• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Sistem Manajemen Mutu Iso 9001:2008 di Politeknik Negeri Pontianak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi Kebijakan Sistem Manajemen Mutu Iso 9001:2008 di Politeknik Negeri Pontianak"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM MANAJEMEN MUTU

ISO 9001:2008 DI POLITEKNIK NEGERI PONTIANAK

Lilis Listiyawati

1

,

Zulkarnaen

2

,

Sugito

3

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Magister Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak

ABSTRAK

Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) merupakan Perguruan Tinggi yang

mengimplementasikan SMM ISO 9001:2008. Penelitian ini berkaitan dengan impelementasi SMM ISO di UPT PP Polnep dalam melakukan perawatan peralatan pembelajaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan implementasi SMM ISO 9001:2008 di Unit Pelaksana Teknis (UPT PP) di Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) dalam melakukan kegiatan perawatan peralatan pembelajaran sehingga kurang berhasil secara optimal. Penelitian ini adalah penelitian deskriptip dan alat pengumpul data menggunakan interview, observasi dan dokumentasi. Analisa data menggunakan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang menyebabkan UPT PP kurang berhasil mengimplementasikan SMM ISO 9001:2008 secara optimal adalah faktor komunikasi, sumber daya dan struktur birokrasi. Pada faktor komunikasi, komunikasi internal seperti pertemuan rutin dan evaluasi tidak dilakukan. Komunikasi yang tidak efektif ini menyebabkan kesulitan dalam pembagian kerja dan pelaksanaan tugas. Pada faktor sumber daya, keterbatasan kualitas sumber daya manusia, anggaran dan fasilitas menyebabkan kurang berhasilnya implementasi kebijakan SMM ISO 9001:2008 secara optmal. Ketrampilan para teknisi belum sesuai dengan ketrampilan yang dibutuhkan untuk merawat peralatan untuk proses belajar mengajar. UPT PP hanya memperoleh 4,7 % dari 100% anggaran untuk melaksanakan perawatan yang baik. Pada faktor fasilitas, peralatan kerja, dan pakaian pelindung kerja tidak lengkap. Di samping itu, suku cadang tidak selalu tersedia di bengkel. Pada faktor struktur birokrasi, struktur organisasi dan kewenangan relatip baik, namun standar operasional prosedur (SOP) untuk melakukan perawatan masih belum lengkap dilaksanakan dimana dokumentasi proses tidak dilakukan sesuai SOP. Rekomendasi yang disarankan adalah: pertama, meningkatkan komunikasi internal secara efektif melalui pertemuan rutin dan evaluasi. Kedua, meningkatkan jumlah dan keterampilan teknisi dengan mengajukan pelatihan keterampilan yang dibutuhkan yang sesuai dengan peralatan yang akan dirawat. Ketiga, mengajukan anggaran yang dibutuhkan untuk melakukan perawatan yang dilengkapi dengan data peralatan yang harus dirawat. Keempat, seluruh teknisi harus dilengkapi dengan kotak peralatan, peralatan pelindung dan suku cadang rutin harus selalu tersedia.

Kata kunci : SMM ISO 9001:2008, Implementasi, Perawatan dan Dokumentasi.

1

PNS

2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak

(2)

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Era globalisasi merupakan sebuah masa yang membuka peluang setiap warga dunia untuk dapat berinteraksi dengan cepat. Setiap individu dari berbagai negara memperoleh kesempatan untuk bekerja dimana saja yang telah menjalin kesepakatan tertentu. Era globalisasi dengan system networking mengharuskan negara untuk menjalin sistem jaringan dalam segala segi untuk dapat beradaptasi dengan berbagai perubahan yang cepat dari waktu kewaktu dan bersinergi membangun kekuatan tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang lainnya seperti sosial, kebudayaan dan pertahanan. Faktor kualitas yang diakui secara nasional maupun internasional menjadi salah satu kebutuhan penting untuk dapat berpartisipasi aktif dalam era globalisasi saat ini.

Setiap lembaga pendidikan berusaha untuk menciptakan lulusan dengan kualitas yang diakui secara nasional maupun internasional. Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) telah mengeluarkan undang-undang yang mencantumkan kriteria mutu lulusan agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Adapun undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mendukung Undang-undang pendidikan tersebut, Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) sebagai lembaga vokasi yang ada di Pontianak berusaha mencetak lulusan yang profesional dan mampu bersaing di pasar kerja secara nasional maupun internasional. Hal ini sesuai dengan visi dan misi Polnep. Adapun visi dan misi polnep sebagaimana tercantum dalam di dalam Buku Saku Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008 Politeknik Negeri Pontianak(2009 : vi) adalah :

Visi Politeknik Negeri Pontianak adalah Pada tahun 2020 menjadi lembaga pendidikan vokasi terbaik dan terpercaya di tingkat nasional dan internasional. Sedangkan misi yang diemban adalah menyelenggarakan pendidikan vokasi dan penelitian terapan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat guna menunjang upaya pembangunan nasional, sesuai dan sepadan dengan kebutuhan masyarakat. Membina dan mengembangkan profesionalisme yang sehat dan dinamis, serta mengembangkan dan mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dengan memberdayakan sumberdaya Politeknik Negeri Pontianak secara maksimum.

Untuk dapat mewujudkan visi dan misi tersebut memerlukan kesiapan semua civitas akademika agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat pengguna institusi pendidikan ini. Untuk itu Polnep melakukan berbagai perbaikan guna meningkatkan kualitas proses belajar mengajar melalui penyediaan tenaga edukatif dan administratif yang kompeten dibidangnya serta fasilitas penunjang proses belajar mengajar melalui kepemilikan sertifikat ISO. Perbaikan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pelayan terbaik kepada pelanggan yakni para mahasiswa, orang tua mahasiswa, pemerintah dan industri sebagai pengguna (stake holder).

Dengan memiliki Sertifikat ISO 9001:2008 bermakna Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sudah memenuhi standar tertentu yang telah diakui secara nasional maupun internasional dan memiliki pengakuan standarisasi ISO. Dengan pengakuan terebut diharapkan kepercayaan masyarakat pengguna menjadi meningkat serta perkembangan institusi menjadi berkesinambungan. Selain itu, kepemilikan sertifikat merupakan pembuktian bahwa institusi ini layak dipertimbangkan dan dipilih sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan yang ada di Pontianak.

Implementasi kebijakan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008 mulai dilaksanakan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Direktur Politeknik Negeri Pontianak tentang Tim Pilot Project Implementasi Standar ISO 9001:2008 yang selanjutnya berkewajiban mempersiapkan implementasi ISO 2001:2008. Adapun tujuan diimplementasikannya SMM ISO 9001:2008 di Polnep adalah untuk memastikan kepatuhan terhadap standar mutu ISO 9001:2008 melalui klausul-klausul sehingga tercipta kegiatan sesuai standar mutu yang berdampak pada keteraturan, efisiensi dan efektifitas melalui perbaikan terus menerus (continuous improvement) di Polnep. Selanjutnya direktur Polnep beserta seluruh jajaran manajemen dan pimpinan unit dan jurusan kemudian menandatangani pernyataan komitmen bersama pada tanggal 20 Agustus 2008. Setelah dinilai layak dan memenuhi persyaratan yang ada, maka pada tanggal 10 Desember 2009 Polnep dinyatakan oleh PT SAI Global berhak memperoleh sertifikat ISO 9001 : 2008 yang berakhir pada 8 Desember 2012 dengan Nomor Sertifikat QEC 26897. Setiap enam bulan, PT SAI Global melakukan pengecekan kembali (surveillance) untuk memastikan bahwa polnep tetap melaksanakan semua ketentuan Sistem Manajemen Mutu yang telah disepakati bersama. Sertifikat ini berlaku selama tiga tahun. Untuk itu

(3)

pada tahun 2013 Polnep melakukan resertifikasi kembali.

Implementasi pelaksanaan kebijakan ISO 9001:2008 berlaku pada seluruh jurusan maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan bagian lainnya yang ada di Polnep. UPT merupakan unit yang ada di lingkungan Polnep yang memberikan pelayanan kepada seluruh jurusan. Pada awalnya UPT PP bernama Unit FDU (The Facilities Development

Unit) yang dibentuk pada awal berdirinya

Politeknik yang merupakan kerjasama antara

Polytechnic Education Development Center

(PEDC) dengan Swiss Contact.

Berdasarkan buku manual Maintenance

Hand Book (1995: 1) UPT PP bertugas

mengembangkan dan mempertahankan peralatan laboratorium dan bengkel untuk mencapai tujuan pembelajaran. Disamping itu, menjamin berfungsinya fasilitas sampai pada akhir siklus hidup (life cycle) dari fasilitas yang digunakan. Dalam melaksanakan manajemen mutu ISO 9001: 2008, UPT PP perlu merencanakan dan melakukan program perawatan laboratorium (lab) yang menunjang proses pembelajaran dengan harapan dapat mendeteksi lebih awal kerusakan sekaligus menjamin bahwa peralatan selalu siap digunakan untuk proses belajar mengajar. Adapun perawatan yang dilakukan oleh UPT PP mencakup perawatan terencana dan tak terencana.

Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan, implementasi ISO 9001:2008 dilaksanakan di UPT PP kurang berhasil dimana unit ini melakukan kegiatan perawatan peralatan pembelajaran yang menjadi tugas unit ini. Terdapat beberapa masalah yang muncul seperti kegiatan perawatan terencana belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh UPT dan kegiatan perawatan peralatan yang rusak di jurusan memakan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat berdampak pada kerusakan peralatan dibeberapa jurusan yang diakibatkan oleh tidak terawatnya peralatan sebelum siklus hidup peralatan berakhir dan terhambatnya prose belajar mengajar. Adapun peralatan-peralatan yang sering mengalami kerusakan berupa komputer, alat pendingin ruangan (AC), dan peralatan mesin–mesin dibeberapa bengkel seperti genset, mesin booring, mesin ketik dan lain-lain. Terhambatnya proses belajar mengajar yang dimaksud adalah kegiatan praktik yang seharusnya dilakukan mahasiswa tidak terlaksana sebagaimana yang direncanakan, padahal kegiatan praktik mendapat prosentasi 70% dan teori 30%. Selain itu, akibat tidak terlaksananya rencana Perawatan Terencana mengakibatkan kerusakan berat pada alat sehingga dana yang akan digunakan untuk memperbaiki peralatan lebih besar dari biaya perawatan.

Selain belum terlaksananya perawatan terencana, perawatan yang tidak terencana juga belum dapat dilakukan secara optimal dimana pengajuan perbaikan kerusakan (perawatan tak

terencana) yang diajukan oleh berbagai jurusan atau unit kerja lain belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh UPT PP. Komunikasi dalam pengajuan perawatan perbaikan peralatan dari unit atau jurusan kepada UPT PP belum terjalin dengan baik dan tindak lanjut dari pengajuan tersebut belum dapat dilaksanakan.

Berdasarkan pengamatan peneliti, secara umum UPT PP masih dapat melaksanakan kegiatan perawatan dan perbaikan yang mengacu pada SMM ISO 9001:2008, namun masih terdapat beberapa kendala yang dapat menimbulkan permasalahan bagi pengguna jasa unit ini. Permasalahan yang terjadi pada UPT PP seharusnya dapat diminimalisir sehingga Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 dapat berhasil diimplementasikan dan ditingkatkan. Untuk dapat mengimplementasikan sebuah kebijakan semisal Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 memerlukan faktor-faktor pendukung. Faktor-faktor pendukung sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yang disepakati bersama mengingat tugas perawatan melibatkan jurusan yang relatif banyak yakni delapan jurusan, peralatan yang banyak dan terdapat berbagai macam peralatan yang rusak.

Penelitian ini menjadi penting karena dengan mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kurang berhasilnya implementasi ISO 9001:2008 yang dilaksanakan oleh UPT PP, maka unit ini dapat meningkatkan faktor-faktor yang berpengaruh tersebut untuk melakukan perbaikan berkesinambungan (continuous improvement) sehingga kegiatan yang dilakukan sudah sesuai standar ISO yang dimaksud. Dengan demikian UPT PP dapat memberikan pelayanan terbaik kepada semua unit khususnya jurusan yang menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar, sehingga mahasiswa dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran baik teori maupun praktik di lab.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 di Politeknik Negeri Pontianak

2. Ruang Lingkup Masalah

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini difokuskan pada implementasi kebijakan SMM ISO 9001 : 2008 di Unit Pelaksana Teknis Perawatan dan Perbaikan (UPT PP) dalam melakukan perawatan peralatan pembelajaran di Polnep dikaji dari faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Mengapa implementasi kebijakan SMM ISO 9001 : 2008 di Unit Pelaksana Teknis Perawatan dan Perbaikan (UPT PP) dalam

(4)

melakukan perawatan peralatan pembelajaran di Polnep kurang berhasil secara optimal dikaji dari faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi?

TINJAUAN PUSTAKA 1. Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyrakat. Terdapat banyak definisi kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli dan diantaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh Wilson (2006:154) dalam Wahab (2012:13) yang merumuskan kebijakan publik sebagai tindakan, tujuan dan pernyataan yang dilakukan dan dikeluarkan pemerintah sehubungan dengan masalah-masalah tertentu dan langkah-langkah yang yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mengimplementasikan serta memberikan penjelasan mengenai apa yang telah terjadi ataupun tidak terjadi. Berdasarkan definisi tersebut, kebijakan publik merupakan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat dimana pemerintah mengambil langkah-langkah atau tindakan agar kebijakan dapat dilaksanakan sebagai mestinya.

Kesuksesan implementasi sebuah kebijakan pada sebuah institusi akan dipengaruhi oleh banyak unsur. Tachjan (2008:24) secara etimologis mendefinisikan “Implementasi dapat dimaksudkan sebagai suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil”. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan implementasi suatu kebijakan yang telah disepakati bersama disuatu institusi, maka program-program yang akan dilaksanakan akan membutuhkan sarana atau peralatan agar dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Implementasi program-program merupakan kegiatan praktis yang merupakan penjabaran dari sebuah kebijakan yang akan diimplementasikan. Apabila dikaitkan dengan pendidikan maka implementasi kebijakan merupakan suatu proses kerja sama yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan negara yakni mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dengan didukung oleh berbagai sarana.

Keberhasilan sebuah kebijakan akan sangat bergantung pada faktor-faktor penting. Menurut Edward III (1984:10) dalam Widodo (2006:96) ”Empat faktor atau variabel yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Empat variabel atau faktor tadi antara lain variabel atau faktor komunikasi

(communication), sumber daya (resources),

disposisi (dispositions),dan struktur birokrasi (bureaucratic structure)”.

2. Komunikasi (Cummunication)

Komunikasi merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan sebuah implementasi kebijakan. Menurut Widodo (2006:97) “Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan. Komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebiajakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors)”. Proses komunikasi ini dapat dinyatakan berhasil apabila tidak terjadi penyimpangan informasi yang menyebabkan perbedaan persepsi penerima informasi. Selanjutnya Widodo (2006:97) menyatakan:

Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi, antara lain dimensi transformasi (transmission), kejelasan (clarity), dan konsistensi (consistency). Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan publik tadi. Oleh karena itu, dimensi komunikasi mencakup transformasi kebijakan, kejelasan dan konsistensi. Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan fihak lain yang terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para pelaksana , target group dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan publik tersebut.

Dari uraian pendapat diatas jelaslah bahwa sebuah kebijakan yang akan diterapkan harus dapat dikomunikasikan kepada unsur kebijakan dan untuk dapat terjalin sebuah komunikasi yang baik, maka komunikasi harus mencakup dimensi transformasi, kejelasan dan konsistensi sehingga pelaksana dan pihak yang terkait dapat mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan sesuai dengan isi kebijakan, sasaran dan untuk apa kebijakan tersebut diimplementasikan.

Dennis (1975) dalam Tubbs dan Moss (2001:171-172) mengidentifikasikan lima faktor yang dianggap penting oleh anggota organisasi dalam berkomunikasi. Adapun faktor-faktor dan pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengukur faktor tersebut yaitu mencakup komunikasi dengan bawahan, komunikasi kebawah, persepsi atasan mengenai komunikasi dengan bawahan, komunikasi keatas dan keandalan informasi. Kelima faktor tersebut kemudian dirinci kedalam beberapa pertanyaan yang menggambarkan bagaimana komunikasi yang ada dalam sebuah organisasi. Penjabaran dari kelima faktor komunikasi tersebut mencakup komunikasi atasn

(5)

dengan bawahan, komunikasi ke bawah, persepsi atasan mengenai komunikasi dengan bawahan, komunikasi ke atas dan keandalan informasi. Kelima faktor tersebut dianggap penting dan ikut berpengaruh terhadap kepuasaan dalam berkomunikasi pegawai. Dengan kata lain kelima faktor tersebut melibatkan atasan dan bawahan dalam menciptakan komunikasi efektif sehingga pesan yang ingin disampikan dapat diterima dengan baik.

Komunikasi efektif ditandai dengan pesan yang disampaikan diterima sesuai dengan yang dimaksudkan. Penyampaian pesan menjadi tidak efektif dikarenakan sejumlah gangguan komunikasi sebagaimana yang disampaikan oleh Hariandja (2009:297). Adapun kendala- kendala yang dimaksud berupa penyandian yang tidak tepat berupa pemilihan kata-kata yang tidak tepat sehingga pesan yang disampaikan sukar dipahami dan dapat berakibat pada meningkatnya kesulitan dalam melakukan tugas bersama. Haryani (2001:51) mengemukakan hambatan-hambatan dalam komunikasi organisasi antara lain berupa tingkat perumitan pesan, penerimaan pesan ganda, komunikasi yang tidak terstruktur, kesalahan pemilihan media, iklim komunikasi tertutup dan komunikasi yang tidak efektif.

3. Sumber Daya (Resource)

Faktor kedua yang menentukan keberhasilan implementasi sebuah kebijakan adalah Sumber daya (resources). Menurut Edward III (1980:11) dalam Widodo (2006:98) menyatakan bahwa sumber daya merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan sebuah implementasi kebijakan selain pelaksana kebijakan maupun regulasi yang ditetapkan. Keterpaduan antara Sumberdaya yang mendukung dan pelaksana yang bertanggung jawab akan menjadikan sebuah implementasi menjadi efektif. Adapun sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan sebuah kebijakan berupa sumber daya manusia, sumber daya keuangan, dan sumber daya peralatan(gedung, peralatan, tanah, dan suku cadang lain) dan sumber daya informasi dan kewenangan.

Pentingnya peranan sumber daya manusia dinyatakan oleh Edward III(1980:54):” Probably the most essential resource in implementing policy is staff. …We must evaluate the bureaucracy, not only in terms of absolute numbers, but also in terms of its capabilities to perform desired tasks”. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah kebijakan. Kekuatan sumber daya manusia bukan hanya terletak pada jumlah sumber daya manusianya saja tetapi juga kepada kemampuan manusia untuk dapat melaksanakan tugas yang diinginkan. Dengan memiliki kemampuan yang dibutuhkan, seorang implementor kebijakan akan

dapat melaksanakan tugasnya sesuai standar yang dibutuhkan.

Kemampuan pegawai akan sangat mempengaruhi seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab selain jumlah pegawai yang memadai.Hal ini dinyatakan oleh Edward III ( 1980:61) ”It is not enough for there to be an adequate number of implementors to carry out a policy. Implementors must possess the skills necessary to carryout the policy”.(Tidaklah cukup hanya melihat jumlah pelaksana kebijakan untuk melaksanakan sebuah kebijakan. Para implementor harus memiliki ketrampilan yang cukup melaksanakan kebijakan). Kualitas implementor berupa ketrampilan menjadi penting untuk dapatmengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan agar kebijakan yang ditetapkan sesuai dengan apa yang ada di lapangan.

Untuk dapat memiliki kemampuan dan ketraampilan pegawai, sebuah organisasi merencanakan dan melaksanakan pelatihan atau dan pendidikan. Menurut Walker (1992:212) pelatihan dan pendidikan merupakan hal penting dalam pengembangan pegawai. Dengan pelatihan dan pendidikan, seorang pegawai dapat mempelajari dan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan mengenai pekerjaannya sehingga dapat mengembangkan kemampuan dan mencapai tujuan organisasi.

Perencanaan peningkatan pendidikan dan ketrampilan pegawai sebuah organisasi/ institusi didasarkan pada kebutuhan pegawai saat ini dan masa yang bakan datang. Walker (1992:213) menyatakan bahwa dalam perencanaan pelatihan sebaiknya direncanakan untuk tiga tahun kedepan. Proses perencanaan meliputi wawancara antara atasan dan bawahan mengenain isu kritis dan perubahan, jumlah pegawai, dampak, prioritas dan waktu. Selain itu perencanaan juga meliputi ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh pegawai serta tehnik dan aktivitas pelatihan yang dibutuhkan. Disamping itu, penentuan rencana pelatihan khusus, penempatan dan fasilitas dan anggaran juga merupakan bagian dari proses perencanaan pelatihan. Dengan demikian pelatihan merupakan kebutuhan organisasi dalam menyediakan sdm yang berkualitas sesuai kebutuhan organisasi.

Sumber daya anggaran merupakan sumber daya lainnya yang penting dalam menentukan keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Edward III (1980:82) menyatakan:”Budgetary limitation, intricate procurement regulations, and citizens opposition limit the acquisition of adequate facilities. This is in turn limits the quality of the services that the implementers can provide to the public”. Dari pendapat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa keterbatasan anggaran, regulasi yang tidak jelas dan tidak mudah serta ketidakberpihakan masyarakat akan menjadikan terbatasnya manfaat dari fasilitas yang memadai.

(6)

Keterbatasan-keterbatasan ini akan menjadikan pelaksana kebijakan tidak dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat adalah memberikan insentif kepada pelaksana kebijakan. Edward III ( 1980: 107) menyatakan: “Changing the personnel in government bureaucracies is difficult and it does not ensure that the implementation process will proceed smoothly. Another potential technique to deal with the problem of implementers through the manipulation of incentives by high level policy

makers may influence their action”…Dengan

memberikan insentip kepada pelaksana diharapkan dapat memberi pengaruh positip kepada pelaksana sehingga ikut mempengaruhi bagaimana pleaksana melaksanakan tugasnya.

Sumber daya peralatan peralatan (facility) merupakan sumberdaya yang penting dalam implementasi sebuah kebijakan. Menurut Edward III (1980:11) fasilitas meliputi gedung, peralatan, tanah dan persediaan merupakan fasilitas yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya EdwardIII ( 1980: 77) menyatakan: “physical facilities may also be

critical resources in implementation. An

implementor may have sufficient staff, may understand what he is supposed to do, may have authority to exercise his task, but without the necessary building, equipment, supplies and even green space implementation won’t succeed”. Dari pendapat diatas bahwa kesuksesan implementasi memerlukan fasilitas selain jumlah staf dan pemahaman staf akan apa yang harus mereka lakukan. Fasilitas yang mendukung (supportive facilities) seperti bangunan yang memadai, dan peralatan yang mendukung akan dapat memudahkan pelaksana dalam menjalankan program-program yang merupakan penjabaran dari kebijakan yang akan dilaksanakan.

Sumber daya informasi dan kewenangan merupakan sumberdaya yang penting dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan. Edward III (1980:63) menyatakan:”Information is essential

resource in policy implementation. This

information comes in two forms. The first is information regarding how to carry out a policy. Implementors need to know what to do when they are given directives to act. The second form of essential information is data on the compliance of

others with governmental rules and

regulations”.Seorang pelaksana harus memiliki informasi mengenai kebijakan dan bagaimana sebuah kebijakan dapat dilaksanakan. Selain itu juga pengetahuan mengenai informasi aturan pemerintah yang berlaku sehingga pelaksanaan program tidak bertentangan dengan aturan. Para pelaksana harus dapat menafsirkan dan melaksanakan kebijakan dengan benar. Selain memiliki pengetahuan mengenai kebijakan yang akan diterapkan, seorang implementor harus

memiliki kewenangan untuk melaksanakan sebuah kebijakan. Menurut Widodo (2007: 103): ”Kewenangan merupakan sumber daya lain yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan. Kewenangan sangat diperlukan, terutama untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki”. Dengan demikian pelaksana kebijakan dapat membuat keputusan yang diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Menurut Edward III (1980: 66 ) kewenangan akan bervariasi sesuai program yang dilaksanakan. Kewenangan dalam melaksanakan dan menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan menjadikan implementor dapat melaksanakan kebijakan sehingga dapat memberikan pelayanan yang diharapkan.

4. Disposisi(Disposition)

Para pelaksana kebijakan harus memiliki disposisi yang kuat sehingga dapat melaksanakan sebuah kebijakan sesuai dengan yang diharapkan. Edward III (1980: 89) menyatakan bahwa: “If

implementors are well-disposed toward a

particular policy, they are more likely to carry it out as the original decisionmakers intended. But when implementors attitudes or perspective differ from the decisionmakers’, the process of implementing a policy becomes infinitely more

complicated”. Pendapat Edward III diatas

menekankan pentingnya disposisi yang benar yang harus dimiliki oleh pelaksana sehingga mereka dapat melaksanakan sebuah kebijakan sebagaimana kebijakan itu seharusnya dilaksanakan. Sebaliknya disposisi yang menyimpang dapat berakibat pada sulitnya pencapaian sasaran program.Menurut Disposisi yang benar diterima oleh pelaksana akan mempengaruhi sikap dan bagaimana cara pandang pelaksana kebijakan dalam menjalankan program-program yang ditentukan. Menurut Widodo (2007:104) ” Disposisi merupakan kemauan, keinginan, dan kecendrungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan”.

Disposisi yang kuat pada diri pelaksana dalam melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh tiga macam elemen respon sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Mater & van Horn (1974: 472) dalam Widodo (2007: 105): “Terdapat tiga macam elemen respons yang dapat mempengaruhi keinginan dan kemauan untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri atas pengetahuan

(cognition), pemahaman dan pendalaman

(comprehension and understanding), terhadap

kebijakan; arah respon mereka apakah menerima, netral, atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection); intensitas terhadap kebijakan. Sikap itulah yang akan memunculkan disposisi pada diri pelaku kebijakan”.

(7)

5. Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure) Struktur birokrasi merupakan faktor penting dalam menentukan suksesnya implementasi sebuah kebijakan. Menurut Edward III (1980:125) ”Policy implementors may know what to do and have sufficient desire and resource to do it, but they may still be hampered in implementation by the structures of the organization in which they serve. Two prominent characteristics of bureaucracies are

standard operating procedure(SOPs) and

fragmentation”. Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesuksesan implementasi sebuah kebijakan tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan para pelaksana tentang apa yang harus dilakukannya yang didukung oleh ketersediaan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, tetapi juga ditentukan oleh struktur birokrasi. Karakteristik yang utama dari birokrasi mencakup standar operasi prosedur dan fragmentasi. Standar operasi prosedur merupakan aktivitas rutin yang memungkinkan pelaksana membuat berbagai keputusan dalam melaksanakan tugas sehari-hari (Edward III:1980:125).

Struktur birokrasi yang baik perlu ada sebagai unsur penting keberhasilan sebuah kebijakan agar pesan yang disampaikan dapat diterima sama. Edward III (1980:134) menyatakan bahwa “Fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units. Fragmentasi menurut Widodo (2007:106)” struktur birokrasi yang terfragmentasi (terpecah-pecah atau tersebar) dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, dimana para pelaksana kebijakan akan mempunyai kesempatan yang besar berita/instruksinya akan terdistorsi”. Dengan demikian untuk dapat mengimplementasikan sebuah kebijakan maka diperlukan komunikasi yang efektif sehingga terbentuk kerjasama antar unit yang terlibat sehingga dapat bersinergi dalam melaksanakan program sebagai bagian dari implementasi sebuah kebijakan. Menurut Machfoedz (2005:214) ada beberapa hal dalam organisasi yang memberikan pengaruh pada distorsi pesan yaitu kedudukan (posisi) dalam organisasi, hierarki dalam organisasi, keterbatasan berkomunikasi, hubungan yang tidak personal, sistem aturan dan kebijaksanaan, spesialisasi tugas, ketidakpedulian pimpinan, prestise, dan jaringan komunikasi.

6. ISO 9001:2008

International Organization for

Standardization merupakan singkatan kata ISO yang merupakan sebuah organisasi yang memiliki standar internasional. Organisasi ini telah didirikan sejak tahun 1974 yang berkedudukan di kota Jenewa Swiss. Berdasarkan buku saku Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 Politeknik Negeri Pontianak (2009; 1-3) seri standar ISO 9000 versi tahun 2000 terdiri dari empat seri yakni:

ISO 9000

Menguraikan dasar-dasar Sistem Manajemen Mutu dan merinci istilah-istilahyang digunakan dalam Sistem Manajemen Mutu. ISO 9001

Merinci persyaratan tentang Sistem Manajemen Mutu. Seri ini berlaku untuk semua jenis organisasi dalam industri atau sektor ekonomi manapun, dan tidakbergantung pada katagori produk yang ditawarkan.

ISO 9004

Berisi panduan untuk perbaikan berlanjut perilaku kerja dan efisiensi

menyeluruh organisasi serta juga keefektifan Sistem Manajemen Mutu. ISO 9004 merupakan panduan bagi organisasi bila puncak pimpinannya ingin bergerak melampaui persyaratan ISO 9001. ISO 19011

Berisi panduan tentang pengauditan Sistem Manajemen Mutu dan lingkungan.

ISO seri 9001: 2008 yang merupakan persyaratan standar Sistem Manajemen Mutu versi tahun 2008 yang merupakan edisi keempat. Sebagaimana tercantum dalam Buku Saku Sistem Manajemen Mutu ISO 9001: 2008 (2008:6) Politeknik Negeri Pontianak, Sertifikat ISO 9001:2008 adalah dokumen yang membuktikan bahwa sebuah organisasi telah menerapkan Sistem Manajemen Mutu menurut standar ISO 9001:2008 dan dinyatakan “lulus audit“ yang dilakukan oleh badan sertifikasi yang berwenang.

Pendokumentasian setiap pekerjaan merupakan kegiatan yang harus selalu dilakukan dalam pengimplementasian ISO. Menurut Gaspersz (2000;224) Dokumentasi Sistem Kualitas ISO 9001 merupakan sistem dokumentasi yang memuat pertanyaan penting yang selalu harus diperhatikan oleh pihak manajemen yaitu:

1. Apakah anda telah mendokumentasikan proses operasi secara cukup dan efektif mengikuti persyaratan ISO 9000, sehingga setiap orang baru dapat membaca dokumen itu dan mengerti tentang apa yang dikerjakan.

2. Jika perusahaan Anda telah mendokumentasikan dengan baik, apakah dokumen-dokumen itu telah secara jelas menyatakan peranan orang-orang dalam menjamin kualitas dari produk yang dihasilkan itu?

Setiap unit kerja menggunakan berbagai dokumen sesuai level yang dibutuhkan. Dalam melakukan tugasnya, setiap unit kerja dalam prosesnya menggunakan Model PDCA SMM ISO 9001:2008 sebagaimana tercantum dalam Buku Saku ( 2008:22). Model PDCA adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam proses yang meliputi : a. Plan (rencanakan), tetapkan tujuan dan proses yang diperlukan untuk menyerahkan hasil sesuai dengan persyaratan pelanggan dan kebijakan organisasi.

(8)

c. Check (periksa), pantau dan ukur proses dan produk terhadap kebijakan, tujuan dan persyaratanbagi produk dan laporkan hasilnya.

d. Action (tindak), lakukan tindakan untuk

perbaikan berlanjut dari perilaku kerja proses. Model PDCA dapat dilihat dari gambar berikut ini: Gambar : Model PDCA

Model yang dilakukan dalam proses ini dimulai dari tahap merencanakankerja dengan menentukan tujuan dan proses yang akan diberikan kepada pelangganbaik pelanggan internal maupun eksternal. Sebuah organisasi tidak hanya merencanakan suatu tujuan tetapi juga harus harus melakukan apa yang sudah direncanakan dengan baik. Selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan yang direncanakan. Tindak lanjut harus dilakukan untuk memperbaiki keseluruhan proses yang dilakukan agar keseluruhan proses berjalan baik dan berkesinambungan.

Perawatan Peralatan

Perawatan merupakan aktivitas pekerjaan yang dilakukan pada peralatan yang dilakukan untuk menjamin bahwa peralatan sebagai asset sebuah lembaga dalam kondisi baik dan siap digunakan. Definisi maintenance dalam Maintenance Management Sistems (2000:1)

Maintenance is the work performed on an asset such as road, building, utilityor piece of equipment to preserve it in as near to its original condition as is practical and to realize its normal life expectancy. (Perawatan merupakan pekerjaan yang dilakukan terhadap sebuah asset seperti jalan, bangunan, penggunaan atau seperangkat peralatan untuk melindungi/memelihara peralatan sesuai kondisi aslinya secara praktis dan menyadari siklus normal yang diharapkan).

Perawatan dapat diklasifikasikan kedalam beberapa katagori (Public Works and Government Services Canada:2000:1) yakni:

a. Perawatan rutin.

Perawatan rutin adalah perawat yang dilakukan secara terus menerus terhadap sejumlah peralatan.Perawatan secara terus menerus ini dilakukan karena peralatan tersebut secara terus menerus dipergunakan.

b. Prefentif

Perawatan prefentif adalah perawatan yang dilakukan kepada sejumlah peralatan untuk mencegah kerusakan peralatan. Perawatan prefentif dapat menjamin peralatan siap digunakan dan mendeteksi kerusakan dini berbagai peralatan yang digunakan.

c. Penggantian

Perawatan penggantian dilakukan kepada sejumlah peralatan yang rusak.

d. Darurat

Perawatan darurat adalah perawatan yang tak terduga dan tidak terjadwal.Jenis perawatan ini

dilakukan dilakukan terhadap sejumlah peralatan yang berada dalam kondisi kritis.

Perawatan yang dilakukan terhadap asset atau peralatan adalah berdasarkan kondisi peralatan sehingga proses perawatan dapat lebih efektif dan efisien. Perawatan yang dimaksud dapat didasarkan pada kondisi dengan biaya minimal (Condition Based Maintenance at minimum cost). Ini berarti bahwa perawatan peralatan dilakukan berdasarkan kondisi peralatan dan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan peralatan tersebut diusahakan seminimal mungkin (Maintenance Handbook 1995; 2). Mengacu pada Maintenance Handbook (1995: 2) untuk dapat melaksanakan perawatan dengan baik, maka sebuah unit perawatan harus memiliki unsur – unsur pendukung yaitu:

1. Memiliki internal organisasi yang baik (organisasi kantor, pengarsipan, statistikdan lain-lain ).

2. Memiliki staf yang berkualitas dan memiliki motivasi .

3. Kerjasama antara jurusan dan unit unit lainnya yang ada di Politeknik.

4. Tersedianya anggaran perawatan berdasarkan laporan kerusakan .

5. Pelatihan perawatan bagi manajemen, perencana dan para teknisi.

Dengan demikian untuk menyelenggarakan perawatan yang baik dan didasarkan pada perawatan yang didasarkan pada kondisi dengan biaya minimal (Condition Based Maintenance at

minimum cost) akan melibatkan banyak

pihak.Organisasi atau unit pelaksana perawatan memiliki sistem pengadministrasian yang baik. Selain itu pelaksana perawatan juga harus memiliki kemampuan dan motivasi yang tinggi untuk melaksanakan tugasnya sehingga kegiatan perawatan peralatan dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya dibutuhkan sumber dana yang cukup untuk menyelenggarakan kegiatan perawatan mengingat perawatan membutuhkan biaya yang sangat bergantung kepada kondisi peralatan. Dalam melaksanakan tugasnya, pelaksana kegiatan perawatan melakukan kegiatan pemeliharaan terencana dan tidak terencana. Banyak institusi atau perusahaan swasta menyadari betapa pentingnya kegiatan perawatan peralatan, namun tidak semua institusi dan perusahaan memiliki konsistensi dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan kegiatan perawatan/pemeliharaan peralatan. Hal ini ditegaskan oleh Crowe (1996:64) bahwa banyak perusahaan yang menyadari bagaimana melakukan kegiatan perawatan di perusahaan tempat bekerja dan bagaimana kegiatan perawatan dilakukan. Namun permasalahan yang utama adalah ketidakmampuan melaksanakan perawatan yang sempurna karena kurangnya konsistensi dan komitmen.

(9)

Rencana pemeliharaan pencegahan memberikan bermacam-macam keuntungan (Handbook pemeliharaan Terencana: 1995:5) yakni:

 Biaya pemeliharaan kecil  Fasilitas tersedia untuk pelajaran

 Jumlah suku cadang yang minimum, karena pemeliharaan sudah diketahui terlebih dahulu  Mengurangi gangguan akibat pemeliharaan darurat dan waktu lembur

 Meningkatkan keamanan. Pelaksanaan aturan-aturan keselamatan lebih terjamin pada saat bekerja biasa daripada saat melakukan tugas darurat. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Menurut Umar (2003:38) metode deskriptif dipergunakan untuk memaparkan, mendeskripsikan hal-hal yang ditanyakan dalam penelitian seperti siapa, dimana, kapan, dimana dan mengapa. Faisal (2003:20) menyatakan penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklasifikasi suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Dalam penelitian ini, pemaparan akan disesuaikan dengan kenyataan yang ada dilapangan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi Sistem Manajmen Mutu ISO 9001:2008 yang ada di UPT PP dalam melaksanakan tugas melakukan perawatan peralatan pembelajaran oleh para teknisi. Selain itu juga dipaparkan informasi yang diberikan oleh teknisi sehubungan kegiatan perawatan dan perbaikan yang diperlukan. Adapun yang menjadi menjadi subyek penelitian adalah informan yang memberikan informasi dan data yang dibutuhkan sehubungan kegiatan implementasi kebijakan mutu ISO 9001:2008 dalam hal perawatan peralatan oleh UPT PP Politeknik Negeri Pontianak. Informan yang menjadi subyek penelitian adalah Direktur Polnep sebagai unsur pimpinan ditingkat lembaga, Pembantu Direktur II (Pudir II) bagian keuangan, kepala UPT PP sebagai pemimpin di unit tersebut dan teknisi (5 orang) yang melaksanakan tugas perawatan sesuai standar ISO 9001: 2008, kepala laboratorium dan mahasiswa sebagai pengguna jasa internal, serta auditor internal Polnep. Pemilihan informan dilakukan berdasarkan tehnik purposive sampling dimana para informan dipilih karena memiliki informasi mengenai implementasi ISO 9001:2008 di UPT PP. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara, observasi dan studi dokumentasi. HASIL PEMBAHASAN

1. Komunikasi

Komunikasi merupakan salah satu faktor penting yang mendukung keberhasilan sebuah implementasi kebijakan. Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada Direktur Politeknik mengenai faktor komunikasi dalam implementasi

kebijakan SMM ISO 9001:2008 di Polnep, Direktur menyatakan bahwa komunikasi antara jajaran pimpinan dan para pegawai baik. Jajaran pimpinan ( Direktur beserta para pembantu direktur) melakukan komunikasi melalui pelaksanaan beberapa kegiatan. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain berupa sosialisasi mengenai implementasi SMM ISO 9001:2008 di Polnep, pembentukan pilot project dan pelaksanaannya, diskusi dan penandatanganan kesepakatan dan komitmen bersama untuk mengimplementasikan ISO di Polnep. Selain itu pimpinan menerima dan menindaklanjuti permasalahan yang muncul dari berbagai unit kerja dan jurusan termasuk UPT PP sehubungan implementasi kebijakan ini. Dukungan, komunikasi dan evaluasi juga dilakukan melalui Audit Mutu Internal (AMI). Tujuan dari audit internal adalah untuk menyimpulkan tingkat kepatuhan dengan kriteria yang relevan. Audit internal ini juga dilakukan di UPT PP secara konsisten sesuai penjadwalan yang diatur oleh AMI. Dari proses audit yang dilakukan, selanjutnya jajaran pimpinan akan memantau perkembangan implementasi SMM ISO 9001:2008 di UPT PP dan memberikan dukungan yang dibutuhkan sesuai permasalahan yang dihadapi seperti penyedian berbagai sarana penunjang kegiatan administrasi ISO seperti perabot kantor khusus untuk pengadministrasian kegiatan ISO.

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada kepala UPT PP diperoleh informasi bahwa pengetahuan dan penjelasan implementasi SMM ISO 9001:2008 dapat dipahami dan dilaksanakan. Komunikasi antara pihak pimpinan mengenai implementasi SMM ISO yang diterapkan UPT PP dirasakan baik dimana pimpinan melakukan berbagai kegiatan seperti sosialisasi, diskusi dan berbagai pertemuan lainnya melalui audit internal. Melalui audit internal yang dilaksanakan di UPT PP, maka UPT PP mendapat penjelasan lebih lanjut kendala yang harus diperbaiki agar implementasi berhasil dilaksanakan. SMM ISO 9001:2008 menurutnya tepat dilaksanakan namun memerlukan komitmen yang kuat khususnya antara Ka UPT dan para teknisi dimana teknisi adalah sebagai pelaksana kegiatan perawatan peralatan pembelajaran.

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai komunikasi peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi antara jajaran pimpinan dan UPT PP sudah berjalan dengan baik yang ditandai adanya penyampaian kebijakan yang akan diimplementasikan (transmission), kejelasan mengenai kebijakan (clarity), bagaimana melaksanakan kebijakan (petunjuk pelaksanaan) dan dukungan yang terus menerus (concistency) dalam pelaksanaan. Komunikasi internal masih kurang optimal yang ditandai oleh belum terlibatnya semua teknisi untuk melaksanakan kegiatan perawatan peralatan, belum terlaksananya kegiatan perawatan terencana serta belum

(10)

meratanya pembagian kerja di UPT PP. Sedangkan komunikasi dengan jurusan kurang optimal dimana permohonan perbaikan peralatan memakan waktu yang lama dan tidak ada penjelasan mengenai penyebab tertundanya perawatan. Dengan demikian komunikasi internal UPT PP dan komunikasi kepada pengguna jasa dalam hal ini jurusan/ laboratorium perlu ditingkatkan. Hal ini dapat mengakibatkan timbul ketidakpuasan pada pengguna jasa internal.

Pentingnya faktor komunikasi dalam mendukung keberhasilan implementasi ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Widodo (2006:97) bahwa komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi oleh komunikator kepada komunikan dimana dalam proses menckup beberapa dimensi antara lain dimensi transformasi

(transmission),kejelasan (clarity), dan

konsistensi(consistency). Direktur Polnep sebagai pimpinan pembuat kebijakan menyampaikan informasi mengenai implementasi ISO 9001:2008 kepada seluruh pegawai Polnep khususnya para pegawai di UPT PP sebagai pelaksana kegiatan perawatan alat pembelajaran. Dengan demikian pembuat kebijakan dan pelaksana memiliki kesamaan informasi sehingga kebijakan yang diimplementasikan menjadi dapat dilaksanakan. Komunikasi yang ada antara pembuat kebijakan dan pelaksana terjalin baik dimana pimpinan memberikan informasi yang dibutuhkan dengan jelas dan membuka kesempatan untuk menyampaikan hambatan atau kendala dalam melaksanakan kegiatan perawatan peralatan sesuai dengan standar ISO 9001:2008. Komunikasi dari atas kebawah yakni manajemen dan UPT PP sudah mengandung unsur tranformasi, kejelasan dan konsistensi. Selain itu kebijakan yang akan diterapkan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak lain yang berkepentingan. Sehingga mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan tersebut.

Dengan diperolehnya sertifikat ISO bagi Polnep dan dipergunakannya standar mutu ini diseluruh unit dapat dikatakan bahwa terdapat komunikasi yang efektif antara pimpinan dan pegawai dalam institusi. Hal ini sejalan dengan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Dennis (1975) dalam Tubb dan Moss (2001:171-172) bahwa komunikasi melibatkan atasan dan bawahan dalam menciptakan komunikasi yang efektif sehingga pesan dapat diterima dengan baik. Pesan atau informasi yang disampaikan pimpinan memiliki kejelasan sehingga tidak menimbulkan interpretasi pesan yang salah sebagaimana dinyatakan oleh Hariandja (2009:297). Edward III (1980:63) berpendapat bahwa komunikasi mencakup informasi tentang bagaimana mengimplementasikan sebuah kebijakan dimana pelaksana mengetahui apa yang harus dilakukan. Selain itu informasi juga menyangkut kejelasan

aturan yang berlaku sehingga implementasi tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku. Komunikasi internal dan kepada pihak eksternal perlu ditingkatkan oleh pegawai UPT PP agar tidak terjadinya hambatan komunikasi sebagaimana dinyatakan Haryani (2001:51) bahwa hambatan dalam komunikasi dapat berupa perumitan pesan, iklim komunikasi tertutup dan komunikasi yang tidak efektif. Komunikasi internal yang tidak efektif berupa ketidakjelasan pembagian tugas dapat mengakibatkan implementasi kebijakan ISO 9001:2008 kuranng berhasil diimplementasikan secara optimal. Pekerjaan akan saling tumpang tindih dan mengakibatkan lambannya penanganan perawatan peralatan. Komunikasi ekternal antara UPT PP dan pengguna jasa yakni jurusan/ lab perlu ditingkatkan dengan jalan memberikan perawatan sesegera mungkin dan memberikan penjelasan secara terulis apabila proses perawatan tertunda. Dengan demikian terjalin komunikasi yang efektif sehingga dapat dicarikan jalan penyelesaiaan yang lebih baik.

2. Sumber Daya

Sumber daya merupakan faktor penting yang ikut menentukan keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Pelaksana kebijakan memerlukan dukungan sumber daya untuk dapat melaksanakan isi kebijakan yang telah ditetapkan. Edward III (1980:11) dalam Widodo (2006:98) menyatakan sumber daya yang mendukung keberhasilan implementasi yaitu sumber daya manusia, keuangan, dan peralatan (gedung, tanah dan suku cadang). Ketersediaan sumber daya dapat menjadikan implementasi efektif sehingga manfaat implementasi sebuah kebijakan dapat diperoleh. Berdasarkan hasil wawancara kepada Kepala Unit Pelakasana Teknis Perawatan dan Perbaikan (UPT PP) bahwa jumlah teknisi UPT PP cukup memadai yakni tujuh orang untuk menangani delapan jurusan yang ada di Politeknik Negeri Pontianak (Polnep). Kegiatan perawatan peralatan di Polnep terdiri dari perawatan terencana dan tak terencana. UPT PP lebih memprioritaskan pada perawatan tak terencana. Kualitas atau keahliaan para teknisi perlu ditingkatkan untuk dapat melakukan kegiatan perawatan peralatan pembelajaran sehingga kegiatan perawatan dapat dilakukan oleh teknisi UPT PP sesuai yang dibutuhkan. Untuk perawatan sederhana keterampilan yang dimiliki oleh teknisi cukup memadai untuk melaksanakan perawatan peralatan seperti mesin pending (AC), kelistrikan, dan oven sederhana. Namun untuk peralatan yang lebih canggih seperti oven uji bahan di jurusan tehnik mesin dan oven penguji bahan aspal dan viscositas di laboratorium Tehnik Sipil, keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tehnisi belum mencukupi untuk merawat peralatan tersebut sehingga kerusakan yang terjadi semakin parah dan peralatan tidak dapat digunakan. Kondisi ini terjadi dikarenakan keterampilan untuk

(11)

melakukan perawatan alat belum didapatkan sebelumnya.

Untuk dapat melakukan kegiatan perawatan peralatan, teknisi perlu mendapatkan pelatihan pengetahuan dasar bidang tertentu misalnya mesin produksi dan pengadaan peralatan baru harus diimbangi dengan pelatihan mengenai perawatan peralatan bukan hanya sekedar pelatihan bagaimana mengoperasikan peralatan tersebut. Berbagai pelatihan yang merupakan syarat jabatan harus dipenuhi agar para teknisi dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena memiliki kemampuan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut. Untuk dapat memberikan pelayanan jasa perawatan peralatan, pengetahuan dan ketrampilan mengenai berbagai peralatan pembelajaran merupakan sebuah keharusan. Kendala berupa kurangnya keterampilan (skills) dalam memperbaiki peralatan yang rusak di laboratorium akan menimbulkan persoalan yang menyebabkan alat tidak dapat segera diperbaiki dan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Apabila dikerjakan oleh teknisi dari luar, biaya perawatan menjadi lebih besar. Berdasarkan matrix kompetensi para pegawai yang ada di UPT PP, para teknisi memiliki latar belakang pendidikan yang dibutuhkan untuk melakukan perawatan. Ada tehnisi yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi namun pendidikan lanjutan yang diambil tidak sebidang dengan pendidikan sebelumnya, dimana pendidikan sebelumnya sesuai dengan tugas dalam memberikan perawatan peralatan. Selain itu hanya beberapa pelatihan yang diikuti oleh teknisi padahal terdapat beragam pelatihan yang harus diikuti agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi pengguna jasa UPT PP.

Syarat jabatan harus dipenuhi agar dapat melakukan perawatan peralatan. Untuk seorang teknisi listrik, pelatihan yang dibutuhkan adalah Perawatan peralatan listrik, kontrol kelistrikan, kontrol elektronika, kontrol mesin listrik, Perawatan Motor Listrik, Tehnik Jaringan Komputer (Fundamental), Tehnik Jaringan Komputer (Advance), tehnik Pendingin (Refrigerasi) dan Perawatan Generator. Teknisi listrik ini memiliki latar belakang S1 Manajemen Aset dan hanya mengikuti pelatihan Perawatan Komputer, teknik Pendingin (Refrigerasi) dan Jaringan Komputer Berbasis Linux (Fundamental). Dengan demikian masih terdapat pelatihan penting yang harus diikuti oleh teknisi listrik untuk dapat melakukan tugas melakukan perawatan peralatan yang dibutuhkan.

Pendidikan dan keterampilan pelaksana akan menentukan keberhasilan implementasi sebuah kebijakan, karena dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan tehnisi akan menentukan kapabilitas sehingga dapat melaksanakan tugasnya dalam melakukan perawatan secara optimal di Polnep. Mengingat pentingnya kapabilitas, Edward III

(1980:54) menyatakan bahwa sumber daya manusia merupakan sumber daya yang penting dalam mengimplementasi kebijakan. Polnep harus dapat mengevaluasi pentingnya sumber daya baik itu jumlah maupun ketrampilan dan kapabilitas untuk melaksanakan tugas yang diinginkan. Edward III (1980:61) menyatakan bahwa para implementor sebuah kebijakan harus memiliki dua hal penting untuk dapat melaksanakan sebuah kebijakan yakni dilihat dari segi jumlah dan memiliki ketrampilan untuk melaksanakan isi kebijakan. Dengan demikian, jumlah teknisi di UPT PP perlu ditambah untuk dapat melakukan perawatan terencana dan tidak terencana dan meningkatkan keterampilan melakukan perawatan peralatan sesuai dengan peralatan yang dimiliki dan peralatan baru dan lebih canggih. Oleh karena itu para teknisi perlu melengkapi ketrampilan yang dimilikinya sesuai syarat jabatan sehingga dapat melaksanakan tugas yang diberikan.

Sumber daya keuangan dan peralatan merupakan faktor penting untuk mendukung keberhasilan implementasi ISO 9001:2008 dalam melakukan perawatan peralatan pembelajaran di UPT PP. Kegiatan perawatan melibatkan sejumlah suku cadang (spare part) untuk merawat dan mengganti komponen alat-alat pembelajaran yang rusak yang digunakan oleh mahasiswa. Selain itu peralatan untuk melakukan perawatan sangat diperlukan. Oleh karena itu, dalam kegiatan perawatan faktor sumber daya keuangan dan peralatn sangat diperlukan dalam menentukan kelancaran kegiatan tersebut.

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan kepada Pembantu Direktur II yang membidangi Keuangan, dana yang dialokasikan untuk UPT PP untuk dapat melakukan kegiatan perawatan masih relatif minim yakni 4,7 % anggaran untuk melakukan perawatan peralatan dari anggaran ideal yang seharusnya untuk melakukan perawatan dan perbaikan peralatan. Menurut para teknisi peralatan untuk melakukan perawatan kurang memadai sehingga harus menggunakannya secara bergantian. Selain itu suku cadang sederhana dan sering digunakan tidak selalu tersedia di gudang sehingga kegiatan perawatan tidak langsung dapat dilakukan apabila diperlukan penggantian.

UPT PP memilik sumberdaya informasi dan kewenangan yang baik dimana Hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada Ka UPT PP, informasi dan kewenangan untuk berbuat dan mengambil langkah-langkah tertentu. Kewenangan yang diberikan lembaga digunakan untuk menentukan jurusan dan peralatan mana yang harus diprioritaskan untuk melaksanakan perawatan dan tergantung kondisi peralatan. Bentuk kewenangan lainnya yang dilakukan adalah mengambil langkah pembelian suku cadang secara kredit pada toko

spare part yang dipilih dan baru melunasi

pembelian suku cadang tersebut setelah dana cair dari bagian keuangan.

(12)

3. Disposisi

Menurut Ka UPT PP, para pegawai di UPT PP memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang SMM ISO 9001:2008 yang dikaitkan dengan kegiatan perawatan. Pengetahuan dan pemahaman diperoleh melalui berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh manajemen pimpinan ditingkat lembaga. Dengan pengetahuan dan pemahaman dalam bertindak, selanjutnya mempengaruhi sikap terhadap kebijakan yang diimplementasikan oleh lembaga. Respon yang diberikan adalah dengan sikap ikut mendukung implementasi SMM ISO 9001:2008 dalam melakukan kegiatan perawatan dengan berpedoman kepada standar yang disyaratkan oleh ISO.

Menurut para teknisi pelaksanaan SMM ISO 9001:2008 memberikan manfaat diantaranya membuat pekerjaan menjadi pasti karena dilakukan melalui perencanaan yang matang dan sesuai standar tertentu sehingga para teknisi bersedia menerapkannya dalam pekerjaan mereka. Menurut Widodo ((2007:104) ”Disposisi merupakan kemauan, keinginan, dan kecendrungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan.” Menurut Widodo (2007:105) agar memiliki disposisi yang kuat, implementor harus memiliki pengetahuan, pemahaman dan pendalaman mengenai isi kebijakan dengan benar sehingga dapat memiliki perspektif yang sama dengan pembuat keputusan. Dengan memiliki kesamaan perspektif dan disposisi yang baik, maka proses implementasi menjadi lebih mudah dilaksanakan. Namun sebaliknya, apabila implementor tidak memiliki disposisi yang kuat terhadap sebuah kebijakan maka proses implementasi kebijakan dapat menjadi rumit.

Edward III (1980: 89) menyatakan bahwa: “If implementors are well-disposed toward a particular policy, they are more likely to carry it out as the original decisionmakers intended. But when implementors attitudes or perspective differ from the decisionmakers’, the process of implementing a policy becomes infinitely more complicated”. Edward III menyatakan pentingnya disposisi yang benar yang harus dimiliki oleh implementor agar dapat melaksanakan sebuah kebijakan dengan benar. Pelaksana tidak akan dapat mengimplementasikan kebijakan bila bersikap menolak kebijakan sehingga menjadikan proses implementasi menjadi sulit dilakukan. Bila dikaitkan dengan elemen respon terhadap disposisi yang dimiliki oleh teknisi UPT PP maka respon yang bersifat menerima yang mempengaruhi sikap para teknisi untuk melaksanakan SMM ISO 9001:2008 di unit ini. Ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Van Mater & van Horn (1974: 472) dalam Widodo (2007: 105) bahwa disposisi yang kuat pada diri pelaksana dalam melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh tiga

macam elemen respon yakni pengetahuan(cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding),terhadap kebijakan; arah respon mereka apakah menerima, netral, atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection); intensitas terhadap kebijakan. Sikap itulah yang akan memunculkan disposisi pada diri pelaku kebijakan. 4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi yang baik akan membuat pelaksana kebijakan memberikan ruang bagi para pelaksana melakukan berbagai koordinasi kepada semua unit terkait sehingga dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan fragmantasi.

Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Direktur dan Ka UPT PP mengenai struktur organisasi. Menurut Direktur lembaga telah menentukan dan melaksanakan struktur birokrasi yang sederhana dan jelas. Kejelasan pembagian wewenang memudahkan tiap bagian melaksanakan tugasnya. Koordinasi antar unit/ bagian menjadi mudah dan jelas.

Menurut Ka UPT PP menyatakan bahwa struktur birokrasi yang ada memudahkan koordinasi dalam melaksanakan tugas. Pembagian wewenang dalam melakukan perawatan alat kepada UPT PP oleh lemabaga sangat jelas sehingga dalam melaksanakan tugasnya UPT PP berlandaskan pada tugas ini. Kejelasan pemberian wewenang ini sangat penting karena menjadi dasar melakukan kegiatan perawatan bagi semua jurusan yang berkaitan dengan peralatan pembelajaran. Dalam melakukan tugasnya, UPT PP bertanggung jawab langsung kepada Direktur, dan dalam melaksanakan tanggung jawab dalam hal perawatan peralatan pembelajaran, UPT PP dapat berkoordinasi dengan unit terkait seperti jurusan dan lab dan bagian keuangan untuk dapat menjalankan kegiatan perawatan.

Para teknisi sependapat bahwa perawatan yang dilakukan berdasarkan SOP perawatan yang diberlakukan di UPT PP. Menurut para teknisi, ketersediaan suku cadang sederhana seperti MCB, bola lampu dan oli harus tersedia (ready in stock) di gudang (warehouse) agar saat akan diadakannya perawatan tidak perlu menunggu suku cadang tersebut. Para teknisi juga sependapat bahwa pendokumentasian berupa riwayat perawatan perlu dibuat agar memudahkan perawatan dimasa yang akan datang. Kendala tidak dibuatnya pendokumentasiaan berupa riwayat perawatan disebabkan tidak ada petugas khusus yang menangani pengadministrasian. Padahal menurut para teknisi hal ini sangat penting. SOP merupakan acuan sehingga proses/ tahapan peraatan dilakukan seragam sehingga memudahkan perawatan. SOP

(13)

yang dilaksanakan adalah SOP perawatan tak terencana.

PENUTUP

Implementasi kebijakan SMM 9001:2008 di UPT PP dalam melakukan perawatan peralatan pembelajaran kurang berhasil dilakukan secara optimal. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya implementasi adalah faktor komunikasi, sumber daya, dan struktur birokrasi. Komunikasi internal UPT belum efektif dikarenakan rutin dan evaluasi tidak dilakukan. Beberapa kendala yang dihadapi karena kurangnya komunikasi yakni pembagian pekerjaan yang tidak merata dan tidak semua teknisi berperan aktif dalam pekerjaan yang ada. Sedangkan Komunikasi antara jajaran pimpinan dan UPT PP dinilai cukup baik ditinjau dari segi transmisi, kejelasan dan konsistensi.

Sumber daya (staff) dalam Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 di UPT PP dalam melakukan perawatan peralatan dinilai memadai dari segi jumlah namun dari segi kualitas masih harus ditingkatkan. Keterbatasan sumber daya manusia, anggaran, dan peralatan menyebabkan kurang berhasilnya implementasi SMM ISO 9001:2008 di UPT PP.

Para pegawai dan teknisi UPT PP sebagian besar memiliki disposisi yang baik untuk mengimplementasikan SMM ISO 9001:2008 dalam melakukan perawatan dan perbaikan. Struktur birokrasi dalam hal pembagian wewenang dan struktur organisasi dinilai baik dan tidak terfragmentasi, sehingga dapat memudahkan implementasi ISO di UPT PP. Implementasi SOP belum sepenuhnya dilaksanakan menyebabkan kurang berhasilnya implementasi ISO di UPT PP secara optimal. Penerapan SOP tidak disertai pendokumentasian yang baik.

Berdasarkan kesimpulan diatas maka beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut: Komunikasi internal UPT PP perlu dilakukan sehingga tercipta komunikasi yang efektif. Untuk meningkatkan komunikasi internal dapat dilakukan melalui pertemuan rutin dan evaluasi internal UPT PP. Keterbatasan kualitas teknisi/ staff UPT PP dapat ditingkatkan melalui pengajuan perencanaan kepada pimpinan dengan memberikan informasi pelatihan yang dibutuhkan bagi teknisi yang disesuaikan dengan ketrampilan untuk melakukan perawatan peralatan pembelajaran yang ada di Polnep. Keterbatasan anggaran yang dialokasikan untuk UPT PP dapat diatasi melalui pengajuan anggaran yang dibutuhkan untuk kegiatan perawatan terencana dan tidak terencana yang dilengkapi dengan data alat yang akan dirawat (dokumentasi alat). Untuk dapat melaksanakan perawatan dengan cepat, setiap teknisi sebaiknya dilengkapi dengan sebuah kotak peralatan (toolbox), perlengkapan keselematan kerja dan untuk menjamin kelengkapan alat, harus dibuat

kartu kotrol penggunaan alat. Suku cadang sederhana dan sering dibutuhkan sebaiknya tersedia di gudang (ready in stock). Setiap pelaksanaan SOP, perlu dilakukan pendokumentasian sesuai pekerjaan yang dilakukan.

DAFTAR REFERENSI

Afifuddin dan Saebani Beni Ahmad. 2009.

Metodologi Penelitian Kualitatif.

Bandung: Pustaka setia.

Buku Saku ISO.2009. Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 Politeknik Negeri Pontianak. Crowe, John B. 1996. Maintenance and its Impact

on Competitiveness and Job Security. Pulp & Paper.70 (13): 63-66.

Departement Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Edward III. George C. 1980. Implementing Public

Policy. Washington: Congressional

Quarterly Inc.

Faisal, Sanafiah. 2003.Format-format Penelitian Sosial.Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada. Fuhrman. E. 2012. Preventive maintenance=cost

savings.

http://www.provisioneronline.com/ articles/keyword/ 3345-preventive- maintenance.

Gasperz.Vincent. 2000. Manajemen Produktivitas Total. Jakarta.: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hariandja, Marihot Tua Efendi. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta: Grasindo. Haryani, Sri. 2001. Komunikasi Bisnis.Yogyakarta:

Percetakan AMP YKPN.

Kauppi, PK dan Ylinen. 2005. Make

Maintenanance Meaningful. PPI,47

(2):17-18.

Machfoedz, Machmud.2002. Dasar-dasar

Komunikasi Bisnis. Yogyakarta:

Percetakan AMP YKPN.

Panyinggih, Erwin. 2010. Perancangan Sistem Manajemen Mutu 9001:2008 di Jurusan Tehnik Industri Fakultas Tehnik UMS. www.mitrariset.com/

SKRIPSI_THESIS.html

Politeknik Negeri Pontianak. 2009. Audit Internal Politeknik Negeri Pontianak.

Politeknik Negeri Pontianak. 1995. Maintenance Handbook.

Public Works and Government Services Canada. 2000. Maintenance Management Sytems. Otawa : Government Canada Publication. Purwanto, Erwan Agus dan Dyah ratih

Sulistyastuti.2012.Implementasi kebijakan Publik.: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta : Gava media. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian

Kuantitatif &Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

(14)

Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi

Publik, Reformasi Birokrasi, dan

Kepemimpinan Masa Depan. Bandung:

PT. Refika Aditama.

Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.

Tachjan. 2008. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: TRUEN RTM.

Tangkilian, Hessel Nogi S.2003. Implementasi

Kebijakan Publik. Yogyakarta: Lukman

Offset.

Tubbs, L.S. & Sylvia .Moss. 2001. Human

Communication. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Umar, Husein. 2002. Metode Riset Komunikasi

Organisasi. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Wahab, Solichin Abdul. 2012. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-model Kebijakan Publik. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Walker. J. W. 1992. Human Resource Strategy. Singapore: McGraw-Hill International Editions.

Widodo. M.S. Joko. 2006. Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing. Zulwin, Febri.2007. Analisis Implementasi ISO

9001:2000 Sebagai Alat Kendali Mutu Pada PT. Broco Mutiara Electrical Industry. Eprints.binus.ac.id

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelitian oleh Panitia Pengadaan Barang / Jasa menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka sesuai dengan Surat

Suatu penelitian yang telah diteliti sebelumnya sehingga data- datanya (variabel-variabel penelitiannya) dapat dilacak kembali melalui kuisioner atau dokumen-dokumen yang

bentuk penerapan K3 yang dilakukan oleh suatu perusahaan adalah program untuk. lebih meminimalisasi angka kecelakaan dalam sebuah proyek konstruksi

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan return on equity, current ratio, total asset turnover dan price to book value tidak berpengaruh

Zane is the New York Times bestselling author of Afterburn, The Heat Seekers, Dear G-Spot, Gettin’ Buck Wild, The Hot Box, Total Eclipse of the Heart, Nervous, Skyscraper, Love is

Tujuan utama kajian ini adalah untuk mengenal pasti keseimbangan jangka panjang antara pulangan Amanah Pelaburan Hartanah Islam (I-REIT) dengan pemboleh

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT.

Adalah cakupan Ibu dengan komplikasi kebidanan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu yang ditangani secara definitif sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan