• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum Lokasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum Lokasi"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi

Kota Bekasi merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang cukup mendapatkan perhatian, selain karena posisinya strategis yaitu sebagai kota penyeimbang ibu kota Negara (Jakarta), Kota Bekasi juga mendapatkan perhatian karena sektor industrinya memberikan kontribusi besar bagi pendapatan daerah maupun pendapatan Jawa Barat. Secara geografis, Kota Bekasi berada pada posisi 1060o 55’ Bujur Timur dan 6o7’- 6o15’ Lintang Selatan, dengan ketinggian 19 m di atas permukaan laut. Kota Bekasi memiliki dua belas kecamatan dan luas wilayah sekitar 210.49 km2, dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24.73 km2) dan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13.49 km2). Kecamatan Bekasi Timur akan dibahas mendalam dikarenakan kecamatan ini dipilih secara purposive menjadi lokasi penelitian.

Kecamatan Bekasi Timur merupakan salah satu kecamatan diantara dua belas kecamatan di Kota Bekasi. Jika dilihat dari kondisi alamnya, Kecamatan Bekasi Timur mayoritas adalah dataran dengan luas wilayah 12.78 km2. Dibandingkan dengan kecamatan lainnya, Kecamatan Bekasi Timur ini adalah kecamatan yang mempunyai luas paling kecil tetapi terpadat penduduknya, yaitu mencapai 17 770 jiwa/km2. Kecamatan ini memiliki empat kelurahan dengan kantor kecamatan berada di Kelurahan Bekasi Jaya. Luas kelurahan dan kepadatan penduduk di Kecamatan Bekasi Timur tergambar pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas kelurahan dan kepadatan penduduk

Sumber : Registrasi Penduduk Kecamatan Bekasi Timur (2007). Kelurahan Jumlah Penduduk

(jiwa)

Luas (km2) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Margahayu Duren Jaya Bekasi Jaya Aren Jaya 65 950 44 133 56 128 60 887 4.44 3.50 2.42 2.42 14 854 12 609 23 193 25 160 Jumlah 227 098 12.78 17 770

(2)

Adapun batas wilayah Kecamatan Bekasi Timur adalah : Sebelah Utara : Berbatasan dengan kecamatan Bekasi Utara Sebelah Selatan : Berbatasan dengan kecamatan Rawalumbu Sebelah Barat : Berbatasan dengan kecamatan Bekasi Selatan

Dikarenakan besarnya wilayah Kecamatan Bekasi Timur dan ketersediaan izin dari pihak kecamatan maka peneliti mengambil secara purposive dua kelurahan untuk dilakukan pengambilan contoh secara proporsional. Dua kelurahan tersebut antara lain Kelurahan Duren Jaya dan Kelurahan Margahayu. Kelurahan Duren Jaya memiliki total luas wilayah 2.42 km2. Jumlah RW yang berada di kelurahan ini berjumlah 18 dengan total RT sebanyak 195. Kelurahan ini berada diantara Kelurahan Aren Jaya dan Kelurahan Bekasi Jaya dan berada cukup jauh dari pusat keramaian.

Kelurahan Margahayu memiliki total luas wilayah 4,44 km2. Jumlah RW yang berada di kelurahan ini berjumlah 26 dengan total RT sebanyak 167. Berbeda dengan Kelurahan Duren Jaya, Kelurahan Margahayu berada dekat pusat keramaian dikarenakan letaknya yang berada di lingkungan terminal Kota Bekasi. Selain itu, beberapa fasilitas publik dan pemerintahan yang melingkupi keluarahan ini antara lain : Kantor DPRD Kota Bekasi, PT POS Kota Bekasi, PT PLN Kota Bekasi, Carrefour Hypermarket, PDAM, dan beberapa fasilitas publik lainnya membuat kelurahan ini ramai dengan lalu lintas aktivitas fasilitas publik tersebut.

Tabel 5. Jumlah keluarga menurut tahapan keluarga sejahtera di Kecamatan Bekasi Timur tahun 2007

Kelurahan Tahapan Keluarga

Pra KS KSI KSII KSIII KSIII+ Jumlah Margahayu Bekasi Jaya Duren Jaya Aren Jaya 1138 892 3712 937 1986 2312 4638 1103 2422 3678 3805 3123 3534 4682 4268 5417 2775 3121 2729 3369 11855 14685 19152 13949 Jumlah 6679 10039 13028 17901 11994 59641 Sumber : BKKBN Kecamatan Bekasi Timur (2007)

(3)

Dilihat dari kondisi ekonomi, Kelurahan Duren Jaya dan Margahayu menempati posisi kelurahan termiskin diantar empat kelurahan lainnya, hal ini dapat dilihat dari data tahapan keluarga (Tabel 5) , data penerima JAMKESMAS, Raskin dan BLT (Tabel 6). Walaupun indikator penilaian dari masing-masing kriteria berbeda, namun dua kelurahan ini menempati posisi terbesar dari masing-masing pendekatan kriteria rumah tangga miskin tersebut.

Tabel 6. Data penerima program JASKESMAS, Raskin, dan BLT Kelurahan JASKESMAS (jiwa) Raskin (Rumah tangga) BLT (Rumah Tangga) Margahayu Bekasi Jaya Duren Jaya Aren Jaya 6730 4430 5112 3600 1707 989 1111 1072 1439 952 1117 1034 Jumlah 19872 4879 4542

Sumber : Kecamatan Bekasi Timur (2009)

Jika meninjau sarana pendidikan yang berada di Kecamatan Bekasi Timur sudah cukup memadai yaitu 79 sekolah negeri dan 157 sekolah swasta. Untuk pelayanan kesehatan, terdapat tujuh rumah sakit dan empat Puskesmas. Sedangkan sarana peribadatan terdapat 109 mesjid, 185 langgar, 22 gereja, 2 pura dan 1 vihara.

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh

Program Konversi yang digulirkan pemerintah sejak tahun 2007 secara tidak langsung telah merubah pola kehidupan keluarga terutama dalam penggunaan bahan bakar dalam kesehariannya. Perubahan perilaku merupakan salah inti untuk melihat keberhasilan program ini. Penelitian ini menggambarkan karaktersitik sosial ekononomi dan sikap keluarga contoh berdasarkan perilaku penggunaanya. Dari sebanyak enam puluh keluarga contoh terdapat 46 keluarga contoh yang beralih menggunakan LPG dan 14 keluarga contoh yang tetap menggunakan minyak tanah/kayu bakar walaupun mendapat kompor LPG dari program tersebut.

(4)

Kerangka contoh penelitian ini adalah keluarga miskin yang datanya didapat dari kelurahan dan penentuannya didasarkan pada kriteria BPS yang mencakup sembilan kriteria antara lain: 1) luas rumah; 2) kepemilikan atap, lantai dan dinding yang baik pada rumah; 3) kepemilikan fasilitas buang air besar; 4) Jenis penerangan rumah; 5) sumber air; 6) pada umumnya anggota keluarga makan hanya satu/dua kali sehari; 7) paling kurang sekali seminggu seluruh anggota makan daging/ikan/telur; 8) seluruh anggota kelurga hanya mampu membeli satu stel pakaian baru dalam setahun; dan 9) bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita untuk melihat kondisi ekonomi keluarga contoh. Pendapatan per kapita dikelompokkan menjadi empat kategori sedangkan pengeluaran per kapita dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan

cut off data pengeluaran per kapita rata-rata per bulan kota Bekasi yang

diperoleh.

Besar Keluarga

Kerangka contoh penelitian ini adalah keluarga penerima program konversi minyak tanah ke LPG di Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Keseluruhan jumlah anggota keluarga dari enam puluh keluarga contoh adalah 271 orang. Jumlah anggota keluarga, dibedakan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5 – 6 orang) dan besar (≥7 orang).

Tabel menjelaskan bahwa separuh keluarga contoh (50%) yang menggunakan LPG merupakan keluarga dengan kategori kecil sedangkan kondisi berbeda terjadi pada keluarga contoh yang tidak menggunakan LPG, separuh dari keluarga contoh yang tidak menggunakan LPG adalah keluara kategori besar. Namun hasil uji beda yang dilakukan menunjukkan tidak ada perbedaan besar keluarga antara dua perilaku (p>0.05).

Berdasarkan jenis kelamin kepala keluarga, terdapat 21.67 persen keluarga contoh dikepalai oleh perempuan karena ditinggal suami meninggal atau cerai dan 3.33 persen keluarga contoh dikepalai oleh suami

(5)

saja yang ditinggal istri meninggal atau cerai. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keluarga contoh cukup banyak yang merupakan orangtua tunggal dalam menjalankan fungsinya di dalam keluarga.

Usia Kepala Keluarga

Berdasarkan usia suami dan istri, diketahui bahwa rata-rata usia suami contoh adalah 45.94 tahun, Separuh dari suami contoh (58.33%) masuk kategori usia dewasa menengah. Kondisi berbeda terjadi pada rata-rata usia istri, yang memperlihatkan bahwa rata-rata-rata-rata usia istri lebih muda dibandingkan usia suami yaitu 42.40 tahun. Persentase istri yang berada pada kategori usia dewasa menengah pun lebih besar yaitu sebesar 65.52 persen.

Perbandingannya dengan perilaku menunjukkan bahwa pada perilaku menggunakan, usia suami didominasi (68.57%) oleh usia menengah. Kondisi yang tidak berbeda terjadi pada perilaku tidak meggunakan LPG yang persentase terbesarnya berada antrara usia suami dewasa menengah dan dewasa akhir. Kondisi ini bisa terjadi dikarenakan umur suami contoh banyak didominasi oleh kategori usia dewasa menengah. Namun hasil uji beda yang dilakukan menunjukkan tidak ada perbedaan usia suami antara dua perilaku penggunaan LPG (p>0.05).

Kondisi yang lebih berbeda terjadi pada usia istri dimana hampir tidak ada perbedaan persentase umur terhadap dua perilaku. Pada perilaku menggunakan, lebih dari separuh contoh (64.44%) masuk kategori usia dewasa menengah. Hal yang sama terjadi pada perilaku tidak menggunakan, hanya saja persentasenya lebih besar yaitu 69.23%. Kondisi ini didukung dari hasil uji beda yang menunjukkan tidak ada perbedaan usia istri antara dua perilaku penggunaan LPG (p>0.05)

Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga

Latar belakang pendidikan yang dimiliki seseorang umumnya akan sangat menentukan keseharian seseorang dalam bertindak. Pada tingkat

(6)

keluarga, Sumarwan (2002) mengemukakan bahwa pendidikan tersebut akan mempengaruhi proses keputusan dan pola konsumsi keluarga. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berfikir, cara pandang bahkan persepsinya terhadap suatu masalah.

Pada kasus Konversi Minyak Tanah ke LPG, idealnya tingkat pendidikan yang tinggi akan membuat keluarga contoh lebih mudah menyerap inovasi program dan menggunakan produk program. Tabel 7 menunjukkan bahwa suami yang memiliki tingkat pendidikan Tamat SLTP lebih besar peluang persentasenya untuk menggunakan LPG dengan persentase sebesar 31.43 persen, sedangkan suami dengan tingkat pendidikan lebih rendah yaitu tamat SD lebih berpeluang untuk melakukan perilaku tidak menggunakan dengan persentase sebesar 53.85 persen. Namun hasil uji beda yang dilakukan tidak menunjukkan ada perbedaan tingkat pendidikan antara dua perilaku penggunaan LPG keluarga contoh (p>0.05).

Kondisi yang berbeda terjadi pada tingkat pendidikan istri contoh, Tabel 7 memperlihatkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan istri maka akan diikuti perilaku tidak menggunakan LPG. Kondisi ini dapat dilihat bahwa dari perilaku tidak menggunakan, lebih dari separuh keluarga contoh (53.85%) merupakan istri yang memiliki tingkat pendidikan tidak sekolah. Sedangkan pada perilaku menggunakan, hampir separuh contoh (42.22%) merupakan istri dengan tingkat pendidikan tamat SD. Hal ini didukung dengan hasil uji beda yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pendidikan istri antara dua perilaku penggunaan LPG oleh keluarga contoh (p<0.05). Kondisi rendahnya tingkat pendidikan suami dan istri contoh dimungkinkan akan sangat mempengaruhi keluarga contoh bertindak sebagai konsumen termasuk dalam merespon program konversi minyak tanah ke LPG ini.

(7)

Pekerjaan Suami dan Istri

Jenis pekerjaan suami dan istri contoh bermacam-macam seperti pedagang, buruh lepas, supir angkot/tukang ojek, karyawan swasta, buruh pabrik, tenaga honorer, pensiunan, dan ada yang tidak bekerja. Sebaran persentase jenis pekerjaan di kedua kelurahan memperlihatkan bahwa sumber mata pencaharian utama suami relatif berbeda. Namun, untuk melakukan pengolahan lebih lanjut. Penelitian ini mengelompokkan kembali jenis pekerjaan menjadi bekerja dan tidak bekerja.

Tidak terlihat perbedaan jenis pekerjaan suami terhadap perilaku penggunaan LPG. Hal ini dikarenakan hanya sebesar 5.71 persen suami yang tidak bekerja. Sehingga persentase suami yang bekerja memiliki persentase yang hampir merata di dua perilaku. Hasil uji beda yang dilakukan juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jenis pekerjaan suami antara dua perilaku penggunaan LPG oleh keluarga contoh (p>0.05).

Kondisi yang lebih beragam terjadi pada jenis pekerjaan istri, istri yang bekerja memiliki persentase lebih besar pada perilaku tidak menggunakan LPG yaitu sebesar 69.23 persen. Sedangkan pada perilaku menggunakan LPG, lebih dari separuh keluarga contoh (55.56%) merupakan istri yang tidak bekerja. Kondisi yang berbeda ini dapat dimungkinkan karena jenis pekerjaan akan mempengaruhi akses informasi yang berbeda kepada setiap orang. Informasi negatif yang terlalu banyak kepada istri akan membuat istri lebih sulit untuk menerima program terutama untuk menggunakan produk program. Namun hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan jenis pekerjaan istri antara dua perilaku penggunaan LPG (p>0.05).

(8)

Tabel 7. Sebaran keluarga contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh Kategori Perilaku Penggunaan LPG Menggunakan Tidak Menggunakan Total n % n % n % Besar Keluarga Kecil (≤ 4 orang) 23 50 6 42.86 29 48.33 Sedang (5 - 6 orang) 18 39.13 7 50.00 25 41.67 Besar (≥ 7 orang) 5 10.87 1 7.14 6 10 Total 46 100 14 100 60 100 P-value 0.734 Umur Suami Dewasa Muda 2 5.71 1 7.69 3 6.25 Dewasa menengah 24 68.57 4 30.77 28 58.33 Dewasa Akhir 6 17.14 6 46.15 12 25.00 ≥ 65 tahun 3 8.57 2 15.38 5 10.42 Total 35 100 13 100 48 100 P-value 0.174 Umur istri Dewasa Muda 5 11.11 1 7.69 6 10.34 Dewasa menengah 29 64.44 9 69.23 38 65.52 Dewasa Akhir 11 24.44 3 23.08 14 24.14 ≥ 65 tahun 0 0.00 0 0.00 0 0.00 Total 45 100 13 100 58 100 P-value 0.837

Tingkat pendidikan suami

Tidak sekolah 3 8.57 3 23.08 6 12.50 Tidak Tamat SD 5 14.29 0 0.00 5 10.42 Tamat SD 12 34.29 7 53.85 19 39.58 Tamat SMP 11 31.43 3 23.08 14 29.17 Tamat SMA 4 11.43 0 0.00 4 8.33 Tamat PT 0 0.00 0 0.00 0 0.00 Total 35 100 13 100 48 100 P-value 0.238

Tingkat pendidikan istri

Tidak sekolah 10 22.22 7 53.85 17 29.31 Tidak Tamat SD 6 13.33 1 7.69 7 12.07 Tamat SD 19 42.22 4 30.77 23 39.66 Tamat SMP 4 8.89 1 7.69 5 8.62 Tamat SMA 6 13.33 0 0.00 6 10.34 Tamat PT 0 0.00 0 0.00 0 0.00 Total 45 100 13 100 58 100 P-value 0.039 Pekerjaan suami Bekerja 33 94.29 13 100 46 95.83 Tidak Bekerja 2 5.71 0 0 2 4.17 Total 35 100 13 100 48 100 P-value 0.384 Pekerjaan Istri Bekerja 20 44.44 9 69.23 29 50 Tidak bekerja 25 55.56 4 30.77 29 50 Total 45 100 13 100 58 100 P-value 0.119

(9)

Tabel 7 (lanjutan ) Pendapatan per kapita

≤ Rp149 999.00 0 0.00 1 7.14 1 1.67 Rp150 000.00 - Rp299 999.00 11 23.91 4 28.57 15 25.00 Rp300 000.00 - Rp499 999.00 24 52.17 7 50.00 31 51.67 ≥ Rp 500 000.00 11 23.91 2 14.29 13 21.67 Total 46 100 14 100 60 100 P-value 0.154

Pengeluaran per kapita Rp104 167.00 - Rp589 906.00 41 89.13 13 92.86 54 90 Rp589 907.00 - Rp892 500.00 5 10.87 1 7.14 6 10 Total 46 100 14 100 60 100 P-value 0.631

Pendapatan Per kapita

Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga. Sebaliknya kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dengan menggunakan garis kemiskinan.

Pengeluaran keluarga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi (BPS, 2006).

Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan atau ditabung. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraannya (BPS, 2006).

(10)

Tabel 7 memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan pendapatan perkapita antara keluarga contoh yang menggunakan LPG dan yang tidak menggunakan LPG. Hasil uji beda yang yang dilakukan juga mendukung hal tersebut (p>0.05). Persentase pendapatan perkapita terbesar dari keluarga contoh (51.67%) berkisar antara Rp300 000.00 – Rp499 000.00. Hal ini menggambarkan bahwa lebih dari separuh contoh telah bisa memenuhi pendapatan Rp10 000.00/orang/harinya. Sisanya sebesar 25 persen memiliki pendapatan per kapita yang rendah yaitu Rp150 000.00 – Rp299 999.00.

Pengeluaran Per kapita

Pengeluaran per kapita contoh dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan rata-rata pengeluaran per kapita Kota Bekasi yaitu sebesar Rp589 907.00 (BPS Jabar, 2007). Tabel 7 memperlihatkan bahwa hampir seluruh keluarga contoh (90%) berada dibawah rata-rata pengeluaran per kapita Kota Bekasi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa hampir seluruh contoh belum bisa memenuhi kebutuhan rata-rata penduduk Kota Bekasi pada umumnya. Hampir seluruh contoh dimungkinkan melakukan upaya lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga setiap bulannya.

Pengeluaran per kapita terhadap perilaku penggunaan LPG tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Persentase terbesar berada pada pengeluaran per kapita Rp104 167.00 - Rp589 906.00 baik pada keluarga contoh yang menggunakan LPG maupun yang tidak menggunakan LPG. Hasil uji beda yang dilakukan juga menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pengeluaran per kapita antara dua perilaku penggunaan LPG oleh keluara contoh.

Jika dibandingkan dengan pendapata per kapita, maka interval pengeluaran per kapita keluarga contoh menunjukkan angka yang lebih besar. Kondisi ini memungkinkan keluarga contoh melakukan upaya lain untuk menutupi kekurangan kebutuhannya. Kondisi dilapangan

(11)

menunjukkan keluarga contoh banyak yang meminjam uang untuk menutupi kekuarangannya tersebut.

Alokasi Pengeluaran Keluarga Contoh Sebelum dan Sesudah Program

Program konversi minyak tanah ke LPG secara disadari akan mengubah pola pengeluaran keluarga terutama pengeluaran untuk bahan bakar. Pola pengeluaran ini bisa menjadi lebih baik apabila terjadi pengurangan pengeluaran keluarga karena menggunakan LPG lebih hemat dibandingkan minyak tanah atau bahkan bisa memburuk dikarenakan sikap takut menggunakan LPG membuat contoh tetap menggunakan minyak tanah walaupun dengan harga yang melambung tinggi.

BPS (2002) membagi pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non-pangan. Pengeluaran untuk pangan yaitu pengeluaran untuk konsumsi kelompok padi-padian, ikan, daging, telur, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, minuman, dan makanan serta minuman jadi. Sementara pengeluaran untuk non-pangan adalah pengeluaran untuk konsumsi perumahan, bahan bakar, penerangan, air, barang dan jasa, pakaian, dan barang-barang tahan lama lainnya. BPS (2006) menilai bahwa pengeluaran keluarga adalah salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Keragaan alokasi pengeluaran keluarga contoh sebelum dan sesudah program tergambar pada Tabel 8.

Berdasarkan Tabel 8 terjadi perubahan persentase pengeluaran keluarga contoh sebelum dan sesudah program dilakukan. Perubahan itu memperlihatkan bahwa ada beberapa alokasi pengeluaran yang mengalami kenaikan dan ada juga yang mengalami penurunan. Secara keseluruhan, alokasi pengeluaran yang mengalami kenaikan setelah program konversi dilakukan adalah pengeluaran pangan dari 55.71 persen menjadi 60.14 persen, pengeluaran kesehatan dari 3.70 persen menjadi 3.86 persen, pengeluaran untuk rokok dari 5.14 persen menjadi 5.34 persen dan pengeluaran lain-lain dari 9.85 persen menjadi 11.63 persen. Hasil uji beda

(12)

menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pangan berbeda signifikan antara sebelum dan sesudah program (P<0.05)

Jika ditinjau dari terjadinya peningkatan pengeluaran untuk pangan, maka kondisi setelah program memperlihatkan terjadinya penurunan kesejahteraan keluarga contoh. Kondisi ini bisa terjadi dikarenakan saat program ini digulirkan pemerintah juga ikut menaikkan harga BBM yang berdampak pada naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Peningkatan alokasi pengeluaran untuk kesehatan menunjukkan bahwa tingkat kesehatan keluarga contoh saat sebelum dan sesudah program memperlihatkan adanya penurunan.

Alokasi pengeluaran keluarga lain yang mengalami peningkatan adalah alokasi pengeluaran lain-lain. Alokasi pengeluaran yang termasuk pengeluaran lain-lain antara lain pengeluaran pembayaran kredit, pajak, arisan, transport selain anak sekolah, pembelian air, rekreasi, telepon dan tabungan. Kondisi di lapangan menunjukkan alokasi untuk pembayaran kredit mengalami peningkatan dikarenakan dengan pendapatan yang terbatas, contoh memilih untuk mengambil kredit pinjaman terutama uang lebih banyak dibandingkan sebelum program.

Secara keseluruhan, alokasi pengeluaran keluarga contoh yang mengalami penurunan setelah program dilakukan adalah pengeluaran untuk pendidikan dari 10.80 persen menjadi 8.85 persen, pengeluaran untuk pakaian dari 1.45 persen menjadi 1.3 persen, dan pengeluaran untuk bahan bakar dari 13.35 persen menjadi 8.88 persen. Hasil uji beda menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pendidikan, pakaian, dan bahan bakar berbeda signifikan antara sebelum dan sesudah program (p<0.05)

Pengeluaran untuk pendidikan mengalami penurunan dikarenakan pada saat yang bersamaan dengan dilakukannya program konversi, telah berlangsung pendidikan gratis ditingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Uji hubungan yang dilakukan antara jumlah anak usia sekolah dengan pengeluaran untuk pendidikan memperlihatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jumlah anak usia sekolah

(13)

dengan pengeluaran untuk pendidikan setelah program dilakukan dengan nilai signifikansi 0.001 (p<0.05). Pengeluaran untuk pakaian mengalami penurunan dikarenakan pada saat harga bahan-bahan pokok melambung tinggi keluarga contoh lebih memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu dibandingkan kebutuhan akan pakaian.

Pengeluaran lainnya yang mengalami penurunan adalah pengeluaran untuk bahan bakar. Pengeluaran untuk LPG sebagai pengganti minyak tanah sangat mempengaruhi perubahan akumulasi pengeluaran bahan bakar. Hal ini dikarenakan menggunakan LPG memang jauh lebih hemat dibandingkan menggunakan minyak tanah. Saat penelitian dilakukan, data dari Dinas Perekonomian Rakyat Kota Bekasi menunjukkan bahwa harga minyak tanah mencapai Rp10 000.00/liter, naik hampir 4 kali lipat dibandingkan sebelum program konversi dilakukan.

Pengeluaran bahan bakar menjadi pengeluaran yang patut disoroti lebih dalam terkait dengan program konversi minyak tanah ke LPG. Program konversi secara disadari akan mengubah pola pengeluaran keluarga terutama alokasi pengeluaran untuk bahan bakar dengan asumsi awal bahwa harus ada pengurangan alokasi pengeluaran dari sebelum program dengan setelah program.

Besarnya persentase pengeluaran bahan bakar menunjukkan bahwa bahan bakar merupakan kebutuhan yang penting bagi masyarakat. Jika dilihat dari adanya penurunan alokasi pengeluaran bahan bakar maka adanya program ini dapat mengubah status kesejahteraan sebuah keluarga. Namun perubahan ini belum tentu dapat mengubah status kesejahteraannya menjadi lebih baik, hal ini dikarenakan penyesuaian terhadap alokasi pengeluaran setelah terjadinya penurunan pengeluaran untuk bahan bakar belum tentu membantu keluarga untuk menggunakan kelebihannya tersebut untuk ditabung atau kebutuhan pengembangan keluarga lainnya. Kondisi aktual yang terjadi menggambarkan penurunan pengeluaran bahan bakar diikuti dengan kenaikan pengeluaran akan pangan. Kondisi ini jika ditinjau

(14)

dari pengeluaran pangan maka terjadi penurunan tingkat kesejahteraan keluarga.

Tabel 8. Keragaan pengeluaran pangan dan non pangan keluarga contoh sebelum dan sesudah program konversi minyak tanah ke LPG

Alokasi Pengeluaran Total

Rata-rata ± sdev % Pengeluaran Pangan Sebelum 748912.5 ± 246819.57 55.71 Sesudah 949699.2 ± 293088 60.14 p-value 0.000 Pengeluaran Kesehatan Sebelum 49188.33 ±27872.66 3.70 Sesudah 60191.67 ±47706.91 3.86 p-value 0.480 Pengeluaran Pendidikan Sebelum 177484.7 ±212584.94 10.80 Sesudah 171666.7 ±216054.6 8.85 p-value 0.005

Pengeluaran Pakaian/Alas kaki

Sebelum 22258.33 ±30310.94 1.45

Sesudah 23125 ±31611.32 1.30

p-value 0.002

Pengeluaran Bahan Bakar

Sebelum 183408.3 ±108024.18 13.35 Sesudah 139614.2 ±77951.09 8.88 p-value 0.000 Pengeluaran Rokok Sebelum 127033.3 ± 65938.05 5.14 Sesudah 155612.9 ± 87407.73 5.34 p-value 0.625 Pengeluaran Lain-lain Sebelum 148441.3 ± 216604.07 9.85 Sesudah 209063.8 ± 303314.9 11.63 p-value 0.087 Total Sebelum 1456727 100 Total Sesudah 1708973 100 Tingkat Kesejahteraan

Garis kemiskinan di setiap daerah berbeda berdasarkan lokasi dan indeks harga konsumen yang berlaku di daerah tersebut. Garis kemiskinan Kota Bekasi menurut BPS tahun 2007 sebesar Rp233 535.00 /kapita/bulan. Perbandingan pendapatan per kapita Kota Bekasi dengan garis kemiskinan Kota bekasi tersebut dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu keluarga. Suatu keluarga dikatakan sejahtera jika pendapatan per kapitanya

(15)

diatas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. Tabel memperlihatkan kondisi kesejahteraan keluarga contoh program konversi minyak tanah ke LPG berdasarkan garis kemiskinan BPS kota Bekasi.

Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga. Sebaliknya kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Garis kemiskinan di setiap daerah berbeda berdasarkan lokasi dan indeks harga konsumen yang berlaku di daerah tersebut. Garis kemiskinan Kota Bekasi menurut BPS tahun 2007 sebesar Rp233 535.00 /kapita/bulan. Tabel 9 memperlihatkan kondisi kesejahteraan keluarga contoh program konversi minyak tanah ke LPG berdasarkan garis kemiskinan BPS kota Bekasi. Tabel 9. Sebaran keluarga contoh berdasarkan tingkat kesejahteraan

Kategori Menggunakan Tidak Menggunakan Total p value n % n % n % Miskin 25 54.35 11 78.57 36 60.00 0.108 Tidak Miskin 21 45.65 3 21.03 24 40.00 Total 46 100 14 100 60 100

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa terdapat lebih dari separuh keluarga contoh (60%) masuk kategori miskin, dan sisanya sebesar 40 persen masuk kategori sudah sejahtera. Kondisi ini memperlihatkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh belum bisa memenuhi kebutuhan dasar keluarganya baik makanan maupun non makanan. Jika dibedakan terhadap perilaku penggunaan maka pada perilaku tidak menggunakan LPG, lebih dari dua pertiga (78.57%) keluarga contoh merupakan kategori mskin. Namun tidak ada perbedaan signifikan tingkat kesejahteraan antara dua perilaku penggunaan LPG keluarga contoh (p>0.05)

(16)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan

Kesejahteraan suatau keluarga sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, Berdasarkan hasil analisis faktor yang paling berpengaruh terhadap kesejahteraan menunjukkan bahwa besar keluarga, pendidikan istri, pekerjaan istri, sikap terhadap program dan penurunan bahan bakar berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan (p<0.1) (Lampiran 2). Hasil uji regresi menunjukkan sebesar 76 persen faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan dapat dijelaskan dari hasil regresi sedangkan sisanya (24%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti.

Hasil regresi logistik menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap semakin menurunnya tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan jumlah anggota keluarga lebih kecil berpeluang sejahtera 0.024 kali dibandingkan keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga lebih besar. BPS menganggap jumlah anggota keluarga yang besar sebagai penambahan beban keluarga sehingga akan meningkatkan rasio ketergantungan (dependency ratio), apalagi jika tidak diikuti dengan penambahan pendapatan keluarga.

Istri yang bekerja berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan keluarga menurut BPS. Artinya, istri yang bekerja akan berpeluang lebih tidak sejahtera dibandingkan istri yang bekerja. Hal yang sama juga terjadi pada pendidikan istri. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa di Kelurahan Margahayu, persentase istri yang bekerja sebesar 62.07 persen, namun jumlah anggota keluarga di kelurahan ini pun lebih besar, sehingga kondisi ini akan sangat mempengaruhi akumulasi pendapatan per kapita yang menjadi perbandingan dalam perhitungan tingkat kesejahteraan.

(17)

Tabel 10. Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga Variabel Indikator (0 =tidak sejahtera; 1=sejahtera)

β Sig. Exp (B)

Jumlah anggota keluarga Umur suami

Umur istri Pekerjaan istri

(0=tidak bekerja, 1=bekerja) Pendidikan istri (Tidak tamat SD) Pendidikan istri (Tamat SD) Pendidikan istri (Tamat SMP) Pendidikan istri (Tamat SMA) Sikap terhadap program % bahan bakar (turun)

-3.711 0.213 0.048 -6.991 -4.189 -9.889 3.646 -1.287 1.553 4.289 0.14 0.243 0.816 0.076 0.155 0.019 0.174 0.607 0.035 0.077 0.024 1.237 1.049 0.001 0.015 0.000 38.316 0.276 4.725 72.893 R2 = 0.761 P Value = 0.080

Alokasi pengeluaran keluarga contoh sebelum dan sesudah program menunjukkan bahwa penurunan pengeluaran bahan bakar yang diakibatkan dari program ini dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga sasaran. Keluarga contoh yang mengalami penurunan bahan bakar berpeluang sejahtera 72.893 kali lebih besar dibandingkan keluarga yang tidak mengalami penurunan pengeluaran bahan bakar. Ini artinya keluarga yang menerima program konversi berpeluang lebih sejahtera dibandingkan yang tidak menerima. Penjelasan lebih lanjut tentang pegeluaran bahan bakar dan sikap keluraga contoh dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

Selain itu, hasil penelitian juga menggambarkan bahwa sikap terhadap program berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan. Keluarga yang memiliki sikap positif terhadap program berpeluang sejahtera 4.725 kali dibandingkan keluarga yang memiliki sikap negatif. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah mengurangi sikap negatif dan merubahnya menjadi sikap positif sangatlah diperlukan, hal ini dikarenakan upaya tersebut secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan keluarga sasaran program.

(18)

Sikap terhadap Program Sikap terhadap Program

Peter dan Olson (1996) mengartikan sikap sebagai evaluasi umum konsumen terhadap suatu objek. Ahmadi (1999) mengartikan sikap sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten. Jika ditinjau dari sisi rumah tangga sebagai konsumen, sikap diartikan sebagai ungkapan perasaan konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari objek tersebut.

Tabel 11. Sebaran keluarga contoh berdasarkan sikap terhadap program

Kategori sikap Menggunakan

Tidak Menggunakan Total n % n % n % Positif 26 56.52 1.00 7.14 27 45 Negatif 20 43.48 13.00 92.86 33 55 Total 46 100 14 100 60 100 p-value 0.00

Hasil penelitian menunjukkan secara keseluruhan lebih dari setengah (55%) keluarga contoh memiliki sikap negatif terhadap program dan sisanya (45%) keluarga contoh memiliki sikap positif. Pada perilaku tidak menggunakan hampir seluruh (92.86%) keluarga contoh memiliki sikap negatif terhadap program dan lebih dari separuh (56.52) keluarga contoh yang menggunakan LPG memiliki sikap postif terhadap program. Hasil uji beda yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan sikap keluarga contoh antara dua perilaku penggunaan LPG oleh keluarga contoh (p<0.05).

Sikap memiliki tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif. Tiga komponen tersebut merupakan satu bagian keseluruhan yang membuat seseorang memiliki kecenderungan terhadap sebuah objek psikologi. Penelitian ini menggunakan tiga komponen sikap untuk mengidentifikasi dan mengukur sikap keluarga contoh terhadap Program

(19)

Konversi Minyak Tanah ke LPG. Sikap diukur menggunakan pernyataan-pernyataan yang masing-masing mewakili komponen sikap tersebut.

Komponen kognitif adalah komponen sikap yang berhubungan dengan gejala mengenal fikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu. Komponene kognitif tergambar dari keyakinan contoh bahwa penggunaan LPG dapat dikatakan lebih hemat dibanding minyak tanah. Hampir seluruh keluarga cotoh (95%) menjawab antara setuju dan sangat setuju terhadap kondisi tersebut. Seperti yang dikemukakan contoh :

“make gas emang lebih murah Neng, tapi itu juga kalau ada uang, yah jadi kalau lagi gak ada uang ya pake kayu bakar aja” (Bpk Nimpan, 59 tahun)

Kondisi ini memang bisa terjadi karena dalam hitungan persentase pengeluaran keluarga untuk bahan bakar, terjadi penurunan pengeluaran antara menggunakan minyak tanah dengan menggunakan LPG dari 13,17 persen menjadi 9,28 persen.

Dari sisi pengetahuan tentang program, lebih dari separuh keluarga contoh (58.33%) tidak memiliki keyakinan bahwa program Konversi yang digulirkan oleh pemerintah dapat mengurangi pemakaian minyak tanah pada keluarga yang merupakan sasaran program. Persentase lebih besar yaitu 61.67 persen keluarga contoh menyatakan tidak setuju bahwa penggunaan minyak tanah memang harus dikurangi, hal ini dikarenakan banyak dari keluarga contoh yang merupakan sasaran program merasa kesulitan untuk membeli minyak tanah padahal pada waktu yang bersamaan, mereka belum berani menggunakan LPG dalam memasak, sehingga banyak dari mereka yang harus membeli minyak tanah dengan harga yang tinggi.

Komponen afektif adalah berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu. Hampir seluruh contoh memiliki sikap negatif terhadap kenyamanan dan keamanan

(20)

menggunakan LPG, contoh merasa lebih nyaman dan aman menggunakan minyak tanah dibandingkan LPG. Hal ini terjadi terutama di Kelurahan Margahayu, kondisi ini dikarenakan tempat tinggal yang masih tidak permanen dan berhimpitan dengan rumah lainnya serta bangunan yang didominasi oleh triplek membuat mereka tidak merasa aman menggunakan LPG. Alasan lain yang ditemukan dari dua kelurahan menunjukkan bahwa kebanyakan keluarga contoh takut menggunakan LPG dikarenakan pengalaman dan cerita yang tidak menyenangkan yang diperoleh dari media massa khususnya televisi serta orang lain.

Beberapa contoh mengemukakan hal tersebut :

“lebih aman pake minyak tanah, kalo pake gas kepikiran melulu” (Ibu Sriatun, 33 tahun)

“kondisi rumah masih gak aman buat make gas Neng, suka banyak tikus, saya takut selangnya digigit tikus..” (Ibu Cariwen, 34 tahun)

Hampir seluruh contoh (91.67%) setuju dengan ukuran LPG 3 kg yang dibagikan pemerintah, ada rasa kesukaan yang cukup tinggi dikarenakan LPG dengan ukuran tersebut mudah untuk dibawa jika ingin melakukan isi ulang dan praktis. Lebih dari separuh contoh (73.33%) yakin bahwa program ini dapat membuat masyarakat semakin sejahtera, kondisi ini dimungkinkan terjadi dikarenakan harga LPG isi ulang yang lebih murah dibandingkan harga minyak tanah pada saat program dilakukan.

Komponen konatif adalah berwujud proses tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya. Hanya 3.33 persen keluarga contoh yang memiliki kecenderungan untuk tetap menggunakan minyak tanah walaupun mendapatkan gas dari program ini. Namun, hampir dua pertiga (68,33%) contoh memiliki kecenderungan beralih kembali ke minyak tanah jika harga minyak tanah turun. Kondisi ini mencerminkan pemakaian LPG oleh keluarga contoh menjadi suatu bentuk yang tidak menyenangkan karena keluarga contoh memiliki kecenderungan untuk beralih menggunakan

(21)

minyak tanah jika harga minyak tanah turun. Hal ini senada seperti pernyataan contoh :

“saya takut make gas, kalau harga minyak tanah turun Saya pengen pake minyak tanah lagi” (Ibu Nini, 30 tahun)

“minyak tanah bisa dibeli eceran, gak punya duit Rp 15 000.00 ga bisa beli gas, makanya kalau harga minyak tanah turun Saya mau beralih ke minyak lagi” (Ibu Minah, 49 tahun)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Sikap adalah komponen yang tidak bersifat statis, sikap bersifat dinamis dan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Dalam penelitian ini, berdarkan hasil analisis faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan sikap contoh terhadap program menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan pekerjaan istri berpengaruh signifikan terhadap pembentukam sikap contoh terhadap program dengan nilai signifikansi masing-masing 0.000 dan 0.020 (p<0.05) (Lampiran 1). Hasil uji regresi menunjukkan sebesar 36 persen faktor yang berpengaruh terhadap sikap dapat dijelaskan dari hasil regresi sedangkan sisanya (64%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Berikut adalah model regresi:

Y = 15.611+0.083X1-0.611X2+2.014X3+2.782D1-2.145D2 Keterangan

X1 : Umur suami X2 : Pendidikan suami X3 : Pendidikan istri

D1 : Pekerjaan suami (1=bekerja, 0=tidak bekerja) D2 : Pekerjaan istri (1=bekerja, 0=tidak bekerja)

Umur suami yang lebih tua memiliki kecenderungan memiliki sikap positif, walaupun dari hasil regresi tidak menunjukkan bahwa umur suami berpengaruh signifikan terhadap pembentukan sikap positif. Hal ini dapat disebabkan karena suami tidak terlibat langsung pada program ini. Pendidikan suami juga tidak berpengaruh signifikan terhadap pembentukan sikap. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa suami dengan latar belakang tingkat pendidikan rendah mempunyai kecenderungan terhadap pembentukan sikap yang positif yang lebih besar.

(22)

Hasil uji regresi linear berganda menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan istri maka berpengaruh terhadap semakin positifnya sikap contoh terhadap program. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam memandang sebuah objek dan melakukan reaksi setelahnya. Tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi pengetahuan, kepercayaan dan pikiran seseorang yang juga merupakan bagian dari komponen sikap. Menurut Rangkuti (2006), Sikap berasal dari hasil belajar dan ini berarti bahwa manusia tidak dilahirkan dengan membawa suatu sikap tertentu. Jadi sikap merupakan suatu kecenderungan untuk berperilaku dan dapat dipengaruhi oleh situasi. Oleh karena itu tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi sikap seseorang menjadi lebih baik terhadap program.

Pekerjaan contoh dikelompokkan menjadi bekerja dan tidak bekerja. Analisis regresi menunjukkan pekerjaan suami tidak berpengaruh signifikan terhadap pembentukan sikap contoh, namun suami yang bekerja memiliki kecenderungan untuk membentuk sikap positif terhadap program. Kondisi yang berbeda terjadi pada pekerjaan istri. Istri yang bekerja berpengaruh signifikan terhadap pembentukan sikap terhadap program. Istri yang bekerja berpeluang lebih besar memiliki sikap negatif terhadap program. Hal ini dikarenakan istri yang bekerja memiliki peluang yang lebih besar untuk berkomunikasi dengan orang lain dan terpapar informasi negatif tentang program.

(23)

Tabel 12. Faktor yang berpengaruh terhadap sikap keluarga contoh terhadap program Model 3 (Constant) Umur suami Pendidikan suami Pendidikan istri Pekerjaan suami Pekerjaan istri Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 15.611 3.662 4.263 .000 .083 .044 .267 1.859 .070 -.611 .487 -.196 -1.254 .217 2.014 .467 .751 4.309 .000 2.782 2.119 .163 1.313 .197 -2.145 .882 -.306 -2.432 .020 Adj R Square = 0.355 Perilaku Penggunaan

Sumarwan (2002) mengartikan perilaku konsumen sebagai semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan, produk dan jasa, sampai kepada evaluasi. Penelitian ini menggunakan konsep perilaku konsumen untuk mengidentifikasi perilaku sasaran program dalam menggunakan produk program baik mencakup perilaku pembelian maupun perilaku konsumsi/penggunaan.

Tidak semua program yang dilakukan pemerintah akan mendapatkan respon positif dari masyarakat, apalagi jika program tersebut berhubungan dengan adanya proses perubahan perilaku dan budaya yang sudah mengakar cukup lama di masyarakat. Sama halnya yang terjadi pada Program Konversi Minyak Tanah ke LPG, masyarakat dihadapkan kepada keputusan untuk mengubah perilakunya dari menggunakan minyak tanah yang menurut mereka memiliki resiko kecelakaan yang kecil menjadi menggunakan LPG dengan resiko yang lebih tinggi. Maka tidak mengherankan, ada beberapa contoh yang tidak menggunakan produk program dikarenakan berbagai alasan.

Kondisi ini dapat digambarkan dari perilaku penggunaan LPG yang dilakukan oleh keluarga contoh. Penelitian ini mengoperasionalkan perilaku

(24)

pengunaan LPG menjadi dua yaitu (1) Menggunakan LPG dan (2) tidak menggunakan LPG. Tabel 13 menunjukkan bahwa dua pertiga keluarga contoh (76.67%) menggunakan LPG sejak diberikan oleh aparat pemerintah terkait dan digunakan sampai penelitian dilakukan. Alasan utama (89,13%) perilaku ini dilakukan oleh keluarga contoh adalah harga minyak tanah yang melambung tinggi dan langkanya minyak tanah di pasaran dan hanya 10,87 persen keluarga contoh yang beralih ke penggunaan LPG dikarenakan mereka tahu manfaat LPG dibandingkan minyak tanah. Melihat kondisi ini maka penggunaan LPG oleh keluarga contoh menjadi suatu perilaku yang dipaksakan.

Jika menggunakan analisis kebijakan publik yang dikeluarkan Dwidjowijoto (2003) maka ketidaksiapan sasaran program merupakan salah satu indikator bahwa program ini belum efektif dalam ketepatan targetnya. Target sebuah kebijakan harus merasa siap baik dalam arti secara alami maupun bebas dari kondisi konflik. Idealnya, target juga berada dalam kondisi mendukung pelaksanaan program dan menyadari akan manfaat yang besar dari program tersebut.

Tabel 13. Sebaran keluarga contoh berdasarkan perilaku Penggunaan LPG

No Menggunakan LPG Total

n %

1 Ya 46 76.67

2 Tidak 14 23.33

Total 60 100

Sebesar 23.33 persen keluarga contoh tidak menggunakan LPG saat penelitian dilakukan. Keluarga contoh yang tidak menggunakan LPG memiliki dua kecenderungan, yaitu tidak menggunakan LPG sejak produk program tersebut diberikan di awal program dan tidak menggunakan setelah pernah mencoba menggunakan untuk beberapa kali namun sudah tidak dilakukan saat penelitian dilakukan. Alasan utama yang menjadi pendorong keluarga contoh tidak menggunakan LPG sejak diberikan adalah 80 persen dikarenakan takut menggunakan LPG dan 20 persen karena tidak

(25)

diperbolehkan oleh pemilik kontrakkan yang contoh tempati. Hal itu dikarenakan bentuk rumah yang terbuat dari triplek dan sangat berhimpitan dengan rumah lainnya. Pada kondisi ini, produk program yang tidak digunakan sebesar 80 persen diberikan ke keluarga lain dan 20 persen lainnya dijual. Perilaku ini didukung oleh pernyataan yang contoh kemukakan :

“disini semua yang ngontrak dapet, asal punya kartu keluarga, tapi gak boleh dipake sama yang punya kontrakkan, takut meleduk katanya” (Laswi, 33 tahun)

Alasan keluarga contoh tidak lagi menggunakan LPG setelah beberapa kali menggunakan produk program tersebut dikarenakan sebanyak 80 persen memiliki rasa takut yang tinggi, setiap kali ingin memasak, istri sebagai pengguna produk program harus meminta bantuan kepada orang lain terutama suami untuk menyalakan dan mematikan kompor LPG. Jika tidak ada bantuan maka istri memutuskan untuk tidak memasak. Kondisi ini membuat seluruh keluarga contoh merasa tidak nyaman dan akhirnya mengganti penggunaan LPG. Sebesar 20 persen keluarga contoh tidak lagi menggunakan LPG dikarenakan produk sudah rusak parah dan tidak memiliki uang untuk menggantinya. Pada kondisi ini produk program yang sudah lagi tidak digunakan sebesar 40% diberikan kepada keluarga lain, 40% disimpan dan 20% di jual. Beberapa pernyataan contoh yang mendukung perilaku ini antara lain :

“kalo gak ada minyak tanah gak bisa masak, waktu pake gas, kalo bapak ga ada, Saya gak berani nyalain gas, jadinya Saya gak masak. Trus kalo pake gas harus punya banyak uang, gak bisa dibeli eceran, harus nunggu punya uang Rp15 000.00, padahal kalo pake kompor bisa dikontrol makenya” (Suminta, 65 tahun)

“Saya takut nyalain gas, Saya minta tolong sama orang yang ada di rumah, kalo lagi gak ada orang, Saya gak masak.” (Mumun, 45 tahun)

Atribut pada perilaku pembelian yang ditanyakan dalam penelitian ini antara lain tempat pembelian, cara pembayaran, jenis yang dibeli, dan cara pemesanan produk. Tabel 16 menggambarkan tempat penjualan yang

(26)

biasa contoh datangi untuk membeli LPG isi ulang. Untuk atribut tempat pembelian, sebesar 50 persen contoh membeli LPG isi ulang di warung dan hanya 13.04 persen contoh yang membeli LPG isi ulang selalu di agen, sebanyak 36.96 persen pernah melakukan pembelian LPG di agen untuk pertama kali dan selanjutnya selalu melakukan pembelian di warung.

Dalam program konversi, agen adalah tempat penjualan yang diberikan wewenang oleh pemerintah untuk menjual langsung kepada masyarakat dengan mekanisme perizinan resmi yang secara otomatis membuat agen harus mengikuti harga resmi penjualan LPG oleh pemerintah. Maka tidak mengherankan, harga yang dijual oleh agen jauh lebih murah dibandingkan harga yang dijual oleh warung. Namun, lokasi agen yang tidak menyebar didekat tempat tinggal contoh membuat contoh jarang menggunakan jasa agen. Masyarakat banyak yang menggunakan jasa warung yang lokasinya lebih dekat walaupun memiliki harga jual yang jauh lebih tinggi

Tabel 14. Sebaran keluarga contoh berdasarkan lokasi pembelian LPG Tempat pembelian

LPG

Duren Jaya Margahayu Total

n % n % N %

Agen 5 20 1 4.76 6 13.04

Warung 7 28 10 47.62 17 36.96

Agen dan warung 13 52 10 47.62 23 50.00

Total 25 100 21 100 46 100

Untuk atribut cara pembelian, 88 persen keluarga contoh melakukan pembelian secara langsung yaitu langsung mendatangi warung atau agen. Untuk atribut cara pembayaran, 100 persen keluarga contoh melakukan secara tunai, pada kondisi ketika contoh tidak memilki uang untuk membeli LPG biasanya contoh akan meminjam uang ke tetangga atau terpaksa menunda pembelian LPG hal ini dikarenakan setiap warung ataupun agen hanya membuka peluang kepada transaksi yang bersifat tunai.

Perilaku penggunaan ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan program konversi minyak tanah ke LPG. Semakin banyak sasaran

(27)

program yang menerima program dan beralih menggunakan LPG akan mempengaruhi kondisi penggunaan bahan bakar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menggambarkan bahwa terjadi pengurangan konsumsi minyak tanah oleh keluarga contoh dari 91,67% sebelum program dan menjadi 5% setelah program dilaksanakan, kondisi ini sejalan dengan terjadinya peningkatan penggunaan LPG dari 18.33% sebelum program dan menjadi 76.67% setelah program. Namun di sisi lain, penggunaan kayu bakar terlihat meningkat yaitu dari 3.33% menjadi 5% (Gambar 3), meningkatnya penggunaan kayu bakar pada keluarga contoh dikarenakan contoh tidak mampu membeli LPG atau pun minyak tanah karena pada saat yang bersamaan naiknya harga bahan bakar membuat harga-harga bahan pokok lainnya juga ikut meningkat.

Gambar 3. Persentase penggunaan bahan bakar sebelum dan sesudah program

Hasil uji beda t-Paired yang dilakukan terhadap penggunaan bahan bakar antara sebelum program dan setelah program mendukung hasil penelitian tersebut. Hasil uji beda tersebut menunjukkan bahwa terjadi perbedaan signifikan antara pemakaian bahan bakar sebelum dan sesudah program dengan tingkat signifikansi sebesar 0.00 (p<0.05).

Dalam pelaksanaan Program Konversi Minyak Tanah ke LPG pemerintah membuat beberapa regulasi penunjang dan blueprint pelaksanaan program yang dijadikan acuan beberapa pihak yang

91.67 18.33 5 76.67 3.33 5 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

minyak tanah LPG kayu bakar

(28)

berkepentingan. Ketepatan contoh dan kelengkapan paket yang diterima contoh menjadi bagian penting yang diketahui dalam penelitian ini.

Blueprint program pengalihan minyak tanah ke LPG yang dikeluarkan oleh

departemen ESDM (2007) mengemukakan beberapa kriteria sasaran program adalah keluarga yang: 1) memiliki bukti kependudukan; 2) menggunakan minyak tanah sebelumnya dan 3) tidak memiliki kompor LPG sebelumnya.

Gambar 4 menunjukkan bahwa dari enam puluh keluarga contoh yang merupakan sasaran program lebih dari dua pertiga contoh (86.67%) telah tepat sasaran, artinya telah mememenuhi tiga kriteria tersebut. Sedangkan sisanya (13.33%) tidak tepat sasaran, hal ini dikarenakan keluarga contoh telah memiliki kompor LPG, tidak menggunakan minyak tanah sebelumnya atau tidak memiliki bukti kependudukan. Kondisi kelengkapan paket menunjukkan bahwa seluruh keluarga miskin (100%) mendapatkan paket produk dalam keadaan lengkap yang mencakup: 1) tabung LPG dan isi perdana; 2) kompor LPG dan 3) Aksesoris (selang dan regulator).

Gambar 4. Persentase ketepatan sasaran program Konversi Minyak Tanah ke LPG

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Penggunaan LPG

Berdasarkan hasil analisis faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku penggunaan LPG oleh keluarga contoh menunjukkan bahwa sikap terhadap program berpengaruh signifikan dengan nilai signifikansi 0.013 (p<0.05) (Lampiran 3). Hasil uji regresi menunjukkan sebesar 80.8 persen faktor yang berpengaruh terhadap perilaku penggunaan LPG dapat dijelaskan dari hasil regresi sedangkan sisanya (19.2%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti.

(29)

Hasil uji regresi logistik menyatakan bahwa semakin positif sikap keluarga contoh terhadap program maka akan diikuti perilaku menggunakan LPG sebagai bahan bakar memasak. Studi tentang sikap merupakan kunci untuk memahami mengapa seseorang berperilaku sedemikian rupa. Disamping itu, sikap merupakan hasil evaluasi yang mencerminkan rasa suka atau tidak suka terhadap suatu objek, sehingga dengan mengetahui hasil evaluasi tersebut, kita dapat menduga seberapa besar potensi pembeliannya (Rangkuti, 2006) atau melakukan suatu perilaku tertentu.

Pada kasus Program Konversi Minyak Tanah ke LPG, sikap positif terhadap program akan diikuti perilaku menerima program dan menggunakan produk program. Keluarga contoh yang sebelum program menggunakan minyak tanah akan beralih menggunakan LPG jika contoh tersebut memiliki sikap yang positif terhadap program. Tabel memperlihatkan bahwa keluarga yang memiliki sikap negatif sebesar 92.86 persen beperilaku tidak menggunakan LPG dan keluarga yang memiliki sikap positif sebesar 56.52 persen berperilaku menggunakan LPG.

Jumlah anggota keluarga yang lebih banyak memiliki kecenderungan keluarga contoh akan berperilaku tidak menggunakan LPG, walaupun dari hasil regresi tidak menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh signifikan terhadap pembentukan sikap positif terhadap program.

Umur suami dan istri memiliki kecenderungan berpengaruh yang berbeda terhadap perilaku penggunaan LPG. Umur suami memiliki kecenderungan berpengaruh negative. Hal ini menunjukkan bahwa ini artinya semakin muda umur suami akan diikuti perilaku penggunaan LPG pada keluarga contoh. Sementara itu, umur istri memiliki kecenderungan berpengaruh positif. Ini artinya semakin muda umur istri maka akan diikuti perilaku tidak menggunakan LPG dalam kesehariannya. Hal ini juga tergambar pada Tabel 7 dimana persentase paling besar pada perilaku menggunakan LPG didominasi (68.57%) oleh suami usia dewasa menengah, sedangkan hal yang berbeda terjadi pada usia istri dimana perilaku tidak

(30)

menggunakan LPG didominasi oleh usia istri usia menengah yaitu sebesar 69.23 persen.

Pekerjaan contoh dikelompokkan menjadi bekerja dan tidak bekerja. Analisis regresi menunjukkan pekerjaan suami tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku penggunaan LPG, namun suami dan istri yang bekerja memiliki kecenderungan positif untuk menjadi faktor yang mempengaruhi penggunaan LPG oleh keluarga contoh. Hal ini dapat dilihat pada Tabel bahwa kecenderungan istri yang bekerja memiliki persentase lebih besar terhadap perilaku menggunakan LPG yaitu sebesar 69.23 persen. Hasil analisis faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan LPG tersaji pada Tabel 15.

Tabel 15. Faktor yang berpengaruh terhadap perilaku penggunaan LPG pada keluarga contoh

Variabel

1= Menggunakan, 0=tidak menggunakan

β Sig. Exp (B)

Jumlah anggota keluarga Umur suami

Umur istri Pekerjaan suami

(0=tidak bekerja, 1=bekerja) Pekerjaan istri

(0=tidak bekerja, 1=bekerja) Sikap terhadap program Constant -.100 -.252 .265 24.653 2.876 1.179 -26.352 .815 .237 .260 .999 .118 .013 .032 .905 .777 1.303 5.089 17.752 3.252 .000 R2 = 0.808 P Value = 0.002 Tingkat Kepuasan

Customer Satisfaction Index (CSI)

Nilai rata-rata untuk tingkat kepentingan dan tingkat kinerja masing-masing atribut kepuasan program akan digunakan untuk menghitung kepuasan keluarga contoh yang merupakan sasaran program dengan menggunakan Customer Satisfaction Index (CSI) dengan metode perhitungan yang telah dijelaskan pada bab metode penelitian. Perhitungan

(31)

CSI digunakan untuk mengukur secara keseluruhan tingkat kepuasan keluarga contoh terhadap Program Konversi Minyak Tanah ke LPG.

Dari hasil penghitungan diperoleh hasil bahwa indeks kepuasan contoh secara keseluruhan terhadap seluruh dimensi program Konversi Minyak Tanah ke LPG yaitu 0.74 dan berada pada predikat “puas”. Hal ini dikarenakan nilai CSI tersebut berada di antara rentang 0.66-0.80.

Beberapa atribut yang diukur adalah: Harga LPG yang murah, keamanan tabung yang terjamin, ketahanan kompor yang baik, bentuk kompor LPG, dan ketahan selang dan regulator yang terjamin, ketersediaan bahan informasi, sosialisasi penggunaan gas, sosialisasi program konversi, ketersediaan gas yang mencukupi, dan penetapan sasaran program.

Posisi CSI yang berada di rentang puas menunjukkan bahwa keseluruhan contoh sudah merasa puas dengan pelaksanaan program yang diselenggarakan oleh pemerintah. Untuk atribut terkait kualitas produk program, tingkat kepuasan terendah berada pada kualitas selang dan regulator. Contoh kerap mengambil kredit selang dan regulator untuk mengganti selang dan regulator yang diberikan oleh pemerintah yang sudah rusak. Selain itu, ketidakstabilan harga isi ulang LPG di warung yang cenderung lebih mahal membuat contoh juga merasa tidak puas.

Contoh merasa sosialisasi dari pemerintah tentang penggunaan LPG masih sangat kurang, padahal menurut contoh sosialisasi itu sangat dibutuhkan dikarenakan banyak dari contoh yang masih belum terbiasa menggunakan LPG baik dikarenakan takut ataupun tidak tahu. Contoh juga mengemukakan pada awal program dilaksanakan, sering ada petugas yang bertugas mengecek keadaan tabung, namun akhirnya petugas tersebut menyarankan untuk mengganti selang dan regulator dengan alasan agar lebih aman. Kondisi ini membuat contoh merasa kedatangan petugas tidak terlalu banyak membantu karna hanya memilki motif untuk menjual produk.

(32)

Important and Performance Analysis (IPA)

Analisis kepentingan keluarga contoh terhadap program konversi minyak tanah ke LPG dilakukan melalui metode IPA (Importance and

Performance Analysis). Analisis IPA menggunakan lima puluh tiga keluarga

contoh untuk analisis kepuasan dan kepentingan penyelenggaraan program oleh pemerintah, dari enam puluh contoh terdapat tujuh keluarga contoh yang tidak bisa dilakukan pengolahan IPA dikarenakan mereka tidak pernah menggunakan produk program sekalipun karena langsung diberikan ke orang lain dan ada juga yang dijual.

Atribut-atribut yang telah dinilai digambarkan ke dalam matriks untuk mengetahui atribut yang kinerjanya perlu dipertahankan, ditingkatkan dan dievaluasi kembali. Skor rataan antara tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan contoh akan menentukan koordinat atribut. Berikut ini hasil pengukuran kepuasan contoh yang digambarkan melalui Importance and

Performance Analysis matrix

Gambar 5. Importance and Performance Matrix dimensi program. Keterangan :

1. Harga LPG yang murah

2. Keamanan tabung yang terjamin 3. Ketahanan kompor

4. Bentuk kompor LPG

5. Ketahanan selang dan regulator yang terjamin 6. Ketersediaan bahan informasi

(33)

8. Sosialisasi program konversi ke masyarakat 9. Ketersediaan LPG yang mencukupi 10. Penetapan contoh program

Kuadran 1. Pada kuadran ini menunjukkan prioritas utama dimana

atribut-atribut dianggap sangat penting oleh contoh, namun manajemen pelaksanaan program belum sesuai keinginan contoh, sehingga contoh tidak puas. Atribut-atribut yang masuk kuadran ini adalah harga LPG dan ketahanan selang dan regulator.

Pada pelaksanaanya, dua atribut tersebut masih jauh dari harapan contoh. Ketidakpuasan terhadap atribut harga dikarenakan menurut contoh harga LPG saat ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan penghasilan yang mereka dapatkan sehari-hari. Hal ini dikarenakan hampir seluruh contoh (91.67%) keluarga contoh mendapatkan pendapatan harian sehingga contoh merasa sulit untuk melakukan manajemen penghasilan untuk membeli LPG ketika LPG habis.

Ketidakpuasan atribut ketahanan selang dan regulator juga ditemui dari hasil penelitian. Hal ini bisa terjadi dikarenakan kualitas ketahanan selang dan regulator tidak memuaskan. Banyak dari contoh harus mengambil kredit untuk mengganti selang dan regulator yang sudah rusak walaupun masa pakai dari produk program tersebut belum terlampau lama.

Kuadran 2. Kuadran ini Menunjukkan atribut-atribut yang dianggap

sangat penting dan manajemen telah berhasil melaksanakannya, sehingga contoh menjadi sangat puas. Hal ini membuat manajenen pembuat program harus mempertahankan prestasi. Atribut-atribut tersebut adalah keamanan tabung yang terjamin, ketahanan kompor dan ketersediaan LPG yang mencukupi.

Keluarga contoh merasa bahwa ketersediaan LPG di wilayah sudah cukup baik dan merata, hanya beberapa waktu seperti hari raya ketersediaan LPG menjadi jarang. Ketahanan kompor juga sudah cukup baik dan kondisi tabung yang digunakan maupun yang didapat diarasa oleh contoh sudah cukup terjamin.

(34)

Kuadran 3 Menunjukkan beberapa atribut-atribut yang kurang

penting pengaruhnya bagi contoh program dan menjadi prioritas rendah, pelaksanaanya oleh pembuat program ataupun stakeholder yang berkaitan biasa-biasa saja, dianggap kurang penting sehingga pembuat program ataupun stakeholder yang berkaitan tidak perlu melakukan perbaikan. Beberapa atribut yang masuk kuadran ini adalah ketersediaan bahan informasi, sosialisasi penggunaan LPG yang aman ke masyarakat, sosialisasi program konversi ke masyarakat, dan penetapan contoh program.

Kuadran 4. Menunjukkan atribut yang menurut contoh kurang

penting, akan tetapi pelaksanaanya berlebihan, dianggap kurang penting tetapi sangat memuaskan. Pembuat program dan stakeholder yang berkaitan pelu menurunkan kinerja agar dapat mengefisienkan sumberdaya. Atribut yang masuk kuadran ini adalah bentuk kompor LPG yang diberikan, contoh menganggap bentuk kompor menjadi tidak penting namun fungsi dan ketahanan kompor yang menurut contoh menjadi sangat penting.

Strategi Perbaikan Program Konversi Minyak Tanah ke LPG

Analisis kesejahteraan suatu keluarga yang dilakukan menempatkan penurunana pengeluaran bahan bakar setelah program berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan suatu keluarga, namun kondisi sebaliknya juga menempatkan sikap terhadap program berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan suatu keluarga. Sikap yang masih didominasi sikap negatif perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Ada beberapa strategi yang dilakukan untuk mengubah sikap seorang konsumen. Pengubahan ini menggunakan dasar komponen sikap untuk mendapatkan hasil yang optimal dan disesuaikan dengan kebutuhan. Melihat data dilapangan menunjukkan bahwa komponen konatif berkontribusi lebih besar terhadap pembentukan sikap negatif keluarga contoh. Contoh memiliki kecenderungan untuk beralih kembali ke minyak tanah jika harga minyak tanah turun. Kondisi ini sebenarnya juga

(35)

dikarenakan contoh merasa tidak aman menggunakan LPG (komponen afektif) dan rendahnya pengetahuan mereka tentang program ataupun perilaku penggunaan. Oleh karena itu dengan melihat beberapa komponen sikap tersebut, menurut Rangkuti (2006) beberapa ada strategi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki sikap contoh antara lain :

a. Mengubah komponen afektif

Hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan rasa suka konsumen secara tidak langsung, jika kondisi ini berhasil maka rasa suka yang meningkat tersebut cenderung meningkatkan kepercayaan postif yang dapat mengarah ke perilaku penggunaan. Sementara itu, cara umum untuk mempengaruhi komponen afketif secara langsung adalah melalui classical conditioning, yaitu proses pemberian infomasi dan stimulus secara berulang. Misalnya saja dengan melakukan pemberian informasi tentang kegunaan LPG yang dilakukan secara berkala dan terus menerus.

b. Mengubah komponen kognitif

Pendekatan yang paling umum untuk mengubah sikap adalah berfokus pada komponen kognitif. Dengan berubahnya kepercayaan, perasaan dan perilaku, sikap juga akan berubah. Mengubah komponen ini dapat dilakukan pemerintah dengan terus melakukan sosialisasi baik melalui media cetak maupun media elektronik. c. Mengubah komponen perilaku

Mengubah komponen perilaku sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan memberikan produk program secara gratis sehingga masyarakat mau mencoba. Selain itu, naiknya harga minyak tanah membuat masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk menggunakan LPG. Namun, untuk terus menjaga perilaku ini terus teradopsi di keluarga, maka pemerintah perlu menjaga perilaku tersebut dengan mengubah komponen kognitiif dan afektif sehingga yang muncul berikutnya adalah pengetahuan yang positif terhadap

(36)

program dan rasa suka. Sehingga penggunaan LPG pada waktu berikutnya tidak lagi menjadi perilaku yang dipaksakan.

Disamping fokus pada perubahan sikap sasaran, analisis tingkat kepuasan dan kepentingan perlu dilakukan untuk melihat evaluasi sasaran terhadap program yang telah berlangsung. Analisis tingkat kepuasan dengan menggunakan metode CSI menempatkan kepuasan terhadap keseluruhan program berada pada interval puas. Namun, analisis tingkat kepentingan dan kinreja menggunakan metode IPA memperlihatkan atribut-atribut yang pemerintah harus perbaiki demi terselenggaranya perbaikan program sampai tahun 2012 nantinya.

Analisis IPA menempatkan harga LPG dan ketahanan selang dan regulator pada kuadran yang memiliki tingkat kepentingan tinggi namuan kinerja pemerintah yang masih rendah.Pada pelaksanaanya, dua atribut tersebut masih jauh dari harapan contoh. Ketidakpuasan terhadap atribut harga dikarenakan menurut contoh harga LPG saat ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan penghasilan yang mereka dapatkan sehari-hari. Hal ini dikarenakan hampir seluruh contoh (91.67%) keluarga contoh mendapatkan pendapatan harian sehingga contoh merasa sulit untuk melakukan manajemen penghasilan untuk membeli LPG ketika LPG habis. Ketidakpuasan atribut ketahanan selang dan regulator juga ditemui dari hasil penelitian. Hal ini bisa terjadi dikarenakan kualitas ketahanan selang dan regulator tidak memuaskan.

Strategi perbaikan yang dilakukan selain memperbaiki mekanisme harga dan kualitas selang dan regulator, pemerintah juga perlu melakukan upaya sosialisasi yang terus menerus kepada masyarakat. Upaya ini perlu dilakukan untuk mengurangi sikap negatif sasaran program. Sosialisasi program dapat dilakukan melalui media masa ataupun langsung menyentuh masyarakat dengan mengetahui terlebih dahulu sistem keorganisasian masyarakat sehingga informasi dapat efektif menyentuh masyarakat.

Gambar

Tabel 4. Luas kelurahan dan kepadatan penduduk
Tabel  5.    Jumlah  keluarga  menurut  tahapan  keluarga  sejahtera  di  Kecamatan     Bekasi Timur  tahun 2007
Tabel 6. Data penerima program JASKESMAS, Raskin, dan BLT
Tabel 7. Sebaran keluarga  contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi  keluarga contoh  Kategori  Perilaku Penggunaan LPG  Menggunakan  Tidak  Menggunakan  Total  n  %  n  %  n  %  Besar Keluarga  Kecil (≤ 4 orang)  23  50  6  42.86  29  48.33  Sedang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungannya dapat dilihat dari pembelajaran Numbered Heads Together yang merupakan bagian dari model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus,

cukup kuat untuk mempengaruhi mereka, yang ada malah saya yang di pengaruhi, dan kadang kalau saya melakukan kesalahan atau melukai hati Tuhan, saya sangat sulit untuk

Kesiapan kerja sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantara faktor yang dianggap memiliki pengaruh yang signifikan yaitu motivasi kerja, bimbingan karier, dan prestasi

Admin Input Data Admin Olah Data Admin Admin Member Input Data Member Olah Data Member Member Paket Input Data Paket Olah Data Paket Paket Detail Paket Jasa Input Data

Pada bab ini, Anda akan diajak untuk dapat memahami struktur atom, sifat-sifat periodik unsur, dan ikatan kimia, dengan cara memahami struktur atom berdasarkan teori atom

Pada intinya dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, apabila seseorang ingin menggadaikan kepada orang lain terhadap suatu gadaian, dengan syarat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber informasi paling berkesan sebelum penyuluhan dengan tingkat pengetahuan santri mengenai

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji proses koreksi terrain dan contoh penerapannya pada citra Landsat TM; Kemudian artikel tentang “Perbandingan Teknik Orthorektifikasi Citra