• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. bidang Daulah Abbāsiyah selalu menarik untuk dikaji. periode Daulah Abbāsiyah yang sementara ini masih terbilang jarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. bidang Daulah Abbāsiyah selalu menarik untuk dikaji. periode Daulah Abbāsiyah yang sementara ini masih terbilang jarang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Daulah „Abbāsiyah menjadi imperium besar Islam dalam rentang waktu yang cukum lama, yaitu sejak keruntuhan Daulah Umayyah di Damaskus pada tahun 750 M, hingga jatuhnya Ibu Kota Baghdād ke tangan tentara Mongol pada tahun 1258 M. Dengan rentang waktu yang cukup lama tersebut, enam abad lebih, Daulah „Abbāsiyah telah memberikan kontribusi yang tidak kecil dalam sejarah peradaban Islam. Para sejarawan menyebutkan bahwa peradaban Islam periode Daulah „Abbāsiyah mencapai titik kulminasinya yang gemilang. Menjelaskan mengapa peradaban Islam periode bisa mencapai kemajuan dalam berbagai bidang Daulah „Abbāsiyah selalu menarik untuk dikaji.

Penelitian ini mencoba menelusuri deretan panjang peristiwa-peristiwa periode Daulah „Abbāsiyah yang sementara ini masih terbilang jarang mendapatkan porsi kajian yang cukup oleh para peneliti. Diantaranya perihal pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara yang terjadi pada tahun 836 M di masa kepemimpinan Khalifah al-Mu„taṣim Billāh.1 Dalam rekaman sejarahnya, Daulah „Abbāsiyah pernah mengalami dua kali pemindahan Ibu Kota, yang pertama adalah dari Hāshimiyah (dibangun oleh Abūl „Abbās al-Saffah) ke Baghdād (dibangun oleh Abū Ja„fār al-Mansūr), lalu yang kedua dari

(2)

2

Baghdād ke Samara (dibangun oleh al-Mu„taṣim Billāh2). Pemindahan Ibu Kota tersebut tentu tidak muncul begitu saja di ruang hampa, melainkan ia muncul dari dinamika sosial-politik yang mengitarinya.

Pemindahan Ibu Kota Daulah yang pertama cukup bisa di pahami, sebab pemilihan Hāshimiyah oleh al-Saffah pada waktu itu lebih tampak sebagai sebuah percobaan awal untuk melumpuhkan sama sekali otoritas Damaskus yang baru digulingkan belum steril dari simpatisan daulah Umayyah.3 Hāshimiyah memilih Damaskus karena kota ini dinilai lebih aman dan representatif untuk membangun sebuah imperium Islam yang sama sekali baru; tidak tampak rencana strategis yang menonjol pada waktu itu perihal pemilihan Ibu Kota. Oleh karena itu, tatkala pemerintahan Daulah „Abbāsiyah beranjak dewasa di bawah kendali Abū Jakfar al-Mansūr, mulai muncul rencana-rencana strategis secara mencolok mengenai pemindahan Ibu Kota Daulah. Berdasarkan pertimbangan yang tidak sederhana, di mana harus melibatkan jasa astrolog, ahli bumi, ahli arsitektur dan tata kota, al-Mansūr memilih Baghdād sebagai Ibu Kota Daulah yang baru.4 Pilihan tersebut sungguh tak akan pernah disesali oleh geranasi selanjutnya, sebab di kemudian hari, Baghdād menjadi sebuah kota metropolitan dengan tingkat peradaban yang sangat—untuk tidak mengatakan paling—tinggi di jamannya, sehingga ia pun digelari sebagai “Kota Kedamaian”.

2 Dalam kajian sejarah Islam di Harian Republika, “Daulah Abbasiyah: Al-Muktasim Billah, Pendiri Kota Samara”, 3 Oktober 2014.

3 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3, Terj. Muhammad Labib Ahmad (Jakarta: PT al-Husa Zikar, 1997), 41-43.

4 Philip K. Hitti, History of The Arabs; Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah

Pradaban Islam, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta, Serambi, 2010), 364.

(3)

3

Lebih jauh mengenai bagaimana Khalifah al-Mansūr membangun Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah yang baru, Baghdād, Hitti mengilustrasikannya sebagai berikut.

Untuk membangun kotanya, yang dirampungkan selama empat tahun, al-Mansūr menghabiskan biaya sebanyak 4.883.000 dirham, dan mempekerjakan sekitar seratus ribu arsitek, pengrajin, dan buruh yang berasal dari Suriah, Mesopotamia, dan daerah lainnya… Madīnah al-Salām (kota kedamaian), yang menjadi nama resmi kota al-Mansūr, berada di tepi barat Sungai Tigris di lembah yang sama, yang pernah menjadi tempat berbagai Ibu Kota besar dunia masa lalu. Kota tersebut berbentuk melingkar, sehingga dijuluki juga sebagai Kota Lingkaran ( al-mudawwarah), dengan dinding berlapis dua, parit yang dalam dan dinding ketiga setinggi 90 kaki yang mengelilingi kawasan utama. Dinding-dinding tersebut memiliki empat gerbang yang berjarak sama, yang darinya empat jalan raya membentang dari pusat kota, membentuk jari-jari roda ke arah empat sisi kerajaan. Jadi, semuanya membentuk lingkaran-lingkaran konsentris yang berporos pada istana khalifah, yang disebut Gerbang Emas (bāb al-dhahab) karena gerbangnya dilapisi emas, atau Kubah Biru (al-qubbah al-khadrā’). Di samping istana berdiri sebuah masjid besar. Kubah yang menaungi ruang pertemuan istana memiliki ketinggian 130 kaki. Riwayat belakangan menyebutkan bahwa di atas kubah itu berdiri seorang penunggang kuda yang memegang tombak yang, di saat-saat genting, akan diacungkan ke arah datangnya musuh.5

Ilustrasi Hitti terhadap Baghdād di atas menimbulkan ketakjuban yang luar biasa, tentang sebuah “Kota Kedamaian” yang disebut menjadi pewaris kekuatan dan prestise kota Ctesiphon, Babilonia, Niniveh, Ur, dan Ibu Kota-Ibu Kota bangsa Timur kuno lainnya. Lokasi baru tersebut membuka jalan bagi tumbuhnya gagasan dan pemikiran dari Timur. Al-Mansūr, dalam membangun kota yang luar biasa ini, sepenuhnya mengandalkan ramalan nasib baik dari para astrolog istana.

(4)

4

Oleh karena itu, pemindahan Ibu Kota yang kedua, dari Baghdād yang bergelar “Kota Kedamaian” ke Samara (sebuah teritori yang sama sekali baru), terbilang ganjil dan lebih menunjukkan tindakan berani atau lebih tepatnya maneuver kebijakan radikal yang diambil oleh Khalifah al-Mu„taṣim dari pada rancana strategis sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah al-Mansūr sebelumnya. Aksi “melarikan diri” dari “Kota Kedamaian” tentu bukanlah sebuah kenyataan yang bisa diterima dengan mudah. Sekilas, hal tersebut tampak seperti paradoks.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa salah satu sebab pemindahan Ibu Kota Daulah dari Baghdād ke Samara adalah datangnya pasukan pengawal Turki dari Transoxiana yang kemudian memiliki pengaruh besar bagi pemerintahan.6 Kedatangan pasukan pengawal Turki yang konon berjumlah empat ribu orang ini disengaja oleh Khalifah al-Mu„taṣim, dengan tujuan mangimbangi pengaruh tentara dari Khurasan (kontra al-Mu„taṣim) dan bisa mengamankan kekhalifahan „Abbāsiyah. Namun, pada tataran praksisnya kemudian, pasukan pengawal Turki yang terkenal perkasa, menjadi bumerang bagi kekhalifahan „Abbāsiyah, dan mereka berambisi mengambil alih kekuasaan.7 Masalah demi masalah terjadi, dan akhirnya Baghdād sebagai pusat pemerintahan waktu itu pun bergejolak, sampai ada pemikiran untuk memindah pusat pemerintahan. Teori tentang pemindahan Ibu Kota Baghdād ke Samara ini tentu tak sesederhana menyebut kedatangan orang-orang Turki. Sangat mungkin adanya dinamika-dinamika tertentu yang

6 Orang-orang Turki ini memiliki pengaruh yang sangat penting dalam kehalifahan Abbsiyah di Samara, oleh para sejarawan, digolongkan pada periode kedua (847-945 M) yang disebut masa pengaruh Turki Pertama, di antara empat periode kekhalifahan Abbasiyah. Badri Yatim, Sejarah Perabadan Islam; Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 49-50.

(5)

5

membuat keadaan semakin runyam, masalah semakin lengkap hingga tak terentaskan.

Terlepas dari problem tersebut, pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara pada tahun 836 M benar-benar sukses. Al-Mu„taṣim adalah khalifah „Abbāsiyah pertama di Samara, sebuah nama wilayah yang kemudian diganti dengan nama baru: Surra Man Ra’ā (Senanglah Orang yang Melihatnya).8 Poisisi Samara berada sejauh enam puluh mil dari Tigris. Setelah al-Mu„taṣim (833-861 M), ada tujuh Khalifah yang memimpin kehalifahan Daulah „Abbāsiyah di Samara, yaitu al-Wathiq Billāh (842-847 M), al-Mutawakkil „Alallah (847-861 M), Mustanshir (861-862 M), Musta„in (862-866 M), al-Mu„taz (866-869 M), al-Muhtadī (869-870 M), al-Mu„tamid (870-892 M), dan kemudian kembali lagi ke Baghdād .9

Meskipun kekhalifahan „Abbāsiyah di Samara berjalan selama 56 tahun (836-832), Samara pernah benar-benar berfungsi sebagai Ibu Kota imperium besar Islam; bukan sekedar percobaan. Samara atau Surra Man Ra’ā, sesuai dengan namanya, adalah sebuah kota yang dibangun dengan sangat indah. Selain terkenal sebagai tempat pembuatan mata uang „Abbāsiyah, kota ini juga terkenal dengan istana-istana megahnya yang konon dibangun oleh masing-masing khalifah yang berkuasa, yang hingga masa modern ini masih bisa dilacak situsnya dan menjadi rujukan bagi studi seni arsitektur Islam.

8 Abu Bakar Ahmad Khatib al-Baghdadi, Tārīkh Baghdād au Madīnat al-Salām, Vol. IV (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011), 221.

(6)

6

Kajian mengenai pemindahan Ibu Kota selalu menarik, sebab ia selalu menemukan momentumnya dalam sejarah umat manusia. Di era sekarang pun, wacana-wacana perihal pemindahan Ibu Kota Daulah sering kali terdengar dan terjadi. Peristiwa sejarah pemindahan Ibu Kota sebuah negara „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara oleh Khalifah al-Mu„taṣim pada tahun 836 M ini menjadi salah satu contoh penting, mengingat Baghdād pada waktu itu menjadi kota percontohan sebagai “Kota Kedamaian”. Pemindahan Ibu Kota negera sungguh tidak sesederhana memindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat yang lain; ada kompleksitas dinamika yang mengiringinya; banyak perubahan yang mengitari; dan banyak dampak yang mengikuti. Hal-hal yang sejenis itulah yang akan menjadi kajian dalam skripsi ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atasi maka untuk menjaga fokus dan memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, perlu disusun rumusan atau batasan masalah, sebagai berikut:

1. Mengapa Khalifah al-Mu„taṣim memindahkan Ibu Kota Daulah dari Baghdād ke Samara pada tahun 836 M?

2. Bagaimana dampak pemindahan Ibu Kota Daulah dari Baghdād ke Samara terhadap Daulah?

(7)

7

C. Tujuan Penelitian

Sebuah skripsi, tentu tak bisa diukur sejauhmana keberhasilan yang dicapai tanpa mengetahui tujuan-tujuannya. Skripsi ini memiliki tujuan antara lain:

1. Sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana Strata Satu (S-1), Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI), Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.

2. Mengetahui faktor-faktor yang melatar-belakangi dan landasan-landasan strategis pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah oleh Khalifah al-Mu„taṣim dari Baghdād ke Samara tahun 836 M.

3. Mengidentifikasi perubahan-perubahan penting dalam pemerintahan Daulah „Abbāsiyah sebagai implikasi dari pemindahan Ibu Kota dari Baghdād ke Samara pada tahun 836 M.

4. Memahami dampak pemindahan Ibu Kota Daulah dari Baghdād ke Samara pada tahun 836 M terhadap stabilitas Daulah.

D. Kegunaan Penelitian

Dengan tujuan yang jelas, maka sebuah skripsi akan semakin jelas kemanfatan atau kegunaannya. Adapun kegunaan skripsi ini, antara lain yang terpenting:

1. Sebagai bahan rujukan bagi para peneliti selanjutnya dalam pembahasan mengenai kota-kota maju periiode „Abbāsiyah dan mengenai rencana-rencana strategis dalam menjadikan kota sebagai pusat pemerintahan.

(8)

8

2. Sebagai bahan evaluasi bagi masyarakat modern di mana wacana pemindahan ibu kota telah menjadi wacana global. pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara pada tahun 836 M bisa menjadi rujukan atau bahan evaluasi, atau paling tidak pertimbangan bagi upaya-upaya pemindahan Ibu Kota di Daulah-Daulah modern saat ini.

3. Memperkaya khazanah penulisan sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, khususnya di jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI), Fakultas Adab dan Humaniora, Univeristas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, di mana penelitian ini diajukan sebagi tugas akhir atau skripsi.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Adapun pendekatan yang digunakan dalam skirpsi ini adalah pendekatan historis. Penggunaan pendekatan historis berarti memperhatikan konsep-konsep sejarah seperti kronologi, diakronisme, sinkronisme, kontinuitas dan perubahannya. Kronologi berarti kronik atau sejumlah catatan tentang urutan kejadian atau waktu.10 Diakronisme berarti sejarah sebagai objek pada masa lampau, selain memperhatikan dimensi ruang, juga melihat dimensi waktu. Pendekatan sejarah yang bersifat diakronik menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial yang singkronik. Kontinuitas berarti sejarah selalu berkesinambungan, terus berjalan dan tidak akan berhenti. Sementara itu, perubahan merupakan sebuah istilah yang mengacu pada suatu hal yang berbeda. Konsep perubahan ini

(9)

9

demikian penting dalam sejarah mengingat sejarah itu sendiri pada hakikatnya adalah perubahan.11

Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan mengenai pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara oleh Khalifah al-Mu„taṣim tahun 836 M, yang meliputi knonologi terjadinya pemindahan tersebut dari yang paling awal hingga kronologi yang paling belakangan, faktor-faktor yang melatarbelakangi atau landasan-landasan strategis yang diambil Khalifah al-Mansūr dalam pemindahan Ibu Kota Daulah tersebut, berikut berbagai macam perubahan terjadi dalam struktur pemerintahan atau struktur masyarakat „Abbāsiyah secara umum sebagai implikasi penting dan pasti dari pemindahan Ibu Kota Daulah. Setelah mengidentifikasi berbagai macam perubahan yang terjadi, maka selanjutnya mengidenifikasi dampak-dampak yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi. Terakhir, penelitian ini melacak peradaban Islam di Samara periode „Abbāsiyah, yang kontribusinya tidak bisa diabaikan. Meski pemerintahan Daulah „Abbāsiyah relatif singkat, tetapi Samara memiliki posisi yang khas dalam sejarah peradaban Islam. Pendekatan historis yang dilakukan di sini bersifat diakronik-sinkronik.

Sementara itu, teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori politik. Politik berarti proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Daulah; politik adalah usaha yang ditempuh warga Daulah untuk mewujudkan kebaikan bersama; hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan

11 Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sejarah; Sebuah Pendekatan Struktural (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 337.

(10)

10

pemerintahan dan Daulah; kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat; politik merupakan segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Teori politik yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah teori politik yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, dengan gagasan state of nature yang menyebutkan manusia sebagai lawan dari manusia yang lain. Keadaan ini disebut

In Abstacto yang memuat beberapa sifat seperti: bersaing, membela diri, dan ingin dihormati.12

Dalam kasus pemindahan Ibu Kota Baghdād ke Samara oleh al-Mu„taṣim ini, nuansa politik memiliki porsi yang cukup besar. Pemindahan Ibu Kota memiliki landasan-landasan strategis-politis yang salah satu tujuan pentingnya adalah mempertahankan atau mengamankan kekuasaan. Daulah „Abbāsiyah , dalam hal ini Khalifah al-Mu„taṣim, menganut politik dinasti di mana orang-orang yang di luar dinasti tidak punya akses yang cukup untuk masuk dalam kekuasaan. Dengan pengembangan teori politik ini, diharapkan bisa diidentifikasi landasan-landasan stragis pemindahan Ibu Kota Daulah, perubahan-perubahan penting pascapemindahan, dan dampak yang ditimbulkan. Pada tataran praksisnya, teori politik ini barang kali juga memerlukan bantuan teori sosial lain untuk melihat permasalahan pemindahan Ibu Kota ini secara lebih jernih.

(11)

11

F. Penelitian Terhadulu

Bagian ini berusaha mengidentifikasi beberapa karya penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut bertujuan untuk mencari posisi dan signifikansi penelitian ini di antara penelitian lain yang pernah dihasilkan. Penelitian terdahulu akan menunjukkan pula distingsi dari penelitian ini, yang masing-masing bersifat saling melengkapi.

Tak banyak karya penelitian sejenis yang berhasil penulis identifikasi sejauh ini. Walaupun ada, pembahasan mengenai pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara oleh Khalifah al-Mu„taṣim Billāh pada tahun 836 M tidak mendapat porsi yang cukup, melainkan hanya berupa selipan-selipan singkat yang tidak bisa memberikan keterangan utuh. Sementara ini, beberapa karya penelitian yang penulis dapatkan di antaranya:

1. Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II.

Buku yang ditulis oleh Badri Yatim ini, membicarakan sejarah peradaban Islam mulai Arab pra-Islam, hingga peradaban Islam di kawasan Asia Tenggara. Dalam pembahasannya, pemindahan Ibu Kota Daulah disinggung namun sangat minim dan hanya bersifat informative dari pada analisis. Hal tersebut maklum, mengingat buku ini lebih sebagai pengenalan/pengantar materi tentang sejarah peradaban Islam dari pada sebuah kajian sejarah mendalam mengenai satu tema dalam waktu tertentu. Buku setebal 338 halaman tersebut diterbitkan di Jakarta oleh PT RajaGrafindo Persada, tahun 2007.

(12)

12

2. History of The Arabs; Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam.

Buku setebal 981 halaman, merupakan karya penelitian Philip K. Hitti tentang sejarah peradaban Islam, mulai dari Arab pra-Islam hingga pembaruan pemikiran di Mesir. Buku hasil terjemahan ini diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit Serambi, tahun 2010. Dalam membahas periode „Abbāsiyah, Hitti memberikan porsi yang cukup panjang tentang peradaban Islam di Samara. Namun, tak jauh beda dengan Badri Yatim, Hitti cenderung lebih memberikan informasi dari pada mengupasnya secara mendalam; tak ada bab maupun sub-bahasan khusus yang membahas peradaban Islam Samara periode kekhalifahan Abbsiyah. Pembahasan mengenai Samara hanyalah sekelumit dan merupakan bagian kecil dalam pembahasan-pembahasan dalam tema besar.

3. Sejarah Kebuyaan Islam III

Buku yang disusun oleh Badri Yatim ini mencakup bahasan yang amat luas dalam rentang waktu yang sangat panjang. Hal tersebut bisa dimaklumi, mengingat beberapa tema bahasan dalam buku yang diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada tahun 2010 ini bisa dibilang hanya sekelumit (tidak membahas secara mendalam terkait satu tema). Buku tersebut, secara sekilas, bisa dibilang sebagai buku pengantar sejarah kebudayaan Islam. Tentu buku tersebut, dengan pembahasannya yang amat luas, berbeda dengan penelitian dalam skripsi ini, yang membahas secara spesifik dan mendalam terkait pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah pada masa Khalifah al-Mu„taṣim tahun 836 M. Yatim memang

(13)

13

menyinggung pemindahan Ibu Kota tersebut dalam bukunya ini, tapi sangat singkat dan hanya tampak sebagai pengantar.

4. Peran Militer Budak pada Masa Pemerintahan Khalifah al-Mu„taṣim 833-842 M

Karya skripsi yang ditulis oleh Nur Mayasari ini, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga banyak menyinggung soal pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dan Baghdād ke Samara. Namun demikian, sesuai judulnya, skripsi ini lebih memfokuskan pembahasannya pada peran yang dimainkan oleh Militer Budak Turki dalam pemerintahan sang Khalifah, sangat berbeda dengan skripsi ini yang lebih memfokuskan bahasannya pada upaya pemindahan Ibu Kota tersebut.

Demikianlan beberapa penelitian tentang tema sejenis yang pernah ada sebelumnya, yang bisa penulis indentifikasi sementara ini. Penulis berkesimpulan belum ada penelitian atau pembahasan yang khusus dan mendalam mengenai pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara oleh Khalifah al-Mu„taṣim pada tahun 836 M. Dalam beberapa segi, kehadiran penelitian ini akan turut memberikan kontribusi bagi khazanah penelitian tentang sejarah kebudayaan Islam perihal pemindahan Ibu Kota Baghdād ke Samara.

G. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan termasuk ke dalam jenis penelitian pustaka. Demi mencapai pemahaman sejarah, maka penelitian ini mesti menggunakan empat tahapan dalam penulisan sejarah, yaitu:

(14)

14

1. Heuristik13

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menelusuri literatur-literatur yang berhubungan dengan pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara oleh Khalifah al-Mu„taṣim Billāh pada tahun 836 M, dan apa saja yang berkaitan dengan kajian ini. Sumber-sumber terkait penulis dapatkan dari perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan perpustkaan pusat UIN Sunan Ampel Surabaya, kemudian buku-buku koleksi pribadi, dan lain-lain.

2. Kritik Sumber (Verifikasi)14

Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah kritik terhadap sumber. Dalam penelitian ini, kritik sumber tampak tak begitu urgen. Sebab, penulis menggunakan sumber-sumber rujukan tertulis karya ulama-ulama semasa, atau ulama yang hidup mendekati masa terjadinya peristiwa (pemindahan ibu kota), yang kredibel dan telah kerap menjadi rujukan dalam karya-karya sejarah Islam saat ini, seperti karya al-Athīr dan al-Suyūṭī. Karya-karya tersebut adalah sumber primer, yang terhadapnya pembahasan demi pembahasan dalam skripsi ini disandarkan. Karya-karya tersebut mudah didapat, dan telah menjadi common reference dalam tradisi penelitian sejarah Islam di tanah air, sehingga penulis tak perlu melakukan kritik ketat terhadap karya-karya tersebut, kecuali pada karya yang bertahun jauh dengan kejadian peristiwa. Karya yang disebut terakhir ini pun

13 Heuristik merupakan upaya pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis yang dilangsungkan dengan metode penggunaan bahan dokumen. Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Arruz Media, 2007), 165-166.

14 Kritik sumber meliputi dua aspek, yaitu kritik intern dan ekstern. Kritik intern adalah kritik dari dalam, yaitu mengkritisi isi sumber untuk melihat kredibilitasnya. Untuk itu, hal yang dapat dilakukan adalah kolasi, yaitu membandingkan antara satu sumber dengan sumber yang lain. Sementara itu, kritik ekstern bertujuan untuk mencari keotentikan sumber dengan menguji bagian-bagian fisik yang meliputi beberapa aspek, seperti kertas, gaya tulisan, bahasa, kalimat, ungkapan, dan semua aspek-aspek luar lainnya. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 100.

(15)

15

sedikit, itupun seringkali penulis menggolongkannya sebagai sumber sekunder (tidak pokok), seperti karya Ahmad Amīn.

3. Interpretasi

Langkah yang akan ditempuh selanjutnya setelah kritik sumber selesai dilakukan adalah interpretasi atau penafsiran. Dalam hal ini penulis menganalisis dan mensintesiskan, sehingga ditemukan fakta-fakta sejarah sesuai dengan tema yang dibahas, yaitu pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara oleh Khalifah al-Mu„taṣim Billāh pada tahun 836 M.

4. Historiografi15

Penulisan dalam skripsi ini dilakukan secara deskriptif-analisis dan berdasarkan sistematika yang telah ditetapkan; proses penyajian penelitian akan disampaikan sesuai dengan sistematika, baik dalam penulisan maupun bahasannya.

H. Sistimatika Pembahasan

Bagian ini diperlukan demi menghasilkan sebuah karya skripsi ilmiah yang sistematis; semua pembahasan mengalir runtut, tak terjadi lompatan-lompatan konsep dan alur, dan ini akan memudahkan pembaca untuk lebih memahamai skripsi ini.

Pembahasan dalam skripsi ini sengaja penulis bagi menjadi lima bab yang saling berkaitan; bab sebelumnya bersifat mengantarkan pada bab selanjutnya. Lebih jelasnya, bab pertama adalah pendahuluan, yang memuat delapan

15 Historiografi atau penulisan laporan merupakan tahap akhir dari proses penelitian dengan metode sejarah. Historiografi yang dimaksud adalah cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan sehingga bisa dinikmati oleh sidang pembaca. Abdurrahman, Metodologi Peneltian, 116-117.

(16)

16

bahasan. Pertama, latar belakang masalah, yang mengemukakan alasan mengapa skripsi ini ditulis, dan perihal arti penting dan distingsinya dalam konteks kekinian. Kedua, rumusan masalah, yang membatasi masalah sehingga mengerucut pada bebarapa fokus. Ketiga, tujuan penelitian, yang bersifat mengarahkan penelitian yang dilakukan. Keempat, kegunaan penelitian, untuk mengetahui sejauh mana signifikansi skripsi ini bagi masyarakat. Kelima, pendekatan dan kerangka teoritik, yang menjadi framework jalannya penelitian ini sehingga tujuan yang dibuat bisa dengan mudah dibidik. Ketujuh,dan skripsi penelitian terdahulu, yang menunjukkan posisi skripsi ini di antara penelitian lain yang pernah dilakukan sebelumnya. Terakhir, sistematika pembahasan, memberitakan jumlah bab dan sub-bahasan di dalamnya, yang membuat pekerjaan penelitian ini lebih mudah dan tersistematisasi.

Bab kedua berbicara tentang gambaran umum Baghdād dan Samara menjelang tahun 836 M, untuk mendapat gambaran awal mengenai kedua kota. Bab ini terdiri dari tiga sub-bahasan. Pertama, geografi dan demografi Baghdād , untuk memperoleh peta bumi dan kehidupan sosial masyarakat Ibu Kota Baghdād yang terkenal dengan “Kota Kedamaian” menjelang pemindahan pusat pemerintahan ke Samara. Kedua, tentang Baghdād yang dijuluki “Kota Kedamaian”. Sub-bahasan ini berusaha mendeskripsikan Baghdād untuk kemudian mencari celah bagi landasan strategis al-Mu„taṣim memindah pusat pemerintahan Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara. Ketiga, geografi dan demografi Samara, untuk memperoleh gambaran awal peta bumi dan kehidupan sosial masyarakat wilayah Samara, dan berusaha mencari celah bagi alasan

(17)

17

mengapa kota ini dipilih menjadi pusat pemerintahan Daulah „Abbāsiyah sejak 836 M.

Bab ketiga tentang kondisi pemerintahan Daulah „Abbāsiyah di Baghdād periode kepemimpinan Khalifah al-Mu„taṣim Billāh. Bab ini berusaha memotret keadaan sosial-politik Baghdād, yang konon tak aman lagi sehingga pusat pemerintahan harus dipindahkan. Bab ini memuat tiga sub-bahasan. Pertama, biografi Khalifah al-Mu„taṣim Billāh yang berwatak keras karena pengaruh kehidupannya yang sangat lekat dengan aktivitas militer. Kedua, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Baghdād periode al-Mu„taṣim yang secara signifikan mewarnai gejolak politik Baghdād. Ketiga, kedatangan orang-orang Turki. Konon, orang-orang ini direkrut oleh al-Mu„taṣim yang kemudian membawa pengaruh besar pada pemerintahan Daulah „Abbāsiyah di Baghdād dan kemudian memantik kecemburuan kelompok-kelompok lain.

Bab keempat merupakan bagian inti dari penelitian dalam skripsi ini, yang berusaha menganalisis segala sesuatu yang erat hubungannya dengan pemindahan Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah dari Baghdād ke Samara oleh Khalifah al-Mu„taṣim Billāh. Bab ini diikuti oleh empat sub-bahasan. Pertama, tentang landasan-landasan strategis Khalifah al-Mu„taṣim ketika harus memindahkan Ibu Kota Daulah dari Baghdād “yang damai” ke Samara “yang sama sekali baru”. Kedua, perubahan-perubahan penting sebagai implikasi dari pemindahan Ibu Kota Daulah. Bagaimana pun, pemindahan Ibu Kota sebuah Daulah akan memberikan dampak yang tidak kecil bagi iklim di Daulah itu, baik iklim ekonomi, politik, dan sebagainya. Ketiga, dampak pemindahan Ibu Kota terhadap stabilitas Daulah.

(18)

18

Bagian ini menguji ketahanan Daulah yang mengalami pemindahan pusat pemerintahan. Sub-bahasan terakhir membahas tentang kedudukan Samara, Ibu Kota Daulah „Abbāsiyah setelah tahun 836 M, dalam kancah sejarah peradaban Islam. Setidaknya, sebagai Ibu Kota salah satu imperium Islam yang besar, yaitu Daulah „Abbāsiyah, kota Samara memiliki kedudukan tersendiri dalam lanskap peradaban Islam.

Bab kelima atau yang terakhir, adalah penutup, yang sebagaimana maklum, memuat dua subbahasan: kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian dengan mengacu pada rumusan atau batasan masalah di bab pertama; kemudian sub-bahasan yang kedua adalah saran atau rekomendasi perihal penelitian yang telah dilakukan, baik rekomendasi untuk personal ataupun lembaga.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian dari penelitian ini menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada persepsi mahasiswa terhadap akuntan sebagai profesi pada

Faktor-faktor yang memengaruhi daya ingat sesaat dalam penelitian ini yaitu pengetahuan gizi, status gizi, dan status anemia, semakin baik skor pengetahuan gizi

Kardiomiopati peripartum didefinisikan sebagai kardiomiopati pada wanita hamil yang terjadi pada trimester tiga kehamilan sampai 5 bulan periode post partum, tidak

1) Aset Bermasalah adalah seluruh aktiva Bank baik produktif maupun non produktif yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet sesuai ketentuan yang

(1-). Buku Ajar V  Buku Ajar Vogel Ki ogel Kimia Analisis Kuantitati mia Analisis Kuantitatif Anorganik 

Dengan berbagai produk unggulan yang dimiliki oleh Kecamatan Ampel Gading, maka perlu dilakukan pelestarian dan juga pengembangan produk dan daerah yang

Menurut UU no. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan Pasal 1 huruf b yang dimaksud dengan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis