• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS REAL I. Disusun Oleh : La Ode Muhammad Agush Salam. Dipergunakan untuk Mahasiswa S1 Prog. Studi Pend. Matematika Jurusan PMIPA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS REAL I. Disusun Oleh : La Ode Muhammad Agush Salam. Dipergunakan untuk Mahasiswa S1 Prog. Studi Pend. Matematika Jurusan PMIPA"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH

ANALISIS REAL I

Disusun Oleh :

La Ode Muhammad Agush Salam

Dipergunakan untuk Mahasiswa S1 Prog. Studi Pend. Matematika Jurusan PMIPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2006

(2)

PENDAHULUAN

Pada bab pertama ini, kita akan membahas beberapa prasyarat yang diperlukan untuk mempelajari analisis real. Bagian 1.1 dan 1.2 kita akan mengulang sekilas ten-tang aljabar himpunan dan fungsi, dua alat yang penting untuk semua cabang mate-matika.

Pada bagian 1.3 kita akan memusatkan perhatian pada metoda pembuktian yang disebut induksi matematika. Ini berhubungan dengan sifat dasar sistem bilangan asli, dan walaupun penggunaannya terbatas pada masalah yang khusus tetapi hal ini penting dan sering digunakan.

1.1. Aljabar Himpunan

Bila A menyatakan suatu himpunan dan x suatu unsurnya, kita akan tuliskan dengan

x∈A,

untuk menyingkat pernyataan x suatu unsur di A, atau x anggota A, atau x termuat di A, atau A memuat x. Bila x suatu unsur tetapi bukan di A kita tuliskan dengan

x∉A.

Bila A dan B suatu himpunan sehingga x∈A mengakibatkan x∈B (yaitu, setiap unsur di A juga unsur di B), maka kita katakan A termuat di B, atau B me-muat A atau A suatu subhimpunan dari B, dan dituliskan dengan

A ⊆ B atau B ⊇ A.

Bila A ⊆ B dan terdapat unsur di B yang bukan anggota A kita katakan A subhim-punan sejati dari B.

BAB

1

(3)

1.1.1. Definisi. Dua himpunan A dan B dikatakan sama bila keduanya memuat

unsur-unsur yang sama. Bila himpunan A dan B sama, kita tuliskan dengan A = B

Untuk membuktikan bahwa A = B, kita harus menunjukkan bahwa A ⊆ B dan B ⊆ A.

Suatu himpunan dapat dituliskan dengan mendaftar anggota-anggotanya, atau dengan menyatakan sifat keanggotaan himpunan tersebut. Kata “sifat keanggotaan” memang menimbulkan keraguan. Tetapi bila P menyatakan sifat keanggotaan (yang tak bias artinya) suatu himpunan, kita akan tuliskan dengan

{xP(x)}

untuk menyatakan himpunan semua x yang memenuhi P. Notasi tersebut kita baca de-ngan “himpunan semua x yang memenuhi (atau sedemikian sehinga) P”. Bila dirasa perlu menyatakan lebih khusus unsur-unsur mana yang memenuhi P, kita dapat juga menuliskannya dengan

{ x∈SP(x)}

untuk menyatakan sub himpunan S yang memenuhi P.

Beberapa himpunan tertentu akan digunakan dalam bukti ini, dan kita akan menuliskannya dengan penulisan standar sebagai berikut :

Himpunan semua bilangan asli, N = {1,2,3,...}

Himpunan semua bilangan bulat, Z = {0,1,-1,2,-2,...}

Himpunan semua bilangan rasional, Q = {m/n  m,n ∈ Z, n≠0}

Himpunan semua bilangan real, R. Contoh-contoh :

(a). Himpunan {x ∈N x2-3x+2=0}, menyatakan himpunan semua bilangan asli yang memenuhi x2 - 3x + 2 = 0. Karena yang memenuhi hanya x = 1 dan x = 2, maka himpunan tersebut dapat pula kita tuliskan dengan {1,2}.

(b). Kadang-kadang formula dapat pula digunakan untuk menyingkat penulisan him-punan. Sebagai contoh himpunan bilangan genap positif sering dituliskan dengan

(4)

Operasi Himpunan

Sekarang kita akan mendefinisikan cara mengkonstruksi himpunan baru dari himpunan yang sudah ada.

1.1.2. Definisi. (a). Bila A dan B suatu himpunan, maka irisan (=interseksi) dari A ⊂

B dituliskan dengan A∩B, adalah himpunan yang unsur-unsurnya terdapat di A juga di B. Dengan kata lain kita mempunyai

A∩B = {x x∈A dan x∈B}.

(b). Gabungan dari A dan B, dituliskan dengan A∪B, adalah himpunan yang unsur-unsurnya paling tidak terdapat di salah satu A atau B. Dengan kata lain kita mempun-yai

A∪B = {x x∈A atau x∈B}.

1.1.3. Definisi. Himpunan yang tidak mempunyai anggota disebut himpunan kosong,

dituliskan dengan { } atau ∅. Bila A dan B dua himpunan yang tidak mempunyai un-sur bersama (yaitu, A∩B = ∅), maka A dan B dikatakan saling asing atau disjoin.

Berikut ini adalah akibat dari operasi aljabar yang baru saja kita definisikan. Karena buktinya merupakan hal yang rutin, kita tinggalkan kepada pembaca sebagai latihan.

1.1.4. Teorema. Misalkan A,B dan C sebarang himpunan, maka

(a). A∩A = A, A∪A = A; (b). A∩B = B∩A, A∪B = B∪A;

(c). (A∩B) ∩C = A∩(B ∩C), (A∪B)∪C = A∪(B∪C);

(d). A∩(B∪C) = (A∩B)∪(A∩C), A∪(B ∩C) = (A∪B) ∩ (A∪C);

Kesamaan ini semua berturut-turut sering disebut sebagai sifat idempoten,

ko-mutatif, asosiatif dan distributif, operasi irisan dan gabungan himpunan.

Melihat kesamaan pada teorema 1.1.4(c), biasanya kita tanggalkan kurung dan cukup ditulis dengan

(5)

Dimungkinkan juga untuk menunjukkan bahwa bila {A1,A2, ,An} merupakan koleksi himpunan, maka terdapat sebuah himpunan A yang memuat unsur yang merupakan pa-ling tidak unsur dari suatu Aj, j = 1,2,...,n ; dan terdapat sebuah himpunan B yang unsur-unsurnya merupakan unsur semua himpunan Aj, j=1,2,...,n. Dengan menang-galkan kurung, kita tuliskan dengan

A = A1 ∪A2 ∪ ∪ An = {x x∈Aj untuk suatu j}, B = A1 ∩ A2...∩An = {x x∈Aj untuk semua j}.

Untuk mempersingkat penulisan, A dan B di atas sering dituliskan dengan A = Aj j 1 n =

U

B = Aj j 1 n =

I

Secara sama, bila untuk setiap j unsur di J terdapat himpunan Aj, maka Aj j J∈

U

menyatakan himpunan yang unsur-unsurnya paling tidak merupakan unsur dari salah satu Aj. Sedangkan Aj

j J∈

I

, menyatakan himpunan yang unsur-unsurnya adalah unsur semua Aj untuk j∈J.

1.1.5. Definisi. Bila A dan B suatu himpunan, maka komplemen dari B relatif

terha-dap A, dituliskan dengan A\B (dibaca “A minus B”) adalah himpunan yang unsur-unsurnya adalah semua unsur di A tetapi bukan anggota B. Beberapa penulis meng-gunakan notasi A - B atau A ~ B.

Dari definisi di atas, kita mempunyai A\B = {x ∈ A x ∉ B}.

Seringkali A tidak dinyatakan secara eksplisit, karena sudah dimengerti/disepakati. Dalam situasi begini A\B sering dituliskan dengan C(B).

1.1.6. Teorema. Bila A,B,C sebarang himpunan, maka A\(B∪C) = (A\B)∩(A\C), A\(B∩C) = (A\B) ∪(A\C).

(6)

Bukti :

Kita hanya akan membuktikan kesamaan pertama dan meninggalkan yang kedua sebagai latihan bagi pembaca. Kita akan tunjukkan bahwa setiap unsur di A\(B∪C) termuat di kedua himpunan (A\B) dan (A\C), dan sebaliknya.

Bila x di A\(B∪C), maka x di A, tetapi tidak di B∪C. Dari sini x suatu unsur di A, tetapi tidak dikedua unsur B atau C. (Mengapa?). Karenanya x di A tetapi tidak di B, dan x di A tetapi tidak di C. Yaitu x ∈ A\B dan x ∈ A\C, yang menunjukkan bahwa

x ∈(A\B)∩(A\C).

Sebaliknya, bila x ∈(A\B)∩(A\C), maka x ∈(A\B)dan x ∈ (A\C). Jadi x ∈ A tetapi bukan anggota dari B atau C. Akibatnya x ∈ A dan x ∉ (B∪C), karena itu x ∈ A\(B∪C).

Karena himpunan (A\B)∩(A\C) dan A\(B∪C).memuat unsur-unsur yang sama, menurut definisi 1.1.1 A\(B∪C).= (A\B)∩(A\C).

Produk (hasil kali) Cartesius

Sekarang kita akan mendefinisikan produk Cartesius.

1.1.7. Definisi. Bila A dan B himpunan-himpunan yang tak kosong, maka produk

cartesius A×B dari A dan B adalah himpunan pasangan berurut (a,b) dengan a∈ A dan b ∈ B.

Jadi bila A = {1,2,3} dan B = {4,5}, maka A×B = {(1,4),(1,5),(2,4),(2,5),(3,4),(3,5)}

Latihan 1.1.

1. Gambarkan diagram yang menyatakan masing-masing himpunan pada Teorema 1.1.4.

2. Buktikan bagian (c) Teorema 1.1.4. 3. Buktikan bagian kedua Teorema 1.1.4(d).

(7)

5. Tunjukkan bahwa himpunan D yang unsur-unsurnya merupakan unsur dari tepat satu himpunan A atau B diberikan oleh D = (A\B) ∪ (B\A). Himpunan D ini ser-ing disebut dengan selisih simetris dari A dan B. Nyatakan dalam diagram. 6. Tunjukkan bahwa selisih simetris D di nomor 5, juga diberikan oleh

D = (A∪B)\(A∩B).

