KARYA SAUT SITUMORANG DAN PUISI
AKU INGIN
KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
Made
Universitas Airlangga odemadee@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membongkar hubungan intertekstualitas antara puisi Saut Situmorang dan puisi Sapardi Djoko Damono. Penelitian ini memanfaatkan teori intertekstualitas Michael Riffaterre. Fokus penelitian ini adalah puisi Saut Situmorang dan puisi Sapardi Djoko Damono. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan berfokus pada analisis isi. Sumber data penelitian ini adalah puisi Sapardi Djoko Damo yang berjudul
Aku Ingin (1980) sedangkan teks transformasi yang digunakan adalah puisi Saut Situmorang yang berjudul Aku Ingin (1999). Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa adanya hubungan intertekstual dalam puisi Saut Situmorang yang berjudul Aku Ingin dengan puisi Sapardi. Secara keseluruhan puisi Saut Situmorang merupakan pertentangan atau satire dari karya sebelumnya milik Sapardi. Hal tersebut dapat dibuktikan pada tema, gaya bahasa, dan pemilihan diksi.
Kata kunci:puisi, intertekstualitas, Riffaterre,
Abstract
This research aims to uncover the intertextual relationship between Saut Situmorang's poetry and Sapardi Djoko Damono's poetry. This study utilizes Michael Riffaterre's theory of intertextuality. The focus of this research is the poetry of Saut Situmorang and poetry of Sapardi Djoko Damono. This study uses qualitative methods and focuses on content analysis. The data source of this research is Sapardi Djoko Damo's poem entitled “Aku Ingin” (1980) while the transformation text used is the Saut Situmorang poem entitled "Aku Ingin” (1999). The results of this study found that there is an intertextual relationship in Saut Situmorang's poem entitled "Aku Ingin" with Sapardi's poem. Overall, Saut Situmorang's poetry is a contradiction or satire from Sapardi's previous works. This can be proven in the theme, language style, and the choice of diction.
▸ Baca selengkapnya: puisi tentang hatarakibachi 4 bait
(2)A. PENDAHULUAN
Sebuah karya sastra tidaklah lahir dari ruang hampa tetapi dari proses pembacaan dan pergulatan pengarang terhadap karya-karya sastra sebelumnya, entah itu puisi atau prosa. Sejalan dengan pendapat Teeuw, menurutnya karya sastra itu merupakan sebuah respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Oleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya (Teeuw, 1983:65-66).
Proses kreatif penciptaan karya sastra khususnya puisi juga tidak terlepas dari sebuah respon atas karya sebelumya. Satu diantara penyair yang menjadi sumber proses kreatif penciptaan sebuah karya sastra khususnya puisi adalah Sapardi Djoko Damono. Siapa yang tidak kenal terhadap Sapardi, Profesor dan juga penyair kebanggan Indonesia tersebut memiliki andil
besar dalam perkembangan
kesusatraan Indonesia. Karena
kontribusinya terhadap kesusastraan Indonesia sangat besar, banyak penyair menciptakan sebuah karya yang terinspirasi melalui karya-karya Sapardi. Sehingga banyak peneliti tertarik menganalisis karya-karya terbaru yang berhubungan dengan karya Sapardi yang telah sebelumnya.
Kurniyanti (2015) menganalisis
hubungan intertekstual puisi “Aku
ingin” karya Sapardi dengan puisi “Aku mencintaimu diam-diam” karya Arwan Maulana menemukan bahwa Hasil analisis kedua puisi tersebut memiliki model yang sama yakni hubungan dan percintaan. Kemudian
Nasta’in (2019) menganilisis
hubungan intertekstual antara
kumpulan puisi “Perahu Kertas”
karya Sapardi dengan kumpulan
puisi “Perbincangan Terakhir
Dengan Tuan Guru” karya Tjahjono
Widarmanto juga menemukan
kesamaan unsur pembangun puisi berupa diksi, rima, tema, dan amanat dari sifat intertekstualnya (negasi, afirmasi dan inovasi). Hasil kedua
penelitian terdahulu tersebut
menemukan bahwa objek
perbandingan kedua karya tersebut merupakan transformasi persamaan
atau penerus terhadap karya
terdahulu.
Saut Situmorang melalui
puisinya yang berjudul “Aku ingin”
(1999) dalam antologi Perahu
Mabuk: sepeilihan sajak cinta
merupakan puisi yang diciptakan
sebagai respon atas puisi
sebelumnya yang berjudul sama “Aku ingin” (1980) karya Sapardi. Puisi Sapardi dipilih sebagai objek
perbandingan karena memiliki
kemiripan dengan puisi Saut yang
berjudul “Aku ingin” dalam hal judul
dan jumlah bait. Tetapi isi dan makna dalam kedua puisi tersebut
sangat berbeda. Hal tersebut
membuat penelitian ini menjadi
menarik, apabila penelitian
terdahulu hanya menemukan
persamaan atau meneruskan karya terdahulu, puisi saut menawarkan tranformasi perlawanan atas karya sebelumya milik Sapardi. Melihat fakta pada teks tersebut, maka analisis intertekstual sangat tepat digunakan sebagai pisau untuk membedah kedua puisi tersebut.
Kristeva (1980: 60-63) menulis
beberapa prinsip dasar
intertekstualitas yang berupa: (1)
dilatarbelakangi oleh teks-teks yang sudah ada sebelumnya sehingga suatu teks mengandung teks-teks lain; (2) karya sastra yang ditulis kemudian dapat berlaku sebagai
pengukuhan, penolakan, atau
perpecahan dari teks yang sudah ada lebih dahulu; (3) pembaca atau peneliti yang membaca suatu karya sastra harus menghubungkannya
dengan teks-teks lain yang
mendasarinya untuk melihat aspek-aspek dari teks-teks lain yang telah diserapnya; dan (4) karya sastra perlu dilihat dari aspek-aspek intrinsiknya atau dalamnya, seperti tema, plot, latar, dan tokoh serta aspek-aspek luarnya, seperti aspek
budaya, sejarah, dan agama.
Penelitian terhadap aspek dalaman dan aspek luaran perlu dilakukan secara seimbang.
Berdasar latar belakang
tersebut, fokus penelitian ini adalah bagaimana hubungan intertekstual antara puisi “Aku ingin” karya Saut Situmorang dengan puisi “Aku ingin” karya Sapardi Djoko Damono. Secara teoritis penelitian ini membahas hubungan intertekstual antara puisi “Aku ingin” karya Saut Situmorang
dengan puisi “Aku ingin” karya
Sapardi Djoko damono. Sedangkan
secara praktis, penelitian ini
bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya dan khusunya pada masyarakat pencinta sastra bahwa karya-karya sastra lama dapat menjadi titik pijak atau respon bagi karya-karya sastra
yang akan datang. Teori
intertekstualitas digunakan untuk menjawab masalah tersebut.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan berfokus pada
analisis isi. Metode kualitatif
digunakan karena data dalam penelitian ini dinyatakan dalam bentuk verbal berupa kata-kata, kalimat, dan wacana. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Sumber data penelitian ini adalah puisi Sapardi Djoko Damo
yang berjudul “Aku ingin” (1980)
dalam antologi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada Desember 2015
dengan 120 halaman. Teks
transformasi yang digunakan adalah puisi Saut Situmorang yang berjudul “Aku ingin” (1999) dalam antologi Perahu Mabuk: sepilihan sajak cinta yang diterbitkan Putaka Hariara pada Mei 2014 dengan 72 halaman.
Untuk menganalisis hubungan intertekstualitas puisi “Aku ingin” karya Sapardi dan puisi “Aku ingin” karya Saut, penulis menggunakan teori intertekstual dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, melakukan pembacaan puisi yang menjadi sumber data secara cermat
dan teliti. Kedua, melakukan
perbandingan dan pertimbangan
antara kedua teks. Ketiga
mengidentifikasi hubungan
intertekstual dalam tataran fisik dan abstrak. Keempat, mengidentifikasi unsur-unsur yang menunjukkan
adanya hubungan intertekstual.
Kelima, menafsirkan makna
kehadiran teks hipogram di dalam teks transformasi. Tahap satu sampai empat termasuk dalam pembacaan heuristik, sedangkan tahap kelima termasuk pembacaan hermeneutik yang diadopsi dari metode yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978:
56) menyebut teks-teks yang
melatari atau mendasari terciptanya suatu karya sastra disebut sebagai hipogram. Penentuan teks hipogram
dapat membantu peneliti untuk mengenali aspek-aspek yang diserap ke dalam karya sastra yang terbit
lebih kemudian atau teks
transformasi dengan cara
membandingkannya. Karena karya sastra tidak lahir dari ruang hampa tetapi dari proses pembacaan dan
pergulatan pengarang terhadap
karya-karya sastra sebelumnya.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam hubungan sejarah
antarteks, perlu diperhatikan
prinsip-prinsip intertekstualitas.
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat
berupa persamaan atau
pertentangan. Menurutnya, sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya itu disebut hipogram. Artinya, tidak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau meniru karya sebelumnya yang diserap dan
ditransformasikan dalam karya
tersebut.
Adanya karya-karya yang
ditranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya
lain yang diduga menjadi
hipogramnya.
Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal ini mungkin disadari atau tidak disadari oleh pengarang.
Kesadaran pengarang terhadap
karya yang menjadi hipogramnya mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya, menolak konvensi yang berlaku sebelumnya. Prinsip intertektualitas
yang utama adalah prinsip
memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan.
Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan atau jiplakan,
melainkan bagaimana kita
memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi.
Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan
teks yang lain. Unsur-unsur
hipogram itu berdasarkan persepsi,
pemahaman, pengetahuan, dan
pengalamannya membaca teks-teks
lain sebelumnya. Penunjukan
terhadap unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain, pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Prinsip intertekstualitas
merupakan salah satu sarana pemberian makna pada sebuah teks sastra (puisi). Hal ini mengingat
bahwa sastrawan itu selalu
menanggapi teks-teks sebelumnya. Dalam menanggapi teks-teks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik dan pengetahuan sastra yang dimilikinya.
1. Intertekstualitas pada Aspek
Tema Puisi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam intertekstualitas kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya mungkin
berwujud dalam sikapnya yang
meneruskan, atau sebaliknya,
menolak konvensi yang berlaku sebelumnya. Puisi Saut situmorang merupakan pertentangan atau satire dari karya sebelumnya milik Sapardi, hal terebut terlihat jelas dalam isi puisi Saut Situmorang. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat perbandingan kedua puisi tersebut sebagai berikut: Aku ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat
Diucpakan kayu kepada api yang menjandikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada (Sapardi Djoko Damono: 1980)
Aku ingin
Aku ingin mencintaimu dengan membabi buta Dengan sebotol racun yang diteguk Romeo Tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi
Aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta Dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet Kedada sendiri yang membuatnya jadi abadi (Saut Situmorang: 1999)
Dari kedua puisi tersebut dapat kita lihat, Saut mencoba mengkritik tema puisi Sapardi yang terlalu cengeng dan melankolis dengan sebuah tema tragedi kisah Romeo dan Juliet. Karya Saut yang merupakan transformasi dari karya sebelumnya mencoba mengubah tema puisi Sapardi yang terlalu cengeng dengan tragedi kisah cinta Romeo dan Juliet.
2. Intertekstualitas pada Aspek
Gaya Bahasa dan Pemilihan Diksi
Dari kedua puisi Sapardi dan Saut dapat kita lihat dengan jelas bagaimana perbedaan dari segi gaya bahasa dan pemilihan diksi. Puisi Saut situmorang yang berupa tranformasi dari hipogram mencoba menentang atau melawan gaya bahasa pada puisi Sapardi yang terlalu kalem dan sederhana dengan gaya bahsa dan diksi yang tegas dan lugas. Sebagaimana dapat kita lihat dari perbandingan bait puisi tersebut di bawah ini:
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu” (Sapardi Djoko damono: 1980)
“aku ingin mencintaimu dengan membabi buta dengan sebotol racun yang diteguk romeo tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi” (Saut Situmorang: 1999)
Pada bait pertama dapat dilihat
bagaimana perbandingan gaya
bahasa dan pemilihan diksi Saut Situmorang dan Sapardi dalam puisinya. Pada bait pertama Sapardi menggunakan istilah aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat
disampaikan kayu yang
menjadikanya abu sebagai pemilihan diksi puisinya, sedangkan Saut lebih memilih kata yang lugas yakni dari kisah tragedi Romeo dan Juliet. Saut memilih diksi aku ingin mencintaimu dengan membabi buta, dengan racun yang diteguk Romeo yang membuat kematiannya menjadi puisi.
Perbandingan pada bait kedua dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
“aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta
dengan sebilah belati yang ditikamkan juliet ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi”
(Saut Situmorang : 1999)
Dalam bait kedua Sapardi masih
konsisten menggunakan diksi
sederhana nan romantis sebagai pilihan diksi keduanya, Sapardi
menggunakan perumpamaan
sederhana tentang awan dan hujan.
Berbeda dengan Saut, Saut
mengganti diksi pada awal puisinya, apabila diawal bait pertama Saut
menuliskan dengan “Aku ingin
mencintaimu” pada bait kedua Saut
mengganti kalimatnya menjadi “Aku
ingin kau mencintaiku”. Saut
mencoba menentang puisi Sapardi bahwa dalam kisah cinta sebaiknya terdapat simbiosis yakni mencintai dan dicintai.
D. SIMPULAN DAN SARAN
Hubungan intertekstual terlihat jelas dalam puisi Saut Situmorang
yang berjudul “Aku ingin” dangan
puisi Sapardi yang berjudul “Aku
ingin”. Secara Judul puisi tersebut memiliki kesamaan tapi dalam hal pemaknaan puisi tersebut jelas berbeda.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam intertekstualitas kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya mungkin berwujud dalam sikapnya yang
meneruskan, atau sebaliknya
menolak konvensi yang berlaku sebelumnya. Puisi Saut situmorang merupakan pertentangan atau satire dari karya sebelumnya milik Sapardi, hal terebut terlihat jelas dalam tema, pemilihan diksi dan gaya bahasa pada puisi “Aku ingin” karya Saut Situmorang. Apabila dalam tema puisi sapardi hanya menggunakan
perumapaan sederhana, Saut
mencoba menentangnya dengan kisah tragedi Romeo dan Juliet.
Dalam hal gaya bahasa dan pemilihan diksi pada bait pertama
dapat dilihat bagaimana
perbandingan gaya bahasa dan pemilihan diksi Saut Situmorang dan Sapardi dalam puisinya. Pada bait
pertama Sapardi menggunakan
istilah aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu yang menjadikanya abu sebagai pemilihan diksi puisinya, sedangkan Saut lebih memilih kata yang lugas yakni dari kisah tragedi Romeo dan Juliet. Saut memilih diksi aku ingin mencintaimu dengan membabi buta, dengan racun yang diteguk Romeo yang membuat kematiannya menjadi puisi.
Dalam bait kedua Sapardi masih
konsisten menggunakan diksi
sederhana nan romantis sebagai pilihan diksi keduanya, Sapardi
menggunakan perumpamaan
sederhana tentang awan dan hujan.
Berbeda dengan Saut, Saut
mengganti diksi pada pembuka bait kedua puisinya, apabila pada awal
kalimat bait pertama Saut
menuliskan dengan “Aku ingin
mencintaimu” pada bait kedua Saut
mengganti kalimatnya menjadi “Aku
ingin kau mencintaiku”. Saut
mencoba menentang puisi Sapardi bahwa dalam kisah cinta sebaiknya terdapat simbiosis yakni mencintai dan dicintai.
Penelitian ini bertujuan
membongkar hubungan-hubungan teks sastra yang terdahulu dengan sastra sekarang atau modern. Dengan penelitian ini semoga
membantu para peneliti atau
untuk melakukan penelitian terkait intertekstualitas.
Diharapakan dengan adanya penelitian ini para penikamat sastra mengerti bahwa tidak selamanya karya sastra atau tokoh sastra yang dicintai akan kokoh di puncak kesusastraan Indonesia. Bisa jadi sebaliknya, sastrawan generasi baru menolak konvensi yang berlaku sebelumnya. Prinsip intertektualitas
yang utama adalah prinsip
memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, S. D. (2014). Hujan Bulan
Juni. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Kristeva, J. (1980). Desire in
Language: a Semiotic Approach to Literature and art. Oxford: Basil Blackwell.
Kurniyanti. (2015). Kajian
Intertekstual puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono dan puisi Aku Mencintaimu
Diam-Diam karya Arwan
Maulana.
www.semanticscholar.org diakses pada tanggal 18 Januari 2021
Nasta’in, A. (2019). Analisis
Intertekstualitas Kumpulan
Puisi Perahu Kertas Karya Sapardi Djoko Damono dengan Kumpulan Puisi Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru Karya Tjahjono Widarmanto.
Skripsi pada IKIP PGRI
Bojonegoro.
Nurgiyanto, B. (2007). Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, R. D. (1995). Beberapa
Teori Sastra, metode sastra, dan
penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Riffaterre, M. (1978). Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University Press.
Situmorang, S. (2014) Perahu Mabuk:
sepilihan sajak cinta. Sleman-Yogyakarta: Pustaka Hariara. Wellek, R., dan Warren, A. (1989).
Teori Kesusasteraan. Jakarta: PT Gramedia.