• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Berkhasiat Larvasida dan Insektisida Nabati Tumbuhan berkhasiat larvasida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Berkhasiat Larvasida dan Insektisida Nabati Tumbuhan berkhasiat larvasida"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Berkhasiat Larvasida dan Insektisida Nabati Tumbuhan berkhasiat larvasida

Nyamuk Aedes aegypti pada umumnya bertelur ditempat air yang bersih, yang biasanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan memasak, oleh sebab itu larvasida yang digunakan untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti harus memiliki sifat tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna dan efektif pada konsentrasi rendah, dan tentunya tidak berbahaya bagi manusia.

Widiyanti dan Muyadihardja (2004) melaporkan hasil uji Jamur

Metarhizium anisopliae terhadap larva nyamuk Aedes aegypti. Mortalitas larva

Aedes aegypti terjadi karena konidia Metarhizium anisopliae mengandung

destruxin A (C29H47O7N5), destruxin B (C25H42O6N4), destruxin C,D,E yang

dipertimbangkan sebagai bahan aktif insektisida generasi baru, destruxin berakibat pada organela sel target menyebabkan paralisis sel dan berubahnya fungsi midgut, tubulus malphigi dan jaringan otot.

Aminah et al. (2001) melaporkan ekstrak buah lerak bersifat toksik terhadap larva nyamuk. Ekstrak buah lerak, diduga mengandung saponin dan hormon steroid yang berpengaruh dalam pertumbuhan larva nyamuk. Larva yang mati dalam perlakuan ekstrak buah lerak memperlihatkan kerusakan pada dinding traktus digestivus. Hal ini diakibatkan karena saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus digestivus menjadi korosif. Pupa tidak terpengaruh oleh saponin karena mempunyai struktur dinding tubuh yang terdiri dari kutikula yang keras sehingga senyawa saponin tidak dapat menembus dinding pupa. Ukuran larva yang mati lebih panjang sekitar 1-2 mm dibandingkan dengan kontrol, diperkirakan terjadi relaksasi urat daging pada larva yang mendapat makan tambahan hormon steroid.

Ekstrak daun kecubung bersifat toksik terhadap larva nyamuk. Pengamatan pada nyamuk yang mati abnormal menunjukkan sebagian tubuh nyamuk ada yang tersangkut selubung pupa sehingga terjadi kegagalan ekslosi. Hal ini diperkirakan karena, alkaloid yang terkandung dalam daun kecubung dapat merangsang

(2)

kelenjar endokrin untuk menghasilkan hormon ekdison, peningkatan hormon tersebut dapat menyebabkan kegagalan metamorfosis (Aminah et al. 2001).

Fitriana (2006), melaporkan hasil uji aktivitas larvasida minyak atsiri kuncup bunga cengkeh (Syzygium aromatikum) terhadap larva nyamuk Anopheles

aconitus instar III diperoleh nilai LC90 sebesar 67,69 ppm.

Noegroho et al. (1997), melaporkan aktivitas larvasida minyak atsiri daun jukut Hyptis suaveolens terhadap larva nyamuk Aedes aegypti instar IV memiliki nilai LC50 dan LC90 sebesar = 393,69 ppm dan 1145,92 ppm, hasil analisis GC-MS diperoleh 16 puncak kromatogram, dan 8 puncak yang teridentifikasi, bila dibandingkan dengan National Institute of Standard Technology (NIST) senyawa tersebut adalah 3-karen, bisiklo-3,1,1 heksan, beta-pinen, alfa-felandren,

gama-terpinen, 3-sikloheksan-1-ol, beta-kariofilen dan alfa-kariofilen. Tumbuhan jukut

(Hyptis suaveolens) termasuk suku Labiatae yang mengandung monoterpen dan

seskuiterpen, digunakan oleh masyarakat untuk ramuan obat tradisional, seperti penolak serangga, anti spasmodik, dan anti rematik.

Hamidah (2002), melaporkan bahwa fraksi semi polar ekstraksi daun

Annona muricata mempunyai aktivitas larvasida tertinggi dibanding dengan fraksi

polar dan non polar, serta fraksi semi polar daun Annona muricata mempunyai pengaruh yang paling kuat dalam menghambat penetasan telur Aedes aegypti.

kemudian diikuti fraksi polar dan non polar.

Thomas et al. (2004) melaporkan minyak yang diperoleh dari ekstrak

Ipomoea cairica, pada konsentrasi 100 ppm telah berhasil membunuh 100% larva

Culex tritaeniorhynchus dengan nilai LC50 14,8 ppm dan pada konsentrasi 120

ppm berhasil membunuh larva Aedes aegypti dengan nilai LC50 22,3 ppm dan pada konsentrasi 120 ppm berhasil membunuh Anopheles stephensi dengan nilai LC50 14,9 ppm dan pada 170 ppm berhasil membunuh larva Culex

quinquefasciatus dengan nilai LC50 58,9 ppm.

Cetin dan Yanikoglu (2006) melaporkan efek insektisida dari esensial oil yang diperoleh dari tanaman Origanum onites terhadap larva Culex pipiens

diperoleh nilai LC50 sebesar 22,4 ppm dan LC90 sebesar 61,3 ppm. Efek insektisida esensial oil yang diperoleh dari tanaman Origanum minutiflorum terhadap larva

(3)

Amer dan Mehlhorn (2006) melaporkan minyak tumbuhan yang berasal dari tanaman (Camphor, Thyme, Amyris, Lemon, Cedarwood, Frankincense, Dill,

Myrtle, Juniper, Black Pepper, Verbena, Helichrysum and Sandalwood) memiliki

bioaktivitas sebagai larvasida dengan nilai LC50 Sebesar 1 s/d 101,3 ppm untuk

Aedes aegypti, dan sebesar 9,7 – 101,4 ppm pada Anopheles stephensi dan sebesar

1-50,2 ppm pada Culex quinquefasciatus.

Thangam dan Kathiresan (1997) telah melakukan uji bioaktif larvasida terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus pada 15 spesies tanaman mangrove

(Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia marina, Bruguiera

cylindrica, Ceriops decandra, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, R. lamarckii, R. mucronata, Salicornia brachiata, Sesuvium portulacastrum,

Sonneratia apetala, Suaeda maritima, S. monoica and Xylocarpus granatum) dari

ke-15 tanaman ekstrak petroleum ether dari tanaman R. apiculata yang paling efektif dengan nilai LC50 sebesar 25,7 mg/L.

Insektisida Nabati

Insektisida nabati yaitu insektisida yang didapatkan dari tanaman. Beberapa insektisida nabati yang umum digunakan yaitu Piretrum, Nikotin, dan Rotenon (Opender dan Dhaliwal 2005)

Piretrum

Piretrum merupakan insektisida nabati yang dipakai untuk mengendalikan berbagai serangga hama permukiman dan tidak berbahaya bagi mamalia. Piretrum berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium (Gambar 2). Piretrum bekerja dengan menyerang sistem syaraf pusat pada serangga sehingga dapat melumpuhkan (knockdown) serangga secara cepat (Opender dan Dhaliwal 2005). Di indonesia sebelum maraknya penggunaan piretroid, piretrum digunakan sebagai bahan aktif lingkaran anti nyamuk. Bahkan bahan ampas dari sisa ekstraksi tanaman hingga kini masih digunakan sebagai campuran anti nyamuk bakar (Hadi et al. 2006).

(4)

A B

Gambar 2 Profil bunga Chrysanthemum cinerariaefolium (A) danserbuknya (B) (Sumber : http://kanchanapisek.or.th)

Nikotin

Nikotin adalah suatu alkaloid yang berasal dari ekstrak tanaman tembakau (Gambar 3). Nikotin bekerja dengan mimik/meniru asetilkholin pada persimpangan neuromuskular binatang yang mengakibatkan kejang, konvulsi dan kematian secara cepat. Pada serangga kejadiannya sama, namun hanya terjadi di ganglia pada sistem saraf pusat (Opender dan Dhaliwal 2005).

Gambar 3 Profil tanaman tembakau (Sumber : www.pnm.my) Rotenon

Rotenon dihasilkan dari akar/rhizome dari tanaman Derris elliptica (Gambar 4). Rotenon biasa digunakan untuk reklamasi kolam untuk kolam pemancingan yaitu dengan mengendalikan ikan yang ada, kemudian digantikan dengan spesies ikan yang dikehendaki. Pada dosis yang disarankan rotenon merupakan pembunuh ikan yang selektif namun tidak toksik terhadap organisme makanan ikan yang ada serta dapat terurai secara cepat (Opender dan Dhaliwal 2005).

Sebagai insektisida, rotenon adalah racun kontak dan perut, yang membunuh serangga secara perlahan yang diikuti dengan aktivitas berhenti makan (stop

feeding action). Rotenon banyak digunakan untuk pengendalian serangga di taman

(5)

Gambar 4 Profil tanaman Derris elliptica

(Sumber : www.metafro.be) 2.2 Larvasida Kimia untuk Nyamuk

Larvasida yang digunakan untuk membunuh atau mengganggu habitat pertumbuhan larva nyamuk pada umumnya berupa bahan kimia, larvasida digunakan dengan tujuan untuk mengurangi populasi nyamuk di daerah sekitarnya. Larvasida digunakan ketika musim nyamuk bertelur.

Larvasida biasa digunakan pada penampungan air dimana airnya digunakan bagi kebutuhan sehari-hari terutama untuk minum dan masak, oleh sebab itu maka larvasida yang digunakan harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : efektif pada dosis rendah, tidak bersifat racun bagi manusia, tidak menyebabkan perubahan rasa, warna dan bau pada air yang diperlakukan, dan efektivitasnya bertahan lama.

Beberapa larvasida dengan kriteria seperti tersebut di atas, sebagian telah digunakan secara luas (operasional) dan sebagian lainnya masih dalam tahap uji laboratorium atau uji lapangan skala kecil. Berikut ini beberapa jenis larvasida yang beredar dipasaran (Hadi 1997).

Temephos / Abate (C16H20O6P2S3)

Larvasida ini terbukti efektif terhadap larva Aedes aegypti dan daya racunnya rendah terhadap mamalia. Pada program penanggulangan vektor DBD di Indonesia, temephos sudah digunakan sejak 1976 dalam bentuk (formulasi) butiran pasir (sandgranules) dengan dosis 1 ppm.

(6)

Larvasida ini termasuk jenis penghambat tumbuh serangga (insect growth

regulator). Methoprene bekerja dengan menghambat proses methamorphosis

serangga. Pada uji lapangan terbukti berhasil menekan kepadatan nyamuk Aedes

aegypti selama sebulan. Methoprene dapat digunakan pada air yang diminum

dengan dosis tidak boleh lebih dari 1 mg/L. Diflubenzuron (C14H9ClF2N2O2)

Larvasida jenis ini memiliki sifat toksik yang rendah pada manusia, namun pada hewan uji diflubenzuron berpengaruh pada haemoglobin. Larvasida jenis ini dapat digunakan pada air minum.

2.3 Tanaman Kamandrah (Croton tiglium )

Tanaman Kamandrah (Croton tiglium) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak terdapat di wilayah Indonesia, sehingga tanaman ini ada yang menamakannya Simalakian (Sumatera Barat), Ceraken (Jawa), Roengkok (Sumatera Utara), Semoeki (Ternate), Kowe (Tidore). Di daerah kalimantan tengah, biji tanaman kamandrah banyak dimanfaatkan masyarakat, karena dipercaya mempunyai khasiat sebagai pencahar berat. Dengan memakan bijinya, maka biasanya akan cepat buang air besar, akan tetapi kelebihannya tidak menimbulkan mules pada perut (Saputera 2007). Di daerah Nusa tenggara timur, tepatnya di pulau komodo, serbuk dari biji kamandrah biasa digunakan nelayan untuk meracuni ikan di perairan sehingga ikan mudah ditangkap, serbuk biji kamandrah adalah ampas dari biji setelah minyak dikeluarkan dari biji kamandrah (Pet 1997).

Tanaman Kamandrah (Croton tiglium) (Gambar 5) berupa tanaman perdu dengan tinggi tanaman mencapai 12 meter (Duke 1983). Bentuk batang tegak, bulat, berambut dan berwarna hijau, dengan daun tunggal, berseling dan lojong. Bentuk tepi daun bergerigi dengan ujung yang runcing. Panjang daun sekitar 3-4,5 cm, dengan lebar daun sekitar 1-3,4 cm. Bentuk tangkai daun silindris dengan panjang 2-2,5 cm, bentuk pertulangan menyirip dan berwarna hijau. Bunga tanaman kamandrah majemuk dengan bentuk bulir, berada di ujung batang dengan klopak membulat, memiliki banyak benang sari, kepala putik bulat berwarna kuning dengan mahkota berbentuk corong berwarna kuning. Buah tanaman

(7)

kamandrah berbentuk bulat dengan diameter sekitar 0,5 cm dan berwarna hijau dengan biji bulat telur berwarna coklat kehitam-hitaman. Akar tanaman kamandrah adalah akar tunggang berwarna putih (Saputera 2007).

Klasifikasi tanaman kamandrah Famili Euphorbiaceae

Genus Croton

Spesies Croton tiglium L Nama umum/dagang Cerakin

Nama daerah Simalakian (Sumatera Barat), Ceraken (Jawa), Roengkok (Sumatera Utara), Semoeki (Ternate), Kowe (Tidore), Kamandrah (Kalimantan)

Minyak kamandrah dapat dihasilkan dari biji kamandrah melalui proses ekstraksi atau dengan cara pengepresan dengan menggunakan mesin pengepres biji. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui kadar lemak yang terdapat pada biji kamandrah adalah 40,01%, protein 26,69%, serat 8,45%, abu 3,14% dan karbohidrat 15,51% (Saputera 2007).

Dzulkarnain (1989) melaporkan dalam penelitiannya, biji Croton tiglium

dari famili Euphorbiaceae mengandung minyak yang sangat berbahaya. Setetes (0,05 gram) dapat menyebabkan diare, sedangkan dosis lebih besar sedikit lagi fatal bagi manusia. Di sekitar Maluku dan Sulawesi Selatan bahan ini pernah diberitakan digunakan sebagai obat KB. Sebenarnya yang terjadi adalah abortus atau bila digunakan pada masa implantasi maka kerjanya sebagai anti implantasi, karena adanya kontraksi yang kuat pada usus dan juga uterus (Dzulkarnain 1989).

Banerjee dan Sen (1983) melaporkan bahwa lectin dari tanaman Croton

tiglium dapat menginhibisi haemagglutination dan haemolysis cell darah merah

(8)

Gambar 5 Profil tanaman kamandrah (Croton tiglium) (Sumber : Kebun Balittro Bogor)

Yuningsih dan Laba (2007) melaporkan telah melakukan uji efek toksik dari beberapa tanaman beracun di antaranya daun Lelatang (Acalypha indica), biji Karet (Ficus elastica), biji Kapok (Ceiba petandra), biji Jarak (Ricinus

communis), daun Tembakau (Nicotiana tabacum), daun Strychnuos nux vomica ,

akar/batang Tuba (Derris eliptica), daun Tikusan (Clauseva exavata), umbi Gadung, kulit batang Ceremai, batang Kipahit (Pierasma javanica), biji Kamandrah (Croton tiglium) dan biji Picung (Pangium edule), dari berbagai ekstrak tanaman yang diuji, ekstrak yang paling toksik adalah ekstrak biji kamandrah (Croton tiglium) dan ekstrak biji picung (Pangium edule). Secara patologi anatomis ekstrak tanaman beracun tersebut menyebabkan pembendungan dan perdarahan umum pada paru-paru, jantung dan hati dan sebagian besar dari area mukosa lambung hanya berupa selaput tipis yang berwarna transparan karena mengalami atrofi.

Salatino et al. (2007), melaporkan bahwa tanaman dari genus Croton

memiliki bioaktivitas anti-hypertensive, anti-inflammatory, antimalarial,

antimicrobial,antispasmodic, antiulcer, antiviral dan myorelaxant.

2.4 Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas)

Jarak pagar (Jatropha curcas) (Gambar 6) telah lama dikenal masyarakat berbagai daerah di Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an, saat itu masyarakat diperintahkan untuk melakukan penanaman jarak sebagai pagar pekarangan. Beberapa nama daerah tanaman Jarak pagar antara lain; Jarak kosta, Jarak budeg (Sunda); Jarak gundul, Jarak pager (Jawa);

(9)

Kalekhe paghar (Madura); Jarak pager (Bali); Lulu mau, Paku kase, Jarak pageh (Nusatenggara); Kuman nema (Alor); Jarak kosta, Jarak wolanda, Bindalo, Bintalo, Tondo utomene (Sulawesi); Ai huwa kamala, Balacai, Kadoto (Maluku) (Irwanto 2006).

Klasifikasi tanaman jarak pagar Famili Euphorbiaceae

Genus Jatropha

Spesies Jatropha curcasL.

Nama umum/dagang Jarak pagar

Nama daerah Jarak kosta, jarak budeg (Sunda); jarak gundul, jarak pager (Jawa); kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa tenggara); kuman nema (Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi); ai huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku).

Jarak pagar (Jatropha curcas) seringkali salah diidentifikasi dengan tanaman Jarak kepyar (Ricinus communis) dalam bahasa Inggris disebut ”Castor Bean”. Tanaman Jarak pagar atau Jatropha curcas (Physic Nut) dan Ricinus communis

(Castor Bean) ini juga sama-sama banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia, bahkan dari kedua jenis tanaman ini dapat diperoleh ekstrak minyak dari bijinya. Hanya saja tanaman jarak Ricinus communis seringkali terkait dengan produksi ”ricin” yaitu racun yang berbahaya dan banyak digunakan untuk penelitian terapi penyakit kanker, sedangkan tanaman jarak Jatropha curcas

menghasilkan racun ”krusin” tetapi lebih banyak terkait dengan informasi ”biodiesel” atau ”biofuel”. Kedua tanaman ini berbeda baik dalam bentuk morfologi tanaman maupun minyak yang dihasilkannya (Irwanto 2006).

Minyak jarak dapat dihasilkan dari daging buah biji jarak melalui proses ekstraksi atau dengan menggunakan mesin pengepres biji. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui kadar lemak yang terdapat pada biji jarak pagar kering adalah 46,25%, protein 18,88%, serat 15,1%, abu 2,62% dan karbohidrat 32,25% (Zulkifli 2005).

(10)

Gambar 6 Profil tanaman jarak pagar (Sumber : Kebun praktikum UIN Jakarta) 2.5 Nyamuk Aedes aegypti dan Proses Penularan DBD

Nyamuk adalah serangga berukuran kecil, halus, langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian mulut untuk menusuk kulit dan menghisap darah. Nyamuk dapat dijumpai pada ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut sampai kedalaman 1.500 meter di bawah permukaan tanah di daerah pertambangan. Nyamuk termasuk ke dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dengan 3 subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes,

Culex, Mansonia, Armigeres) dan Anophelinae (Anopheles). Di seluruh dunia,

dilaporkan terdapat sekitar 3100 spesies dari 34 genus. Anopheles, Culex, Aedes,

Mansonia, Armigeres, Haemagogus, Sabethes, Culiseta dan Psorophora adalah

genus nyamuk yang menghisap darah manusia dan berperan sebagai vector (Hadi

et al. 2006).

Penyakit demam berdarah dengue atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini ada hampir di seluruh daerah di Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di ataspermukaan laut (Koban 2005).

Nyamuk Aedes aegypti (Gambar 7) berukuran kecil, berwarna hitam dan bergaris-garis putih pada kaki dan punggungnya. Nyamuk menggigit manusia pada pagi dan sore hari (Info Ristek 2006), hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya.

(11)

Nyamuk jantan tidak menggigit dan menghisap darah, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-tumbuhan. Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan. Kepadatan nyamuk akan meningkat saat musim hujan (DEPKES 2004).

A B

Gambar 7 Profil nyamuk (A) dan larva Aedes aegypti (B) (Sumber : www.mosquitomagnetdepot.com)

Nyamuk Aedes aegypti adalah nyamuk yang mempunyai sifat yang khas, menggigit pada pada pagi dan sore hari. Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu istirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telur. Tempat istirahat yang disukai adalah tempat yang lembab dan kurang terang seperti kamar mandi dan gantungan baju. Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak di tempat penampungan air bersih seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan terisi air. Berdasarkan hasil penelitian Hasyimi dan Soekirno (2004), jentik nyamuk paling banyak ditemukan di tempat penampungan air yang terbuat dari logam.

Nyamuk dewasa berkembang biak dengan cara meletakan telurnya di dinding tempat air, sedikit di atas permukaan air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar 100 butir telur dengan ukuran sekitar 0,7 mm per butir (DEPKES 2004). Telur Aedes berwarna hitam, oval dan diletakkan di dinding wadah air, biasanya di bagian atas permukaan air. Apabila wadah air ini mengering, telur bisa tahan (dorman) selama beberapa minggu atau bahkan bulan. Ketika wadah air berisi air dan menutupi seluruh bagian telur, maka ia akan menetas menjadi jentik (larva). Jentik dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6-8 hari, dan berubah menjadi pupa (kepongpong). Dalam waktu kurang lebih dua hari, dari pupa akan muncullah nyamuk dewasa. (Hadi et al. 2006). Pupa nyamuk masih dapat aktif bergerak didalam air, tetapi

(12)

tidak makan dan setelah 1-2 hari akan berubah menjadi nyamuk. Jadi total siklus hidup bisa diselesaikan dalam waktu 9-12 hari (DEPKES 2004). Siklus hidup nyamuk dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

(Sumber : http://biotechpestcontrols.com) Proses penularan DBD

Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit demam berdarah. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB (kejadian luar biasa) setiap tahun. Kejadian luar biasa DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun-tahun 2000); 21,66 (tahun-tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003) (Kristina

et al. 2004).

Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus itu termasuk dalam group B Arthropod borne viruses

(arboviruses). Keempat type virus itu telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue tipe satu dan tiga (Kristina et al. 2004).

(13)

Nyamuk penular demam berdarah adalah Aedes aegypti dan Aedes

albopictus. Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak dalam tempat penampungan

air seperti bak mandi, tempayan, drum dan vas bunga. Aedes albopictus juga demikian tetapi biasanya lebih banyak terdapat di bagian luar rumah (Hadi et al. 2006).

Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti

yang mengigit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang sehat. Nyamuk

Aedes aegypti lebih suka berkelana mencari mangsanya di siang hari di banding

nyamuk lain yang cenderung menyerang manusia pada malam hari. Setelah menggigit tubuh manusia dengan cepat perutnya menjadi buncit dipenuhi kira-kira dua hingga empat miligram darah atau sekitar 1,5 kali berat badannya. Orang yang beresiko terkena demam berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran kumuh (Kristina et al. 2004).

Secara umum pengendalian nyamuk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengendalian nonkimiawi dan kimiawi. Pengendalian non kimiawi dilakukan dengan cara menghilangkan tempat perindukan nyamuk dan dapat juga dilakukan dengan cara memanfaatkan musuh-musuh alami nyamuk seperti ikan pemakan jentik atau larva nyamuk. Ikan pemakan jentik nyamuk adalah sejenis ikan guppy

dan Poecilia reticulata yang bersifat lebih toleran terhadap perairan yang tercemar polutan organik. Pengendalian kimiawi dilakukan dengan cara pemberian larvasida untuk membunuh jentik nyamuk, dan dengan cara pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa (Hadi et al. 2006).

Gambar

Gambar 5  Profil tanaman kamandrah (Croton tiglium) (Sumber : Kebun Balittro Bogor)
Gambar 6 Profil tanaman jarak pagar (Sumber : Kebun praktikum UIN Jakarta)
Gambar 7 Profil nyamuk (A) dan larva Aedes aegypti (B) (Sumber : www.mosquitomagnetdepot.com)
Gambar 8 Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti (Sumber : http://biotechpestcontrols.com)

Referensi

Dokumen terkait

Wa h a i p a r a o r a n g t u a , bukankah kita akan menghargai dan bangga terhadap prestasi anak ketika itu sesuai dengan minat dan harapan kita? Bagaimana kalau

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kepuasan pengunjung terhadap sarana transportasi Pulau Ketawai Kabupaten Bangka Tengah.. Lokasi Penelitian dilaksanakan

Menurut Agrios (1996), tanaman yang terserang penyakit akan melakukan perlawanan terhadap serangan patogen dan mengubah struktur anatomi, termasuk menambah

Atas kehendak-nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Upaya meningkatkan minat dan hasil belajar peserta didik dengan pemanfaatan media sosial

ANALISIS PENGUKURAN TINGKAT EFISIENSI BANK UMUM SYARIAH DI INDONESIA TAHUN

*Klik tombol Cari untuk mencari data trial balance yang akan dihapus *Klik tombol Hapus untuk menghapus data trial balance yang telah dicari *Klikt tombol Batal untuk kembali

Salah satu cara untuk mempertahankan karyawan yang berprestasi agar mau bekerja sama sampai pensiun adalah dengan memberikan kesejahteraan atau kopensasi pelengkap

Hasil akhir dari penelitian ini adalah ”Perancangan Sistem Pakar Untuk Konsultasi Pembelian Mobil Bekas di Mobil88 Bandung”, ini dibuat dengan tujuan agar sistem