• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angkatan Bersenjata atau militer di negara yang menganut sistem demokrasi, merupakan alat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Angkatan Bersenjata atau militer di negara yang menganut sistem demokrasi, merupakan alat"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang

Angkatan Bersenjata atau militer di negara yang menganut sistem demokrasi, merupakan alat

negara yang dal

am menjalankan fungsi organisasi

nya

diberikan kewenangan atau mandat

untuk dapat menggunakan kekerasan dalam skala tertentu, misalnya

dalam menghadapi ancaman keamanan nasional

baik yang berasal dari luar maupun dalam negara tersebut, tentunya sejauh ancaman tersebut merupakan bentuk ancaman kombatan yang teorganisasi sebagai

suatu

kekuatan bersenjata. Dilain pihak, tentara s

elain menjalankan fungsi tempur, juga melakukan tugas-tugas non-tempur seperti tugas-tugas diplomasi, penjaga perdamaian dan misi kemanusiaan. Hal ini dikenal dengan operasi militer selain perang

(military operations other than war) .

Organisasi militer dalam menjalankan berbagai tugasnya, baik di masa damai maupun perang berada dalam kendali otoritas sipil dari suatu pemerintahan sipil yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Adapun masing-masing otoritas sipil tersebut yakni, yudikatif, legislatif dan eksekutif memiliki sisi tanggungjawab dan wewenang yang berbeda dalam melakukan kendali sipil. Dengan demikian penyelenggaraan organisasi militer sebagai alat negara akan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, terutama atas kemungkinan terjadinya

penyalahgunaan wewenang dalam menggunakan atau menjalankan organisasi militer. Apakah itu wewenang dalam menggunakan kekerasan, anggaran, maupun penyalahgunaan wewenang dari pimpinan militer itu sendiri atau pemerintah yang berkuasa karena menggunakan

organisasi militer sebagai alat kepentingan politik rezim.

Turunnya Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia pada tahun 1998, maka gerakan reformasi nasional yang mengagendakan sejumlah perubahan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, juga mengagendakan reformasi di dalam tubuh militer Indonesia yang pada waktu itu disebut sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Karena sebagaimana

(2)

diketahui bahwa posisi ABRI, yang pada masa tersebut juga tergabung di dalamnya institusi Kepolisian RI (Polri) telah menjadi alat kekuasaan politik dari rezim represif Soeharto dan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun.

Adapun sejumlah perubahan yang dilakukan oleh pemerintah transisi dan ABRI pada saat itu antara lain adalah dengan melakukan perubahan-perubahan sebagai berikut:

1. Perumusan paradigma baru peran ABRI abad XXI, yang dikemas dalam konsep redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi.

2. Merumuskan paradigma baru peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang lebih

menjangkau ke masa depan, sebagai aktualisasi atas paradigma baru peran ABRI abad XXI.

3. Pemisahan Polri dan ABRI yang telah menjadi keputusan pimpinan ABRI mulai 1 April 1999 sebagai Transformasi Awal.

4. Penghapusan kekaryaan ABRI melalui keputusan pensiun atau alih status (Kep.03/P/II/1999).

5. Penghapusan Dewan sosial politik khusus dan daerah (Wansospolsus dan Wansospolda Tk. 1), dengan begitu lembaga ini dianggap tidak lagi ada.

6. Penyusutan jumlah anggota Fraksi TNI/Polri di DPR dan DPRD I dan II dalam rangka penghapusan fungsi sosial politik.

7. TNI tidak lagi terlibat dalam politik praktis/day to day politics, sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

(3)

8. Pemutusan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada.

9. Komitmen dan konsistensi netralitas TNI dalam pemilihan umum (pemilu). Kenetralan TNI dalam pemilu ini diwujudkan dalam pemilu 1999.

10. Penataan hubungan TNI dengan KBT (Keluarga Besar TNI). Melalui kebijakan ini TNI tidak lagi harus mendukung keberhasilan salah satu partai peserta pemilu.

11. Revisi Doktrin TNI disesuaikan dengan Reformasi dan peran ABRI Abad XXI.

12. Perubahan staf Sosial Politik (Sospol) menjadi Komunikasi Sosial (Komsos).

13. Perubahan Kepala Staf Teritorial (Kaster).

14. Penghapusan Sosial Politik Daerah Militer (Sospoldam), Badan Pembinaan Kekaryaan Daerah Militer (Babinkardam), Sosial politik resor militer (Sospolrem), dan Sosial politik distrik militer (Sospoldim).

15. Likuidasi Staf Syawan (staf karyawan) ABRI, staf Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) ABRI, dan Badan Pembinaan Karyawan (Babinkar) ABRI.

16. Penerapan akuntabilitas publik terhadap yayasan-yayasan milik TNI/Badan Usaha Militer.

17. Likuidasi Organisasi Wakil Panglima TNI.

(4)

18. Penghapusan Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda).

19. Penegasan calon Kepala Daerah dari TNI sudah harus pensiun sejak tahap penyaringan.

20. Penghapusan Posko Kewaspadaan.

21. Penghapusan materi Sosial Politik ABRI dari kurikulum pendidikan TNI[1].

Melalui sejumlah perubahan yang dilakukan oleh ABRI dan pemerintahan transisi pada masa tersebut, diharapkan institusi TNI dapat berubah menjadi militer yang profesional serta tidak lagi menjadi instrumen politik dari suatu rezim otoritarian yang ingin mengekalkan kekuasaannya. Demikian pula bagi TNI diharapkan tidak akan “tergoda” untuk memposisikan diri di republik ini sebagai suatu rezim militer.

Sejumlah kebijakan untuk membangun TNI yang profesional juga telah digulirkan oleh sejumlah stake holders yang bukan hanya dari lingkungan TNI, namun juga dari pihak legislatif,

eksekutif, maupun unsur non-pemerintah yang berada dalam domain

pertahanan-keamanan. Seperti misalnya dengan mengesahkan Undang-undang TNI no.34 Tahun 2004, serta pembahasan sejumlah Rancangan Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan sektor pertahanan-keamanan, misalnya RUU Pertahanan Keamanan Negara/Nasional, RUU Intelijen, RUU Peradilan Militer dan sebagainya. Demikian juga dengan sejumlah

pengkajian seperti, mengkaji kembali Keberadaan Komando Teritorial serta

pengaturan/pengambilalihan Bisnis TNI. Dalam hal ini sejumlah upaya untuk menggulirkan sejumlah RUU maupun berbagai riset yang dilakukan oleh para

stake holders

di bidang pertahanan dan keamanan adalah untuk membangun suatu TNI yang profesional serta dikendalikan oleh otoritas sipil yang kredibel.

Guna mewujudkan tentara yang profesional maka keberadaan suatu pemerintahan yang demokratis merupakan suatu keharusan. Tentunya pemerintahan tersebut harus memiliki kemampuan dan konsisten

si

(5)

accountable , termasuk keberadaan otoritas sipil yang cakap dan accountable

di lembaga kenegaraan lainnya seperti legislatif dan yudikatif.

Bahkan para otoritas sipil yang bersinggungan dengan domain sektor keamanan, seperti pihak Legislatif di komisi pertahanan atau bahkan di wilayah Eksekutif seperti Menteri Pertahanan dan Presiden, hendaknya memiliki kapabilitas dalam merumuskan batasan-batasan

kewenangan dari militer sesuai dengan ruang lingkupnya sebagai alat negara, serta memiliki wawasan dalam memberikan penilaian atas situasi keamanan nasional, berikut pendelegasian wewenang terhadap masing-masing institusi yang bertanggungjawab terhadap masalah

ancaman keamanan nasional.

Jadi, dalam hal ini posisi militer di negara demokratis berperan sebagai alat negara untuk melakukan tugas-tugas kemiliteran sebagaimana disebutkan di atas serta melaksanakan keputusan politik yang dibuat oleh pemerintahan sipil, tentunya yang berkaitan dengan fungsi dan tugas kemiliteran tersebut. Oleh karena itu tentara tidak lagi berada dalam posisi untuk melakukan penilaian dan pembuatan keputusan politik, apalagi terlibat dalam political power

