• Tidak ada hasil yang ditemukan

LIMBAH PERTANIAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI PAKAN TERNAK: Kendala dan Prospeknya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LIMBAH PERTANIAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI PAKAN TERNAK: Kendala dan Prospeknya"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

LIMBAH PERTANIAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI

PAKAN TERNAK: Kendala dan Prospeknya

INDRANINGSIH,R.WIDIASTUTI danY.SANI

Balai Penelitian Veteriner PO Box 151 Bogor 16114

ABSTRAK

Pengembangan industri ternak potong perlu didukung dengan ketersediaan pakan yang sampai saat ini masih merupakan kendala utama dalam peningkatan produktivitas ternak potong. Salah satu alternatif penyediaan pakan ternak adalah memanfaatkan dan mengembangkan limbah hasil pertanian dan perkebunan yang diduga memiliki kandungan nutrisi setara dengan pakan standar untuk ternak potong, antara lain jerami padi, jerami jagung, serta limbah sayuran, kelapa sawit, tebu dan kakao. Limbah hasil pertanian dan perkebunan cukup tersedia di Indonesia, namun potensinya belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak. Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak baru mencapai 30-40% dari potensi yang tersedia saat ini. Permasalahan yang dihadapi dalam menggunakan pakan limbah pertanian dan perkebunan terdiri dari faktor pengetahuan peternak, kualitas pakan limbah pertanian dan perkebunan dan faktor lingkungan (cemaran). Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan dukungan teknologi dan sosialisasi tentang pemanfaatan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak secara berkesinambungan. Mutu pakan limbah hasil pertanian dan perkebunan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan, diantaranya melalui pengolahan (pretreatment) limbah hasil pertanian, suplementasi pakan dan pemilihan limbah

pertanian/perkebunan. Pengolahan limbah hasil pertanian dilakukan dengan metoda fisik, kimia, biologis maupun kombinasinya. Bahan suplementasi diantaranya adalah leguminosa, kacang-kacangan maupun sisa pengolahan industri pertanian. Seleksi jenis limbah tanaman perlu pula dilakukan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak dan keamanan produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu mutu nutrisi pakan limbah pertanian/perkebunan, kandungan toksin dan/atau antinutrisi di dalam tanaman dan cemaran berbahaya pada tanaman. Limbah hasil pertanian organik merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan limbah karena mampu mengurangi resiko terjadinya residu bahan beracun berbahaya pada produk ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak.

Kata Kunci: Limbah, pertanian, perkebunan, pakan

PENDAHULUAN

Untuk mencapai sasaran program kecukupan daging pada tahun 2010, produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi potong perlu ditingkatkan. Berdasarkan data Sensus Nasional 2002 tercatat populasi sapi lokal mencapai 11,6 juta ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar 14% per tahun. Sementara itu, konsumsi daging pada tahun tersebut hanya mencapai 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun, sehingga produksi daging sapi hanya mencapai 350,7 ribu ton (BIRO PUSAT

STATISTIK, 2002). Pada tahun 2010, pemerintah mentargetkan bahwa tahun tersebut sebagai tahun swasembada daging dengan proyeksi konsumsi daging sebesar 2,72 kg/kapita/tahun dan produksi daging sebesar 654,4 ribu ton/tahun untuk memenuhi kebutuhan daging bagi populasi penduduk

sebanyak 242,4 juta orang. Pencanangan program kecukupan daging 2010 tersebut diperkirakan akan terjadi peningkatan kebutuhan daging sebesar 86,6%. Oleh karena itu perlu didukung dengan program peningkatan produktivitas dan populasi ternak nasional.

Usaha pengembangan ternak potong perlu didukung dengan ketersediaan pakan yang sampai saat ini masih merupakan kendala utama dalam industri ternak potong. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan daging tahun 2010 tersebut diperlukan peningkatan produksi peternakan secara berkesinambungan yang dapat dicapai melalui efisiensi produksi peternakan secara menyeluruh. Efisiensi produksi peternakan sangat bergantung kepada ketersediaan pakan ternak yang berkualitas dalam jumlah yang cukup sepanjang tahun. Namun demikian kendala yang dihadapi dalam pengembangan ternak potong saat ini adalah

(2)

keterbatasan lahan pengembalaan dan penyedian hijauan pakan ternak akibat perubahan fungsi lahan produktif menjadi lahan pemukiman dan kawasan industri. Sementara itu, daya beli peternakan rakyat terhadap pakan komersial (konsentrat) yang berkualitas masih rendah akibat sebagian besar bahan baku pakan merupakan komoditas impor. Dalam hal ini perlu mencari alternatif pakan ternak yang mampu memanfaatkan sumberdaya lokal. Salah satu alternatif pakan ternak adalah dengan memanfaatkan dan mengembangkan limbah hasil pertanian dan perkebunan yang diduga memiliki kandungan nutrisi setara dengan pakan komersial, antara lain jerami padi, jerami jagung, limbah sayuran, limbah kelapa sawit, limbah tebu dan limbah kakao.

Jagung dan dedak (padi) adalah salah contoh bahan baku yang tersedia cukup memadai tetapi belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak. Disamping itu kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak tidak diimbangi dengan ketersediaan jagung dalam negeri. Kendala yang dihadapi adalah harga jagung memiliki marjin (keuntungan) yang tidak ekonomis dimana fluktuasi musim merupakan penyebab rendahnyua harga jagung. Selain itu jagung dapat pula disubstitusikan oleh gaplek, ubi jalar, gabah, dedak dan bungkil-bungkilan. Secara teknis kendala yang dihadapi adalah kontinyuitas ketersediaan bahan baku pakan ternak. Selain penyebarannya yang tidak merata, pemanfaatan bahan baku pakan ternak masih sangat terbatas. Sehingga pengelola bahan pakan asal limbah agroindustri belum tersedia untuk dijadikan komoditas yang dapat dipasarkan secara komersial.

Pada akhir-akhir ini telah berkembang beberapa industri pakan ternak di Indonesia untuk memacu peningkatan produktivitas ternak potong. Sehubungan dengan mahal dan kelangkaan bahan baku pakan ternak, maka industri pakan ternak menyediakan pakan dalam bentuk konsentrat sebagai pengganti ransum komplit. Kondisi ini menuntut pengetahuan teknis dari peternak dalam menyusun ransum yang seimbang agar terciptanya efisiensi penggunaan limbah pertanian dan perkebunan sebagai bahan baku pakan ternak. Faktor-faktor yang perlu diketahui oleh peternak adalah tentang ketersediaan bahan baku pakan lokal, komposisi kimiawi bahan pakan, pengolahan, penyusunan ransum dan kebutuhan akan dibahas dalam makalah ini.

POTENSI LIMBAH PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Secara umum limbah hasil pertanian dan perkebunan cukup tersedia di berbagai daerah Indonesia, namun potensi limbah tersebut untuk digunakan sebagai pakan ternak belum dikembangkan secara optimal. SIREGAR dan

THALIB (1992) melaporkan bahwa

pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak baru mencapai 39% dari potensi yang tersedia saat ini, sehingga sebagian besar dari limbah tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, dan bahkan dibuang, dibakar atau digunakan untuk keperluan non-peternakan. Potensi ketersediaan beberapa limbah pertanian dan perkebunan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi ketersediaan limbah pertanian dan perkebunan untuk pakan ternak

Parameter produktivitas Jenis limbah Luas lahan

(ha) Produksi komoditas (ribu ton) Total limbah (ton/tahun) Digunakan untuk pakan (ton) Produksi limbah (%)

Jerami padi 11.477.357 52.078,8 52.078.830 3.124.730 14% dari bobot padi Jerami jagung 3.354.890 1.0910,1 10.910.104 5.275.000 10% dari bobot jagung Kelapa sawit 4.116.000 3.648,8 55.915.860 11.936.000 2% dari bobot biji sawit Tebu 398.600 1.876,6 1.876.600 262.724 80% dari bobot tanaman

Kakao 972.400 572,9 630.100 94.515 69% dari biji coklat

(3)

Jerami padi

Padi merupakan produk pertanian utama untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok penduduk Indonesia. Luas lahan yang tersedia cukup besar yaitu 11,5 juta hektar dengan hasil produksi mencapai 52.078,8 ribu ton pada tahun 2003. Sehingga jerami padi merupakan limbah hasil pertanian yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Namun demikian, pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak belum optimal karena rendahnya kandungan protein kasar (3 – 4%) dan tingginya kandungan serat kasar (32 – 40%) sehingga memiliki tingkat kecernaan yang rendah yaitu berkisar antara 35 – 37% (HARYANTO dan WINUGROHO, 2000; RANGKUTI dan DJAJANEGARA, 1983).

