• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL LOKASI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL LOKASI PENELITIAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai profil lokasi penelitian yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Sub bab yang pertama membahas mengenai profil Desa Lerep dan sub bab kedua membahas kondisi geografis Desa Lerep. Sub bab ketiga membahas mengenai struktur sosial di Desa Lerep, yang terbagi dalam uraian mengenai pendidikan, ekonomi, kependudukan, dan mobilitas penduduk. Pada sub bab keempat diuraikan mengenai pola-pola kebudayaan. Terakhir, sebagai penutup pada bab profil lokasi penelitian ini, peneliti menguraikan pola- pola adaptasi ekologi masyarakat Desa Lerep.

Profil Desa Lerep

Secara administratif, Desa Lerep terdapat di Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Batas wilayah Desa Lerep adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara : Kel. Bandarjo dan Kel. Sumurjurang 2. Sebelah timur : Kelurahan Ungaran

3. Sebelah selatan : Desa Nyatnyono 4. Sebelah barat : Desa Keji/Kalisidi

Jarak Desa Lerep ke kantor kecamatan adalah 0.5 km dan dapat ditempuh selama sekitar lima menit bila menggunakan kendaraan bermotor. Jarak Desa Lerep ke Kantor Pemerintahan Kabupaten Semarang adalah 1.5 km bila menggunakan kendaraan bermotor. Jarak Desa Lerep ke Kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah adalah 23 km dan jaraknya ke Kantor Ibukota Negara Indonesia adalah 530 km.

Desa Lerep terdiri dari delapan wilayah administrasi, yaitu Dusun Indrokilo, Dusun Lerep, Dusun Soka, Dusun Tegalrejo, Dusun Lorog, Dusun Karangbolo, Dusun Kretek, dan lingkungan Perumahan Mapagan. Lebih lanjut, Desa Lerep terdiri dari 10 RW dan 64 RT. Kondisi jalan menuju Kantor Desa Lerep terbilang cukup baik, jalanan menuju Desa Lerep sudah beraspal. Desa Lerep dapat dijangkau dengan menggunakan sejenis angkutan umum, ojek, mobil, sepeda motor, maupun jenis kendaraan pribadi lainnya. Namun, kontur wilayah Desa Lerep yang berbukit menuntut kehati-hatian ketika mengendarai kendaraan menuju wilayah tersebut.

Untuk menuju ke Kantor Pemerintahan Desa Lerep, dapat digunakan beberapa cara dengan melalui beberapa rute. Rute pertama, perjalanan dari Kantor Pemerintahan Kabupaten Semarang dapat ditempuh menggunakan kendaraan angkutan umum jurusan Pasar Bandarjo menuju ke alun-alun Ungaran. Setelah tiba di alun-alun Ungaran, perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan kendaraan umum (mobil muatan banyak), ojek, sepeda motor, atau kendaraan pribadi lainnya untuk menuju ke kantor Pemerintahan Desa Lerep. Rute kedua, dari Desa Keji, perjalanan dapat dilakukan menggunakan ojek atau kendaraan pribadi ke kantor Pemerintahan Desa Lerep. Rute ketiga, dari Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, perjalanan dapat ditempuh menggunakan angkutan umum jurusan Sekaran-Ungaran menuju Perumnas Mapagan. Setelah tiba di Perumnas Mapagan, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan ojeg atau kendaraan pribadi untuk menuju Kantor Pemerintahan Desa Lerep. Rute terakhir, dari Kota Semarang, kita dapat menggunakan angkutan umum jurusan Ngesrep-Ungaran menuju Pasar Bandarjo. Setelah tiba di Pasar Bandaro, perjalanan dilakukan dengan menggunakan angkutan umum jurusan Ungaran-Gunungpati menuju alun-alun Ungaran. Dari alun-alun Ungaran, perjalanan

(2)

dilakukan menggunakan kendaraan umum (mobil muatan banyak), ojek, sepeda motor, atau kendaraan pribadi lainnya untuk menuju ke Kantor Pemerintahan Desa Lerep. Peta Desa Lerep dapat dilihat pada Lampiran 1.

Kondisi Geografis

Secara geografis, Desa Lerep berada pada koordinat 07º06’30’’ sampai 07º08’50’’ Bujur Timur dan 110º21’45’’ sampai 110º23’45’’ Lintang Selatan dengan elevasi 300 sampai 700 m di atas permukaan air laut. Desa Lerep merupakan daerah perbukitan. Permukiman tertinggi Desa Lerep adalah Dusun Indrokilo dengan ketinggian ± 700 m di atas permukaan air laut dan suhu udara berkisar antara 21 º C sampai 25 º C. Sedangkan permukiman terendah Desa Lerep adalah Lingkungan Mapagan dengan ketinggian ± 300 m di atas permukaan air laut dan suhu udara berkisar antara 24 º C sampai 28 º C.

Desa Lerep memiliki luas wilayah ± 682 hektar. Secara umum, data BPS dan BAPPEDA Kabupaten Semarang Tahun 2002, 2004, 2011 tidak menunjukkan perubahan penggunaan lahan di Desa Lerep. Lahan di Desa Lerep dimanfaatkan untuk sawah seluas 176 hektar dan 506 hektar untuk bukan sawah. Perbandingan luas penggunaan lahan di Desa Lerep pada tahun 2002 dan 2004 selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Data pada Gambar 4 menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Desa Lerep untuk sawah tidak mengalami perubahan dari Tahun 2002, 2004, dan 2010, yaitu seluas 176 hektar. Namun, di sisi lain terdapat perubahan penggunaan untuk lahan bukan sawah. Pada Tahun 2002 luas penggunaan lahan non pertanian untuk bangunan/pekarangan adalah 163.9 hektar sedangkan pada Tahun 2004 luas penggunaan lahan non pertanian untuk bangunan/pekarangan adalah 171.9 hektar. Luas penggunaan lahan non pertanian untuk

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 L u a s ( h a) Penggunaan Lahan 2002 2004

Diolah dari: (BAPEDDA Kabupaten Semarang dan BPS 2002, 2004)

Gambar 4 Luas lahan (Ha) Desa Lerep menurut penggunaannya pada Tahun 2000 dan 2004

(3)

tegal, kebun/kolam pada Tahun 2002 adalah 173.1 hektar sedangkan pada Tahun 2004 adalah 165.1 hektar. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi konversi lahan dari penggunaan untuk lahan tegal, kebun/kolam ke lahan bangunan/pekarangan. Hal tersebut berhubungan dengan semakin maraknya pembangunan pemukiman di Desa Lerep Sejak Tahun 2004 sampai 2010, antara lain: Perumahan Bukit Asri (2005), Perumahan The Fountain(2006), Perumahan Harmoni (2007), dan Perumahan Bukit Asri II (2009).

Kepadatan agraris Desa Lerep cenderung menurun, yaitu pada Tahun 2002 adalah 7.36 petani/ha, pada Tahun 2004 adalah 6.1 petani/ha, dan pada Tahun 2010 adalah 5.3 petani/ha. Berkurangnya kepadatan agraris Desa Lerep pada Tahun 2002 sampai 2010 tersebut bukan disebabkan ketersediaan lahan pertanian yang semakin bertambah di Desa Lerep. Kepadatan agraris Desa Lerep tersebut semakin menurun karena jumlah petani pada Tahun 2002 sampai 2010 terus menurun sedangkan lahan pertanian tidak bertambah di Desa Lerep.

Desa Lerep memiliki beberapa potensi sumber air yang terdiri dari mata air dan sungai/kali. Namun, saat ini hampir 50 persen dari mata air tersebut mengalami penurunan debit air, terutama ketika musim kemarau. Adapun mata air di Desa Lerep antara lain adalah: Mata Air Dimpil, Mata Air Si Lutung, Mata Air Si Wudel, Mata Air Si Bulus, Mata Air Tok Songo, Mata Air Wonosari, dan Mata Air Tegal Gawok. Sungai/kali yang terdapat di Desa Lerep adalah Sungai Pangus, Sungai Siprodongan, Sungai Belan, Sungai Plilit, Sungai Sidingklik, dan Sungai Bulus (Pemerintah Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang 2012).

Dahulu, tidak terdapat aturan tertentu dalam penggunaan mata air di Desa Lerep tersebut. Masyarakat bebas mengambil air dengan cara “mikul” atau menggunakan ember di “sendang” (kolam kecil). Hal tersebut cenderung menyebabkan kesenjangan akses terhadap air antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Masyarakat yang kaya relatif lebih mampu mengakses air dengan lebih banyak daripada masyarakat miskin yang hanya mampu mengakses air dengan cara memikul ember berisi air. PDAM pun hanya terdapat di lingkungan Mapagan (1986) dan belum menjangkau dusun-dusun lainnya di Desa Lerep.

Namun, sejak Tahun 2009, penggunaan mata air di Desa Lerep sudah dikelola dengan sistem seperti PDAM yang dikelola secara swadaya masyarakat dengan bantuan dana dari APBD. Pengelolaan mata air tersebut diutamakan untuk penggunaan air bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga, kemudian selebihnya digunakan untuk keperluan lainnya seperti kebutuhan pertanian. Setelah Tahun 2009, masyarakat Desa Lerep memperoleh akses air untuk kebutuhan rumah tangga secara lebih adil, masyarakat sama-sama memiliki akses tak terbatas pada air. Masyarakat Desa Lerep cukup membayar Rp 3000,00 sampai Rp 3500,00 setiap bulan ke kantor Pemerintahan Desa Lerep. Selanjutnya, dana dari pembayaran penggunaan air tersebut akan digunakan kembali oleh Pemerintah Desa Lerep untuk perawatan dan biaya pembangunan di Desa Lerep.

Struktur Sosial

Batasan kemiskinan pada Desa Lerep dilihat berdasarkan kepemilikan tanah/ternak dan keadaan rumah. Masyarakat yang rumahnya sudah tidak bertipe “omah jowo” (lantai sudah tidak dari tanah dan dinding sudah terbuat dari bata) biasanya diasosiasikan sebagai orang kaya meskipun masyarakat juga mengakui bahwa orang yang bangunan rumahnya masih bertipe “omah jowo” juga dapat merupakan orang kaya yang diam-diam memiliki simpanan/aset tetapi lebih memilih hidup sederhana. Oleh karena itu, biasanya, orang yang sudah naik haji atau memiliki aset baik itu tanah, ternak, atau benda berharga lainnya juga dianggap sebagai orang kaya di desa tersebut.

(4)

Kepala Desa merupakan salah satu tokoh yang dihormati di Desa Lerep, orang-orang tua bahkan mengunjungi Kepala Desa untuk “sungkem” ketika Lebaran. Selain itu, sesepuh dan kyai atau tokoh agama sangat dihormati oleh masyarakat di Desa Lerep. Ucapan seorang kyai/pemuka agama bahkan dinyatakan lebih cenderung sulit dilanggar oleh masyarakat daripada ucapan perangkat desa. Tokoh agama ataupun sesepuh dihormati karena dianggap “ngelmu” atau memiliki pengetahuan yang lebih, selain itu sikapnya juga baik, menjaga lisan, dan tindakannya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Keturunan dari tokoh agama juga dihormati oleh masyarakat sebatas orang tersebut tidak menyimpang dari norma yang seharusnya.

Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting di dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Desa Lerep memiliki infrastruktur pendidikan yang cukup memadai. Desa Lerep memiliki infrastruktur pendidikan berupa enam buah PAUD, lima buah TPA, tiga buah TK, enam buah SD, satu buah MI, satu buah SMP (SMP Satu Atap), dan satu buah Madrasah Diniyah (Madin). Akan tetapi, sarana dan prasarana pendidikan berupa SMA dan pesantren masih belum terdapat di Desa Lerep. Data jumlah unit infrastruktur menurut jenis pendidikan di Desa Lerep Tahun 2012 terdapat pada Tabel 3.

Rasio guru dan murid pada TK menurut data BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS (2008) adalah 1:13 di mana terdapat 12 guru dan 164 murid. Rasio tersebut menunjukkan bahwa satu pengajar mengajar 13 siswa. Rasio guru dan murid pada MI adalah 1:22 di mana terdapat enam guru dan 134 siswa. Rasio tersebut menunjukkan bahwa 1 pengajar mengajar 22 siswa.

Tingkat pendidikan di Desa Lerep sudah cukup baik, terutama untuk pendidikan dasar. Menurut data BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS (2010), tingkat pendidikan warga desa Lerep adalah 45.56 persen tamat SD, 11.88 persen tamat SMP, 11.84 persen

Tabel 3 Jumlah unit infrastruktur menurut jenis pendidikan di Desa Lerep Tahun 2012

No. Unit infrastruktur Jumlah (unit)

1. PAUD 6 2. TK 3 3. SD 6 4. SMP 1 5. SMA 0 6. MI 1 7. Mts 0

9. Madrasah Diniyah (Madin) 1

10. TPA 5

11. Pondok Pesantren (Ponpes) 0

Total 23

(5)

tamat SMA/SMK, 5.53 persen perguruan tinggi, dan 25.19 persen sisanya termasuk warga yang tidak sekolah, tidak tamat SD, dan belum tamat SD.

Ekonomi

Ekonomi merupakan bidang yang paling mendasar di dalam mempertahankan hidup dan kehidupan masyarakat, begitu pula terhadap pembangunan daerah. Bidang ekonomi memiliki kaitan erat dengan bidang atau sektor pembangunan yang lain, seperti pendidikan, keamanan, infrastrukutur, keagamaan, dan sosial budaya.

Matapencaharian penduduk Desa Lerep cukup beragam, 985 orang bermatapencaharian sebagai petani, 1041 orang bermatapencaharian sebagai buruh tani, 839 orang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri, 57 orang sebagai TNI, 34 orang sebagai anggota POLRI, 975 orang bermatapencaharian sebagai pegawai swasta, 985 orang bermata pencaharian sebagai buruh bangunan, 546 orang bermatapencaharian di bidang jasa, 1137 orang bermatapencaharian di bidang wiraswasta, dan 1262 orang bekerja di bidang lainnya. Jumlah dan presentase penduduk Desa Lerep menurut jenis pekerjaan pada Tahun 2002, 2004, dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.

Persentase penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani dan buruhtani tampak semakin menurun. Persentase petani menurun dari 10.8 persen pada Tahun 2004 menjadi 10.7 persen pada Tahun 2010. Persentase buruhtani juga menurun dari 9.1 persen pada Tahun 2002 menjadi 6.5 persen pada Tahun 2004 dan semakin menurun lagi menjadi 4.1 persen pada Tahun 2010. Tabel tersebut menunjukkan bahwa penurunan jumlah petani juga disertai dengan penurunan jumlah buruhtani secara drastis, terlebih dalam kurun waktu 2004 sampai 2010.

Tabel 4 Jumlah (jiwa) dan persentase penduduk Desa Lerep menurut jenis matapencaharian pada Tahun 2002, 2004, dan 2010

No Matapencaharian 2002 % 2004 % 2010 % 1. Petani 694 10.5 694 10.8 672 10.7 2. Buruhtani 602 9.1 417 6.5 254 4.1 3. Nelayan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 4. Pengusaha 252 3.8 252 3.9 177 2.8 5. Buruh Industri 922 13.9 922 14.3 839 13.4 6. Buruh Bangunan 957 14.4 957 14.8 882 14.1 7. Pedagang 487 7.3 487 7.6 450 7.2 8. Angkutan 316 4.8 316 4.9 328 5.2 9. TNI/Polri 1 515 22.9 1515 23.5 1515 24.2 10. Pensiunan 317 4.8 317 4.9 377 6.0 11. Lain-lain 568 8.6 568 8.8 773 12.3 Total 6 630 100.0 6445 100.0 6267 100.0

(6)

Data tersebut sesuai dengan pernyataan Bapak Mariyadi selaku Kepala Desa Lerep bahwa dulu masyarakat Desa Lerep banyak bekerja sebagai petani dan buruhtani tetapi untuk saat ini masyarakat Desa Lerep lebih banyak yang bekerja sebagai buruh pabrik (ibu-ibu dan remaja putri) atau buruh bangunan dan jasa angkutan (laki-laki).

Bapak Riyadi selaku Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep menambahkan bahwa pemanasan global dan cuaca menyebabkan ketidakpastian pertanian. Kesulitan air menjadi kendala dalam pertanian, terlebih di musim kemarau. Terkait dengan pengaruh cuaca pada pertanian, Kepala Desa Lerep juga menambahkan bahwa saat ini dari hampir setengah dari mata air yang ada di Desa Lerep sudah mengalami penurunan debit air, terlebih pada musim kemarau. Petani pun banyak yang beralih ke sistem sawah tadah hujan. Beliau juga menyatakan bahwa dulu petani mudah untuk meramalkan musim, musim penghujan berlangsung pada bulan Oktober sampai April dan musim kemarau berlangsung pada bulan April sampai Oktober. Namun, saat ini petani kesulitan meramalkan cuaca dan tidak jarang mengalami “puso” atau gagal panen karena ketidakpastian cuaca tersebut.

Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa selain permasalahan cuaca, nilai ekonomi pertanian padi saat ini kurang menjanjikan. Harga dasar gabah kurang menguntungkan bagi petani, terlebih petani di Desa Lerep kebanyakan adalah petani gurem dan buruhtani dengan luas lahan kurang dari 0.5 hektar (walaupun memang ada beberapa yang memiliki luas lahan hingga 2 hektar). Nilai ekonomi pertanian padi yang semakin tidak menjanjikan tersebut menyebabkan pertanian padi saat ini mulai bergeser ke perkebunan dengan komoditi sengon, kopi, pisang, cengkeh, dan durian.

Selain itu, keberadaan pabrik-pabrik di sekitar wilayah Kabupaten Semarang semenjak kurang lebih Tahun 2000 menyebabkan masyarakat Desa Lerep banyak yang bekerja di pabrik-pabrik tersebut. Pabrik-pabrik tersebut berada di wilayah Ungaran, Bawen, Pringapus. Pabrik-pabrik yang terdapat di Kabupaten Semarang tersebut, misalnya Ungaran Sari Garmen, Batamtex, Sosro, Coca-cola, Nissin, dan Golden Flower. Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa saat ini telah banyak perubahan pandangan dan pola pikir masyarakat mengenai pertanian, terlebih pada generasi muda. Masyarakat dan generasi muda saat ini cenderung jarang yang berminat bekerja di sektor pertanian, mereka cenderung lebih memilih bekerja sebagai buruh industri atau buruh bangunan daripada petani penggarap atau buruhtani. Nilai ekonomi yang diperoleh dari bekerja sebagai buruh pabrik atau buruh bangunan pun dianggap lebih besar daripada sebagai buruhtani atau petani penggarap.

Jumlah pengusaha, buruh bangunan, dan buruh industri pun mengalami penurunan yang cukup besar mulai Tahun 2004 sedangkan penduduk dengan klasifikasi lainnya meningkat drastis dalam kurun Tahun 2004 sampai 2010. Hal ini diindikasikan terkait dengan pengurangan pegawai pada pabrik-pabrik besar di Kabupaten Semarang pada kurun waktu tersebut. Pabrik-pabrik tersebut juga cenderung menggunakan tenaga kontrak yang terkadang tidak diperpanjang.

Kependudukan

Berdasarkan data akhir Tahun 2010 BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS, terdapat 2454 kepala keluarga di Desa Lerep. Sedangkan jumlah penduduk Desa Lerep Tahun 2010 adalah 9882 jiwa, yang terdiri dari 4951 jiwa laki-laki dan 5031 jiwa perempuan. Menurut jenis kelamin, jumlah penduduk perempuan lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin penduduk Desa Lerep Tahun 2010 adalah 98.41.

(7)

Rasio jumlah penduduk dengan jumlah KK adalah 4:1 yang artinya 1 KK menanggung beban keluarga sebanyak 4 jiwa. Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa kesadaran KB sudah cukup baik di Desa Lerep, masyarakat rata-rata telah membatasi jumlah anak. Beliau juga menyatakan bahwa kesadaran KB pada masyarakat yang bekerja sebagai buruh pabrik terkait dengan pertimbangan jam kerja di pabrik hingga larut malam sehingga masyarakat akan kesulitan bila mempunyai banyak anak. Selain itu, kesadaran KB juga diindikasikan disebabkan tingkat pendidikan masyarakat dan pola pikir masyarakat yang semakin baik mengenai pembatasan jumlah anak.

Berdasarkan data pada Tabel 5 , kepadatan agraris Desa Lerep cenderung menurun, yaitu pada Tahun 2002 adalah 7.4 petani/ha, pada Tahun 2004 adalah 6.1 petani/ha, dan pada Tahun 2010 adalah 5.3 petani/ha. Berkurangnya kepadatan agraris Desa Lerep pada Tahun 2002 sampai 2010 tersebut bukan disebabkan ketersediaan lahan pertanian yang semakin bertambah di Desa Lerep. Kepadatan agraris Desa Lerep tersebut semakin menurun karena jumlah petani pada Tahun 2002 sampai 2010 terus menurun dan lahan pertanian tidak bertambah di Desa Lerep.

Kepadatan penduduk Tahun 2010 mencapai 1463 jiwa /km2. Selama kurun waktu

1990 sampai 2002 reit pertumbuhan penduduk di Desa Lerep mencapai 2.7 persen. Sedangkan dalam kurun waktu 2002 sampai 2004 reit pertumbuhan penduduk di Desa Lerep mencapai 1.2 persen. Pada kurun waktu 2004 sampai 2010 reit pertumbuhan penduduk meningkat hingga mencapai 2.3 persen. Selain itu, reit pertumbuhan penduduk dari Tahun 2002 sampai 2010 sebesar 3.5 persen. Dengan demikian, penduduk di Desa

Tabel 5 Jumlah penduduk ( jiwa ), kepadatan penduduk, dan reit pertumbuhan penduduk Desa Lerep pada Tahun 2002-2010

No. Kategori Tahun

1990 2002 2004 2010 1. Laki-laki (jiwa) 3760 4239 4494 4951 2. Perempuan (jiwa) 3628 4146 4423 5031 3. Total Penduduk (jiwa) 7338 8387 8917 9982 4. Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 1076 1230 1307 1463 5. Kepadatan agraris (jumlah petani/luas lahan pertanian (Ha) ) -7.4 6.1 5.3 6. Reit Pertumbuhan Penduduk Laki-laki (%) -2.4 1.2 2.0 7. Reit Pertumbuhan Penduduk Perempuan (%) -2.7 1.3 2.6 8. Reit Pertumbuhan Penduduk (%) - 2.7 1.2 2.3

(8)

Lerep cenderung meningkat pertumbuhannya sehingga kepadatan penduduk Desa Lerep pun selalu meningkat dari kurun waktu 1990 sampai 2010. Data jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan reit pertumbuhan penduduk secara ringkas disajikan pada Tabel 5.

Berdasarkan data pada Tabel 5, pertumbuhan penduduk laki- laki lebih kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk perempuan sehingga jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki. Pertambahan jumlah penduduk wanita tampak jauh lebih besar daripada pertambahan jumlah penduduk laki-laki pada Tahun 2010. Pada Tahun 2010, reit pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar 2.0 sedangkan reit pertumbuhan penduduk perempuan sebesar 2.6. Dari 9882 jiwa penduduk di Desa Lerep pada Tahun 2010, 7380 orang beragama Islam, 1335 orang beragama Kristen, dan 1167 beragama Katolik.

Mobilitas Penduduk

Data Sensus Desa Lerep Tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat penduduk lahir sebanyak 61 jiwa dan penduduk meninggal sebanyak 58 jiwa di Desa Lerep. Tingkat kelahiran penduduk Desa Lerep sebesar 6.2 persen. Tingkat kelahiran tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat kematian penduduk yang hanya sebesar 5.8 persen. Jumlah penduduk yang melakukan migrasi masuk ke Desa Lerep sebesar 254 jiwa, migrasi keluar sebesar 145 jiwa, serta mutasi satu tahun sebanyak 61 jiwa. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa penduduk Desa Lerep jarang melakukan migrasi ke luar.

Rendahnya tingkat migrasi keluar di Desa Lerep diasumsikan disebabkan tidak ada faktor pendorong ataupun faktor penarik migrasi yang mampu memacu masyarakat Desa Lerep untuk melakukan migrasi keluar. Kepala Desa Lerep menambahkan bahwa penduduk tidak banyak yang merantau ke luar kota karena di Kabupaten Semarang banyak terdapat industri besar sehingga para wanita dan remaja banyak yang terserap sebagai buruh pabrik. Pabrik-pabrik yang terdapat di Kabupaten Semarang tersebut, misalnya Ungaran Sari Garmen, Batamtex, Sosro, Coca-cola, Nissin, dan Golden Flower. Selain itu, industri rumahtangga juga banyak terdapat di Desa Lerep, contohnya sentra industri keripik di Dusun Karangbolo, sentra gula aren di Dusun Indrakulo, dan produksi sabun susu di Dusun Lerep.

Namun, di sisi lain migrasi masuk ke Desa Lerep pada data Sensus Penduduk Tahun 2010 lebih besar daripada migrasi keluar dari Desa Lerep. Hal tersebut antara lain disebabkan dengan semakin banyaknya pemukiman yang dibangun di Desa Lerep. Sebagaimana yang diuraikan oleh Kepala Desa Lerep bahwa sejak Tahun 2004 sampai 2010 terdapat banyak pemukiman yang dibangun di Desa Lerep, antara lain Perumahan Bukit Asri (2005), Perumahan The Fountain (2006), Perumahan Harmoni (2007), dan Perumahan Bukit Asri II (2009).

Pola-Pola Kebudayaan

Masyarakat Desa Lerep merupakan masyarakat yang ramah dan sopan. Masyarakat saling menghormati berdasarkan tingkatan usia, masyarakat yang muda menghormati masyarakat yang lebih tua. Pola perilaku tersebut salah satunya tampak dalam bahasa Jawa dengan tingkatan bahasa yang berbeda antara orang lebih muda dengan orang yang lebih tua. Pada umumnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa tetapi hampir semua masyarakat Desa Lerep sudah mampu berbahasa Indonesia. Namun, orangtua dengan umur di atas 70 tahun di Desa Lerep biasanya masih kesulitan berbahasa Indonesia.

(9)

Pola perilaku masyarakat Desa Lerep cenderung menghargai alam dalam melakukan aktivitas pemanfaatan alam. Tidak terdapat eksploitasi yang berlebih terhadap alam. Masyarakat memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhannya tetapi juga melakukan tindakan-tindakan untuk menjaga kondisi alam, misalnya saja terdapat kegiatan rutin untuk membersihkan mata air di Desa Lerep.

Masyarakat Desa Lerep masih memegang teguh peran perempuan sebagai pengurus rumahtangga, pengurus anak, dan pengurus kegiatan domestik rumahtangga walaupun memang terdapat rumahtangga yang memperbolehkan wanita untuk mencari nafkah di luar rumah. Peranan laki-laki sebagai kepala keluarga juga merupakan hal yang dianggap penting di Desa Lerep. Laki-laki dianggap tetap harus berupaya bekerja meskipun istrinya sudah bekerja dan berpenghasilan lebih, sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala Desa Lerep:

“Kalau yang ibu-ibu biasanya kerja pabrik, kalau yang bapak-bapak ya sing penting metu omah mbak, mboh kuwi entuk duit sithik, ono hasile po rak pokokmen sing penting metu omah” (kalau yang ibu-ibu biasanya kerja pabrik, kalau yang bapak-bapak yang penting ya keluar rumah, entah itu dapat uang sedikit, ada hasilnya atau tidak, pokoknya yang penting keluar rumah).

Masyarakat Desa Lerep cenderung menghabiskan waktu di dalam desa. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat migrasi keluar yang rendah pada Tahun 2010 yang telah dibahas pada sub bahasan sebelumnya. Selain itu, Desa Lerep merupakan salah satu contoh dari desa yang masyarakatnya sudah cukup mengalami kemajuan dalam pola pikir tetapi masih tetap memegang teguh tradisi dan agama.

Keteguhan dalam memegang tradisi leluhur dan keagamaan dapat dilihat dari kegiatan kemasyarakatan yang masih cukup aktif dilakukan di Desa Lerep. Kegiatan kemasyarakatan yang biasa dilakukan di Desa Lerep adalan pengajian dan yasinan baik itu di tingkat RT maupun dusun. Pengajian tersebut dipisahkan untuk ibu-ibu, remaja, dan bapak-bapak. Pengajian untuk anak-anak biasa dilakukan di TPQ.

Selain itu, terdapat kebiasaan “merti desa” atau sedekah desa yang masih aktif dilakukan hingga saat ini. Sedekah desa tersebut diadakan untuk mengenang leluhur (“cakal bakal”) sambil bersih-bersih dusun atau syukuran, biasanya juga disertai dengan acara wayangan sampai pagi. Acara sedekah dusun diadakan setahun sekali setelah panen raya. Namun, kegiatan sedekah desa ini hanya biasa dilakukan di beberapa dusun bagian atas Desa Lerep, seperti di Dusun Indrokilo. Dusun bagian bawah Desa Lerep seperti Dusun Lerep, Dusun Soka, Dusun Tegalrejo, dan Dusun Karangbolo, tidak menyelenggarakan kebiasaan sedekah desa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat juga kebiasaan bersih-bersih kali irigasi (“iriban”) di Desa Lerep. “Iriban” merupakan kebiasaan membersihkan mata air yang diadakan dua kali per tahunnya. Sebagian masyarakat membersihkan mata air dan sebagian menyembelih ayam untuk dibakar sebagai syukuran bagi masyarakat yang turut serta dalam acara tersebut. Selain itu, terdapat pula tradisi “nyadran”. “Nyadran” merupakan tradisi berupa kegiatan bersih-bersih makam dan syukuran.

Desa Lerep juga memiliki pengurus kematian di masing–masing dusun, terdapat pula BPD, Kelompok Tani, Kelompok ternak, kelompok usaha, PKK, dan karangtaruna. Namun, kegiatan karangtaruna di Desa Lerep cenderung kurang aktif, biasanya karangtaruna hanya berperan dalam menyelenggarakan kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI.

Kebiasaan lain yang ada di Desa Lerep pada umumnya masih mengikuti adat-adat dalam Budaya Jawa. Pelaksanaan adat Jawa masih dilestarikan, misalnya saja adat dalam upacara pernikahan, bahkan untuk menentukan tanggal baik bagi pernikahan atau

(10)

acara-acara besar lainnya terkadang masih dilakukan sesuai dengan hitungan primbon Jawa. Mbah Muamin merupakan salah satu tokoh kyai di Desa Lerep yang dianggap memiliki kelebihan layaknya paranormal dan sering dimintai pertimbangannya untuk hal-hal semacam itu.

Kesadaran pendidikan masyarakat di Desa Lerep pun sudah cukup baik, rata-rata mengenyam pendidikan hingga tamat SD, dan cukup banyak juga yang melanjutkan ke tingkat SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Sosialisasi mengenai pendidikan dasar sering dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan yang terdapat di desa, misalnya melalui PKK. Selain itu, saat ini sudah tidak terdapat buta aksara di Desa Lerep.

Sejak Tahun 2007, terdapat SMP Satu Atap di Desa Lerep. SMP Satu Atap tersebut merupakan konsep di mana SD dan SMP disatukan. Masyarakat diarahkan kesadarannya untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun (WAJAR 9 tahun) dengan cara apabila siswa tidak melanjutkan hingga kelas 9 maka siswa dianggap belum lulus dari sekolah tersebut. SMP Satu Atap ini diajukan oleh Bapak Mulyadi selaku Kepala Desa Lerep dengan harapan agar SMP Satu Atap tersebut dapat menjadi pilihan bagi masyarakat yang tidak mampu di Desa Lerep pada umumnya dan desa-desa lain pada khususnya. SMP Satu Atap juga diharapkan dapat memacu warga untuk menyekolahkan anaknya setidaknya hingga batas WAJAR 9 tahun. Desa Lerep termasuk pelopor dalam pendirian SMP Satu Atap, hingga saat ini di Kabupaten Semarang SMP tersebut hanya terdapat di Desa Lerep, Ambarawa, dan Susukan.

Kesadaran untuk menunda pernikahan juga cukup baik, dulunya banyak warga yang menikah muda tetapi sekarang warga biasanya menikah di atas 20 tahun. Terlebih semenjak adanya kasus Syekh Puji peraturan pernikahan semakin di perketat. Akan tetapi, untuk kasus-kasus tertentu seperti “kecelakaan” pada warga di bawah umur biasanya menikah dan disidang dulu di pengadilan agama. Pernikahan juga masih banyak yang dilakukan antara saudara sehingga tidak jarang masyarakat dalam satu dusun masih bersaudara satu sama lain.

Batasan kemiskinan pada Desa Lerep dilihat berdasarkan kepemilikan tanah/ternak dan keadaan rumah. Masyarakat yang rumahnya sudah tidak bertipe “omah jowo” (lantai sudah tidak dari tanah dan dinding sudah terbuat dari bata) biasanya diasosiasikan sebagai orang kaya, meskipun masyarakat juga mengakui bahwa orang yang bangunan rumahnya masih bertipe “omah jowo” mungkin dapat merupakan orang kaya yang diam-diam memiliki simpanan/aset tetapi lebih memilih hidup sederhana. Oleh karena itu, biasanya, orang yang sudah naik haji atau memiliki aset berupa tanah, ternak, atau benda berharga lainnya juga dianggap sebagai orang kaya di desa tersebut.

Kepala Desa merupakan salah satu tokoh yang dihormati di Desa Lerep, orang-orang tua bahkan mengunjungi Kepala Desa untuk “sungkem” ketika Lebaran. Selain itu, sesepuh dan kyai atau tokoh agama sangat dihormati oleh masyarakat di Desa Lerep. Ucapan seorang kyai/pemuka agama bahkan dinyatakan lebih cenderung sulit dilanggar oleh masyarakat daripada ucapan perangkat desa. Tokoh agama ataupun sesepuh dihormati karena dianggap “ngelmu” atau memiliki pengetahuan yang lebih, selain itu sikapnya juga baik, menjaga lisan, tindakannya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Keturunan dari tokoh agama juga dihormati oleh masyarakat sebatas orang tersebut tidak menyimpang dari norma yang seharusnya.

Salah satu contoh dusun yang masih cenderung agamis adalah Dusun Karangbolo, berdasarkan keterangan dari Kepala Dusun Karangbolo, Dusun Karangbolo menyelenggarakan acara sedekah desa dengan cara yang berbeda yaitu dengan ziarah, pengajian, dan malam baca Al-qur’an karena waktu pelaksanaan sedekah desa biasanya bertepatan dengan “khol” atau peringatan meninggalnya kyai besar yang dihormati di dusun tersebut. Adapun kyai tersebut adalah Mbah Abdul Rauf, keturunan kyai besar di

(11)

Nyatnyono Kabupaten Semarang, yaitu Mbah Hasan Muhadi. Selain itu, masyarakat di dusun tersebut juga banyak yang bersekolah di sekolah Islam dan melanjutkan di pesantren seperti di Yogyakarta ataupun Gontor.

Ketika ada permasalahan antar warga di Desa Lerep, penyelesaian permasalahan biasanya diupayakan diselesaikan di tingkat terkecil terlebih dulu, misalnya di tingkat RT atau dusun. Jika pada tingkat tersebut permasalahan tidak dapat diselesaikan maka permasalahan biasanya akan dibawa ke FKPM (forum kesatuan polisi dan masyarakat) yang ada sejak Tahun 2006. Akan tetapi, penyelesaian masalah dengan cara seperti itu hanya dilakukan jika warga yang terkait dengan kasus mau melakukan konsultasi terlebih dahulu, terkadang ada juga warga yang langsung membawa permasalahan ke polisi.

Terkait dengan pekerjaan, kurang-lebih sejak Tahun 1990 banyak warga desa yang menjadi karyawan/buruh pabrik, khususnya para wanita. Ibu-ibu dan wanita di Desa Lerep juga banyak yang membuka usaha rumahtangga, seperti usaha keripik di Dusun Karangbolo. Untuk industri rumah tangga lainnya di Desa Lerep antara lain sentra gula aren di Dusun Indrakulo dan produksi sabun susu di Dusun Lerep.

Remaja di Desa Lerep juga tidak banyak yang melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan. Hal tersebut disebabkan wilayah Desa Lerep juga tidak cukup jauh dari industri-industri besar yang memerlukan tenaga buruh. Selain itu, ada juga warga yang bekerja sebagai PNS/ABRI. Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian saat ini jarang ditemukan di Desa Lerep. Terdapat masyarakat Desa Lerep yang bekerja sebagai petani tetapi kebanyakan hanya sebagai penggarap atau buruhtani.

Pertanian di Desa Lerep masih sering ditemukan sebelum Tahun 1990-an. Semenjak Tahun 1990-an pertanian semakin berkurang. Di sisi lain, semakin banyak dibangun pemukiman di Desa Lerep. Ketersediaan air pun menjadi lebih banyak digunakan untuk pemukiman daripada pertanian. Selain itu, kondisi alam juga mempengaruhi pertanian, terlebih saat musim kemarau air sulit diperoleh. Sebenarnya, tanah di Desa Lerep termasuk cukup subur tetapi saat ini saat 50 persen mata air di Desa Lerep mulai berkurang debit airnya. Dahulu, pertanian sawah di Desa Lerep dapat diupayakan sepanjang tahun setiap tiga bulan. Namun, saat ini banyak yang beralih menjadi sawah tadah hujan dan pola pertanian sawah pun bergeser. Irigasi setengah teknis pun hanya ada di Dusun Soka, seluas kurang lebih 30 hektar sedangkan di Dusun Karangbolo hanya terdapat kurang lebih 10 hektar tanah pertanian sawah.

Salah satu contoh dusun di mana pertanian sudah sulit ditemukan adalah di Dusun Karangbolo. Daerah Karangbolo berada di perbatasan Kali Plirit. Daerah yang terletak sebelum Kali Plirit masih memiliki lahan pertanian tetapi daerah setelah Kali Plirit hampir tidak memiliki lahan pertanian. Saat ini rata-rata masyarakat juga hanya memiliki tanah yang mereka tempati sebagai rumah. Selain itu, pemukiman di dusun tersebut cukup padat. Jalan di dusun tersebut juga sudah diaspal sejak Tahun 2011. Saat ini, tanah pertanian yang ada di Dusun Karangbolo adalah hanya tanah milik pemerintah yang dilelang untuk digarap dengan sistem bagi hasil.

Petani penggarap di Desa Lerep ada dua macam, yaitu petani yang beli (sewa) tanah selama tahunan atau yang “diserahi” tanah untuk digarap. Keuntungan yang diperoleh biasanya dibagi hasilnya setelah ditebas. Jika musim hujan hasil panen dibagi 1/2 untuk penggarap dan 1/2 untuk pemilik. Jika musim kemarau, pembagian hasil panen adalah 1/3 hasil panen untuk pemilik dan 2/3 untuk penggarap. Hasil panen tersebut biasanya dijual, harga padi kering setelah digiling per kilonya adalah Rp 5000,00 sedangkan padi yang masih basah dan belum digiling per kilonya berharga Rp 2000,00. Biaya produksi biasanya ditanggung penggarap tapi untuk biaya pupuk dibagi dua antara penggarap dan pemilik.

(12)

Buruhtani di Desa Lerep juga terbagi menjadi 2, yaitu buruhtani harian dan buruhtani setengah harian. Penggilingan padi di Desa Lerep dulu dilakukan dengan cara “nutu” (menumbuk) tetapi sejak Tahun 1980-an sudah mulai ada alat penggilingan moderen. Hingga saat ini terdapat tiga tempat penggilingan padi dengan kepemilikan individu, yaitu di Desa Lerep, yaitu di Dusun Lerep, Dusun Soka, dan Dusun Kretek.

Perubahan alam seperti bencana alam yang besar tidak pernah terjadi di Desa Lerep, bencana alam yang terjadi hanya sebatas kadang-kadang longsor kecil jika musim penghujan. Menurut keterangan Kepala Desa Lerep, jaringan telepon Telkom hanya ada di lingkungan Mapagan sejak sekitar Tahun 2000. Lebih lanjut, Bapak Riyadi selaku Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep menyatakan bahwa jalan raya beraspal mulai dibangun di Desa Lerep sekitar Tahun 1984 sedangkan listrik mulai masuk Desa Lerep pada Tahun 1984. Jalan beraspal tersebut diperbaharui kembali pada Tahun 1997. Warung internet (warnet) masih jarang ditemukan di Desa Lerep, hanya ada 3 warnet di Lingkungan Mapagan. Namun, penggunaan telepon genggam sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat Desa Lerep, termasuk penggunaan akses internet melalui telepon genggam masing-masing.

Pola- Pola Adaptasi Ekologi Masyarakat Desa Lerep

Sektor pertanian merupakan salah satu pilihan matapencaharian di Desa Lerep. Komoditas yang banyak ditanam di sektor pertanian adalah tanaman palawija. Sistem terasering banyak dilakukan dalam pertanian di Desa Lerep karena kontur Desa Lerep yang cenderung berbukit. Saat ini, pola tanam di Desa Lerep ketika musim hujan biasanya dalam setahun adalah padi-padi-palawija untuk sawah dengan sistem tadah hujan. Sedangkan pada musim kemarau adalah padi-palawija-palawija. Namun, untuk sawah dengan irigasi sederhana, yang hanya terdapat di dusun Soka, pola tanamnya ketika musim hujan bisa mencapai tiga kali tanam dalam setahun. Penanaman padi biasanya disertai dengan penanaman tanaman lain di “galengan” atau pematang sawah, seperti kacang panjang dan talas. Kacang panjang apabila sudah mencapai usia dua bulan dapat dipanen tiga hari sekali sedangkan talas biasa dipanen setelah enam bulan. Lebih lanjut, sistem pertanian mina padi tidak biasa dilakukan di Desa Lerep.

Petani di Desa Lerep kebanyakan adalah buruhtani dan petani gurem dengan luas lahan rata-rata seluas kurang dari 0.5 hektar meskipun ada pula petani yang memiliki lahan hingga dua hektar tetapi sangat jarang ditemukan di Desa Lerep. Hal tersebut menyebabkan sektor pertanian cenderung bukan merupakan pilihan aktivitas nafkah utama untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.

Petani penggarap di Desa Lerep terdiri dari dua macam, yaitu petani yang beli (sewa) tanah selama tahunan atau yang “diserahi” tanah untuk digarap. Mayoritas pemilik sawah biasanya menggunakan sistem bagi hasil dengan petani penggarap. Hasil panen yang diperoleh biasanya dibagi hasilnya setelah ditebas. Bila petani pemilik memberikan bibit dan pupuk maka hasil pertanian dibagi dua antara pemilik dan penggarap (“maro”). Namun, bila pemilik lahan tidak memberikan bibit dan pupuk, maka hasilnya dibagi dengan sistem “martelu” di mana pemilik memperoleh 1/3 hasil pertanian dan penggarap memperoleh 2/3 hasil panen. Terkadang biaya produksi ditanggung penggarap tetapi biaya pupuk dibagi dua antara penggarap dan pemilik. Sistem bagi hasil tersebut terkadang juga dipengaruhi musim tanam. Jika musim hujan biasanya hasil panen dibagi 1/2 untuk penggarap dan 1/2 untuk pemilik sedangkan jika musim kemarau hasil panen dibagi dengan porsi 1/3 untuk pemilik dan 2/3 untuk penggarap. Hasil panen tersebut biasanya dijual, harga padi kering setelah digiling per kilogram adalah Rp 5000,00, sedangkan padi yang masih basah dan belum digiling per kilogram berharga Rp 2000,00.

(13)

Buruhtani di Desa Lerep biasa digunakan tenaganya pada saat membajak, menyiangi, dan panen. Buruhtani di Desa Lerep juga terbagi menjadi 2, yaitu buruhtani harian dan buruhtani setengah harian. Lebih lanjut, upah untuk buruhtani harian sebesar Rp 40.000,00 dan Rp20.000,00 untuk buruhtani setengah harian.

Sistem penggilingan padi pada jaman dahulu dilakukan dengan cara “nutu” (menumbuk). Namun, sejak Tahun 1980-an sudah mulai ada alat penggilingan di Desa Lerep. Hingga saat ini terdapat 3 tempat penggilingan padi yang kepemilikannya adalah individu, yaitu di Dusun Lerep, Dusun Soka, dan Dusun Kretek.

Tanah pertanian di Desa Lerep termasuk subur. Batasan subur yang dimaksud adalah bahwa tanah di Desa Lerep dapat ditanami tanaman apa saja, sebagaimana yang dinyatakan Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep.

“Nek subur ning kene ki yo sing penting ditanduri opo wae yo tukul, nek nggon liyo kan ono sing ditanduri nanging ra tukul mbak” (“kalau subur di sini itu yang penting ditanami tanaman ya tumbuh, di tempat lain kan ada yang ditanami tanaman tapi tidak mau tumbuh”).

Namun, Bapak Riyadi, selaku Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep menyatakan bahwa saat ini pemanasan global dan cuaca menyebabkan ketidakpastian pertanian. Kesulitan air menjadi kendala dalam pertanian, terlebih di musim kemarau. Beliau juga menyatakan bahwa semenjak banyak dibangun pemukiman di Desa Lerep penggunaan air pun lebih banyak digunakan untuk pemukiman daripada untuk pertanian.

Terkait dengan pengaruh cuaca pada pertanian di Desa Lerep, Kepala Desa juga menambahkan bahwa sebenarnya kondisi lahan di Desa Lerep cukup subur tetapi petani sering mengalami kesulitan air untuk pertanian, terlebih pada musim kemarau. Sebenarnya, terdapat banyak mata air di Desa Lerep tetapi 50 persen mata air di Desa Lerep tersebut saat ini sudah mulai berkurang debit airnya terlebih pada saat musim kemarau. Beliau menyatakan bahwa dahulu sawah dapat ditanami padi sepanjang tahun dengan pola setiap 3 bulan. Namun, saat ini banyak yang beralih menjadi sawah tadah hujan dan pola pertanian sawah pun bergeser. Irigasi setengah teknis pun hanya terdapat di Dusun Soka seluas kurang lebih 30 hektar. Beliau juga menyatakan bahwa dulunya mudah untuk meramalkan musim di mana musim penghujan mulai bulan Oktober sampai April dan musim kemarau pada rentang bulan April sampai Oktober. Namun, saat ini petani kesulitan meramalkan cuaca dan tidak jarang mengalami “puso” atau gagal panen karena ketidakpastian cuaca tersebut.

Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa selain permasalahan cuaca, nilai ekonomi pertanian padi saat ini kurang menjanjikan. Nilai ekonomi pertanian padi saat ini kurang menjanjikan karena harga dasar gabah kurang menguntungkan bagi petani, terlebih petani di Desa Lerep kebanyakan adalah petani gurem dan buruhtani dengan luas lahan kurang dari 0.5 hektar walaupun memang ada beberapa yang memiliki lahan hingga 2 hektar. Nilai ekonomi pertanian padi semakin tidak menjanjikan tersebut menyebabkan pertanian padi saat ini mulai bergeser ke perkebunan dengan komoditi sengon, kopi, pisang, cengkeh, dan durian.

Namun, saat ini pun lahan perkebunan semakin sulit ditemukan. Berdasarkan perbandingan data BPS Tahun 2004 dan 2010, semenjak Tahun 2004 sampai 2010 terjadi banyak konversi lahan dari penggunaan untuk lahan tegal, kebun/kolam ke lahan bangunan/pekarangan. Hal ini berhubungan dengan semakin maraknya pembangunan pemukiman di desa Lerep sejak Tahun 2004 sampai 2010 antara lain Perumahan Bukit Asri

(14)

(2005), PerumahanThe Fountain(2006), Perumahan Harmoni (2007), dan Perumahan Bukit Asri II (2009).

Pertanian di Desa Lerep masih sering ditemukan sebelum Tahun 1990-an. Semenjak Tahun 1990-an pertanian semakin berkurang. Luas penggunaan lahan untuk pertanian dari Tahun 2002 sampai 2010 tidak mengalami perubahan, yaitu seluas 176 ha. Akan tetapi, seiring dengan ketidakpastian cuaca, penurunan nilai ekonomi pertanian, kesulitan air, dan pembangunan pemukiman, jumlah penduduk Desa Lerep yang berkecimpung dalam sektor pertanian semakin menurun. Pada Tahun 2002 terdapat total 1296 petani dan buruhtani sedangkan pada Tahun 2004 terdapat total 1066 petani dan buruhtani. Pada Tahun 2010 terdapat total 926 petani dan buruhtani.

Di sisi lain, kurang lebih semenjak Tahun 2000, banyak industri besar dibangun di wilayah Kabupaten Semarang. Pabrik-pabrik yang terdapat di Kabupaten Semarang seperti di wilayah Ungaran, Bawen, Pringapus tersebut, misalnya Ungaran Sari Garmen, Batamtex, Sosro, Coca-cola, Nissin, danGolden Flower.

Kesulitan yang dihadapi di bidang pertanian yang disertai dengan keberadaan pabrik-pabrik di sekitar wilayah Kabupaten Semarang semenjak kira-kira Tahun 2000 tersebut menyebabkan masyarakat Desa Lerep, terutama wanita, juga banyak yang memilih bekerja sebagai buruh pabrik. Di sisi lain, penduduk laki-laki cenderung memasuki sektor informal seperti buruh bangunan, pengemudi angkutan, ataupun tukang ojek. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bapak Mariyadi selaku Kepala Desa Lerep bahwa masyarakat Desa Lerep dulu banyak bekerja sebagai petani dan buruhtani tetapi untuk saat ini masyarakat Desa Lerep lebih banyak yang bekerja sebagai buruh pabrik (ibu-ibu dan remaja putri) atau buruh bangunan dan jasa angkutan (laki-laki).

Kepala Desa Lerep juga menyatakan bahwa saat ini, pandangan dan minat masyarakat, terutama generasi muda di Desa Lerep saat ini mengenai pertanian juga mulai bergeser. Sektor mata pencaharian sebagai buruh industri dan buruh bangunan dianggap lebih mampu memberikan manfaat ekonomi daripada sektor pertanian yang semakin tidak menentu baik sebagai penggarap maupun sebagai buruhtani. Padahal, sebenarnya bekerja sebagai buruh pabrik juga memiliki resiko karena pabrik yang ada di Kabupaten Semarang tersebut banyak yang menggunakan sistem pekerja kontrak. Pabrik-pabrik tersebut terkadang tidak memperpanjang kontrak kerja buruh atau melakukan pengurangan tenaga kerja, misalnya saja sesuai pernyataan Kepala Bagian Perindustrian dan Perdagangan Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang serta Kepala Desa Lerep bahwa sekitar kurun waktu 2005 sampai 2007 pabrik-pabrik besar di Ungaran banyak melakukan pengurangan tenaga kerja.

Selain memilih memasuki sektor informal dan buruh industri besar, industri rumahtangga banyak dikembangkan sebagai sumber mata pencaharian, terutama di dusun-dusun yang lahan pertaniannya semakin sulit diakses. Beberapa contoh industri rumahtangga di Desa Lerep antara lain adalah sentra industri gula aren di Dusun Indrokilo, sentra industri keripik di Dusun Karangbolo, dan pembuatan sabun susu di Dusun Lerep.

Beberapa dusun di Desa Lerep memang hanya memiliki sedikit lahan sawah. Kepemilikan sawah masyarakatnya pun tidak luas. Salah satu contoh dusun di mana pertanian sudah sulit ditemukan adalah di Dusun Karangbolo. Berdasarkan keterangan Kepala Dusun Karangbolo, saat ini lahan pertanian di Desa Lerep hanya masih dapat ditemui di daerah yang terletak sebelum Kali Plirit sedangkan di daerah setelah Kali Plirit, salah satunya Dusun Karangbolo, hampir tidak dapat ditemui lahan pertanian. Dusun Karangbolo hanya memiliki sekitar sepuluh hektar lahan sawah yang berada di perbatasan Kali Plirit. Saat ini, tanah pertanian yang biasa digarap masyarakat adalah lahan milik pemerintah yang dilelang untuk digarap dengan sistem bagi hasil.

(15)

Beliau menambahkan bahwa pada jaman dahulu sekitar sebelum Tahun 1990-an masih banyak lahan pertanian misalnya di Dusun Lorog, Tegalrejo, dan Karangbolo. Namun, semakin lama semakin banyak pemukiman, saat ini pun pemukiman di dusun Karangbolo terbilang cukup padat. Dusun Karangbolo merupakan salah satu contoh dusun di mana lahan pertanian sulit ditemukan. Masyarakat di Dusun Karangbolo rata-rata hanya memiliki tanah yang mereka tempati sebagai rumah. Akhirnya, ibu-ibu dan remaja putri di Dusun Karangbolo pun banyak bekerja sebagai buruh pabrik. Masyarakat setempat juga banyak yang berupaya mencari penghasilan melalui usaha rumahtangga yang bergerak di bidang pembuatan keripik. Sumberdaya wanita dan keluarga dikerahkan dalam pengembangan industri rumahtangga tersebut. Saat ini, Dusun Karangbolo pun dikenal sebagai sentra industri keripik di Kabupaten Semarang.

Pengembangan sentra industri keripik di Dusun Karangbolo tersebut terkait juga dengan salah satu arah kebijakan pembangunan Kabupaten Semarang, yaitu pengembangan sektor intanpari (industri, pertanian, dan pariwisata). Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan aktif berperan dalam penumbuhan dan pengembangan industri kecil dan menengah di Kabupaten Semarang, salah satunya melalui pengembangan sentra industri kecil menegah/rumahtangga (IKM/RT) keripik di Dusun Karangbolo.

Ikhtisar

Desa Lerep terletak di Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Lahan di Desa Lerep mayoritas dimanfaatkan untuk lahan bukan sawah. Penggunaan lahan di Desa Lerep untuk sawah tidak mengalami perubahan dari Tahun 2002, 2004, dan 2010. Namun, terdapat perubahan penggunaan untuk lahan bukan sawah. Terjadi konversi lahan dari penggunaan untuk lahan tegal, kebun/kolam ke lahan bangunan/pekarangan pada kurun Tahun 2004 sampai 2010. Hal tersebut berhubungan dengan semakin maraknya pembangunan pemukiman di Desa Lerep sejak Tahun 2004 sampai 2010. Kepadatan agraris Desa Lerep semakin menurun pada kurun Tahun 2002 sampai 2010. Hal tersebut disebabkan jumlah petani di Desa Lerep pada Tahun 2002 sampai 2010 terus menurun sedangkan lahan pertanian tidak bertambah di Desa Lerep.

Struktur sosial di Desa Lerep dapat dilihat dari kependudukan, pendidikan, dan ekonomi di Desa Lerep. Kepala Desa, sesepuh, kyai, dan tokoh agama sangat dihormati oleh masyarakat di Desa Lerep. Terkait dengan pendidikan, Desa Lerep memiliki infrastruktur pendidikan dan tingkat pendidikan yang cukup baik, terutama untuk pendidikan dasar. Terkait dengan kondisi ekonomi di Desa Lerep, matapencaharian penduduk Desa Lerep cukup beragam. Namun, pada kurun Tahun 2002 sampai 2010 persentase penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani dan buruhtani semakin menurun. Batasan kemiskinan pada Desa Lerep dilihat berdasarkan kepemilikan tanah/ternak dan keadaan rumah.

Penduduk di Desa Lerep cenderung meningkat pertumbuhannya sehingga kepadatan penduduk Desa Lerep pun selalu meningkat dari kurun waktu 1990 sampai 2010. Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa kesadaran KB sudah cukup baik di Desa Lerep, satu KK menanggung beban keluarga sebanyak empat jiwa. Terkait dengan mobilitas penduduk, penduduk Desa Lerep jarang melakukan migrasi ke luar. Sebaliknya, migrasi masuk ke Desa Lerep pada data Sensus Penduduk Tahun 2010 lebih besar daripada migrasi keluar dari Desa Lerep. Hal tersebut antara lain disebabkan dengan semakin banyaknya pemukiman yang dibangun di Desa Lerep.

(16)

Pola kebudayaan di Desa Lerep dapat dilihat dari aktivitas, pola perilaku masyarakat, dan sarana fisik di Desa Lerep. Masyarakat Desa Lerep merupakan masyarakat yang ramah dan sopan. Pada umumnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa tetapi hampir semua masyarakat Desa lerep sudah mampu berbahasa Indonesia. Pola perilaku masyarakat Desa Lerep cenderung menghargai alam dalam melakukan aktivitas pemanfaatan alam, misalnya terdapat kegiatan rutin untuk membersihkan mata air di Desa Lerep.

Desa Lerep juga merupakan desa yang cukup maju. Hal tersebut dapat dilihat dari infrastruktur yang terdapat di Desa Lerep, sudah terdapat jalan raya beraspal dan listrik. Untuk warung internet (warnet) sudah mulai ada walaupun masih jarang ditemukan di Desa Lerep. Penggunaan telepon genggam sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat Desa Lerep, termasuk mengakses internet melalui telepon genggam masing-masing. Selain itu, kesadaran pendidikan masyarakat di Desa Lerep pun sudah cukup baik, cukup banyak penduduk yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Kesadaran untuk menunda pernikahan juga cukup baik, dahulu banyak warga yang menikah muda tetapi sekarang warga biasanya menikah di atas dua puluh tahun.

Di balik kemajuan sarana-prasarana fisik di Desa Lerep, masyarakat Desa Lerep cenderung masih memegang tradisi dan kehidupan beragama. Masyarakat Desa Lerep masih memegang teguh peran perempuan sebagai pengurus rumahtangga, pengurus anak, dan pengurus kegiatan domestik rumahtangga walaupun memang terdapat rumahtangga yang memperbolehkan wanita untuk mencari nafkah di luar rumah. Peranan laki-laki sebagai kepala keluarga juga merupakan hal yang dianggap penting di Desa Lerep. Laki-laki dianggap tetap harus berupaya bekerja meskipun istrinya sudah bekerja dan berpenghasilan lebih. Keteguhan dalam memegang tradisi leluhur dan keagamaan juga dapat dapat dilihat dari kegiatan kemasyarakatan yang masih cukup aktif dilakukan di Desa Lerep, misalnya kegiatan pengajian, yasinan, “iriban” dan “nyadran”. Kebiasaan lain yang ada di Desa Lerep pada umumnya masih mengikuti adat-adat dalam Budaya Jawa. Kemudian permasalahan antar warga di Desa Lerep biasanya diupayakan untuk diselesaikan di tingkat terkecil dulu, mulai dari RT atau dusun.

Pola adaptasi ekologi dapat dilihat dari masyarakat Desa Lerep yang dulu banyak bekerja sebagai petani dan buruh tani tetapi untuk saat ini masyarakat Desa Lerep lebih banyak yang bekerja sebagai buruh pabrik (ibu-ibu dan remaja putri), buruh bangunan dan jasa angkutan (laki-laki), atau membuka usaha industri rumahtangga. Kesulitan air menjadi kendala dalam pertanian, terlebih di musim kemarau.

Selain permasalahan cuaca, nilai ekonomi pertanian padi saat ini kurang menjanjikan. Harga dasar gabah kurang menguntungkan bagi petani, terlebih petani di Desa Lerep kebanyakan adalah petani gurem dan buruhtani. Pertanian pun mulai bergeser ke perkebunan dengan komoditi sengon, kopi, pisang, cengkeh, dan durian. Namun, lahan perkebunan semakin berkurang terkait dengan pembangunan pemukiman yang semakin marak di Desa Lerep sejak Tahun 2004. Keberadaan pabrik-pabrik di sekitar wilayah Kabupaten Semarang semenjak kurang lebih Tahun 2000 akhirnya menyebabkan masyarakat Desa Lerep banyak beralih bekerja bekerja di pabrik-pabrik tersebut.

Saat ini, terjadi perubahan pandangan dan pola pikir masyarakat mengenai pertanian, terlebih pada generasi muda. Mereka cenderung lebih memilih bekerja sebagai buruh industri atau buruh bangunan daripada petani penggarap atau buruhtani. Padahal, bekerja sebagai buruh pabrik juga memiliki resiko yang cukup besar. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah pengusaha, buruh bangunan, dan buruh industri yang mengalami penurunan yang cukup besar mulai Tahun 2004. Hal ini diindikasikan terkait dengan pengurangan pegawai pada pabrik-pabrik besar di Kabupaten Semarang pada kurun waktu tersebut. Pabrik-pabrik tersebut juga cenderung menggunakan tenaga kontrak yang terkadang tidak diperpanjang.

(17)

Selain sektor industri besar, sektor industri rumahtangga juga memegang peranan penting sebagai salah satu sumber mata pencaharian penduduk di Desa Lerep. Peranan sektor industri rumahtangga tersebut terlihat pada dusun-dusun di Desa Lerep yang hanya memiliki sedikit lahan pertanian, salah satunya adalah di Dusun Karangbolo. Dusun Karangbolo merupakan sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) yang penduduknya banyak membuka usaha rumahtangga produksi keripik. Sentra industri tersebut dikenal di Kabupaten Semarang dan memperoleh pembinaan dari Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang.

Gambar

Gambar 4 Luas lahan (Ha) Desa Lerep menurut penggunaannya pada Tahun 2000 dan 2004
Tabel 4 Jumlah (jiwa) dan persentase penduduk Desa Lerep menurut jenis matapencaharian pada Tahun 2002, 2004, dan 2010
Tabel 5 Jumlah penduduk ( jiwa ), kepadatan penduduk, dan reit pertumbuhan penduduk Desa Lerep pada Tahun 2002-2010

Referensi

Dokumen terkait

 Pada tahun 1956, Dato’ Onn Ja’afar mencadangkan agar Persekutuan Tanah Melayu Merdeka dinamakan Malaysia kerana menurut beliau British akan mengabungkan negeri Sarawak,

Maksud dari pemboran inti dalam kepentingan penyelidikan geologi khususnya geologi teknik adalah untuk mengetahui kondisi bawah tanah,meliputi dari jenis batuan, sifat fisik,

Sehubungan dengan hal itu, buku Kamus Bahasa Indonesia- Kaidipang (L--Z) yang dihasilkan oleh Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah-Sulawesi Utara

Akan tetapi dalam pelaksanaanya, aplikasi perpajakan berbasis elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tersebut sering tidak dapat

Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Sekolah Islam Terpadu adalah sekolah yang diselenggarakan dengan memadukan secara integratif ajaran dan

melalui pemberitaan antara lain adalah ancaman lingkungan yang tidak ter-cover secara sempurna, kemudian kedua media daring juga memetakan adanya ancaman korupsi yang

Sehubungan dengan telah ditetapkan pemenang seleksi untuk pekerjaan Supervisi Pembangunan Jalan Kabupaten Musi Banyuasin (Wilayah 2), kami bermaksud melakukan klarifikasi dan

Dari penjelasan UU Pendidikan Tinggi di atas dapat diketahui bahwa wilayah kajian Islam di PTAI tidak lebih dari sekadar mengkaji keyakinan tentang ketuhanan atau