• Tidak ada hasil yang ditemukan

ELABORASI PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN 1. Mauled Moelyono 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ELABORASI PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN 1. Mauled Moelyono 2"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 Tulisan ini pernah dimuat pada Jurnal EKONOMI DAN BISNIS, Tahun 10, Nomor 1, April 2005 (Terakreditasi No.34/DIKTI/Kep,2003)

2 Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu.

ELABORASI PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN1

Mauled Moelyono2

Abstract

This article elaborates the concept, existence, and role of social capital in development which almost falls into oblivion since the first time the social capital concepts was introduced, but in the last few years more popular among economists and development practitioners.

The Most of social capital definitions such as those told by Hanifan ( 1916); Bourdieu (1986); Coleman ( 1988; 1990); Putnam ( 1993); Fukuyama ( 1995); Nahapiet and of Ghoshal (1998); Leana and Van of Buren ( 1999); Robison.et.al., ( 2002); and Bolino et.al ( 2002); include the relationship elements. Social Capital is not a single concept. To increase the organizational performances or to get the company’s organization targets, the merely social capital is insufficient, instead, the social capital needs interaction with the other capital forms, that is, economic and human capitals. Without social capital, someone, organization and or society group cannot obtain or get advantage of material and optimally reach other efficacy. Social capital becomes the most valuable pearl in global economics because it can solve problem related to coordination, lessen the transaction cost, facilitate information spread among individuals, and significantly give contribution the organization strength. To increase the organizational performances or to reach the mutual targets of social organization, besides needing the mutual interaction among the capital forms, it is important to perform coproduction. This term is introduced by Ostrom (1996) to show the existence of active role of society group in goods supply and addressed service for their own sake. The more conducive approach strategy for the coproduction appearance is the development driven by community, principally to give opportunity and direction to society group to make decision and resources management.

The existence and role of social capital in development can be studied through its ability to facilitate creation of value for individuals and organization of companies or social organizations. Social capital can facilitate the creation of value for organizations through its mediator role in relation between the behavior of organization members and the organizational company performance.

Key Words: Pembangunan, Modal Sosial, dan Koproduksi

A. Pendahuluan

Pembangunan merupakan ikhtiar raksasa meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui proses transformasi di semua lini kehidupan rakyat. Upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat berkaitan dengan upaya perbaikan kualitas hidup dan memperluas kemampuan mereka membentuk masa depan. Purnomo (2001) menegaskan bahwa pembangunan tidak cukup hanya meningkatkan pendapatan per kapita, namun mencakup jauh lebih banyak lagi. Pembangunan mencakup pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih merata, kesetaraan jender yang lebih berimbang, kesehatan dan nutrisi masyarakat yang lebih baik,

(2)

penyelenggaraan system hukum dan pengadilan yang lebih adil, lingkungan alam yang lebih bersih dan lestari, kebebasan politik dan sipil yang lebih luas, dan kehidupan kultural yang lebih kaya.

Idealnya, pembangunan diorientasikan kepada tiga prinsip dasar yang membentuk proses pertumbuhan menjadi lebih berkualitas, yaitu: (1) berfokus pada aset-aset utama pembangunan, meliputi modal fisik, modal manusia, dan modal sosial; (2) berpijak pada aspek-aspek distributional yang berimplikasi kepada distribusi peluang memperoleh pendapatan yang lebih merata, memperbesar kapasitas rakyat untuk memanfaatkan teknologi, dan memperoleh pendapatan; (3) beroperasi pada kerangka kerja institusional pemerintahan yang amanah, yaitu adanya kerangka kerja regulatif, berfungsinya birokrasi secara efektif, terwujudnya kebebasan sipil dan institusi yang transparan dan bertanggung jawab menjamin tegaknya hukum dan partisipasi rakyat.

Proses pertumbuhan, ibarat bekerjanya sebuah mesin pembangkit tenaga listrik, seyogjanya mengintegrasikan dan menginteraksikan aset-aset utama pembangunan dan aspek-aspek distributional dalam kerangka kerja institusional pemerintahan yang amanah, sedemikian rupa sehingga menghasilkan output yang bisa dijadikan kendaraan untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Proses pertumbuhan tersebut berlangsung dalam kerangka hukum dan kelembagaan yang berlaku serta tradisi yang telah mengakar dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Demikian, hingga terbentuk kohesi sosial yang tampak dari kegiatan kolektif masyarakat, tujuan-tujuan, dan nilai-nilai dari keseluruhan aspek tentang keinginan hidup bersama.

Dalam perjalanan waktu, proses integrasi dan interaksi juga akan disertai oleh kaitan material dan spiritual yang saling memperkuat dan dalam ingatan invidu ataupun kolektif hal itu menjadi warisan budaya dalam arti yang luas, sehingga menjadi dasar dari perasaan memiliki dan perasaan solidaritas. Oleh karena itu, memisahkan kehidupan ekonomi dari kehidupan sosial dan budaya adalah sulit.

Dalam buku berjudul “Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity", Fukuyama (1995) menyatakan bahwa ekonomi tak pernah tumbuh di dalam ruang vakum, kehidupan ekonomi selalu mengakarkan dirinya dalam kehidupan sosial. Menutup mata terhadap kenyataan ini adalah sama artinya dengan membuta terhadap perkembangan sejarah pemikiran ekonomi, tidak mengindahkan sinyal perubahan dan menolak kenyataan. Karena

(3)

itu, merupakan kemustahilan memahami ekonomi terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai budaya.

Dalam kehidupan modern yang ditandai oleh semakin berkurangnya kontak berhadapan muka, modal sosial sebagai bagian dari modal maya (virtual capital) akan semakin menonjol peranannya dalam pembangunan ekonomi. Terlebih ketika modal sosial (social capital) sudah sepenting modal fisik. Hanya masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi bisnis fleksibel berskala besar yang diperlukan untuk bersaing di kancah perekonomian global.

Prinsip dasar modal sosial adalah hanya individu, organisasi dan kelompok masyarakat yang memiliki seperangkat nilai sosial dan budaya yang menghargai pentingnya kerjasama yang dapat maju dan berkembang dengan kekuatan sendiri. Ini berarti, kebersamaan, kerjasama dan kemandirian, merupakan faktor kunci yang harus diperhatikan dalam membangun modal sosial. Namun tidak serta merta harus menafikkan bantuan dari pihak mitra, karena bantuan tersebut dapat dipandang sebagai pemicu inisiatif dan girah kerja kolektif dari para anggota masyarakat dalam memperkuat modal sosial.

Penetrasi konsep modal sosial ke dalam kawasan pemikiran ekonomi sulit dihindari, dan tampaknya cenderung menjelma menjadi sebuah aset utama ekonomi. Pemahaman yang baik tentang pertalian antara modal sosial dan bentuk-bentuk modal yang lain dalam kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial budaya menjadi sangat penting karena dapat mempermudah ikhtiar mencari alternatif solusi terhadap persoalan-persoalan ekonomi dan sosial yang dihadapi secara nyata oleh individu dan kelompok masyarakat dalam proses pembangunan.

Tulisan ini berusaha menjelaskan keberadaan dan peran modal sosial dalam pembangunan. Pembahasan diawali dengan mengeksplorasi pemikiran tentang pentingnya modal sosial, perkembangan konsep modal sosial, dan berakhir dengan mengelaborasi peran modal sosial dalam pembangunan, terutama dari sisi kemampuan modal sosial memfasilitasi penciptaan nilai bagi individu dan organisasi perusahaan atau organisasi masyarakat.

B. Modal Sosial : mutiara yang nyaris terlupakan

Fukuyama (1995) mengungkapkan bahwa istilah modal sosial pertama kali digunakan oleh seorang pendidik di Amerika Serikat, Lyda Hudson Hanifan namanya . Dalam tulisannya berjudul The Rural School Community Centre, Hanifan (1916) menjelaskan keberhasilan

(4)

seorang kepala sekolah dalam membangun rasa kebersamaan di sebuah komunitas masyarakat, bahwa kemajuan tidak hanya dicapai oleh anak didik tetapi juga oleh warga masyarakat. Selain memperkenalkan dan memberi definisi terhadap istilah modal sosial, Hanifan juga menunjukkan pemikiran konseptual tentang strategi pengembangan modal sosial dalam masyarakat.

Sebagai konsep sosiologis, modal sosial dimaknai sebagai manivestasi dari kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dalam kelompok sosial. Modal sosial dibangun atas anggapan bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat mengatasi masalah yang dihadapi secara individu, sehingga diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Perasaan simpati tersebut dapat berupa rasa kagum, perhatian, peduli, empati, penghargaan, rasa tanggungjawab dan kepercayaan terhadap seseorang atau sekelompok orang. Seberapa besar nilai modal sosial yang dimiliki seseorang terhadap orang lain ditentukan oleh seberapa jauh adanya unsur-unsur yang berupa rasa kagum, perhatian, dan kepedulian pada seseorang terhadap orang lain.

Setelah hampir se abad lamanya terlupakan dan tersisih dari dunia akademik, konsep modal sosial kembali marak diperdebatkan setelah Pierre Bourdieu (1983;1986) menulis karyanya berjudul "The Forms of Capital",. Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang berbasis pada saling kenal dan saling mengakui. Ia mengemukakan, di dalam dunia ekonomi, setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial.

Dalam karyanya berjudul "Social Capital in the Creation of Human Capital", Coleman (1988) memperkenalkan modal sosial sebagai sarana konseptual untuk memahami orientasi teoritis tindakan sosial dengan mengaitkan komponen-komponen dari perspektif sosiologi dan ekonomi. Dengan cara demikian ia menggunakan prinsip-prinsip ilmu ekonomi untuk menganalisis proses sosial. Penggunaan data penelitian mengenai siswa di sebuah sekolah menengah, ia menggambarkan bagaimana modal sosial berperan dalam menciptakan modal manusia dengan cara memperlihatkan apa yang berlangsung dalam keluarga dan masyarakat dalam proses perkembangan pendidikan anak-anak. Contoh yang jelas mengenai hal ini adalah bagaimana pentingnya keterlibatan orang tua murid dan para guru dalam wadah POMG untuk bersama-sama membahas langkah-langkah terbaik guna meningkatkan

(5)

kemajuan anak didik. Ia mengidentifikasi tiga unsur utama pilar modal sosial. Pertama, kewajiban dan harapan yang timbul dari rasa percaya dalam lingkungan sosial. Ia mencontohkan tentang bagaimana pentingnya arti kepercayaan melalui sistem arisan yang populer dalam masyarakat di banyak negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yaitu sistem arisan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan pertemanan, ketetanggaan atau kekerabatan. Kedua, pentingnya arus informasi yang lancar di dalam struktur sosial untuk mendorong berkembangnya kegiatan dalam masyarakat. Ia mengungkapkan arus informasi yang tidak lancar menyebabkan orang tidak tahu atau ragu-ragu sehingga tidak berani melakukan sesuatu. Ketiga, norma-norma yang harus ditaati dengan sanksi yang jelas dan efektif. Tanpa adanya seperangkat norma yang disepakati dan dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat, akan muncul keadaan anomaly dimana setiap orang cenderung berbuat sesuai dengan kemauan sendiri tanpa merasa ada ikatan dengan orang lain.

Kemudian, dalam tulisan yang berjudul Foundations of Social Theory, Coleman (1990) mengatakan bahwa modal sosial, seperti halnya modal fisik, juga bersifat produktif. Tanpa modal sosial seseorang tidak akan bisa memperoleh keuntungan material dan mencapai keberhasilan lainnya secara optimal.

Menurut Coleman (1988) dan Lin (2001), modal sosial menjadi penting dan bernilai dalam perekonomian global karena dapat memecahkan masalah yang terkait dengan koordinasi, mengurangi biaya transaksi, dan mempermudah arus informasi antar individu serta memberikan kontribusi secara signifikan terhadap keunggulan organisasi. Mereka membedakan, jika modal ekonomi sebagai modal yang bersifat fisik (tangable) berupa : bangunan pabrik, mesin-mesin, peralatan dan aset-aset fisik lainnya, maka modal budaya atau modal manusia berkenaan dengan kapasitas, kapabilitas, dan integritas yang melekat pada diri manusia setelah melewati proses investasi modal manusia. Sedangkan modal sosial berkenaan dengan interaksi dan hubungan antar individu, organisasi, dan komunitas.

Bolino et.al (2002) dalam tulisannya berjudul “Citizenship Behavior and The Creation of Social Capital in Organizations”, mendefinisikan modal sosial sebagai sumberdaya yang berasal dari hubungan antar individu, organisasi, atau masyarakat. Inti dari modal sosial adalah norma dan hubungan sosial yang mampu memfasilitasi dan mengkoordinasikan tindakan dalam mencapai tujuan bersama. Namun, modal sosial saja tidak cukup untuk mencapai tujuan tersebut, masih diperlukan modal ekonomi dan modal manusia.

(6)

Pengakuan modal sosial kian meluas ketika Robert Putnam (1993) melalui bukunya Making Democracy Work : Civic Traditions in Modern Italy berhasil mempopulerkan konsep modal sosial kepada berbagai kalangan pembaca, baik di dunia akademis, para praktisi sosial, media massa, maupun kalangan pembaca pada umumnya. Putnam menjelaskan bahwa didalam kehidupan organisasi tercermin kerjasama antar warga yang saling menguntungkan dan modal sosial akan memperkuat modal-modal lain yang ada dalam komunitas. Modal sosial adalah ”public good”, bukan milik pribadi untuk mendapatkan keuntungan dari modal tersebut.

Menurut Putnam (1993), ada tiga alasan penting mengapa modal sosial yang berwujud norma-norma dan jaringan yang mengikat merupakan prakondisi bagi perkembangan ekonomi dan prasyarat mutlak bagi terciptanya tata pemerintahan yang baik dan efektif. Pertama, jaringan sosial memungkinkan koordinasi dan komunikasi yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya di antara sesama anggota masyarakat. Kedua, kepercayaan memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa keterkaitan orang-orang yang memiliki rasa saling percaya dalam suatu jaringan sosial memperkuat norma-norma mengenai keharusan untuk saling membantu. Ketiga, berbagai keberhasilan yang dicapai melalui kerjasama pada waktu yang lampau dalam jaringan sosial akan mendorong keberlangsungan kerjasama pada waktu yang akan datang.

Berdasarkan uraian diatas semakin jelas bahwa jika modal fisik dan modal manusia adalah milik individu, maka modal sosial bukan milik individual, tetapi sebagai hasil dari hubungan sosial antar individu. Ketiga bentuk modal tersebut dianggap sebagai kekayaan yang bernilai (valuable asset), sehingga interaksi secara timbal balik dalam bentuk hubungan kesetaraan antara modal fisik dan modal manusia dengan modal sosial menjadi syarat perlu yang senantiasa harus diciptakan dan dipertahankan dalam upaya meningkatkan kinerja pembangunan.

Kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir pembangunan serta daya saing suatu masyarakat, menurut Fukuyama (1995) ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga. Fukuyama menganggap kepercayaan itu sangat berkaitan dengan akar budaya, terutama yang berkaitan dengan etika dan moral. Karena itu ia berkesimpulan tingkat saling percaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat bersangkutan. Berdasarkan penelitiannya di beberapa negara di Asia, seperti Cina dan Jepang, Fukuyama menemukan, untuk mencapai keberhasilan ekonomi diperlukan

(7)

adanya organisasi-organisasi ekonomi berskala besar dan korporasi yang demokratis. Akan tetapi, kelembagaan itu baru dapat berfungsi secara baik apabila peranan kebiasaan-kebiasaan dalam budaya tradisional mendapat cukup perhatian. Peraturan, kontrak, dan rasionalitas ekonomi saja tidak cukup untuk menjamin stabilitas dan kesejahteraan masyarakat secara merata. Diperlukan adanya nilai-nilai resiprositas, tanggungjawab moral, kewajiban terhadap masyarakat dan kepercayaan yang berbasis pada adat kebiasaan daripada perhitungan rasional. Meyakini bahwa nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan kepercayaan pada suatu bangsa merupakan faktor penentu perkembangan ekonomi negara bersangkutan, Fukuyama sampai pada pembedaan bangsa-bangsa dalam dua kategori, yaitu: Pertama , bangsa-bangsa yang memiliki tingkat kepercayaan rendah (low-trust society) dalam nilai budayanya, sulit untuk dapat mengembangkan usaha-usaha berskala besar karena dalam nilai budaya dan tingkat kepercayaannya terbatas hanya pada lingkungan keluarga, di luar lingkungan keluarga itu kepercayaan sulit ditumbuhkan. Fukuyama menyebut Cina, Perancis dan Korea sebagai contoh-contoh masyarakat yang memiliki nilai budaya kepercayaan rendah. Kedua, bangsa-bangsa yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi (high trust society) dalam nilai budayanya, akan lebih berhasil menjadi kekuatan ekonomi besar dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Jerman.

Selain melihat keterkaitan nilai budaya tradisional dengan tingkat kepercayaan dalam menjelaskan perkembangan dan kemajuan ekonomi suatu bangsa, Fukuyama (1995) juga memperhatikan faktor-faktor seperti kemauan politik, tingkat pendidikan dan pengalaman kosmopolitan sebagai faktor pendorong perkembangan ekonomi pada bangsa-bangsa tertentu. Fukuyama mengklasifikasikan Cina, khususnya Taiwan, dan Korea Selatan sebagai bangsa-bangsa yang memiliki nilai budaya kepercayaan rendah, ternyata berhasil menjadi kekuatan ekonomi yang menakjubkan, dengan produk-produk di bidang elektronika, komputer dan otomotif yang turut merajai pasaran dunia. Tesis McClelland (1961) mengenai need for achievement ataupun tesis Ostrom (1996) mengenai Coproduction (yaitu proses untuk mencapai suatu tujuan bersama yang dilaksanakan melalui partisipasi aktif semua stakeholder) dapat diduga sebagai faktor kunci sukses kemajuan ekonomi yang dapat digunakan untuk menjelaskan kemajuan ekonomi spektakuler yang dicapai Taiwan sejak dua dekade belakangan ini. Sedangkan kemauan politik dan tekad pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh Presiden Park Chung Hee dari Korea Selatan melalui program Saemaul Undong atau Gerakan Komunitas Baru sejak

(8)

awal tahun 1970-an dengan tiga prinsip dasar ”dilligent, self-help and cooperation” yang ditumbuhkan dalam masyarakat, tampaknya telah berkontribusi penting membangkitkan perekonomian Korea Selatan sebagai kekuatan ekonomi di kancah global.

Dari uraian di atas, modal sosial sebagai konsep sosiologis diyakini merupakan aset berharga yang bersifat produktif sebagaimana modal fisik ataupun modal manusia. Tanpa modal sosial, seseorang, organisasi ataupun kelompok masyarakat tidak akan bisa memperoleh keuntungan material dan mencapai keberhasilan lainnya secara optimal. Modal sosial menjadi mutiara yang bernilai penting dalam perekonomian global karena dapat memecahkan masalah yang terkait dengan koordinasi, mengurangi biaya transaksi, dan mempermudah arus informasi antar individu serta memberikan kontribusi secara signifikan terhadap keunggulan organisasi. Sungguhpun peranan modal sosial itu demikian penting, namun modal sosial sebagai mutiara nyaris terlupakan sejak kali pertama diperkenalkan.

C. Peran Modal Sosial Dalam Pembangunan

Keberadaan dan peran modal sosial dalam pembangunan dapat dipelajari melalui kemampuan modal sosial memfasilitasi penciptaan nilai bagi individu dan organisasi perusahaan atau organisasi masyarakat. Kerangka konseptual untuk mengukur keberadaan dan peran modal sosial dalam pembangunan, menggunakan dimensi modal sosial, yaitu dimensi struktural, dimensi relasional, dan dimensi kognitif.

Dalam lingkup organisasi perusahaan, Bolino, Turnley, dan Bloodgood (2002) mengajukan model teoritik tentang bagaimana modal sosial dapat memfasilitasi penciptaan nilai bagi perusahaan melalui hubungan antara perilaku anggota organisasi dan kinerja organisasi perusahaan yang dimediasi oleh modal sosial. Model teoritik ini dikembangkan berdasarkan proposisi bahwa ”modal sosial akan memediasi hubungan antara perilaku anggota organisasi dengan kinerja organisasi perusahaan”. Proposisi ini menganggap bahwa hubungan antara perilaku anggota organisasi dengan kinerja organisasi perusahaan bersifat tidak langsung. Perilaku anggota organisasi bisa memberikan kontribusi penting dalam penciptaan dimensi struktural, relasional, dan kognitif dari modal sosial. Pada gilirannya, modal sosial dapat meningkatkan kinerja organisasi. Dengan demikian hubungan antara perilaku anggota organisasi dengan kinerja organisasi perusahaan dimediasi oleh modal sosial. Terkait dengan model teoritik tersebut, Nahapiet dan Ghoshal (1998) berusaha keras mengidentifikasi tiga dimensi modal sosial (struktur, relasional dan kesadaran), dan menjustifikasi secara teoritik

(9)

bagaimana menghubungkan masing-masing dimensi tersebut dapat memfasilitasi kombinasi dan penukaran sumberdaya-sumberdaya dalam perusahaan.

Dimensi struktural modal sosial, mencakup keseluruhan bentuk-bentuk hubungan yang dijumpai dalam organisasi. Dimensi ini melibatkan sejauh mana anggota-anggota dari sebuah organisasi saling berhubungan (misalnya apakah para pekerja saling mengetahui satu sama lain). Dalam lingkup organisasi masyarakat, dimensi struktural modal sosial merupakan jaringan hubungan yang mengikat dalam kelembagaan sosial yang mampu mewadahi dan mendorong terjadinya kegiatan- kegiatan kolektif yang bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat. Dimensi struktural ini sangat penting karena untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan lebih berhasil bila dilakukan melalui kelembagaan sosial, terutama pada tingkat lokal.

Sedangkan pada dimensi relasional modal sosial, terkait dengan karakteristik dari hubungan antar individu dalam sebuah organisasi. Dengan kata lain jika dimensi struktural fokus pada apakah para pekerja berhubungan satu sama lain, maka dimensi relasional fokus pada masalah kualitas atau karakteristik dari hubungan tersebut, misalnya apakah hubungan tersebut didasari oleh rasa saling percaya, rasa kedekatan, rasa suka sama suka, dan sebagainya.

Dimensi kognitif, berkaitan dengan nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang mempengaruhi kepercayaan dan solidaritas yang mendorong ke arah terciptanya kerjasama antar anggota organisasi dalam mencapai tujuan bersama. Jika dimensi struktural menjelaskan hanya pada aspek keberadaan hubungan antar pekerja dan dimensi relasional menjelaskan tentang sejauhmana terdapat aspek-aspek kualitas sikap dalam hubungan tersebut, maka dimensi kognitif fokus pada apakah hubungan tersebut memiliki komponen kognitif, misalnya apakah para pekerja benar-benar mengerti satu sama lain.

Dalam konteks masyarakat dimana terdapat beragam nilai yang berdimensi kognitif atau kultural, memungkinkan terpeliharanya hubungan harmonis, baik sesama warga masyarakat dalam internal kelompok maupun dengan orang-orang dari kelompok etnik yang berbeda. Pada kelompok etnik tertentu dalam masyarakat, dijumpai perilaku yang lebih menekankan nilai-nilai solidaritas dan kerjasama internal kelompok, karena secara tradisional tidak memiliki pedoman berinteraksi secara baik dengan kelompok lain. Nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki kelompok masyarakat tersebut terdapat keseimbangan antara bonding social capital dan bridging social capital.

(10)

Istilah bonding social capital dimaknai sebagai modal sosial yang mengatur keharmonisan dan solidaritas hubungan internal sesama anggota kelompok, sedangkan istilah bridging social capital diartikan sebagai modal sosial yang memungkinkan terciptanya kerjasama dan hubungan yang saling menguntungkan dengan warga dari kelompok etnik lain. Pada kelompok masyarakat yang secara tradisional kurang memiliki nilai-nilai budaya yang merupakan bridging social capital ini cenderung lebih mementingkan kelompok sendiri, bersifat eksploitatif dan mudah terlibat konflik dengan kelompok lain.

Berdasarkan pandangan resource-based view of the firm (Barney, 1986, 1991), bahwa organisasi perusahaan sebagai kumpulan sumberdaya yang bernilai, langka, tidak bisa ditiru, dan tidak bisa diganti dengan yang lain, memberikan kemampuan yang membuat organisasi perusahaan memiliki keunggulan bersaing. Sejalan dengan pandangan tersebut maka Nahapiet dan Ghoshal (1998) berpendapat bahwa organisasi perusahaan yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi cenderung akan lebih berhasil dibanding pesaingnya yang memiliki tingkat modal sosial yang lebih rendah. Dalam berbagai transaksi ekonomi orang-orang yang memiliki modal sosial akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada mereka yang tidak memilikinya. Dengan demikian, karena hubungan antarpekerja dengan kualitas yang tinggi sangat bernilai, tidak mudah dibentuk, dan sulit ditiru, maka hubungan yang demikian akan memberikan organisasi perusahaan sebuah keunggulan yang langgeng dibanding pesaingnya. Karena itu, Leana dan Van Buren (1999) berpendapat bahwa modal sosial memiliki hubungan positif dengan kemampuan organisasi dalam membangkitkan komitmen dari para pekerjanya untuk menjadi lebih fleksibel dalam mengelola tindakan-tindakan kolektif, dan untuk mengembangkan tingkat modal intellektual yang tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modal sosial akan meningkatkan kinerja organisasi perusahaan.

Dalam konteks organisasi masyarakat, peran penting yang dapat dimainkan modal sosial dalam meningkatkan kemampuan masyarakat menjalankan kegiatan ekonomi, menurut Gittell dan Thompson (2001), terkait dengan bagaimana modal sosial bisa memperkuat kapasitas organisasi masyarakat dalam mewadahi kegiatan ekonomi. Mereka menganggap modal sosial sebagai aset dalam pengembangan ekonomi dapat dilihat dari kapasitas dan kinerja organisasi-organisasi berbasis komunitas, perusahaan- perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berorientasi nirlaba dan badan-badan pemerintah. Faktor-faktor kunci yang berkontribusi terhadap keberhasilan lembaga-lembaga masyarakat itu termasuk keterampilan manajemen, kemampuan membuat perencanaan teknis dan kemampuan anggota

(11)

personil dalam mengelola proyek, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan warga masyarakat.

Menurut Robison et.al. (2002), modal sosial tidak lain adalah perasaan simpati dari seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kelompok lainnya. Perasaan simpati itu dapat berupa rasa kagum, perhatian, peduli, empati, penghargaan, rasa tanggungjawab, atau kepercayaan terhadap seseorang atau sekelompok orang. Menurut mereka, seberapa besar nilai modal sosial yang dimiliki seseorang terhadap orang lain ditentukan oleh seberapa jauh adanya unsur-unsur yang berupa rasa kagum, perhatian, kepedulian, dan lain-lainnya itu pada seseorang terhadap orang lain. Dalam dunia hiburan contohnya, karena rasa kagum kepada penyanyi tertentu, para penggemarnya bersedia mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar untuk membeli tiket konser musik penyanyi tersebut. Sementara orang-orang lain yang tidak mengagumi penyanyi tersebut, jangankan mengeluarkan uang, bahkan diberi uangpun belum tentu mau menonton konser penyanyi tersebut. Contah sederhana yang lain, dapat ditemukan dalam urusan jual beli di pasar. Katakanlah seorang pembeli yang bersimpati kepada seorang pedagang yang ramah, akan langsung membayar harga barang yang dibelinya tanpa menawar. Bahkan kalau ia mengetahui kesulitan ekonomi yang dialami pedagang itu, ia akan dengan senang hati membayar melebihi harga yang sebenarnya. Sedangkan pada seorang pembeli yang tidak bersimpati kepada seorang pedagang, cenderung menawar harga barang yang hendak dibelinya untuk menekan harga menjadi lebih rendah lagi dengan mencari-cari kelemahan dari barang yang hendak dibelinya.

Nilai lebih yang bersumber pada rasa simpati seperti yang tergambar dalam contoh-contoh di atas oleh Robison disebut sebagai socioemotional goods. Maksudnya adalah nilai lebih itu terbentuk oleh perasaan atau emosi dari seseorang terhadap orang lainnya. Nilai yang berada di luar nilai simpati ini adalah nilai transaksi ekonomi yang biasa, atau nilai intrinsik dari suatu benda. Sedangkan pemberian nilai terhadap sesuatu yang bersumber pada kondisi socioemotional dapat dikatakan sebagai nilai nominal yang tinggi rendahnya ditentukan oleh sikap pribadi. Pemberian nilai atau value attachment inilah yang dianggap oleh Robison sebagai faktor penentu modal sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari bisa ditemukan banyak sekali contoh bagaimana value attachment memperlihatkan modal sosial yang dimiliki seseorang. Seperti dicontohkan di atas, ada seseorang yang mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar karena kagum kepada seorang penyanyi, tapi pada kesempatan yang lain tidak mau sama sekali menyumbang untuk

(12)

pembangunan rumah ibadah, anak yatim, bencana alam dan sebagainya, karena mereka tidak punya rasa peduli dengan hal-hal tersebut. Seorang pedagang adakalanya tidak bersedia menerima uang yang dibayarkan oleh seorang tokoh masyarakat karena ia menaruh rasa hormat dan penghargaan yang tinggi kepada tokoh tersebut. Ada orang-orang mampu yang mau menanggung biaya operasi seorang pasien dari sebuah keluarga miskin karena punya rasa empati terhadap kesulitan yang dialami keluarga itu.

Kesimpulannya, bahwa konsep modal sosial yang diajukan Robison mampu menjelaskan dengan baik sekali berbagai bentuk manifestasi modal sosial dalam masyarakat. Modal sosial yang dicakup dalam konsep tersebut tidak terbatas pada modal sosial yang ditemukan dalam satu kelompok atau komunitas atau bonding social capital tetapi juga menjangkau modal sosial antar kelompok yang disebut sebagai bridging social capital seperti telah dijelaskan di atas. Orang-orang yang menerima bantuan bencana alam misalnya, mereka umumnya berasal dari kelompok masyarakat yang tinggal berjauhan dan sama sekali tidak kenal dengan kelompok orang yang memberi sumbangan. Hubungan antara mereka hanya dijembatani oleh bridging social capital yang dibangun oleh rasa simpati, empati dan peduli terhadap sesama.

Sedangkan nilai sosio-emosional dalam modal sosial yang berbentuk perhatian dari suatu kelompok terhadap kelompok lain dapat dilihat dari seberapa jauh adanya bridging social capital, yang tercermin dari kerjasama yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kaitan ini dapat diambil sebagai contoh program pembangunan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Banyak pihak yang terlibat dalam program ini, mulai dari sponsor sebagai penyandang dana, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, para pengusaha, organisasi-organisasi kemasyarakatan, lembaga-lembaga sosial di tingkat desa, kelurahan, nagari, dan sebagainya. Keberhasilan program pengentasan kemiskinan sangat ditentukan seberapa jauh bridging social capital bisa terbentuk dalam kerjasama antara semua stakeholder yang berkepentingan dengan tercapainya tujuan program tersebut.

Keberhasilan dari bridging social capital ini terletak pada adanya kesadaran untuk menunjukkan partisipasi aktif dan kontribusi optimal dari masing-masing stakeholder. Proses untuk mencapai tujuan bersama yang dilaksanakan melalui partisipasi aktif semua stakeholder itu dalam literatur modal sosial disebut sebagai koproduksi (coproduction). Istilah ini diintroduksi oleh Ostrom (1996) dalam sebuah tulisannya berjudul "Crossing the Great

(13)

Divide: Coproduction, Synergy, and Development" untuk menunjukkan adanya peran aktif suatu kelompok masyarakat dalam penyediaan barang dan pelayanan yang ditujukan untuk kepentingan mereka. Peran aktif itu menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya bersikap untuk dilayani akan tetapi ikut berpatisipasi melakukan segala hal yang menyangkut kepentingan ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta kepentingan lainnya demi kesejahteraan hidup mereka sebagai suatu kelompok sosial.

Edstrom (2002) menjelaskan koproduksi sebagai konsep yang relatif baru, salah satu unsurnya adalah keswadayaan masyarakat. Pengalaman Bank Dunia (World Bank) melakukan program bantuan melalui ”Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK)” yang dilaksanakan sejak Agustus 1998, telah menginspirasi Bank Dunia mengubah strategi dan kebijakan program bantuan dari yang sebelumnya ”mempercayakan pelaksanaan pembangunan sepenuhnya kepada aparat pemerintah dari tingkat pusat sampai ke daerah” menjadi ”pembangunan dengan kendali masyarakat (community-driven development)”. Menurut Alkire et al., (2001), prinsip dasar dari Pembangunan dengan Kendali Masyarakat (PKM) ini adalah memberi peluang dan kendali kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam hal mengambil keputusan dan pengelolaan sumberdaya. Kebijakan PKM menganggap masyarakat sebagai aset dan mitra dalam proses pembangunan. Dukungan terhadap PKM meliputi penguatan dan pendanaan kelompok-kelompok masyarakat, fasilitas akses informasi bagi komunitas, dan mendorong tumbuhnya suasana yang kondusif bagi reformasi kelembagaan sosial. Dengan demikian, swadaya masyarakat bukan saja dalam bentuk tenaga dan material, tetapi juga mencakup pemikiran untuk merencanakan dan melaksanakan sendiri proyek pembangunan yang ada di daerahnya, sedangkan fungsi dan peran pemerintah lebih terbatas sebagai pemberi dana dan fasilitator. Namun Edstrom (2002) menyangsikan, apakah PPK dengan strategi PKM bisa menjadi stimulan bagi masyarakat untuk kemudian bisa menjadi self-propelling tanpa bantuan dari luar, atau sebaliknya akan menyebabkan masyarakat menjadi semakin tergantung pada dana dari luar. World Bank yang menggagas PPK berkesimpulan bahwa manakala suatu kelompok masyarakat telah berhasil mengelola suatu proyek berbantuan, maka dipandang bantuan itu tidak perlu diberikan lagi. Kesimpulan ini didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat akan bisa melanjutkan program pembangunan dengan kekuatan dan kemampuan sendiri. Masalahnya adalah, apakah PKM itu hanya bersifat temporer, yang hanya bertahan selama berlangsungnya bantuan dari luar, ataukah bisa berlanjut sekalipun bantuan sudah tidak lagi diberikan. Apakah mereka akan tetap bisa

(14)

mempertahankan semangat untuk melanjutkan PKM dengan menggali potensi yang dimiliki sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari luar?

Jawaban atas pertanyaan tersebut, tentu saja erat kaitannya dengan kualitas modal sosial yang dimiliki. Berbagai contoh memperlihatkan bahwa dengan modal sosial yang baik dari sebuah komunitas dapat menolong diri sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa bantuan pemerintah. Fatema Mernissi (1997), seorang pakar sosiologi Maroko misalnya, menceritakan bagaimana masyarakat di Ait Iktel, sebuah kawasan terpencil di pegunungan Atlas, Maroko, yang jauh dari sentuhan bantuan pemerintah, berhasil membangun sendiri berbagai fasilitas umum dan sosial, serta mengembangkan industri rumahtangga berkat adanya modal sosial yang baik dan hubungan yang erat dengan para perantau.

Berkaitan dengan koproduksi, sering ditemukan bahwa pelayanan yang diberikan oleh petugas resmi tidak memberi manfaat yang optimal tanpa adanya koproduksi. Misalnya, betapapun profesionalnya seorang guru mengajar di kelas, namun bila para siswa malas belajar dan orangtua siswa tidak memberi dukungan memadai untuk kemajuan pendidikan anaknya, maka sulit diharapkan sekolah tersebut menghasilkan lulusan yang bermutu tinggi. Demikian halnya pada kasus pelayanan kesehatan di rumah sakit, sekalipun dokter telah melakukan pengobatan secara profesional kepada seorang pasien, kecil kemungkinan pasien tersebut akan sembuh seperti yang diperkirakan dokter, manakala pasien tidak minum obat sesuai dengan aturan dan tidak mengindahkan pantangan.

Dengan demikian, koproduksi akan lebih menjamin tercapainya hasil yang optimal, baik di dalam penyediaan barang maupun pemberian jasa kepada masyarakat. Bahkan, dalam hal tertentu partisipasi masyarakat yang merupakan bagian dari koproduksi, lebih berperan daripada pelayanan yang diberikan petugas resmi. Misalnya, dalam kasus dimana jumlah personil guru yang amat terbatas pada sekolah tertentu, namun karena apresiasi masyarakat orang tua siswa demikian tinggi kepada profesi guru, serta partisipasi dan swadaya masyarakat orang tua siswa demikian besar dalam hal pembiayaan dan aktivitas belajar anak-anak mereka, maka peranannya akan sangat besar terhadap keberhasilan sekolah tersebut menghasilkan lulusan yang lebih bermutu.

Keberhasikan masyarakat melaksanakan pembangunan ditentukan oleh beberapa faktor yang merupakan kunci sukses berikut ini : Pertama, adanya organisasi yang menjadi wahana bagi warga masyarakat untuk membicarakan dan menyepakati berbagai hal yang merupakan kepentingan bersama. Kedua, seluruh warga masyarakat mendapat tempatnya

(15)

masing-masing dalam organisasi dan diikutsertakan pada setiap pembicaraan yang menyangkut kepentingan bersama. Ketiga, seluruh warga masyarakat ikut berperan aktif dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memberikan manfaat bagi kepentingan bersama. Keempat, keikutsertaan warga masyarakat dalam kegiatan untuk kepentingan bersama didorong oleh keinginan yang timbul dari kesadaran diri sendiri tanpa paksaan oleh orang lain. Kelima, setiap warga memberi kontribusi sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Keenam, setiap anggota warga masyarakat tidak boleh cepat patah semangat melihat masih jauhnya perjalanan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Selain dari keenam faktor yang telah disebut di atas, yang juga menjadi penentu keberhasilan pembangunan di Ait Iktel adalah perhatian yang besar dari para perantau. Berkat sumbangan pengetahuan, keahlian dan material dari para perantau inilah pembangunan desa tempat kelahiran mereka bisa berjalan pesat. Secara berkala para perantau ini pulang ke kampung halaman untuk membantu warga yang tinggal di desa mengerjakan berbagai proyek yang belum selesai.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kasus Ait Iktel adalah bahwa pembangunan yang dilakukan dengan swadaya murni tanpa bantuan dan intervensi dari pihak luar, membawa dampak positif yakni terciptanya rasa memiliki yang kuat pada seluruh warga. Perasaan seperti itu telah menimbulkan kesadaran yang kuat untuk memelihara semua hasil yang dicapai dan dibangun dengan jerih payah sendiri, baik prasarana dan sarana fisik maupun nilai-nilai sosial dan budaya yang merupakan pedoman hidup dan identitas kelompok sosial.

Implementasi konsep koproduksi di lapangan bagaimanapun tetap akan ditentukan oleh seberapa jauh warga masyarakat secara keseluruhan menyadari pentingnya modal sosial. Bila orang-orang yang dipercaya untuk mengelola proyek-proyek pembangunan benar-benar berpihak pada kepentingan bersama seluruh warga, maka modal sosial dalam arti positif akan bisa terbangun. Sebaliknya, apabila mereka lebih mementingkan hubungan terbatas dengan pihak tertentu, maka yang akan terjadi adalah kolusi dan korupsi, sisi negatif dari modal sosial yang disebut sebagai the downside of social capital (Portes dan Landolt, 1996).

Munculnya sisi negatif dari modal sosial sebagai efek samping dari PKM bagaimanapun kecilnya tetap ditemui, namun perlu diwaspadai. Karena efek tersebut dapat mengeliminasi kepercayaan badan-badan donor seperti Bank Dunia terhadap masyarakat sebagai tempat taruhan terakhir setelah berbagai upaya membantu masyarakat lewat jalur birokrasi pemerintah banyak yang tidak mencapai sasaran. Apakah dengan mem-”by-pass"

(16)

jalur birokrasi itu dan menurunkan dana langsung kepada masyarakat bantuan yang diberikan akan lebih mencapai tujuan, itulah sebuah pertanyaan besar bagi Tim Bank Dunia yang menangani PPK. Menurut Edstrom(2002), strategi ini merupakan sebuah terobosan berani dalam kebijakan pemberian bantuan, dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi yang lebih menekankan partisipasi dan kontribusi masyarakat dalam pembangunan.

Berdasarkan beberapa pengalaman melaksanakan proyek-proyek pembangunan berbantuan asing di banyak negara, Bank Dunia dalam Purnomo (2001) secara umum merekomendasikan serangkaian langkah konkrit yang mendorong modal sosial dapat tumbuh dan berperan dalam pembangunan, yaitu melalui upaya-upaya berikut: (1) mencegah penipuan dalam transaksi ekonomi dengan menggunakan sumberdaya sesedikit mungkin; (2) mengurangi jumlah wirausahawan yang dibutuhkan untuk memantau para pemasok dan pekerja, sehingga bisa menggunakan lebih banyak dari mereka untuk aktivitas inovatif; (3) menumbuhkan sikap saling mempercayai antarpribadi yang dapat menggantikan hak-hak kepemilikan formal; (4) menumbuhkan kepercayaan yang lebih besar terhadap kebijakan publik agar iklim investasi menjadi lebih baik; (5) meningkatkan kepercayaan yang lebih tinggi bagi akumulasi modal manusia. Galor dan Zeira (1993) menyatakan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi terkait dengan keikutsertaan yang lebih besar dalam pendidikan tingkat menengah/lanjutan; (6) meningkatkan kepercayaan dan partisipasi warga negara terkait dengan kinerja institusi pemerintah yang lebih baik, termasuk institusi untuk pendidikan publik; (7) melakukan aksi komunitas atau kerjasama dengan kelompok lokal agar dapat meringankan penderitaan rakyat kebanyakan, eksploitasi berlebihan, dan kurangnya pemeliharaan (Ostrom, 1990); (8) mempererat hubungan yang lebih luas diantara individu guna memperlancar arus informasi yang lebih baik dan penyebaran inovasi yang lebih cepat (Beasley dan Case 1994; Foster dan Rosenzweigh 1995; Rogers 1983); dan (9) membangun modal sosial yang dapat berfungsi sebagai jaminan informal dan diversifikasi portfolio. Pembagian risiko oleh banyak rumahtangga dapat berfungsi sebagai jaring pengaman sosial dan memungkinkan mereka melakukan aktivitas yang berisiko lebih tinggi tapi lebih besar hasilnya (Narayan dan Pritchett 1999).

(17)

D. P e n u t u p

1. Kesimpulan

Hampir semua definisi tentang modal sosial seperti yang dikemukakan oleh Hanifan (1916); Bourdieu (1986) ; Coleman (1988; 1990); Putnam (1993); Fukuyama (1995); Nahapiet dan Ghoshal (1998); Leana dan Van Buren (1999); Robison et.al. (2002); dan Bolino et.al (2002); memasukkan unsur hubungan (relationship). Ini berarti konsep modal sosial bukan merupakan konsep tunggal. Dalam implementasinya, modal sosial saja tidak cukup untuk meningkatkan kinerja organisasi dan tujuan-tujuan bersama organisasi sosial. Modal sosial tidak akan berarti apa-apa tanpa berinteraksi dengan bentuk modal yang lain, yaitu modal ekonomi dan modal manusia.

Jika modal ekonomi sebagai modal yang bersifat fisik (tangable) berupa bangunan pabrik, mesin-mesin, peralatan dan aset-aset fisik lainnya, maka modal budaya atau modal manusia berkenaan dengan kapasitas, kapabilitas, dan integritas yang melekat pada diri manusia setelah melewati proses investasi modal manusia. Sedangkan modal sosial berkenaan dengan interaksi dan hubungan antar individu, organisasi, dan komunitas. Ketiga bentuk modal tersebut dianggap sebagai kekayaan yang bernilai (valuable asset), sehingga interaksi secara timbal balik dalam bentuk hubungan kesetaraan antara modal ekonomi dan modal manusia dengan modal sosial menjadi syarat perlu yang senantiasa harus diciptakan dan dipertahankan dalam upaya meningkatkan kinerja pembangunan.

Modal sosial sebagai konsep sosiologis diyakini merupakan aset berharga yang bersifat produktif sebagaimana modal ekonomi ataupun modal manusia. Tanpa modal sosial, seseorang, organisasi ataupun kelompok masyarakat tidak akan bisa memperoleh keuntungan material dan mencapai keberhasilan lainnya secara optimal. Modal sosial menjadi mutiara yang bernilai penting dalam perekonomian global karena dapat memecahkan masalah yang terkait dengan koordinasi, mengurangi biaya transaksi, dan mempermudah arus informasi antar individu serta memberikan kontribusi secara signifikan terhadap keunggulan organisasi.

Modal sosial tidak terbatas pada modal sosial yang ditemukan dalam satu kelompok atau bonding social capital tetapi juga menjangkau modal sosial antar kelompok yang disebut sebagai bridging social capital, yaitu modal sosial yang berbentuk perhatian dari

(18)

suatu kelompok terhadap kelompok lain yang tercermin dari kerjasama yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan nilai-nilai yang bersumber dan terbentuk oleh perasaan atau emosi dari seseorang terhadap orang lainnya serta dari rasa simpati seseorang disebut sosio-emosional. Sementara, nilai-nilai yang berada di luar rasa simpati adalah nilai transaksi ekonomi yang biasa atau nilai intrinsik dari suatu benda.

Untuk meningkatkan kinerja organisasi perusahaan ataupun untuk mencapai tujuan-tujuan bersama organisasi sosial, selain memerlukan interkasi dari bentuk-bentuk modal tersebut juga perlunya koproduksi (coproduction). Istilah ini diintroduksi oleh Ostrom (1996) untuk menunjukkan adanya peran aktif suatu kelompok masyarakat dalam penyediaan barang dan pelayanan yang ditujukan untuk kepentingan bersama mereka. Strategi pendekatan yang lebih memungkinkan munculnya koproduksi adalah pembangunan dengan kendali masyarakat (community-driven development), yang prinsipnya adalah memberi peluang dan kendali kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam hal mengambil keputusan dan pengelolaan sumberdaya.

Keberadaan dan peran modal sosial dalam pembangunan dapat dipelajari melalui kemampuannya memfasilitasi penciptaan nilai bagi individu dan organisasi perusahaan atau organisasi sosial. Modal sosial dapat memfasilitasi penciptaan nilai (manivestasi dari kombinasi dan penukaran sumberdaya-sumberdaya) bagi perusahaan melalui hubungan antara perilaku anggota organisasi dan kinerja organisasi perusahaan yang dimediasi oleh modal sosial.

2. R e k o m e n d a s i

1. Dalam perspektif pembangunan ekonomi, peran modal sosial adalah sama pentingnya dengan modal ekonomi dan modal manusia. Tanpa adanya kebersamaan dan kerjasama, adalah sulit membangun modal sosial untuk mencapai tujuan-tujuan bersama organisasi sosial dan pembangunan. Untuk itu, direkomendasikan agar upaya membangun modal sosial dan penciptaan koproduksi (coproduction) perlu diprioritaskan dalam setiap tahapan proses pembangunan.

2. Dalam perspektif pembangunan sosial dan budaya, peranan pendidikan dalam keluarga dan sekolah sangat besar. Untuk itu, direkomendasikan agar upaya membangun modal sosial dilakukan melalui: berbagai bentuk pelatihan kelompok untuk membangun visi dan misi bersama, menumbuhkan saling percaya antar sesama

(19)

warga masyarakat, membangun jejaring kerja melalui upaya mempertemukan anggota kelompok masyarakat dalam berbagai kegitan budaya, olahraga, dan keagamaan. 3. Orientasi manjemen dan kepemimpinan pada sektor publik maupun sektor swasta

yang sangat sektoral perlu dirubah ke arah lintas kelompok agar terjadi sharing informasi dan berkembangnya inovasi.

4. Dalam perspektif peningkatkan kinerja organisasi bisnis, peranan motivasi, komitmen, dan kerja kolektif antaranggota organisasi dan antar pelaku bisnis sangat besar terhadap kinerja bisnis. Resultante hasil dari upaya menumbuhkan motivasi, membangun komitmen, dan penciptaan kerja kolektif antaranggota organisasi dan antar pelaku bisnis akan sangat mendorong terwujudnya modal sosial yang tinggi di tingkat organisasi. Untuk itu, direkomendasikan agar upaya membangun modal sosial dan pencapaian tujuan-tujuan bersama dalam lingkup organisasi bisnis dilakukan melalui: perluasan dan penguatan jejaring kerja intra dan antarunit kinerja organisasi bisnis serta antar organisasi bisnis, pemberian penghargaan berbasis kerja kelompok, meningkatkan produktivitas kerja kelompok dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama.

(20)

Daftar Pustaka

Alkire, S. A. et.al., 2001., Community Driven Development, World Bank Draft for Comments.

Barney,J.B., 1986., Organizational Culture: Can It Be A Source of Sustained Competitive Advantage, Academy of Management Review, 11: 656-665.

Barney, J.B., 1991., Firm Resources and Sustained Competitive Advantage, Journal of Management, 17: 99-120.

Bourdieu, Pierre., 1983; 1986., The Forms of Capital, dalam J. Richardson, ed. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Westport, CT: Greenwood Press.

Bolino, Mark C, William H. Turnley, and James M.Bloodgood. 2002., Citizenship Behavior and the Creation of Social Capital, The Academy of Management Review, 27(4): 505-540.

Coleman, James S. 1988., Social Capital in the Creation of Human Capital, American Journal of Sociology 94: S95 - S120.

Coleman, James S. 1990., Foundations of Social Theory. Cambridge, Mass: Harvard University Press. Edstrom, Judith. 2002., Indonesia's Kecamatan Development Project: Is It Replicable? (Social

Development Project, The World Bank, Paper No. 39).

Fukuyama, Francis. 1995., Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: The Free Press.

Fukuyama, Francis . 2001. Social Capital and Development: The Coming Agenda. Makalah pada Konperensi "Social Capital and Poverty Reduction In Latin America and The Caribbean: Toward A New Paradigm." Santiago, Chile, September 24-26, 2001.

Gittel, Ross dan J. Phillip Thompson. 2001. Making Social Capital Work: Social Capital and Community Economic Development, dalam Saegert, Susan, J. Phillip Thompson and Mark R. Warren (eds.) Social Capital and Poor Communities. New York: Russell Sage Foundation, pp. 115-135.

Hitt, Michael A., Chouk Lee and Emre Yucel, 2002., The Importance Of Social Capital To The Management Of Multinational Enterprises : Relational Networks Among Asian And Western Firms, Asia Pacific Journal of Management 19, 353-372. 2002

Leana, C. R., and Van Buren, H.J., III. 1999., Organizational social capital and employment practices. Academy of management review, 24: 538-555.

McClelland, 1961, The Achieving Society, Litton Educational Publishing Inc, USA

Mernissi, Fatema. 1997., Social Capital in Action: The Case of the Ait Iktel Village Association, "(http:llpoverty.worldhank.orgI library/ topic/429415033)

Nahapiet, J. and Ghoshal, S. 1998., Social Capital, Intellectual Capital, and The Organizational Advantage, Academy of Management Review, 23: 242-266.

(21)

Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and Development, World Development, Vol. 24, No. 6 (June 1996), 1073-87.

Portes, Alejandro dan Patricia Landolt. 1996., "The Downside of Social Capital." The American Prospect 26(May-June): 18-21, 94.

Putnam, Robert., Robert Leonardi dan Rafaella Nanetti. 1993., Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton, N.J.: Princeton University Press.

Putnam, Robert. 1993. "The Prosperous Community: Social Capital and Public Life," The American Prospect, 13 (Spring 1993): 35-42.

Robison, Lindon L., Marcelo E. Siles, dan A. Allan Schmid. 2002., “Social Capital and Poverty Reduction: Toward a Mature Paradigm." Department of Agricultural Economics, Michigan State University: Research Report No. 13. (Revisi dari makalah yang disampaikan dalam Konperensi "Social Capital and Poverty Reduction in Latin America and the Caribbean", 24-26 September 2001, di Santiago, Chile.

Smith, Mark Easterby., John Burgoyne, and luis Araujo (Editor) 1999., Organizational Learning and The Learning Organization, developments in theory and practice, SAGE Publication Ltd, London.

Sziompka, Pyotr. 1999., Trust: A Sociological Theory. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Y. Dwi Helly Purnomo (Editor), 2001., Kualitas Pertumbuhan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yang pertama adalah Apakah permainan tradisional cublak-cublak suweng dapat meningkatkan keterampilan sosial anak di TK Aisyiyah

Hal ini dapat meningkatkan rasio jumlah udara bahan bakar (AFR) dan proses pencampuran udara bahan bakar berlangsung lebih sempurna. 3) Sirkulasi udara dalam ruang

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UMS 2015 834 Sentiment analysis atau yang disebut juga dengan opini mining merupakan analisis yang bertujuan untuk

Bagi peserta didik, diharapkan dengan penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan penalaran ilmiah peserta didik di pembelajaran fisika, khusunya pada materu usaha

Berdasarkan Laporan Penelitian tersebut, guru kemudian menyederhanakan Laporan tersebut menjadi Artikel Ilmiah (Jurnal Ilmiah) yang berjudul “Peningkatan Kompetensi

adapun manfaat yang diharapkan adalah: (1) Kepentingan Ilmu Pengetahuan, diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah Ilmu Pengetahuan Sosial khususnya mengenai munculnya

Dengan menggunakan bilangan asli kita dapat menghitung banyaknya buku yang kita miliki, kendaraan yang melalui suatu jalan, orang-orang yang berada dalam suatu ruang