• Tidak ada hasil yang ditemukan

LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA LATIFUNDIA BERDASARKAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK AGRARIA (UUPA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA LATIFUNDIA BERDASARKAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK AGRARIA (UUPA)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA LATIFUNDIA BERDASARKAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK

AGRARIA (UUPA) Oleh :

Zubaedi

Universitas Nahdlatul Wathan Mataram Email: zubamalaka88@gmail.com

Abstrak

Tanah merupakan suatu aset yang sangat vital bagi manusia yang dikaruniakan oleh Tuhan yang maha kuasa, tanah digunakan sebagai tempat tinggal, tempat bercocok tanam, tempat membangun berbagai hal serta berbagai manfaat yang lain sehingga manusia berlomba-lomba untuk memilikinya. karena begitu pentingnya tanah bagi masyarakat, maka tidak menghrankan banyak masyarakat yang memiliki tanah dalam jumlah yang begitu besar dan di sisi lain banyak juga masyarakat yang tidak memiliki sebidang tanah pun, hal ini menimbulkan ketimpangan sosial di masyarakat padahal distribusi pemanfaatan sumber daya alam harus merata bagi semua lapisan masyarakat yang merupakan amanat konstitusi. Permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimanakah implementasi pasal 7 UUPA Tentang larangan latifundia di masyarakat dan bagaimana peran pemerintah dalam hal ini adalah BPN untuk mengatasi kepemilikan tanah secara latifundia. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode normatif empiris yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan atau norma dan konsep yang berlaku serta mengkaji pelaksanaan norma tersebut di masyarakat. Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran kepada masyarakat tentang konsep dan larangan kepemilikan tanah secra latifundia serta apa dampak dan konsekuensinya serta memberikan gambaran seputar tugas dan wewenang BPN dalam mengatasi masalah tersebut sehingga masyarakat menjadi paham dan sadar hukum dan lebih berhati-hati dalam bertransaksi di bidang pertanahan yang pada akhirnya dapat mewujudkan pemerataan distribusi pertanahan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Kata Kunci : Larangan, Tanah Latifundia

Abstract

Land is a very vital asset for humans who is given by God the Almighty, land is used as a place to live, a place to grow crops, a place to build various things and various other benefits so that people are competing to own it. Because land is so important to the community, it does not expect that many people own land in such a large number and on the other hand there are also many people who do not own a piece of land, this has created social inequality in the community even though the distribution of natural resource use must be evenly distributed among the people. all levels of society which is the mandate of the constitution. The problem in this writing is how is the implementation of article 7 of the UUPA concerning the prohibition of latifundia in the community and how the role of the government in this case is BPN to overcome land ownership by latifundia. The method used in this writing is the empirical normative method, which examines the laws and regulations or norms and concepts that apply and examines the implementation of these norms in society. The purpose of this paper is to provide an overview to the community about the concepts and prohibitions of latifundia land ownership and what are the impacts and consequences as well as to provide an overview of the duties and authorities of BPN in overcoming these problems so that people become aware and aware of the law and are more careful in transacting in the land sector. which in turn can create an even distribution of land and an even distribution of community welfare.

(2)

A. PENDAHULUAN Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata, maka tanah adalah untuk diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Sehubungan dengan itu, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.1

Setelah melewati jalan panjang dan berliku, Bangsa Indonesia sepakat untuk melakukan pembaharuan dibidang keagrarian pada periode tahun 1960-an sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960. Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA adalah dicanangkannya program landreform di Indonesia. Program dari landreform tersebut adalah : 2

a.Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;

b.Larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai);

1Ariska Dewi, “Peran Kantor Pertanahan

Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah Absentee/Guntai” (Tesis, Program Magister Hukum UNDIP, 2008), hal. 5

2Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2007), hal. 203

c.Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara; d.Pengaturan soal pengembalian dan

penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;

e.Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

f.Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah yang menjadi program landreform diatur dalam Pasal 7, 10, 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Dalam pasal ini melarang apa yang dinamakan dengan groot grondbezitter yaitu larangan pemilikan tanah yang melampaui batas atau disebut juga dengan istilah latifundia.3

