BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendekatan Konstruktivisme
1. Pengertian Pendekatan Konstruktivisme
Menurut Sagala (2012:68) “Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu.”. Pada pokoknya pendekatan pembelajaran dilakukan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran dari bagian-bagian yang satu dengan bagian lainnya berorientasi pada pengalaman-pengalaman yang dimiliki siswa untuk mempelajari konsep, prinsip atau teori yang baru tentang suatu bidang ilmu.
Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pendekatan yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centeredapproach) karena menekankan pada kegiatan siswa. Pendekatan konstruktivisme adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengetahun awal siswa sebagai tolak ukur dalam belajar.
Menurut Sagala (2012:188) Prinsip yang paling umum dan paling esensial yang dapat diturunkan dari konstruktivisme, ialah bahwa "anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah, dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan menunjang proses alamiah ini”.
Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Menurut Bell, Driver & Leach dalam Hilda Karli & Margaretha SY (dalam Kusmoro: 2008) [online], pengertian pendekatan pembelajaran konstruktivisme yaitu:
Suatu pendekatan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (problem pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik-konflik kognitif ini hanya dapat di atasi melalui pengetahuan diri (self regulation). Dan pada akhir proses belajar, pengetahuan akan di bangun sendiri oleh siswa melalui pengalamannya sendiri dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Sedangkan peran guru menurut Paul Suparno (dalam Kusmoro,:2008) [online], “sebagai mediator dan fasilitasi yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.” Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme merupakan sudut pandang dalam pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya melalui kegiatan dan pengalaman belajar siswa.
2. Prinsip Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang relatif baru. Secara garis besar ada lima prinsip tentang belajar dan mengajar yang merupakan dasar bagi pendekatan-pendekatan berbasis konstruktivisme (Widodo : 2010)
 Pertama, pembelajar telah memiliki pengetahuan awal.
 Kedua, belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengatahuan berdasarkan pengatahuan yang telah dimiliki.
 Ketiga, belajar adalah perubahan konsepsi pembelajar.
 Keempat, proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu konteks sosial tertentu.
 Kelima, pembelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Sedangkan menurut Brook and Brook (dalam Indrawati; Wanwan Setiawan, 2009) ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, jika Anda akan mengimplementasikan konstruktivisme dalam pembelajaran, prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mengajukan masalah yang relevan untuk siswa
b. Strukturkan pembelajaran untuk mencapai konsep-konsep esensial
c. Sadarilah bahwa pendapat (perspektif) siswa merupakan jendela mereka untuk menalar (berpikir).
d. Adaptasikan kurikulum untuk, memenuhi kebutuhan dan pengembangan siswa
e. Lakukan asesmen terhadap hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam secara umum pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran memiliki prinsip bahwa pembelajaran yang dilakukan menekankan kepada: 1) Belajar adalah proses aktif mengkonstruksi pengetahuan; 2) Aktif membentuk keterkaitan (link) antara pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan yang sedang dipelajari; 3) Melakukan interaksi dengan siswa yang lain.
3. Karakteristik Pendekatan Konstruktivisme
Dasar pemikiran konstruktivis adalah pengajaran yang efektif menghendaki guru mengetahui bagaimana para siswa memandang fenomen yang menjadi subjek pengajaran atau bagaimana gagasan siswa mengenai konsep yang akan dibahas sebelum pembelajaran mengenai suatu konsep akan dimulai. Menurut Driver &Leaach (Karlimah, 2006) [online] dalam operasional teori konstruktivisme dicirikan dengan aspek-aspek berikut:
(1) beranjak dari pengetahuan awal siswa (prior knowledge); (2) memberikan pengalaman langsung (experimence) melalui aktivitas hands-on dan mind-on; (3) mengaktifkan interaksi sosial (social interaktions) dan konteks natural &cultural yang cocok dengan kehidupan siswa; dan (4) pencapaian kepahaman (sense making); dengan terjadinya perubahan konseptual pada diri siswa.
Sedangkan menurut Djojosoediro [online] ciri utama belajar dan pembelajaran konstruktivisme adalah:
(a) pengetahuan awal siswa menjadi bagian penting dalam pembelajaran; (b) siswa aktif belajar dan menghubungkan pengetahuan awal yang dimiliki dengan pengetahuan yang sedang dipelajari; (c) siswa membangun `pengetahuan sendiri sehingga pengetahuan tersebut bermakna bagi dirinya; dan (d) selalu beriteraksi multi arah (guru siswa, siswa siswa)
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik pembelajaran pendekatan konstruktivisme meliputi: (1) pengetahuan awal siswa; (2) memberikan pengalaman langsung; (3) mengaktifkan interaksi sosial; dan (4) pencapaian kepahaman. Jadi dapat dikatakan saat siswa memasuki ruang kelas, siswa telah membawa gagasan atau konsep awal yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Gagasan atau konsep awal tersebut perlu disadari oleh guru dalam kegiatan pembelajaran agar proses pembelajaran tidak hanya memindahkan gagasan guru kepada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan-gagasan yang ada melalui pengalaman di kelas.
4. Langkah-langkah Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Implikasi dari pendekatan belajar konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi empat tahapan yaitu, 1) pengetahuan awal siswa (mengungkapkan konsepsi awal dan membangkitkan motivasi), 2) pemberian pengalaman langsung, 3) mengaktifkan interaksi sosial, 4) Pencapaian kepahaman. Tahap-tahap pembelajaran tersebut diuraikan sebagai berikut: a. Pengetahuan Awal Siswa
Pada tahap ini siswa didorong untuk mengungkapkan pengetahuan awal tentang konsep yang akan dipelajari. Bila perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahaman tentang konsep tersebut.
Dalam kegiatan pembelajaran Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi tentang penerapan Konsep Wujud Benda dan Sifatnya (prinsip
pengetahuan awal)
b. Pemberian Pengalaman Langsung
Pada tahap ini siswa diajak untuk menemukan konsep melalui penyelidikan, pengumpulan data, dan penginterpretasian data melalui suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Pemberian pengalaman langsung dapat berupa pengamatan, melakukan percobaan, demonstrasi, mencari informasi melalui buku atau surfing di internet secara berkelompok. Pada
tahap ini dirancang agar rasa ingin tahu siswa tentang fenomena alam di sekelilingnya dapat terpenuhi secara keseluruhan. Pada tahap ini guru memberi kebebasan pada siswa untuk mengeksplorasi rasa keingintahuannya melalui pengalaman dan kegiatan belajar siswa.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru melibatkan siswa secara mandiri untuk mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik Konsep Wujud Benda dan Sifatnya dengan memanfaatkan lingkungan sekitar kelas, dan berbagai sumber belajar dengan cara merenungkan pengalaman sehari-hari siswa berkaitan dengan Konsep Wujud Benda dan Sifatnya. Menerapkan metode percobaan dengan cara menyediakan alat dan bahan yang sama kepada masing-masing kelompok, masing-masing kelompok dan seluruh anggota kelompok melakukan kegiatan aktif melakukan percobaan (prinsip
pengalaman langsung) c. Mengaktifkan Interaksi Sosial
Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan guru maupun temannya secara berkelompok untuk melakukan tanya jawab maupun diskusi hasil observasi atau temuannya dalam kegiatan pembelajaran atau pengalamannya.