7. Bila A ⊆ B, tunjukkan bahwa B = A\(A\B).

8. Diberikan himpunan A dan B, tunjukkan bahwa A∩B dan A\B saling asing dan bahwa A = (A∩B) ∪ (A\B).

9. Bila A dan B sebarang himpunan, tunjukkan bahwa A∩B = A\(A\B).

10. Bila {A1, A2, ... , An} suatu koleksi himpunan, dan E sebarang himpunan,

tunjuk-kan bahwa E Aj (E A ), Ej Aj (E A ) j=1 n j j 1 n j 1 n j 1 n ∩ = ∩ ∪ = ∪ = = =

U

U

U

U

11. Bila {A1, A2, ... , An} suatu koleksi himpunan, dan E sebarang himpunan,

tunjuk-kan bahwa E Aj (E A ), E A (E A ) j 1 n j j 1 n j j=1 n j j 1 n ∩ = ∩ ∪ = ∪ = = =

I

I

I

I

12. Misalkan E sebarang himpunan dan {A1, A2, ... , An} suatu koleksi himpunan. Buktikan Hukum De Morgan

E \ Aj (E \ A ), E \ A (E \ A ). j 1 n j j 1 n j j=1 n j j 1 n = = = = =

I

U

U

I

Catatan bila E\Aj dituliskan dengan C(Aj), maka kesamaan di atas mempunyai bentuk

( )

( )

C Aj C A , C A C A . j 1 n j j 1 n j j=1 n j j 1 n = = =       =       =

I

U

U

I

13. Misalkan J suatu himpunan dan untuk setiap j∈J, Aj termuat di E. Tunjukkan bahwa

( )

( )

C Aj C A , C A C A . j J j j J j j J j j J ∈ ∈ ∈ ∈       =       =

I

U

U

I

(8)

A×B = (A×B1) ∪ (A×B2).

1.2. Fungsi.

Sekarang kita kembali mendiskusikan gagasan fundamental suatu fungsi atau pemetaan. Akan kita lihat bahwa fungsi adalah suatu jenis khusus dari himpunan, walaupun terdapat visualisasi lain yang sering lebih bersifat sugesti. Semua dari bagian terakhir ini akan banyak mengupas jenis-jenis fungsi, tetapi sedikit abstrak di-bandingkan bagian ini.

Bagi matematikawan abad terdahulu kata “fungsi” biasanya berarti rumus ter-tentu, seperti

f(x) = x2 + 3x -5

yang bersesuaian dengan masing-masing bilangan real x dan bilangan lain f(x).

Mung-kin juga seseorang memunculkan kontroversi, apakah nilai mutlak

h(x) = x

dari suatu bilangan real merupakan “fungsi sejati” atau bukan. Selain itu definisi xdiberikan pula dengan

x= x, bila x 0 x, bila x < 0 ≥ −   

Dengan berkembangnya matematika, semakin jelas bahwa diperlukan definisi fungsi yang lebih umum. Juga semakin penting untuk kita membedakan fungsi sendiri den-gan nilai fungsi itu. Di sini akan mendefinisikan suatu fungsi dan hal ini akan kita la-kukan dalam dua tahap.

Definisi pertama :

Suatu fungsi f dari himpunan A ke himpunan B adalah aturan korespondensi yang

memasangkan masing-masing unsur x di A secara tunggal dengan unsur f(x) di B.

Definisi di atas mungkin saja tidak jelas, dikarenakan ketidakjelasan frase “aturan korespondensi”. Untuk mengatasi hal ini kita akan mendefinisikan fungsi de-ngan menggunakan himpunan seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.

(9)

De-ngan pendefinisian ini dapat saja kita kehilangan kandungan intuitif dari definisi terdahulu, tetapi kita dapatkan kejelasan.

Ide dasar pendefinisian ini adalah memikirkan gambar dari suatu fungsi; yaitu, suatu korelasi dari pasangan berurut. Bila kita perhatikan tidak setiap koleksi pasangan berurut merupakan gambar suatu fungsi, karena sekali unsur pertama dalam pasangan berurut diambil, unsur keduanya ditentukan secara tunggal.

1.2.1. Definisi. Misalkan A dan B himpunan suatu fungsi dari A ke B adalah

him-punan pasangan berurut f di A×B sedemikian sehingga untuk masing-masing a ∈ A terdapat b ∈ B yang tunggal dengan (a,b),(a,b’) ∈f, maka b = b’. Himpunan A dari

unsur-unsur pertama dari f disebut daerah asal atau “domain” dari f, dan dituliskan

D(f). Sedangkan unsur-unsur di B yang menjadi unsur kedua di f disebut “range” dari f dan dituliskan dengan R(f). Notasi

f : A → B

menunjukkan bahwa f suatu fungsi dari A ke B; akan sering kita katakan bahwa f

suatu pemetaan dari A ke dalam B atau f memetakan A ke dalam B. Bila (a,b) suatu

unsur di f, sering ditulis dengan

b = f(a)

daripada (a,b) ∈f. Dalam hal ini b merupakan nilai f di titik a, atau peta a terhadap f.

Pembatasan dan Perluasan Fungsi

Bila f suatu fungsi dengan domain D(f) dan D1 suatu subhimpunan dari D(f), seringkali bermanfaat untuk mendefinisikan fungsi baru f1 dengan domain D1 dan

f1(x) = f(x) untuk semua x ∈ D1. Fungsi f1 disebut pembatasan fungsi f pada D1. Menurut definisi 1.2.1, kita mempunyai

f1 = { (a,b) ∈f a ∈ D1}

Kadang-kadang kita tuliskan f1 = f D1 untuk menyatakan pembatasan fungsi f pada himpunan D1.

(10)

Konstruksi serupa untuk gagasan perluasan. Bila suatu fungsi dengan domain D(g) dan D2⊇ D(g), maka sebarang fungsi g2 dengan domain D2 sedemikian sehingga

g2(x) = g(x) untuk semua x ∈ D(g) disebut perluasan g pada himpunan D2.

Bayangan Langsung dan Bayangan Invers

Misalkan f : A → B suatu fungsi dengan domain A dan range B.

1.2.2. Definisi. Bila E subhimpunan A, maka bayangan langsung dari E terhadap f

adalah sub himpunan f(E) dari B yang diberikan oleh f(E) = {f(x) : x ∈ E}.

Bila H subhimpunan E, maka bayangan invers dari H terhadap f adalah subhim-punan

f-1(H) dari A, yang diberikan oleh

f-1(H) = { x ∈ A : f(x) ∈ H}

Jadi bila diberikan himpunan E ⊆ A, maka titik y1∈ B di bayangan langsung

f(E) jika dan hanya jika terdapat paling tidak sebuah titik x1∈ E sedemikian sehingga y1 = f(x1). Secara sama, bila diberikan H⊆B, titik x2∈A di dalam bayangan invers f -1

(H) jika dan hanya jika y2 = f(x2) di H.

1.2.3. Contoh. (a). Misalkan f : R → R didefinisikan dengan f(x) = x2. Bayangan langsung himpunan E = {x 0 ≤ x ≤ 2} adalah himpunan f(E) = {y 0 ≤ y ≤ 4}. Bila G = {y 0 ≤ y ≤ 4}, maka bayangan invers G adalah himpunan f-1(G) = {x -2 ≤ x ≤ 2}. Jadi f-1(f(E)) ≠ E.

Disatu pihak, kita mempunyai f(f-1(G)) = G. Tetapi bila H = {y -1 ≤ y ≤ 1}, maka kita peroleh f(f-1(H)) = {x 0 ≤ x ≤ 1} ≠ H.

(b). Misalkan f : A → B, dan G,H subhimpunan dari B kita akan tunjukkan bahwa

f-1(G∩H) ⊆f-1(G)∩f-1(H)

Kenyataannya, bila x ∈f-1(G∩H) maka f(x) ∈ G∩H, jadi f(x) ∈ G dan f(x) ∈ H. Hal ini mengakibatkan x ∈f-1(G) dan x ∈f-1(H). Karena itu x ∈f-1(G)∩f-1(H), bukti sele-sai. Sebaliknya, f-1(G∩H) ⊇f-1(G)∩f-1(H) juga benar, yang buktinya ditinggalkan se-bagai latihan.

(11)

Sifat-sifat Fungsi

1.2.4. Definisi. Suatu fungsi f : A → B dikatakan injektif atau satu-satu bila x1≠ x2, mengakibatkan f(x1) ≠f(x2). Bila f satu-satu, kita katakan f suatu injeksi.

Secara ekivalen, f injektif jika dan hanya jika f(x1) = f(x2) mengakibatkan x1 = x2, untuk semua x1,x2 di A.

Sebagai contoh, misalkan A = {x ∈ R x ≠ 1} dan f : A → R dengan f(x) =

x

x 1− . Untuk menunjukkan f injektif, asumsikan x1,x2 di A sehingga f(x1) = f(x2). Maka kita mempunyai

x x 1 x x 1 1 1 2 2 − = −

yang mengakibatkan (mengapa?) bahwa x

x 1 x x 1 1 1 2 2

− = − dan dari sini x1 = x2. Karena itu f injektif.

1.2.5. Definisi. Suatu fungsi f : A → B dikatakan surjektif atau memetakan A pada B, bila f(A) = B. Bila f surjektif, kita sebut f suatu surjeksi.

Secara ekivalen, f : A → B surjektif bila range f adalah semua dari B, yaitu

untuk setiap y ∈ B terdapat x ∈ A sehingga f(x) = y.

Dalam pendefinisian fungsi, penting untuk menentukan domain dan himpunan dimana nilainya diambil. Sekali hal ini ditentukan, maka dapat menanyakan apakah fungsi tersebut surjektif atau tidak.

1.2.6. Definisi. Suatu fungsi f : A → B dikatakan bijektif bila bersifat injektif dan surjektif. Bila f bijektif, kita sebut bijeksi.

Fungsi-fungsi Invers

Bila f suatu fungsi dari A ke B, (karenanya, subhimpunan khusus dari A×B), maka himpunan pasangan berurut di B×A yang diperoleh dengan saling menukar un-sur pertama dan kedua di f secara umum bukanlan fungsi. Tetapi, bila f injektif, maka

(12)

1.2.7. Definisi. Misalkan f : A → B suatu fungsi injektif dengan domain A dan range R(f) di B. Bila g = {(b,a)∈B×A (a,b) ∈f}, maka g fungsi injektif dengan

do-main D(g) = R(f) dan range A. Fungsi G disebut fungsi invers dari f dan dituliskan

dengan f-1.

Dalam penulisan fungsi yang standar, fungsi f-1 berelasi dengan f sebagai

berikut : y = f-1(y) jika dan hanya jika y = f(x).

Sebagai contoh, kita telah melihat bahwa fungsi f(x) = x

x 1− didefinisikan un-tuk x ∈ A = {x x ≠ 1} bersifat injektif. Tidak jelas apakah range dari f semua (atau

hanya sebagian) dari R. Untuk menentukannya kita selesaikan persamaan y = x x 1− dan diperoleh x = y

y 1− . Dengan informasi ini, kita dapat yakin bahwa rangenya R(f) = {y y ≠ 1} dan bahwa fungsi invers dari f mempunyai domain {y y ≠ -1} dan f-1(y) = y

y 1− .

Bila suatu fungsi injektif, maka fungsi inversnya juga injektif. Lebih dari itu, fungsi invers dari f-1 adalah f sendiri. Buktinya ditinggalkan sebagai latihan.

Fungsi Komposisi

Sering terjadi kita ingin mengkomposisikan dua buah fungsi denga mencari

f(x) terlebih dahulu, kemudian menggunakan g untuk memperoleh g(f(x)), tetapi hal

ini hanya mungkin bila f(x) ada di domain g. Jadi kita harus mengasumsikan bahwa

range dari f termuat di domain g.

1.2.8. Definisi. Untuk fungsi f : A → B dan g : B - C, komposisi fungsi gof (perhati-kan urutannya!) adalah fungsi dari A ke C yang didefinisi(perhati-kan dengan gof(x) = g(f(x)) untuk x ∈ A.

1.2.9. Contoh. (a). Urutan komposisi harus benar-benar diperhatikan. Misalkan f dan g fungsi-fungsi yang nilainya di x ∈ R ditentukan oleh

(13)

Karena D(g) = R dan R(f) ⊆ R, maka domain D(gof) adalah juga R, dan fungsi kom-posisi gof ditentukan oleh

gof(x) = 3(2x)2 - 1 = 2x2 - 1

Di lain pihak, domain dari fungsi komposisi gof juga R, tetapi dalam hal ini kita mempunyai fog(x) = 2(3x2 - 1) = 6x2 - 2. Jadi fog gof.

(b). Beberapa perhatian harus dilatih agar yakin bahwa range dari f termuat di domain

dari g. Sebagai contoh, bila f(x) = 1 - x2 dan y = x, maka fungsi komposisi yang diberikan oleh gof(x) = 1 x− 2 didefinisikan hanya pada x di D(f) yang memenuhi

f(x) ≥ 0; yaitu, untuk x memenuhi -1 ≤ x ≤ 1. Bila kita tukar urutannya, maka kom-posisi

fog, diberikan oleh gof(x) = 1 - x, didefinisikan untuk semua x di domain dari g; yaitu himpunan {x ∈ R : x ≥ 0}.

Teorema berikut memperkenalkan hubungan antara komposisi fungsi dan petanya. Sedangkan buktinya ditinggalkan sebagai latihan.

1.2.10. Teorema. Misalkan f : A → B dan g : B → C fungsi dan H suatu sub-himpunan dari C. Maka (fog)-1(H) = g-1 (f-1(H)).

Sering terjadi bahwa komposisi dua buah fungsi mewarisi sifat-sifat fungsi yang didefinisikan. Berikut salah satunya dan buktinya ditinggalkan sebagai latihan.

1.2.11. Teorema. Bila f : A → B dan g : B → C keduanya bersifat injektif, maka komposisi gof juga bersifat injektif.

Barisan

Fungsi dengan N sebagai domain memeainkan aturan yang sangat khusus dalam analisis, yang kita akan perkenalkan berikut ini.

1.2.12. Definisi. Suatu barisan dalam himpunan S adalah suatu fungsi yang

domain-nya himpunan bilangan asli N dan rangedomain-nya termuat di S.

Untuk barisan X : N → S, nilai X di n∈N sering dituliskan dengan xn dari-pada (xn), dan nilainya sering disebut suku ke-n barisan tersebut. Barisan itu sendiri

(14)

toh, barisan di R yang dituliskan dengan ( n n ∈ N) sama artinya dengan fungsi X : N → R dengan X(n) = n.

Penting sekali untuk membedakan antara barisan (xn  n ∈ N) dengan nilainya

{xn  n ∈ N}, yang merupakan subhimpunan dari S. Suku barisan harus dipandang mempunyai urutan yang diinduksi dari urutan bilangan asli, sedangkan range dari ba-risan hanya merupakan subhimpunan dari S. Sebagai contoh, suku-suku dari bari-san ((-1)n  n ∈ N) berganti-ganti antara -1 dan 1, tetapi range dari barisan itu adalah {-1,1}, memuat dua unsur dari R.

Latihan 1.2.

1. Misalkan A = B = {x∈R -1 ≤ x ≤ 1} dan sub himpunan C = {(x,y) x2 + y2 = 1} dari A×B, apakah himpunan ini fungsi ?

2. Misalkan f fungsi pada R yang didefinisikan dengan f(x) = x2, dan E = {x∈R -1 ≤ x ≤ 0} dan F = {x∈R 0 ≤ x ≤ 1}. Tunjukkan bahwa E∩F = {0} dan f(E∩F) = {0}, sementara f(E) = f(F) = {y∈R 0 ≤ y ≤ 1}. Di sini f(E∩F) adalah subhimpunan se-jati dari f(E) f(F). Apa yang terjadi bila 0 dibuang dari E dan F?

3. Bila E dan F seperti latihan no. 2, tentukan E\F dan f(E)\f(F) dan tunjukkan bahwa f(E\F) f(E)\f(F) salah.

4. Tunjukkan bahwa bila f : A→B dan E,F sub himpunan dari A, maka f(E∪F) = f(E) f(F) dan f(E ∩ F) ≤f(E) f(F)

5. Tunjukkan bahwa bila f : A→B dan G,H sub himpunan dari B, maka f-1(G∪H) = f-1(G) ∪f-1(H) dan f-1(G ∩ H) ≤f-1(G) ∩f-1(H) 6. Misalkan f didefinisikan dengan f(x) = x

x2+1

, x ∈R. Tunjukkan bahwa f bijektif

dari R pada {y : -1 ≤ y ≤ 1}..

7. Untuk a,b ∈R dengan a < b, tentukan bijeksi dari A = {x a < x < b} pada B = {y

(15)

8. Tunjukkan bahwa bila f : A→B bersifat injektif dan E ⊆ A, maka f-1(f(E)). Berikan

suatu contoh untuk menunjukkan kesamaan tidak dipenuhi bila f tidak injektif.

9. Tunjukkan bahwa bila f : A→B bersifat surjektif dan H ⊆ B, maka f(f-1(H)). Beri-kan suatu contoh untuk menunjukBeri-kan kesamaan tidak dipenuhi bila f tidak

surjek-tif.

10.Buktikan bahwa bila f injeksi dari A ke B, maka f-1 = {(b,a) (a,b)∈f} suatu fungsi

dengan domain R(f). Kemudian buktikan bahwa f-1 injektif dan f invers dari f-1. 11.Misalkan f bersifat injektif. Tunjukkan bahwa f-1of(x) = x, untuk semua x ∈ D(f)

dan fof-1(y) = y untuk semua y ∈ R(f).

12. Berikan contoh dua buah fungsi f,g dari R pada R sehingga f g, tetapi fog = gof 13. Buktikan teorema 1.2.10.

14. Buktikan teorema 1.2.11.

15. Misalkan f,g fungsi dan gof(x) = x untuk semua x di D(f). Tunjukkan bahwa f in-jektif dan R(f) ⊆ D(f) dan R(g) ⊇ D(g).

16. Misalkan f,g fungsi dan gof(x) = x untuk semua x di D(f) dan fog(y) untuk semua y di D(g). Buktikan bahwa g = f-1..

1.3. Induksi Matematika

Induksi matematika merupakan metode pembuktian penting yang akan sering digunakan dalam buku ini. Metode ini digunakan untuk menguji kebenaran suatu pernyataan yang diberikan dalam suku-suku bilangan asli. Walau kegunaannya terba-tas pada masalah tertentu, tetapi induksi matematika sangat diperlukan disemua ca-bang matematika. Karena banyak bukti induksi mengikuti urutan formal argumen yang sama, kita akan sering menyebutkan “hasilnya mengikuti induksi matematika” dan meninggalkan bukti lengkapnya kepada pembaca. Dalam bagian ini kita memba-has prinsip induksi matematika dan memberi beberapa contoh untuk mengilustrasikan bagaimana proses bukti induksi.

Kita akan mengasumsikan kebiasaan (pembaca) dengan himpunan bilangan asli

(16)

dengan operasi aritmetika penjumlahan dan perkalian seperti biasa dan dengan arti suatu bilangan kurang dari bilangan lain. Kita juga akan mengasumsikan sifat funda-men-

tal dari N berikut.

1.3.1. Sifat urutan dengan baik dari N. Setiap subhimpunan tak kosong dari N mem-punyai unsur terkecil.

Pernyataan yang lebih detail dari sifat ini sebagai berikut : bila S subhimpunan dari N dan S ≠∅, maka terdapat suatu unsur m ∈ S sedemikian sehingga m ≤ k untuk semua k ∈ S.

Dengan berdasar sifat urutan dengan baik, kita akan menurunkan suatu versi prinsip induksi matematika yang dinyatakan dalam suku-suku subhimpunan dari N. Sifat yang dideskripsikan dalam versi ini kadang-kadang mengikuti turunan sifat N.

1.3.2. Prinsip Induksi Matematika. Misalkan S sub himpunan dari N yang mempu-nyai sifat

(i).1 ∈ S

(ii).jika k ∈ S., maka k + 1 ∈ S. maka S = N.

Bukti :

Andaikan S ≠ N. Maka N\S tidak kosong, karenanya berdasar sifat urutan dengan baik N\S mempunyai unsur terkecil, sebut m. Karena 1 ∈ S, maka m ≠ 1. Karena itu m > 1 dengan m - 1 juga bilangan asli. Karena m - 1 < m dan m unsur terkecil di N\S, maka m - 1 haruslah di S.