Komposisi kimiawi jerami padi sebagai pakan ternak terlihat pada Tabel 2.

Sehubungan dengan rendahnya nilai gizi dan daya cerna bahan kering jerami padi maka inovasi teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas jerami padi sebagai pakan ternak. Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk meningkatkan nutrisi jerami padi baik secara kimiawi, fisik dan biologis. Namun kombinasi dari ketiga proses tersebut lebih sering diterapkan untuk meningkatkan kualitas dan kecernaan pakan jerami padi. Tabel 2. Komposisi nutrisi jerami padi sebagai

pakan ternak Parameter Nilai (%) Bahan kering (DM) 66 Total kecernaan (TDN) 38,1 Kadar air 60,0 Protein kasar 3,93 Serat kasar 33,00 Lemak 0,91 Kadar abu 22,44 Kalsium 0,42 Pospor 0,40 Sumber:

RANGKUTI dan DJAJANEGARA (1983); HARYANTO (2003); MAHENDRIet al.,(2005)

Proses fermentasi jerami padi merupakan salah satu pendekatan secara biologis untuk meningkatan kualitas pakan jerami padi. Proses

ini menggunakan biostarter untuk mempercepat peningkatan kualitas pakan dan untuk penyimpanan jangka panjang. Bahan biostarter yang umum digunakan adalah mikroorganisme (bakteri asam laktat) dan jamur (Aspergillus niger) (MATHIUS, 2000;

HARYANTO, 2003). Proses fermentasi dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pengeringan dan penyimpanan. Proses fermentasi dapat dipercepat dengan penambahan urea untuk disimpan (dibiarkan) selama 21 hari sebelum digunakan sebagai pakan ternak. HARYANTO (2003) melaporkan

bahwa jerami padi yang telah difermentasi memiliki penampilan bewarna coklat dengan tekstur yang lebih lunak. Kandungan nutrisi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa fermentasi (Tabel 3) serta memiliki nilai gizi yang sebanding dengan rumput gajah. Sementara itu, MAHENDRIet al (2005) menambahkan bahwa kandungan protein kasar pada jerami padi fermentasi meningkat dari 5,36% menjadi 6,78% yang sekaligus menurunkan kadar ADF dan NDF masing-masingnya mencapai 63,91% dan 66,03%. Kandungan protein tersebut ternyata cukup untuk memenuhi kebutuhan sapi potong. Untuk memperbaiki daya cerna pakan, energi metabolik dan daya cerna, maka pakan jerami padi fermentasi dapat ditambahkan beberapa bahan kimia seperti urea (CHEMJONG, 1991;

HARYANTO, 2003) atau 4% NaOH.

Selain itu proses fermentasi dapat menurunkan kandungan residu pestisida golongan organokhlorin (OC) maupun organofosfat (OP), yang mana keberadaan residu pestisida dalam pakan dapat membahayakan kesehatan ternak dan produk ternak yang dihasilkan. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh INDRANINGSIH dan SANI (2005)

terhadap proses fermentasi pada pakan jerami padi di Sukamandi dan Solo menunjukkan bahwa proses fermentasi terhadap jerami padi asal Sukamandi dapat menurunkan kandungan total residu pestisida golongan OC dari 11,7 menjadi 2,8 ppb dan golongan OP menurun dari 2,8 menjadi 0,3 ppb. Penurunan residu pestisida dalam pakan jerami terlihat secara nyata pada total kandungan residu kedua golongan pestisida tersebut dari 14,5 menjadi 3,1 ppb. Selain itu proses fermentasi dapat mempengaruhi degradasi residu pestisida

(4)

Tabel 3. Perbandingan nilai gizi jerami padi yang difermentasi dan tanpa fermentasi

Jerami padi Parameter

Non-fermentasi (%) Fermentasi (%) Konsentrat (%)

Bahan kering (BK) 91,9 91,32 92,68 Protein kasar 5,36 6,78 12,76 Lemak kasar 0,91 0,66 5,92 Abu 21,51 24,68 8,20 ADF 68,5 63,91 38,89 NDF 78,86 66,03 42,68 Daya cerna NDF 28 – 30 50 – 55 - Ca 0,26 0,25 0,56 P 0,02 0,01 0,31

Sumber: MAHENDRI (Laporan intern Puslitbang Peternakan, 2005); HARYANTO(2003) seperti yang diperlihatkan oleh jerami padi asal

Solo dengan fluktuasi jumlah total residu OC dari 74,8 ppb (selama 2 minggu penyimpanan), 76,5 ppb (selama proses pengeringan) dan 11,7 ppb (pada saat jerami siap untuk diberikan kepada ternak). Total kandungan residu kedua golongan pestisida menurun secara bertahap sesuai dengan waktu yaitu dari 172,7; 76,5; dan 11,7 ppb. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fermentasi jerami padi dapat mengurangi residu pestisida di dalam pakan limbah padi (Tabel 4). Selanjutnya, MAHENDRI

et al (2005) melaporkan bahwa fermentasi jerami padi dengan menggunakan probion dapat menurunkan kadar residu pestisida, yang mana jerami fermentasi yang diberikan mempunyai total residu pestisida lebih rendah daripada jerami tanpa fermentasi. Kadar residu pestisida menurun hingga 42% untuk golongan OC dan 44% untuk golongan OP.

Limbah kelapa sawit

Kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan yang memiliki potensi sangat tinggi dibandingkan dengan limbah hasil pertanian dan perkebunan lainnya, mengingat total limbah yang dihasilkan terhadap luas lahan yang tersedia cukup tinggi yaitu mencapai 55.915.860 ton/tahun (Tabel 1). Dari 56 juta ton/tahun limbah sawit yang dihasilkan, sebanyak 11.936.000 ton dapat digunakan sebagai pakan ternak yang lebih tinggi dari jerami padi yaitu sebanyak 3.124.730 ton.

Umumnya bagian-bagian tanaman dari kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak terdiri dari daun, pelepah, lumpur, bungkil, dan bungkil inti sawit. Akan tetapi, potensi limbah kelapa sawit yang tinggi, ternaya belum banyak dimanfaatkan sebaga bahan pakan ternak.

Pada umumnya produk samping yang diperoleh dari industri kelapa sawit dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: (1) berasal dari kebun kelapa sawit (diantaranya pelepah dan daun) dan (2) dari pabrik pengolahan buah kelapa sawit (seperti bungkil dan lumpur). Nilai nutrisi limbah tanaman dan pengolahan kelapa sawit telah banyak dilaporkan (ARITONANG, 1984: MATHIUS et al., 2004;

PASARIBU et al., 1998). Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan nutrisi limbah tanaman kelapa sawit ternyata cukup rendah karena tingginya kandungan serat kasar tetapi mengandung karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut yang cukup tinggi yaitu 22% (ISHIDA dan HASSAN, 1997). Nilai nutrisi limbah tanaman kelapa sawit umumnya setara dengan limbah tanaman pangan maupun pakan hijauan di daerah tropis (WAN ZAHARIet al., 2003). Sementara itu, limbah hasil pengolahan kelapa sawit juga mengandung serat kasar yang tinggi, namun kandungan protein kasar lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit secara berurutan yaitu 14,58 %BK dan 16,33 % BK, yang potensial untuk digunakan sebagai bahan bakan ternak ruminansia.

(5)

Tabel 4. Residu pestisida dalam jerami padi yang diberi perlakuan fermentasi dan tanpa fermentasi di

Sukamandi dan Solo

Residu pestisida (ppb) Total residu golongan (ppb) Jerami

Linda Hepta. Ald. Dield Endo CPM OC OP Total residu (ppb) Sukamandi Non-fermentasi 1,4 0,1 7,4 0,01 2,7 2,8 11,7 2,8 14,5 Fermentasi 0,8 0,1 1,6 0,002 0,5 0,3 2,8 0,3 3,1 Solo Penyimpanan (2 mgg) 25,4 5,5 4,7 39,4 Tt 97,9 74,8 97,9 172,7 Pengeringan 12,5 26,8 32,4 Tt 4,8 Tt 76,5 0 76,5 Siap pakai 5,4 6,2 Tt Tt Tt Tt 11,7 0 11,7

Keterangan: Hepta.= heptaklor, Ald. = aldrin, Dield. = dieldrin, Endo = endosulfan,

CPM = chlorpyrifos methyl, OP = organofosfat, Tt = tidak terdeteksi, OC = organokhlorin Sumber: INDRANINGSIH dan SANI (2005).

