21 A. Jual Beli dalam Hukum Islam
1. Pengertian jual beli
Jual beli adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kemasyarakatan, karena dengan jual beli kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi. Di samping itu juga jual beli merupakan suatu alternatif dalam mengupayakan rizki atau karunia Allah.
ﺍﹶﺫِﺈﹶﻓ
ِﺖَﻴِﻀﹸﻗ
ﺍ
ﹸﺓﺎﹶﻠﱠﺼﻟ
ﺍﻭُﺮِﺸَﺘْﻧﺎﹶﻓ
ﻲِﻓ
ِﺽْﺭﹶﺄﹾﻟﺍ
ﺍﻮُﻐَﺘْﺑﺍَﻭ
ْﻦِﻣ
ِﻞْﻀﹶﻓ
ِﻪﱠﻠﻟﺍ
ﺍﻭُﺮﹸﻛﹾﺫﺍَﻭ
َﻪﱠﻠﻟﺍ
ﺍًﲑِﺜﹶﻛ
ْﻢﹸﻜﱠﻠَﻌﹶﻟ
ﹶﻥﻮُﺤِﻠﹾﻔُﺗ
)
ﺔﻌﻤﳉﺍ
:
10
(
Artinya: “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. al-Jumu’ah: 10).
Jual beli (ﻊﻴﺒﻟا) artinya menjual, mengganti, menukar (sesuatu dengan yang lain). Kata ﺒﻟاﻊﻴ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk
pengertian lawannya yaitu kata ءﺮﺸﻟا (beli). Dengan demikian kata ﻊﻴﺒﻟا berarti kata ”jual” dan sekaligus berarti ”beli”.1 Sedangkan pengertian yang lain jual beli adalah ﺊﻴﺸﺏ ﺊﻴﺵ ﺔﻠﺏﺎﻘﻣ yang artinya “pertukaran sesuatu dengan
sesuatu”.2 Pengertian jual beli menurut terminologi para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
a. Menurut ulama’ Hanafiyah
ﹸﺔﹶﻟَﺩﺎَﺒُﻣ
ٍﻝﺎَﻣ
ِ
ٍﻝﹶﺎﲟ
ﻰﹶﻠَﻋ
ٍﻪْﺟَﻭ
ٍﺹْﻮُﺼْﺨَﻣ
Artinya: “Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara khusus”3
b. Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
ُﻣ
ﹸﺔﹶﻟَﺩﺎَﺒ
ِﻝﺎﹶﳌﹾﺍ
ِﻝﺎَﻤﹾﻟﺎِﺑ
ﹰﺎﻜْﻴِﻠْﻤَﺗ
ﺎﹰﻜﱡﻠَﻤَﺗَﻭ
Artinya: “Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan milik.”4
c. Menurut Sayyid Sabiq
ﹸﺔﹶﻟَﺩﺎَﺒُﻣ
ٍﻝﺎَﻣ
ِ
ٍﻝﹶﺎﲟ
ﻰﹶﻠَﻋ
َﺳِﺒ
ْﻴِﻞ
ﱠﺘﻟﺍ
ﹶﺍﺮ
ِﺿ
ْﻲ
ﹶﺍ
ْﻭ
َﻧﹾﻘ
ِﻞ
ِﻣﹾﻠ
ِﻚ
ِﺑ
َﻌْﻮ
ٍﺽ
َﻋ
ﹶﻠﻰ
ﹾﻟﺍ
َﻮ
ْﺟ
ِﻪ
ﹾﻟﺍ
ﹶﺎﻤ
ﻥﻭﺩ
ِﻓْﻴ
ِﻪ
Artinya: ”Saling tukar menukar harta dengan harta lain atas dasar saling rela atau memindahkan hak milik dengan cara mendapatkan ganti dengan jalan yang dibenarkan”5
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah sesuatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sekarela dimana kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya, sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
2 Rahmad Syafi’i, Fiqh Muamalah, h. 73 3 Aly As’ad, Fathul Mu’in Terjemah, h. 158 4 Ibn Qudamah, Al-Mughni, Juz III, h. 559 5 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 12, h.45
2. Dasar hukum jual beli
Islam menetapkan dasar-dasar yang mengatur praktek-praktek yang diperbolehkan, jual beli yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis\.
a. Al-Qur’an
ﱠﻞَﺣﹶﺃَﻭ
ُﻪﱠﻠﻟﺍ
َﻊْﻴَﺒﹾﻟﺍ
َﻡﱠﺮَﺣَﻭ
ﺎَﺑﱢﺮﻟﺍ
Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah : 275)
Dalam ayat lain Allah SWT juga memberikan ketentuan-ketentuan hukum muamalah jual beli yang sebagian besar dalam bentuk kaidah-kaidah umum, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 29 :
َﻬﱡﻳﹶﺃﺎَﻳ
ﺎ
َﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ
ﺍﻮُﻨَﻣﺍَﺀ
ﺎﹶﻟ
ﺍﻮﹸﻠﹸﻛﹾﺄَﺗ
ْﻢﹸﻜﹶﻟﺍَﻮْﻣﹶﺃ
ْﻢﹸﻜَﻨْﻴَﺑ
ِﻞِﻃﺎَﺒﹾﻟﺎِﺑ
ﺎﱠﻟِﺇ
ﹾﻥﹶﺃ
ﹶﻥﻮﹸﻜَﺗ
ﹰﺓَﺭﺎَﺠِﺗ
ْﻦَﻋ
ٍﺽﺍَﺮَﺗ
ْﻢﹸﻜْﻨِﻣ
ﺎﹶﻟَﻭ
ﺍﻮﹸﻠُﺘﹾﻘَﺗ
ْﻢﹸﻜَﺴﹸﻔْﻧﹶﺃ
ﱠﻥِﺇ
َﻪﱠﻠﻟﺍ
ﹶﻥﺎﹶﻛ
ْﻢﹸﻜِﺑ
ﺎًﻤﻴِﺣَﺭ
ِArtinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S. an-Nisa’ : 29).6
b. As-Sunnah
Di samping al-Qur’an, hadis\ juga menerangkan tentang diperbolehkannya jual beli, di antara berbunyi :
َﻋ
ْﻦ
ِﺭ
ﹶﺎﻓ
َﻋﹶﺔ
ْﺑﺍ
ِﻦ
َﺭ
ِﻓﺍ
ٍﻊ
ﹶﺍﱠﻥ
ﱠﻨﻟﺍِﺒ
ﻲ
َﺻ
ﱠﻠﻰ
ُﷲﺍ
َﻋ
ﹶﻠْﻴِﻪ
َﻭ
َﺳﱠﻠ
َﻢ
ُﺳِﺌ
ﹶﻞ
ﹶﺍ
ﱡﻱ
ﹾﻟﺍ
ﹶﻜ
ْﺴ
ِﺐ
ﹶﺍ
ﹶﻃَﻴ
ُﺐ
؟
ﹶﻓ
ﹶﺎﻘ
ﹶﻝ
َﻋ
َﻤ
ﹸﻞ
ﱠﺮﻟﺍ
ُﺟ
ِﻞ
ِﺑَﻴ
ِﺪِﻩ
َﻭ
ﹸﻛ
ﱠﻞ
َﺑْﻴ
ٍﻊ
َﻣْﺒ
ُﺮْﻭ
ٍﺭ
ﹶﺍ
ْﻯ
ﹶﻻ
ﹶﻏ
ﱠﺸ
ﻰ
ِﻓْﻴ
ِﻪ
َﻭ
ﹶﻻ
ِﺧ
ﹶﺎﻴَﻧ
ﹶﺔ
)
ﻩﺍﻭﺭ
ﻟﺍ
ﺯﺰﺒ
ﻢﻛﺎﳊﺍﻭ
(
Artinya: ”Dari Rafa’ah ibn Rafi’ sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik? Rasul ketika itu menjawab usaha tangan sendiri dari setiap jual beli yang diberkati” (HR. Al-Bazzaz dan al-Hakim).7
c. Ijma’Ulama’
Jual-beli juga disepakati oleh beberapa ijma’ ulama’ dengan mengemukakan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan harus diganti dengan barang yang lainnya.8
Ahmad Azhar Basyir memberikan prinsip-prinsip muamalah sebagai berikut :9
1) Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan as-Sunnah
2) Pada dasarnya dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur-unsur paksaan
3) Pada dasarnya dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup bermasyarakat.
7 As-San’ani, Subulussalam III, Terjemah Abu Bakar Muhammad, h. 14 8 Rahmad Syafe’i, Fiqh Muamalah, h. 75
4) Muamalah dilakukan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Allah mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluarga dan kekuasaan dirinya untuk hamba-hambanya karena manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan lain-lainnya. Kebutuhan seperti ini tidak dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu ia dituntut berhubungan dengan yang lainnya dalam hal ini tidak ada satu hal pun yang sempurna dan pertukaran dimana seseorang memberikan yang ia miliki kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna bagi orang lain sesuai kebutuhan masing-masing.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli a. Rukun jual beli
Dalam menetapkan rukun jual beli di antara para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Ijab (pernyataan penjual) yakni kata-kata yang menyatakan tamalluk (menerima pemilikan secara jelas).10
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama’ adalah sebagai berikut:11
1) Ada orang yang berakad (ِناَﺪِﻗﺎَﻌَﺘُﻤﻟا) yaitu penjual dan pembeli 2) Barang yang dibeli
3) Ada sighat (lafad-lafad ijab qabul) 4) Ada nilai tukar pengganti barang b. Syarat jual beli
Menurut maz\hab Hanafi, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang di atas termasuk dalam syarat jual beli bukan rukun.12 Sedangkan syarat jual beli menurut jumhur ulama’ dapat dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu :13
1) Syarat yang terkait dengan akad
a) Berakal, dalam artian dapat membedakan (memilih) akad orang gila, mabuk, anak kecil dan tidak dapat membedakan dan memilih adalah tidak sah.
b) Terdiri dari 2 (dua) pihak yaitu orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda, maksudnya seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli sekaligus penjual dalam waktu yang bersamaan.
11 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 121-125 12 Ibid, h. 118
2) Syarat yang terkait dengan ijab qabul
a) Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya
b) Jangan diselingi kata-kata lain antara ijab dan qabul
c) Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu. Misalnya seseorang dilarang menjual hamba yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang mu’min memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan orang mu’min. Firman Allah :
...
ْﻦﹶﻟَﻭ
ﹶﻞَﻌْﺠَﻳ
ُﻪﱠﻠﻟﺍ
َﻦﻳِﺮِﻓﺎﹶﻜﹾﻠِﻟ
ﻰﹶﻠَﻋ
َﲔِﻨِﻣْﺆُﻤﹾﻟﺍ
ﺎﹰﻠﻴِﺒَﺳ
Artinya: “...Dan Allah tidak sekali-kali memberi jalan kepada orang kafir untuk menghina orang mukmin” (Q.S. an-Nisa’: 141).14
3) Syarat yang diakadkan
a) Barangnya bersih atau suci
b) Barangnya dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia c) Barang adalah milik orang yang melakukan akad
d) Barang diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati ketika transaksi berlangsung15
14 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 71 15 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 49
Penyerahan mabi' (barang dagangan) dari penjual itu harus dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain penyerahannya disesuaikan dengan kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan akad. Akan tetapi, apabila penyerahan barang yang dilakukan di lain waktu bisa menimbulkan kerugian di salah satu pihak maka penyerahan barang dilakukan sesaat setelah terjadinya ijab qabul.
Dalam jual beli bisa saja terjadi kelalaian, baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli, baik pada saat terjadi akad maupun sesudahnya. Untuk setiap kelalaian ada resiko yang harus dijamin oleh pihak yang lalai. Menurut para ulama' untuk menghindari dari berbagai masalah yang timbul karena tertundanya penyerahan barang, maka ulama' sepakat bahwa penyerahan barang dilakukan di tempat. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko kerugian yang akan diterima oleh salah satu pihak yang melakukan akad. Karena jual beli yang tidak sesuai dengan perjanjian masuk dalam kategori jual beli yang mengandung unsur penipuan. Sedangkan jual beli seperti ini dilarang oleh Nabi Muhammad SAW sesuai dengan hadis :
ِﻦَﻋ
ِﻦْﺑﺍ
َﺮَﻤُﻋ
ﱠﻥﹶﺍ
ﹰﻼُﺟَﺭ
َﺮﹶﻛﹶﺫ
ﱢﻲِﺒﱠﻨﻠِﻟ
َﺻ
ﻰﱠﻠ
ُﷲﺍ
ِﻪْﻴﹶﻠَﻋ
َﻢﱠﻠَﺳَﻭ
:
ُﻪﱠﻧﹶﺍ
ُﻉَﺪْﺨُﻳ
ﻰِﻓ
ِﻉْﻮُﻴُﺒﹾﻟﺍ
ﹶﻝﹶﺎﻘﹶﻓ
ﹶﺍﺫِﺍ
َﺖْﻌَﻳﺎَﺑ
ﹾﻞﹸﻘﹶﻓ
ﹶﺔَﺑﹶﻼِﺧﹶﻻ
Artinya: "Dari Ibn Umar : Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa ia tertipu ketika berjual beli, maka Nabi menyatakan : Jika engkau berjual beli maka katakanlah : Tidak boleh menipu".
4) Syarat nilai tukar (hitung barang)
a) Syarat harga menurut ulama’ fiqh sebagai berikut :
(1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya
(2) Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi) sekalipun secara hukum pembayarannyapun harus jelas waktunya
(3) Apabila jual beli dilakukan selain barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar dan bukan barang yang diharamkan oleh syara’.16
b) Syarat lain yang berkaitan dengan rukun jual beli
Syarat sah jual beli, ulama’ fiqh menyatakan jual beli dinyatakan sah apabila :
(1) Jual beli terhindar dari cacat, baik jenis, kualitas maupun kuantitas
(2) Apabila yang diperjual belikan adalah barang yang bergerak, maka barang tersebut langsung bisa dikuasai oleh pembeli dan harga barang yang dikuasai penjual
c) Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli
Jual beli barang dapat dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli, misalnya barang milik sendiri (bukan milik orang lain atau terkait dengan barang itu).17
d) Syarat sah akad
Syarat sah akad terbagi menjadi 2 (dua), yaitu umum dan khusus.
(1) Syarat umum
Syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli ditetapkan oleh syara’ diantaranya adalah syarat-syarat yang disebutkan diantaranya adalah syarat-syarat harus terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan walet, penipuan, kemudharatan, dan syarat-syarat yang merusak lainnya.
(2) Syarat khusus
Syarat khusus adalah syarat yang hanya pada barang-barang tertentu. Jual beli ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(a) Barang yang diperjual-belikan harus dipegang, yaitu pada jual beli benda yang harus dipegang yang apabila dilepaskan akan rusak atau hilang
(b) Harga awal harus dikatakan, yakni pada jual beli amanat (c) Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah, yaitu
pada jual beli yang bendanya ditempat (d) Terpenuhi syarat penerimaan
(e) Harus seimbang antara ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli yang memakai ukuran atau timbangan
(f) Harus sesuai dengan perjanjian awal
(g) Barang yang diperjual belikan sudah menjadi tanggung jawab oleh karena itu tidak boleh menjual barang yang masih berada di tangan penjual
e) Syarat lazim (kemestian)
Syarat ini hanya ada satu yaitu akad jual harus terlepas dari khiyar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang akad dan akan menyebabkan batal akad.18
4. Macam-macam jual beli
Macam-macam jual beli dapat ditinjau dari beberapa macam aspek, diantaranya :
a. Dilihat dari barang yang diperperjual-belikan menurut ulama’ Malikiyah membagi menjadi 2 bagian, yaitu :19
1) Jual beli manfaat (ِﻊِﻓﺎﱠﻨﻟاُﻊْﻴَﺏ) 2) Jual beli barang (ِنَﺎﻴْﻋَﻷْاُﻊْﻴَﺏ) b. Dilihat dari bentuk
1) Jual beli mutlaq adalah jual beli uang dengan barang
2) Jual beli muqayyadah adalah jual beli barang dengan barang 3) Jual beli s}arf adalah jual beli uang dengan uang
4) Jual beli salam adalah jual beli pesanan dengan menentukan sifat-sifatnya, jenis barangnya secara rinci dengan harga ditetapkan terlebih dulu
5) Jual beli mura>bah}ah} adalah jual beli dengan mencari keuntungan (harga jual beli tinggi daripada harga pembelian) atau jual beli barang dengan pembayaran cicilan (bai’ bistaman ajil) dengan tambahan marjin keuntungan yang disepakati
6) Jual beli musawah adalah jual beli biasa disertai dengan tawar menawar antara keduanya antar suatu barang
7) Jual beli tawliah adalah jual beli tidak menguntungkan yaitu menjual dengan harga aslinya20
19 Abd. Rahman al-Jaziri, Fiqh Empat Maz\hab, h. 9 20 Rahmad Syafe’i, Fiqh Muamalah, h. 101
8) Jual beli jizaf yaitu menjual sesuatu atau benda yang belum diketahui perkiraannya secara terperinci
c. Dilihat dari ketentuan syara’, jual beli ada 3 macam, yaitu :
1) Jual beli sahil adalah yang memenuhi ketentuan syari’ah hukumnya suatu yang diperjual-belikan menjadi milik pelaku
2) Jual beli bathil adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau tidak sesuai dengan ketentuan syari’at, yakni orang yang bukan ahli akad seperti jual beli yang dilakukan oleh anak kecil
3) Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syari’at pada asalnya tetapi tidak sesuai dengan syari’at pada sifatnya. Seperti jual beli pada yang dilakukan oleh mumayiz tapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.21
5. Gharar
Gharar (ُرَﺮَﻐْﻟاَ) artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada obyek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan obyek akad tersebut.
Menurut Imam Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam. Para ulama' fikih mengemukakan beberapa definisi gharar.
Imam al-Qarafi mengemukakan gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli ikan yang masih dalam air (tambak).
Pendapat al-Qarafi ini sejalan dengan pendapat imam as-Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memandang gharar dari ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak, seperti menjual sapi yang sedang dilepas.
Ibnu Hazam memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi akad tersebut.
Menurut ulama' fikih, bentuk-bentuk gharar yang dilarang adalah: a. Tidak ada kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada
waktu terjadi akad, baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada ( ُﻊْﻴَﺏ
ِمْوُﺪْﻌَﻤْﻟا). Umpamanya, menjual janin yang masih dalam perut binatang
ternak tanpa menjual induknya. Contoh lain adalah menjual ikan yang masih dalam air (tambak).
b. Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Apabila barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahkan kepada pembeli, maka pembeli itu belum boleh menjual barang itu kepada pembeli lain. Akad semacam ini mengandung gharar, karena
terdapat kemungkinan rusak atau hilang obyek akad, sehingga akad jual beli pertama dan yang kedua menjadi batal.
c. Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Wahbah az-Zuhaili berpendapat, bahwa ketidakpastian tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar larangannya.
d. Tidak ada kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang dijual. Umpamanya: penjual berkata: "Saya jual sepeda yang ada di rumah saya kepada anda", tanpa menentukan ciri-ciri sepeda tersebut secara tegas. Termasuk ke dalam bentuk ini adalah menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum layak dikonsumsi.
e. Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Umpamanya: orang berkata: "Saya jual beras kepada anda sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini". Padahal jenis beras juga bermacam-macam dan harganya juga tidak sama.
f. Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad. Umpamanya: setelah seseorang meninggal. Jual beli semacam ini termasuk gharar, karena obyek akad dipandang belum ada.
g. Tidak ada ketegasan bentuk transaksi, yaitu ada dua macam atau lebih yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih waktu terjadi akad. Umpamanya: sebuah motor dijual dengan harga Rp. 10.000.000,- dengan harga tunai dan Rp. 12.000.000,-
dengan harga kredit. Namun sewaktu terjadi akad, tidak ditentukan bentuk transaksi mana yang akan dipilih.
h. Tidak ada kepastian obyek akad, karena ada dua obyek akad yang berbeda dalam satu transaksi. Umpamanya: salah satu dari dua potong pakaian yang berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama. Termasuk ke dalam jual beli gharar adalah jual beli dengan cara undian dalam berbagai bentuknya.
i. Kondisi obyek akad, tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Umpamanya : menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit. Di dalamnya terdapat jual beli gharar, karena baik penjual maupun pembeli berspekulasi dalam transaksi ini. 22
B. ’Ariyah dalam Hukum Islam 1. Pengertian ’Ariyah
Dewasa ini seiring dengan perkembangan zaman model dan ragam pinjam meminjam bayak modelnya. Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa adalah pinjaman. Sedangkan pinjaman menurut istilah ‘ariyah ada beberapa pendapat :
a. Menurut ulama’ Hanafiyah
ُﻚِﻠْﻤَﺗ
ِﻊِﻓﹶﺎﻨَﻤﹾﻟﺍ
َﺠَﻣ
ﹰﺎﻧﺎ
Artinya: ”Memiliki manfaat secara cuma-cuma” 23
b. Menurut ulama’ Malikiyah
ُﻚِﻠْﻤَﺗ
ٍﺔَﻌﹶﻔْﻨَﻣ
ٍﺔَﺘﱠﻗَﺆُﻣ
ٍﺽْﻮَﻌِﺑﹶﻻ
Artinya: ”Pemilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”24
c. Menurut ulama’ Salafiyah
ﹸﺔَﺣﹶﺎﺑِﺇ
ُﻉﹶﺎﻘِﺘْﻧِﻻﹾﺍ
ْﻦِﻣ
ٍﺺْﺨَﺷ
ْﻴِﻓ
ِﻪ
ﹶﺔﱠﻴِﻠْﻫﹶﺍ
ِﻉﱡﺮَﺒﱠﺘﻟﺍ
ﹶﺎﻤِﺑ
ُﻦِﺤَﻳ
ُﻉﹶﺎﻘِﺘْﻧِﻻﹾﺍ
ِﻪِﺑ
َﻊَﻣ
ِﺀﺎﹶﻘَﺑ
ِﻪِﺘْﻴَﻋ
ُﻩﱡﺩُﺮَﻴِﻟ
ﻰﹶﻠَﻋ
ِﻉﱡﺮَﺒَﺘُﻤﹾﻟﺍ
Artinya: ”Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya” 25
d. Menurut ulama’ Hanabilah
ﹸﺔَﺣﹶﺎﺑِﺇ
ِﻊﹾﻔَﻧ
ِﻦْﻴَﻌﹾﻟﺍ
ِﺮْﻴَﻐِﺑ
ٍﺽْﻮَﻋ
َﻦِﻣ
ِﺮِﻌَﺘْﺴُﻤﹾﻟﺍ
ْﻭﹶﺍ
ِﻩِﺮْﻴﹶﻏ
Artinya: ”Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya” 26
e. Menurut Ibn Rifa’ah
ﹸﺔَﺣﹶﺎﺑِﺇ
ُﻉﹶﺎﻘِﺘْﻧِﻻﹾﺍ
ﹶﺎﻤِﺑ
ُﱡﻞِﺤَﻳ
ُﻉﹶﺎﻘِﺘْﻧِﻻﹾﺍ
ِﻪِﺑ
َﻊَﻣ
ِﺀﺎﹶﻘَﺑ
ِﻪِﺘْﻴَﻋ
ُﻩﱡﺩُﺮَﻴِﻟ
Artinya: ”Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan” 27
23 Abd al-Rahman al-Jaziri,Fiqh ’Ala Madzahib al-Arba’ah. h. 270 24 Ibid
25 Ibid, h. 271 26Ibid
Dengan dikemukakannya definisi-definisi manurut para ahli di atas, kiranya dapat dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, namun materi permasalahannya dari definisi tentang ‘ariyah tersebut sama. Jadi, yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis).
2. Dasar Hukum ‘Ariyah
Islam telah menetapkan dasar-dasar yang mengatur tentang ‘ariyah baik berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
a. Al-Qur’an
...
ﺍﻮُﻧَﻭﺎَﻌَﺗَﻭ
ﹶﻠَﻋ
ﻰ
ﱢﺮِﺒﹾﻟﺍ
ﻯَﻮﹾﻘﱠﺘﻟﺍَﻭ
ﺎﹶﻟَﻭ
ﺍﻮُﻧَﻭﺎَﻌَﺗ
ﻰﹶﻠَﻋ
ِﻢﹾﺛِﺈﹾﻟﺍ
ِﻥﺍَﻭْﺪُﻌﹾﻟﺍَﻭ
....
)
ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ
:
2
(
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran....” (Q.S. al-Ma>idah: 2). 28
b. As-Sunnah
ْﻦَﻣ
َﺲﱠﻔَﻧ
ْﻦَﻋ
ٍﻦِﻣْﺆُﻣ
ﹰﺔَﺑْﺮﹸﻛ
ْﻦِﻣ
ِﺏْﺮﹸﻛ
ﹶﺎﻴْﻧﱡﺪﻟﺍ
َﺲﱠﻔَﻧ
ُﷲﺍ
ُﻪْﻨَﻋ
ﹰﺔَﺑْﺮﹸﻛ
ْﻦِﻣ
ٍﺏْﺮﹸﻛ
َﻡْﻮَﻳ
ِﺔَﻣﹶﺎﻴِﻘﹾﻟﺍ
Artinya: ”Barang siapa yang melepaskan kesusahan orang mu’min dari kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di hari kiamat”. 29
3. Rukun dan Syarat ‘Ariyah a. Rukun ‘Ariyah
Pinjam meminjam dianggap telah terjadi apabila sudah terpenuhi
28 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 1107 29 Ghayah al-Muthaha, Juz II, h. 66
rukun dan syaratnya. Rukun merupakan unsur yang harus dipenuhi dalam setiap perbuatan hukum sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Adapun rukun ‘ariyah ada 4, yaitu :
1) Mu’ir (peminjam)
2) Musta’ir (yang meminjamkan) 3) Mu’ar (barang yang dipinjamkan) 4) Sighat30
b. Syarat ‘Ariyah
Untuk lebih jelasnya penyusun menjelaskan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ‘ariyah.
1) Peminjam yang meminjamkan
Al-mu’ir yaitu pihak yang memberikan pinjaman dalam transaksi pinjam meminjam terdapat dua belah pihak (sebagai subyek) yaitu orang yang memberikan pinjaman dan istilah fiqh orang yang memberikan pinjaman disebut al-mu’ir.
Al-musta’ir yaitu pihak yang meminjamkan atau pihak yang diberi pinjaman. Dalam istilah fiqh disebut al-musta’ir.31 Selain
daripada itu para ulama juga mensyaratkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan transaksi pinjam-meminjam haruslah orang yang:
30 Muhammad Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz II, h. 266 31 Ibnu Rusy, Bida>yatul Mujtahid, h. 473
a) Memiliki kecakapan bertindak, tidak diperbolehkan orang yang dalam pengaduan melakukan akad pinjam meminjam, sebab ia dinilai tidak pandai mentasharufkan bendanya.
b) Berakal sehat, tidak gila atau masih bodoh. Begitu juga dengan anak kecil sebab orang yang berakal sehat mengerti akan maksud, tujuan dan konsekwensi dari transaksi yang dilakukannya.
c) Sudah dewasa, bukan anak kecil yang tidak mengerti maksud dan tujuan serta tidak bertanggung jawab dengan apa yang diperbuat sebab orang yang sudah dewasa akan selalu memikirkan untung rugi dari perjanjian yang telah dibuatnya. Selain itu merasa bertanggung jawab terhadap perbuatan hukum yang mereka lakukan.32
Dengan demikian syarat antara peminjam dan yang meminjam haruslah ada, sebab dengan adanya dasar persyaratan tersebut diperkirakan tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan atau merugikan. Karena semua perbuatan yang mereka lakukan sudah dipandang sah secara hukum.
2) Obyek yang dipinjamkan
Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi ada beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:
a) Harta yang dipinjamkan itu haruslah milik sendiri atau harta yang berada di bawah kekuasaan pihak yang meminjamkan
b) Obyek yang dipinjamkan mestilah sesuatu yang harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya
c) Pemanfaatan harta yang dipinjamkan itu berada dalam ruang lingkup kebolehan, artinya tidak pergunakan untuk maksiat.33 3) Sighat (ijab qabul)
Pinjam meminjam dinyatakan berlangsung dengan ucapan dan perbuatan apa saja yang menunjukkan hal tersebut.34
Di samping itu agama tidak memberikan ketentuan khusus tentang bagaimana dan lafad apa yang harus dipakai. Dengan demikian, masalah lafad-lafad yang harus dipergunakan diserahkan kepada masing-masing pihak yang melaksanakan transaksi pinjam meminjam atau sepenuhnya diserahkan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Asalkan pelaksanaannya menunjukkan adanya akad pinjam meminjam yang sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at Islam.
4. Macam-macam ‘Ariyah
a. ‘Ariyah mutlak adalah pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksinya) tidak dijelaskan persyaratan apapun.
b. ‘Ariyah muqayyadah adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi waktu dan kemanfaatannya.35
33 Ibid
34 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 67