• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Televisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Televisi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Televisi

Alatas (1997) menyatakan bahwa televisi merupakan media massa paling populer di antara berbagai teknologi komunikasi yang ada. Penemuan televisi merupakan pengembangan dari radio. Bila radio siaran yang dipancarkan melalui gelombang elektromagnetis hanya suara saja, maka televisi siaran yang dipancarkan selain suara juga gambar secara sinkron, karena baik suara maupun gambar diubah menjadi gelombang elektromagnetik, dipancarkan dan selanjutnya diterima oleh sebuah alat penerima yang mampu mengubah gelombang elektromagnetik menjadi suara dan gambar kembali.

Menurut Kasali (2007), setidaknya terdapat empat cara transmisi siaran televisi dari stasiun pemancar ke pesawat penerima, yaitu sistem microwave, sistem satelit, sistem kabel, serta gabungan ketiga sistem tersebut. Sistem microwave mempunyai tiga komponen utama, yakni:

1. Stasiun pemancar pusat (TVRI Stasiun Pusat Jakarta atau TVRI Stasiun-stasiun daerah).

2. Stasiun-stasiun relai.

Stasiun-stasiun relai yang ditempatkan di antara stasiun pemancar dan pesawat penerima dibutuhkan untuk memperluas daya pancar gelombang SHF (Super High Frequency) yang jangkauannya terbatas. Sebelum dipancarkan ke pesawat penerima, gelombang SHF tadi dirubah menjadi gelombang VHF (Very High Frequency) atau UHF (Ultra High Frequency).

3. Pesawat penerima televisi (di rumah para pemirsa).

Sistem satelit antara lain digunakan untuk mengatasi daya pancar gelombang SHF yang terbatas dan mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun stasiun-stasiun relai. Sementara itu, Sistem kabel digunakan untuk menyalurkan siaran televisi dari stasiun pusat atau stasiun relai ke pelanggan lewat kabel serat optik. Sistem gabungan merupakan sistem penyiaran televisi yang menggabungkan berbagai bentuk transmisi seperti yang dilakukan oleh TVRI. Studio TVRI menggabungkan sistem relai dan sistem satelit.

(2)

Menurut Durianto et al. (2003), kekuatan televisi bila digunakan sebagai media periklanan adalah:

1. Efisiensi Biaya.

Televisi mampu menjangkau masyarakat yang sangat luas. Kelebihan ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap orang. Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya.

2. Pengaruh yang kuat

Kebanyakan pemirsa melewatkan waktunya di depan televisi yang merupakan sarana hiburan, sumber berita, sarana pendidikan dan lain-lain. Sebagaimana kebanyakan pembeli, pemirsa televisi lebih cenderung memilih produk yang diiklankan di televisi daripada produk yang tidak mereka kenal.

3. Dampak yang kuat

Iklan di televisi sampai ke pemirsa dalam bentuk audiovisual. Kreatifitas pengiklan lebih dapat dieksploitasi dan dioptimalkan dengan mengkombinasikan gerak, keindahan, kecantikan, suara, warna, musik, drama, humor maupun ketegangan.

Adapun kelemahan dari media televisi bila digunakan sebagai media dalam periklanan menurut Durianto et al. (2003) adalah:

1. Kesulitan teknis

Jadwal tayang iklan di televisi tidak mudah diubah sehingga seringkali tidak fleksibel. Seringkali pihak pengiklan akan menghadapi kesulitan teknis untuk mengubah jadwal maupun jam tayang, padahal pengiklan memiliki kebutuhan yang mendesak dalam menghadapi event tertentu. 2. Biaya tinggi

Biaya iklan untuk menjangkau setiap orang relatif lebih tinggi. 3. Masyarakat yang tidak selektif

Pemirsa televisi banyak dan luas sehingga iklan yang ditampilkan di televisi menjangkau pasar yang tidak tepat dan tidak selektif.

(3)

Periklanan

Sutisna (1999) menjelaskan definisi standar dari periklanan biasanya mengandung enam elemen. Pertama, periklanan adalah bentuk komunikasi yang dibayar, walaupun beberapa bentuk periklanan seperti iklan layanan masyarakat biasanya menggunakan ruang khusus yang gratis atau walaupun harus membayar tapi dengan jumlah yang sedikit. Kedua, selain pesan yang harus disampaikan harus dibayar, dalam iklan juga terjadi proses identifikasi sponsor. Iklan bukan hanya menampilkan pesan mengenai kehebatan produk yang ditawarkan, tetapi juga sekaligus menyampaikan pesan agar konsumen sadar mengenai perusahaan yang memproduksi produk yang ditawarkan itu, sehingga kita sering mendengar atau melihat iklan yang selain menawarkan produknya tapi juga menyampaikan nama produsennya. Maksud utama pemasang iklan adalah untuk membujuk atau mempengaruhi konsumen untuk melakukan sesuatu. Upaya membujuk dan mempengaruhi konsumen merupakan elemen ketiga dalam definisi periklanan. Keempat, periklanan memerlukan elemen media massa sebagai media penyampai pesan. Kelima, periklanan memiliki sifat impersonal. Elemen keenam adalah audiens.

Arens (2008) menyatakan bahwa iklan adalah susunan komunikasi nonpersonal yang biasanya dibiayai oleh sponsor dan bersifat persuasif tentang suatu produk melalui berbagai macam media. Iklan yang tidak dibiayai oleh sponsor seperti iklan layanan masyarakat.

Klepper (1997) juga sependapat dengan sebuah pendapat lain dari The American Marketing Association (AMA) bahwa iklan merupakan penampilan aktivitas bisnis yang secara langsung dalam mengikuti arus barang, layanan dari produsen kepada konsumen atau para pemakainya. Peranan iklan dalam konteks pemasaran adalah iklan merupakan salah satu teknik komunikasi sebagai unsur pemasaran. Iklan mengandung pesan tentang suatu produk melalui media nonpersonal yang dibiayai oleh pihak sponsor.

(4)

Unsur-unsur dari iklan menurut Liliweri (1997), dirincinya sebagai berikut:

1. To inform

Menerangkan sesuatu hal yang diketahui oleh para pemasang iklan (misalnya suatu produk tertentu) kepada mereka (khalayak) yang dipandang membutuhkannya.

2. Nonpersonal

Sifat unsur ini adalah bukan antar pribadi yang menggunakan media sebagai penyalur pesan bukan penjualan dengan transaksi antar personal bertatap muka. Hal inilah yang membedakan dengan sales promotion.

3. Media Massa

Karena bersifat nonpersonal maka sudah tentu menggunakan media lain yaitu media massa yaitu media cetak dan media elektronik sesuai dengan penggunaannya memanfaatkan waktu dan ruang.

4. Persuasif

Iklan bersifat komunikasi persuasif yang isinya menganjurkan, merangsang, membujuk para pembeli, pemakai untuk membeli atau terus memakai produk yang ditawarkan.

5. Sponsor

Pihak yang menanggung pembayaran terhadap ruang dan waktu melalui media massa untuk keperluan produk-produknya tersebut.

6. Tujuan

Tujuan iklan bisa bersifat individual melalui surat-menyurat pos, kelompok-kelompok atau masal mencapai khalayak luas melalui media massa.

Efektivitas iklan

Pengukuran efektivitas periklanan merupakan aspek penting dari manajemen periklanan untuk menentukan apakah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sudah tercapai atau belum.

Menurut Kasali (2007) menyatakan bahwa Defining Advertising Goals for Measured Advertising Results (DAGMAR) merupakan salah satu model yang menjelaskan efek iklan bagi konsumen. Model ini melihat iklan sebagai suatu alat

(5)

komunikasi dan menjabarkan beberapa tujuan iklan berdasarkan konteks model Hierarchy of Effect.

Shimp (2000) mengatakan bahwa suatu iklan disebut efektif jika memenuhi pertimbangan berikut:

1. Iklan harus memperpanjang suara strategi periklanan

Iklan bisa jadi efektif hanya bila cocok dengan elemen lain dari strategi komunikasi pemasaran yang diarahkan dengan baik dan terintregasi.

2. Periklanan yang efektif harus menyertakan sudut pandang konsumen

Para konsumen membeli manfaat-manfaat produk, bukan atribut atau lambangnya. Oleh karena itu, iklan harus dinyatakan dengan cara yang berhubungan dengan kebutuhan konsumen.

3. Periklanan yang efektif harus persuasif

Persuasi terjadi ketika produk yang diiklankan dapat memberikan keuntungan bagi konsumen.

4. Iklan harus menemukan cara yang unik untuk menerobos kerumunan iklan 5. Iklan yang baik tidak pernah menjanjikan lebih dari apa yang bisa diberikan

Intinya adalah menerangkan dengan apa adanya.

6. Iklan yang baik mencegah ide kreatif dari strategi yang berlebihan

Tujuan iklan adalah mempersuasi dan mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian. Penggunaan humor yang tidak efektif mengakibatkan orang-orang hanya ingat pada humornya saja, tetapi melupakan pesannya.

Sejalan dengan hal tersebut, Aaker et al. (1996) menyatakan dua syarat keberhasilan suatu iklan, yaitu: (1) Audiens harus terkena terpaan iklan dan memperhatikan iklan tersebut serta (2) Audiens harus mengartikan pesan iklan sama seperti apa yang dimaksud oleh komunikator.

Model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner

Berdasarkan model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner, iklan tidak langsung mempengaruhi perilaku nyata audiens (conative response), tetapi harus melalui beberapa tahap sebelum melangkah ke tahap berikutnya (Aaker et al., 1996). Model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

(6)

Gambar 1. Model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner. Sumber: Aaker et al., 1996

Aaker et al. (1996) menyatakan bahwa tahap pertama dalam model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner adalah tahap pengenalan (awareness), yaitu tahap audiens menyadari adanya suatu produk, jasa, gagasan atau ide yang diiklankan. Tahap ini kemudian diikuti oleh tahap pengetahuan (knowledge), yaitu tahap audiens memperoleh informasi tentang bentuk dan atribut produk, jasa, gagasan atau ide yang diiklankan.

Pengetahuan yang diperoleh audiens dapat menimbulkan suatu perasaan atau sikap yang positif terhadap produk, jasa, gagasan atau ide yang diiklankan tersebut. Tahap ini merupakan tahap kesukaan (liking). Kemudian, apabila audiens memiliki kesukaan yang lebih terhadap suatu produk, jasa, gagasan atau ide tertentu dibandingkan dengan produk, jasa, gagasan atau ide lain, maka audiens telah berada pada tahap kecenderungan (preference) (Aaker et al., 1996).

Audiens akan berada pada tahap keyakinan (conviction) apabila telah mengakui kelebihan produk, jasa, gagasan atau ide yang diiklankan. Apabila audiens mengubah perasaan dan keyakinannya tersebut menjadi perilaku membeli produk, jasa, gagasan atau ide yang diiklankan, maka audiens telah berada pada tahap pembelian (purchase) (Aaker et al.,1996).

Purchase Conviction Preference Liking Knowledge Awareness Conative Afective Cognitive

(7)

Menurut Aaker et al. (1996), Model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:

1. Tahap kognitif adalah tahap perubahan informasi eksternal menjadi satu pola pemikiran untuk membentuk sikap. Oliver (1999) menyebutkan bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Citra menunjukan keseluruhan informasi tentang dunia yang telah diolah, diorganisasikan dan disimpan individu. Jika sebuah iklan televisi dapat memberi efek pada perubahan pengetahuan, pemahaman dan persepsi khalayaknya tentang produk yang diiklankan, maka televisi telah menimbulkan efek kognitif pada khalayak tersebut (Oliver, 1999).

2. Tahap afektif adalah tahap dimana audiens berminat dan menginginkan produk, jasa, gagasan atau ide yang ditampilkan melalui iklan. Pengaruh tahap ini berhubungan dengan perasaan audiens, mencakup tingkat kesukaan (liking) dan kecenderungan (preference). Menurut Yuwani (1992), respons yang diberikan audiens pada tahap afektif merupakan hasil penilaiannya terhadap apa yang diiklankan.

3. Tahap konatif adalah tahap dimana audiens sudah mengambil keputusan untuk bersikap dan bertingkah laku tertentu terhadap iklan. Respons yang diberikan berhubungan dengan tingkah laku audiens, mencakup tingkat keyakinan (conviction) dan pembelian (purchase). Menurut Yuwani (1992), audiens telah termotivasi oleh iklan pada tahap konatif. Sehingga, audiens yakin terhadap produk, jasa, gagasan atau ide yang ditampilkan melalui iklan dan memutuskan untuk membelinya (Yuwani, 1992).

Menurut Wells et al. (1995), respons audiens terhadap pesan iklan dipengaruhi oleh:

1. Faktor sosial, meliputi: kultur, kelas sosial (ditentukan oleh penghasilan, kekayaan, pendidikan, pekerjaan, prestise keluarga, nilai rumah dan lingkungan), kelompok referensi (reference group) dan keluarga.

2. Faktor pribadi, meliputi: usia, jenis kelamin, status keluarga, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, ras dan etnik.

(8)

3. Faktor psikologi, meliputi: persepsi, pembelajaran, motivasi (minat pribadi yang mendorong audiens bertindak sesuai dengan yang diinginkannya), sikap (suatu kondisi yang tidak terlepas dari penilaian, kepercayaan ataupun perasaan audiens terhadap suatu obyek) dan kepribadian.

Aspek Kognitif

Sumartono (2002) menyatakan bahwa fungsi pendidikan sangat penting dalam sebuah iklan karena umumnya audiens akan belajar sesuatu dari iklan yang dibaca, ditonton atau didengarnya. Dengan demikian, iklan dapat meningkatkan pengetahuan audiens mengenai suatu produk, jasa, ide atau gagasan.

Pengaruh iklan terhadap aspek pengetahuan terjadi apabila terdapat perubahan pada apa yang diketahui dan dipahami oleh audiens. Hal ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau informasi (Rakhmat, 2001).

Menurut Guiltinan (1998), pengetahuan terjadi pada tahap kognitif dimana sebelumnya audiens harus melalui tahap sadar (awareness) terlebih dahulu. Tahap sadar disebabkan oleh adanya perhatian individu terhadap suatu obyek, sedangkan pengetahuan disebabkan oleh adanya pengingatan atau recall terhadap suatu obyek.

Yuwani (1992) menyatakan bahwa untuk mengungkap kembali maksud dari pesan iklan dibutuhkan perhatian yang cukup terhadap iklan karena dengan memperhatikan pesan secara berulang-ulang akan membantu ibu rumah tangga mengingat dan menambah pengetahuannya mengenai pesan iklan, walaupun ibu rumah tangga tidak ingin melihat iklan tersebut.

Aspek Afektif

Aaker et al. (1996) menyatakan bahwa komponen afektif memiliki fungsi evaluatif yang penting dalam membentuk sikap. Bila dari segi afektif audiens berespons positif terhadap suatu stimulus, maka ia akan bersikap positif terhadap stimulus, sedangkan apabila afektifnya negatif maka hal sebaliknya akan terjadi. Aspek Konatif

Mar’at (1996) menyatakan bahwa iklan televisi dapat mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, perasaan dan tindakan audiens. Keberhasilan suatu iklan diperoleh ketika audiens yang melihat tayangan iklan melakukan tindakan

(9)

nyata sesuai dengan tujuan iklan. Lebih lanjut, Mulkan (2000) mengungkapkan bahwa iklan mampu mengubah pandangan mengenai suatu peristiwa dan mengubah perilaku nyata audiens. Bentuk perilaku nyata responden setelah menyaksikan iklan dalam penelitiannya yaitu tindakan sosial untuk menerima sesamanya tanpa memandang ras dan etnik.

Sikap terhadap Produk

Sikap adalah sejenis motif sosiogenis yang diperoleh melalui proses belajar (Rakhmat, 2001). Sikap juga merupakan kesiapan syaraf (neural settings) sebelum memberikan respon (Rakhmat, 2001). Dari berbagai definisi disimpulkan beberapa hal, pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap dapat berupa benda, orang, tempat, gagasan, kelompok atau situasi. Jadi, pada kenyataannya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap haruslah diikuti oleh kata “terhadap” atau “pada” objek sikap. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan, diinginkan dan mengesampingkan apa yang tidak diinginkan (Rakhmat, 2001). Ketiga, sikap relatif menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga memberikan definisi sederhana “attitudes are likes and dislikes”. Kelima, sikap timbul dari pengalaman dan tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperkuat atau diubah.

Sarwono (1999) menyatakan bahwa sikap adalah sebuah favourable atau unfavourable evaluasi reaksi terhadap sesuatu atau seseorang dan ditunjukkan dalam kepercayaan, perasaan atau kecenderungan perilaku. Sikap adalah sebuah penempatan respon yang favourably atau unfavourably kepada objek, orang, institusi atau kejadian. Ciri khas dari sikap adalah mempunyai objek tertentu (orang, perilaku konsep, situasi, benda dan sebagainya) dan mengandung

(10)

penilaian (setuju-tidak setuju atau suka-tidak suka). Sikap adalah sesuatu yang dipelajari dan dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah.

Sikap mengandung tiga bagian (domain). Ketiga domain sikap itu adalah kognitif, afektif dan konatif (Sarwono, 1999). Kognitif adalah pengetahuan. Kognisi dapat mempengaruhi afektif sebagai rangsang dari dalam (internal stimulus), sama halnya dengan pengaruh rangsang dari luar (eksternal stimulus). Afektif adalah perasaan (sedih, gembira, cemas, kagum dan sebagainya), dan konatif adalah kecenderungan perilaku yang akan mengarahkan perilaku seseorang, bukan merupakan perilaku nyata tetapi baru akan melakukan sesuatu.

Terdapat faktor-faktor genetik yang berpengaruh pada terbentuknya sikap. Walaupun demikian, sebagian besar dari para pakar psikologi sosial berpendapat bahwa sikap terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak terapan, yaitu bahwa berdasarkan pandangan ini dapat disusun berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang. Dari pandangan seperti inilah dibuatnya segala jenis program iklan pendidikan, pemasaran, kampanye politik dan sebagainya yang maksudnya sama semua, yaitu mengubah sikap seseorang atau masyarakat dari sikap tertentu ke sikap lainnya terhadap suatu objek. Pada gilirannya, perubahan sikap ini akan mengubah pula perilakunya, sehingga terjadilah perilaku-perilaku yang lebih sesuai dengan yang diharapkan (dari tidak membeli jadi membeli, dari tidak memilih jadi memilih dan sebagainya).

Berdasarkan penelitian MacKenzie et al. (1999), sikap terhadap iklan dipengaruhi oleh kognisi (pikiran dan perasaan) yang dimiliki oleh audiens. Sikap terhadap iklan ini akan mempengaruhi sikap terhadap produk. Dengan kata lain, sikap terhadap iklan akan mempengaruhi sikap terhadap produk secara langsung maupun tidak langsung, contohnya: Jika kita menyukai iklan maka kita kurang kritis terhadap apa yang dikatakan iklan mengenai produk yang diiklankan, sehingga sikap terhadap iklan yang positif dapat mengakibatkan pemikiran yang positif pula mengenai produk yang diiklankan.

Sumartono (2002) menyatakan bahwa sikap positif terhadap iklan televisi dapat ditumbuhkan ketika audiens mempunyai pengetahuan, pandangan dan

(11)

intensitas perasaan tertentu yang akan mempengaruhi keputusan secara rasional untuk menerima atau menolak iklan.

Sikap audiens terhadap iklan tidak terlepas dari penilaiannya terhadap elemen iklan. Menurut Wells et al. (1995), elemen-elemen iklan televisi meliputi: 1. Video, yaitu elemen yang mencakup semua yang terlihat di layar televisi. 2. Audio, Elemen audio dalam iklan televisi sama seperti iklan radio, terdiri dari

musik, suara dan sound effect. Penggunaan elemen audio dalam iklan televisi disesuaikan dengan visualisasinya.

3. Talent, yaitu orang-orang yang terlibat dalam suatu iklan, seperti: announcer (berada di dalam atau di luar panggung), pembawa acara, spokepersons, spokethings dan tipe berkarakter (misalnya: orangtua, bayi, polisi dan lain-lain).

4. Props, yaitu peralatan yang dipakai dalam suatu iklan televisi

5. Setting, yaitu tempat iklan dilaksanakan, misalnya: di studio atau di lokasi tertentu

6. Lighting, yaitu pencahayaan suatu iklan.

7. Graphics, yaitu kata-kata yang divisualisasikan dalam iklan; dibuat secara sederhana atau dapat pula menggunakan teknik komputer.

8. Pacing, yaitu kecepatan gerakan dalam suatu iklan. Hal ini tergantung dari naskah iklan.

Frekuensi Efektif Iklan Televisi

Frekuensi efektif iklan televisi adalah jumlah penayangan iklan pada media televisi yang dapat membangkitkan ketertarikan dan kesadaran pemirsa terhadap produk yang diiklankan. Frekuensi efektif berhubungan dengan jangkauan efektif. Jangkauan efektif iklan televisi adalah presentase jumlah pemirsa yang menyaksikan iklan televisi pada setiap frekuensi efektif penayangan iklan. Tidak semua produk menghasilkan efek iklan yang sama pada penayangan iklan dengan frekuensi yang berbeda-beda (Morisan, 2007).

Frekuensi efektif penayangan iklan televisi adalah tiga sampai sepuluh kali pada suatu program acara televisi. Tetapi penayangan iklan sebanyak sepuluh kali pada program acara televisi dianggap kurang efisien karena membutuhkan

(12)

anggaran yang sangat besar. Frekuensi penayangan iklan televisi sebanyak tiga kali pada suatu program acara televisi dianggap efektif dan efisien (Morisan, 2007).

Penelitian Sebelumnya yang berhubungan dengan Efektivitas Siaran Iklan Berdasarkan hasil penelitiannya, Kurniawan (1992) menyatakan bahwa responden yang tidak mengkonsumsi produk yang diiklankan menganggap iklan sebagai alat untuk memperkenalkan produk, sedangkan responden yang menggunakan produk yang diiklankan menganggap bahwa produk tersebut lebih baik dibandingkan dengan produk lainnya. Mendukung teori tersebut, Sumartono (2002) menyatakan bahwa audiens akan memperhatikan iklan-iklan untuk produk yang digunakannya daripada iklan-iklan untuk produk yang tidak digunakannya.

Risakotta (1995) mengungkapkan bahwa iklan lebih efektif bagi wanita daripada pria. Berdasarkan hasil penelitiannya, iklan tidak hanya mampu membangkitkan pengetahuan sadar (awareness) bagi remaja putri, tapi juga mampu menimbulkan rasa tertarik untuk mencoba produk yang diiklankan.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Darmayanti (2003) menyatakan bahwa penayangan iklan anti rokok dapat berpengaruh dalam meningkatkan respons kognitif, dimana remaja dapat menambah pengetahuan tentang bahaya merokok. Disamping itu, iklan anti rokok juga dapat berpengaruh dalam meningkatkan respons afektif responden terhadap pesan iklan anti rokok. Hal ini menunjukkan bahwa penayangan iklan anti rokok mampu mengubah sikap responden terhadap rokok dan bahayanya.

Susu Formula

Susu murni adalah susu yang masih asli, seperti pada saat diperah dan belum dicampur dengan bahan-bahan tertentu. Di pasaran pada umumnya susu murni diolah menjadi susu bubuk, susu kental manis, susu kental tidak manis, susu segar cair yang merupakan susu hasil pengolahan dengan metode UHT/Pasteurisasi/Sterilisasi dan susu asam seperti yoghurt (Clickwok, 2000).

Susu Bubuk dihasilkan dari proses penguapan susu murni, sehingga kadar airnya dikurangi sampai di bawah lima persen. Proses pengeringannya dapat

(13)

dengan sistem silinder dan semprot, namun umumnya sistem semprot yang digunakan. Dengan cara ini panas yang dihasilkan tidak sepanas sistem silinder, sehingga tepung susu yang dihasilkan akan memiliki nilai gizi lebih tinggi dan rasa susu juga lebih baik dengan daya larut yang tinggi (Nurhayati, 2002).

Berdasarkan kandungan lemaknya susu bubuk dibagi menjadi 3 jenis yaitu Whole Milk/Full Cream dengan kadar lemak sekitar 4%, Low Fat Milk dengan kadar lemak 1% hingga 2% dan Skim/Non-Fat Milk dengan kadar lemak 0 hingga 0,5%. Whole Milk/Full Cream dan Skim/Non-Fat Milk umumnya mengandung vitamin A, B1, B2, B6, C, D, E dan Niasin tetapi apabila dibandingkan dengan susu Skim/Non-Fat Milk, susu Whole Milk/Full Cream mengandung protein yang lebih sedikit (Handri, 2008).

Susu bubuk dalam proses pembuatannya akan banyak kehilangan sebagian vitamin/mineral, oleh karena itu dalam proses pembuatan susu bubuk seringkali mendapatkan tambahan vitamin maupun mineral. Pada proses pengenceran saat pembuatan susu bubuk dilakukan penambahan vitamin dan mineral (Prasetyo, 2005).

Susu bubuk menempati urutan pertama dalam tingkat produksi dibandingkan dengan jenis susu lainnya, seperti susu kental manis atau susu segar cair. Tingginya tingkat produksi susu bubuk disebabkan luasnya jaringan pasar yang dikuasai oleh susu bubuk. Selain itu, jenis susu ini dapat dikonsumsi oleh semua umur dari bayi, orang dewasa dan manula (Gizinet, 2008).

Susu formula bayi menurut Dunia bunda (2009) adalah susu bubuk atau cair dengan formula tertentu yang diberikan kepada bayi dan anak-anak sebagai pengganti ASI. Susu formula bayi memiliki peranan yang penting sebagai makanan bayi karena seringkali bertindak sebagai satu-satunya sumber gizi bagi bayi. Oleh karena itu, komposisi susu formula yang diperdagangkan harus memenuhi standar yang ketat karena terus dikontrol oleh FDA (Food and Drugs Association/Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika)

Umumnya formula bayi terbuat dari susu sapi yang diubah komposisinya hingga dapat dipakai sebagai pengganti ASI (PASI). Tetapi tidak ada satupun jenis PASI yang dapat menyamai kandungan gizi ASI (Judarwanto, 2008).

(14)

Judarwanto (2008) memberikan penggolongan susu bubuk formula bayi, terdiri atas :

1. Susu formula awal/Starter Formula yaitu susu formula yang dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi sejak lahir hingga usia enam bulan sebelum bayi tersebut mendapatkan makanan tambahan.

2. Susu formula lanjutan/Follow On Formula adalah susu yang diberikan kepada bayi berusia enam hingga 12 bulan setelah bayi mendapatkan makanan tambahan.

3. Susu formula khusus/Spesific Formula, yaitu susu formula yang diberikan pada bayi yang mempunyai kelainan atau penyakit tertentu seperti berat badan lahir ringan.

4. Susu formula eceran/Growing Up Milk, yaitu susu formula yang diberikan kepada bayi pada usia lebih dari satu tahun.

Susu formula bayi yang beredar di pasaran berdasarkan harganya dibagi menjadi 2 kelas yaitu susu formula bayi kelas atas yang terdiri dari kelas premium/super premium dan susu kelas bawah. Susu formula bayi untuk ukuran 400 gram, pada kelas bawah harganya mulai dari Rp 20.000,00 sedangkan pada kelas atas harganya antara Rp 40.000,00 hingga Rp 70.000,00. Beberapa merek susu formula bayi kelas premium yang beredar di pasaran luas saat ini yaitu Bebelac dari Nutricia, S 26 Reguler milik Wyeth, Enfamil Reguler milik Mead and Johnson, Morinaga BMT milik Shang Hyang Perkasa, Vitalac milik Sari Husada dan Pediasure milik Abbott. Pada kelas super premium, Nutricia mempunyai produk unggulan Nutricia Royal, Wyeth memiliki S 26 Gold, Mead and Johnson memiliki Enfamil Plus, Shang Hyang Perkasa memiliki Morinaga Platinum, Abbot memiliki Pediasure Gains and Advance EyQ dan Nestle memiliki Nan. Sedangkan beberapa merek susu di kelas bawah seperti Biokids milik Indomilk, Dancow Batita dan Lactogen milik Nestle, SGM 123, Lactamil, Vitalac 123 dan Vitalac Lactosa Free milik Sari Husada (Sugiyanti, 2009).

(15)

KERANGKA PEMIKIRAN

Seiring perkembangan industri dan teknologi, maka produk-produk yang beredar di pasaran semakin banyak dan variatif. Situasi dan kondisi ini menumbuhkan suatu bentuk persaingan diantara produsen dalam memasarkan produknya. Iklan dapat menjadi sarana yang efektif dalam meningkatkan popularitas merek atau mengubah sikap konsumen terhadap produk ke arah yang lebih positif dan pada akhirnya dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan angka penjualan produk sehingga mengungguli merek pesaing.

Konsumen cenderung dipengaruhi oleh hal-hal yang ada pada dirinya dalam mengenali suatu masalah atau kebutuhan terhadap produk, seperti: persepsi, merek, sikap, kondisi demografis, gaya hidup, dan kepribadian. Rangsangan dari dalam timbul karena konsumen membutuhkan, sedangkan rangsangan dari luar dipengaruhi oleh suatu keadaan, karena pengaruh teman, keluarga, atau iklan. Pengaruh yang biasa diterima konsumen pangan biasanya berupa rasa tertarik, baik dari efek komunikasi iklan atau pengalaman masa lalunya saat mengkonsumsi.

Efek komunikasi iklan merupakan perubahan yang terjadi dalam diri audiens karena menerima pesan komunikasi iklan. Komunikasi iklan dikatakan efektif apabila menghasilkan perubahan, seperti: peningkatan pengetahuan, perubahan sikap, dan perubahan perilaku nyata atau ketiganya. Perubahan tersebut dapat diketahui dari tanggapan yang diberikan audiens sebagai umpan balik.

