• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest 1822) DI HABITAT IN-SITU DAN EX-SITU Novriyanti / YM: beautifulcarealways)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest 1822) DI HABITAT IN-SITU DAN EX-SITU Novriyanti / YM: beautifulcarealways)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest 1822) DI HABITAT IN-SITU DAN EX-SITU

Novriyanti

(nowfee90@yahoo.com / YM: beautifulcarealways)

Abstrak

Pengelolaan trenggiling belum banyak dilakukan, baik secara in-situ maupun secara ex-situ. Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) merupakan satwa yang memiliki manfaat ekologi dan ekonomi tinggi sehingga dalam perdagangannya sangat diatur oleh PHKA dan scientific authority-nya. Secara ekologi, trenggiling merupakan satwa yang bermanfaat dalam upaya penggemburan tanah. Secara ekonomi, trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki nilai jual tinggi dipasaran internasional. Permintaan terhadap satwa ini terus meningkat. Hal ini menuntut diperlukannya suatu pengaturan terhadap populasi satwa ini dengan mengetahui pengelolaannya secara in-situ maupun ex-situ. Di dalam CITES, status perdagangan trenggiling termasuk kedalam Lampiran 2 (Appendix 2) yang berarti dilarang diperdagangkan secara bebas, kecuali keturunan kedua dan seterusnya. Namun dengan maraknya perdagangan illegal dan tingginya permintaan terhadap satwa ini, beberapa anggota CITES bersepakat untuk memasukkan trenggiling ke dalam list Lampiran 1 CITES. Meskipun demikian, upaya pengelolaan terhadap satwa ini baik secara in-situ di dalam kawasan-kawasan konservasi belum banyak dilakukan. jika pun ada, pengelolaan tersebut tidak fokus pada upaya peningkatan populasi khusus trenggiling saja. Disamping itu, data dan informasi mengenai populasi trenggiling di alam juga belum banyak tersedia. Sulitnya perkembangbiakan satwa ini dipenangkaran menjadi salah satu alasan tidak banyak dibangun penangkaran terhadap satwa ini. Didukung pula oleh pola reproduksi yang cukup lambat dan sulit dalam pemilihan pasangan menjadikan pengelolaan trenggiling secara ex-situ banyak difokuskan pada pemeliharaan pakan dan kandang untuk membantu reproduksinya. Kata kunci: Trenggiling, konservasi in-situ, konservasi ex-situ, perdagangan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Trenggiling merupakan salah satu satwa dilindungi yang dipercaya dapat menjadi penawar bagi penyakit tertentu oleh masyarakat China, terutama sisik dan dagingnya (Hertanto 2010). Sebagian kalangan meyakini trenggiling dapat dijadikan sebagai obat kuat dan makanan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman di Kalimantan Timur (Zainuddin 2008). Namun dalam pelaksanaan pemanfaatannya cukup sulit dilakukan. Sebagai satwa yang dilindungi (Appendix II CITES), trenggiling dilarang diperdagangkan kecuali dengan peraturan dan kuota tertentu yang ditetapkan oleh management authority (PHKA) dan scientific authority (LIPI). Menurut Kang and

(2)

Phipps (2003) dalam Shepherd (2008) ada wacana untuk mentransfer status trenggiling dari Appendix II CITES menjadi Appendix I CITES. Kondisi ini semakin memperkuat bahwa trenggiling dilarang untuk diperdagangkan. Meskipun demikian, perdagangan secara ilegal tetap terjadi dan permintaan terhadap satwa ini terus meningkat. Untuk itu, suplay trenggiling harus tersedia secara kontinyu dan berkelanjutan.

Belum banyak ditemukan pelaporan mengenai pengelolaan satwa ini baik secara in-situ maupun ex-situ. Namun demikian, telah ada upaya penelitian mengenai trenggiling mulai dari morfologi, fisologi, dan beberapa data mengenai perilaku, dan reproduksi. Hanya saja, aktivitas pengelolaan secara keseluruhan dan contoh-contoh pengelolaan secara umum belum banyak diketahui. Di Sumatera Utara, khususnya daerah Sibolga dan Binjai, telah dilakukan upaya penangkaran trenggiling secara otodidak oleh seorang pengusaha China asal Medan. Penangkaran ini berdiri dengan motif ingin mengatasi maraknya perburuan trenggiling, membantu mengontrol perdagangannya di Sumatera Utara secara illegal dengan membeli trenggiling hasil tangkapan masyarakat setempat. Akan tetapi, dalam prakteknya, kegiatan penangkaran yang dikelola oleh UD. Multi Jaya Abadi tersebut belum banyak dilaporkan hasilnya. Termasuk penelitian Bismark (2009) mengenai kajian trenggiling secara ex-situ pun tidak banyak melaporkan kegiatan pengelolaan. Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian atau sebuah bentuk studi kasus yang khusus mempelajari dan mencari data dan fakta mengenai pengelolaan trenggiling baik di habitat alaminya (in-situ) maupun secara ex-situ.

Tujuan

Berlatar belakang permasalahan diatas, kajian ini penting dilakukan untuk mengetahui berbagai aktivitas pengelolaan trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di kawasan konservasi in-situ maupun ex-situ.

Manfaat

Dengan diketahuinya aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di kawasan konservasi in-situ maupun ex-situ, data dan fakta maupun informasi yang diperoleh dapat dijadikan sebagai panduan dan inspirasi dalam pengelolaan dan konservasi satwaliar khususnya trenggiling sehingga dapat dilakukan upaya yang tepat, efektif, dan efisien dalam pengelolaan.

BIO-EKOLOGI

Taksonomi dan Kekerabatan

Trenggiling pernah diklasifikasikan dengan berbagai bangsa/ordo satwa seperti Xenarthra yang tergolong pemakan semut (anteater) yaitu sloths (Bradypus variegates) dan armadillos (Ordo Cingulata, Suku Dasypodidae, Marga Dasypus). Akan tetapi pembuktian secara genetik ternyata tidak ada hubungan kekerabatan yang dekat walaupun sama-sama sebagai satwa karnivora (Murphy et al. 2001 dalam Farida

(3)

2010). Beberapa ahli Paleontologi mengklasifikasikan trenggiling ke dalam bangsa Cimolesta bersama dengan beberapa kelompok satwa yang telah punah.

Trenggiling merupakan satwa yang berasal dari Kingdom animalia; Filum: Chordata; Class: Mammalia; Order: Pholidota; Family: Manidae; Genus: Manis; dan Spesies: Manis javanica Desmarest, 1822. Trenggiling dapat dikatakan memiliki kedekatan fisiologi dan morfologi dengan satwa yang tidak bergigi. Hal ini dikarenakan dalam adaptasi hidupnya, terutama dalam proses perolehan pakan trenggiling hanya menggunakan lidahnya.

Morfologi

Berdasarkan penampakan fisiknya, trenggiling betina lebih pendek dari trenggiling jantan (Payne dan Francis 1998 dalam Farida 2010) (gambar 1). Trenggiling memiliki moncong dan hidung yang merupakan daerah sensitif dan aktif. Berdasarkan analisis skeleton dan limbus alveolaris, moncong hidung yang panjang dan lubang mulut yang sempit menandakan bahwa otot pengunyah tidak berkembang dengan baik sehingga makanan yang masuk kedalam mulutnya akan langsung ditelan dan dicerna di dalam lambung. Selain itu, tulang lidahnya (os hyoideus) yang berukuran panjang namun lebih sederhana dibandingkan dengan os hyoideus karnivora lainnya berfungsi untuk membantu menelan atau memasukkan makanan (Cahyono 2008).

Gambar 1 Trenggiling (Manis javanica) (Foto: Novriyanti 2010). Trenggiling memiliki lidah yang panjangnya hampir sama dengan tubuhnya, mencapai 56 cm (Attenborough 2007 dalam Ruhyana 2007) sedangkan menurut Breen (2003) lidah trenggiling dapat menjulur hingga 25 cm. Karena tidak memiliki gigi, diduga trenggiling memiliki kebiasaan makan dan kebutuhan serta palatabilitas pakan yang menarik untuk diteliti.

Lidah trenggiling mempunyai dua prinsip kerja yaitu memanipulasi makanan yang berada di mulut serta membantu dalam mengambil dan memilih makanan yang berasal dari lingkungan (Yapp 1965 dalam Sari 2007). Berdasarkan hal tersebut, Sari (2007) juga menemukan bahwa jenis makanan trenggiling merupakan makanan yang tergolong keras karena adanya lapisan kithin pada semut, sesuai dengan anatomi lidahnya yang dilapisi oleh keratin yang tebal untuk mengolah dan menyerap kithin.