struggle yang

sarat dengan konflik perebutan kekuasaan.   Profesionalisme Militer

Perjalanan kearah terbentuknya TNI yang profesional merupakan suatu jalan panjang dari reformasi di sektor keamanan . Hal ini terjadi karena adanya “arus” konservatif yang tidak

menghendaki TNI kehilangan hak privilege atas

berbagai akses maupun fasilitas di lingkungan bisnis, birokrasi dan politik, sebagaimana yang terjadi pada era pra- reformasi. D

emikian pula dengan adanya d

(6)

yang

turut memberikan “kontribusi” dalam memperlambat reformasi di sektor keamanan ,

atau malah bahkan terkesan

seperti ingin menarik kembali TNI ke dunia politik praktis. Seperti misalnya dengan agenda perang melawan terorisme yang diusung Amerika Serikat, dapat dikategorikan sebagai suatu ancaman terhadap demokrasi yang dapat membuka “pintu” masuk bagi militer untuk melakukan intervensi kekerasan kepada publik, tentunya dengan mengatasnamakan ancaman terorisme. Demikian juga dengan

adanya wacana dalam di DPR yang tercantum dalam RUU Politik agar TNI dan Polri dapat dilibatkan dalam kampanye politik

, dapat dikatakan sebagai suatu langkah mundur bagi upaya untuk mewujudkan TNI yang profesional. Karena pada saat konsentrasi reformasi di TNI tengah terfokus untuk penataan sejumlah peraturan, institusi, maupun kerangka

mindset

dari TNI, justru bergulir

wacana

yang ingin menarik kembali TNI dan Polri untuk berperan aktif dalam politik praktis, yang mana wacana tersebut ironisnya justru bergulir dari pihak sipil yang nota bene mendapat “amanat” rakyat untuk duduk di DPR.

Oleh karena itu diperlukan suatu konsistensi dalam membangun militer yang profesional, yakni dengan tidak hanya sekadar menuntut militer untuk melakukan reformasi dan tunduk pada supremasi sipil, namun pihak otoritas sipil dan masyarakat harus dapat memberikan kondisi politik dan masyarakat yang kondusif bagi pembangunan militer yang profesional,

Suatu masyarakat yang demokratis menaruh harapan bahwa militer dapat melaksanakan tugas-tugas profesionalismenya, antara lain dengan melakukan hal beserta nilai-nilai sebagai berikut:

- Memiliki kompetensi untuk dapat melaksanakan peran dan misi-misi kemiliteran.

- Memahami dan menghargai proses politik yang demokratis serta hal-hal yang mendasar dari hak asasi manusia.

(7)

- Pengabdian politik (kepada pemerintah sipil) serta dapat dipertanggungjawabkan.

- Bersikap netral terhadap pengaruh eksternal dan internal (diluar tubuh militer).

- Bersikap jujur dengan mengatakan yang sebenar-benarnya serta tidak menutup-nutupi

sesuatu, bilamana sedang melaporkan atau diminta keterangan oleh dewan perwakilan rakyat.

- Memiliki keyakinan untuk mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan golongan dan organisasi, serta kepentingan pribadi.

Namun demikian, masyarakat juga dituntut untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan dari militer yang profesional, seperti:

- Ditetapkannya suatu aturan yang jelas atas peran dan tanggungjawab dari militer.

- Tersedianya pendidikan dan pelatihan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan atas fungsi kemiliteran yang harus diemban.

- Pemberian upah yang sepadan atas keahlian dan pengorbanannya dalam dinas militer.

- Menghargai integritas profesi para anggota militer dengan tidak memberikan penugasan diluar batas-batas dari fungsi kemiliteran.

- Pengakuan terhadap kemampuan personal dari tiap-tiap individu dengan mengikuti hirarki militer yang berlandaskan pada merit sistem.

(8)

- Adanya jaminan (tunjangan) selama menjalankan tugas, atau bantuan pada saat seorang militer beralih ke lingkungan sipil sebelum berakhirnya masa tugas (purnawira). [2]

Di tengah-tengah tuntutan terhadap TNI untuk melakukan reformasi guna mewujudkan tentara yang profesional, maka selain menghadapi hambatan arus konservatif dan dinamika politik internal dan eksternal. Faktor kondisi obyektif berupa minimnya anggaran yang dapat

disediakan oleh pemerintah guna mewujudkan TNI yang profesional, juga merupakan suatu masalah tersendiri. Karena selama belum “terbebaskannya” Indonesia dari krisis ekonomi yang berkepanjangan dan masih terjadinya kebocoran anggaran dan berbagai praktek korupsi, akan sangat sulit untuk dapat mengalokasikan anggaran militer yang layak bagi TNI.

Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, anggaran belanja pertahanan Indonesia adalah yang terkecil dan belum pernah melebihi 1,6% Gross Domestic Product (GDP). Pada tahun 2005 anggaran belanja pertahanan Indonesia hanya 0,88% GDP atau USD 1,3 Milyar[3] , walau kemudian pada tahun 2006 naik menjadi Rp. 28,2 trilyun.

[4]

Bahkan untuk tahun anggaran 2008 yang jumlahnya Rp. 36,4 trilyun, rencananya akan

dipotong sebanyak Rp. 5 trilyun. Sehingga pemotongan tersebut tentunya akan mempengaruhi upaya TNI untuk mewujudkan program modernisasinya, yang dalam hal ini dapat dikatakan modernisasi merupakan suatu prasyarat bagi terwujudnya tentara profesional.

Sementara itu dalam perkembangan dinamika keamanan global yang menuntut keberadaan dari tentara yang profesional serta terfokus pada tugas-tugas kemiliteran paska perang dingin, pada umumnya militer di negara maju menjalankan fungsi sebagai berikut;

- melindungi kemerdekaan negara, kedaulatan dan kebutuhan territorial, atau lebih luas lagi, para warganegaranya,

- international peace keeping atau peace enforcement missions,

- pertolongan musibah,

(9)

- tugas-tugas keamanan dalam negeri (bantuan bagi penguasa pelaksanaan hukum

orang-orang sipil untuk menjaga ketertiban dalam kasus-kasus istimewa manakala ketertiban terganggu)

- partisipasi dalam nation building (fungsi sosial).[5]

 

Kondisi Obyektif Ancaman dan TNI

Dalam perkiraan ancaman yang dipaparkan pada buku putih Departemen Pertahanan disebutkan bahwa, ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia diperkirakan lebih besar kemungkinan berasal dari ancaman non-tradisional, baik yang bersifat lintas negara maupun yang timbul di dalam negeri.[6] Antara lain seperti misalnya; terorisme, gerakan separatis bersenjata, kelompok radikal, konflik komunal, kerusuhan sosial, bajak laut, imigrasi ilegal, illegal fishing

, dan

illegal logging .

Artinya, bentuk ancaman nasional yang harus di respon oleh TNI sudah tidak lagi bersifat konvensional misalnya ancaman invasi atau pendudukan suatu wilayah dari tentara asing sebagaimana yang terjadi selama perang dunia ke-2

.

Bahkan pendudukan Amerika Serikat di Iraq pun tetap memerlukan adanya elit politik lokal yang bisa diajak bekerjasama dengan AS. Aksi pendudukan ini pun ternyata memiliki masa depan yang suram karena begitu kuatnya aksi perlawanan bersenjata dari kelompok-kelompok resisten di Iraq.

Kembali kepada struktur komando teritorial TNI yang masih merefleksikan atas paradigma ancaman invasi asing ala-perang dunia ke-2 dan subversi domesti

(10)

strategi pertahanan wilayahnya yang masih berorientasi pada konsep pertahanan landas darat, padahal Indonesia adalah negara maritim.

Menjadikan

keberadaan struktur komando teritorial (koter) masih tetap dipertahankan, yang dalam

strukturnya “membayang-bayangi” pemerintahan sipil dari pusat sampai ke daerah. Memang sejak era reformasi, struktur dan perangkat koter sudah tidak lagi mengintervensi kehidupan politik dan masyarakat secara langsung. Akan tetapi jika struktur dan fungsi koter tidak melakukan penyesuaian terhadap dinamika ancaman gobal, maka disini terkesan adanya ketidakkonsistenan antara persepsi ancaman yang diuraikan oleh Dephan berupa prioritas dalam merespon ancaman non-tradisional, sementara struktur pertahanan masih bertumpu pada struktur Koter yang berorientasi pada konsep pertahanan landas darat.