Sekarang kita gunakan hipotesis (2) terhadap unsur k = m - 1 di S, yang berakibat k + 1 = (m - 1) + 1 = m di S. Kesimpulan ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa m tidak di S. Karena m diperoleh dengan pengandaian bahwa N\S tidak kos-ong, kita dipaksa pada kesimpulan bahwa N\S kosong. Karena itu kita telah buktikan bahwa S = N.

Prinsip induksi matematika sering dinyatakan dalam kerangka sifat atau per-nyataan tentang bilangan asli. Bila P(n) berarti perper-nyataan tentang n ∈ N, maka P(n)

(17)

benar untuk beberapa nilai n, tetapi tidak untuk yang lain. Sebagai contoh, bila P(n) pernyataan “ n2 = n”, maka P(1) benar, sementara P(n) salah untuk semua n ≠ 1, n∈N. Dalam konteks ini prinsip induksi matematika dapat dirumuskan sebagai beri-kut :

Untuk setiap n ∈ N, misalkan P(n) pernyataan tentang n. Misalkan bahwa (a). P(1) benar

(b). Jika P(k) benar, maka P(k + 1) benar. Maka P(n) benar untuk semua n ∈ N.

Dalam kaitannya dengan versi induksi matematika terdahulu yang diberikan pada 1.3.2, dibuat dengan memisalkan S = { n ∈ N P(n) benar}. Maka kondisi (1) dan (2) pada 1.3.2 berturut-turut tepat bersesuaian dengan (a) dan (b). Kesimpulan S = N pada 1.3.2. bersesuaian dengan kesimpulan bahwa P(n) benar untuk semua n ∈ N.

Dalam (b) asumsi “jika P(k) benar” disebut hipotesis induksi. Di sini, kita ti-dak memandang pada benar atau salahnya P(k), tetap hanya pada validitas implikasi “jika P(k) benar, maka P(k+1) benar”. Sebagai contoh, bila kita perhatikan pernyataan P(n) : n = n + 5, maka (b) benar. Implikasinya “bila k = k + 5, maka k + 1 = k + 6” juga benar, karena hanya menambahkan 1 pada kedua ruas. Tetapi, karena pernyataan P(1) : 1 = 2 salah, kita tidak mungkin menggunakan induksi matematika untuk meny-impulkan bahwa n = n + 5 untuk semua n ∈ N.

Contoh-contoh berikut mengilustrasikan bagaimana prinsip induksi mate-matika bekerja sebagai metode pembuktian pernyataan tentang bilangan asli.

1.3.3. Contoh. (a). Untuk setiap n ∈ N, jumlah n pertama bilangan asli diberikan oleh 1 + 2 + ... + n = 1

2 n (n + 1).

Untuk membuktikan kesamaan ini, kita misalkan S himpunan n ∈ N, sehingga ke-samaan tersebut benar. Kita harus membuktikan kondisi (1) dan (2) pada 1.3.2. dipe-nuhi.

Bila n = 1, maka kita mempunyai 1 = 1

2 .1(1 + 1), jadi 1 ∈ S dan dengan asumsi ini

(18)

Bila kita tambahkan k+1 pada kedua ruas, kita peroleh 1+2+...+k+(k+1) = 1

2 k(k+1) + (k+1)

= 1

2 (k+1) (k+2)

Karena ini menyatakan kesamaan di atas untuk n = k + 1, kita simpulkan bahwa k + 1

∈ S. Dari sini kondisi (2) pada 1.3.2. dipenuhi. Karena itu dengan prinsip induksi matematika, kita simpulkan bahwa S = N dan kesamaan (*) benar untuk semua n ∈ N.

(b). Untuk masing-masing n ∈N, jumlah kuadrat dari n pertama bilangan asli diberi-kan oleh

12+22+...+n2 = 1

6n(n+1)(2n+1)

Untuk membuktikan kebenaran formula ini, pertama kita catat bahwa formula ini benar untuk n = 1, karena 12 = 1

6.1 (1+1)(2+1). Bila kita asumsikan formula ini benar

untuk k, maka dengan menambahkan (k+1)2 pada kedua ruas, memberikan hasil 12+22+...+k2 + (k+1)2 = 1 6k(k+1)(2k+1) + (k+1) 2 = 1 6(k+1)(2k 2 +k+6k+6) = 1 6(k+1)(k+2)(2k+3)

Mengikuti induksi matematika, validitas formula di atas berlaku untuk semua n ∈ N. (c). Diberikan bilangan a,b, kita akan buktikan bahwa a - b faktor dari an - bn untuk semua n ∈ N. Pertama kita lihat bahwa pernyataan ini benar untuk n = 1. Bila sekarang kita asumsikan bahwa a - b adalah faktor dari ak - bk, maka kita tuliskan

ak+1 - bk+1 = ak+1 - abk + abk - bk+1 = a(ak - bk) + bk(a - b).

Sekarang berdasarkan hipotesis induksi a-b merupakan faktor dari a(ak-bk). Disamp-ing itu a-b juga faktor dari bk(a - b). Dari sini a-b adalah dari ak+1 - bk+1. Dengan in-duksi matematika kita simpulkan bahwa a-b adalah faktor dari an - bn untuk semua n∈N.

(19)

(d). Ketaksamaan 2n ≤ (n+1)!. Dapat dibuktikan dengan induksi matematika sebagai berikut. Pertama kita peroleh bahwa hal ini benar untuk n = 1. Kemudian kita asumsi-kan bahwa 2k≤ (k+1).Dan dengan menggunakan fakta bahwa 2 ≤ (k+2), diperoleh

2k+1 = 2.2k≤ 2(k+1)! ≤ (k+2)(k+1)! = (k+2)!

Jadi, bila ketaksamaan tersebut berlaku untuk k, maka berlaku pula untuk k+1. Karenanya dengan induksi matematika, ketaksamaan tersebut benar untuk semua n ∈ N.

(e). Bila r ∈ R, r ≠ 1 dan n ∈ N, maka 1 + r + r2 + ... + rn = 1 r 1 r n 1 − − +

Ini merupakan jumlah n suku deret geometri, yang dapat dibuktikan dengan induksi matematika sebagai berikut. Bila n = 1, kitya mempunyai 1 + r = 1 r

1 r

− −

2

, jadi formula tersebut benar. Bila kita asumsikan formula tersebut benar untuk n = k dan tambahkan rk+1 pada kedua ruas, maka kita peroleh

1+r+ ... +rk+ rk+1 = 1 r 1 r k 1 − − + + rk+1 = 1 r 1 r k 2 − − +

yang merupakan formula kita untuk n = k + 1. Mengikuti prinsip induksi matematika, maka formula tersebut benar untuk semua n ∈ N.

Hal ini dapat dibuktikan tanpa menggunakan prinsip induksi matematika. Bila kita misalkan Sn = 1+r+...+rn, maka rSn = r+r2+...+rn+1

Jadi

(1-r)Sn = Sn-rSn = 1-rn+1

Bila kita selesaikan untuk Sn, kita peroleh formula yang sama.

(f). Penggunaan prinsip induksi matematika secara ceroboh dapat menghasilkan ke-simpulan yang slah. Pembaca diharap mencari kesalahan pada “bukti teorema” beri-kut.

(20)

Bila n sebarang bilangan asli dan bila maksimum dari dua bilangan asli p dan q adalah n, maka p = q. (Akibatnya bila p dan q dua bilangan asli sebarang, maka p = q).

Bukti :

Misalkan S subhimpunan bilangan asli sehingga pernyataan tersebut benar. Maka 1 ∈ S, karena bila p,q di N dan maksimumnya 1, maka maksimum dari p-1 dan q-1 adalah k. Karenanya p-1 = q-1, karena k ∈ S, dan dari sini kita simpulkan bahwa p = q. Jadi, k + 1 ∈ S dan kita simpulkan bahwa pernyataan tersebut benar untuk semua n ∈ N.

(g). Beberapa pernyataan yang benar untuk beberapa bilangan asli, tetapi tidak untuk semua. Sebagai contoh formula P(n) = n2 - n + 41 memberikan bilangan prima untuk n =1,2,3,...41. Tetapi, P(41) bukan bilangan prima.

Terdapat versi lain dari prinsip induksi matematika yang kadang-kadang san-gat berguna. Sering disebut prinsip induksi kuat, walaupun sebenarnya ekivalen den-gan versi terdahulu. Kita akan tinggalkan pada pembaca untuk menunjukkan ekiva-lensinya dari kedua prinsip ini.

1.3.4. Prinsip Induksi kuat. Misalkan S subhimpunan N sedemikian sehinga 1∈S, dan bila {1,2,...,k}⊆ S maka k + 1 ∈ S. Maka S = N.

Latihan 1.3

Buktikan bahwa yang berikut berlaku benar untuk semua n ∈ N, 1. 1 1.2 1 2.3 ... 1 n(n 1) n n 1 + + + + = + 2. 13 + 23 + ... + n3 = [1 2 n(n+1)] 2 3. 12-22+32-...+(-1)n+1n(n+1)/2 4. n3 + 5n dapat dibagi dengan 6 5. 52n - 1 dapat dibagi dengan 8 6. 5n - 4n - 1 habis dibagi 16.

7. Buktikan bahwa jumlah pangkat tiga dari bilangan asli yang berturutan n, n+1, n + 2 habis dibagi 9

(21)

8. Buktikan bahwa n < 2n untuk semua n ∈ N 9. Tentukan suatu formula untuk jumlah

(

)

1 1.3 1 3.5 ... 1 2n 1 (2n 1) + + + − +

dan buktikan dugaan tersebut dengan mengunakan induksi matematika. (Dugaan terhadap pernyataan matematika, sebelum dibuktikan sering disebut “Conjecture”).

10.Tentukan suatu formula untuk jumlah n bilangan ganjil yang pertama 1 + 3 + ... + (2n - 1)

kemudian buktikan dugaan tersebut dengan menggunakan induksi matematika. 11. Buktikan variasi dari 1.3.2. berikut : Misalkan S sub himpunan tak kosong dari N

sedemikian sehingga untuk suatu n0 ∈ N berlaku (a). n0 ∈ S, dan (b) bila k ≥ n0 dan k ∈ S, maka k + 1 ∈ S. Maka S memuat himpunan { n ∈ N n ≥ n0}.

12. Buktikan bahwa 2n < n! untuk semua n ≥ 4, n ∈ N. (lihat latihan 11). 13. Buktikan bahwa 2n - 3 ≤ 2n-2 untuk semua n ≥ 5, n ∈ N. (lihat latihan 11).

14. Untuk bilangan asli yang mana n2 < 2n ? Buktikan pernyataanmu (lihat latihan 11). 15. Buktikan bahwa 1 1 1 2 ... 1 n n + + + > untuk semua n ∈ N.

16. Misalkan S sub himpunan dari N sedemikian sehingga (a). 2k ∈ S untuk semua k

∈ N, dan (b). bila k ∈ S, dan k ≥ 2, maka k - 1 ∈ S. Buktikan S = N.

17. Misalkan barisan (xn) didefinisikan sebagai berikut : x1 = 1, x2 = 2 dan xn+2 =

1

2 (xn+1 + xn) untuk n∈N. Gunakan prinsip induksi kuat 1.3.4 untuk menunjukkan

(22)

BILANGAN REAL

Dalam bab ini kita akan membahas sifat-sifat esensial dari sistem bilangan real R. Walaupun dimungkinkan untuk memberikan konstruksi formal dengan di-dasarkan pada himpunan yang lebih primitif (seperti himpunan bilangan asli N atau himpunan bilangan rasional Q), namun tidak kita lakukan. Akan tetapi, kita perkenal-kan sejumlah sifat fundamental yang berhubungan dengan bilangan real dan menun-jukkan bagaimana sifat-sifat yang lain dapat diturunkan darinya. Hal ini lebih berman-faat dari pada menggunakan logika yang sulit untuk mengkonstruksi suatu model un-tuk R dalam belajar analisis.

Sistem bilangan real dapat dideskripsikan sebagai suatu “medan/lapangan lengkap yang terurut”, dan kita akan membahasnya secara detail. Demi kejelasan, kita tidak akan membahas sifat-sifat R dalam suatu bagian, tetapi kita lebih berkonsentrasi pada beberapa aspek berbeda dalam bagian-bagian yang terpisah. Pertama kita perke-nalkan, dalam bagian 2.1, sifat aljabar (sering disebut sifat medan) yang didasarkan pada ope-rasi penjumlahan dan perkalian. Berikutnya kita perkenalkan, dalam bagian 2.2 sifat urutan dari R, dan menurunkan beberapa konsekuensinya yang berkaitan dengan ketaksamaan, dan memberi ilustrasi penggunaan sifat-sifat ini. Gagasan ten-tang nilai mutlak, yang mana didasarkan pada sifat urutan, dibahas secara singkat pada bagian 2.3.

Dalam bagian 2.4, kita membuat langkah akhir dengan menambah sifat “kelengkapan” yang sangat penting pada sifat aljabar dan urutan dari R. Kemudian kita menggunakan sifat kelengkapan R dalam bagian 2.5 untuk menurunkan hasil fundamental yang berkaitan dengan R, termasuk sifat archimedes, eksistensi akar (pangkat dua), dan densitas (kerapatan) bilangan rasional di R.

BAB

2

(23)

2.1 Sifat Aljabar

R

Dalam bagian ini kita akan membahas “struktur aljabar” sistem bilangan real.

Pertama akan diberikan daftar sifat penjumlahan dan perkaliannya. Daftar ini men-dasari semua untuk mewujudkan sifat dasar aljabar R dalam arti sifat-sifat yang lain dapat dibuktikan sebagai teorema. Dalam aljabar abstrak sistem bilangan real meru-pakan lapangan/medan terhadap penjumlahan dan perkalian. Sifat-sifat yang akan disajikan pada 2.1.1 berikut dikenal dengan “Aksioma medan”.

Yang dimaksud operasi biner pada himpunan F adalah suatu fungsi B dengan

domain F×F dan range di F. Jadi, operasi biner memasangkan setiap pasangan berurut (a,b) dari unsur-unsur di F dengan tepat sebuah unsur B(a,b) di F. Tetapi, disamping

menggunakan notasi B(a,b), kita akan lebih sering menggunakan notasi konvensional a+b dan a.b (atau hanya ab) untuk membicarakan sifat penjumlahan dan perkalian.

Contoh operasi biner yang lain dapat dilihat pada latihan.

2.1.1. Sifat-sifat aljabar R. Pada himpunan bilangan real R terdapat dua operasi biner, dituliskan dengan “+” dan “....” dan secara berturut-turut disebut penjumlahan dan perkalian. Kedua operasi ini memenuhi sifat-sifat berikut :

(A1). a + b = b + a untuk semua a,b di R (sifat komutatif penjumlahan);

(A2). (a + b) + c = a + (b + c) untuk semua a,b,c di R (sifat assosiatif penjumlahan); (A3) terdapat unsur 0 di R sehingga 0 + a = a dan a + 0 = a untuk semua a di R

(ek-sistensi unsur nol);

(A4). untuk setiap a di R terdapat unsur -a di R, sehingga a + (-a) = 0 dan (-a) + a = 0 (eksistensi negatif dari unsur);

(M1). a.b = b.a untuk semua a,b di R (sifat komutatif perkalian);

(M2). (a.b) . c = a . (b.c) untuk semua a,b,c di R (sifat asosiatif perkalian);

(M3). terdapat unsur 1 di R yang berbeda dari 0, sehingga 1.a = a dan a.1 = a untuk semua a di R (eksistensi unsur satuan);

(M4). untuk setiap a 0 di R terdapat unsur 1/a di R sehingga a.1/a = 1 dan (1/a).a = 1 (eksistensi balikan);

(24)

(D). a . (b+c) = (a.b) + (a.c) dan (b+c) . a = (b.a) + (c.a) untuk semua a,b,c di R (si-fat distributif perkalian terhadap penjumlahan);

Pembaca perlu terbiasa dengan sifat-sifat di atas. Dengan demikian akan me-mudahkan dalam penurunan dengan menggunakan teknik dan manipulasi aljabar. Berikut kita akan dibuktikan beberapa konsekuensi dasar (tetapi penting).

2.1.2 Teorema. (a). Bila z dan a unsur di R sehingga z + a = a, maka z = 0.

(b). Bila u dan b ≠ 0 unsur R sehingga u.b = b, maka u = 1. Bukti :

(a). Dari hipotesis kita mempunyai z + a = a. Kita tambahkan unsur -a (yang

eksis-tensinya dijamin pada (A4)) pada kedua ruas dan diperoleh (z + a) + (-a) = a + (-a)

Bila kita berturut-turut menggunakan (A2), (A4) dan (A3) pada ruas kiri, kita peroleh

(z + a) + (-a) = z + (a + (-a)) = z + 0 = z;

bila kita menggunakan (A4) pada ruas kanan

a + (-a) = 0.

Dari sini kita simpulkan bahwa z = 0.

Bukti (b) ditinggalkan sebagai latihan. Perlu dicatat bahwa hipotesis b ≠ 0 sangat penting.

Selanjutnya kita akan tunjukkan bahwa bila diberikan a di R, maka unsur -a

dan 1/a (bila a ≠ 0) ditentukan secara tunggal.

2.1.3 Teorema. (a). Bila a dan b unsur di R sehinga a + b = 0, maka b = -a.

(b). Bila a ≠ 0 dan b unsur di R sehingga a.b = 1, maka b = 1/a. Bukti :

(a). Bila a + b = 0, maka kita tambahkan -a pada kedua ruas dan diperoleh

(-a) + (a + b) = (-a) + 0.

Bila kita berturut-turut menggunakan (A2), (A4) dan (A3) pada ruas kiri, kita peroleh (-a) + (a + b) = ((-a) + a) + b = 0 + b = b;

(25)

(-a) + 0 = -a.

Dari sini kita simpulkan bahwa b = -a.

Bukti (b) ditinggalkan sebagai latihan. Perlu dicatat bahwa hipotesis b ≠ 0 sangat penting.

Bila kita perhatikan sifat di atas untuk menyelesaikan persamaan, kita peroleh bahwa (A4) dan (M4) memungkinkan kita untuk menyelesaikan persamaan a + x = 0 dan a . x = 1 (bila a ≠ 0) untuk x, dan teorema 2.1.3 mengakibatkan bahwa solusinya tunggal. Teorema berikut menunjukkan bahwa ruas kanan dari persamaan ini dapat sebarang unsur di R.

2.1.4 Teorema. Misalkan a,b sebarang unsur di R. Maka :

(a). persamaan a + x = b mempunyai solusi tunggal x = (-a) + b;

(b). bila a ≠ 0, persamaan a . x = b mempunyai solusi tunggal x = (1/a) . b. Bukti :

Dengan menggunakan (A2), (A4) dan (A3), kita peroleh

a + ((-a) + b) = (a + (-a)) + b = 0 + b = b,

yang mengakibatkan x = (-a) + b merupakan solusi dari persamaan a + x = b. Untuk

menunjukkan bahwa ini merupakan satu-satunya solusi, andaikan x1 sebarang solusi dari persamaan tersebut, maka a + x1 = b, dan bila kita tambahkan kedua ruas dengan -a, kita peroleh

(-a) + (a + x1) = (-a) + b.

Bila sekarang kita gunakan (A2), (A4) dan (A3) pada ruas kiri, kita peroleh (-a) + (a + x1) = (-a + a) + x1 = 0 + x1 = x1.

Dari sini kita simpulkan bahwa x1 = (-a) + b. Bukti (b) ditinggalkan sebagai latihan.

Sejauh ini, ketiga teorema yang telah dikenalkan kita hanya memperhatikan penjumlahan dan perkalian secara terpisah. Untuk melihat keterpaduan antara kedua-nya, kita harus melibatkan sifat distributif (D). Hal ini diilustrasikan dalam teorema berikut.

(26)

(a). a . 0 = 0 (b). (-1) . a = -a

(c). -(-a) = a (d). (-1) . (-1) = 1

Bukti :

(a). Dari (M3) kita ketahui bahwa a . 1 = a. Maka dengan menambahkan a . 0 dan mengunakan (D) dan (A3) kita peroleh

a + a . 0 = a . 1 + a . 0

= a. (1 + 0) = a . 1 = a.

Jadi, dengan teorema 2.1.2(a) kita peroleh bahwa a . 0 = 0.

(b). Kita gunakan (D), digabung dengan (M3), (A4) dan bagian (a), untuk memperoleh

a + (-1) . a = 1 . a + (-1) . a = 0 . a = 0

Jadi, dari teorema 2.1.3(a) kita peroleh (-1) . a = - a.

(c). Dengan (A4) kita mempunyai (-a) + a = 0. Jadi dari teorema 2.1.3 (a) diperoleh bahwa a = - (-a).

(d). Dalam bagian (b) substitusikan a = -1. Maka

(-1) . (-1) = -(-1).

Dari sini, kita menggunakan (c) dengan a = 1.

Kita simpulkan deduksi formal kita dari sifat medan (bilangan real) dengan menutupnya dengan hasil-hasil berikut.

2.1.6 Teorema. Misalkan a,b,c unsur-unsur di R. (a). Bila a ≠ 0, maka 1/a ≠ 0 dan 1/(1/a) = a

(b). Bila a . b = a . c dan a ≠ 0, maka b = c

(c). Bila a . b = 0, maka paling tidak satu dari a = 0 atau b = 0 benar. Bukti :

(a). Bila a ≠ 0, maka terdapat 1/a. Andaikan 1/a = 0, maka 1 = a . (1/a) = a . 0 = 0,

kontradiksi dengan (M3). Jadi 1/a ≠ 0 dan karena (1/a) . a = 1, Teorema 2.1.3(b) men-gakibatkan 1/(1/a) = a.

(b). Bila kita kalikan kedua ruas persamaan a . b = a . c dengan 1/a dan menggunakan

sifat asosiatif (M2), kita peroleh

(27)

Jadi 1 . b = 1 . c yang berarti juga b = c

(c). Hal ini cukup dengan mengasumsikan a ≠ 0 dan memperoleh b = 0. (Mengapa?)

Karena a . b = 0 = a . 0, kita gunakan bagian (b) terhadap persamaan a . b = a . 0

yang menghasilkan b = 0, bila a ≠ 0.

Teorema-teorema di atas mewakili sebagian kecil tetapi penting dari sifat-sifat aljabar bilangan real. Banyak konsekuensi tambahan sifat medan R dapat diturunkan dan beberapa diberikan dalam latihan.

Operasi pengurangan didefinisikan dengan a - b = a + (-b) untuk a,b di R. Se-cara sama operasi pembagian didefinisikan untuk a,b di R, b ≠ 0 dengan a/b = a.(1/b).

Berikutnya, kita akan menggunakan notasi ini untuk pengurangan dan pembagian. Secara sama, sejak sekarang kita akan tinggalkan titik untuk perkalian dan menulis-kan ab untuk a.b. Sebagaimana biasa kita akan menuliskan a2 untuk aa, a3 untuk (a2)a; secara umum, untuk n∈N, kita definisikan an+1 = (an)a. Kita juga menyetujui

penulisan a0 = 1dan a1 = a untuk sebarang a di R (a ≠ 0). Kita tinggalkan ini sebagai latihan bagi pembaca untuk membuktikan (dengan induksi) bahwa bila a di R, maka

am+n = aman

untuk semua m,n di N. Bila a ≠ 0, kita akan gunakan notasi a-1 untuk 1/a, dan bila

n∈N, kita tuliskan a-n untuk (1/a)n, bila memang hal ini memudahkan.

Bilangan Rasional dan Irasional

Kita anggap himpunan bilangan asli sebagai subhimpunan dari R, dengan mengidentifikasi bilangan asli n∈N sebagai penjumlahan n-kali unsur satuan 1∈R. Secara sama, kita identifikasi 0∈Z dengan unsur nol di R, dan penjumlahan n-kali unsur -1 sebagai bilangan bulat -n. Akibatnya, N dan Z subhimpunan dari R.

Unsur-unsur di R yang dapat dituliskan dalam bentuk b/a dengan a,b di Z dan

a ≠ 0 disebut bilangan rasional. Himpunan bilangan rasional di R akan dituliskan de-ngan notasi standar Q. Jumlah dan hasil kali dua bilade-ngan rasional merupakan bilan-gan rasional (Buktikan!), dan lebih dari itu, sifat-sifat medan yang dituliskan di awal bagian

(28)

ini dapat ditunjukkan dipenuhi oleh Q.

Fakta bahwa terdapat unsur di R yang tidak di Q tidak begitu saja dikenali. Pa-

da abad keenam sebelum masehi komunitas Yunani kuno pada masa Pytagoras me-nemukan bahwa diagonal dari bujur sangkar satuan tidak dapat dinyatakan sebagai pembagian bilangan bulat. Menurut Teorema Phytagoras tentang segitiga siku-siku, ini mengakibatkan tidak ada bilangan rasional yang kuadratnya dua. Penemuan ini mempunyai sumbangan besar pada perkembangan matematika Yunani. Salah satu konsekuensinya adalah unsur-unsur R yang bukan unsur Q merupakan bilangan yang dikenal dengan bilangan irrasional, yang berarti bilangan-bilangan itu bukan rasio (= hasil bagi dua buah) bilangan rasional. Jangan dikacaukan dengan arti tak rasional.

Kita akan tutup bagian ini dengan suatu bukti dari fakta bahwa tidak ada bi-lang-an rasional yang kuadratnya 2. Dalam pembuktiannya kita akan menggunakan gagasan bilangan genap dan bilangan ganjil. Kita ingat kembali bahwa bilangan genap mempu-nyai bentuk 2n untuk suatu n di N, dan bilangan ganjil mempunyai bentuk 2n - 1 untuk suatu n di N. Setiap bilangan asli bersifat ganjil atau genap, dan tidak pernah bersifat keduanya.

2.1.7 Teorema. Tidak ada bilangan rasional r, sehingga r2 = 2

Bukti :

Andaikan terdapat bilangan rasional yang kuadratnya 2. Maka terdapat bilan-gan bulat p dan q sehingga (p/q)2 = 2. Asumsikan bahwa p,q positif dan tidak

mem-punyai faktor persekutuan lain kecuali 1. (Mengapa?) Karena p2 = 2q2, kita peroleh bahwa p2 genap. Ini mengakibatkan bahwa p juga genap (karena bila p = 2n - 1ganjil,

maka kuadratnya, p2 = 4n2 - 4n + 1 = 2(2n2 - 2n +1) - 1 juga ganjil). Akibatnya, teo-rema 2 bukan faktor persekutuan dari p dan q maka haruslah q ganjil.

Karena p genap, maka p = 2m untuk suatu m N, dan dari sini 4m2 = 2q2, jadi 2m2 = q2. Akibatnya q2 genap, yang diikuti q juga genap, dengan alasan seperti pada

(29)

Dari sini kita sampai pada kontradiksi bahwa tidak ada bilangan asli yang ber-sifat genap dan ganjil.

Latihan 2.1

Untuk nomor 1 dan 2, buktikan bagian b dari teorema 1. 2.1.2

2. 2.1.3.

3. Selesaikan persamaan berikut dan sebutkan sifat atau teorema mana yang anda gunakan pada setiap langkahnya.

(a). 2x + 5 = 8; (b). 2x + 6 = 3x + 2; (c). x2 = 2x; (d). (x - 1) (x + 2) = 0. 4. Buktikan bahwa bila a,b di R, maka

-(a + b) = (-a) + (-b) (b). (-a).(-b) = a.b

(-a) = -(1/a) bila a ≠ 0 (d). -(a/b) = (-a)/b bila b ≠ 0

5. Bila a,b di R dan memenuhi a.a = a, buktikan bahwa a = 0 atau a = 1

6. Bila a ≠ 0 dan b ≠ 0, tunjukkan bahwa 1/(ab) = (1/a).(1/b)

7. Gunakan argumentasi pada bukti teorema 2.1.7 untuk membuktikan bahwa tidak ada bilangan rasional s, sehingga s2 = 6.

8. Modifikasi argumentasi pada bukti teorema 2.1.7 untuk membuktikan bahwa ti-dak ada bilangan rasional t, sehingga t2 = 3.

9. Tunjukkan bahwa bila ξ di R irasional dan r ≠ 0 rasional, maka r + ξ dan rξ ira-sional.

10. Misalkan B operasi biner pada R. Kita katakan B : (i). komutatif bila B(a,b) = B(b,a) untuk semua a,b di R.

(ii). asosiatif bila B(a,B(a,c)) = B(B(a,b),c) untuk semua a,b,c di R.

(iii). mempunyai unsur identitas bila terdapat unsur e di R sehingga B(a,e) = a =

B(e,a), untuk semua a di R

Tentukan sifat-sifat mana yang dipenuhi operasi di bawah ini (a). B1(a,b) = 12 (a + b) (b). B2(a,b) =

1 2(ab)

(30)

11. Suatu operasi biner B pada R dikatakan distributif terhadap penjumlahan bila me-menuhi B(a,b + c) = B(a,b) + B(a,c) untuk semua a,b,c di R. Yang mana (bila ada) dari operasi nomor 12 yang bersifat distributif terhadap penjumlahan?.

12. Gunakan induksi matematika untuk menunjukan bahwa bila a di R dan m,n di N, maka am+n = aman dan (am)n = am.n

.

13. Buktikan bahwa bilangan asli tidak dapat bersifat genap dan ganjil secara ber-samaan.

2.2. Sifat Urutan Dalam

R

Sifat urutan R mengikuti gagasan positivitas dan ketaksamaan antara dua bi-lang-an real. Seperti halnya pada struktur aljabar sistem bilangan real, di sini kita utamakan beberapa sifat dasar sehingga sifat yang lain dapat diturunkan. Cara paling sederhana yaitu dengan mengidentifikasi sub himpunan tertentu dari R dengan meng-gunakan gagasan “positivitas”.

2.2.1 Sifat Urutan dari R. Terdapat sub himpunan tak kosong P dari R, yang disebut himpunan bilangan real positif, yang memenuhi sifat-sifat berikut :

(i). Bila a,b di P, maka a + b di P

(ii). Bila a,b di P, maka a.b di P

(iii). Bila a di R, maka tepat satu dari yang berikut dipenuhi

a ∈ P, a = 0, -a ∈ P

Dua sifat yang pertama kesesuaian urutan dengan operasi penjumlahan dan perkalian. Kondisi (iii) biasa disebut “Sifat Trikotomi”, karena hal ini membagi R menjadi tiga daripada unsur yang berbeda. Hal ini menyatakan bahwa himpunan {-a  a ∈ P} bilangan real negatif tidak mempunyai unsur sekutu di P, dan lebih dari itu, R gabungan tiga himpunan yang saling lepas.

2.2.2 Definisi. Bila a∈P, kita katakan a bilangan real positif (atau positif kuat) dan

kita tulis a > 0. Bila a∈P∪{0} kita katakan a bilangan real tak negatif dan ditulis a

(31)

Bila -a∈P, kita katakan a bilangan real negatif (atau negatif kuat) dan kita tulis

a < 0. Bila -a∈P∪{0} kita katakan a bilangan real tak positif dan ditulis a ≤ 0. Sekarang kita perkenalkan gagasan tentang ketaksamaan antara unsur-unsur R dalam himpunan bilangan positif P.

2.2.3 Definisi. Misalkan a,b di R.

(i). Bila a - b ∈ P, maka kita tulis a > b atau b < a.

(ii). Bila a - b ∈ P∪{0} maka kita tulis a b.atau b a.

Untuk kemudahan penulisan, kita akan menggunakan a < b < c, bila a < b dan b < c dipenuhi. Secara sama, bila a b dan b c benar, kita akan menuliskannya

de-ngan

a b c

Juga, bila a b dan b < d benar, dituliskan dengan a b < d

dan seterusnya.

Sifat Urutan

Sekarang akan kita perkenalkan beberapa sifat dasar relasi urutan pada R. Ini merupakan aturan ketaksamaan yang biasa kita kenal dan akan sering kita gunakan pada pembahasan selanjutnya.

2.2.4 Teorema. Misalkan a,b,c di R. (a). Bila a > b dan b > c, maka a > c

(b). Tepat satu yang berikut benar : a > b, a = b dan a < b

(c). Bila a b dan b a, maka a = b Bukti :

(a). . Bila a - b ∈ P dan b - c ∈ P, maka 2.2.1(i) mengakibatkan bahwa (a - b) + (b - c) = a - c unsur di P. Dari sini a > c.

(b). . Dengan sifat trikotomi 2.2.1(iii), tepat satu dari yang berikut benar : a - b ∈ P, a

(32)

(c). . Bila a b, maka a - b ≠ 0, jadi menurut bagian (b) kita hanya mempunyai a - b ∈ P atau b - a ∈ P., yaitu a > b atau b > a. Yang masing-masing kontradiksi

den-gan satu dari hipotesis kita. Karena itu a = b.

Adalah hal yang wajar bila kita berharap bilangan asli merupakan bilangan positif. Kita akan tunjukkan bagaimana sifat ini diturunkan dari sifat dasar yang diberikan dalam 2.2.1. Kuncinya adalah bahwa kuadrat dari bilangan real tak nol posi-tif.

2.2.5 Teorema. (a). Bila a∈R dan a ≠ 0, maka a2 > 0 (b). 1 > 0

(c). Bila n∈N, maka n > 0 Bukti :

(a). Dengan sifat trikotomi bila a ≠ 0, maka a ∈ P atau -a ∈ P. Bila a ∈ P., maka de-ngan 2.2.1(ii), kita mempunyai a2 = a.a ∈ P. Secara sama bila -a ∈ P, maka 2.2.1 (ii), kita mempunyai (-a).(-a) ∈ P. Dari 2.1.5(b) dan 2.1.5(d) kita mempunyai (-a).(-a) = ((-1)a) ((-1)a) = (-1)(-1).a2 = a2,

jadi a2∈ P. Kita simpulkan bahwa bila a ≠ 0, maka a2 > 0. (b). Karena 1 = (1)2, (a) mengakibatkan 1 > 0.

(c). Kita gunakan induksi matematika, validitas untuk n = 1 dijamin oleh (b). Bila per-nyataan k > 0, dengan k bilangan asli, maka k∈P. Karena 1 ∈ P, maka k + 1 ∈ P, menurut 2.2.1(i) . Dari sini pernyataan n > 0 untuk semua n∈N benar.

Sifat berikut berhubungan dengan urutan di R terhadap penjumlahan dan per-kalian. Sifat-sifat ini menyajikan beberapa alat yang memungkinkan kita bekerja den-gan ketaksamaan.

2.2.6 Teorema. Misalkan a,b,c,d ∈ R (a). bila a > b, maka a + c > b + c

(b). bila a > b dan c > d, maka a + c > b + d

(c). bila a > b dan c > 0, maka ca > cb

(33)

(d). bila a > 0, maka 1/a > 0

bila a < 0, maka 1/a < 0 Bukti :

(a). Bila a - b ∈ P, maka (a + c) - (b + c) unsur di P. Jadi a + c > b + c

(b). Bila a - b ∈ P dan c - d ∈ P, maka (a + c) - (b + d) = (a - b) + (c - d) juga unsur di

P menurut 2.2.1(i). Jadi, a + c > b + d.

(c). Bila a - b ∈ P dan c ∈ P, maka ca - cb = c(a - b) ∈ P menurut 2.2.1(ii), karena itu

ca > cb, bila c > 0. Dilain pihak, bila c < 0, maka -c ∈ P sehingga cb - ca = (-c)(a - b) unsur di P. Dari sini, cb > ca bila c < 0.

(d). Bila a > 0, maka a ≠ 0 (menurut sifat trikotomi), jadi 1/a ≠ 0 menurut 2.1.6(a). Andaikan 1/a < 0, maka bagian (c) dengan c = 1/a mengakibatkan bahwa 1 = a(1/a) < 0, kontradiksi dengan 2.2.5(b). Karenanya 1/a > 0.

Secara sama, bila a < 0, maka kemungkinan 1/a > 0 membawa ke sesuatu yang

kontradiksi yaitu 1 = a(1/a) < 0.

Dengan menggabung 2.2.6(c) dan 2.2.6(d), kita peroleh bahwa 1

ndengan n sebarang bilangan asli adalah bilangan positif. Akibatnya bilangan rasional dengan bentuk m n = m 1 n     

 , untuk m dan n bilangan asli, adalah positif.

2.2.7 Teorema. Bila a dan b unsur di R dan bila a < b, maka a <1

2 (a + b) < b.

Bukti :

Karena a < b, mengikuti 2.2.6(a) diperoleh bahwa 2a = a + a < a + b dan juga a + b < b + b = 2b. Karena itu kita mempunyai

2a < a + b < 2b

Menurut 2.2.5(c) kita mempunyai 2 > 0, karenanya menurut 2.2.6(d) kita peroleh 1 2> 0. Dengan menggunakan 2.2.6(c) kita dapatkan

(34)

Dari sifat urutan yang telah dibahas sejauh ini, kita tidak mendapatkan bilan-gan real positif terkecil. Hal ini akan ditunjukkan sebagai berikut :

2.2.8 Teorema Akibat. Bila b ∈ R dan b > 0, maka 0 < 12b < b. Bukti :

Ambil a = 0 dalam 2.2.7.

Dua hasil yang berikut akan digunakan sebagai metode pembuktian selanjut-nya. Sebagai contoh, untuk membuktikan bahwa a ≥ 0 benar-benar sama dengan 0, kita lihat pada hasil berikut bahwa hal ini cukup dengan menunjukkan bahwa a

kurang dari sebarang bilangan positif manapun.

2.2.9 Teorema. Bila a di R sehingga 0 ≤a < ε untuk setiap ε positif, maka a = 0. Bukti :

Andaikan a > 0. Maka menurut 2.2.8 diperoleh 0 < 12a <a. Sekarang tetapkan ε0 = 1

2a, maka 0 < ε0 < a. Hal ini kontradiksi dengan hipotesis bahwa 0 < ε untuk setiap ε positif. Jadi a = 0.

2.2.10 Teorema. Misalkan a,b di R, dan a - ε < b untuk setiap ε >0. Maka a b. Bukti :

Andaikan b < a dan tetapkan ε0 =12(a - b). Maka ε0 dan b < a - ε0, kontradiksi dengan hipotesis. (Bukti lengkapnya sebagai latihan).

Hasil kali dua bilangan positif merupakan bilangan positif juga. Tetapi, posi-tivitas suatu hasil kali tidak mengakibatkan bahwa faktor-faktornya positif. Ken-yataannya adalah kedua faktor tersebut harus bertanda sama (sama-sama positif atau sama-sama negatif), seperti ditunjukkan berikut ini.

2.2.11 Teorema. Bila ab > 0, maka

(i). a > 0 dan b > 0 atau

(ii). a < 0 dan b < 0 Bukti :

(35)

Pertama kita catat bahwa ab > 0 mengakibatkan a ≠ 0 dan b ≠ 0 (karena bila a

= 0 dan b = 0, maka hasil kalinya 0). Dari sifat trikotomi, a > 0 atau a < 0. Bila a >0,

maka 1/a > 0 menurut 2.2.6(d) dan karenanya b = 1.b = ((1/a)a) b = (1/a) (ab) > 0

Secara sama, bila a < 0, maka 1/a < 0, sehingga b = (1/a) (ab) < 0. 2.2.12 Teorema Akibat. Bila ab < 0, maka

(i). a < 0 dan b > 0 atau

(ii). a > 0 dan b < 0

Buktinya sebagai latihan.

Ketaksamaan

Sekarang kita tunjukkan bagaimana sifat urutan yang telah kita bahas dapat digunakan untuk menyelesaikan ketaksamaan. Pembaca diminta memeriksa dengan hati-hati setiap langkahnya.

2.2.13 Contoh-contoh.

(a). Tentukan himpunan A dari semua bilangan real x yang memenuhi 2x = 3 ≤ 6. Kita catat bahwa x ∈ A ⇔ 2x + 3 ≤ 6 ⇔ 2x ≤ 3 ⇔ x ≤ 3/2.

Karenanya, A = {x ∈ R  x ≤ 3/2}.

(b). Tentukan himpunan B = {x ∈ R  x2 + x > 2}

Kita ingat kembali bahwa teorema 2.2.11 dapat digunakan. Tuliskan bahwa x

∈ B ⇔ x2 + x - 2 > 0 ⇔ (x - 1) (x + 2) > 0. Karenanya, kita mempunyai (i). x - 1 > 0 dan x + 2 > 0, atau (ii). x - 1 < 0 dan x + 2 < 0. Dalam kasus (i). kita mem-punyai x > 1 dan x > -2, yang dipenuhi jika dan hanya jika x > 1. Dalam kasus (ii) kita mempunyai x < 1 dan x < -2, yang dipenuhi jika dan hanya jika x < -2.

Jadi B = {x ∈ R x > 1}∪{x ∈ R x < -2}.

(c). Tentukan himpunan C = {x ∈ R (2x + 1)/(x + 2) < 1}. Kita catat bahwa x ∈ C ⇔ (2x + 1)/(x + 2) - 1 < 0 ⇔ (x - 1)/(x + 2) < 0. Karenanya, kita mempunyai (i).x - 1 < 0 dan x + 2 > 0, atau (ii). x - 1 > 0 dan x + 2 < 0 (Mengapa?). Dalam kasus (i) kita harus mempunyai x < 1 dan x > -2, yang dipenuhi, jika dan hanya jika -2 < x

(36)

< 1, sedangkan dalam kasus (ii), kita harus mempunyai x > 1 dan x < -2, yang ti-dak akan pernah dipenuhi.

Jadi kesimpulannya adalah C = {x ∈ R -2 < x < 1}.

Contoh berikut mengilustrasikan penggunaan sifat urutan R dalam pertak-samaan. Pembaca seharusnya membuktikan setiap langkah dengan mengidentifikasi sifat-sifat yang digunakan. Hal ini akan membiasakan untuk yakin dengan setiap lang-kah dalam pekerjaan selanjutnya. Perlu dicatat juga bahwa eksistensi akar kuadrat dari bilangan positif kuat belum diperkenalkan secara formal, tetapi eksistensinya kita ter-ima dalam membicarakan contoh-contoh berikut.

(Eksistensi akar kuadrat akan dibahas dalam 2.5).

2.2.14. Contoh-contoh. (a). Misalkan a ≥ 0 dan b ≥ 0. Maka (i). a < b a2 < b2⇔ a < b

Kita pandang kasus a > 0 dan b > 0, dan kita tinggalkan kasus a = 0 kepada

pembaca. Dari 2.2.1(i) diperoleh bahwa a + b > 0. Karena b2 - a2 = (b - a) (b + a),

dari 2.2.6(c) diperoleh bahwa b - a > 0 mengakibatkan bahwa b - a > 0.

Bila a > 0 dan b > 0, maka a >0 dan b > 0, karena a = ( a)2 dan b =

( b)2, maka bila a dan b berturut-turut diganti dengan a dan b, dan kita guna-kan bukti di atas diperoleh a < b a < b

Kita juga tinggalkan kepada pembaca untuk menunjukkan bahwa bila a ≥ 0 dan b ≥ 0, maka

a b a2 ≤b2⇔ ab

(b). Bila a dan b bilangan bulat positif, maka rata-rata aritmatisnya adalah 1

2(a + b) dan rata-rata geometrisnya adalah ab. Ketaksamaan rata-rata aritmetis-geometris diberikan oleh

ab ≤ 12(a + b) (2)

(37)

Untuk membuktikan hal ini, perhatikan bahwa bila a > 0, b > 0, dan a b,

maka a> 0, b > 0 dan ab (Mengapa?). Karenanya dari 2.2.5(a) diperoleh bahwa ( a- b)2 > 0. Dengan mengekspansi kuadrat ini, diperoleh

a - 2 ab + b > 0,

yang diikuti oleh

ab < 1

2(a + b).

Karenanya (2) dipenuhi (untuk ketaksamaan kuat) bila a b. Lebih dari itu, bila a = b

(> 0), maka kedua ruas dari (2) sama dengan a, jadi (2) menjadi kesamaan. Hal ini

membuktikan bahwa (2) dipenuhi untuk a > 0, b > 0.

Dilain pihak, misalkan a > 0, b > 0 dan ab < 1

2 (a + b). Maka dengan

meng-kuadratkan kedua ruas kemudian mengalikannya dengan 4, kita peroleh 4ab = (a + b)2 = a2 + 2ab + b2,

yang diikuti oleh

0 = a2 - 2ab + b2 = (a - b)2.

Tetapi kesamaan ini mengakibatkan a = b (Mengapa?). Jadi kesamaan untuk (2)

men-gakibatkan a = b.

Catatan : Ketaksamaan rata-rata aritmetis-geometris yang umum untuk bilangan positif a1, a2,...,an adalah

(a1 a2 ... an)1/n≤

a1+ + +a2 ... a

n

n (3)

dengan kesamaan terjadi jika dan hanya jika a1 = a2 = ... = an. (c). Ketaksamaan Bernoulli. Bila x > -1, maka

(1 + x)n≥ 1 + nx ; untuk semua n ∈ N. (4)

Buktinya dengan menggunakan induksi matematika. Untuk n = 1, menghasilkan ke-samaan sehingga pernyataan tersebut benar dalam kasus ini. Selanjutnya, kita asumsi-kan bahwa ketaksamaan (4) valid untuk suatu bilangan asli n, dan aasumsi-kan dibuktiasumsi-kan valid juga untuk n + 1. Asumsi (1 + x)n ≤ 1 + nx dan fakta 1 + x > 0 mengakibatkan bahwa

(38)

(1 + x)n+1 = (1 + x)n (1 + x)

≥ (1 + nx) (1 + x) = 1 + (n + 1)x + nx2

≥ 1 + (n + 1)x

Jadi, ketaksamaan (4) valid untuk n + 1, bila valid untuk n. Dari sini, ketaksamaan (4) valid untuk semua bilangan asli.

(d). Ketaksamaan Cauchy. Bila n∈N dan a1, a2, ... ,an dan b1, b2, ..., bn bilangan real maka

(a1b1+ ... + anbn)2≤ (a12 + ... + an2) (b12 + ... + bn2). (5)

Lebih dari itu, bila tidak semua bj = 0, maka kesamaan untuk (5) dipenuhi jika dan hanya jika terdapat bilangan real s, sehingga

a1 = sb1, ..., an = sbn.

Untuk membuktikan hal ini kita definisikan fungsi F : R → R, untuk t∈R de-ngan

F(t) = (a1 - tb1)2 + ... + (an - tbn)2.

Dari 2.2.5(a) dan 2.2.1(i) diperoleh bahwa F(t) ≥ 0 untuk semua t∈R. Bila kuadratnya diekspansikan diperoleh

F(t) = A - 2Bt + Ct2≥ 0, dengan A,B,C sebagai berikut

A = a12 + ... + an2; B = a1b1 + ... + anbn; C = b12 + ... + bn2.

Karena fungsi kuadrat F(t) tak negatif untuk semua t ∈ R, hal ini tidak mungkin mempunyai dua akar real yang berbeda. Karenanya diskriminannya

∆ = (-2B)2 - 4AC = 4(B2 - AC)

harus memenuhi ∆ ≤ 0. Karenanya, kita mempunyai B ≤ AC, yang tidak lain adalah (5).

Bila bj = 0, untuk semua j = 1, ..., n, maka kesamaan untuk (5) dipenuhi untuk sebarang aj. Misalkan sekarang tidak semua bj = 0. Maka, bila aj = sbj untuk suatu

(39)

s∈R dan semua j = 1, ..., n, mengakibatkan kedua ruas dari (5) sama dengan s2(b12 + ... +bn2)2. Di lain pihak bila kesamaan untuk (5) dipenuhi, maka haruslah ∆ = 0, se-hingga terdapat akar tunggal s dari persamaan kuadrat F(t) = 0. Tetapi hal ini men-gakibatkan (mengapa?) bahwa

a1 - sb1 = 0, ..., an - sbn = 0

yang diikuti oleh aj = sbj untuk semua j = 1, ..., n.

(e). Ketaksamaan Segitiga. Bila n ∈ N dan a1, ..., an dan b1, ..., bn bilangan real maka [(a1 + b1)2 + ... + (an + bn)2]1/2≤ [a12 + ... + an2]1/2 + [b12 + ... + bn2]1/2 (6) lebih dari itu bila tidak semua bj = 0, kesamaan untuk (6) dipenuhi jika dan hanya jika terdapat bilangan real s, sehingga a1 = sb1, ..., an = sbn.

Karena (aj + bj)2 = aj2 + 2ajbj + bj2 untuk j = 1, ..., n,dengan menggunakan ketaksamaan Cauchy (5) [A,B,C seperti pada (d)], kita mempunyai

(a1 + b1)2 + ... + (an + bn)2 = A + 2B + C

≤ A + 2 AC + C = ( A+ C)2 Dengan mengunakan bagian (a) kita mempunyai (mengapa?)

[(a1 + b1)2 + ... + (an + bn)2]1/2≤ A+ C, yang tidak lain adalah (b).

Bila kesamaan untuk (b) dipenuhi, maka B = AC, yang mengakibatkan ke-samaan dalam ketakke-samaan Cauchy dipenuhi.

Latihan 2.2

1. (a). Bila a b dan c < d, buktikan bahwa a + c < b + d.

(b). Bila a b dan c d, buktikan bahwa a + c b + d.

2. (a). Bila 0 < a < b dan 0 < c < d, buktikan bahwa 0 < ac < bd

(b). Bila 0 < a < b dan 0 c d, buktikan bahwa 0 ac bd.

Juga tunjukkan dengan contoh bahwa ac < bd tidak selalu dipenuhi.

3. Buktikan bila a < b dan c < d, maka ad + bc < ac + bd.

4. Tentukan bilangan real a,b,c,d yang memenuhi 0 < a < b dan c < d < 0, sehingga

Gambar

Gambar 4.1 1. Limit dari f pada c adalah L
Gambar 4.1.2    Fungsi Signum
Gambar 4.1 3. Grafik f(x) = sin(1/x),  x  ≠  0
Grafik dari g(x) =  e 1 / x  (x  ≠  0)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu potensi daging biji buah kepayang segar sebagai bahan baku bahan bakar minyak nabati perlu juga diteliti dengan harapan jika diperoleh kandungan minyak maka

Selain itu, juga adanya perspektif kepribadian mengenai locus of control di mana individu percaya bahwa apa yang terjadi pada dirinya dikendalikan oleh faktor

Berdasarkan tahapan proses penyusunan peraturan daerah yang terdapat dalam Undang-Undang No 10 tahun dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung

Faktor penentu keberhasilan suatu organisasi adalah kinerja pegawai yang mana sebagai unsur utama dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara, maka

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat pengaruh nyata varietas tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, namun tidak terdapat pengaruh nyata

Berdasarkan hasil penyelesaian AN di atas terlihat bahwa untuk nomer dua siswa tersebut mampu menyelesaikan soal dengan menggunakan lebih dari satu cara penyelesaian.

simultan terhadap Organization al Citizenship Behavior (OCB) 2) Tidak terdapat pengaruh Komitmen Afektif terhadap Organization al Citizenship Behavior (OCB) 3) Terdapat

Menyatakan Pasal 15 beserta lampiran huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang tidak