(4)

Habitat dan Penyebaran

Trenggiling memiliki habitat yang cukup luas. Ia dapat hidup di hutan primer maupun hutan sekunder. Tak jarang ditemukan dibeberapa perkebunan seperti perkebunan karet dan di daerah-daerah terbuka (Davies and Payne 1982; Foenander 1953; Medway 1969; Medway 1977; Zon 1977; Bain and Humphrey 1982). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa trenggiling memiliki wilayah jelajah yang luas dan biasanya ia menempati sarangnya selama beberapa bulan saja. Sarang trenggiling selain terdapat di atas pohon, sarang trenggiling juga ditemukan di lubang-lubang yang berada dibagian akar-akar pohon besar atau membuat lubang di dalam tanah yang digali dengan menggunakan cakar kakinya. Namun tak jarang trenggiling ditemukan menempati lubang-lubang bekas hunian binatang lainnya. Pintu masuk ke lubang sarang selalu tertutup.

Selain Manis javanica masih terdapat beberapa spesies (jenis) trenggiling lainnya seperti: M. javanica culionensis, M. crassicaudata (Thick-Tailed Pangolin), M. gigantea (Giant Ground Pangolin), M. multiscutata; M. pentadactyla (Chinese Pangolin), M. pentadactyla aurita, M. pentadactyla dalmanni, M. pentadactyla pentadactyla (Chinese Pangolin), M. pentadactyla pusilla, M. temminckii (Temminck’s Ground Pangolin), M. tetradactyla (Black-Bellied Pangolin), M. tetradactyla longicaudus, M. tricuspis (Three-Cusped Pangolin), M. tricuspis tricuspis (Tree Pangolin) (Alamendah 2009).

Trenggiling bukan hanya ditemukan di Indonesia. Trenggiling juga terdapat di Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Di Indonesia trenggiling (Manis javanica) tersebar di pulau Sumatera, jawa, Kalimantan dan beberapa pulau kecil di kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok (Corbet dan Hill 1992 dalam Junandar 2007). Terdapat tujuh spesies yaitu empat spesies tersebar di Afrika (M. tricupis, M. tetradactyla, M. gigantea dan M. temmincki) dan tiga spesies tersebar di Asia (M. javanica, M. crassicaudata dan M. pentadactyla) (Rahm 1990 dalam Junandar 2007). Tetapi menurut Gaubert dan Antunes (2005) dalam Junandar (2007) terdapat satu spesies lain yang ada di Palawan, yaitu Manis culionensis. Sebelumnya spesies ini dianggap sebagai spesis M. javanica, tetapi morfologi spesies ini menunjukkan beberapa perbedaan dengan M. javanica.

Perilaku

Trenggiling (Manis javanica) merupakan binatang nokturnal yang aktif melakukan kegiatan hanya di malam hari. Pada siang hari trenggiling biasanya bersembunyi di lubang sarang, salah satunya ada yang berada di atas pohon.

(5)

Gambar 2 Aktivitas trenggiling di atas pohon (sumber: http://www.ksda-bali.go.id/?p=386).

Dalam memperoleh pakan, trenggiling menggunakan indera penciumannya untuk mendapatkan mangsa. Sebelum menemukan mangsa, trenggiling biasanya membaui daerah yang diduga merupakan tempat bersarangnya mangsa. Kemudian ia menggali sumber pakan tersebut dengan menggunakan cakar depannya hingga mangsa keluar. Lidah trenggiling sudah bersiap-siap untuk menangkap mangsa saat mangsa sudah mulai keluar. Perilaku minum pada trenggiling tidak jauh berbeda dengan cara memperoleh mangsanya. Trenggiling mengeluarkan lidahnya dan memasukkannya kembali dengan cepat ketika minum (Nowak 1999). Tak jarang, dalam aktivitas makannya di alam, trenggiling terlihat ikut memasukkan kerikil atau butiran pasir yang tidak terlalu halus ke dalam mulutnya. Menurut Nisa (2005) makanan yang dicerna di dalam lambung sepenuhnya dilakukan hingga menjadi halus dengan bantuan kerikil yang tertelan.

Nilai Satwaliar (Ekonomi, Ekologi, Sosbud)

Trenggiling memiliki nilai yang cukup baik ditingkat ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Secara ekologi, trenggiling merupakan satwa yang bermanfaat dalam upaya penggemburan tanah. Hal ini dikarenakan dalam mendapatkan mangsanya tak jarang trenggiling menggali tanah atau membuat lubang di dalam tanah. Tanah yang sering tergali dan tertimbun kembali oleh cakaran trenggiling lama-kelamaan dapat menjadi lebih gembur karena di dalam tanah terjadi siklus oksigen yang baik bantuan dari aktivitas makan trenggiling. Menurut Mondadori (1988) dalam Farida (2010), biasanya trenggiling dapat menggali tanah untuk membuat sarang atau mencari makan dengan kedalaman 3,5 meter. Selain membantu menyuburkan dan menggemburkan tanah di dalam hutan, di Riau, trenggiling juga merupakan satwa

(6)

pemangsa serangga perusak pohon seperti semut dan binatang halus lain yang sering menggerogoti pepohonan hingga mengalami pengeroposan. Keberadaan trenggiling ini yang secara tidak langsung dapat menjaga kelangsungan regenerasi ratusan jenis pepohonan yang ada di hutan Riau (EBN 2010).

Secara ekonomi, trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki nilai jual tinggi dipasaran internasional. Hal ini dikarenakan manfaat secara sosial dan budaya yang diberikan trenggiling seperti penyediaan protein hewani, kebutuhan sebagai obat tradisional, dan kepentingan permintaan lain seperti tonics di beberapa Negara. Permintaan terhadap satwaliar cenderung meningkat (Soehartono dan Mardiastuti 2003) sehingga mendorong harga daging trenggiling per kilogram di pasar Internasional mencapai USD 600 (Hertanto 2010). Namun menurut Martin and Phipps (1996), harga satu ekor trenggiling di tingkat Internasional dapat mencapai puluhan juta atau seekor trenggiling hidup dijual seharga USD 2 per Kg. Di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang memiliki daya ekonomi lemah, trenggiling malah dijual dengan harga yang cukup murah dari tangan pengumpul dan pemburu trenggiling lokal. Menurut Zainuddin (2008), di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah trenggiling dihargai sekitar Rp 50.000,- per ekor. Sedangkan untuk trenggiling yang sudah dikuliti dapat dijual dengan harga tinggi, sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,-.

PERMASALAHAN, ANCAMAN, DAN GANGGUAN TERKINI

Trenggiling termasuk salah satu satwa yang sangat rentan terhadap ancaman kepunahan. Trenggiling merupakan satwa yang mudah diburu karena jika mendapatkan bahaya, ia menggulung tubuhnya seperti bola dan memudahkan para illegal hunter menangkapnya. Selain itu, sebagai satwa pemanjat, perangkap dalam bentuk tempat panjat pun mudah dibuat dan trenggiling dapat dengan mudah terperangkap ditempat itu. Jika di luar habitat aslinya atau di penangkaran, trenggiling sulit beradaptasi. Selain itu, satwa ini juga sulit bereproduksi dan berkembangbiak di penangkaran (Lim dan Ng 2007; Wu et. al 2004).

Gambar 3 Trenggiling yang Sudah Dikuliti untuk Keperluan Ekspor (Sumber:

(7)

Perburuan trenggiling telah dilakukan sejak beberapa dekade tahun yang lalu. Hal ini dapat dikatakan lazim sehingga ekspor trenggiling secara besar-besaran telah bertahun-tahun dilakukan (gambar 3). Sebagai contoh, Serawak-Malaysia mengekspor sebanyak 60 ton sisik trenggiling pada tahun 1958-1964 (Harrisson dan Loh 1965

dalam Shepherd 2008).

Perdagangan trenggiling saat ini masih diawasi. Ekspor trenggiling terbesar saat ini dilakukan ke Negara China (Semiadi et al. 2008). Hal ini dikarenakan bahwa di China, trenggiling dimanfaatkan sebagai makanan, obat tradisional maupun obat penguat (tonics) (Wu, et al., 2004; Liou, 2006). Shepherd (2008) menyatakan bahwa trenggiling merupakan salah satu jenis satwaliar yang paling sering dan paling banyak disita oleh aparat berwenang terkait dengan penyelundupan dan penjualan illegal. Di Vietnam, pada Maret 2008 yang lalu tertangkap sekitar 24 ton trenggiling beku yang berasal dari Indonesia. Pada bulan Juli 2008 juga ditemukan hasil sitaan polisi Sumatera sebanyak 14 ton pangolin.

Menurut Kompas (2010) Sebanyak 60 trenggiling hasil tangkapan polisi perairan Polda Jambi di perairan Tanjung Jabung Barat pada pekan lalu dilepasliarkan kembali di hutan restorasi Harapan Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. trenggiling yang dilepasliarkan tersebut sempat dititipkan sementara di Kebun Binatang Taman Rimba Jambi. Puluhan trenggiling yang merupakan hewan langka dan dilindungi undang-undang tersebut akan dilepasliarkan di hutan restorasi di Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, yang merupakan hutan dataran rendah di Provinsi Jambi. Pedagang yang membawa 18 ekor trenggiling pada salah satu kapal penumpang dari Mentawai ke Padang tertangkap oleh petugas.

KONSERVASI IN-SITU

Sesuai data dan pelaporan hasil penelitian di habitat aslinya, penemuan trenggiling secara umum hanya terbatas pada penemuan jenis. Penemuan dan penelitian mengenai populasi di alam belum banyak dilaporkan secara jelas. Hal ini sebenarnya menyulitkan para peneliti trenggiling untuk melakukan penelitian di habitat alaminya. Data tiga tahun terakhir yang dilakukan oleh LIPI hanya mengenai kuota penetapan perdagangan trenggiling yang diizinkan ekspor tidak lebih dari 10 ekor yang diambil langsung dari alam. Selain itu data lain hanya berisi tentang trafficking. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya keberadaan populasi di alam dapat dikatakan sangat rendah atau bahkan belum dapat dipastikan secara langsung berapa jumlah aktual saat ini.

Setelah mengetahui data penurunan populasi trenggiling dan ketersediaannya di alam hendaknya pengelolaan dapat diarahkan dalam bentuk pengelolaan populasi trenggiling dan habitatnya di alam, baik dalam kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, maupun di kawasan-kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional. Namun upaya itu belum terlihat karena belum ada kawasan tertentu baik di Taman Nasional, Cagar Alam maupun Suaka Margasatwa yang benar-benar fokus pada

(8)

trenggiling dan permasalahannya. Biasanya hanya ditemukan daftar jenis satwaliar secara umum dan bentuk-bentuk pengelolaan habitat yang umum di alam. Penanggulangan masalah trenggiling secara in-situ sebenarnya dapat dengan mudah dilaksanakan jika seluruh stakeholder yang terkait dapat sepemahaman dan komitmen dalam mengelola populasinya. Pengawasan sangat diperlukan dalam hal ini. bukan hanya pengawasan terhadap bio-ekologi satwa yang dikelola, tetapi juga pengawasan terhadap sosio-ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi in-situ.

KONSERVASI EX-SITU

Penangkaran menurut Fakultas Kehutanan IPB (1991) adalah suatu usaha atau kegiatan mengembangbiakkan jenis-jenis satwaliar yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian genetiknya di luar habitat alaminya. Usaha penangkaran trenggiling diketahui belum banyak dilaporkan. Hal ini menjadikan banyaknya kesulitan ditemukan dalam perolehan data dan informasi mengenai satwa ini di penangkaran. Trenggiling diketahui merupakan satwa yang sulit beradaptasi dengan lingkungan diluar habitat aslinya sehingga sulit pula melakukan perkembangbiakan (breeding) di penangkaran (Lim dan Ng 2007; Wu et. al 2004). Namun ada yang menyebutkan bahwa trenggiling dapat bertahan hidup dengan kuat dan sangat keras. Spesies Manis crassicaudata dilaporkan dapat hidup di penangkaran selama hampir 20 tahun (Nowak 1999).

Berdasarkan informasi dan penelitian terbatas, diketahui bahwa UD. Multi Jaya Abadi telah melakukan kegiatan konservasi untuk satwa ini dalam bentuk penangkaran (Bismark 2009). Penangkaran ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi satwa ini dari kegiatan perdagangan liar satwa langka, terlebih lagi ada kebiasaan masyarakat Sibolga yang gemar memburu trenggiling dengan menggunakan jerat berpaku. Penggunaan alat tangkap ini tidak sesuai karena dapat melukai satwa. Dengan kondisi yang luka maka trenggiling yang telah ditangkap akan memiliki nilai jual yang jauh lebih rendah. Untuk itu muncullah ide untuk membeli seluruh trenggiling yang ada pada warga untuk ditangani atau diselamatkan (rescue) dan ditangkarkan sekaligus sebagai sarana penyadar-tahuan kepada masyarakat agar tidak lagi menangkap trenggiling di alam karena populasinya sudah mulai terbatas. Untuk kasus yang sama dengan Spesies Manis crassicaudata yang dilaporkan oleh Nowak (1999), trenggiling di UD. Multi Jaya Abadi menurut Bismark (2009) juga dapat hidup lama di dalam penangkaran dan telah berhasil melakukan reproduksi. Jumlah anakan (F2) yang tercatat sejak tahun 2007 sebanyak 4 individu.

Berhasil atau tidaknya suatu kegiatan konservasi ex-situ bergantung pada teknik pemeliharaannya. Menurut Bismark (2009), teknik pemeliharaan trenggiling di UD. Multi Jaya Abadi menggunakan sistem kandang semi permanen (semi alami) dengan lantai tetap terbuat dari tanah dan atap kandang terbuat dari rumbia. Meskipun demikian, sanitasi yang baik tetap diperhatikan. Jenis pakan yang diberikan adalah kroto dan berbagai buah-buahan penarik semut. Aktivitas harian trenggiling di

(9)

dalam kandang hampir tidak jauh berbeda dengan kondisi dan aktivitasnya di habitat asli trenggiling.

KEBIJAKAN KONSERVASI

Sama seperti perlindungan terhadap sumberdaya alam lainnya terutama satwaliar, perlindungan terhadap trenggiling juga termaktub dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia. UU No.5 tahun 1990 yang mengatur tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya dibentuk dengan tujuan untuk melindungi satwaliar dan tumbuhan beserta habitatnya. Melindungi berarti melakukan kegiatan pengelolaan. Untuk selanjutnya kegiatan pengelolaan dilakukan dengan berbagai peraturan lainnya yang tertuang dalam beberapa bentuk keputusan Menteri dan Kebijakan pemerintah setempat.

Kemudian Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 berhasil dibuat dengan harapan dapat mengatur kegiatan pengawetan tumbuhan dan satwaliar. Pada peraturan perundangan ini, daftar jenis margasatwa yang dilindungi beserta konservasinya dilampirkan. Hingga sampai pada saat Indonesia ikut meratifikasi konvensi CITES dengan menjadi anggota di dalam CITES. Aksi ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa sebenarnya dari segi peraturan perundangan telah banyak dilakukan upaya konservasi satwaliar. Dengan bantuan CITES, Indonesia dapat mengontrol perdagangan satwaliar dan tumbuhan, khususnya trenggiling.

Pada PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwaliar, trenggiling termasuk pada status satwa dilindungi. Di dalam CITES, pada lampirannya, trenggiling termasuk dalam Appendix II sejak 1 Juli 1975 yang mengandung pengertian bahwa satwa ini dilarang diperdagangkan. Di Indonesia, perdagangan ini diatur oleh Management Authority (PHKA) dan Scientific Authority yang dipegang oleh LIPI. Seluruh perizinan untuk kegiatan perdagangan dan kuotanya diatur oleh kedua lembaga otoritas tersebut. Namun demikian, izin yang berlaku hanya untuk keturunan kedua (F2) dan seterusnya dari trenggiling.

Pada IUCN tahun 2010, trenggiling termasuk dalam status Endangered (EN ver 3.1) yang berarti terancam punah dimasa yang akan datang. Hal ini dikarenakan kondisi populasi trenggiling di alam dari waktu ke waktu semakin menurun. Status trenggiling di IUCN semakin meningkat menuju kelangkaan setelah sebelumnya trenggiling menempati status sebagai satwa yang lower risk atau beresiko rendah (Near Threatened) di tahun 1996. Berbeda dengan di Indonesia, dibeberapa Negara lain seperti India, Nepal, Sri Lanka, dan USA, status trenggiling dalam CITES sudah berada pada Appendix I.

PENGEMBANGAN KEGIATAN KONSERVASI

Kegiatan pengembangan kegiatan konservasi meliputi upaya-upaya pembinaan populasi trenggiling baik di alam maupun secara ex-situ. Upaya ini tidak dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja. Pengembangan melibatkan seluruh

(10)

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di

stakeholder yang terkait. Oleh sebab itu diperlukan suatu pemahaman dan pegangan yang sama terhadap kegiatan konservasi. Pemahaman tersebut dapat berupa penyadar-tahuan akan kondisi populasi trenggiling di alam yang mendorong perubahan sikap agar tidak lagi melakukan penangkapan trenggiling di habitat aslinya dan mengupayakan terbangunnya suatu kegiatan penangkaran yang dapat memenuhi kebutuhan trenggiling secara lokal dan internasional.

Banyak pemahaman yang telah dilakukan, pembuatan nota kesepakatan atas perdagangan trenggiling dapat menjadi salah satu upaya pengembangan kegiatan konservasi satwa ini. Namun tetap saja terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan yang berakibat pada terhambatnya pengembangan kegiatan konservasi trenggiling. Setiap Negara yang tergabung dalam CITES seharusnya menerapkan dan dan menegakkan peraturan serta sanksi yang ada dalam konvensi yang telah disepakati. Kewajiban menaati setiap kesepakatan dalam konvensi CITES ternyata masih minim. Masih banyak Negara yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai Negara anggota CITES untuk mengawasi perdagangan trenggiling (Shepherd 2007). Ditambah lagi, CITES juga belum memiliki legislasi yang kuat untuk menjadikan konvensi ini berlaku secara efektif pada Negara-negara anggotanya. Meskipun demikian, para anggota CITES bersepakat untuk terus mengadakan simposium terkait dengan pengembangan satwaliar di penangkaran, termasuk trenggiling. Rencana pendanaan pun sudah diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan penangkaran-penangkaran satwaliar (CITES 2001).

Berbagai kebijakan konservasi dalam pengelolaan populasi trenggiling di alam dan dipenangkaran telah banyak ditemukan. Hanya saja dalam pelaksanaannya masih berbenturan dengan berbagai kepentingan yang lebih mengedepankan aspek ekonomi dari pemanfaatan trenggiling. Usaha-usaha penangkaran yang ada pun lebih banyak bertujuan untuk kegiatan ekonomi, memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap trenggiling.

PENUTUP

Terdapat beberapa perbedaan dalam aktivitas pengelolaan trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di kawasan konservasi in-situ maupun ex-situ. Di dalam kawasan in-situ, trenggiling dikelola secara global dalam kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Taman Nasional. Bentuk pengelolaan di dalam kawasan konservasi ini berbeda juga saling berbeda dan biasanya kurang difokuskan pada satwa tertentu seperti trenggiling. Kegiatan penangkaran merupakan salah satu program atau kegiatan konservasi yang dilakukan secara ex-situ bagi pelestarian trenggiling. Meskipun tidak banyak pelaporan mengenai penangkaran trenggiling, manajemen pengelolaan yang ditemukan dilapangan dapat dikatakan cukup baik untuk tindakan pengelolaan individu dan populasi.

(11)

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di

DAFTAR PUSTAKA

Alamendah. 2009. Trenggiling, Dagingnya 1 juta per Kg. Dalam: http://alamendah.wordpress.com/2009/10/28/trenggiling-dagingnya-1-juta-per-kg/ [20 Mei 2010]

Bismark M. 2009. Teknologi Pengembangan Penangkaran dalam UKP Teknologi Konservasi Biodiversitas Fauna Langka. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Tidak dipublikasikan.

Boonsong Lekagul and McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok: Association for the Conservation of Wildlife.

Breen K. 2003. Manis javanica, Animal Diversity Web. Dalam: http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Manis_java nica.html [3 Mei 2010].

Cahyono E. 2008. Kajian anatomi skelet trenggiling jawa (Manis javanica). [skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

CITES [Convention on International Trade in Endangered Species]. 2001. Relationship between Ex-situ Breeding Operations and In-situ Conservation Programs. Proceedings Sixteenth Meeting of the Animal Committee, USA 11-15 Desember 2000.

Davies G and Payne J. 1982. A Faunal Survey of Sabah. Kuala Lumpur: WWF Malaysia. EBN [Era Baru News]. 2010. Spesies hutan Riau terus menyusut. Dalam:

http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/13986-spesies-hutan-riau-terus-menyusut [15 Desember 2010].

Farida WR. 2010. Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1922), mamalia bersisik yang semakin terancam. Fauna Indonesia IX(1): 5-9.

Hertanto, editor. 2010. Sejuta kilo daging trenggiling dijual. Dalam: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/04/17/21594696/Sejuta.Kilo.Dagi ng.Trenggiling.Dijual [11 Mei 2010].