Efektivitas iklan dikaji berdasarkan Model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner. Menurut Aaker et al. (1996), Model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: kognitif, afektif dan konatif. Pada penelitian yang akan dilakukan, Efektivitas iklan yang akan diukur adalah peningkatan pengetahuan/kognitif dan perubahan sikap/afektif terhadap produk, tanpa mengukur aspek konatif/tindakan, karena terdapat faktor lainnya yang mempengaruhi pembelian suatu produk seperti kualitas, harga dan distribusi produk.

Iklan susu pertumbuhan Nestle Batita di televisi merupakan suatu bentuk stimulus pemasaran primer bagi para ibu rumah tangga yang memiliki anak

(16)

berusia satu hingga tiga tahun. Dari stimulus pemasaran yang diterima yaitu berupa iklan susu bubuk “Nestle Batita” di televisi, maka ibu rumah tangga akan memperoleh pengetahuan dan membentuk sikap terhadap produk tersebut di tiap benaknya masing-masing. Berikut alur kerangka pemikiran penelitian

Keterangan : Mempengaruhi

Gambar 2. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian. Iklan Televisi Susu

Pertumbuhan “Nestle Batita”

1. Pengetahuan produk susu “Nestle Batita”

2. Sikap terhadap produk susu “Nestle Batita”

(17)

DEFINISI OPERASIONAL

1. Iklan televisi susu pertumbuhan “Nestle Batita” adalah bentuk komunikasi komersil dan nonpersonal tentang produk susu pertumbuhan Batita yang ditransmisikan ke suatu khalayak (dalam penelitian ini yaitu ibu rumah tangga di Posyandu Rajawali 8, Perumahan Taman Yasmin, Bogor) melalui media televisi.

2. Pengetahuan produk susu Batita adalah pemahaman ibu rumah tangga di Posyandu Rajawali 8, mengenai informasi-informasi produk susu Batita.

3. Sikap terhadap produk susu Batita adalah kepercayaan, perasaan dan kecenderungan perilaku ibu rumah tangga di Posyandu Rajawali 8, terhadap produk susu Batita.

4. Peningkatan pengetahuan produk susu Batita adalah bertambahnya pemahaman ibu rumah tangga di Posyandu Rajawali 8, mengenai informasi-informasi produk susu Batita.

5. Perubahan sikap terhadap produk susu Batita adalah perkembangan kepercayaan, perasaan dan kecenderungan perilaku ibu rumah tangga di Posyandu Rajawali 8, terhadap produk susu Batita.

(18)

HIPOTESIS

H1. Peningkatan pengetahuan tentang informasi produk susu Batita pada ibu rumah tangga yang menonton iklan susu Batita lebih tinggi dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang tidak menonton iklan susu Batita.

H2. Perubahan sikap terhadap produk susu Batita pada ibu rumah tangga yang menonton iklan susu Batita lebih positif dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang tidak menonton iklan susu Batita.

Gambar

Gambar 1. Model Hierarchy of Effect dari Lavidge dan Steiner.

Referensi

Dokumen terkait

endidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak manusia menjadi lebih baik. Oleh karena

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan serta untuk mencegah terlalu luasnya penelitian ini maka yang menjadi batasan masalah

frequently used by students in Critical Reading class?” This study used questionnaire as the research method and the result of this study is Activation strategy is the most

Latihan jasmani, terutama bila dilakukan secara teratur telah terbukti meningkatkan kesegaran jasmani (Dangsina Moeloek, 1984: 33). Di Lokalisasi Sunan Kuning

- Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi dampak ekonomi dari pencemaran udara terhadap kesehatan di Indonesia menggunakan data tahun 2011.. Indikator pencemaran udara

Bagaimana karakteristik perpindahan panas, faktor gesekan dan rasio peningkatan perpindahan panas pada penukar kalor pipa konsentrik dengan penambahan regularly

Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemkab Labuhan Batu dilihat dari rasio pertumbuhan PAD tahun 2011-2013 bertentangan dengan teori menurut Halim karena

Latar belakang : UKM futsal STIE Yogyakarta yang mengalami penurunan kelincahan dikarenakan kurangnya menguasai teknik dasar permainan futsal, sehingga pemain