Apabila kita mau bersikap obyektif dengan mengacu pada tugas utama TNI yakni pertahanan negara. Maka dalam struktur koter hanya terdapat dua tingkat komando teritorial yang memiliki perangkat tempur yaitu, Komando Daerah Militer (Kodam) dan Komando Resor Militer (Korem), sedangkan Kodim kebawah tidak memiliki aparat tempur. Seperti Markas Kodim paling banyak memiliki staf sejumlah 60 personil dan yang justru banyak adalah staf dari intelijen, namun Makodim tidak punya pasukan tempur.[7] Memang dalam proyeksi pembangunan kekuatan TNI dimasa mendatang, pihak pemerintah beserta jajaran Dephan dan Mabes TNI sudah memproyeksikan pembangunan kekuatan TNI AL. Akan tetapi penataan koter yang merujuk pada kesatuan manajemen pertahanan wilayah dari tiga angkatan secara terintegrasi

tampaknya masih belum menjadi prioritas. Sedangkan kondisi geografis Indonesia merupakan negara maritim, yang dewasa ini lebih banyak menghadapi ancaman non-tradisional. Sehingga diperlukan suatu tentara profesional yang terfokus pada tugas-tugas pertahanan, baik dalam menghadapi ancaman kombatan eksternal maupun domestik.

  Kesimpulan

Militer dan institusi keamanan lainnya merupakan suatu alat negara yang menjalankan tugas-tugasnya, berdasarkan atas sejumlah aturan dan perundang-undangan yang disusun atas dasar mekanisme politik yang demokratis. Adapun pihak-pihak yang menyusun sejumlah peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan ruang lingkup dari militer maupun

(11)

otoritas keamanan lainnya adalah, otoritas politik sipil yang dipilih dan menjalankan kewenangannya melalui suatu sistem politik yang demokratis serta dapat

dipertanggungjawabkan mekanismenya secara accountable dan transparan, baik dalam wilayah politik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Dalam situasi politik Indonesia yang sedang berjalan pada era transisi kearah demokrasi, menjadikan realitas kondisi politik obyektif berada dalam kondisi struggle of power antara sejumlah kekuatan politik utama, seperti partai-partai politik, kekuatan bisnis/pengusaha,

birokrat dan tokoh-tokoh kedaerahan. Pergulatan politik ini antara lain berupa persaingan dalam menguasai sejumlah birokrasi, jabatan politik, jabatan publik, serta jabatan pemerintahan

daerah dan pusat. Tentunya juga dalam memperebutkan penguasaan sejumlah badan usaha swasta dan pemerintah, serta akses maupun akses terhadap sumber daya ekonomi dan fasilitas bisnis lainnya.

Posisi militer dan alat negara yang berkaitan dengan tugas-tugas keamanan negara, akan kembali lagi menjadi faktor politik yang dapat turut menentukan atas struggle of power sebagaimana disebutkan diatas. Bilamana para aktor politik yang bersaing

berhasil mengelabui rakyat dalam

“menarik” kembali militer k e

wilayah politik praktis, misalnya dengan melakukan “penggarapan” politik ke lingkungan militer oleh suatu kekuatan politik guna mendukung suatu persaingan atau perebutan kekuasaan , baik secara clandestine maupun legal dalam selubung legitimasi undang-undang yang memberi peran politik terhadap militer.

Sehingga berbagai “hajatan” demokrasi, apakah itu

pemilu legislatif, maupun pemilihan presiden

atau

kepala daerah

, akan menarik lagi keterlibatan politik TNI.

Atau intervensi militer kedalam politik praktis juga dapat terjadi bilamana berbagai kekuatan politik sipil tersebut gagal dalam membawa keluar Indonesia dari krisis politik, serta apabila terjadi berbagai skandal politik, dan merebaknya gerakan separatisme, baik separatisme bersenjata maupun “separatisme’ dalam konteks yang disebabkan oleh, ketidakmampuan pemerintah pusat dalam menangani persoalan kedaerahan, yang berujung pada suatu kondisi politik yang dapat memisahkan daerah tersebut dari negara kesatuan Republik Indonesia.

(12)

Kembalinya militer sebagai aktor utama dalam politik praktis di Indonesia berarti kegagalan bagi otoritas sipil dalam melakukan transisi demokrasi serta dalam mengelola konflik, sehingga menjadikan militer yang seharusnya berperan sebagai alat negara yang dilengkapi dengan sarana kekerasan dan organisasi yang hirarkis mengambil peran otoritas sipil dalam tugas kenegaraan, seperti pemeintahan dan pengelolaan konflik, tentunya melalui pendekatan yang militeristik dan sistem komando terpusat.

Memang sampai saat ini belum terindikasi adanya kondisi subyektif dari militer untuk mengambilalih kekuasaan, namun faktor kondisi obyektif di Indonesia seperti “menggiring” militer untuk mengintervensi kembali wilayah politik sipil, seperti krisis ekonomi yang belum terlihat ujung pangkalnya, kemudian merebaknya berbagai skandal politik, berlarut-larutnya konflik horizontal seperti di Poso serta masih berlangsungnya gerakan separatis di Papua yang tidak jelas penanganan politiknya dari pemerintah pusat. Demikian juga dengan sering

terjadinya kekisruhan politik di daerah, baik dalam konteks pilkada maupun berupa konflik antara pemda dengan dewan perwakilan rakyat daerah setempat, ataupun antara pemda dengan pemerintah pusat, sehingga berdampak pada ketidakefisienan roda pembangunan di daerah, dan sebagainya. Akhirnya keadaan yang demikian ini, apakah disadari atau tidak akan terus menerus menggerogoti kredibilitas politik otoritas sipil, dalam mengelola dan menjalankan tugas kenegaraan sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing.

 

[1] Makalah Muhammad Asfar, “Permasalahan dan Tantangan Reformasi TNI: Fungsi

Teritorial; Bagaimana Kita Menahaminya?”

[2] Nicole Ball, Tsjeard Bouta, Luc Van Goor, Enhancing Democratic Governance of the

Security Sector: An Institusional Asessment

Framework , Clingendael Institute, The

Netherlands, 2003, hal. 63.

[3] Syafnil Armen (Mayjen) Kepala Badan Intelijen Strategis, Makalah; Persepsi Ancaman Internal dan Transnasional Pada Seminar di Departemen Pertahanan

, 29 Agustus 2006, hal.16.

[4] Deputy for Politics, Law, Defense, and Security Bappenas, Makalah Rapid Assessment on Indonesia Defense Industry

(13)

dalam Seminar Reviewing and Reinventing, Defense Acquisition in Indonesia, ITB, 27-28 November 2006. hal.2

[5]Hans Born (red), Pengawasan Parlemen dalam Sektor Keamanan – Asas, mekanisme

dan pelaksanaan , Geneva Center for the Democratic Control of Armed

Forces, Interpaliamentary Union, Jakarta, 2003, hal.63

[6] Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Departemen Pertahanan, Jakarta, 2003, hal IX.

[7] Lesperssi, Rekomendasi Kebijakan tentang Fungsi Teritorial dan Komando Teritorial, hal.3.    

Referensi

Dokumen terkait

Mutasi pada Bacillus subtilis BAC4 dengan Larutan Akridin Oranye sebagai Upaya Peningkatan Produksi Antibiotika.. Supartono 1* , Nanik Wijayati 1 , Lina Herlina 2 , and

Buatlah sebuah Automata Hingga Deterministik dengan simbol input a,b, yang hanya dapat menerima untai karakter yang mengandung sejumlah b yang habis dibagi 3. Buatlah sebuah

guru membimbing Peserta didik untuk proses pengklasifikasian jenis pasar yang akan dituangkan pada lembar plano yang sudah disediaka guna menyelesaikan permasalahan yang

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan Bimbingan orangtua mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan pelaksanaan perawatan menarche pada siswi

[r]

proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata.... Komunikasi Ruang

Hal ini dilihat dari probabilitas signifikansi koefisien regresi kecemasan berkomputer (antisipasi) sebesar (0,000) < 0,05 sehingga hipotesis yang menyatakan

Panitia Pengadaan Pekerjaan Jasa Konsultansi adalah satu Panitia yang terdiri dari pegawai-pegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa