IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Perlakuan Sampel untuk Isolasi Aktinomisetes
Sebelum dilakukan isolasi aktinomisetes, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan metode pra-perlakuan sampel yang paling tepat. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki (mikroba kontaminan), sehingga proses isolasi aktinomisetes menjadi lebih mudah. Sampel yang digunakan untuk penentuan metode pra-perlakuan ini adalah sampel yang diambil dari Pantai Anyer Banten. Hasil pra-perlakuan sampel isolasi aktinomisetes disajikan dalam Tabel 5.
Pra-perlakuan ke-1 sampai dengan ke-5 menunjukkan mikroba kontaminan menutup seluruh permukaan medium agar (Tabel 5). Hal ini akan menekan pertumbuhan aktinomisetes dan mempersulit proses pengambilan koloni aktinomisetes. Pra-perlakuan dengan pemanasan dan pengasaman diharapkan dapat menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif yang banyak terdapat di air laut. Dibandingkan dengan metode 1 sebagai kontrol, metode pemanasan dan pengasaman mampu menekan bakteri kontaminan, terbukti kecepatan pertumbuhan bakteri kontaminan lebih lambat dibandingkan dengan kontrol (metode ke-1). Namun demikian metode pemanasan dan pengasaman belum efektif untuk digunakan dalam isolasi ini, karena pada hari ke-3 permukaan medium agar masih dipenuhi oleh bakteri kontaminan, koloni aktinomisetes akan muncul pada hari ke-15 sampai dengan hari ke-21 (Hozzein et al. 2008; Dhanasekaran et al. 2009). Seperti halnya metode ke-2 dan ke-3, metode isolasi dengan penambahan sikoloheksimid dan nistatin pada medium isolasi, belum dapat menekan pertumbuhan bakteri kontaminan secara keseluruhan. Pada hari ke-3 pertumbuhan bakteri kontaminan masih menutup seluruh permukaan medium agar. Sikloheksimid dan nistatin hanya efektif menghambat pertumbuhan fungi dan khamir. Dengan demikian mikroba yang mampu tumbuh dan berkembang pada medium yang mengandung sikloheksimid dan nistatin diduga adalah kelompok bakteri.
50
Tabel 5 Hasil pra-perlakuan sampel pada proses isolasi aktinomisetes.
Metode ke-
Jenis pra-perlakuan Pengamatan
pertumbuhan mikroba kontaminan
Keterangan
1 Tanpa adanya pra-perlakuan
(kontrol)
Sangat banyak Inkubasi hari ke-2, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba
kontaminan 2 Pemanasan sampel pada 60 °C
selama 4 jam
Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba
kontaminan 3 Pengasaman sampel pada pH 2
selama 2 Jam
Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba
kontaminan 4 Pemanasan sampel pada 60 °C
selama 4 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1 dan nistatin 25 μg mL-1
Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium dipenuhi mikroba kontaminan
5 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan
sikloheksimid 100 μg mL-1 dan nistatin 25 μg mL-1
Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium dipenuhi mikroba kontaminan
6 Pemanasan pada 60 °C selama 4 jam dan penambahan
sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam
nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1
Sedang Pertumbuhan koloni terpisah
dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan
7 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan
sikloheksimid 100μg mL-1, nystatin 25 μg mL-1, asam
nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1
Sedang Pertumbuhan koloni terpisah
dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan
8 Pemanasan pada 60 °C selama 4 jam dan penambahan
sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 40 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1
Tidak tumbuh Pertumbuhan koloni aktinomisetes juga tertekan (tidak tumbuh)
9 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan
sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 45 μg mL-1, asam nalidiksat 30 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1
Tidak tumbuh Pertumbuhan koloni aktinomisetes juga tertekan (tidak tumbuh).
Keterangan : Komposisi medium isolasi; soluble starch 10 g, pepton 2 g, ekstrak khamir 4 g, agar 16 g dalam 1000 mL air laut
Selanjutnya penambahan antibiotik rifampisin 5 μg mL-1 dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 terlihat mampu menekan pertumbuhan bakteri Gram-postif dan Gram-negatif. Kombinasi antara pra-perlakuan pemanasan atau pengasaman dengan penambahan antibiotik sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan mikroba kontaminan, sehingga pada inkubasi sampai dengan hari ke-21 beberapa koloni aktinomisetes dapat tumbuh dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan, baik itu fungi maupun bakteri lainnya. Namun demikian beberapa koloni fungi dan bakteri tetap tumbuh dalam medium agar, dan tidak menutup koloni lainnya. Menurut Seong et al. 2001 pemanasan suspensi sampel pada suhu 70 °C selama 15 menit mampu menurunkan populasi bakteri Gram-negatif dan fungi kontaminan, serta dapat menaikkan rasio koloni aktinomisetes. Penambahan nistatin 50 μg mL-1 dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan fungi dalam medium isolasi. Menurut Pisano et al. (1989) rifampicin 2,5 μg mL-1 efektif menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif. Namun demikian komposisi dan konsentrasi antibiotik dalam medium isolasi yang digunakan akan berbeda tergantung dari biodiversitas mikrooganisme di dalam sampel. Pada penelitian ini penggunaan pra-perlakuan kombinasi pemanasan atau pengasaman sampel yang dikombinasikan dengan sikloheksimid dan nistatin belum sepenuhnya efektif untuk mengurangi sejumlah bakteri kontaminan. Kombinasi metode pra-perlakuan pemanasan atau pengasaman dengan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 dalam medium agar, lebih efektif menghambat mikroba kontaminan dan meningkatkan jumlah koloni aktinomisetes. Rifampisin diketahui efektif menghambat bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, serta mampu menghambat mikobakterium yang banyak terdapat di daerah perairan. Namun demikian pada penambahan konsentrasi rifampisin dan asam nalidiksat menjadi dua kalinya (pra-perlakuan ke-8 dan ke-9) ternyata berakibat menghambat pertumbuhan koloni aktinomisetes dan mikroba lainnya. Sampai dengan inkubasi 21 hari, belum ada koloni aktinomisetes yang mampu tumbuh pada medium isolasi tersebut. Dengan demikian pada tahap selanjutnya akan digunakan pra-perlakuan dengan metode ke-6 dan ke-7.
52
IV.2. Isolasi Aktinomisetes
Hasil isolasi aktinomisetes laut yang diambil dari tiga lokasi diperoleh 5 isolat dari pantai utara Cirebon, 29 isolat dari Pantai Anyer Banten, dan 6 isolat dari Pantai Kukup Gunung Kidul Yogyakarta. Jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi setiap bobot sampel sedimen laut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan isolasi aktinomisetes dari tanah. Namun demikian potensi untuk mendapatkan mikroba unggul dari aktinomisetes laut lebih besar karena kondisi lingkungan laut yang lebih bervariasi dibandingkan di tanah. Menurut Goodfellow (1983) bahwa walaupun jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi dari laut cenderung lebih sedikit dibandingkan dari tanah namun demikian karakteristik aktinomisetes laut lebih bervariasi dan lebih berpotensi.
Pada komposisi medium isolasi dan sejumlah antibiotik yang ditambahkan sama, maka apabila dilihat dari kedua proses pra-perlakuan yaitu dengan menggunakan panas (heatshock treatment) dan menggunakan pengasaman (acid treatment) maka terlihat bahwa pra-perlakuan dengan pemanasan lebih efektif dibandingkan pra-perlakuan dengan pengasaman. Praperlakuan pemanasan terbukti mampu menekan pertumbuhan bakteri kontaminan yang biasanya akan tumbuh pada awal inkubasi. Sebaliknya pra-perlakuan asam terbukti masih banyak bakteri kontaminan yang tumbuh dan menyebabkan sulitnya proses pemurnian koloni aktinomisetes. Menurut Hoskisson et al. (2000) perlakuan pemanasan sampel pada 60 °C mampu meningkatkan 5 kali jumlah spora Micromonospora echinospora yang dikulturkan dibandingkan tanpa pemanasan. Disamping mampu menekan bakteri kontaminan perlakuan pemanasan terbukti mampu meningkatkan aktivasi proses respirasi spora dan memacu penggunaan senyawa yang digunakan. Apabila pemanasan dinaikkan menjadi 70 °C, maka waktu yang dibutuhkan untuk proses aktivasi menjadi lebih pendek, namun terjadi pengurangan jumlah spora yang dikulturkan. Pemanasan sampel pada suhu 50 °C selama 30 menit tidak berpengaruh tarhadap pertumbuhan spora yang dikulturkan dibandingkan kontrol. Hal yang sama disampaikan oleh Karwowski (1986) bahwa pemanasan pada suhu 70 °C dalam waktu lebih dari 30 menit berpotensi mengurangi jumlah spora yang dapat dikulturkan pada medium isolasi. Hal yang
sama dilakukan oleh Seong et al. (2001). Pemanasan suspensi sampel pada 70 °C dalam waktu lebih dari 30 menit dengan kombinasi penambahan Nistatin 50 μg
mL-1dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan mikroba kontaminan seperti khamir dan fungi.
Apabila dilihat dari jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi setiap lokasi pengambilan sampel, terlihat bahwa sampel dari Pantai Anyer Banten menunjukkan jumlah aktinomisetes terbanyak dibanding dengan sampel dari pantai Selatan Yogyakarta dan pantai Utara Cirebon. Perbedaan jumlah isolat yang diperoleh dalam setiap lokasi pengambilan sampel terlihat sangat besar. Salah satu penyebab sedikitnya isolat aktinomisetes yang mampu diisolasi dari Pantai Selatan Yogyakarta dan Pantai Utara Cirebon diduga adalah rentang waktu yang cukup lama antara pengambilan sampel dengan proses penyebaran sampel dalam medium agar (medium isolasi). Hal ini menyebabkan bakteri kontaminan tumbuh secara cepat dan bertambah banyak, sehingga mempersulit proses isolasi. Sebagian besar sampel dari pantai Utara Cirebon dan Pantai Selatan Yogyakarta menunjukkan pertumbuhan bakteri kontaminan yang cepat dan menutup seluruh permukaan medium isolasi dalam satu minggu inkubasi yang menyebabkan sulit tumbuhnya aktinomisetes.
IV.3. Penapisan Aktinomisetes Penghasil Antimikroba
Penapisan aktinomisetes dilakukan untuk menentukan dan memilih isolat-isolat yang memiliki aktivitas antimikroba. Penapisan aktinomisetes dilakukan dengan menggunakan uji hambatan terhadap beberapa mikroba uji dengan metode difusi agar. Mikroba uji yang digunakan adalah Escherichia coli ATCC 25922 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC27853 yang termasuk bakteri Gram-negatif, Staphylococcus aureus ATCC25923 dan Bacillus subtilis ATCC 66923 yang termasuk bakteri Gram-positif, Aspergillus niger BIOMCC00134 yang termasuk dalam golongan fungi, dan Candida albicans BIOMCC00122 yang termasuk dalam golongan khamir. Dari 40 isolat yang telah diisolasi diperoleh 4 isolat yang mampu menghambat Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat mampu menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat mampu menghambat
54
Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolat mampu menghambat Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, 5 isolat mampu menghambat Candida albicans BIOMCC00122, dan 4 isolat mampu menghambat Aspergillus niger BIOMCC00134. Hasil penapisan aktinomisetes selengkapnya disajikan dalam Tabel 6.
Hasil penapisan memperlihatkan bahwa isolat A11 (isolat dari Pantai Barat Banten) memiliki daya anti bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif yang kuat. Isolat PCL11, A64, dan YK21 memiliki aktivitas antifungi dan tidak memiliki aktivitas terhadap bakteri. Isolat A64 menunjukkan hambatan yang paling kuat terhadap Aspergillus niger BIOMCC00134, dan isolat A44 menunjukkan hambatan paling kuat terhadap Candida albicans BIOMCC00122. Studi lebih lanjut dipilih isolat A11 yang menunjukkan aktivitas antibakteri paling kuat. Selanjutnya dilakukan identifikasi morfologi dan filogenik terhadap isolat A11.
Dilihat dari morfologinya, isolat A11 terlihat memiliki hifa yang bercabang dengan arah horisontal maupun vertikal dan terdapat beberapa kantong spora pada ujung hifa seperti yang disajikan dalam Gambar 6a. Dengan mata telanjang, morfologi A11 terlihat warna putih terang, dengan permukaan yang berlipat-lipat, hifa yang panjang membentuk miselium dan terbentuk beberapa hifa antena (aerial hyphae) yang timbul secara vertikal (Gambar 6b), serta miselium substrat yang berwarna putih kecoklatan yang menembus ke dalam medium agar. Adanya aerial hyphae dan miselium substrat yang menembus ke medium agar merupakan salah satu ciri khas Streptomyces. (Goodfellow dan William 1988). Pada awal pertumbuhan terbentuk koloni tunggal berbentuk bulat, selanjutnya akan berkembang hifa yang memanjang. Koloni tunggal berbentuk bulat yang semakin lama diinkubasi diameter koloni akan semakin melebar. Morfologi isolat Streptomyces sp.A11 disajikan dalam Gambar 6.
Tabel 6 Hasil isolasi dan penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba.
Daya hambatan terhadap bakteri&fungi (diameter zona bening dalam mm) No Kode
isolat perlakuan Jenis sampel
Lokasi
isolasi E.coli S.aureus B.subtilis P.aeruginosa C.albicans A.niger
1 PCL11 HS PUC 7 2 PCL12 HS PUC 3 PCL13 HS PUC 7 7 7 7 4 PCL14 HS PUC 5 PCL15 HS PUC 6 A61 HS PA 7 A62 HS PA 8 A63 HS PA 9 A64 HS PA 15 10 A65 HS PA 11 A66 HS PA 12 A67 A PA 13 A68 A PA 14 A69 A PA 15 A610 A PA 12 16 A611 A PA 17 A11 HS PA 14 15 14 14 18 A12 HS PA 19 A21 HS PA 7 9 20 A23 A PA 21 A24 A PA 22 A31 HS PA 23 A32 HS PA 12 7 24 A33 HS PA 25 A41 HS PA 26 A42 HS PA 27 A43 A PA 10,16 8,67 9,51 28 A44 A PA 10,61 29 A45 A PA 30 A51 HS PA 31 A52 HS PA 32 A53 HS PA 33 A54 HS PA 8,56 8,67 34 A56 A PA 35 YK11 HS PSY 36 YK12 HS PSY 37 YK21 HS PSY 14 38 YK41 HS PSY 9,71 8,71 9,53 9,01 39 YK42 A PSY 40 YK43 A PSY 8,58 Keterangan :
PUC : Pantai utara Cirebon PA : Pantai Anyer
PSY : Pantai Selatan Yogyakarta
HS : Heat shock treatment (perlakuan dengan pemanasan pada suhu 60 °C selama 4 jam) A : Acid treatment (perlakuan sampel dengan pengasaman pada pH 2 selama 2 jam)
56
(a)
(b)
Gambar 6 Morfologi isolat Streptomyces sp. A11. (a). Morfologi Streptomyces sp. A11dengan perbesaran 40x (b). Morfologi Streptomyces sp. A11 tanpa perbesaran.
Menurut Awad et al. (2009) morfologi Streptomyces sp. dapat dilihat dari hifa antena (aerial hyphae), miselium substrat, bentuk permukaan koloni, dan warna. Namun demikian identifikasi melalui morfologi saja tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, sehingga perlu dilakukan identifikasi secara genetik (Annaliesa et al. 2001). Menurut Srinivasan et al. (1991) morfologi Streptomyces, khususnya pada hifa antena (aerial hyphae) dan miselium substrat bersifat karakteristik namun demikian dapat berubah bentuknya tergantung dari komposisi substrat.
Identifikasi secara genetik dilakukan dengan menggunakan 16S rRNA. Analisa partial sekuens 16S rRNA dari isolat A11 dibandingkan dengan sekuens seluruh bakteri yang ada didalam database Gen-Bank dengan menggunakan program BLAST yang diakses dari website http://www.ncbi.nlm.nih. gov/. BLAST. Dengan menggunakan 16S rRNA diperoleh informasi bahwa isolat A11 memiliki kekerabatan terdekat dengan Streptomyces sp. (homology 100%) kelas Actinobacteria, ordo Actinomycetales, famili Streptomycetaceae, dan genus Streptomyces. Urutan nukleotida fragmen gen dan kedekatan (homology) yang dibandingkan dengan gen spesies lainnya disajikan dalam Lampiran 6.
Analisis dengan pohon filogenik (Gambar 7) yang dikumpulkan dari beberapa data spesies genus Streptomyces diketahui bahwa isolat ini mempunyai kedekatan dengan S. tanashiensis subsp.cephalomyceticus yang dikenal banyak menghasilkan senyawa antimikroba. Isolat S. tanashiensis subsp. cephalomyceticus dikenal mampu mensintesis TAK-637 (tachykinin receptor antagonist) (Tarui et al. 2001). Jika dibandingkan dengan Streptomyces
indonesiaensis yang berasal dari Indonesia, isolat A11 justru lebih dekat dengan S. tanashiensis subsp. Cephalomyceticus, S. Microflavus, S. Africanus, Parastreptomyces abscessus, dan Streptoallomorpha polyantibiotica.
Gambar 7 Pohon filogenik isolat A11 yang didentifikasi sebagai Streptomyces sp. Setelah dilakukan identifikasi secara morfologi dan filogenik pada isolat Streptomyces sp. A11, tahap selanjutnya adalah mengetahui aktivitas antibakteri yang dimiliki oleh isolat tersebut. Uji aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak supernatan maupun ekstrak biomassanya. Ekstrak aktif ditunjukkan pada ekstrak supernatan dan tidak ditunjukkan pada ekstrak biomassa (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif yang diproduksi oleh isolat A11 bersifat ekstraselular. Hasil uji aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa isolat A11 merupakan isolat yang memiliki aktivitas antibakteri paling kuat, baik bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif (Gambar 8).
58
A B
C D
Gambar 8 Daya hambat senyawa aktif terhadap (A) Bacillus subtilis ATCC 66923, (B) Escherichia coli ATCC 25922, (C) Staphylococcus aureus ATCC25923, (D) Pseudomonas aeruginosa ATCC27853
Tabel 7 Uji aktivitas antimikroba ekstrak supernatan dan biomasa hasil fermentasi isolat Streptomyces sp. A11
Diameter zona bening (mm) Sampel Uji Staphilococcus aureus ATCC
25922 Bacillus subtilis ATCC 66923 Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 Escherichia coli ATCC 25922 Candida albicans BIOMCC0 0122 Aspergillus niger BIOMCC00 134 Ekstrak biomasa - - - - - - Ekstrak supernatan 10,39 24,43 9,64 9,55 - - kontrol (rifampisin 500 ppm) 21,27 44,57 10,08 10,12 - -
Diameter kertas cakram : 6 mm
Hal yang sama ditunjukkan pada kromatogram HPLC, yaitu kromatogram hasil analisis ekstrak biomassa tidak menunjukkan adanya puncak, sedangkan kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan menunjukkan beberapa puncak yang salah satu puncak tersebut adalah senyawa aktif. Kromatogram hasil analisis ekstrak biomassa dan supernatan disajikan dalam Gambar 9. Pada tahap selanjutnya ekstrak yang digunakan untuk proses pemurnian dan elusidasi struktur molekul hanya digunakan ekstrak supernatannya saja.
b
AU 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 Minutes 5.00 10.00 15.00 20.00 12 .10 4a
menit menitGambar 9 Kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan (a) dan biomassa (b) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11
IV.4. Pemurnian dan Identifikasi Senyawa Aktif yang Dihasilkan oleh
Streptomyces sp.A11
Sebanyak 5 l kaldu fermentasi yang telah mengalami perlakuan sonifikasi untuk memecah sel, disentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit. Sel beserta supernatan dipisahkan, dan masing-masing diekstraksi dengan pelarut organik dan dikeringkan sampai diperoleh bobot konstan. Sebanyak 5 l kaldu fermentasi diperoleh bobot kering sel sisa ekstraksi sebanyak 4,73 g L-1, bobot kering ekstrak sel dengan metanol sebanyak 2,72 g L-1 dan bobot kering ekstrak supernatan dengan etil asetat sebanyak 0,33 g L-1. Ekstrak supernatan yang terbukti menunjukkan aktivitas antimikroba selanjutnya dipurifikasi dengan menggunakan kromatografi kolom dan HPLC preparatif. Fraksi-fraksi yang dihasilkan dalam proses purifikasi dengan kromatografi kolom dan HPLC prepratif ditampung dan masing-masing fraksi diuji aktivitas antibakterinya untuk menentukan fraksi mana yang memiliki aktivitas. Selanjutnya untuk mengetahui profil kromatogram hasil pemurnian maka fraksi aktif dianalisis menggunakan HPLC analitik. Hasil HPLC analitik menggunakan kolom Water Column symmetry C18 (4,6 x 250 mm, Part No.WAT054275) menunjukkan bahwa senyawa aktif hasil pemurnian memiliki kemurnian yang relatif tinggi (Gambar 10a). Senyawa aktif ini dicirikan dengan waktu retensi 12,1 menit dan memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 210 dan 274,5 nm (Gambar 11b).
60
Menurut Kumar et al. 2009 sebagian besar antibiotik golongan peptida memiliki serapan panjang gelombang maksimum pada 210-230 dan 270-280 nm. Serapan pada panjang gelombang 220-230 nm berhubungan dengan karakteristik serapan ikatan peptida. Kromatogram HPLC analitik dan spektrum serapan UV vis antibiotik yang telah dimurnikan disajikan dalam Gambar 10a & 10b.
(a) AU 0.00 1.00 2.00 Minutes 5.00 10.00 15.00 20.00
12
.0
6
1
AU 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 nm 250.00 300.00 350.00 210.6 274.5 (b) menit (a)Gambar 10 (a) Kromatogram HPLC analitik senyawa aktif murni hasil isolasi. (b) Spektrum serapan UV vis senyawa aktif murni hasil isolasi. Senyawa aktif murni yang diperoleh selanjutnya ditentukan bobot molekul dan struktur molekulnya menggunakan LC-MS, 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C NMR, dan FTIR. Dari hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar 260 g mol-1, pada LC-MS m/z (M+H)+ ditunjukkan sebesar 261 (Gambar 11).
Dari database program LCT Premier-XE Waters menunjukkan bahwa senyawa ini memiliki 14 atom karbon, 16 atom hidrogen, 2 atom nitrogen, dan 3 atom oksigen.
Gambar 11 Spektrum LC-MS m/z 261 (M+H)+ senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.
Selanjutnya hubungan tata letak atom karbon dan atom hidrogen ditentukan menggunakan 1HNMR, 13CNMR, DEPT 13CNMR. Spektrum 1HNMR yang diperoleh dari Bruker AV-500 (500 MHz) dengan tetramethylsilane (TMS) sebagai standar internal dalam pelarut metanol-D4 dan memberikan data sebagai berikut; δH: 4,4 (t, 1H), 4,0(1H, dd), 2,1 (2H, m), 1,8 (2H, m), 3,5 (2H, dd), 3,1
(2H, dd), 7,0 (2H, d), 6,7 (2H, d), dan δC : 170,8 (s), 58,0 (d), 167,0 (s), 60,1 (d),
29,4 (t), 22,5 (t), 45,9 (t), 37,7 (t), 127,7 (s), 132,1 (d), 116,3 (d), 157,7 (s). Spektrum 1HNMR dan 13CNMR ditunjukkan pada Gambar 12a dan 12b.
62
12. (a)
12.(b)
Gambar 12 Spektrum 1HNMR (a) dan spektrum 13CNMR (b) senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.
Dari hasil interpretasi spektrum LC-MS, 1HNMR, dan 13C NMR, diduga struktur molekul senyawa tersebut adalah seperti yang disajikan dalam Gambar 13.
Gambar 13 Struktur molekul senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11
Dua singlet atom karbon yang merupakan atom karbon dari gugus keton pada δC 170,8 (s)(C1) dan δC 166,9 (s) (C4) (Gambar 12b). Analisis lebih lanjut
dari spektrum 13C, dua atom karbon yang tidak tersubstitusi ditunjukkan pada δC
127,7 (C1’) dan 157,7 (C4’). Enam karbon methine ditunjukkan pada δC 57,9
(C3), 60,1 (C6), 132,1 (C2’), 116,3 (C3’), 116,2 (C5’), 132,1 (C6’), dan empat karbon methylene ditunjukkan pada δC 29,4 (C7), 22,5 (C8), 45,9 (C9), 37,7
(C10).
DEPT 135° dan 90° (Gambar 14) menunjukkan ada enam karbon methine [δC 57,9 (C3), 60,1 (C6), 132,1 (C2’), 116,3 (C3’), 116,2 (C5’), 132,1 (C6’)] dan
empat karbon methylene [δC 29,4 (C7), 22,5 (C8), 45,9 (C9), 37,7 (C10)]. Dari
spektrum DEPT 13C NMR terlihat puncak (C6’) tumpang tindih dengan (C2’) dan (C3’) tumpang tindih dengan (C5’). Hal ini disebabkan posisi (C6’) simetri dengan (C2’) dan (C3’) simetri dengan (C5’) yang mendapatkan pengaruh atau gugus tetangga dan awan elektron yang sama besar.
Apabila dilihat dari geseran kimianya, proton pada posisi C3’ dan C5’ lebih upfield dibandingkan dengan proton pada posisi C2’ and C6’, hal ini disebabkan karena efek lindungan (shielding effect) dari gugus hidroksi pada posisi C4’ dan membentuk posisi ortho dengan atom C3’ and C5’. Hal yang sama terjadi pada C1’ (posisi para dengan C4’) yang tergeser lebih upfield dibandingkan C2’ dan C6’.
64
Gambar 14 Spektrum DEPT 13C NMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat
Streptomyces sp.A11
Hasil analisis menggunakan spektrum infra merah (Gambar 15), pita karakteristik senyawa ini ditunjukkan pada 3383 cm-1 (N-H), 3227 cm-1 (O-H), 2959 cm-1 (saturated C-H), 1660 cm-1 (C=O), 1515 cm-1 (cincin benzen), 1456 cm-1 (methine), 1344 cm-1 (methylene), 1232 cm-1 (fenol), 1116 cm-1 (C-O), 827 cm-1 (p-disubstituted benzene ring). Pola spektrum infra merah ini sangat mirip dengan senyawa siklo(tirosil-prolil) yang telah ditemukan sebelumnya oleh Milne et al. (1992). Informasi yang diperoleh dari spectrum infra merah menguatkan bahwa senyawa aktif yang diperoleh adalah siklo(tirosil-prolil). Identifikasi dilanjutkan pada uji titik leleh menggunakan Gallen Kamp Melting Point Bicasa. Hasil uji menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp A11 memiliki titik leleh sebesar 140 °C.
Gambar 15 Spektrum inframerah senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11
Data spektrum infra merah yang menunjukkan gugus fungsional yang terdapat dalam senyawa tersebut memperkuat data 13C NMR dan 1H NMR. Data kombinasi spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menunjukkan posisi atom C dan atom H pada gugus fungsional yang ditunjukkan oleh spektrum Infra Red disajikan dalam Tabel 8.
Senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 termasuk dalam kelompok siklodipeptida dengan nama siklo(tirosil-prolil). Siklo(tirosil-prolil) juga dihasilkan oleh Alternaria alternate yang digunakan sebagai host-specific phytotoxin untuk tumbuhan spotted knapweed (Stierle et al.1988) dan dihasilkan juga oleh Pseudomonas fluorescens GcM5-1A yang diisolasi dari pine wood nematode (PWN), Bursaphelenchus xylophilus (Guo et al. 2007). Menurut Graz et al.(2000) disamping memiliki aktivitas antibakteri, siklo(tirosil-prolil) adalah senyawa yang dapat digunakan untuk mengiduksi pematangan dalam terapi sel kanker, disamping itu menurut Graz et al.(1999) siklo(tirosil-prolil) juga memiliki aktivitas dalam pematangan sel gastrointestinal.
Apabila dibandingkan dengan sebelum diperoleh isolat A11 dari Pantai Anyer Banten, penelitian ini telah mampu memberikan nilai tambah terhadap
66
isolat-isolat mikroba laut yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Dengan ditemukannya senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 maka ada nilai tambah yang diperoleh dari pemanfaatan isolat ini. Siklo(tirosil-prolil) memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dari daftar harga Chem-info di dalam (http://www.chem-info.com/trade/sell/Cyclo(-Pro-Tyr)-518590.html) menunjukkan bahwa harga siklo(tirosil-prolil) murni sebesar US$ 155 per gramnya. Dengan demikian senyawa ini memiliki potensi untuk dikembangkan dan diproduksi.
Tabel 8 Data spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menunjukkan posisi atom C dan H pada gugus fungsionalnya
No δ 13C (ppm) δ 1H (ppm) (dalam MeOD) Gugus fungsional 1 170,8 (s) C O N R 2 3 57,9 (d) 4,4 (t) CH 4 166,9 (s) C O N R 5 6 60,1 (d) 4,0(dd) CH 7 29,4 (t) 2,1 (m) -CH2- 8 22,5 (t) 1,8 (m) -CH2- 9 45,9 (t) 3,5 (dd) CH2 N 10 37,7 (t) 3,1 (dd) -CH2- 1’ 127,7 (s) C R 2’ 132,1 (d) 7,0 (d) =CH- 3’ 116,3 (d) 6,7 (d) =CH- 4’ 157,7 (s) C OH 5’ 116,3 (d) 6,7 (d) =CH- 6’ 132,1 (d) 7,0 (d) =CH-
IV.5. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Senyawa Aktif Siklo(tirosil-prolil)
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) merupakan salah satu metode untuk menentukan daya hambat suatu senyawa tertentu terhadap mikroba uji. MIC banyak digunakan untuk menguji aktivitas secara in vitro suatu senyawa aktif
yang memiliki aktivitas antimikroba Andrews (2001). Pada penelitian ini MIC ditentukan mengikuti metode Bonev et al. (2008) dan Andrews (2001) yang dimodifikasi yaitu dengan cara melarutkan senyawa antibiotik hasil purifikasi dalam beberapa konsentrasi yaitu dari konsentrasi 6500 μg mL-1 sampai dengan
50,5 μg mL-1. Masing-masing konsentrasi diuji aktivitas antibakteri terhadap
bakteri uji menggunakan metode difusi agar. Titik potong sumbu Y pada X=0 dalam kurva yang dibentuk Log [C] (konsentrasi) sebagai sumbu Y melawan X2
(diameter zona bening) sebagai sumbu X merupakan nilai logaritma MIC, dengan demikian besarnya MIC dapat ditentukan. Hasil penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji disajikan dalam Tabel 9, sedangkan kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji disajikan dalam Lampiran 7.
Tabel 9 Minimum Inhibitory Concentration (MIC) siklo(tirosil-prolil)
Konsentrasi hambatan minimum (MIC) µg mL-1
Sampel Escherichia coli
ATCC 25922 Staphylococcus aureus ATCC 25923 Bacillus subtilis ATCC 66923 Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 Senyawa hasil pemurnian 27 80 74 69 Tetrasiklin (senyawa pembanding) 64 256 128 13
Tabel 9 menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi memiliki daya hambat yang kuat melawan bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif. Terhadap Escherichia coli ATCC 25922 yang merupakan kelompok bakteri Gram-negatif, senyawa ini menunjukkan MIC sebesar 27 µg mL-1, demikian juga dengan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 menunjukkan MIC sebesar 69 µg mL-1. Apabila dibandingkan dengan tetrasiklin (kontrol), senyawa hasil isolasi memiliki daya hambat lebih tinggi terhadap Escherichia coli ATCC 25922, namun daya hambatnya lebih rendah terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 2785. Senyawa hasil isolasi juga memiliki hambatan yang kuat terhadap bakteri Gram-positif walaupun hambatannya tidak sekuat Escherichia coli ATCC 25922. Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang merupakan kelompok bakteri Gram-positif, senyawa hasil isolasi memiliki MIC sebesar 80 µg mL-1 dan
68
terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923 memiliki MIC sebesar 74 µg mL-1. Dibandingkan dengan tetrasiklin, senyawa ini masih lebih tinggi daya hambatnya terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus subtilis ATCC 6692. Menurut Tanaka (2001) dan Rhee (2004) sebagian besar antibiotik golongan peptida dikenal memiliki daya hambat yang kuat terhadap bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif. Menurut Rhee (2004) cyclo(leu-pro) memiliki MIC sebesar 16 µg mL-1 terhadap Escherichia coli, MIC 32 µg mL-1 terhadap Bacillus subtilis, MIC 32 µg mL-1 terhadap Pseudomonas aeruginosa, 64 µg mL-1 terhadap Staphylococcus aureus. Selain memiliki aktivitas antibakteri, siklik dipeptida juga memiliki aktivitas sebagai anti virus, dan antitumor. Campuran beberapa siklik dipeptida memiliki efek sinergi terhadap bakteri dan fungi (Rhee 2004).
IV.6. Penentuan Kurva Pertumbuhan Vegetatif Isolat Streptomyces sp.A11
Sebelum dilakukan optimasi proses fermentasi, terlebih dahulu dilakukan penentuan kurva pertumbuhan vegetatif isolat Streptomyces sp.A11 yang digunakan sebagai inokulan dalam proses optimasi fermentasi. Kurva pertumbuhan vegetatif digunakan untuk menentukan waktu yang paling tepat untuk transfer dari kultur vegetatif ke kultur fermentatif, yaitu pada saat mendekati akhir dari fase logaritma. Kultur vegetatif bertujuan untuk memperbanyak sel yang akan digunakan sebagai inokulum pada proses fermentasi. Medium yang digunakan biasanya didesain untuk perbanyakan sel. Pada penelitian ini medium yang digunakan untuk penentuan kurva vegetatif adalah medium khamir ekstrak malt ekstrak (YEME). Medium YEME banyak digunakan untuk perbanyakan sel dalam kultur cair Streptomyces (Daza et al.1989). Kurva dan data pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11 berturut-turut disajikan dalam Gambar 16 dan Lampiran 8.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 10 20 30 40 50 60 70 Waktu (Jam) B io m a ssa se l ( g L -1), g u la (g L -1), p H biomassa gula pH
Gambar 16 Kurva pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11
Gambar 16 menunjukkan bahwa fase penyesuaian atau fase lag terjadi selama kurang lebih 8 jam. Pada fase lag, mikroba mulai menyesuaikan kondisi dan medium fermentasi. Pada fase ini belum terjadi pertumbuhan sel atau laju pertumbuhan sel sama dengan nol. Setelah fase lag selesai selanjutnya masuk pada fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan atau logaritma terjadi pada rentang waktu jam ke-8 sampai dengan jam ke-50. Pada fase ini terlihat juga konsumsi gula dan pertumbuhan sel yang cepat yang diikuti penurunan pH dalam cairan medium. Konsumsi gula oleh mikroba mengakibatkan terbentuknya asam-asam organik hasil hidrolisis gula yang dapat menurunkan derajat keasaman medium Sanchez et al. (2010). Apabila dilihat dari rentang waktu fase logaritma maka proses pemanenan sel vegetatif untuk inokulum pada proses fermentasi dilakukan pada jam ke-40 sampai dengan jam ke-50, yaitu rentang waktu akhir fase pertumbuhan.
IV.7. Penentuan Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp. A11
Setiap mikroba memiliki profil fermentasi yang khas. Perubahan pH medium, konsumsi gula, nitrogen, biomass dapat menggambarkan kondisi fermentasi mikroba tersebut. Profil fermentasi diamati dari beberapa variabel fermentasi seperti perubahan konsentrasi gula, nitrogen total, pH, biomassa, dan
70
konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Kurva dan data profil fermentasi berturut-turut disajikan dalam Gambar 17 dan Lampiran 9.
Gambar 17 menunjukkan bahwa fase penyesuaian (fase lag) terjadi selama kurang lebih 8 jam, yaitu dari jam ke-0 sampai dengan jam ke-8. Pada fase ini tidak terjadi pertumbuhan sel atau laju pertumbuhan sel adalah nol. Walaupun medium awal fermentasi sudah mengandung glukosa, namun pertumbuhan sel mikroba masih memerlukan tahap penyesuaian medium. Adanya perbedaan komposisi medium vegetatif dengan medium fermentatif menyebabkan sistem metabolisme mikroba menjadi berubah, sehingga dibutuhkan waktu untuk menyesuaikan kondisi medium yang baru (Wang et al. 1979). Fase logaritmik terjadi pada jam ke 8 sampai dengan jam ke-40 dengan ditandai penurunan konsentrasi gula yang diiringi pertumbuhan massa sel yang cepat. Pada fase ini laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik maksimum (Stanbury dan Whitaker 1984). Dari hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)
(Lampiran 10a & 10b) menunjukkan bahwa isolat Streptomyces sp.A11 memiliki laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) sebesar 0,04 jam-1 dan rendemen
pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) sebesar 0,6 gram biomassa per
gram substrat. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan spesifik dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat Streptomyces coelicolor dalam pembentukan antibiotik actinohordin (Ulgen dan Mavituna 1993), Streptomyces sp.A11 menunjukkan laju pertumbuhan spesifik dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat yang lebih besar.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 waktu (jam) bobo t k er ing s e l ( g. L -1), gul a ( g .L -1), ni tr og en t ot al ( m g. m L -1)x 1 0 -1 0 5 10 15 20 25 30 35 k ons en tr a s i s ik lo( ti ro s il -p ro lil ) ( m g .L -1 )
bobot kering sel gula
pH nitrogen total
konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
Gambar 17 Profil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11
Menipisnya konsentrasi substrat dalam medium fermentasi mengakibatkan pertumbuhan sel mulai menurun. Pada fase ini terjadi penumpukan produk-produk metabolisme yang dapat menghambat laju pertumbuhan, selanjutnya mikroba masuk fase pada tahap stasioner. Pada fase stasioner pertumbuhan selular berhenti dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokimiawi sel serta terjadi produksi metabolit sekunder (Mangunwidjaja dan Suryani 1994). Pada fase ini merupakan tahapan penting dalam produksi metabolit sekunder. Mikroba mulai tertekan pada akhirnya akan terjadi perubahan sistem metabolisme sel untuk mempertahankan viabilitas sel. Mekanisme reaksi enzim dalam metabolisme yang pada awalnya lebih banyak mendukung pertumbuhan sel akan berubah menjadi metabolisme pertahanan diri (Wang et al, 1979). Gambar 17 terlihat bahwa fase stasioner dimulai jam ke-48, namun demikian produksi siklo(tirosil-prolil) terjadi mulai jam ke-60 sampai dengan jam ke-135. Terlambatnya fase produksi yang ditunjukkan dalam kurva pertumbuhan (Gambar 17) diduga karena masih
72
rendahnya konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dalam kaldu fermentasi yang tidak terdeteksi dalam proses analisis.
Pengamatan nilai pH medium fermentasi dapat digunakan untuk mengetahui adanya aktivitas pertumbuhan sel. Apabila dilihat dari profil perubahan pH, terlihat bahwa dari jam ke-0 sampai dengan jam ke-45 terjadi penurunan pH seiring dengan penurunan konsentrasi gula. Hal ini disebabkan terjadinya hidrolisis gula yang diubah menjadi asam-asam organik yang menyebabkan suasana medium fermentasi menjadi asam. Dengan demikian secara tidak langsung bahwa penurunan pH menunjukkan adanya konversi substrat menjadi senyawa lain seperti asam organik, dan protein. Secara umum penurunan pH bersamaan dengan penurunan konsentrasi gula. Pengamatan pH setelah jam ke-45 terjadi kenaikan pH pada medium fermentasi, hal ini disebabkan oleh terjadinya deaminasi protein yang dapat menyebabkan kondisi kaldu fermentasi menjadi lebih basa. Menurut Wang et al. (1979) penggunaan sumber nitrogen organik cenderung memicu naiknya pH fermentasi yang disebabkan oleh terjadinya deaminasi asam amino. Lisis sel atau rusaknya sebagian sel dalam medium fermentasi juga dapat mempengaruhi kenaikan pH medium fermentasi. Sel disusun oleh beberapa protein organik, apabila terjadi kerusakan sel maka terjadi deaminasi asam amino yang mengakibatkan naiknya pH kaldu fermentasi. Kisaran pH selama proses fermentasi terlihat pada kisaran pH 5,8-7,6. Nilai pH ini masih pada batas toleransi aktinomisetes pada umumnya. Menurut Goodfellow et al. (1988) aktinomisetes mampu tumbuh baik pada kisaran pH 6-8. Actinohordin yang dihasilkan oleh Streptomyces coelicolor A3(2) memiliki kisaran pH 7,2-8. Seperti halnya Streptomyces sp. A11, Streptomyces coelicolor A3(2) memiliki profil pH yang mirip dengan Streptomyces sp. A11. Pada fase eksponensial terjadi penurunan pH sampai mendekati fase stasioner, selanjutnya terjadi kenaikan pH sampai dengan pH 8 sampai akhir fermentasi (Ulgen dan Mavituna 1993).
Apabila dilihat dari profil perubahan konsentrasi nitrogen total menunjukkan bahwa kebutuhan nitrogen terjadi dari awal fermentasi sampai dengan akhir fermentasi. Pada awal fermentasi, konsumsi nitrogen digunakan untuk pertumbuhan sel, setelah pertumbuhan berhenti, kebutuhan sumber nitrogen digunakan untuk pembentukan senyawa-senyawa metabolit melalui
reaksi enzimatis dalam proses metabolisme, dan sebagian sumber nitrogen kompleks dihidrolisis dan digunakan sebagai sumber karbon untuk mempertahankan viabilitas selnya (Stanbury dan Whitaker 1987). Dalam sistem metabolisme sel mikroba, nitrogen digunakan sebagai sumber sintesis asam amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA yang berfungsi menurunkan faktor genetik (Vogel 1996). Sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan biomassa sel pada fase pertumbuhan, pembentukan metabolit primer dan sekunder (Aharonowitz 1980).
Sumber nitrogen yang digunakan dalam penentuan profil fermentasi ini adalah ekstrak khamir dan pepton. Kedua sumber nitrogen ini diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan sel dan pembentukan produk oleh beberapa jenis mikroba. Kedua sumber nitrogen ini diketahui mengandung beberapa macam asam amino dan vitamin yang dibutuhkan untuk metabolisme sel (Crueger dan Crueger 1984). Asam amino yang terdapat dalam ekstrak khamir dan pepton antara lain asam glutamat, glutamin, arginin, asparagin, prolin, sistein, metionin, dan fenilalanin (Wang et al. 1978). Disamping mengandung asam amino, ekstrak khamir juga mengandung beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, potassium, sodium, klorida, fosfat, dan sulfat.
Apabila dilihat dari produktivitas antibiotik, Streptomyces sp. A11 terdeteksi mulai memproduksi metabolit sekunder pada jam ke-60, yaitu rentang waktu yang telah masuk pada fase stasioner dan tidak terjadi pertumbuhan sel atau laju pertumbuhan sel sama dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan termasuk dalam metabolit sekunder dan bukan metabolit primer. Seperti diketahui bahwa metabolit sekunder diproduksi tidak berasosiasi dengan pertumbuhan sel, dan disintesis pada fase stasioner (Mangunwijaya dan Suryani 1994). Demikian sebaliknya apabila terjadi pertumbuhan sel cepat maka pada saat itu terjadi represi antibiotik sintetase, sehingga mikroba tidak menghasilkan metabolit sekunder. Pada fase pertumbuhan, glikolisis lebih banyak terjadi untuk pembentukan metabolit primer seperti asam organik, asam amino atau protein, dan asam lemak (Martin dan Demain 1980).
Dilihat durasi fase produksi, siklo(tirosil-prolil) diproduksi selama kurang lebih selama 75 jam. Setelah memasuki jam ke-135 produktivitas
siklo(tirosil-74
prolil) mulai mengalami penurunan. Durasi fase produksi setiap mikroba adalah berbeda-beda tergantung pada faktor genetik dan kondisi lingkungannya. Untuk aktinomisetes dan fungi, fase produksi biasanya lebih panjang dari bakteri. Apabila tidak ada inhhibitor atau represi lainnya, aktinomisetes dan fungi mampu memproduksi antibiotik sampai beberapa hari (Martin dan Demain 1980). Sebagai contoh fermentasi untuk produksi candicidin pada skala indutri, dapat dilakukan selama 200 jam. Menurut Martin dan Demain (1980) ada 3 hal yang mempengaruhi berhentinya biosintesis antibiotik, pertama: rusaknya beberapa enzim jalur biosintesis antibiotik secara ireversibel, kedua: efek umpan balik akibat akumulasi antibiotik yang dihasilkannya, dan ketiga: berkurangnya prekursor perantara pada biosintesis antibiotik.
IV. 8. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi
Laju pertumbuhan mikroba dan pembentukan produk sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Setiap mikroba memiliki rentang kondisi optimum untuk pertumbuhan sel dan produksi metabolit sekunder yang berbeda-beda, walaupun dalam satu spesies. Suhu dan pH medium merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel maupun produktivitas antibiotik (Shuler & Kargi 1992). Hal ini disebabkan pH dan suhu dapat mempengaruhi kinerja membran sel mikroba, enzim dan komponen intraselular lainnya (Judoamidjojo et al. 1992).
Ada tiga jenis pembagian mikroba didasarkan pada suhu optimum untuk pertumbuhan atau produksi. Pertama mikroba psychrophiles yaitu pertumbuhan optimum mikroba pada rentang waktu dibawah suhu 20°C. Kedua mikroba mesophiles yaitu mikroba yang memiliki pertumbuhan optimum pada rentang suhu 20-40°C, dan ketiga mikroba thermophile, yaitu mikroba dengan pertumbuhan optimum diatas suhu 40°C. Sebagian besar mikroba masuk dalam kelompok mesophile (Wang et al. 1979). Dalam penentuan suhu terbaik pada proses fermentasi, dipilih beberapa variabel suhu fermentasi. Pada penelitian ini digunakan lima variabel suhu fermentasi yaitu pada 26, 28, 30, 32, dan 34 °C. Dari rentang suhu fermentasi yang digunakan terlihat bahwa suhu terbaik proses
fermentasi ini berada pada suhu 30 °C (Gambar 18). Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan dengan perlakuan suhu 30 °C adalah yang terbaik dan berbeda nyata dengan variabel suhu lainnya. Terlihat pada suhu 30 °C, konsentrasi antibiotik yang dihasilkan sebesar 30 mg L-1, dan berturut-turut diikuti perlakuan
suhu 32 °C dengan konsentrasi antibiotik 24,49 mg L-1, suhu 34 °C dengan
konsentrasi antibiotik 20,97 mg L-1, suhu 28 °C dengan konsentrasi antibiotik 19,86 mg L-1, dan suhu 26 °C dengan konsentrasi antibiotik 11,29 mg L-1. Dilihat dari suhu optimum untuk produksi metabolit sekunder, Streptomyces sp. A11 tergolong dalam bakteri mesofilik, yaitu suhu optimum untuk pertumbuhan dan produksi metabolit sekunder berada pada kisaran 20 °C - 40 °C.
0 5 10 15 20 25 30 35 26 28 30 32 34 suhu fermentasi (oC) ko n sen tr asi s iklo (t ir o s il -p ro lil) ( m g .L -1)
Gambar 18 Pengaruh suhu fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
Hal yang sama disampaikan oleh Barun et al. (1998), suhu optimum proses fermentasi Streptomyces hygroscopicus D1.5 adalah 30 °C, dan menurut Kumar dan Kannabiran (2010) suhu optimum proses fermentasi Streptomyces VITSVK9 spp adalah 30 °C. Namun demikian berbeda halnya dengan James dan Edwards (1997) yang telah menemukan Streptomyces termotoleran yang memiliki suhu optimum fermentasi sebesar 45 °C pada produksi granaticin. Suhu
76
fermentasi berkaitan erat dengan proses metabolisme pembentukan metabolit primer dan sekunder. Pada proses metabolisme banyak reaksi enzim yang terlibat dan saling berkaitan. Enzim dapat bekerja secara maksimal pada suhu yang optimum. Setiap mikroba memiliki suhu optimum fermentasi yang berbeda-beda walaupun dalam spesies yang sama. Pada suhu yang lebih tinggi dari suhu optimumnya, peningkatan suhu mengakibatkan penurunan kecepatan pertumbuhan sel dengan cepat. Pada suhu dibawah optimum, proses metabolisme sel akan berjalan lebih lambat. Hubungan diantara perubahan suhu terhadap kecepatan pertumbuhan sel atau kematian sel dapat dijelaskan dengan persamaan Arrhenius (Wang et al.1979).
Menurut Wang et al. (1979) energi aktivasi untuk pertumbuhan sel pada mikroba adalah berkisar antara 15-20 kkal/mol dan untuk kematian sel berkisar 60-70 kkal/mol. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan kematian sel lebih sensitif dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan sel. Kenaikan suhu fermentasi diatas titik kritisnya akan menyebabkan penurunan pertumbuhan sel yang cepat dibandingkan penurunan suhu dibawah titik kritisnya. Berdasarkan persamaan Arrhenius (Wang et al. 1979);
µ = A° e-Ea/ RT α = A° e-Ea/ RT
µ = kecepatan pertumbuhan sel spesifik α = kecepatan kematian sel spesifik A° = Konstanta Arrhenius
Ea = Energi aktivasi
R = Konstanta gas (1,98 kal/mol °K) T = Temperatur (°K)
Dalam beberapa hal penggunaan mikroba thermophile tidak dikehendaki oleh industri. Hal ini disebabkan oleh biaya energi yang dibutuhkan untuk proses produksi yang jauh lebih tinggi.
Selain suhu fermentasi, faktor lain yang berpengaruh pada kondisi fermentasi adalah pH awal medium fermentasi. pH medium merupakan salah satu parameter penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan produk. Sebagian besar bakteri memiliki kisaran optimum pada pH 5-8, kapang dan aktinomisetes pada kisaran pH 3-8, yeast pada kisaran pH 3-6, dan kelompok eukariotik tingkat tinggi pada kisaran pH 6,5-7,5 (Wang et al. 1979).
Dalam penelitian ini ditentukan pH optimum fermentasi dari interval pH 4 sampai dengan pH 8. Rentang pH yang telah diuji menunjukkan pH 6,5; 7 ; 7,5 menghasilkan konsentrasi antibiotik paling optimum (Gambar 19). Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan pH awal medium fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan dengan perlakuan pH awal fermentasi 6,5; 7, dan 7,5 paling optimum. Dari ketiga variabel tersebut menunjukkan konsentrasi antibiotik tidak berbeda nyata. Dengan demikian rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5 menunjukkan pH optimum proses fermentasi Streptomyces sp. A11. Seperti halnya pengaruh suhu fermentasi, pH awal medium fermentasi memiliki pengaruh yang nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. pH awal medium fermentasi berkaitan dengan proses metabolisme sel, kinerja membran sel, dan tekanan osmotik sel. Enzim yang terlibat dalam proses metabolisme memerlukan kondisi pH yang optimum. Beberapa genus Streptomyces memiliki pH optimum pada rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5. (Barun et al.1998 ; James dan Edwards 1997).
78 0 5 10 15 20 25 30 35 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 pH K o n s en tr as i s ik lo (t ir o s il-p ro lil) (m g .L -1 )
Gambar 19 Pengaruh pH awal fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
IV. 9. Penentuan Sumber Karbon Terbaik pada Proses Fermentasi
Pemilihan substrat yang akan dijadikan medium fermentasi sangat menentukan struktur metabolit primer dan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroba. Oleh karena itu pemilihan sumber karbon sebagai penyusun utama dalam medium fermentasi harus disesuaikan dengan kebutuhan mikroba untuk pembentukan metabolit primer atau metabolit sekunder yang diharapkan (Crueger dan Crueger 1984). Menurut (Stanbury dan Whitaker 1984) laju metabolisme sumber karbon berpengaruh terhadap pembentukan biomassa dan produk metabolit yang dihasilkan. Dengan demikian pemilihan sumber karbon merupakan salah satu kunci keberhasilan untuk mendapatkan metabolit yang diharapkan.
Sebelum dilakukan optimasi medium fermentasi secara simultan menggunakan Response Surface Methodology (RSM), terlebih dahulu dilakukan percobaan pendahuluan untuk menentukan variabel terbaik sumber karbon, sumber nitrogen dan mineral. Sumber karbon yang digunakan dalam penelitian ini meliputi glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dekstrin, dan molase. Pemilihan sumber karbon glukosa, maltosa, sukrosa, dan laktosa didasarkan pada lintasan awal metabolisme diantara maltosa, sukrosa dan laktosa yang berbeda. Glukosa merupakan senyawa monosakarida yang umumnya bersifat paling mudah
dimetabolisme oleh mikroba dibanding gula lainnya, sehingga disebut sebagai substrat primer (Wang et al. 1978). Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar mengikuti lintasan Embden-Meyerhof. Glukosa dikonversi menjadi glukosa-6-fosfat yang selanjutnya dalam beberapa tahapan dikonversi menjadi asam piruvat. Senyawa ini merupakan sumber karbon dan energi utama bagi sebagian besar mikroba serta menjadi titik awal sebagian besar lintasan metabolisme mikroba. Penggunaan substrat maltosa membutuhkan enzim maltose-glukoamilase yang akan memecah maltosa menjadi glukosa, dan enzim maltose-fosforilase yang akan maltosa menjadi glukosa-1-fosfat. Selanjutnya glukosa-1-fosfat diisomerisasi menjadi glukosa-6-fosfat, sehingga lintasan menjadi sama dengan glukosa (Moat et al. 2002). Menurut Hoque et al (2003) beberapa isolat Streptomyces yang diisolasi dari tanah mampu menghasilkan enzim maltase. Selanjutnya lintasan metabolisme sukrosa diawali dengan konversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa menggunakan enzim invertase yang berlanjut menjadi fruktosa-6-fosfat oleh enzim fruktokinase sampai terbentuknya asam piruvat. Lintasan metabolisme laktosa diawali dengan hidrolisis laktosa oleh enzim β-galaktosidase menjadi galaktosa dan glukosa. Glukosa hasil hidrolisis masuk dalam lintasan Embden-Meyerhof, sedangkan galaktosa dikonversi mejadi galaktosa-1-fosfat oleh galaktokinase dan berlanjut menjadi glukosa-1-fosfat oleh enzim fosfogalaktoseuridiltansferase (Moat et al. 2002). Menurut Dan dan Szabo (1973) Streptomyces griseus mampu menghasilkan enzim β-galaktosidase melalui induksi menggunakan substrat galaktosa.
Dekstrin merupakan produk antara hasil hidrolisis pati menjadi maltosa dan glukosa yang memiliki rantai 6-10 glukosa. Lintasan metabolisme dekstrin mirip dengan lintasan metabolisme maltosa dan glukosa yang diawali dengan hidrolisis dekstrin menjadi maltosa dan glukosa. Dekstrin memiliki keunggulan lebih mudah larut di dalam air dibandingkan dengan pati. Beberapa enzim α-amilase dan glukoα-amilase mampu menghidrolisis dekstrin menjadi glukosa atau maltosa. Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dan dekstrin dapat digambarkan pada Gambar 20. Pada proses glikolisis, setiap molekul glukosa akan dikonversi menjadi 2 molekul asam piruvat. Asam piruvat merupakan senyawa antara untuk pembentukan berbagai asam amino dan asam
80
lemak yang merupakan komponen pembentukan metabolit primer dan metabolit sekunder. Glukosa-6-P Glukosa-1-P Sukrosa D-Glukosa Maltosa Fruktosa Fruktosa-6-P Dektrin Laktosa Galaktosa Galaktosa-1-P Fruktosa-1,6-difosfat 1,6 difosfogliserat 3-fosfogliserat 2-fosfogliserat fosfoenolpiruvat Asam piruvat
Gambar 20 Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa sampai menjadi asam piruvat (Moat et al. 2002).
Pemilihan molase (gula tebu) sebagai sumber karbon didasarkan pada komposisi molase yang komplek dan kaya akan sumber gula seperti sukrosa sekitar 33,4 %, gula invert 21,2 %, beberapa mineral seperti Cu, Fe, Mn, Zn,Co, Mg, K, Na, dan asam amino seperti riboflavin, tiamin, niasin, dan kolin (Crueger dan Crueger (1984). Namun demikian komposisi gula, kandungan mineral, dan asam amino di dalam molase bervariasi tergantung dari proses produksi gula yang digunakan. Molase yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari industri gula Madukismo yang berlokasi di Yogyakarta.
Hasil percobaan diperoleh informasi bahwa sumber karbon terbaik untuk produksi senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) dihasilkan oleh dekstrin dan maltosa (Gambar 21). 0 5 10 15 20 25 30
laktosa glukosa molase sukrosa dekstrin maltosa
sumber karbon k o n s e n tr a s i s ik lo (t ir o s il -p ro lil) mg L -1
Gambar 21 Pengaruh sumber karbon terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
Hasil analisis ragam (Lampiran 13a) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap beberapa sumber karbon berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Dari Gambar 21 terlihat bahwa sumber karbon dekstrin menghasilkan konsentrasi antibiotik sebesar 28,41 mg L-1 dan diikuti dengan maltosa dengan konsentrasi sebesat 25,29 mg L-1. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh kedua sumber karbon dekstrin dan maltosa tidak berbeda nyata. Apabila dilihat dari konsentrasi antibiotik dan rasio konsentrasi antibiotik terhadap konsumsi sumber karbon (Tabel 10) terlihat bahwa dektrin menunjukkan sumber karbon yang terbaik.
Konsumsi dekstrin terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan glukosa maupun maltosa, namun demikian konsentrasi antibiotik yang dihasilkan lebih besar, artinya bahwa konversi sumber karbon menjadi metabolit sekunder adalah lebih besar (Tabel 10). Hal yang sama ditunjukkan pada rasio konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan terhadap total konsumsi sumber karbon, terlihat dekstrin menunjukkan rasio yang paling tinggi. Berbeda halnya dengan
82
glukosa, konsumsi glukosa cenderung besar, namun demikian konsentrasi antibiotik yang dihasilkan cenderung lebih kecil dibandingkan dekstrin. Menurut Wang (1979) sebagian besar mikroba lebih menyukai glukosa yang dapat dimetabolisme secara langsung dibandingkan sumber karbon lainnya. Konsumsi glukosa pada fase logaritma diiringi pertumbuhan sel yang cepat, sehingga jumlah sel cenderung meningkat lebih cepat. Data selengkapnya disajikan dalam Lampiran 13b.
Tabel 10 Konsentrasi antibiotik yang dihasilkan adanya perlakuan sumber karbon
Sumber karbon Konsentrasi siklo (tirosil-prolil) (mg L-1) Notasi Total konsumsi sumber karbon (mg) (So-S)/So x 100%
Rasio konsentrasi siklo (tirosil-prolil) terhadap total konsumsi sumber
karbon (Yp/s) Laktosa 12,84 a 4034 32,26 0,00318 Sukrosa 14,05 a 4401 47,87 0,00319 Molase 15,50 a 4933 83,47 0,00314 Glukosa 23,00 bc 9747 86,05 0,00224 Maltosa 25,29 cd 9409 79,45 0,00269 Dekstrin 28,41 d 8573 78,08 0,00331
Total konsumsi sumber karbon : konsentrasi sumber karbon awal (sebelum fermentasi) dikurangi konsentrasi sumber karbon setelah fermentasi
Tabel 10 menunjukkan konsumsi glukosa lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi maltosa dan dektrin. Pada awal fermentasi dan fase logaritma, konsumsi glukosa lebih banyak digunakan untuk pembentukan sel. Menurut Stanbury dan Whitaker (1984) adanya glukosa dalam medium fermentasi dapat menyebabkan terjadinya metabolisme cepat (fast metabolism) untuk pembentukan sel dan secara bersamaan akan merepresi reaksi enzim pembentukan metabolit sekunder. Namun demikian apabila konsentrasi glukosa mulai terbatas, pembentukan metabolit sekunder akan terjadi.
Untuk dapat menggunakan substrat maltosa atau dektrin masuk kedalam sel, diperlukan pemecahan atau hidrolisis maltosa atau dekstrin menjadi glukosa terlebih dahulu. Gambar 20 menunjukkan lintasan metabolisme maltosa dapat melalui glukosa yang dilanjutkan dengan glikolisis menjadi glukosa-6-fosfat dan melalui lintasan melalui konversi maltosa menjadi glukosa-1-fosfat yang berlanjut menjadi glukosa-6-fosfat. Lintasan metabolisme dektrin menjadi lebih panjang, yaitu melalui pemecahan dektrin menjadi maltosa dan glukosa, dan tahap selanjutnya mengikuti lintasan metabolisme glukosa dan maltosa. Perbedaan
lintasan metabolisme menyebabkan laju penggunaan substrat antara glukosa, maltosa, dan dekstrin menjadi berbeda. Perbedaan lintasan metabolisme juga berpengaruh terhadap besarnya energi, dalam hal ini ATP yang diperlukan atau dibebaskan dalam proses anabolisme dan katabolisme.
Konsumsi sumber karbon laktosa, sukrosa, dan molase terlihat jauh lebih kecil dibandingkan sumber karbon glukosa, maltosa, dan dekstrin, demikian juga konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Streptomyces sp.A11 kurang mampu menghidrolisis dan mengkonsumsi sumber karbon tersebut. Untuk dapat digunakan dalam metabolisme sel, laktosa terlebih dahulu dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa. Enzim yang terlibat dalam proses hidrolisis laktosa adalah enzim β-galaktosidase. Kurangnya kemampuan dalam mengasimilasi laktosa ditandai dengan pertumbuhan sel yang lambat. Hal yang sama terjadi pada konsumsi sukrosa. Sukrosa merupakan disakarida yang disusun dari glukosa dan fruktosa. Sebelum dapat diasimilasi oleh mikroba, sukrosa terlebih dahulu dihidrolisis menggunakan enzim invertase. Tidak semua mikroba memiliki kemampuan untuk menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Adapun reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa disajikan sebagai berikut:
C22H22O11 + H2O Cinvertase 6H12O6 + C6H12O6
Glukosa Fruktosa
Sukrosa
Penggunaan molase sebagai sumber karbon pada percobaan ini diperoleh konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan sumber karbon glukosa, maltosa, dan dektrin. Molase merupakan hasil samping dari proses produksi gula. Disamping kaya akan sukrosa, fruktosa, dan glukosa, molase juga mengandung bermacam-macam mineral. Namun demikian karena molase merupakan hasil samping yang sebelumnya dilakukan penambahan bahan kimia dalam proses produksi gula, sulit untuk memprediksi komposisi kimia sebenarnya yang terkandung di dalam molase. Banyak kemungkinan unsur-unsur logam yang terkandung didalamnya menghambat atau mempercepat pertumbuhan mikroba. Molase yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan pertumbuhan isolat Streptomyces sp. A11 yang lambat, demikian
84
juga dengan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkannya. Kompleksitas komposisi molase menjadi lebih sulit untuk memprediksi kemungkinan penyebab kecilnya laju pertumbuhan dan produktivitas siklo(tirosil-prolil). Dalam penggunaan sumber karbon komplek seperti halnya molase, maka perlu diperhatikan regulasi penggunaan sumber karbon dalam sel. Menurut Sanchez et al. (2010) salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses fermentasi adalah regulasi sumber karbon dalam metabolisme sel. Regulasi sumber karbon ditentukan oleh kecepatan penggunaan sumber karbon yang paling disukai oleh mikroba tersebut. Salah satu faktor regulasi sumber karbon yang paling penting adalah represi katabolit sumber karbon. Mikroba akan menentukan sumber karbon yang paling disukai untuk dimetabolisme terlebih dahulu dibandingkan sumber karbon lainnya dengan melakukan represi reaksi enzim tertentu yang terjadi di dalam metabolisme tersebut (Martin dan Demain 1980).
Dalam jalur metabolisme, dektrin dan maltosa dihidolisis menjadi glukosa, dan berlanjut sampai terjadinya glikolisis menjadi piruvat. Walaupun jalur metabolisme yang digunakan oleh dekstrin dan maltosa pada akhirnya mirip dengan lintasan glukosa, namun produktivitas siklo(tirosil-prolil) dengan sumber karbon dekstrin dan maltosa lebih tinggi dibandingkan dengan sumber karbon glukosa. Glukosa merupakan sumber karbon yang siap dimetabolisme secara langsung tanpa dilakukan hidrolisis seperti halnya dektrin atau polisakarida lainnya. Mikroba akan merasa nyaman dan terus tumbuh dengan adanya glukosa dalam jumlah yang cukup. Pada Tabel 10 terlihat bahwa konsumsi glukosa terlihat relatif lebih banyak dibandingkan maltosa dan dekstrin. Berbeda halnya dengan sumber karbon dekstrin dan maltosa, kedua sumber karbon ini akan mengalami hidrolisis terlebih dahulu menjadi glukosa untuk dapat digunakan dalam proses metabolisme sel. Dengan demikian jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel dapat diatur dengan sendirinya oleh mikroba tersebut. Hal yang sama terjadi pada produksi aktinomisin D menggunakan isolat Streptomyces parvulus (Sausa et al. 2001). Penggunaan glukosa dalam medium fermentasi mengakibatkan pertumbuhan sel yang cepat dan produktivitas aktinomisin D menjadi berkurang.
Streptomyces merupakan salah satu bakteri Gram-positif non-motil yang memiliki kemampuan menghidrolisis berbagai sumber karbon polimer yang ada di lingkungan. Streptomyces memiliki jumlah protein & enzim yang paling lengkap yang dapat mendukung kemampuannya untuk dapat bertahan hidup di lingkungannya. Sebagai contoh Streptomyces coelicolor memiliki 614 protein untuk mendukung kelangsungan hidupnya (Sanchez et al. 2010).
Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya, maka sumber karbon dekstrin dipilih sebagai sumber karbon untuk penelitian selanjutnya. Dekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisis parsial pati yang memiliki unit rantai glukosa yang pendek (6 – 10 molekul glukosa) sehingga dektrin memiliki sifat lebih mudah larut di dalam air. Dektrin juga menjadi sumber karbon terbaik untuk produksi antibiotik spiramycin oleh Streptomyces ambofaciens (Benslimane et al.1995; Ashy dan Abou-Zeid 1982).
IV. 10. Penentuan Sumber Nitrogen Terbaik pada Proses Fermentasi
Salah satu komponen utama dalam medium fermentasi mikroba disamping sumber karbon adalah sumber nitrogen. Nitrogen digunakan sebagai sumber sintesis asam amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA (Vogel 1996). Sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan biomassa sel pada fase pertumbuhan, disamping itu sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan metabolit sekunder khususnya antibiotik golongan peptida (Umezawa et al. 1978). Disamping konsentrasi sumber nitrogen dalam medium fermentasi, jenis sumber nitrogen juga berpengaruh terhadap produktifitas metabolit primer atau sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Sumber nitrogen komplek organik banyak digunakan dalam produksi metabolit sekunder antibiotik dibandingkan dengan sumber nitrogen inorganik seperti nitrat, nitrit, dan ammonium sulfat (Aharonowitz 1980). Dengan demikian pemilihan jenis sumber nitrogen berperan penting dalam proses produksi metabolit primer atau sekunder. Sumber nitrogen yang digunakan dalam percobaan ini meliputi sumber nitrogen kompleks seperti pepton, ekstrak khamir, kasein hidrolisat dan sumber nitrogen non kompleks seperti asam glutamat dan ammonium sulfat. Hasil
86
percobaan pemilihan sumber nitrogen terbaik menunjukkan bahwa pepton terlihat menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi, yaitu sebesar 22,7 mg L-1, selanjutnya kasein sebesar 21,65 mg L-1, ekstrak khamir 12,88 mg L-1, dan asam glutamate 9,99 mg L-1. Sumber nitrogen ammonium sulfat terlihat tidak menghasilkan konsentrasi antibiotik.
Hasil analisis ragam (Lampiran 14a) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap beberapa sumber nitrogen berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. Namun demikian hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh sumber nitrogen pepton dan kasein adalah tidak berbeda nyata. Dilihat dari tingkat konsumsi nitrogen antara pepton dan kasein (Tabel 11), yaitu nitrogen total awal fermentasi dikurangi nitrogen total akhir fermentasi adalah hampir sama, hal ini menunjukkan bahwa penggunakan sumber nitrogen pepton dan kasein tidak berbeda nyata. Data selengkapnya disajikan dalam Gambar 22 dan Tabel 11.
0 5 10 15 20 25
amonium sulfat ekstrak khamir asam glutamat kasein pepton
sumber nitrogen k o n s en tr asi s ik lo( ti ro s il -pr o li l) (m g L -1 )
Gambar 22 Pengaruh sumber nitrogen terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil) Dari Tabel 11 terlihat bahwa tingkat konsumsi pepton dan kasein relatif tinggi dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya, hal ini diimbangi juga dengan produktivitas antibiotik yang tinggi. Berbeda halnya dengan konsumsi
sumber nitrogen ekstrak khamir, terlihat tingkat konsumsi ekstrak khamir tinggi namun produktivitas antibiotik relatif lebih kecil dibanding pepton dan kasein. Diduga tingginya konsumsi ekstrak khamir ini lebih banyak dikonversi menjadi biomassa dibandingkan dengan konversi menjadi siklo(tirosil-prolil).
Tabel 11 Pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil) Sumber nitrogen Nitrogen total awal fermentasi (mg.mL-1) Nitrogen total akhir fermentasi (mg.mL-1) Konsentrasi siklo(tirosil-prolil) (mg.L-1) Jumlah konsumsi nitrogen total (mg.mL-1) Asam glutamat (C5H9NO4) 0,76 0,44 9,99 0,32 Pepton 0,76 0,35 22,70 0,41 Kasein 0,75 0,34 21,65 0,41 Ekstrak khamir 0,74 0,30 12,88 0,44 Amonium sulfat (NH4)2SO4 0,75 0,55 0 0,20
Pepton (Difco) merupakan produk hidrolisis dari protein hewani yang diambil dari albumin. Pepton mengandung bermacam-macam asam amino hasil hidrolisis protein hewani. Pepton banyak digunakan untuk medium sumber nitrogen kompleks dalam proses fermentasi. Sedangkan kasein (Difco) merupakan produk hidrolisis protein susu yang diperoleh dari kasein susu. Seperti halnya pepton, kasein juga kaya akan protein yang disusun dari beberapa macam asam amino. Kasein banyak digunakan dalam medium fermentasi atau campuran dalam medium agar. Menurut Aharonowitz (1980), keterlibatan nitrogen dalam regulasi metabolisme biosintesis antibiotik dapat dikategorikan dalam 2 jalur. Pertama, nitrogen dalam bentuk asam amino terlibat langsung dalam pembentukan antibiotik. Asam amino bertindak sebagai prekursor dalam proses pembentukan antibiotik. Proses ini banyak terjadi dalam pembentukan antibiotik golongan peptida. Sebagai contoh pada biosintesis antibiotik gramisidin oleh Bacillus sp dan Pseudomonas, dibutuhkan 5 asam amino yang terlibat langsung sebagai prekursor dalam pembentukan biosintesis gramisidin tersebut. Kedua, nitrogen dalam bentuk atom nitrogen terlibat dalam biosintesis metabolit primer dan berlanjut menjadi senyawa metabolit sekunder.
Dilihat dari keterlibatan nitrogen dalam biosintesis antibiotik seperti yang dikemukaan oleh Aharonowitz (1980), diduga peran nitrogen dalam biosintesis
88
siklo(tirosil-prolil) mengikuti jalur yang pertama, yaitu asam amino terlibat langsung dalam biosintesis antibiotik. Hal ini dikuatkan dari penggunaan sumber nitrogen pepton dan kasein yang mengandung asam amino menghasilkan produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang lebih tinggi. Lautru et al. (2002) menjelaskan bahwa biosintesis siklo(phe-leu) disusun oleh asam amino phenil alanin dengan leusin secara langsung dari asam amino, masing-masing asam amino diaktifkan oleh siklodipeptida sintetase (CDPSs) melalui gen AlbC. Sampai saat ini belum ada literatur yang menjelaskan mengenai biosintesis pembentukan siklo(tirosil-prolil). Biosintesis pembentukan siklo(tirosil-prolil) diduga melalui jalur pengaktifan asam amino tirosin dan prolin dengan menggunakan siklodipeptida sintetase seperti yang dijelaskan oleh Lautru et al. (2002). Kemungkinan reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil) terjadi adalah seperti yang disajikan dalam Gambar 23.
HO O O H HN N H2+ - H3+ - + siklodipeptida sintetase(CDPSs)
prolin tirosin siklo(tirosil-prolil)
Gambar 23 Reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil)
Apabila dilihat dari komposisi asam amino dari sumber nitrogen pepton, kasein, dan ekstrak khamir, terlihat bahwa ketiga sumber nitrogen ini mengandung asam amino prolin dan tirosin dalam bentuk bebas dan terikat dalam protein seperti yang disajikan dalam Tabel 12.
Pepton mengandung total prolin, tirosin bebas, dan total tirosin yang lebih tinggi dibandingkan kasein dan ekstrak khamir. Kasein mengandung jumlah prolin bebas, total prolin, tirosin bebas, dan total tirosin yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak khamir. Konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh pepton dan kasein lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak khamir. Hal ini mendukung dugaan bahwa biosintesis siklo(tirosil-prolil)
dipengaruhi oleh adanya asam amino prolin dan tirosin dalam medium fermentasi seperti yang dijelaskan oleh Lautru et al. (2002).
Tabel 12 Kandungan prolin dan tirosin dalam pepton, kasein, dan ekstrak khamir.
Sumber Nitrogen Komplek Prolin Bebas (%) Total Prolin (%) Tirosin Bebas (%) Total Tirosin (%) Pepton (Difco) 0,3 8,8 0,5 0,6 Kasein (Difco) 0,5 8,0 0,4 0,4 Ekstrak khamir (Difco) 0,3 2,3 0,1 0,2 sumber: katalog Difco 2004.
Penggunaan sumber nitrogen asam glutamat terlihat mampu menghasilkan siklo(tirosil-prolil) walaupun lebih kecil dibandingkan dengan pepton, kasein, dan ekstrak khamir. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asam glutamat merupakan lintasan dalam pembentukan asam amino prolin melalui L-glutamil-γ-phosphate, glutamic-γ-semialdehyde (GSA), dan pyroline-5-carboxylate seperti yang disajikan dalam Gambar 24. Dengan demikian glutamat berperan dalam preursor pembentukan prolin.
Gambar 24 Biosintesis prolin melalui lintasan asam glutamat