Dalam kegiatan pembelajaran guru memfasilitasi siswa melalui diskusi kelompok untuk mendiskusikan hasil pengamatan pada saat melakukan percobaan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan dengan Konsep Wujud Benda dan Sifatnya. (prinsip mengaktifkan interaksi sosial)
d. Pencapaian Kepahaman
Pada tahap ini guru memberikan penguatan bukan memberi informasi. Dengan demikian siswa sendiri yang membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Bila konsepsinya/pengetahuan awalnya benar, maka siswa menjadi tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya. Bila pengetahuan awalnya salah, maka eksplorasi akan merupakan jembatan antara konsepsi siswa dengan konsep baru. Dengan demikian diharapkan konsep yang dipelajarinya akan menjadi bermakna. Dalam kegiatan pembelajaran guru bersama siswa menyimpulkan Konsep Wujud Benda dan Sifatnya. (prinsip pencapaian kepahaman)
5. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme
Berikut kelebihan dan kelemahan pendekatan konstruktivisme dibandingkan dengan proses pembelajaran konvensional.
a. Kelebihan
1) Pembelajaran diperoleh siswa melalui pengalaman langsung
2) Pendekatan konstruktivisme dapat diterapkan untuk berbagai macam materi ajar, seperti pemahaman yang rumit, serta latihan memecahkan masalah secara bersama-sama.
3) Dapat diterapkan untuk semua jenjang pendidikan atau dalam pelatihan diorganisasi.
4) Pendekatan konstruktivisme membuat pembelajaran lebih bermakna, karena belajar berdasarkan prinsip learning by doing (belajar sambil berbuat).
5) Menimbulkan rasa percaya diri pada siswa karena siswa merasa mempunyai andil terhadap keberhasilan belajar.
6) Terkait dengan motivasi, pendekatan konstruktivisme membina kompetensi interpersonal mencakup kemampuan berkomuniksi, berkolaborasi, bekerja sama, membantu orang lain, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Kompetensi intrapersonal mencakup apresiasi terhadap keanekaragaman, melakukan refleksi diri, mengendalikan emosi, tekun, mandiri, dan mempunyai motivasi intrinsik.
b. Kelemahan
1) Memerlukan waktu yang cukup bagi setiap siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri.
2) Memerlukan latihan agar siswa terbiasa belajar dengan pendekatan tersebut.
3) Pendekatan konstruktivisme yang diterapkan harus sesuai dengan pembahasan materi ajar yang harus dipilih dengan sebaik-baiknya agar sesuai dengan misi pendekatan konstruktivisme.
4) Memerlukan format penilaian yang berbeda.
5) Guru memerlukan kemampuan khusus untuk mengkaji berbagai teknik pelaksanaan pendekatan konstruktivisme.
6. Penerapan Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA pada jenjang pendidikan dalam menggunakan pendekatan serta model apa pun harus benar-benar efektif. Dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif (Depdiknas dalam Berkenalan dengan Pendidikan IPA di SD) pembelajaran yang efektif secara umum diartikan sebagai kegiatan pembelajaran yang memberdayakan potensi siswa serta mengacu pada pencapaian kompetensi individual masing-masing siswa.
Ada baiknya jika guru yang akan merancang pembelajaran IPA di SD memperhatikan tujuh ciri utama pembelajaran efektif yang memberdayakan potensi siswa sebagaimana diuraikan pada buku tersebut (Depdiknas, 2003 dalam Berkenalan dengan Pendidikan IPA di SD). Ketujuh ciri itu adalah:
a. Berpijak pada prinsip konstruktivisme. b. Berpusat pada siswa.
c. Belajar dengan mengalami
d. Mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan emosional. e. Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan. f. Belajar sepanjang hayat.
g. Perpaduan kemandirian dan kerjasama.
Prinsip konstruktivisme merupakan salah satu ciri pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran IPA di SD, karena menurut (Widodo, 2010) Implikasi dari prinsip konstruktivistime terhadap pembelajaran IPA di SD adalah seperti bagan alur pembelajaran berikut ini. Menggali pengetahuan awal siswa yang terkait dengan materi baru yang akan dipelajari, Melakukan investigasi/ penyelidikan, Memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengumpulkan bukti-bukti/ fakta-fakta sebagai bahan untuk mengkonstruksi pengetahuannya atas bantuan guru (atau melalui kerja sama dengan teman). Terjadi interaksi yang efektif dan bermakna sehingga siswa memperoleh pengetahuan baru (konsep, prinsip) yang bermakna.
Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran IPA berorientasi pada siswa. Peran guru bergeser dari menentukan “apa yang akan dipelajari” ke „bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar siswa”. Pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi lingkungan melalui interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan narasumber lain.
Jadi seorang guru IPA seharusnya terbiasa memberikan peluang seluas-luasnya agar siswa dapat belajar lebih bermakna dengan memberi respon yang mengaktifkan semua siswa. Seiring dengan pendekatan yang seharusnya dilakukan, maka penilaian tentang kemajuan belajar siswa seharusnya dilakukan selama proses pembelajaran.
Penilaian tidak hanya dilakukan pada akhir siklus tetapi dilakukan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran dalam arti kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan hanya hasil (produk). Penilaian IPA didasarkan pada penilaian otentik yang dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti: tes perbuatan, tes tertulis, pengamatan, dan skala sikap. Dengan demikian, lingkup penilaian IPA dapat dilakukan baik pada hasil belajar (akhir kegiatan) maupun pada proses perolehan hasil belajar (selama kegiatan belajar).
B. Hasil Belajar
1. Pengertian Belajar
Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. Dalam implementasinya, belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar.
Pengertian belajar juga dijelaskan oleh Gagne (Sagala, 2012:13) belajar adalah „sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman‟. Sedangkan Lester D.Crow (Sagala, 2012:13) mengemukakan bahwa belajar ialah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap-sikap. Belajar dikatakan berhasil manakala seseorang mampu mengulangi kembali materi yang telah dipelajarinya, maka belajar seperti ini disebut “rote learning”. Kemudian, jika yang telah dipelajari itu mampu disampaikan dan diekspresikan dalam bahasa sendiri, maka disebut “overlearning”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan sehingga membuat suatu perubahan perilaku yang berbentuk kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotor.
2. Pengertian Hasil Belajar
Menurut Mudjiono dan Dimyati, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sedangkan dari segi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.
Pernyataan lain diungkapkan oleh Sudjana (2011:22) “ hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.” Derajat kemampuan yang diperoleh siswa diwujudkan dalam bentuk nilai hasil belajar. Dalam pembelajaran, hasil proses pembelajaran atau standar kompetensi dan kompetensi dasar tertuang dalam silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang terjabar pada silabus tersebut dan guru pun menyusun beberapa indikator yang dapat menjelaskan dan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku yang perlu dimiliki oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran, dan tercapai tidaknya indikator tersebut baru dapat diketahui setelah dilakukan serangkaian tes.
Horward kingsley (Sudjana, 2011:22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (1) keterampilan dan kebiasaan, (2) pengetahuan dan pengertian, (3) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah diterapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan psikomotorik.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris Sudjana (2011:22-23) yang diuraikan sebagai berikut:
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri
dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni (a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerak dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan dan ketepatan, (e) gerakan keterampilan kompleks, dan (f) gerakan ekspresif dan interpretatif.
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara ketiga ranah itu ranah kognitiflah yang mendapat perhatian dari peneliti, karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi dari pembelajaran. Sudjana (1989: 22-23) menjelaskan bahwa ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Sedangkan ranah psikomototis berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak yang terdiri dari enam aspek, yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
Pengumpulan informasi tentang kemajuan belajar siswa dapat dilakukan beragam teknik, baik berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik mengumpulkan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar siswa terhadap pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pada umumnya hasil belajar dinilai melalui tes, baik tes uraian maupun tes objektif. Pelaksanaan penilaian bisa secara lisan, tulisan, dan tindakan atau perbuatan. Karena tes uraian memiliki kelebihan sebagai berikut Sudjana, (2011:36):
a) Dapat mengukur proses mental yang tinggi atau aspek kognitif tingkat tinggi;
b) Dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulisan, dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa; c) Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah (problem solving);
d) Adanya keuntungan teknis seperti mudah membuat soalnya sehingga tanpa memakan waktu lama, guru dapat secara langsung proses berpikir siswa tersebut.
