akhir surimi yang dihasilkan yaitu sebesar 2,480 kg dari 4 kg daging lumat. Nilai rendemen surimi dengan frekuensi pencucian dua kali yaitu sebesar 62%. Nilai rendemen surimi ikan layaran ini semakin menurun dengan semakin banyaknya frekuensi pencucian yang dilakukan. Setelah mengalami poses pencucian maka akan menyebabkan semakin berkurangnya rendemen karena semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air, antara lain protein larut air, pigmen, lemak dan darah (Venugopal et al. 1994). Semakin besar rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomis bahan tersebut.

Gambar

Tabel 1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.)
Tabel 2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)
Tabel 3 Syarat mutu tepung tapioka (SNI 01-3451-1994)
Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus  sp.) dapat dilihat pada  Gambar 3
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dikarenakan dengan penggoyangan Temperatur dalam pendingin lebih merata dan Temperatur didalam box aluminium(tempat ikan) dengan Temperatur didalam pendingin

Dalam hal bersikap jujur misalnya, jika tokoh selebriti dijumpai anak didik melakukan perilaku moral yang tidak baik (misalnya tidak jujur, berbohong atau menipu) dan itu

+ 1 Data Kemasan 2 Data Proses 3 Data Mesin 4 Data Pegawai 2 Penerimaan Pesanan + 5 Data Customer 6 Data Order 3 Penjadwalan Produksi + 4 Pembuatan Laporan +. 7 Data Detail Order 8

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi kepala Organisasi Perangkat daerah (OPD) di kabupaten Wonogiri dalam memahami Pengaruh

adalah pada siswa, sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam proses.. pembelajaran terciptalah situasi belajar aktif, seperti yang

Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen BAB I mengenai ketentuan umum pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan : “Guru

Strategi Problem Based Learning merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keaktifan siswa selama proses belajar mengajar.. Menurut Panen (2012: 74), seperti

[r]