• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu pokok bahasan dalam ilmu dan dunia hukum ialah hak asasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu pokok bahasan dalam ilmu dan dunia hukum ialah hak asasi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu pokok bahasan dalam ilmu dan dunia hukum ialah hak asasi manusia (HAM). Studi tentang hak asasi manusia mengandung gerak maju yang cukup pesat karena pada kenyataannya sejarah kehidupan umat manusia ditandai dengan banyak hal yang mempengaruhi pemikiran dan keberadaan hak asasi manusia. Banyak hal dimaksud antara lain meliputi fakta-fakta bahwa manusia adalah makhluk hidup yang beragam. Ragam keheradaan manusia itu antara lain meliputi jenis kelamin, ras, etnis, bahasa, agama, adat istiadat dan tingkat usia.

Sebelum pengajaran hak asasi manusia berdiri sendiri sebagai matakuliah mandiri, di fakultas hukum pengajaran hak asasi manusia diberikan sebagai bagian dari matakuliah hukum tata negara, bukan sebagai bagian dari matakuliah hukum internasional. Karena diberikan sebagai bagian dari hukum tata negara, maka tak terelakkan kalau materi yang diajarkan juga terbatas sebagai aksesori hukum tata negara, yakni diajarkan sebagai salah satu elemen penting dari konsep negara hukum (rechtsstaat). Hal yang memprihatinkan adalah ketika terjadi proses menghidupkan kembali ide negara integralistik Soepomo dalam hukum tata negara yang dianggap sebagai alam pikiran kenegaraan Indonesia. Proses inilah yang kemudian

(2)

menyebabkan pengajaran hak asasi manusia di fakultas-fakultas hukum diletakkan dalam perspektif negara integralistik tersebut, yang menempatkan hak asasi manusia ke dalam istilah ―hak warga negara‖ (―rights of the citizen‖).1

Pendekatan dan orientasi yang demikian itu menyebabkan terjadinya ―kecelakaan‖ dalam pengajaran hak asasi manusia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, yakni hak asasi manusia senantiasa diwacanakan dengan penuh sak-wasangka dan kecurigaan, dianggap sebagai mementingkan diri sendiri (individualistis), liberal, dan mencerminkan nilai-nilai ―barat‖. Jarang sekali wacana yang dikembangkan adalah melihat hak asasi manusia sebagai pemberdayaan individu yang diproteksi secara internasional—berhadapan dengan kekuasaan negara dan masyarakatnya sendiri, sebagaimana yang dikembangkan oleh teori hak asasi manusia setelah Perang Dunia II. ―Kecelakaan‖ tersebut diperburuk oleh lingkungan eksternalnya, yaitu sistem politik otoriter yang berkembang di masa rezim orde baru. Sebagaimana dimaklumi bahwa pada masa orde baru, hak asasi manusia ditempatkan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik orde baru. Sehingga, tidak tanggung- tanggung, penguasa orde baru dengan serius melancarkan ―black-campaign‖ terhadap isu hak asasi manusia dengan mengatakannya sebagai ―komunis generasi keempat‖ atau ―antek-antek Barat‖.2

1 Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor); Hukum Hak Asasi

Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al; Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, h. 4.

2

(3)

Adalah benar bahwa jauh sebelumnya telah lahir sejumlah traktat hak asasi sebagai hasil dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Tetapi traktat-traktat itu adalah gejala domestik yang dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan raja (gejala di Inggris),3 dan pengakuan hak-hak individu sebagai hak alamiah (gejala di Amerika Serikat dan Prancis).4 Gejala yang sama juga dapat dikatakan terjadi di Indonesia, masyarakat sudah berbicara mengenai perlindungan hak warga negara pada saat menyusun konstitusi pada tahun 1945, sebelum sistem perlindungan internasional hak asasi manusia muncul. Realitas ini menunjukkan bahwa upaya-upaya domestik untuk menjamin perlindungan bagi individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa mendahului perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Karena itu dapat dikatakan, tumbuhnya teori hak asasi manusia setelah Perang Dunia II sangat dipengaruhi oleh pemikiran- pemikiran yang melahirkan revolusi tersebut. Selain dilatarbelakangi oleh dinamika dalam hubungan internasional ketika itu.

Sejalan dengan berkembangnya peradaban hidup manusia, di Indonesia pun kemudian mengalami reformasi multi-dimensional. Salah satu bidang yang juga mengalami reformasi ialah politik ketatanegaraan yang

3

Magna Charta (1215), sesungguhnya hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja Johndan para bangsawannya dan baru belakangan kata-kata dalam piagam ini memperoleh makna yang lebihluas seperti sekarang ini --sebenarnya baru dalam Bill of Rights (1689) muncul ketentuan-ketentuan untukmelindungi hak-hak atau kebebasan individu. Lihat Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teoridan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994; sebagaimana ada dalam Ibid; h. 6.

4 Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikukuhkan dengan Virginia Bills of Rights(1917)

dengan gamblangmenjamin hak-hak fundamental dan kebebasan dasar, yang kemudian mengilhamirevolusi Prancis yang melahirkan Declaration des droits de l’ home et du citoyen (Deklarasi Hak Manusiadan Warganegara). Lihat Scott Davidson, ibid; sebagaimana ada dalam Ibid.

(4)

kemudian membawa akibat berubah pula pandangan dan studi tentang hukum ketatanegaraan. Pada gilirannya, studi-studi tentang hak asasi manusia juga mengalami pendalaman makna secara lebih terarah dan tepat sasaran, dalam arti lebih memberi artikulasi terhadap perlindungan hak asasi manusia. Hal ini antara lain tampak dari semakin diakuinya berbagai jenis hak asasi manusia dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada perkembangan terkait, Indonesia juga menghasilkan Undang-Undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara faktual, Indonesia juga meratifikasi cukup banyak ketentuan hukum yang menyangkut hak asasi manusia, yang sebelumnya telah ada sebagai bagian dari hukum internasional.

Sebagaimana umum diketahui, secara kategorial studi-studi tentang hak asasi manusia mengandung di dalamnya berbagai aspek kajian. Beberapa di antaranya ialah hak anak, hak perempuan, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas sumber daya alam dan hak perekonomian.Salah satu yang paling mendapatkan perhatian ialah studi tentang hak-hak anak.

Secara hukum berbagai studi yang menyangkut hak-hak anak kemudian menghasilkan berbagai ketentuan hukum di bidang hak anak. Pada tingkat internasional, dikenal Konvensi Hak Anak yang telah disepakati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Tahun 1989. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Indonesia juga telah membuat berbagai ketentuan hukum tentang hak-hak anak. Misalnya Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

(5)

Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, melaluiKeputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, maka berarti bahwaPemerintah Indonesia mempunyai kewajiban-kewajiban hukum (legal duties) untuk melaksanakan Konvensi Hak Anak tersebut.Negara Kesatuan Republik Indonesia menjaminkesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasukperlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasimanusia. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang MahaEsa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagaimanusia seutuhnya, bahwa anak adalah tunas, potensi, dangenerasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memilikiperan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yangmenjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara padamasa depan.5

Walaupun hak asasi manusia secara internasional telah diterima sebagai konsepsi dasar peradaban umat manusia, namun dalam prakteknya pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi di berbagai belahan dunia. Bahkan negara yang seharusnya memiliki kewajiban utama untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia, justru sering menjadi aktor utama yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia.6

5

Harkristuti Harkrisnowo, dkk., Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; Hak Anak; 2011, h. 1..

6

Al Araf, M Ali Syafaat, Poengky Indarti (Penulis); Perlindungan Terhadap Pembela Hak

(6)

Karena itu, pengakuan de jure atas hak-hak anak tidak senantiasa mengejawantah sebagai perwujudan atau bentuk konkrit pengakuan de facto. Realitas kehidupan mayoritas anak di berbagai belahan dunia massih menampilkan gambaran umum tentang anak-anak yang merupakan hasil struktur penghisapan dalam hubungan kerja, hambatan kultural dalam mengaktualisasi potensi, keterbelakangan pendidikan, kekurangan jaminan sosial dan pelbagai ketidakterpenuhan hak-hak dasar.7 Kondisi tersebut mengharuskan adanya perhatian yang lebih terpusat, pemahaman masalah secara cermat serta pencarian upaya terarah guna merealisasikan perlindungan atas hak-hak anak.8

Di Indonesia misalnya, pada bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan. Peningkatan produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta tumpang

7Mulyana W. Kusumah (penyunting); Hukum dan Hak-hak Anak; Rajawali, Jakarta, Cetakan I, 1986,

h. v.

8

(7)

tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum di Indonesia.9

Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaranhak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dankesewenang-wenangan.10 Dalam hal ini pelanggaran terhadap hak-hak anak juga masih terus terjadi.

Sejak Deklarasi Universal HAM diproklamasikan, umat manusia bagaikan dibukakan pintu utama menuju dunia terang yang penuh penghormatan atas manusia. Sejak itu, umat manusia yang berbudaya, terus mendorong dan mencoba mencari upaya untuk terus melakukan perlindungan dan pencegahan terhadap pelanggaran hak asasi manusia bagi semua manusia, sehingga tidak ada satu golongan pun dari umat manusia, seperti masyarakat adat, anak-anak, kaum perempuan, kaum difabel (sebutan sopan bagi penyandang cacat), pada penderita AIDS, orang miskin. Pendek kata, tak satu golongan pun terlewatkan untuk dilindungi hak-hak asasi mereka sebagai manusia.11

Mulanya, para pejuang HAM menegaskan perlunya suatu perjanjian lebih khusus lagi, seperti Kovenan Internasional hak-hak sipil dan politik,

9 Zaky Alkazar Nasution; Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban

Perdagangan Manusia (Trafficking in Persons); Tesis; Program MIH – UNDIP; 2008, h. 2; Lihat:

http://eprints.undip.ac.id/17904/1/Zaky_Alkazar_Nasution.pdf. Dikunjungi pada Selasa 9 Mei 2017, pukul 03.32 WIB

10Ibid.

11Mansour Fakih, Antoniua M Indrianto & Eko Prasetyo; Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan:

Pegangan untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia; Insist Press, Yogyakarta, 2003, h. 13 – 14.

(8)

serta Kovenan Internasional hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Lima puluh tahun setelah Deklarasi Universal HAM itu dicetuskan, para aktivis HAM melalui negara-negara anggota berhasil mendesak agar PBB mencetuskan suatu perjanjian untuk perlindungan hak anak atau yang dikenal dengan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of Children). Konvensi itu dicetuskan setelah melihat bahwa ternyata tidak serta merta, Deklarasi Universal HAM juga melindungi harkat anak-anak sebagai manusia. Terbukti, meskipun Deklarasi Universal HAM telah diterima, manusia di mana-mana masih sanggup membunuhi dan menghisapi darah anak-anak mereka sendiri. Di banyak tempat, manusia memandang wajar mempekerjakan dan memperbudak anak-anak mereka sendiri. Manusia, bahkan tega memperkosa anak-anak mereka sendiri. Kita masih mendengar, bahkan sampai saat ini, manusia masih tega mengirimkan anak-anak mereka ke medan peperangan atas alasan apa pun. Yang hingga saat ini masih merisaukan adalah kita para manusia, meskipun sudah meratifikasi perjanjian hak anak itu, belum mampu memperlakukan anak-anak kita sebagai manusia sepenuhnya. Anak-anak tidak pernah kita dengarkan suara dan pandangan mereka ketika kita menetapkan kebijakan, bahkan kebijakan yang menyangkut anak-anak kita sekalipun.12

Dalam hal inilah penting diadakan studi tentang hak-hak anak. Bahkan ada juga pihak yang menyebutnya sebagai studi tentang Hukum Anak, Darwin Prinst misalnya mengatakan bahwa hukum anak adalah sekumpulan

12

(9)

peraturan hukum, yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu, meliputi : sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak, hak-hak anak, pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian, anak nakal, dan lain sebagainya.13

Pengaturan Hukum Anak di negara kita sampai sekarang tersebar dalam berbagai tingkat perundang-undangan. Misalnya ada yang diatur dalam bentuk undang-undang, staatsblaad, ordonansi, peraturan pemerintah, atau peraturan menteri hal ini membawa sulitnya memahami Hukum Anak itu sendiri. Tentang betapa pentingnya memahami hukum Anak, dapat disimpulkan dari konsiderans Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Di mana dikatakan anak adalah bagian dari Generasi Muda, sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, metal dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.14

Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan, baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai.

13

Darwin Prinst; Hukum Anak Indonesia; Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h. 1.

14 Ibid.

(10)

Dalam hukum kita, terdapat pluralisme mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Untuk jelasnya ikutilah uraian di bawah ini sebagai berikut :

1. Undang-Undang Pengadilan Anak

Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-undang No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal yang telah mencapai umum 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak sudah dianggap dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.

2. Anak dalam Hukum Ketenagakerjaan

Pasal 1 (26) Undang-undang Ketenagakerjaan (Undang-undang No.13 Tahun 2003) mendefinisikan, anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 18 tahun ke bawah.

(11)

Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997.

4. Anak menurut Hukum Perdata

Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

5. Anak menurut Undang-undang Perkawinan

Pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.

Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan usia ini, karena tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran dan Surat Kenal Lahir. Akibatnya adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor, Surat Baptis atau Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Karenanya kadang kala terdapat kejanggalan, anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya tapi

(12)

menurut keterangan usia masih muda. Malahan adakalanya orang yang terlibat kasus pidana membuat keterangan dia masih anak-anak sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin.

Dalam kasus-kasus mempekerjakan Buruh Anak hal yang sama terjadi juga, misalnya anak usia 12 (dua belas) tahun disulap menjadi usia 15 (lima belas) tahun. Sementara ciri-ciri lahiriahnya seperti ukuran badan, buah dada, dan lain-lain jelas ia masih anak-anak.KUHP mengatur umum anak sebagai korban pidana adalah belum genap berusia 15 (lima belas) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297 dan lain-lainnya. Pasal-pasal itu tidak mengkualifikasi sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan/terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan dengan/terhadap anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.

Salah satu isu hukum yang mendapatkan perhatian luas ialah persoalan anak yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).Sekadar contoh, sebuah pamflet yang dikeluarkan bersama oleh US Department of Health and Human Resources, dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, menuliskan bahwa memahami pola pikir anak-anak korban perdagangan manusia penting untuk membantu mereka memulihkan kehidupan mereka. Alasan mereka datang ke A.S. bermacam-macam, tetapi yang umum terjadi adalah anak-anak itu menjadi korban eksploitasi yang disamarkan sebagai peluang anak-anak mungkin pada mulanya percaya bahwa mereka datang ke Amerika Serikat untuk dipersatukan dengan keluarga

(13)

mereka, bekerja dalam pekerjaan yang sah atau untuk belajar di sekolah. Selain itu, anak-anak mungkin telah mendapat intimidasi psikologis atau ancaman fisik atas diri atau keluarga mereka.15

Anak-anak korban perdagangan manusia menghadapimasalah yang signifikan. Karena seringkali dilecehkansecara fisik dan seksual, mereka memiliki kebutuhanmedis dan psikologis berbeda yang harus ditanganisebelum mereka tumbuh menjadi orang dewasa. Karenadiajar oleh para pelaku yang memperdagangkan merekauntuk merasa takut terhadap petugas pemerintah dankhususnya petugas penegak hukum dan petugaskeimigrasian anak-anak ini seringkali menjadi tidakpercaya dengan sistem tersebut.16

Anak-anak memiliki pikiran yang sangat mudahdipengaruhi, dan jalan untuk memulihkannya sangatpanjang. Memahami pola pikir mereka dan membangunkepercayaan mereka melalui dialog terbuka adalahlangkah pertama untuk menyelamatkan dan memulihkankeyakinan mereka dalam permulaanyang baru.17

Perdagangan Orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan perdagangan manusia semakin canggih. ―Perdagangan

15

US Department of Health and Human Resources; Perdagangan Manusia: Lihat Lebih Dalam; Perhatikan:https://www.acf.hhs.gov/sites/default/files/orr/child_exploitation_brochure_indonesian.pdf

Dikunjung pada Selasa 9 Mei 2017, pukul 03.52 WIB.

16Ibid. 17

(14)

orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir (organized) dan lintas negara (transnational), sehingga dapat dikategorikan sebagai transnational organized crime (TOC).‖18

Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang ini sehingga harus diikuti dengan perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku. Diperlukan instrument hukum secara khusus yang meliputi aspek pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, repratriasi, dan reintegrasi sosial. Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama terhadap perempuan dan anak, dengan demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan hal yang harus diimplementasikan.19

Indonesia bahkan disebut sebagai salah satu negara yang tidak memenuhi standar minimumdalam memerangi perdagangan manusia (trafficking in person).Indonesia merupakan sumber ―trafficking in person‖, tidak memenuhi standar minimum dalam penghapusan ―trafficking in person‖, belum ada usaha yangsignifikan untuk memberantasnya, belum ada hukum yang mengatur mengenaitrafficking in person, belum adanya usaha membantu para korban trafficking in person, lemahnya pengawasan perbatasan Indonesia, belum adanyaproteksi/perlindungan terhadap para korban trafficking in person, perlindunganminimal kepada korban dari negara asing dalam arti mereka tidak dipenjara ataulangsung dideportasi, belum adanya usaha pencegahan, misalnya pendidikan mengenai ―trafficking in

18 Supriyadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat; 2005, h. 2 – 3.

19

(15)

person‖, masih kurangnya investigasi dan penuntutanterhadap ―trafficking in

person‖ yang hukumannya masih kurang di bandingkanpelaku

pemerkosaan.20

B. Pembatasan Masalah

Dalam kenyataannya kajian tentang hak asasi manusia meliputi banyak bidang, seperti telah dikemukakan salah satunya yaitu hak anak. Di dalam studi-studi tentang hak anak sendiri ada beberapa pilihan fokus. Salah satunya adalah perdagangan anak-anak sebagai bagian dari perdagangan manusia (human trafficking).

Skripsi ini mengambil fokus pada perlindungan hukum terhadap anak yang potensial menjadi korban perdagangan manusia.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

―Mengapa diperlukan perlindungan hukum terhadap anak yang potensial menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking)?‖

D. Tujuan Penulisan

20IOM Indonesia, Fenomena Trafiking Manusia dan Konteks Hukum Internasional, Jakarta, Nov2006,

(16)

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan skripsi ini ialah untuk mengetahui, mengidentifikassi dan menjelaskan alasan-alasan perlindungan hukum terhadap anak yang potensial menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).

E. Manfaat Penulisan

Setelah dilakukan penelitian dan penulisan skripsi ini diharapkan akan menghadirkan beberapa manfaat:

1. Untuk Penulis

Memperdalam wawasan penulis di dalam bidang hukum perlindungan anak khususnya tentang perlindungan terhadap anak korban human trafficking.

2. Untuk Masyarakat

Menambahkan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat awam tentang perlindungan hukum terhadap anak korban human trafficking. 3. Untuk Penegak Hukum dan Kalangan Akademis

Mengembangkan Ilmu Hukum khususnya hukum anak sebagai bahan pertimbangan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum khususnya terhadap anak korban human trafficking, serta sebagai masukan terhadap pengembangan wacana akademik di bidang ilmu hukum, khususnya tentang perlindungan hukum terhadap anak korban human trafficking.

(17)

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.21

2. Sumber Data

a. Bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan seperti ; Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia – 10 Desember 1984, Konvensi PBB tentang Hak-hak anak Tahun 1989, UUD RI Tahun 1945, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, undang No. 35 Tahun 2014 atas perubahan undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang.

b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa teori dan literature yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.22Dalam hal ini tentang hak-hak anak, khususnya hak anak untuk dilindungi dari perdagangan manusia (human trafficking).

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, yaitu pengumpulan data dengan cara memperlajari buku-buku, karya ilmiah, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan anak korban traffikcing.

21 Ronny Hanitijo Soemitro; Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jaakarta, 1985, h. 24. 22 Johnny Ibrahim; Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif; Bayumedia, Malang, 2012, h.

(18)

4. Analisa data

Data yang diperoleh dari studi kepustakaan diolah dan dianalisa secara deskriptif kualitatif, artinya analisis data, kemudian berhubungan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga memperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

1. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISA Bab ini berisi pembahasan atau uraian tentang aspek-aspek teoritik, konsptual, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan urgensi perlindungan hukum terhadap anak yang potensial menjadi korban perdaganag manusia (human trafficking); hasil penelitian yang bersifat normatif; dan analisa untuk memberi jawaban yang relatif terurai, dalam rangka menjawab rumusan masalah.

3. BAB IIIPENUTUP

Bab ini menyajikan kesimpulan dari penelitian tentang perlindungan hukum terhadap anak yang potensial menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking) dan saran dari penulis.

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan ketiga penelitian diatas, yang membedakan dengan penelitian ini adalah penulis lebih memfokuskan pada konsep strategi komunikasi pemasaran yang

[r]

dilakukan terhadap daya kecambah, kecepatan tumbuh, jumlah daun, penambahan jumlah daun, tinggi tanaman, luas daun, bobot segar, nisbah pupus akar, dan bobot

Perbaikan dalam prioritas yang lebih rendah dapat dilakukan pada titik kepuasan terhadap gaji yang diterima terkait dengan tanggung jawab yang diemban dan

Tahap 3a: Peta Strategi  Perspektif Pelanggan  Perspektif Keuangan  Perspektif proses layanan  Perspektif pembelajaran & pertumbuhan Tujuan Akhir.. Tahap 3b: Perspektif

Persentase campuran yang terdiri dari bahan/bahan-bahan dengan toksisitas akut yang tidak diketahui: 32.3% (mulut), 40.7% (kulit), 58.4% (Penghirupan).. Persentase campuran

Breaugh (1985) menunjukkan bahwa rasa memiliki atau otonomi dalam pekerjaan dapat meningkatkan keterlibatan kerja dan kualitas kinerja karyawan seperti Sheldon dan Elliot

Dala6 rangka6eningkatkan6utu7anke!ela6atana!ien9RSTN 6enerakan 6et#7erootcauseanalysisRCAatauanali!akar6a!ala89-aitu !uatu kegiatan in=e!tiga!iter!truktur-ang