Maka penilaian hasil belajar dalam penelitian ini dilakukan melalui tes uraian yang disesuaikan dengan kebutuhan peneliti untuk mengukur hasil belajar dalam mengukur proses mental atau kognitif siwa dan untuk mengetahui secara langsung proses berpikir siswa dalam menerapkan pendekatan konstruktivisme pada mata pelajaran IPA tentang materi Wujud Benda dan Sifatnya.
3. Faktor yang Mendukung Hasil Belajar
Proses pembelajaran diharapkan dapat memberikan hasil belajar yang memuaskan baik bagi sistem pengajaran, guru dan terutama siswa, akan teteapi pada kenyataannya dalam usaha pencapaian tujuan tersebut terkadang tidak berjalan sesuai dengan keinginan, sehingga dapat menghambat kemajuan hasil belajar. Hambatan inilah yang hars diketahui agar dapat dihindarkan sehingga tidak menimbulkan kegagalan. Menurut Muhibin Syah (2002:132) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor Internal (faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa)
1) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) di antaranya kondisi kesehatan, daya pendengaran dan penglihatan, dan sebagainya.
2) Aspek psikologis yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa, di antaranya yaitu kondisi rohani siswa, tingkat kecerdasan/intelegensi, sikap, bakat, minat, dan motivasi siswa.
b. Faktor Eksternal (faktor-faktor yang berasal dari luar diri siswa)
1) Lingkungan sosial, seperti para guru, staf administrasi, dan teman-teman sekelas, masyarakat, tetangga, teman-teman bermain, orang tua dan keluarga siswa itu sendiri.
2) Lingkungan non sosial, seperti gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa.
c. Faktor Pendekatan Belajar, dapat dipahami sebagai cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang efektivitas dan efisien proses pembelajaran materi tertentu.
C. Pembelajaran IPA
1. Hakikat dan Karakteristik Pembelajaran IPA
Istilah Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA dikenal juga dengan istilah sains. Kata sains ini berasal dari bahasa Latin yaitu scientia yang berarti ”saya tahu”. Dalam bahasa Inggris, kata sains berasal dari kata science yang berarti ”pengetahuan”. Istilah science secara umum mengacu kepada masalah alam (nature) yang dapat diinterpretasikan dan diuji. Dalam pengelompokan ilmu (science), ilmu dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu ilmu sosial (social science) dan ilmu alamiah (natural science). Dalam perkembangan selanjutnya natural sciences sering disingkat menjadi science, dalam Bahasa Indonesia disebut Sains (IPA).
Pengertian dari IPA telah banyak diungkap oleh para ahli, baik IPA sebagai batang tubuh atau materi dari ilmu kealaman maupun proses dalam pencapaiannya. Beberapa pendapat para ahli tentang IPA diantaranya: Jenkins &Whitefield: 1974; Conant: 1975 dalam (Praginda, 2009) berpendapat bahwa IPA merupakan rangkaian konsep dan skema konseptual yang saling berhubungan yang dikembangkan dari hasil eksperimentasi dan observasi serta sesuai untuk eksperimentasi dan observasi berikutnya.
Lebih lanjut, Davis dalam bukunya On the Scientific Methods yang dikutip oleh Chalmers (Praginda, 2009), menyatakan sains sebagai suatu struktur yang dibangun dari fakta-fakta. Bronowski, seorang saintis dan juga filosof tentang sains, menyatakan sains merupakan organisasi pengetahuan dengan suatu cara tertentu berupa penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang tersembunyi yang ada di alam.
Dengan demikian, IPA merupakan pengetahuan ilmiah (yang meliputi fakta, konsep, dan prinsip, gagasan-gagasan atau ide, teori, hukum-hukum dan model-model) tentang alam sekitar yang diperoleh melalui proses ilmiah (eksperimen dan observasi) yang dilakukan melalui indera dengan interaksi dua arah, serta berkaitan dengan pengembangan sikap ilmiah, tindakan dan mengandung nilai-nilai atau manfaat (misalnya keingintahuan, kejujuran, terbuka, objektif, kerja keras, kecermatan, disiplin dan percaya diri).
Berdasarkan pengertian-pengertian IPA yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya IPA merupakan ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang dituangkan berupa fakta, konsep, prinsip dan hukum yang teruji kebenarannya dan melalui suatu rangkaian kegiatan dalam metode ilmiah.
Menurut Djojosoediro [online] dalam Pengembangan dan Pembelajaran IPA mengemukakan bahwa IPA memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan bidang ilmu lain. Karakteristik IPA tersebut yaitu;
a. IPA mempunyai nilai ilmiah, artinya kebenaran-kebenaran IPA dapat dibuktikan kembali oleh semua orang dengan melakukan prosedur yang sama seperti yang dilakukan penemunya;
b. IPA merupakan kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang yang berkaitan dengan gejala-gejala alam;
c. IPA merupakan pengetahuan teoritis yang diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimen, observasi demikian seterusnya sehingga saling terkait satu sama lain;
d. IPA meliputi 4 unsur yaitu proses, produk, aplikasi, dan sikap. Lebih lanjut lagi Widodo (2010:10) mengatakan bahwa karakteristik IPA meliputi tiga unsur utama meliputi:
a. Sains sebagai sikap yaitu sikap ilmiah yang terbentuk karena sifat sains itu sendiri yang meliputi rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar, dan IPA bersifat open ended.
b. Sains sebagai proses yaitu metode ilmiah berupa keterampilan atau kemampuan dasar bekerja ilmiah yang sering disebut sebagai keterampilan proses diantaranya: (1) keterampilan mengamati; (2) keterampilan merencanakan dan melaksanakan percobaan; (3) keterampilan menafsirkan dan menarik kesimpulan; dan (4) keterampilan mengkomunikasikan informasi.
c. Sains sebagai produk yaitu berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum yang ditemukan atau dikemukakan oleh para ahli.
Berdasarkan karakteristiknya, IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pemahaman tentang karakteristik IPA ini berdampak pada proses pembelajaran IPA di sekolah.
Sesuai dengan karakteristik IPA, Djojosoediro [online] (Pengembangan dan Pembelajaran IPA) mengharapkan pembelajaran IPA di sekolah:
Dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan karakteristik IPA pula, cakupan IPA yang dipelajari di sekolah tidak hanya berupa kumpulan fakta tetapi juga proses perolehan fakta yang didasarkan pada kemampuan menggunakan pengetahuan dasar IPA untuk memprediksi atau menjelaskan berbagai fenomena yang berbeda.
Dalam strategi pembelajaran MIPA yang dipublikasikan oleh Depdiknas (2008) pembelajaran IPA di sekolah diharapkan:
Dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat” sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam menyajikan pembelajaran IPA adalah memadukan antara pengalaman proses IPA dan pemahaman produk serta teknologi IPA dalam bentuk pengalaman langsung yang berdampak pada sikap siswa yang mempelajari IPA.
“Fokus pembelajaran IPA di SD hendaknya ditujukan untuk memupuk minat dan pengembangan anak didik terhadap dunia keseharian mereka dimana mereka tinggal dan hidup”. (Djumhana, 2011).
Pembelajaran IPA terutama lebih menekankan aspek proses bagaimana siswa belajar dan efek dari proses belajar tersebut bagi perkembangan siswa itu sendiri. Pembelajaran IPA melibatkan keaktifan siswa, baik aktivitas fisik maupun aktivitas mental, dan berfokus pada siswa, yang berdasar pada pengalaman keseharian siswa dan minat siswa. Pembelajaran IPA di SD mempunyai tiga tujuan utama : mengembangkan keterampilan ilmiah, memahami konsep IPA, dan mengembangkan sikap yang berdasar pada nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajarannya.
Berdasarkan jenjang dan karakteristik perkembangan intelektual anak seusia siswa SD maka penyajian konsep dan keterampilan dalam pembelajaran IPA harus dimulai dari nyata (konkrit) ke abstrak; dari mudah ke sukar; dari sederhana ke rumit, dan dari dekat ke jauh. Dengan kata lain, mulailah dari apa yang ada pada/di sekitar siswa dan yang dikenal, diminati serta diperlukan siswa.
Pembelajaran IPA sebagai media pengembangan potensi siswa SD seharusnya disesuaikan dengan karakteristik pendidikan IPA dan karakteristik anak yang berada pada masa perkembangan kognitif operasional konkrit. Jika hal ini dilaksanakan dengan tepat maka pembelajaran IPA di SD akan mampu mefasilitasi perkembangan potensi sikap, berpikir, berperilaku dan keterampilan dasar scientist yang terdapat pada diri siswa.
Proses pembelajaran IPA di sekolah menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar
menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.
2. Ruang Lingkup Mata Pelajaran IPA di SD
Berdasarkan Kurikulum Satuan Pendidikan dalam (Berkenalan dengan Pendidikan IPA SD) Ruang lingkup mata pelajaran Sains (IPA) di SD (meliputi dua dimensi: a) Kerja Ilmiah dan b) Pemahaman Konsep dan Penerapannya. Dalam kegiatan pembelajaran kedua dimensi ini harus dilaksanakan secara sinergi dan terintegrasi.
a. Kerja Ilmiah
Kinerja ilmiah sains dalam kurikulum sekolah dasar terdiri dari penyelidikan, berkomunikasi ilmiah, pengembangan kreativitas dan pemecahan masalah, sikap dan nilai ilmiah. Berikut adalah deskripsi kerja ilmiah tersebut.
1) Penyelidikan/Penelitian
Siswa menggali pengetahuan yang berkaitan dengan alam dan produk teknologi melalui refleksi dan analisis untuk merencanakan, mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data, mengkomunikasikan kesimpulan, serta menilai rencana prosedur dan hasilnya.
2) Berkomunikasi Ilmiah
Siswa mengkomunikasikan pengetahuan ilmiah hasil temuan dan kajiannya kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan. 3) Pengembangan Kreatifitas dan Pemecahan Masalah
Siswa mampu berkreatifitas dan memecahkan masalah serta membuat keputusan dengan menggunakan metode ilmiah.
4) Sikap dan Nilai Ilmiah
Siswa mengembangkan sikap ingin tahu, tidak percaya tahayul, jujur dalam menyajikan data faktual, terbuka pada pikiran dan gagasan baru, kreatif dalam menghasilkan karya ilmiah, peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan, tekun dan teliti.
b. Pemahaman Konsep dan Penerapannya,
Pemahaman konsep dan penerapannya mencakup:
1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan; 2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan
gas;
3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana;
4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.
5) Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat (salingtemas) merupakan penerapan konsep IPA dan saling keterkaitannya dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat melalui pembuatan suatu karya teknologi sederhana termasuk merancang dan membuat.
D. Wujud Benda dan Sifatnya
1. Wujud Benda
Wujud benda adalah keadaan benda berdasarkan kerapatan partikel penyusunnya, dan dibagi menjadi tiga wujud yaitu padat, cair dan gas. Wujud benda padat dilihat dari kerapatan partikelnya yang sangat rapat dan tidak dapat bergerak bebas, wujud benda cair memiliki kerapatan yang sedang atau kurang rapat dibandingkan dengan benda padat, sedangkan wujud benda gas memiliki kerapatan partikel yang sangat renggang sehingga partikelnya bergerak bebas.
Hal tersebut seiring dengan Pramono (2009: 32) yang mendefinisikan wujud benda adalah bentuk atau keadaan benda saat itu. Menurutnya benda dapat dikategorikan menjadi tiga wujud yaitu padat, cair dan gas. Lebih jauh lagi Haryanto (2006: 104) mengemukakan bahwa selain terdapat perbedaan sifat dari ketiga wujud benda, juga terdapat persamaan yaitu ketiganya menempati ruang dan memiliki ruang.
2. Sifat Benda
Sifat benda adalah ciri khusus yang ada pada segala sesuatu yang berada di alam yang mempunyai wujud. Sifat benda tersebut terdiri dari sifat-sifat pada benda padat, cair dan gas.
a. Benda Padat
Benda padat banyak macamnya, antara lain pakaian, meja, lemari, penggaris, buku, piring, gelas dan banyak lagi jenis lainnya. (lihat gambar 2.1.). Kita menyebut suatu benda sebagai benda padat. Jika memiliki bentuk dan ukuran yang tetap walaupun dipindahkan ketempat yang berbeda-beda. Wujud benda padat tidak mengikuti wadahnya, begitu pula dengan volumenya tidak akan mengalami perubahan.
Gambar 2.1. Contoh Wujud Benda Padat dan Penerapannya
b. Benda Cair
Pada benda cair memiliki sifat dan wujud yang berbeda dengan benda padat. Benda cair ini dalam keseharian dapat Kalian lihat misalnya pada air, bensin, dan susu, semua itu termasuk benda cair. Guritningsih (2009) Pada benda cair biasanya memiliki bentuk yang berubah-ubah, dan selalu mengikuti bentuk wadah yang ditempatinya. (perhatikan gambar 2.2.). Coba perhatikan jika kalian menumpahkan air di atas meja, maka air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Guritningsih (2009) Sifat lainnya dari zat cair adalah dapat masuk kedalam pori-pori kecil suatu bahan tertentu. Kemampuan ini disebut daya kapilaritas. Sifat zat cair yang memiliki daya kapilaritas misalnya lampu cempor, minyak yang ada pada lampu diserap oleh sumbunya sehingga api akan menyala selama minyak itu ada.
Gambar 2.2. Contoh Wujud Benda Cair dan Penerapannya
c. Benda Gas
Menurut kalian apakah udara dapat dirasakan? Udara memang tidak terlihat tetapi dapat kita rasakan. Jika kita memompa ban sepeda atau meniup balon, maka yang masuk pada ban dan balon tersebut adalah udara, sehingga ban akan mengeras karena udara menekan ban dari dalam, dan balon akan membesar sebesar udara yang masuk.
Jika pentil ban sepeda kita buka atau mulut Balon juga kita buka maka dapat kita rasakan embusan udara yang keluar dari benda tersebut. Benda yang dapat kita rasakan dan tidak dapat kita lihat disebut benda Gas. Dengan demikian udara termasuk benda gas. Benda gas biasanya tidak berwarna, tetapi ada yang berbau dan ada yang tidak berbau. Sifat lain dari benda gas adalah Guritningsih (2009) dapat mengisi ruang yang ditempatinya, serta memiliki bentuk yang selalu berubah-ubah dan volume yang tidak tetap.
Haryanto (2006: 104-111) mengemukakan bahwa sifat benda padat antara lain adalah bentuknya yang tetap dan tidak dipengaruhi oleh bentuk wadahnya, sifat benda cair antara lain adalah bentuknya yang tidak tetap selalu mengikuti wadahnya, sedangkan sifat benda gas antara lain adalah bentuknya yang tidak tetap karena mengisi seluruh ruangan yang ditempatinya.
Menurut pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa benda padat, cair dan gas masing-masing memiliki persamaan dan juga perbedaan sifat. Persamaan benda cair dan benda padat adalah sama-sama memiliki volume yang tetap walaupun bentuk yang berbeda. Pada benda cair memiliki persamaan dengan benda gas, yaitu bentuk yang tidak tetap atau berubah-ubah. Perbedaannya, benda cair memiliki volume yang tetap sedangkan benda gas memiliki volume yang tidak tetap atau berubah-ubah.