EFEKTIFITAS TRICHODERMA INDIGENUS HASIL PERBANYAKAN PADA BERBAGAI MEDIA DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM
DAN MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA PRODUKSI TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill)
Oleh : Gusnawaty HS1), Muhammad Taufik1), Syair1)dan Esmin2) ABSTRACT
The purpose of this study was to evaluate the effectiveness of Trichoderma indegenous which is reproduced on several media to control Fusarium oxysporum f . sp . lycopersici on tomato plants. This research was conducted at the Laboratory of Agrotechnology Faculty of Agriculture, University of Halu Oleo Anduonohu Kendari. Research compiled by randomized block design (RBD) , which consists of 6 treatment that T0 (control), T1 (Corn), T2 (Rice), T3 (Bran), T4 (Sago Dregs) and T5 (Cashew Leather) and 4 replications so that there are 24 experimental units. Each experimental unit consisted of five tomato plants so that the whole consists of 120 tomato plants . Data were analyzed using analysis of variance followed by Test Honestly Significant Difference (HSD) . The results showed that the effectiveness of Trichoderma sp . multiplication results in a variety of media in controlling Fusarium wilt disease and improve the growth and production of tomato plants were not significantly different, but Trichoderma sp. propagated in the media bran has the best effectiveness in controlling Fusarium wilt disease and promote growth and production of tomato plants.
Keywords : Fusarium , Indegenous, Trichoderma sp, Tomato PENDAHULUAN
Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat karena sebagai tanaman sayuran tomat memegang peranan yang penting dalam pemenuhan gizi masyarakat. Dalam buah tomat banyak mengandung zat-zat yang berguna bagi tubuh manusia antara lain mengandung vitamin C, vitamin A (karotien) dan mineral (Tugiyono, 2001).
Budidaya tanaman tomat dikalangan petani pada umumnya mengalami kendala-kendala yang dapat menyebabkan tingkat produksi tanaman tomat rendah secara kuantitas dan kualitas. Kendala-kendala tersebut antara lain disebabkan oleh infeksi patogen penyebab penyakit. Penyakit yang sering ditemui sehingga menjadi penyakit penting pada tanaman tomat diantaranya adalah penyakit layu yang disebabkan oleh
cendawan Fusarium oxysporum f. sp.
lycopersici dan bakteri Ralstonia solanacearum (layu bakteri). Kedua jenis
patogen ini adalah soil-borne disease (patogen tular tanah) yang dapat mematikan tanaman tomat sehingga produksi menjadi puso. Kerugian akibat infeksi patogen
Fusarium sp. pada tanaman tomat juga tidak
sedikit.
Penyakit layu yang disebabkan oleh
Fusarium oxysporum ini pernah dilaporkan
menimbulkan kerugian yang besar di Jawa Timur dengan tingkat serangan mencapai 23% (Bustaman, 1997), sedangkan di Kupang (Nusa Tenggara Timur), layu
Fusarium sp. merupakan penyakit penting
pada pertanaman tomat dengan kerugian mencapai 35% (Wahyudi dan Wahyono). Adanya serangan F. oxysporum menjadi salah satu pembatas yang menyebabkan
1)
Staf Pengajar Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari, 99 2)
terjadinya penurunan produksi tomat (Freeman et al., 2002).
Upaya pengendalian penyakit layu fusarium sudah banyak dilakukan termasuk pemakaian bahan kimia yang ternyata menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, untuk mengatasi masalah tersebut maka pemanfaatan agens hayati menjadi sangat penting seperti penggunaan mikroorganisme antagonis yang hidup di daerah perakaran, mempunyai prospek yang dapat berfungsi untuk menekan penyakit dan dapat mendorong pertumbuhan tanaman. Untuk mengendalikan penyakit layu
Fusarium sp. juga dapat dilakukan dengan
memanfaatkan mikroba agens hayati. Pengendalian dengan cara ini dilaporkan cukup efektif dan belum ada yang melaporkan timbulnya ketahanan cendawan patogen terhadap agens pengendali hayati (Freeman et al., 2002).
Pada tahun 2012, Gusnawaty HS dan
Muhammad Taufik telah berhasil
mendapatkan 11 isolat trichoderma indigenus yang telah diuji kemampuannya sebagai agens hayati secara in-vitro oleh Faulika dan Herman (2013). Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan agens antagonis adalah menumbuhkannya /memperbanyak pada media yang tepat. Berdasarkan hasil penelitian Asis (2013) bahwa Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media dedak memiliki jumlah konidia yang paling banyak, masa inkubasi yang lebih cepat, sehingga mungkin lebih efektif untuk megendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat. Oleh karena itu dipandang perlu untuk melanjutkan penelitian tersebut dengan menguji efektifitas Trcihoderma sp yang telah diperbanyak pada berbagai media dalam mengendalikan penyakit layu fusarium. Berdasarkan hasil penelitian Taufik (2008) bahwa aplikasi Trichoderma sp. pada tanaman tomat dapat menurunkan kehilangan hasil tanaman akibat infeksi penyakit layu fusarium.
METODE PENELITIAN
Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri dari 6 perlakuan dan 4 ulangan sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas 5 tanaman tomat sehingga secara keseluruhan terdiri atas 120 tanaman tomat. Adapun perlakuan yang diujikan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
T0 = Kontrol (Tanpa Trichoderma sp.)
T1 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media jagung
T2 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media beras
T3 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media dedak
T4 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media ampas sagu
T5 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media ampas kulit jambu mete
Prosedur Penelitian
1. Isolasi Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici
Isolat Fusarium sp. diperoleh dari Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan kemudian diperbanyak pada cawan petri yang berisi media PDA dan diinkubasikan selama 7 HSI (Hari setelah inokulasi), untuk mendapatkan isolat murni. 2. Perbanyakan Trichoderma sp.
Trichoderma sp. (isolat DKT)
diperoleh dari Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan koleksi Gusnawaty HS dan Muhammad Taufik, (2012) yang merupakan isolat lokal Sulawesi Tenggara (indegenus), kemudian diperbanyak pada cawan petri yang berisi media PDA kemudian diinkubasikan selama 7 HSI.
3. Pembuatan Media Jagung, Beras, Dedak, Ampas Sagu dan Ampas Kulit Jambu Mete
Pembuatan media jagung, beras, dilakukan dengan cara dikukus sampai lunak,
sedangkan media dedak, ampas sagu dan ampas kulit jambu mete direndam selama 24 jam lalu dicuci. Setelah itu, masing-masing media ditimbang 100 g dan dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas. Kantong plastik tersebut diberi pipa untuk inokulasi
Trichoderma sp. yang kemudian ditutup
dengan kapas dan aluminium foil, selanjutnya media tersebut disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. 4. Inokulasi Trichoderma sp. Pada Media
Perbanyakan
Masing-masing media (jagung, beras dan dedak, ampas sagu dan ampas kulit jambu mete) dimasukkan/diinokulasikan
Trichoderma sp. dengan diameter kurang
lebih 5 mm menggunakan bor gabus, melalui pipa pada kantong plastik media perbanyakan, kemudian diinkubasikan selama 7-14 hari.
5. Persemaian
Benih tomat yang akan dijadikan sebagai tanaman uji terlebih dahulu disemaikan selama 21 hari pada wadah yang berisi tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Selanjutnya pada umur 21 hari siap untuk di tanaman pada polibag.
6. Penyediaan Media Tanam
Media tanam terdiri atas campuran tanah dan pupuk kandang perbandingan 2:1 kemudian disterilkan dengan cara penguapan atau panas. Setelah disterilkan, media tanam dimasukkan ke dalam polibag. Setiap polibag berisis 5 kg media tanah.
7. Aplikasi Trichoderma sp. pada media tanam
Trichoderma sp. yang diaplikasikan
adalah Trichoderma sp yang sudah diperbanyak pada media perbanyakan (setelah diinkubasi selama 14 hari pada media masing-masing). Aplikasi cendawan
Trichoderma sp. dilakukan seminggu
sebelum tanam dengan cara membuka tanah disekeliling polibag sedalam 5-10 cm (untuk perlakuan Trichoderma sp.), kemudian disebar sebanyak 10 gram/polibag ke media tanam/dicampur pada permukaan media tanam, dan selanjutnya siap untuk ditanam. 8. Penanaman dan Pemeliharaan
Bibit tomat yang telah berumur 21 hari dipindahkan ke dalam polibag/media tanam. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma-gulma yang tumbuh dan pengendalian hama yang terdapat pada tanaman tomat.
9. Inokulasi Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici
Inokulasi Fusarium oxysporum f. sp.
lycopersici dilakukan 1 minggu setelah
tanam. Inokulasi dilakukan dengan memberikan biakan Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici dari media PDA (dengan diameter 1 cm) menggunakan bor gabus (cok
borer). Inokulasi diberikan pada media
tanam dengan cara dicampurkan dengan media tanam disekitar tanaman.
Variabel Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan tanaman meliputi :
1. Masa inkubasi, diamati sejak inokulasi patogen Fusarium oxysporum f. sp.
lycopersici sampai awal munculnya
gejala penyakit layu fusarium.
2. Kejadian penyakit, dilakukan dengan mengamati gejala layu secara eksternal. Pengamatan dilakukan setiap minggu setelah timbulnya gejala awal. Kejadian penyakit dapat dihitung berdasarkan metode Abbot (1925), dalam Lisnawita (1998) sebagai berikut:
Keterangan : `
KP = Kejadian penyakit ( %) n = Jumlah tanaman layu
N = Jumlah tanaman yang diamati 3. Pertumbuhan dan Produksi Tomat a. Tinggi Tanaman
Untuk pengamatan pertumbuhan tanaman ditentukan sebanyak 5 tanaman pada setiap ulangan yang terdiri atas 5 tanaman. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan dengan cara mengukur mulai dari pangkal batang di atas permukaan tanah sampai tajuk tanaman tertinggi yang dilakukan setiap minggu setelah penanaman, sebanyak 6 kali yaitu 7 HST 14 HST, 21 HST, 28 HST, 35 HST dan 42 HST.
b. Jumlah cabang
Untuk pengamatan jumlah cabang dilakukan dengan cara menghitung jumlah cabang yang ada pada setiap pohon tanaman, sebanyak 4 kali yaitu 21 HST, 28 HST, 35 HST dan 42 HST.
c. Jumlah bunga
Pengamatan jumlah bunga dilakukan dengan cara menghitung pertumbuhan bunga tanaman sebanyak 3 kali yaitu 28 HST, 35 HST dan 42 HST.
d. Jumlah buah
Pengamatan jumlah buah dilakukan, sebanyak 3 kali yaitu 35 HST, 42 HST dan 49 HST.
e. Bobot buah
Pengamatan bobot buah dilakukan dengan cara menimbang buah tomat pada setiap perlakuan dengan menggunakan alat penimbang, sebanyak 3 kali yaitu 35 HST, 42 HST dan 49 HST.
Analisis Data
Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (uji F). Apabila diantara perlakuan berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan
Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman Tomat
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa dengan pemberian Trichoderma sp. berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 7 HST, 14 HST, 21 HST, 28 HST, dan 42 HST dan tidak berpengaruh nyata pada umur 35 HST. Rata-rata tinggi tanaman tomat dapat dilihat pada Tabel 1.
2. Jumlah Cabang Tomat
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa dengan pemberian perlakuan beberapa media perbanyakan Trichoderma sp.
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah cabang pada umur 21 HST, 28 HST, 42 HST dan tidak berpengaruhnya terhdapa pertumbuhan jumlah cabang pada umur 35 HST. Rata-rata jumlah cabang tanaman tomat dapat dilihat pada Tabel 2.
3. Jumlah Bunga
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa dengan pemberian perlakuan
Trichoderma sp. berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan jumlah bunga pada umur 35 HST dan 42 HST. Rata-rata jumlah bunga tanaman tomat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah bunga tanaman tomat pada umur 28 HST, rata-rata jumlah bunga tanaman tomat tertinggi terdapat pada perlakuan T0 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5 dengan rata-rata jumlah bunga terendah. Pada umur 35 HST, rata-rata jumlah bunga tertinggi terdapat pada perlakuan T0 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5, rata-rata jumlah bunga tertinggi terdapat pada perlakuan, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1, T2, T4 dan T5, tetapi berbeda nyata pada perlakuan T1 yang memberikan rata-rata terendah.
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 HST yang dipengaruhi oleh perlakuan Trichoderma sp. hasil perbanyakan dari beberapa media.
Perlakuan Parameter Tinggi Tanaman (cm)
7 HST 14 HST 21 HST 28 HST 35 HST 42 HST T0 5.29b 10.03b 20.55b 40.50a 61.25a 75.21b T1 6.36b 17.55a 35.32a 57.36a 77.53a 96.93ab T2 5.63b 16.22a 29.79a 47.66a 70.05a 92.64ab T3 7.92a 17.73a 32.61a 49.21a 72.63a 97.367a T4 6.44b 16.46a 29.37a 46.51a 64.72a 84.56ab T5 5.59b 17.54a 32.51a 53.11a 70.27a 80.66ab BNJ 0,05 2.44 4.45 8.52 - - 21.60 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama
berbeda nyata pada uji BNJ 0,05. T0 = Kontrol ( Tanpa Trichoderma sp.)
T1 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media jagung T2 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media beras T3 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media dedak T4 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media ampas sagu
T5 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media ampas kulit jambu mete
Tabel 2. Rata-rata jumlah cabang pada umur 21, 28, 35 dan 42 HST yang dipengaruhi oleh perlakuan Trichoderma sp. hasil perbanyakan dari beberapa media
Perlakuan Parameter Jumlah Cabang (Cabang)
21 HST 28 HST 35 HST 42 HST
T0 = Kontrol Tanpa Trichoderma sp 1.50a 1.50a 1.34a 1.33ab
T1 = Trichoderma sp diperbanyak pada media
beras 0.00
b 0.25a 1.17a 1.25ab
T2 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada
media beras 0.00
b 0.00a 1.10a 1.15b
T3 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media
dedak 0.00b 0.00a 1.00a 1.90a
T4 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada
media ampas sagu 0.00b 0.50a 1.36a 1.19b
T5= Trichoderma sp. yang diperbanyak pada Media
ampas kulit jambu mete 0.50
ab 1.13a 1.25a 1.20b
BNJ 0,05 1.06 - 21.6
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyatapada uji BNJ 0,05
Tabel 3. Rata-rata jumlah bunga pada umur 28, 35 dan 42 HST yang dipengaruhi oleh perlakuan Trichoderma sp. hasil perbanyakan dari beberapa media
Perlakuan Parameter Jumlah Bunga (Bunga) 28 HST 35 HST 42 HST T0 = Kontrol Tanpa Trichoderma sp 8.98a 5.31a 1.73b
T1 = Trichoderma sp diperbanyak pada media beras 3.98a 4.65a 5.40a
T2 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media beras 1.63a 3.43a 4.08a
T3 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media dedak 2.50a 3.86a 5.51a
T4 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media ampas
sagu 4.06a 4.41a 5.27a
T5= Trichoderma sp. yang diperbanyak pada Media ampas
kulit jambu mete 4.55a 4.21a 4.29a
BNJ 0,05 - - 2.69
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji BNJ 0,05
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah bunga tanaman tomat pada umur 28 HST, rata-rata jumlah bunga tanaman tomat tertinggi terdapat pada perlakuan T0 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5 dengan rata-rata jumlah bunga terendah. Pada umur 35 HST, rata-rata jumlah bunga tertinggi terdapat pada perlakuan T0 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5, rata-rata jumlah bunga tertinggi terdapat pada perlakuan, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan T1, T2, T4 dan T5, tetapi berbeda nyata pada perlakuan T1 yang memberikan rata-rata terendah.
4. Jumlah buah
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa dengan pemberian perlakuan
Trichoderma sp. berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan jumlah buah pada umur 35 HST, 42 HST dan tidak berbeda nyata pada 49 HST. Rata-rata jumlah buah tanaman tomat dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata jumlah buah pada umur 35, 42 dan 49 HST yang dipengaruhi oleh perlakuan Trichoderma sp. hasil perbanyakan dari beberapa media
Perlakuan Parameter Jumlah Buah (Buah)
35 HST 42 HST 49 HST
T0 = Kontrol Tanpa Trichoderma sp 9.98a 9.74a 8.18a
T1 = Trichoderma sp diperbanyak pada media beras 1.75b 6.95a 5.83ab T2 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media beras 0.00b 5.16a 4.01b T3 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media dedak 0.00b 6.59a 8.40a T4 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media ampas
sagu 0.63b 8.22a 5.88ab
T5= Trichoderma sp. yang diperbanyak pada Media ampas
kulit jambu mete 0.00b 9.24a 7.93a
BNJ 5.42 - 3.81
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji BNJ 0,05.
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah buah tanaman tomat pada umur 35 HST, rata-rata jumlah buah tanaman tomat tertinggi terdapat pada perlakuan T0 yang berbeda nyata dengan perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5 dengan rata-rata jumlah buah terendah. Pada umur 42 HST, rata-rata jumlah buah tertinggi terdapat pada perlakuan T0 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5, pada umur 49 HST rata-rata jumlah buah tertinggi terdapat pada perlakuan T5, tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakuan T0, T1,T3 dan T4, tetapi berbeda nyata pada perlakuan T2 yang memberikan rata-rata terendah.
5. Bobot Buah
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa dengan pemberian perlakuan
Trichoderma sp. berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan bobot buah pada saat panen. Rata-rata bobot buah tomat dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Bobot Buah pada umur 35 HST, 42 HST dan 49 HST yang dipengaruhi oleh perlakuan Trichoderma sp. hasil perbanyakan dari beberapa media
Perlakuan Parameter Bobot Buah (g)
35 HST 42 HST 49 HST
T0 = Kontrol Tanpa Trichoderma sp 118.64a 120.73a 133.75b
T1 = Trichoderma sp diperbanyak pada media beras 69.01ab 181.40a 239.89a T2 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media beras 0.00b 182.71a 222.45a T3 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media dedak 0.00b 228.53a 261.20a T4 = Trichoderma sp. yang diperbanyak pada media
ampas sagu 47.43ab 175.76a 185.69ab
T5= Trichoderma sp. yang diperbanyak pada Media ampas
kulit jambu mete 0.00b 162.30a 182.57ab
BNJ 107.83 - 84.56
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji BNJ 0,05
A. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan periode inkubasi antar perlakuan memperlihatkan pengaruh sangat nyata dimana periode inkubasi terlama terdapat pada perlakuan T3 (Dedak) yaitu 22.5 HSI, sedangkan periode inkubasi tercepat terdapat pada perlakuan T0 (tanpa Trichoderma sp.) yaitu 11.25 HSI yang ditandai dengan gejala sedikit menguning dan pemucatan daun dan tulang-tulang daun bagian atas. Adanya perbedaan tersebut erat kaitanya dengan ketersediaan air di dalam tanah yang berfluktuasi saat proses absorsi air, dapat
menghambat perkembangan patogen layu fusarium sehingga laju infeksi Fusarium
oxysporum berlangsung lambat.
Kejadian penyakit Fusarium
oxysporum f. sp. lycopersici ditemukan pada
semua perlakuan, tetapi persentase kejadian penyakit tersebut berbeda-beda pada setiap perlakuan. Tanaman yang terserang penyakit layu fusarium dapat diketahui berdasarkan gejala yang ditimbulkan akibat aktifitas dari patogen.
Persentase kejadian penyakit dipengaruhi juga oleh kecepatan menginfeksi cendawan Fusarium oxysporum ke dalam jaringan tanaman. Hal ini dapat dilihat dari
hubungan munculnya gejala awalnya (pada periode inkubasi) dengan kejadian penyakit yang menunjukkan bahwa semakin cepat munculnya gejala awal maka semakin besar persentase kejadian penyakit.
Pada pengamatan kejadian penyakit pada 21 HSI tertinggi terdapat pada perlakuan T0 (Kontrol) yaitu 70% dan terendah terdapat pada perlakuan T2 (Beras) dan T3 (Dedak) yaitu 0%. Pada pengamatan 28 HSI kejadian penyakit tertinggi terdapat pada perlakuan T0 (Kontrol) yaitu 80% dan terendah terdapat pada perlakuan T3 (Dedak) yaitu 30%, sedangkan pada pengamatan 35 HST kejadian penyakit tertinggi terdapat pada pengamatan T0 (Kontrol) yaitu 100% dan terendah terdapat pada perlakuan T3 yaitu 35%. Terjadinya peningkatan kejadian penyakit sejalan dengan pengamatan yang dilakukan yang ditandai dengan gejala eksternal yaitu warna daun dan tulang-tulang daun memucat lalu menguning, diikuti dengan merunduknya tangkai daun. Gejala ini diduga disebabkan oleh toksin-toksin dari patogen yang menyerang berkas pembuluh dan mempengaruhi permeabelitas membran plasma sel, akibatnya tanaman tomat memperlihatkan penampakan gejala seperti di atas. Menurut Sastrahidayat (1992) bahwa toksin yang dikeluarkan oleh Fusarium
oxysporum seperti asam fusarik, asam
dehidrofusarik dan likomarasmin dapat mengubah permeabilitas membran plasma dari sel tanaman inang sehingga tanaman tomat yang terifeksi lebih cepat kehilangan air, akibatnya daun layu dan lambat laun berwarna kuning.
Pengamatan tinggi tanaman tomat menunjukkan bahwa Trichoderma sp. hasil
perbanyakan pada berbagai media
berpengaruh nyata dan berpengaruh sangat nyata pada umur tanaman tomat 7, 14, 21 dan 42 HST, dan tidak berpengaruh nyata pada umur tanaman tomat 28 HST dan 35 HST. Tinggi tanaman tomat tertinggi ialah pada perlakuan T3 (Dedak) pada umur tanaman 42
HST yaitu 97.365 cm. Pemberian
Trichoderma sp. pada media T3 (Dedak)
telah mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, sehingga penggunaan
Trichoderma sp. dengan media perbanyakan
pada T3 (Dedak) lebih efisien. Pengamatan
jumlah cabang menunjukkan bahwa
pemberian Trichoderma sp. hasil
perbanyakan pada berbagai media
berpengaruh nyata pada umur tanaman tomat 21 HST dan 42 HST, dan tidak berpengaruh nyata pada umur tanaman tomat 28 HST dan 35 HST. Jumlah cabang tanaman tomat tertinggi ialah pada perlakuan T3 (Dedak) pada umur 42 HST yaitu 1,90 cabang. Pengamatan jumlah bunga tanaman tomat menunjukkan bahwa pemberian
Trichoderma sp. hasil perbanyakan pada
berbagai media berpengaruh sangat nyata pada umur 42 HST dan berpengaruh nyata pada umur 28 HST, tidak berpengaruh nyata pada umur 35 HST. Pengamatan jumlah buah tomat menunjukkan bahwa pemberian
Trichoderma sp. hasil perbanyakan pada
berbagai media berpengaruh nyata dan begitu pula dengan bobot buah.
Berdasarkan hasil uji lanjut tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah bunga, jumlah buah dan bobot buah menunjukkan bahwa pemberian cendawan Trichoderma sp. hasil perbanyakan pada berbagai media memberikan perbedaan nyata dengan T0 (Kontrol) dalam hal tinggi tanaman, jumlah cabang, bunga, buah dan bobot buah berarti bahwa dengan adanya Trichoderma sp. maka perkembangan patogen dapat dihambat dan ditekan sehingga tanaman terhindar dari serangan patogen tersebut sehingga tanaman dapat tumbuh lebih baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi Trichoderma sp. yang diperbanyak pada berbagai media dalam pengendalian penyakit layu fusarium dan meningkatkan pertumbuhan serta dapat produksi tanaman tomat dimana cendawan Trichoderma sp.
dapat menghambat pertumbuhan patogen. Hal ini disebabkan karena terjadinya aktifitas antagonis antara cendawan
Trichoderma sp. dengan cendawan Fusarium oxysporum f.sp lycopersici. Aktifitas
antagonis yang dilakukan cendawan
Trichoderma sp. untuk menghambat
pertumbuhan cendawan patogen Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersici antara lain
dikaitkan dengan kemampuannya
menghasilkan enzim kitinase. Enzim kitinase yang diproduksi oleh genus Trichoderma lebih efektif dari pada enzim kitinase yang dihasilkan organisme lain, untuk menghambat berbagai cendawa patogen tanaman (Nugroho et al, 2003). Trichoderma sp. juga dapat mengeluarkan antibiotik trichoderin yang mematikan cendawan yang merugikan. Dengan mengeluarkan antibiotik tersebut Trichoderma sp. dapat menekan serangan penyakit pada tanaman (Marshari, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Asis (2013) bahwa perbanyakan Trichoderma sp. pada media dedak lebik baik dibandingkan pada media lainnya. Hal ini dikarenakan kandungan nutrisi pada media dedak lebih banyak tersedia dan media dedak lebih mudah untuk dirombak oleh cendawan
Trichoderma sp. sehingga jumlah konidia Trichoderma sp. pada media dedak menjadi
lebih banyak dari media perbanyakan lainnya. Selanjutnya menurut Santiaji dan Gusnawaty HS (2007) bahwa kandungan nutrisi dedak sangat cocok untuk sporulasi cendawan Trichoderma sp. dan proses sporulasi yang tinggi akan menghasilkan jumlah konidia yang lebih banyak, sedangkan proses sporulasi Trichoderma sp. rendah akan menghasilkan jumlah konidia lebih sedikit. Demikian pula menurut Houston dan Kohler, (1982) dedak mengandung karbohidrat sebanyak 39%, karbon dan nitrogen yang berperan meningkatkan nutrisi dan meningkatkan kesuburan media tubuh. Hal ini menunjukan
bahwa media dedak sangat potensial untuk dijadikan sebagai alternatif media perbanyakan Trichoderma sp. yang lebih efisien karena nilai ekonomi lebih murah dibanding menggunakan beras dan jagung. Pemanfaatan media dedak sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan cendawan menunjukkan terjadi perombakan yang lebih cepat pada media sehingga terjadi penurunan berat yang lebih tinggi. Telah dilaporkan bahwa kemampuan cendawan memanfaatkan
bahan media biakan tidak dapat
meningkatkan berat massa, tetapi dapat meningkatkan serat kasar yang dihasilkan dari miselium cendawan (Hilakore, 2008). Selain itu aktifitas cendawan juga menyebabkan berkurangnya kadar air akibat pemanfaatan dalam mendekomposer media perbanyakan sebagai sumber makanan (Syarir dan Abdeli, 2005).
Lebih lanjut diuraikan oleh Djaya et
al. (2003), bahwa Trichoderma sp. mampu
menekan atau menghambat pertumbuhan cendawan Fusarium sp. sampai 56,07% pada 11 hari setelah inokulasi. Ditambahkan oleh Sastrahidayat (1992), bahwa cendawan
antagonis mempunyai kemampuan
mikoparasit yaitu hifa Trichoderma sp. tumbuh melilit hifa patogen dan menghasilkan enzim lysis yang dapat menembus dinding sel dan menghasilkan zat antibiotik yaitu gliotoksin dan viridin. Laporan dari Talanca et al. (1998) bahwa aplikasi cendawan antagonis Trichoderma sp. seminggu sebelum pemberian cendawan patogen Fusarium sp. dapat menekan intensitas serangan penyakit busuk batang jagung masing-masing sebesar 4,20% pada umur 80 hari setelah tanam dan 19,99% pada umur 87 hari setelah tanam dibanding dengan kontrol (tanpa pemberian cendawan).
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman tomat terlihat bahwa perlakuan kontrol (T0) mengalami perkembangan pertumbuhan seperti tinggi tanaman, jumlah bunga, jumlah buah dan
bobot buah yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5, hal ini terjadi karena pada perlakuan T0 tidak ada cendawan antagonis yang membantu menghambat atau menekan perkembangan patogen yang ada di sekitar perakaran tanaman.
Pertambahan pertumbuhan dan produksi pada tanaman tomat yang diberi perlakuan Trichoderma sp. karena Trichoderma sp. dapat membantu
penguraian bahan organik sehingga mampu menyediakan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan tanaman tomat, sedangkan pada kontrol tidak ada penambahan atau perlakuan
Trichoderma sp. (hanya dengan penambahan
pupuk kandang), sehingga ketersediaan nutrisi yang dapat langsung diserap oleh tanaman tomat lebih rendah dibandingkan pada tomat yang diberi Trichoderma sp.
menurut penelitian Usman (2003)
menyatakan bahwa dengan adanya
pemberian Trichoderma sp. dapat
meningkatkan produksi tanaman kedelai sekitar 61. 09 g/ tanaman.
Trichoderma sp. dapat mengeluarkan
enzim dan toksin yang bersifat racun terhadap Fusarium sp. Trichoderma sp. dapat menghasilkan antibiotik viridin, glotoxin dan paraceltin yang dapat menghancurkan sel cendawan dan enzim : ß (1,3) glukanase serta chitinase yang dapat mengakibatkan lisisnya dinding sel cendawan patogen. Trichoderma sp. yang diaplikasikan ke dalam media tanam
akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan Fusarium sp sehingga kemampuannya untuk menginfeksi menjadi berkurang. Kemampuan infeksi yang berkurang atau tidak adanya infeksi akan menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya gangguan terhadap pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebik baik.
Dari semua parameter pengamatan terlihat bahwa Trichoderma sp. hasil
perbanyakan pada berbagai media
memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata, namun berdasarkan pertimbangan ekonomi maka media dedak dapat dijadikan pilihan sebagai media perbanyakan karena memberikan angka efektifitas Trichoderma sp. yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Asis (2013) yang memperlihatkan bahwa Trichoderma sp. hasil perbanyakan pada media dedak memiliki masa inkubasi yang lebih cepat yaitu 2 HSI, menghasilkan jumlah konidia yang lebih banyak yaitu 4,02/mL pelarut, kemampuan pertumbuhan Trichoderma sp. yaitu 10,02 % pada hari ke-4 HSI dan selisih berat media 2,04 g sebelum dan sesudah inokulasi Trichoderma sp..
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Efektifitas Trichoderma sp. yang
diperbanyak pada berbagai media perbanyakan untuk mengendalikan
penyakit layu fusarium dan
meningkatkan pertumbuhan serta produksi tanaman tomat tidak berbeda. 2. Trichoderma sp. yang diperbanyak pada
media dedak memiliki efektifitas terbaik dalam mengendalikan penyakit layu
fusarium dan meningkatkan
pertumbuhan serta produksi tanaman tomat.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat efektifitas media tersebut
sebagai media perbanyakan untuk
mengendalikan penyakit penting pada tanaman budidaya lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Asis, A., 2013. Uji efektifitas beberapa media untuk perbanyakan agens
hayati Trichoderma sp. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo.
Bustaman, M. 1997. Laporan Survei Penyakit Layu Fusarium Pada Tanaman Tomat Di daerah Malang dan Sekitarnya. Lembaga Penelitian Hortikultura Segunung (Tidak dipublikasikan).
Djaya A.A., Mulya R.B., Giyanto, dan Marsiah, 2003. Uji keefektifan mikroorganisme antagonis dan bahan organik terhadap layu Fusarium (Fusarium oxysporum) pada tanaman tomat. Prosiding Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bandung,. Faulika, 2013. Uji potensi trichoderma
indigenos Sulawesi Tenggara sebagai biofungisida terhadap Phytophthora
capsici dan Fusarium oxysporum
secara in-vitro. Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo, Kendari.
Freeman, S., A. Zveibil, H. Vintal, and M. Maymon. 2002. Isolation of nonpathogenic mutants of Fusarium
oxysporum f. sp. melonis for
biological control of Fusarium wilt in cucurbits. Phytopathology 92: 164-168.
Gusnawaty HS dan Muhammad Taufik, 2012. Laporan Hasil Penelitian Eksplorasi, Karakterisasi dan Potensi
Trichoderma Indegenos Sultra
sebagai biofungisida dan pupuk biologis untuk menunjang ketahanan dan keamanan pangan. Lembaga Penelitian, Universitas Halu Oleo Kendari.
Herman, 2013. Uji potensi Trichoderma indigenos Sulawesi Tenggara sebagai biofungisida terhadap Colletotrichum sp. dan Sclerotium rofslii secara
in-vitro. Skripsi Fakultas Pertanian.
Universitas Halu Oleo. Kendari.
Hilakore, I., 2008. Peningkatan Kualitas Nutrisi Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesai dan
Aspergillus niger sebagai Pakan
Ruminansia. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Bogor (Tesis).
Houston, D.F. and G.O. Kohler. 1982. Nutritional properties of rice. Nat’l. Acad. Sci., Washington D.C.
Marshari, A., 2005Hama dan Penyakit. (On-line) (http://www.tanindo.com. Diakses tanggal 1 Desember 20013). Nugroho, T. T., Ali, M., Ginting, C.,
Wahyuningsih, Dahliaty, A., Devi, S., Sukmarisa, Y. 2003. Isolasi dan karakterisasi sebagian kitinase
Trichoderma viride TNJ63. Natur Indonesia 5:101-106.
Santiaji, B dan Gusnawaty HS. 2007. Potensi
Ampas Sagu sebagai Media
Perbanyakan CendawanAgensia
Biokontrol untuk Pengendalian Patogen Tular Tanah . Agriplus
17:20-25.
Sastrahidayat, I.R., 1992. Ilmu Penyakit
Tumbuhan. Usaha Nasional.
Surabaya.
Syahrir dan Abdeli, M., 2005. Analisis kandungan zat-zat makanan kulit buah kakao yang difermentasi dengan
Trichoderma sp. sebagai pakan ternak
ruminansia. Agrisains, 6(3):157-165. Talanca, A.H. Soenartiningsih dan Wakman,
W., 1998. Daya Hambat Cendawan
Trichoderma sp. pada beberapa Jenis
Cendawan Patogen. Risalah Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI PEI, PFI dan HPTI Sul-sel, Maros 5 Desember 1998. Hal 317-322.
Taufik, M. 2008. Efektivitas Agen Antagonis
Trichoderma sp. pada Berbagai
Media Tumbuh Terhadap Penyakit Layu Tanaman Tomat. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Sulawesi Selatan. Makassar
Tugiyono, H. 2001. Bertanam Tomat. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Usman, L. 2003. Pengujian Cara Aplikasi
dan Berat Media Cendawan
Trichoderma sp. Terhadap
Perkembangan Penyakit Layu
Scelerotium pada Tanaman Kacang Tanah. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Haluo Oleo. Kendari