Daun dan pelepah kelapa sawit

Daun dan pelepah kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan ternak yang memiliki potensi yang cukup tinggi, akan tetapi kedua bahan pakan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternakan sapi. Produksi daun/pelepah dapat mencapai 10,5 ton pelepah kering/ha/tahun. Kandungan protein kasar pada kedua bahan pakan tersebut masing-masingnya mencapai 15% BK (daun) dan 2 – 4% BK (pelepah) (MATHIUS, 2003). Sementara itu, campuran kedua bahan pakan tersebut dapat meningkatkan kandungan protein menjadi 4,8%. ISHIDA dan HASAN (1997) melaporkan

bahwa pelepah kelapa sawit mengandung protein kasar 1,9% BK; lemak 0,5% BK; dan lignin 17,4% BK, sedangkan daun mengandung protein kasar 14,8% BK; lemak 3,2% BK; dan lignin 27,6% BK. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kedua bahan pakan tersebut mengandung lignin yang sangat tinggi dibandingkan dengan jerami padi yang hanya mengandung 13% BK. Tingginya kadar lignin di dalam pakan akan mengakibatkan rendahnya palatibilitas, nilai gizi dan daya cerna terhadap pakan (WINUGROHO dan MARIATI, 1999).

Perlakuan pelepah/daun kelapa sawit dengan penambahan 8% NaOH dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi 58% (MATHIUS, 2003). Sementaraitu, nilai nutrisi pelepah sawit dapat ditingkatkan melalui amoniasi, penambahan molases, perlakuan alkali,

pembuatan silase/pelet, perlakuan dengan tekanan uap yang tinggi dan secara enzimatis (WAN ZAHARIet al., 2003). Pemberian pakan daun kelapa sawit kepada sapi jantan dapat meningkatkan bobot badan sebesar 930 g/ekor/hari (MATHIUS, 2003).

Lumpur sawit dan bungkil inti sawit Lumpur sawit dan bungkil inti sawit adalah hasil ikutan dari pengolahan minyak kelapa sawit. Dalam proses pengolahan minyak kelapa sawit dapat diperoleh rendemen sebesar 4 – 6% lumpur sawit dan 45% bungkil inti sawit dari tandan buah segar. Setiap hektar tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 840 – 1246 kg lumpur sawit dan 567 kg bungkil inti sawit. Bungkil inti sawit telah lama dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk ruminansia dan babi yang sedang dalam masa pertumbuhan (ARITONANG, 1984). Sebaliknya lumpur sawit belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Beberapa perkebunan kelapa sawit masih cenderung menebarkan lumpur sawit ke areal perkebunan yang digunakan sebagai pupuk.

ARITONANG (1984) melaporkan bahwa nilai nutrisi lumpur sawit bervariasi terutama pada kandungan abu, serat kasar dan lemak (Tabel 5). Pemanfaatan limbah pengolahan hasil kelapa sawit sebagai ransum komplit komplit (100%) ataupun sebagai pakan penguat lainnya telah banyak dilakukan untuk ternak ruminansia. WONG dan ZAHARI (1992)

(6)

Tabel 5. Komposisi nutrisi limbah tanaman dan pengolahan kelapa sawit (%)

Limbah tanaman kelapa sawit dan olahannya Parameter

Daun Pelepah Lumpur Bungkil

Kadar air (% BK) 8,98 16,59 6,84 7,22 Bahan kering (%) 46,18 26,07 24,08 91,83 Abu (% BK) 13,40 5,10 14,40 4,14 Protein kasar (% BK) 14,12 3,07 14,58 16,33 Serat kasar (% BK) 21,52 50,94 35,88 36,68 Lemak (% BK) 4,37 1,07 14,78 6,49 BETN (% BK) 46,59 46,59 16,36 28,19

Energi bruto/GE (kal/g) 4.461 4.841 4.082 5,18

Kalsium (% BK) 0,84 0,96 1,08 0,56

Pospor (% BK) 0,17 0,08 0,25 0,84

Sumber: MATHIUS, 2003

menyampaikan bahwa bungkit inti sawit dapat diberikan 50% untuk sapi dan 30% untuk domba. Sementara itu, JELAN et al. (1991)

menyampaikan bahwa pemberian bungkil inti sawit hingga 85% dalam ransum sapi tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat badan harian.

Selanjutnya BATUBARA et al (2005)

menambahkan bahwa penggunaan lumpur sawit sampai 30% dalam campuran dengan bungkil inti sawit (70%) sebagai pakan suplemen dapat memberikan pertambahan berat badan kambing jantan sekitar 54 – 62 g/ekor/hari dengan konversi pakan sebesar 8,1 – 9,4.

Tabel 5 menunjukkan bahwa lumpur sawit mengandung protein kasar antara 12–14% dengan kadar air yang rendah (6,8%) sehingga kurang disukai ternak. Kandungan energi yang rendah dan kadar abu yang tinggi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat digunakan secara tunggal tetapi harus dicampur dengan pakan lain. Untuk mengoptimalkan penggunan limbah pengolahan kelapa sawit yang berupa lumpur sawit dan bungkil inti sawit perlu memanfaatkan teknologi fermentasi dengan penambahan biostarter seperti Aspergillus niger.

Jerami jagung

Limbah agroindustri banyak tersedia dan beragam dalam jenis di daerah tropis yang

menjadi sumber utama untuk meningkatkan produktivitas ternak. Limbah jagung adalah salah satu contoh bahan baku pakan ternak yang tersedia di dalam negeri. Tabel 1 memperlihatkan bahwa total limbah jagung yang dihasilkan dari luas lahan 3,3 juta ha mencapai 11 juta ton per tahun. Namun limbah jagung yang dimanfaatkan sebagai bahan pakan atau pakan ternak hanya mencapai 5,2 juta ton atau sebanyak 50% dari total limbah yang dihasilkan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa limbah tanaman jagung belum dimanfaatkan secara optimal untuk pakan ternak, karena kualitas yang rendah dan mengandung serat kasar yang tinggi (27,8%). Tabel 6. Komposisi nutrisi jerami jagung.

Parameter Nilai (%) Bahan kering (DM) 21,0 Total kecernaan (TDN) 16,3 Kadar air - Protein kasar 3,3 Serat kasar 20,2 Lemak - Kadar abu 4,4 Kalsium 0,18 Pospor 0,36 Energi - Sumber: MATONDANG dan FADWIWATI, 2005

Komposisi nutrisi dari jerami jagung sebagai bahan baku pakan ternak telah banyak dilaporkan (RANGKUTI dan DJAJANEGARA, 1983; SAONO dan SASTRAPADJA, 1999)

(7)

sebagaiman terlihat pada Tabel 6. Untuk meningkatkan kualitas bahan pakan jerami jagung, maka diperlukan sentuhan teknologi fermentasi dengan menambahkan probiotik yang mengandung mikroba untuk memecah serat kasar, agar dapat dicerna dengan baik oleh ternak. MATONDANG dan FADWIWATI

(2005) melaporkan bahwa pemberian pakan jerami jagung yang difermentasi dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan pertambahan berat badan sapi Bali.

Limbah tebu

Bagi negara tropis, tanaman tebu merupakan tanaman yang bersifat multiguna baik sebagai pangan manusia, pakan ternak dan bahan bakar untuk memasak (PRESTON and

MURGUEITIO, 1992). Limbah utama dari

tanaman tebu yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah pucuk tebu/daun, molases, ampas tebu dan empulur (pith). Limbah tanaman cukup banyak tersedia di Indonesia dimana total luas lahan yang tersedia saat ini seluas 398.600 hektar dengan kapasitas produksi mencapai 1,9 juta ton tebu (Tabel 1). Dari total produksi tebu dapat dihasil limbah tanaman tebu sebanyak 1,8 juta ton/tahun. Namun limbah tanaman tebu belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak sebagaimana terlihat pada Tabel 1 bahwa hanya 262.724 ton limbah yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Pucuk tebu merupakan limbah tanaman yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan ternak. Pucuk tebu memiliki daya cerna (60–62%) lebih baik daripada jerami padi sebanyak 29-42% (SHARIF, 1984) yang dapat digunakan sebagai pengganti rumput gajah pada penggemukan sapi (MUSOFIE et al., 1981)

karena kandungan gula terlarut dan mineral cukup tinggi (Tabel 7). O’DONOVAN (1970) melaporkan bahwa pemberian pucuk tebu pada sapi perah dan sapi potong dapat meningkatkan pertambahan produksi susu sebesar 2 kg susu per hari pada sapi perah dan berat badan sebesar 0,25 kg/hari pada sapi potong. Sementara itu, pemberian pakan campuran pucuk tebu dan empulur (pith) meningkatkan pertambahan berat badan yang nyata dibandingkan dengan bila diberikan secara tunggal (DONEFER et al., 1975).

Bagas adalah limbah hasil penggilingan tebu atau hasil ekstraksi sirup tebu. Limbah ini umumnya digunakan sebagai bahan bakar dalam industri gula. Namun, bagas merupakan pakan limbah yang berkualitas rendah karena mengandung kadar ligno-selulosa yang tinggi. Intake bagas dapat ditingkatkan bila dicampur dengan 55% molases dalam ransumnya. Karena bagas merupakan bahan pembawa yang baik untuk molases, maka ransum ini akan sangat bermanfaat bila diberikan kepada ternak pada level optimum sekitar 20–30% konsentrasi ransum. Nilai nutrisi bagas dapat ditingkatkan dengan perlakuan alkali atau pemanasan, sehingga karbohidrat mudah dicerna oleh ternak (ILCA, 1979).

Molases adalah tetes tebu yang umumnya digunakan sebagai sumber energi dan untuk meningkatkan palatibilitas pakan basal, meningkatkan kandungan mineral Ca, P dan S, atau sebagai perekat dalam pembuatan pelet. Molases dapat memberikan hingga 80% energi metabolisibel untuk sapi potong dan pertambahan berat badan harian antara 0,7– 0,9/kg/hari pada saat persediaan rumput terbatas (PRESTON et al., 1987; ELIAS et al.,

1968). Komposisi kandungan nutrisi limbah tanaman tebu tertera pada Tabel 7.

Limbah tanaman kakao

Tanaman coklat (Theobroma cacao, Linn.) tumbuh secara baik di daerah tropis, termasuk Indonesia. Kulit buah (pod) cokelat merupakan limbah utama dari tanaman coklat yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Limbah kulit buah kakao yang dihasilkan dapat mencapai 75,6% dari total biji kakao. Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi komoditas coklat untuk luas lahan sebesar 972.400 hektar dapat dihasilkan coklat sebanyak 572,9 ribu ton pada tahun 2003 dan limbah tanaman coklat yang dihasilkan mencapai 1.876.600 ton/tahun. Namun demikian, hanya sebanyak 94.515 ton limbah yang telah dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Berdasarkan Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa masih banyak limbah tanaman kakao yang belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Kulit buah coklat mengandung kadar protein kasar (6 – 12%) sedikit lebih tinggi dari jerami padi, tetapi hampir setara dengan

(8)

Tabel 7. Komposisi nutrisi limbah tebu sebagai pakan ternak

Jenis limbah tebu Parameter

Pucuk/daun Bagas Empulur Molases

Bahan kering (%) 39 50 25 73 – 80 Total kecernaan (%) 43 – 62 33 71 80 Kadar air (%BK) - - - - Protein kasar (%BK) 5,5 2,7 1,5 4,5 Serat kasar (%BK) 35 43 24 0 Lemak (%BK) 1,4 - - - Kadar abu (%BK) 5,3 2,2 3,1 7,3 Kalsium (%BK) - - - - Pospor (%BK) - - - - Energi (%BK) - - - -

Sumber: FOULKES (1986); MUSOFIE (1987).

Tabel 8. Komposisi nutrisi limbah kakao

Limbah tanaman cokelat (%) Parameter

Kulit buah Kulit biji Lumpur cokelat

Bahan kering 17,0 68,4 8,7 Total kecernaan (TDN) 53,0 72,0 98,0 Kadar air - - - Protein kasar 7,2 16,6 20,8 Serat kasar 32,5 25,1 13,4 Lemak 0,8 8,8 33,0 Kadar abu 12,2 6,64 7,8 Kalsium - - - Pospor - - - Energi - - - Sumber:SUTARDI, 1991.

rumput gajah (MATHIUS dan SINURAT, 2001; SUTIKNO, 1997). Kandungan serat kasar dalam

kulit buah coklat memiliki kadar selulosa (27– 31%) dan hemiselulosa (10–13%) yang lebih rendah daripada jerami padi. Sementara itu, kadar lignin berkisar antara 12 – 19% lebih tinggi 2 – 3 kalinya dibandingkan dengan jerami padi (6%). Secara umum tingkat kecernaan kulit buah cokelat lebih rendah dibandingkan dengan jerami padi. Meskipun limbah tanaman cokelat lainnya seperti kulit biji dan lumpur kakao mengandung kadar protein kasar dan TDN yang lebih tinggi, namun produk samping tersebut belum

dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak karena jumlah yang dihasil sangat rendah sekali. Komposisi nutrisi limbah tanaman kakao diilustrasikan pada Tabel 8.

Disamping limbah tanaman yang umum digunakan sebagai pakan ternak tersebut, beberapa jenis limbah tanaman dapat pula dimanfaatkan sebagai ternak dan beberapa peternak telah memanfaatkannya sesuai dengan kondisi dilapangan. Tanaman tersebut adalah limbah daun kol yang sering digunakan untuk pakan ternak sapi perah, limbah pisang digunakan saat musim kemarau dimana terjadi kekurangan hijauan pakan ternak dan kulit buah nenas untuk sapi potong.

(9)

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM PEMANFAATAN LIMBAH

PERTANIAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI PAKAN TERNAK Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam menggunakan pakan limbah pertanian dan perkebunan terdiri dari faktor pengetahuan peternak, kualitas pakan limbah pertanian dan perkebunan dan faktor lingkungan (cemaran). Pengetahuan peternak tentang pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan merupakan salah satu penyebab belum optimalnya penggunaan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Kebanyakan peternak belum mengetahui atau belum mendapatkan informasi bahwa limbah hasil pertanian/perkebunan dapat digunakan sebagai pakan ternak. INDRANINGSIH et al (2005) melaporkan bahwa

53,5% dari 53 responden yang memanfaatkan limbah sayuran sebagai pakan ternak sapi perah di Pangalengan, Jawa Barat. Sementara itu, 7,1% petani diantaranya mendaur-ulang limbah sayuran sebagai pupuk kompos dan selebihnya 39,4% tidak dimanfaatkan sama sekali atau dibuang sebagai sampah hasil pertanian. Dalam hal ini peternak belum mengetahui secara pasti tentang kualitas pakan limbah pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak dan tetap mempertahankan kebiasaannya dalam melakukan kegiatan peternakan.

Kualitas pakan ternak tergantung pada komposisi nutrisi yang terkandung didalamnya terutama terhadap bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan tingkat kecernaan. Pakan utama sapi terdiri dari hijauan, limbah tanaman pertanian atau perkebunan, kacang-kacangan dan konsentrat. Produktivitas sapi potong tergantung pada pakan yang diberikan,

oleh karena itu pakan ternak harus memperhatikan mutu, jumlah dan ketersediaan. Tabel 9 menunjukkan perbandingan nutrisi pakan limbah hasil pertanian dan perkebunan terhadap rekomendasi mutu pakan untuk sapi dewasa. Meskipun hasil limbah pertanian dan perkebunan mencukupi untuk digunakan sebagai pakan ternak, mutu pakan limbah tersebut ternyata masih lebih rendah dibandingkan rekomendasi mutu pakan untuk sapi dewasa. Tingkat kecernaan (TDN) pakan limbah hasil pertanian/perkebunan umumnya lebih rendah daripada pakan standar (58-65), karena pakan limbah mengandung kadar serat kasar yang lebih tinggi. Dilain pihak kandungan protein kasar dan lemak kasar pada pakan limbah pertanian juga lebih rendah dibanding pakan standar, kecuali untuk limbah sawit yang memiliki kandungan protein kasar dan lemak kasar setara dengan pakan standar. Limbah tanaman sawit cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Penggunaan limbah hasil pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak terlihat mudah dan ekonomis, namun perlu memperhatikan akan timbulnya residu kimiawi di dalam produk ternak yang dihasilkan serta kandungan antinutrisi atau toksin yang terdapat di dalam limbah hasil pertanian tersebut. Beberapa tanaman pangan maupun perkebunan dilaporkan terdapat toksin dan antinutrisi yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak. Kakao mengandung theobromin yang bersifat toksik bagi kesehatan ternak. YERUHAM et al. (2004) melaporkan bahwa 11 dari 78 ekor anak sapi silangan mengalami dermatitis fotosensitisasi (fotosensitisasi primer) setelah mengkonsumsi kulit kakao dengan gejala klinis terdiri dari penebalan dan pengerutan kulit serta alopesia. Hasil penelitian INDRANINGSIH et al (1999)

Tabel 9. Perbandingan nutrisi limbah per tanian/perkebunan dengan mutu standar pakan untuk sapi

Limbah pertanian/perkebunan Parameter

Padi Jagung Tebu Kakao Sawit

Kisaran nilai standar (%) Bahan kering (%) 66,0 21,0 39,0 17,0 46,2 80–90 Protein kasar (%) 3,9 3,3 5,5 7,2 14,1 12–15 Lemak kasar (%) 0,9 - 1,4 0,8 4,4 2–3 Serat kasar (%) 33,0 20,2 35 32,5 21,5 15–21 TDN 38,1 16,3 43 - 62 53,0 - 58–65

(10)

menunjukkan bahwa pemberian kulit biji kakao kepada kambing menimbulkan penurunan berat badan. Beberapa jenis tanaman yang mengandung senyawa toksik dan antinutrisi terlihat pada Tabel 10. WIDIASTUTI et al. (1995), melaporkan bahwa

pada beberapa sampel limbah pertanian dan perkebunan (jerami jagung, jerami padi, bekatul, kulit biji coklat, ampas tebu dan daun tebu) terdeteksi adanya cemaran aflatoksin dengan kadar antara 20 sampai 77,8 ppb. Kadar tersebut masih dibawah batas maksimum residu yang diizinkan yaitu dibawah 300-600 ppb (CULVENOR, 1974).

Meskipun hingga saat in belum ada laporan tentang keracunan pada sapi atau ruminansia lain yang disebabkan oleh aflatoksin, namun dapat dilakukan penanggulangannya dengan menambahkan bahan pengikat mikotoksin selama masa penyimpanan diantaranya adalah arang aktif, sodium bentonit, zeolit atau aluminosilikat (BAHRI et al., 1990;

DEVEGOWA dalam MARYAM, 2006).

Tabel 10. Toksin, cemaran dan antinutrisi pada

tanaman pakan ternak.

Jenis tanaman Jenis toksin dan antinutrisi

Kakao Theobromin Bungkil biji kapas Gossypol

Padi Pestisida

Jagung Pestisida, mikotoksin

Gaplek Glikosida Kedele Antitripsin Sayuran (kol) Pestisida

Lamtoro Mimosin

Sistem kendali mutu merupakan faktor penting didalam menggunakan limbah pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak, karena dapat mempengaruhi mutu produk ternak yang dihasilkan maupun kesehatan ternak tersebut. Pencemaran oleh bahan kimiawi merupakan kendala utama dalam kegiatan pertanian dan perkebunan sehubungan residu yang dapat terbentuk di dalam produk. Pestisida adalah bahan agrokimia yang merupakan bagian penting di dalam kegiatan bertani untuk melindungi tanaman dari serangan hama penyakit. Indonesia tercatat sebagai negara ketiga yang paling banyak menggunakan pestisida untuk kawasan Asia setelah Cina dan India (SOERJANI, 1990).

Pestisida ternyata memiliki beberapa kelemahan berupa efek samping terhadap kesehatan ternak dan manusia yang bukan merupakan target utamanya. Efek toksik dari pestisida terhadap berbagai hewan non-target seperti unggas, sapi dan bahkan manusia telah banyak dilaporkan (SABRANI dan SETIOKO, 1983; INDRANINGSIH, 1988; NJAU, 1988).

Keracunan pestisida organofosfat (OP) pada sapi perah di Jawa Barat terlihat setelah diberi pakan hijauan yang terkontaminasi yang meliputi hiperemia mata, eksudasi cairan mukus pada mata, hipersalivasi, diare, sesak napas dan kematian ternak (INDRANINGSIH,

1988). Disamping itu residu pestisida dapat terbentuk di dalam produk ternak akibat penggunaan yang berlebihan tanpa mengikuti petunjuk aturan pakai yang telah disarankan oleh produsen. Residu pestisida dalam produk ternak dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sebagai konsumen produk ternak tersebut seperti gejala keracunan, imunosupresi dan karsinogenik (GOEBEL et al., 1982;

VARSHEYA et al., 1988). Residu pestisida dalam produk pertanian dan ternak telah dilaporkan terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia (INDRANINGSIH dan SANI, 2004;

MAITHO, 1992; KAHUNYO et al., 2001; NEUMAN, 1988; CORRIGAN dan SENEVIRATNA, 1990). MAITHO (1992) melaporkan bahwa

residu pestisida organokhlorin (OC) seperti DDT, dieldrin, aldrin dan lindan terdeteksi pada 22 dari 25 sampel lemak sapi yang diperiksa. Laporan yang sama juga disampaikan terjadi pada beberapa produk ternak yang terdiri dari telur, daging dan susu di Indonesia (INDRANINGSIH et al., 1988). Organokhlorin sering terdeteksi dari tanaman pangan seperti jagung, kol, padi, tomat dan kedelai (INDRANINGSIH et al., 1980).

Sementara itu kontaminasi pestisida di lingkungan (tanah, air dan sedimen) serta pada pakan ternak diduga sebagai sumber terbentuknya residu pada produk pertanian dan ternak (INDRANINGSIH et al., 1990;

INDRANINGSIH dan SANI, 2004; NTOWet al., 2003; WILLET et al., 1993).

Pestisida dapat meninggalkan residu pada tanah bekas tanam maupun dalam produk pertanian dan peternakan (INDRANINGSIH et al., 2004). INDRANINGSIH et al., (2004) melakukan monitoring kontaminasi dan residu pestisida pada tanah, pakan ternak dan produk ternak di

(11)

daerah sentra ternak seperti Jawa Barat, Yogyakarta dan Lampung selama selama 3 tahun antara 2001–2003. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat kontaminasi pestisida (golongan OC dan OP) pada pakan ternak baik pada hijauan maupun limbah hasil pertanian yang dapat berakibatkan timbulnya residu pada produk ternak yang dihasilkan (Tabel 11 dan 12).

Tabel 11 menunjukkan bahwa residu pestisida terdeteksi dari bahan pakan (rumput, limbah kol dan limbah jagung) yang dikoleksi dari Lampung, Jawa Barat dan Yogyakarta. Rumput asal Pangalengan mengalami kontaminasi oleh pestisida dengan total residu sebesar 17,8 ppb yang terdiri dari golongan OC (4,6 ppb) dan golongan OP (13,2 ppb). Sementara itu limbah kol yang sering dimanfaatkan sebagai pakan tambahan untuk sapi perah di Pangalengan hanya terdeteksi pestisida golongan OC sebesar 0,4 ppb dan golongan OP tidak terdeteksi selama

pengamatan tersebut. Selanjutnya rumput asal Metro (Lampung) mangandung residu pestisida golongan OC (11,3 ppb) dan golongan OP (57,0 ppb). Limbah jagung merupakan pakan utama untuk sapi potong di Lampung

mengalami kontaminasi oleh pestisida golongan OC sebesar 15,2 ppb dan tidak ditemukan pestisida golongan OP. Sementara itu, limbah jagung asal Natar (Lampung) mengalami kontaminasi oleh pestisida golongan OC (158,4 ppb) yang cukup tinggi dan golongan OP sebesar 17,6 ppb. Kontaminasi pestisida golongan OC (0,1–158,4 ppb) pada bahan pakan limbah pertanian terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan golongan OP (tt – 57,0 ppb).

Ditemukannya residu pestisida pada bahan pakan ternak dapat mengakibatkan terbentuknya residu pestisida pada produk ternak, seperti yang terlihat pada Tabel 12 berikut ini. Tabel tersebut menunjukkan bahwa beberapa residu pestisida (OC maupun OP) Tabel 11. Residu pestisida dalam bahan pakan ternak di Jawa Barat dan Lampung, tahun 2001 – 2002.

Total residu per golongan (ppb) Sampel pakan (n) Total residu (ppb)

OC OP Pangalengan – Jawa Barat

Rumput (4) 17,8 4,6 13,2

Hijauan (4) 5,7 0,1 5,6

Limbah kol (2) 0,4 0,4 Tt

Sukamandi – Jawa Barat

Dedak (2) 72,1 72,1 Tt

Jerami padi (2) 8,9 7,3 1,6

Yogyakarta

Jerami padi organik (2) 3,9 3,9 tt

Jerami padi PHT (20) 28,2 5,1 23,1

Jerami padi konvensional (3) 15,5 2,7 12,8

Metro – Lampung Rumput 68,3 11,3 57,0 Konsentrat (4) 2,6 2,6 tt Onggok (4) 4,3 2,0 2,3 Limbah nenas (4) 6,6 6,6 tt Limbah jagung (4) 15,2 15,2 tt Natar – Lampung Jagung (8) 8,6 8,6 tt Hijauan (8) 123,1 105,5 17,6 Limbah jagung (8) 176,0 158,4 17,6 Rata – rata 34,8 25,4 9,4 Kisaran 0,4 - 176,0 0,1 - 158,4 tt - 57,0

(12)

Tabel 12. Residu pestisida dalam produk ternak di Jawa Barat dan Lampung

Total residu per golongan (ppb) Lokasi/Jenis sampel Total residu (ppb)

OC OP Pangalengan – Jawa Barat

Susu (n = 25) 0,11 - 293,6 0,11 - 31,5 tt - 239,0

Bogor – Jawa Barat

Susu (n = 45) tt - 46,8 tt - 46,8 tt - 10,8

Daging sapi (n = 44) tt - 754,6 tt - 135,5 tt - 754,2

Hati sapi (n = 44) tt - 969,5 tt - 191,8 tt - 969,5

Lemak sapi (n = 44) tt - 908,1 tt - 1,1 tt - 908,1

Bandar Lampung - Lampung

Daging sapi (n = 7) tt Tt tt Hati sapi (n = 7) tt Tt tt Lemak sapi (n = 7) tt Tt tt Metro - Lampung Daging sapi (n = 14) tt - 204,3 tt - 204,3 tt Hati sapi (n = 14) tt - 59,4 tt - 59,4 tt Lemak sapi (n = 14) tt - 61,2 tt - 61,2 ttt Sumber: INDRANINGSIHet al., 2004

terdeteksi pada susu sapi yang dikoleksi dari Jawa Barat. Residu pestisida yang terdeteksi pada susu asal Pangalengan terdiri dari lindan (7,6 ppb); heptaklor (16,3 ppb) dan diazinon (32,5 ppb), sedangkan susu asal Bogor terdiri dari lindan (2,7 ppb), heptaklor (3,5 ppb), CPM (5,9 ppb) dan endosulfan (5,9 ppb). Rataan total residu pestisida golongan OP (50,1 ppb) lebih tinggi daripada golongan OC (20,5 ppb) pada susu asal Pangalengan. Sementara itu, total residu pestisida pada susu asal Bogor lebih rendah daripada susu asal Pangalengan. Residu pestisida juga terdeteksi pada sampel produk ternak lainnya seperti daging, hati dan lemak. Pada daging asal Bogor terdeteksi residu lindan (tt – 135,5 ppb) dan diazinon (tt – 754,4 ppb) dimana kadar diazinon melebihi batas maksimum residu yang diizinkan oleh SNI, 2001 yaitu sebesar 0,7 ppm. Sementara itu, pada organ hati terdeteksi lindan (tt – 16,7 ppb); diazinon (tt – 969,0); dan endosulfan (tt – 191,8 ppb). Kondisi yang sama juga dijumpai pada organ hati dimana residu diazinon melebih batas maksimum residu. Begitu pula pada lemak, residu diazinon (tt – 908,1 ppb) melebihi batas maksimum residu. Sebaliknya hanya residu pestisida golongan OC yang terdeteksi pada produk sapi potong di Lampung.

PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI PAKAN

TERNAK RUMINANSIA

Hasil samping limbah pertanian dan perkebunan memiliki potensi yang baik untuk digunakan sebagai pakan ternak alternatif. Namun ketersediaan hasil samping pertanian dan perkebunan yang mencukupi ini, ternyata belum dimanfaatkan secara maksimal oleh peternak. Untuk mengatasi kendala – kendala dalam pemanfaatan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak perlu didukung dengan terobosan–terobosan teknologi. Sosialisasi tentang pemanfaatan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak perlu dilakukan secara berkesinambungan mengingat keterbatasan arus informasi teknologi, keterbatasan pengetahuan peternak serta kebiasaan peternak yang masih tetap menganut pola beternak tradisional.

Beberapa pendekatan untuk meningkatkan mutu limbah hasil petanian dan perkebunan sebagai pakan ternak telah dikembangkan, antara lain melalui pengolahan (pretreatment) limbah hasil pertanian, suplementasi pakan dan pemilihan limbah pertanian dan perkebunan. Peningkatan mutu limbah hasil pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak umumnya dilakukan melalui pengolahan terlebih dahulu

(13)

sebelum limbah pertanian dan perkebunan diberikan kepada ternak, yang secara garis besarnya terdiri dari:

1. Perlakuan fisik: pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil, penggilingan, pemanasan, perendaman, pengeringan atau penyinaran.

2. Perlakuan kimia: dengan penambahan basa, asam dan oksidasi seperti penambahan NaOH, Ca(OH)2, ammonium hidroksida, gas klor dan sulfur dioksida.

3. Perlakuan biologi: melalui pengomposan, fermentasi, penambahan enzim, atau menumbuhkan jamur dan bakteri.

4. Kombinasi diantara ketiga perlakuan tersebut diatas.

Metoda fisik yang terdiri dari pemotongan, pemanasan, penggilingan, pengeringan dan penyinaran diketahui tidak akan merubah nilai nutrisi suatu bahan pakan ternak. Oleh karena itu pendekatan ini jarang dilakukan dalam penyediaan pakan untuk ternak. Namun demikian metoda ini khususnya pemanasan dan pengeringan dapat digunakan untuk mengurangi toksisitas suatu tanaman. Sementara itu, metoda kimiawi yang terdiri dari penambahan asam, basa dan oksidasi merupakan metoda yang sering diterapkan peternak untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak (DOYLE et al., 1986).

Penambahan basa merupakan pengolahan bahan pakan ternak yang paling banyak dilakukan untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak. Tujuan penambahan senyawa basa ini adalah untuk memecah ikatan ester lignohemiselulosa sehingga meningkatkan kecernaan pakan tersebut. Larutan basa yang umum digunakan terdiri dari sodium hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida [Ca(OH)2], potasium hidroksida (KOH), urea dan larutan karbon kaustik. CHEMJONG (1991) melaporkan bahwa pemberian jerami padi yang diperlakukan dengan 4% urea dapat meningkat intake pakan sebanyak 25% dan meningkatkan produksi susu kerbau hingga 1,6 liter/hari. Kerbau menunjukkan pertambahan berat badan yang lebih baik dibandingkan dengan jerami padi tanpa perlakuan. Selain itu, urea dapat meningkatkan kandungan nitrogen dan menghancurkan ikatan lignohemiselulosa (SCHIERE and NELL, 1993). Penambahan 4,5% sodium hidroksida kepada jerami jagung dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dari

44,7 ± 1,6% menjadi 54,2 ± 2,0% (NAGOLE et

al., 1983). Meskipun NaOH ini paling efektif untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan, bahan ini dapat menimbulkan residu yang berbahaya .

Fermentasi merupakan teknik perlakuan biologis untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak dengan menumbuhkan biostarter yang umumnya menggunakan Aspergillus niger. Perbaikan kualitas pakan melalui proses fermentasi terhadap jerami padi dengan menggunakan probion mampu meningkatkan kadar protein kasar sampai 20%, serta menurunkan kadar NDF (64%) dan ADF (66%) (MAHENDRI et al., 2005). Disamping itu

konversi pakan akan menjadi lebih baik pada jerami padi fermentasi bila diikuti dengan penambahan urea (UTOMO et al., 1988).

Sementara itu PASARIBU et al (1998)

melaporkan bahwa proses fermentasi terhadap lumpur sawit dengan menggunakan A. niger dapat meningkatkan kadar protein kasar dan protein murni serta menurunkan kandungan serat lumpur sawit. Perbaikan mutu pakan lumpur sawit tersebut diikuti pula dengan peningkatan kandungan pospor dan total pospor, total protein, total α-asam amino dan nilai daya cerna protein (PASARIBU et al.,

2003). Disamping mampu memperbaiki mutu pakan limbah hasil pertanian dan perkebunan, proses fermentasi ternyata mampu menurunkan kadar residu pestisida pada pakan ternak (INDRANINGSIH dan SANI, 2005). (Tabel 4)).

Suplementasi pakan limbah hasil pertanian dan perkebunan merupakan faktor penting untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Suplementasi dilakukan karena umumnya limbah hasil pertanian dan perkebunan mengandung protein yang lebih rendah dari hijauan pakan ternak. Pakan limbah hasil pertanian dan perkebunan dapat disuplementasikan dengan leguminosa, kacang-kacangan maupun sisa pengolahan industri pertanian seperti ampas tahu, ampas kecap, bungkil kedelai, bungkil kelapa serta mineral lainnya yang diperlukan.

Dalam memanfaatkan limbah hasil pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak, seleksi jenis limbah tanaman perlu dilakukan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak dan keamanan produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu mutu nutrisi pakan limbah pertanian dan perkebunan, kandungan

(14)

toksin dan/atau antinutrisi didalam tanaman dan cemaran berbahaya pada tanaman. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pertanian organik saat ini, maka limbah hasil pertanian organik tersebut merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan limbah yang mampu mengurangi resiko terjadinya residu bahan beracun berbahaya pada produk ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak.

Pertanian organik merupakan salah satu pendekatan alternatif untuk meminimalisasi residu pestisida baik pada produk ternak, pertanian maupun kontaminasi pada lahan pertanian. INDRANINGSIH et al., (2004) melakukan serangkaian pengamatan penggunaan limbah hasil pertanian organik sebagai pakan terhadap residu pestisida pada produk ternak. Hasil analisis residu pestisida pada limbah pertanian yang akan diberikan kepada ternak percobaan menunjukkan bahwa pada limbah hasil pertanian organik (kol dan jagung) masih terdeteksi residu pestisida (Tabel 13) dengan total residu masing-masing

limbah hasil pertanian sebesar 0,1 ppb (limbah kol organik) dan 29,5 ppb (daun jagung), tetapi masih dibawah nilai toksisitas. Pada limbah kol terdeteksi 0,1 ppb OC dan tidak terdeteksi pestisida OP, sedangkan pada daun jagung terdeteksi 7,8 ppb OC dan 21,7 ppb OP. Selanjutnya pemberian limbah hasil pertanian organik kepada ternak ruminansia terlihat terjadinya penurunan kadar residu pestisida pada produk ternak yang dihasilkan.

Pemberian limbah kol organik kepada sapi perah tidak menimbulkan residu pestisida pada susu sapi perah, sedangkan pemberian daun jagung organik kepada sapi potong terjadi penurunan kadar residu pestisida OP dari 8,8 ppb (hari pertama) menjadi tidak terdeteksi pada hari berikutnya tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata pada kadar residu pestisida OC dalam serum sapi selama 15 hari pengamatan (Tabel 14). Sehubungan dengan sifat fisik pestisida golongan OC yang sulit mengurai pada kondisi alam, maka residu pestisida OC masih terdeteksi pada serum sapi potong.

Tabel 13. Residu pestisida pada limbah pertanian organik sebagai pakan ternak alternatif yang dikoleksi dari Pangalengan dan Lampung

Total residu per golongan (ppb) Jenis Pakan Limbah Total residu (ppb)

OC OP

Limbah kol 0,1 0,1 Tt

Daun jagung 29,5 7,8 21,7

Rata-rata total 14,8 3,9 10,9

Sumber: INDRANINGSIHet al., 2004

Tabel 14. Residu pestisida pada susu sapi perah dan serum sapi potong yang diberi pakan limbah pertanian organik.

Organik (hari/ppb) Non-organik (hari/ppb) Jenis pestisida

1 7 15 1 7 15

Susu sapi perah:

Organokhlorin tt Tt tt 49,6 10,2 tt

Organofosfat tt Tt tt Tt tt tt

Serum sapi potong:

Organokhlorin 0,26 0,36 0,25 Ta ta ta

Organofosfat 8,8 Tt tt Ta ta ta

(15)

DAFTAR PUSTAKA

ARITONANG, D. 1984. Pengaruh penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum babi sedang bertumbuh. Thesis Pasca Sarjana IPB Bogor.

BADAN PUSAT STATISTIK, 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

BARTIK, M., and A. PISKAČ, 1981. Veterinary Toxicology, Development in Animal and Veterinary Sciences. 7. Elsevier Scientific Publishing Company.

BAHRI, S., P. ZAHARI dan H. HAMID. 1990. Penggunaan arang aktif untuk mencegah aflatokosikosis pada itik. Penyakit Hewan. 40: 122-127.

CHEMJONG, P.B. 1991. Economic value of urea-treted straw fed to lactating buffaloes during the dry season in Nepal. Trop. Anim. Health Prod. 23(3): 147–154.

CORRIGAN, P.J., and P. SENEVIRATNA, 1990. Occurrence of organochlorine residues in Australian meat. Aust. Vet. J. 67(2): 56–58. CULVENOR. C.C.J. 1974. The hazard from toxic

fungi in Australia. Aust. Vet. J. 50: 69-78.

DJAJANEGARA, A. 1999. Local livestock feed resources. In Livestock Industries of

Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis.

FAO Regional Office for Asia and the Pacific.

Pp: 29–39.

DONEFER,E.,L.A.JAMES and C.K. LAURIE, 1975. Use of a sugarcane derived feedstuff for livestock. In R.L. Read ed. Third World Conference on Animal Production. Melbourne. World Association of Animal Production. Pp: 563–566.

DOYLE,P.T.,C.DEVENDRA and G.R. PEARCE. 1986. Rice straw as feed for ruminants. IDP – Canberra, Australia.

FFOULKES, D. 1986. Practical feeding sytems for roughages based on sugar-cane and its by-products. Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous Agricultural Residues, 1985. IDP– ADAB. Canberra. Pp: 11–26.

GOEBEL,H.,S.GORBACH,W.KAUF,R.H.RIMPAU and H. HUTTENBACH. 1982. Properties, effects, residues and analytics of insecticides endosulfan. Residue Review. 83: 56–88. HARYANTO, B. 2003. Jerami padi fermentasi sebagai

ransum dasar ternak ruminansia. Warta Litbang Pertanian. 25(3): 1–3.

HARYANTO, B dan M. WINUGROHO. 2000. Meningkatkan kualitas silase jerami padi.

Warta Litbang Pertanian. 22(3): 18–19.

IBRAHIM,A.M.,A.A.RAGUB,M.A.MORSEY,M.M. HEWEDI and C.J. SMITH. 1994. Application of an aldrin and dieldrin ELISA to the detection of pesticides in eggs. Food and Agric. Immunol. 6: 39–44.

INDRANINGSIH, 1988. Pengenalan keracunan pestisida golongan organofosfat pada ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner jilid I. Puslitbang Peternakan, Bogor 18-19 Nopember 1997: 104-109

INDRANINGSIH, 1998. Pengenalan keracunan pestisida golongan organofosfat pada ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, jilid I. Puslitbang Peternakan pp: 104–109.

INDRANINGSIH, R.MARYAM, R. MILTON and R.B. MARSHALL. 1988. Organochlorine pesticide residues in bird eggs. Penyakit Hewan. XX (36): 98–100.

INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI dan R. MARYAM. 1999. Pengaruh pemberian arang aktif terhadap perubahan enzim dan kadar theobromin pada kambing. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Pp: 615–620.

INDRANINGSIH dan Y. SANI, 2004. Residu pestisida pada produk sapi: masalah dan alternatif penanggulangannya. Wartazoa 14(1): 1–13. INDRANINGSIH, Y. SANI, R. WIDIASTUTI, E.

MASBULAN and G.A. BONWICK. 2004. Minimalization of pesticide residues in animal products. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi. Balai Penelitian Veteriner– Department for International Development (UK). Pp: 105–126.

INDRANINGSIH dan Y. SANI. 2005. Kajian kontaminasi pestisida pada limbah padi sebagai pakan ternak dan alternatif penanggulangannya. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Puslitbang Peternakan – UGM. Pp: 108–119.

INDRANINGSIH,Y. SANI and R. WIDIASTUTI. 2005. Evaluation of farmers appreciation in reduing pesticide by organic farming practice. Indo. J of Agric. Sci. 6(2): 59–68.

ISHIDA, M., and O.A. HASSAN. 1997. Utilization of oil palm frond as cattle feed. JARQ 31: 41–47.

(16)

KAHUNYO,J.M.,C.K.MAITAI and A. FROSLIE. 2001. Organochlorine pesticide residues in chicken fat: a survey. Environ. Sci. Technol. 35(10):

1989–1995.

MAHENDRI, I.G.A.P., B. HARYANTO, E. HANDIWIRAWAN, A. PRIYANTI, L. NATALIA, INDRANINGSIH dan R.A. SAPTATI. 2005. Laporan Inovasi Teknologi Pakan Padi Fermentasi dengan Probion untuk Meningkatkan Kinerja Produksi Ternak Ruminansia. Puslitbang Peternakan, 2005. MAITHO, T. 1992. A study of pesticide residues in

bovine fat from Kenya. Zimbabwe Vet. J. 23

(2): 67–71.

MARYAM. R. 2006. Pengendalian terpadu kontaminasi mikotoksin. Wartazoa. 16(1): 21-30.

MATHIUS, I.W. 2003. Perkebunan kelapa sawit dapat menjadi basis pengembangan sapi potong.

Warta Litbang Pertanian 25 (5): 1–4.

MATHIUS, I.W., dan A.P. SINURAT. 2001. Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional untuk ternak. Wartazoa 11 (2): 20–31.

MATHIUS,I.W.,D.SITOMPUL,B.P.MANURUNG dan AZMI. 2004. Produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong: Suatu tinjauan. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit–Sapi. Badan Litbang Pertanian,

Pemprov Bengkulu dan PT. Agricinal. Pp: 120–128.

MATONDANG, R.H. dan A.Y. FADWIWATI. 200. Pemanfaatan jerami jagung fermentasi pada sapi dara Bali (Sistem Integrasi Jagung Sapi).

Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan. Pp: 104–108. MUSOFIE, A. 1987. Potential and utilizayion of sugar

cane residues as animal feed in Indonesia. A review. Pros. Limbah Pertanian sebagai Pakan dan Manfaat Lainnya. Grati. Pp: 200-215.

MUSOFIE, A., N.K. WARDHANI dan S. TEDJOWAHJONO. 1981. Penggunaan pucuk tebu pada sapi Bali jantan muda. Pros. Seminar Penelitian Peternakan, 23–26 Maret

1981. Bogor.

NEUMANN, C.B. 1988. The occurence and variation of organochlorine pesticide residues detected in Australian livestock at slaughter. Acta Vet. Scan. 84: 299–302.

NJAU, B.C., 1988. Pesticide poisoning in livestock in Northern Tanzania cases investigated 1977-1978. Bull of Animal Health and Production in Africa 36(2):170

NTOW, W.J., 2003. Organochlorine pesticides in water, sediment, crops, and human fluids in a farming community in Ghana, Food Addit. Contam. 20(3): 270–275.

O’DONOVAN, P.B. 1970. World Humid Research.

FAO 13 (32).

PASARIBU, T., A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, SUPRIYATI dan H. HAMID. 1998. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi: pengaruh jenis kapang, suhu dan lama proses enzimatis. JITV 3(4): 237–242.

PASARIBU,T.,N.ARINI, T.PURWADARIA dan A.P. SINURAT. Evaluasi nilai gizi lumpur sawit dengan penambahan fosfor dari sumber yang berbeda. JITV 8(3): 157–1 63.

PRESTON, T.R. and E. MURGUEITO. 1992. Implications of the energy and environmental crisis. Sustainable production systems. In

Strategy for Sustainable Livestock Production in the Tropics. Condrit Ltd. Cali Columbia.

Pp: 20–27.

RANGKUTI, M. and A. DJAJANEGARA. 1983. The utilization of agricultural by-products and wastes in Indonesia. Proc. of the Workshop on Organic Residues in Rural Communities Bali.

11-12 Dec. 1979. ed. C. A. Shacklady. UNUP, Tokyo. pp: 23–27.

SABRANI,M.danA.R.SETIOKO, 1983. Itik gembala dan masalahnya di daerah persawahan di pedesaan. Poultry Indonesia. 45-47.

SAONO, S., dan D. SASTRAPRADJA. 1983. Major Agricultural Crop Residues in Indonesia and their Potential as Raw Materials for Bioconversion. Proc. of the Workshop on Organic Residues in Rural Communities Bali. 11-12 Dec. 1979. ed. C. A. Shacklady. UNUP, Tokyo. pp 11-23.

SCHIERE, J.B., and A.L. NELL. 1993. Feeding of urea treated straw in the tropics. 1. Review of its technical principles and economics. Anim. Feed Sci. Tech. 43: 135–147.

SHARIF, Z.A. 1984. The utilization of fresh and stored rice straw by sheep. InThe Utilization of Fibrous Agricultural Residues in Animal Feeds. Ed. By P.T. Doyle. Melbourne,

(17)

SOEJITNO, J., 2002. Pesticide residues on food crops and vegetables in Indonesia. J. Litbang Pertanian. 21(4): 124–132.

SOERJANI, M., 1990. Trend of pesticide use in Indonesia and Asian countries with negative impact to the environment. In Crop Protection Toward the Sustainable Agriculture and Environmental Safe Agricon. S. Prawirosoemardjo and Basuki (eds). 719-745. STANDAR NASIONAL INDONESIA, 2001. Batas

maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta.

SUTIKNO, A.I. 1997. Pod cokelat untuk pakan ternak

ruminansia. Wartazoa 6(2): 38 –43.

UTOMO, R.,M.SOEJONO and J.B. SCHIERE. 1988. Review of duration and concentration of urea treated straw on digestibility. Proc. Bioconversion Project Second Workshop on Crop Residues for Feed and Other Purposes.

Grati, 16–17 Nopember 1987. pp: 36 – 58. VARSHEYA, C., H.S. BAGHGA and L.D. SHARMA.

1988. Effect of insecticide on humoral immune response in cockerels. Short Communication. Bri. Vet. J. 144: 610 – 612. WAHYONO, D.E. 2001. Pengkajian teknologi

complete feed pada usaha penggemukan domba. Laporan Hasil Penelitian BPTP Jawa

Timur. Malang.

WAN ZAHARI,M.,O.A.HASSAN,H.K.WONG and J.B.LIANG. 2003. Utilization oil palm frond-based diet for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16(4): 625

– 634.

WILLETT, L.B.,A.F. O’DONNELL, H.I. DURST and M.M. KURSZ, 1993. Mechanisms of movement of organochlorine pesticides from soils to cows via forages. J. Dairy Sci. 76:1635 – 1644.

WIDIASTUTI,R.,D.GHOLIB dan R. MARYAM. 1995. Mikotoksin dan kapang pencemar pada pakan ternak asal limbah pertanian dan agroindustri. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, 7-8 November 1995. Jilid 2. Pp. 915 - 920.

WINUGROHO, M dan S. MARIATI, 1999. Kecernaan daun kelapa sawit sebagai pakan ternak ruminansia. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

WONG, H.K. and W.M. WAN ZAHARI. 1992. Oil palm by products as animal feed. Proc. of the MASP Annual Conference. Kuala Trengganu.

Pp: 58 – 61.

YERUHAM, I., Y. AVIDAR and S. PEARL. 2004. Photosensitivity of feedlot calves apparently related to cocoa shells. J. Plant Physiol. 161

(4): 363 – 369.

YUNINGSIH dan R. DAMAYANTI. 1994. Gambaran patologis keracunan insektisida organofosfat pada ayam. Penyakit Hewan. 26(47): 53 – 56.

Referensi

Dokumen terkait

Limbah organik merupakan bahan yang belum termanfaatkan di Indonesia. Pemanfaatan limbah organik sebagai pakan ternak bisa dilakukan sebagai alternatif pakan disaat

Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan pakan ternak berpotensi probiotik berbasis limbah kulit singkong dengan memanfaatkan ekstrak fermentasi limbah kubis dan sawi sebagai

Selain dari ampas pembuatan tahu yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, limbah perendaman kacang kedelai dapat dimanfaatkan sebagai minum ternak.. Limbah yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas nutrisi limbah kulit singkong sebagai bahan pakan ternak melalui teknik penyimpanan dengan penambahan asam propionat sebagai

Kegiatan Pengabdian dengan judul Pelatihan Pembuatan Pakan Ternak Sapi Fermentasi Berbasis Limbah Pertanian bertujuan untuk meningkatkan kompetensi peternak dalam mengolah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan pakan konsentrat yang disusun dari olahan bahan pakan lokal dan limbah pertanian terhadap produktivitas ternak sapi

Hasil penelitian menunjukkan tepung limbah daun pisang cavendish dapat dijadikan bahan pakan ternak karena memiliki kandungan abu, PK, LK, dan TDN yang sesuai dengan syarat mutu pakan,

Proposal Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) yang membahas pengolahan limbah pertanian menjadi bahan pakan ternak silase di Desa