Junandar. 2007. Gambaran morfologi hati trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Lim NTL and Ng PKL. 2007. Home range, activity cycle and natal den usage of a female Sunda pangolin Manis javanica (Mammalia: Pholidota) in Singapore.

Endangered Species Research. (4):233-240.

Liou C, (ed). 2006. The state of wildlife trade in China: Information on the trade in wild animals and plants in China 2006. TRAFFIC East Asia, China.

(12)

Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di

Martin EB and Phipps M. 1996. A Review of the Wild Animal Trade In Cambodia.

TRAFFIC Bulletin Vol.16 No.2:45-60

Medway L. 1969. The Wild Mammals of Malaya and Singapore. Oxford: Oxford University Press.

Medway L. 1977. Mammals of Borneo. Monographs of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 7:1-172.

Nisa C. 2005. Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin (Manis javanica). [disertasi]. Bogor. Graduate school Bogor Agricultural University. Ruhyana AY. 2007. Kajian morfologi saluran pernapasan trenggiling (Manis javanica)

dengan tinjauan khusus pada trachea dan paru-paru. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Semiadi G, Darnaedi D, Arief AJ. 2008. Sunda Pangolin Manis javanica Conservation in Indonesia: Status and Problems. In: Pantel S and Chin SY (ed.). 2009. Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to South and Southeast Asia, 30 June-2 July 2008, Singapore Zoo, Singapore. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.

Shepherd CR. 2007. Bear trade in Southeast Asia: The status of protection for Southeast Asia’s bears. In: Williamson DF. (ed). 2007. Proceedings of the fourth international symposium on trade of bear parts, 4 October, 2006, Nagano, Japan. TRAFFIC East Asia – Japan. Tokyo.

Shepherd CR. 2008. Overview of pangolin trade in Southeast Asia. In: Pantel S and Chin SY (ed.). 2009. Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to South and Southeast Asia, 30 June-2 July 2008, Singapore Zoo, Singapore. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.

Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency (JICA).

Wu S, Liu N, Zhang Y, Ma G. 2004. Assessment of threatened status of Chinese Pangolin (Manis Pentadactyla). Chinese Journal of Applied Environmental Biology 10(4): 456-461.

Zainuddin H. 2008. Satwa jelmaan setan itu kini jadi barang dagangan. Dalam: http://www.antara.co.id/view/?i=1208940642&c=WBM&s= [11 Mei 2010].

Gambar

Gambar 1  Trenggiling (Manis javanica) (Foto: Novriyanti 2010).
Gambar 2 Aktivitas trenggiling di atas pohon (sumber: http://www.ksda- http://www.ksda-bali.go.id/?p=386)
Gambar 3  Trenggiling yang Sudah Dikuliti untuk Keperluan Ekspor  (Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan rumus wilcoxon, untuk mengetahui pengaruh metode bercerita bermedia gambar

Andi memiliki seutas tali yang (an0angnya 24 m. 5$nnie anak yang termuda dari 3 saudara kandung. B$b 8 tahun lebih tua dari c$nnie. The !irst # positi'e odd integers are placed in

Penelitian menggunakan sembilan variabel yang terdiri dari persepsi kerumitan (perceived complexity), persepsi kesesuaian (perceived compatibility), ketertarikan individu

Hasil analisis indeks dominansi menyatakan bahwa dominansi jenis ikan di perairan mangrove Desa Karangsong termasuk dalam kategori “Rendah” dengan nilai indeks dominansi

Bentuk Rumah berbentuk panggung dengan pilar atau tiang yang tingginya mencapai 4-7m, bentuk rumah tradisional ini bervariasi pada setiap masing suku di Kaliman- tan Tengah,

Semua jenis ikan tertangkap dengan pancing dodango.Musim penangkapan ikan dasar terjadi selama tujuh bulan dalam setahun, yaitu pada bulan Januari dan Maret,

rupakan desa dengan penduduk hampir 90% berpenghasilan dari hasil perikanan.Salah sa- tunya dengan melakukan usaha penangkapan Bubu Lipat (fishing basket).Alat tangkap bubu

Judul skripsi : Penggunaan Media Benda Manipulatif Untuk Meningkatkan Hasil belajar Matematika Materi Penjumlahan Bilangan Pecahan (PTK Pada Siswa Kelas IV SD