“Larangan pemilikan tanah secara latifundia dimaksudkan untuk mengakhiri dan mencegah bertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, menciptakan tuan-tuan tanah dan banyak hal-hal negatif yang mungkin terjadi seperti tidak naiknya produksi, petani penggarap selalu akan menyewa dan uang sewa akan selalu meningkat sehingga pendapatan mereka akan terus berkurang.4

3Boedi Harsono,Op. Cit., hal. 368 4Boedi Harsono, Op. Cit., hal.354

(3)

Kesejahteraan sosial dari masyarakat akan terus merosot dan condong tuan-tuan tanah memaksa para penyewanya untuk memberikan suara pada pemilu bagi golongan yang akan mempertahankan posisinya. Rakyat yang memerlukan tanah akan terus bertambah dan kemiskinan sudah tidak terelakkan lagi. Hal ini akan menyebabkan semakin sempitnya atau hilangnya sama sekali kemungkinan bagi petani untuk memiliki tanah sendiri.”5

Menurut taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani tidak bertanah. Sebagian dari mereka merupakan buruh tani dan sebagian lainnya adalah mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam perjanjian bagi hasil. Jumlah petani yang tidak bertanah semakin lama akan semakin bertambah. Ini berarti bahwa syarat untuk mendapatkan tanah garapan akan semakin berat disebabkan bertambahnya petani yang memerlukan tanah garapan. Dan biasanya orang-orang yang mempunyai tanah banyak makin lama tanahnya akan semakin bertambah baik yang dimiliki maupun yang dikuasainya dalam hubungan gadai atau jual tahunan. Dengan demikian maka pembagian hasil pertanian menjadi tidak merata.6

Sebagai konsekwensi dari Pasal 7 UUPA yang tidak memperkenankan penguasaan tanah yang melampaui batas maka dalam Pasal 17 UUPA diatur luas maksimum dan atau minimum yang boleh dimiliki oleh satu keluarga baik dengan hak milik atau dengan hak yang lain.

Sejalan dengan Pasal 17 UUPA, Boedi Harsono mengatakan:

“Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam

5A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum

Agrarian serta Landreform, Bagian I, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal.23-24

6Ibid,

produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan merupakan pula pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahaan bekerja para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang telah menjadi pemiliknya.”7

Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya berupa Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan undang-undang ini merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-undang ini mengatur 3 masalah yang pokok, yaitu mengenai:8

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;

3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.

Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering dan dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus, Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar tersebut dengan

7Boedi harsono, Op. Cit., hal.355 8Ibid,

(4)

paling banyak 5 hektar. Melalui Undang-undang ini luas tanah maksimum yang bisa dikuasai seseorang diatur secara rinci dengan mempertimbangkan tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi, kepadatan penduduk dan kesuburan tanah pertanian.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas, maka permasalahan yang dapat dirinci sebagai berikut :

1. Bagaimanakah implementasi Pasal 7 UUPA Tentang larangan kepemilikan tanah secara latifundia di masyarakat? 2. Bagaimanakah peran pemerintah dalam

mengatasi atau menyelesaikan masalah tanah-tanah latifundia ?

C.Metode Penulisan Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan ini di gunakan dalam rangka pencarian data lapangan terutama dalam melakukan wawancara dengan para pihak yang terlibat langsung dengan kepemilikan tanah secara latifundia.

D.PEMBAHASAN

1. Implementasi Pasal 7 UUPA Tentang Kepemilikan Tanah Secara Latifundia di Masyarakat

Pasal 1 PP Nomor 224 Tahun 1961 antara lain mengatur tentang tanah-tanah yang menjadi objek landreform yang meliputi, tanah-tanah yang melebihi batas maksimum sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 56 Prp Tahun 1960, tanah-tanah guntai yang diambil oleh pemerintah, tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara, dan tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara untuk selanjutnya tanah-tanah tersebut akan dibagikan kepada petani.

Selain itu mengatur tentang lembaga-lembaga pendukung landreform seperti koperasi pertanian. Keberadaan koperasi ini ditujukan untuk mengatur tentang penguasaan tanahnya, membantu penggarapannya, mengusahakan kredit, dan memberikan pembinaan dalam mengelola tanahpertanian. Dari ketentuan tersebut di atas adanya pengaturan lembaga-lembaga pendukung (instituional supporting)

landreform membuktikan bahwa program

landreform Indonesia bukan hanya

redistribusi tanah semata-mata kepada petani, melainkan juga mengatur tentang tindak lanjut dari pembagian tanah tersebut, sehingga tujuannya tidak hanya pemerataan tetapi yang paling penting adalah peningkatan kesejahteraan para petani. 1.Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 beserta penjelasannya.

2.Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian secara Guntai (Absentee) bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.

3.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform.

Dalam ketentuan Pasal 2 peraturan tersebut antara lain disebutkan bahwa penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum dan belum dikuasai oleh pemerintah wajib dilaporkan oleh pihak yang menguasainya dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini kepada Bupati/Walikota cq Kepala Sub Direktorat Agraria (sekarang pada Kantor Pertanahan setempat). Selanjutnya kepada pihak yang menguasai tanah yang melebihi batas maksimum tersebut di atas selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya peraturan ini diharuskan mengakhiri penguasaan tanah kelebihan

(5)

tersebut. Ketentuan ini berlaku juga terhadap tanah-tanah yang dimiliki secara guntai. Seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini dan kebutuhan atas tanah yang semakin meningkat perlu di pertimbangkan kembali apakah ketentuan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee tersebut masih eksis berlangsung atau perlu dikaji kembali.

Berkaitan dengan larangan kepemilikan tanah secara latifundia, dalam Pasal 2 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 menentukan luas maksimum tanah pertanian yang dimiliki didasarkan pada jumlah anggota keluarga sebanyak 7 (tujuh) orang yang disertai dengan kemungkinan terjadinya kelebihan anggota keluarga serta luas tanah yang dimiliki kiranya juga perlu diadakan peninjauan kembali. Hendaknya disesuaikan dengan perhitungan ekonomis agar dapat menunjang kehidupan yang layak bagi petani besertakeluarganya yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerahnya saat ini serta perkiraan di masa yang akan datang.

Selanjutnya dalam ketentuan tersebut di atas luas penguasaan tanah yang dijadikan dasar adalah hanya terbatas pada tanah-tanah pertanian yang mempunyai dasar pemilikan dan atau penguasaan dengan hak milik, baik hak milik yang dapat dibuktikan dengan sertipikat yang sudah didaftarkan pada Kantor Pertanahan ataupun belum didaftarkan (tanah adat). Padahal dalam perkembangan penguasaan tanah saat ini yang menjadi dasar penguasaan tanah tidak hanya terbatas pada hak milik tetapi juga terjadi dalam hubungan sewa menyewa ataupun gadai, meskipun hal tersebut sudah dilarang tetapi kenyataannnya didalam masyarakat hal tersebut masih dilakukan, terutama di daerah-daerah pedesaaan. Demikian juga

subjeknya hanya terbatas pada perorangan. Padahal yang menguasai tanah yang sangat luas sesungguhnya bukan terletak pada petani perorangan sebagaimana yang diatur dalam peraturan ini, melainkan kebanyakan dikuasai oleh badan-badan usaha baik swasta maupun badan usaha yang dimiliki oleh pemerintah.

Selanjutnya dalam Pasal 3 UU tersebut bagi pemilik yang mempunyai tanah kelebihan harus melaporkan tanah lebihnya tersebut dalam jangka waktu 3 bulan. Dalam pelaksanaannya peraturan tersebut tidak dijalankan, banyak masyarakat yang tidak melapor akan kelebihan tanahnya tersebut. Menurut Arie Sukanti Hutagalung Ketentuan pemberian tenggang waktu 3 bulan untuk melapor kelebihan tanah dimanfaatkan untuk mengalihkan tanah kepemilikan mereka kepada anak, menantu atau saudaranya dan tidak menyerahkan kepada pemerintah. Pelaksanaan reformasiagraria yang dimaksud oleh penetapan luas tanah maksimum oleh perorangan itu, pada akhirnya tidak dapat terlaksana karena bergantung pada kepatuhan individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang dimilikinya.9

Selain itu mengenai batas minimum kepemilikan tanah10 juga dianggap tidak efektif lagi dalam penegakannya, karena jumlah petani sudah semakin besar sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin sempit. Dan juga kenyataan menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi pertanian yang maju, hasil pertanian pun sudah jauh lebih

9http:www.antara.co.id,”Penetapan Luas

Tanah Pertanian Dianggap Tidak Efektif, Diakses Tanggal 04 Januari 2012.

10Pasal 8 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960

menyebutkan ”Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.

(6)

meningkat dibanding pada saat berlakunya UU No. 56 Prp Tahun 1960. Mencermati dengan seksama eksistensi dari peraturan-peraturan tersebut apabila dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuannya tidak akan ditemukan lagi masyarakat yang tidak memiliki tanah, khususnya para petani yang tidak mempunyai tanah. Hal ini disebabkan karena Pemerintah masih setengah hati dalam menerapkan peraturan tersebut, hal ini dapat dilihat dari kebanyakan pemilik tanah yang melampaui batas maksimum dan tanah absentee (guntai) adalah para pengusaha (birokrasi) itu sendiri sehingga secara psikologis para aparat Kantor Pertanahan tidak mampu untuk melakukannya, selain itu data administrasi di Kantor Pertanahan mengenai jumlah masyarakat yang memiliki tanah yang melampaui batas dan tanah absentee tidak terdaftar.

Suatu peraturan dikatakan dapat berlaku efektif dalam masyarakat apabila peraturan tersebut memenuhi tiga syarat yaitu: peraturan itu dibuat sesuai dengan filosofi bangsa yang bersangkutan; peraturan itu dibentuk sesuai dengan norma hukum yang berlaku untuk itu; serta sesuai dengan nilai dan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketiga syarat tersebut tidak bersifat statis tetapi dinamis, karena dapat saja berubah sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan kehidupan di masyarakat yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi.11

2.Peran PemerintahDalam Mengatasi Tanah Latifundia di Masyarakat

Pelaksanaan pemilikan tanah secara latifundia telah dilaksanakan oleh Badan

11Ady Kusnadi’ Cs, Penelitian Tentang

Efektifitas Peraturan Perundang-Undangan Larangan Absentee, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2001), hal.69

Pertanahan Nasionalsejak peraturan UU Nomor 56 Tahun 1960 dan PP Nomor 224 Tahun 1961 diberlakukan dibuktikan dengan adanya kepemilikan hak atas tanah secara latifundia.

Peran pemerintah dalam hal ini adalah BPN dalam mengatasi kepemilikan tanah secara latifundia adalah sebagai berikut :

1. Pelaksanaan Inventarisasi Tanah Latifundia/Melebihi batas maksimum. a. Kepala Kantor Wilayah melaksanakan

inventarisasi tanah terindikasi Kelebihan;

b. Informasi tanah terindikasi melebihi batas maksimum diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh KantorWilayah, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas/instansi lainnya, laporan tertulis darimasyarakat, atau pemegang hak;

c. Obyek inventarisasi tanah terindikasi terlantar meliputi : Hak Milik;

d. Inventarisasi tanah terindikasi terlantar dilaksanakan melalui :

1)Pengumpulan data mengenai tanah yang terindikasi melebihi batas maksimum meliputi data tekstual dan dataspasial:

a) Data tekstual meliputi nama dan alamat pemegang hak, nomor, dan tanggal keputusanpemberian hak, nomor, tanggal, dan berakhirnya sertipikat, letak tanah, luas tanah,penggunaan tanah;

b)Data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan koordinat posisibidang tanah terindikasi melebihi batas maksimum. 2)Pengelompokan data tanah yang

terindikasi melebihi batas maksimum yang terhimpundilakukan menurut wilayah kabupaten/kota dan jenis hak/dasar penguasaan ;

(7)

3)pengadministrasian data hasil inventarisasi tanah terindikasi melebihi batas sebagaimana dimaksudpada huruf a, diselenggarakan secara tertib dalam basis data untuk keperluan pelaporan,bahan analisis, dan penentuan tindakan selanjutnya.

2.Pelaksanaan Identifikasi tanah yang di indikasi terlantar.

a.Kepala Kantor Wilayah menganalisis hasil inventarisasi untuk menyusun dan menetapkantarget yang akan dilakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah terindikasi melebihi batas maksimum; b.Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data

dan informasi tanah terindikasi melebihi batas;

c.Kegiatan penyiapan data dan informasi sebagaimana dimaksud meliputi :

1)Verifikasi data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah; 2)Mengecek buku tanah dan/atau warkah

dan dokumen lainnya untuk mengetahuikeberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan danpemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;

3)Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, apabila pemeganghak/kuasa/wakil tidak memberikan data dan informasi atau tidak ditempat atau tidakdapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap dilaksanakan dengan cara lainuntuk memperoleh data;

4)Melaksanakan pemeriksaan fisik berupa letak batas, luas tanah;

5)Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahanberdasarkan hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada huruf d;

6)Membuat analisis penyebab terjadinya tanah melebihi batas maksimum antara

lain menyangkutpermasalahan-permasalahan penyebab terjadinya, kesesuaian denganhak yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang, kesesuaian dengan kepadatan penduduk;

7)Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian.

3.Peringatan dan pemberitahuan.

a.Apabila hasil identifikasi dan penelitian terdapat tanah yang melebihi batas maksimum, Kepala Kantor Wilayah memberitahukankepada pemegang hak dan sekaligus memberikan peringatan; b.Peringatan sebagaimana dimaksud

merupakan peringatan tertulis pertama,agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan surat peringatan tersebut,pemegang hak mengusahakan, untuk menjual tanahnya atau mengalihkan sebagian hak kepemilikan kepada masyarakat lain yang membutuhkan;

c.Dalam surat peringatan pertama sebagaimana dimaksud di atas disebutkan hal-halkonkret yang harus dilakukan oleh pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkanapabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan dimaksuddengan format Surat Peringatan Pertama;

d.Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf (b), setelah memperhatikan kemajuan peringatan

pertama, Kepala Kantor

Wilayahmemberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatanpertama;

e.Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf (d), setelah memperhatikan kemajuan peringatan

(8)

Wilayahmemberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir, dengan jangkawaktu yang sama dengan peringatan kedua;

f.Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pemegang hak adalah tanahnya ditetapkan menjadi tanah yang dikuasai negara,yang sekaligus hapus haknya, putus hubungan hukum, dan tanahnya ditegaskan dikuasailangsung oleh negara dan kemudian didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

4.Penetapan dan Ganti Rugi

a.Apabila peringatan ketiga ternyata pemegang hak tidak mematuhi peringatan ketiga,Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala untuk ditetapkan sebagai tanahyang dikuasai oleh negara;

b.Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah latifundia kepada Kepala dinyatakan dalam keadaan status quo sejaktanggal pengusulan sampai diterbitkan penetapan tanah latifundia; c.Tanah berstatus quo tidak dapat

dilakukanperbuatan hukum atas tanah dimaksud;

d.Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Latifundia atas usulan Kepala KantorWilayah;

e.Keputusan sebagaimana dimaksud di atas , memuat hapusnya hak atas tanah,pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah dimaksuddikuasai langsung oleh negara. f.Terhadap tanah yang sudah ditetapkan

sebagai tanah latifundia/melebihi batas maksimum, maka kepada pemegang haknya diberikan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, pemerintah melakukan tindakan preventif dan

represif guna mencegah terjadinya

kepemilikan tanah secara latifundia. Tindakan preventif, yaitu tindakan pemerintah yang bermaksud mencegah atau menghindarkan arus penyalahgunaan lembaga pemilikan tanah secara latifundia, dilakukan dengan cara :

a.Mengeluarkan peraturan–peraturan yang disertai ancaman pidana, jadi merupakan tindakan yang menakut - nakuti baik terhadap pemilik tanah atau pejabat yang berhubungan dengan itu.

b.Penyuluhan tentang pemilikan tanah yang baik dan lain sebagainya.

Untuk mencegah timbulnya pemilikan tanah pertanian secara latifundia, pemerintah telah mengeluarkan Intruksi Mendagri No. 27/1973 tentang pengawasan pemindahan hak-hak atas tanah ( Direktorat Landreform, Opcit hal 422 ). Depdagri mengeluarkan buku tuntunan bagi PPAT, salah satu petunjuknya menyebutkan sehubungan dengan peraturan – peraturan landreform, maka kepemilikan tanah yang melampaui batas dan pembelian tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggal si pembeli harus ditolak oleh para PPAT.

Tindakan represif, yaitu tindakan pemerintah yang bermaksud melenyapkan atau memusnahkan penyalahgunaan tersebut yaitu dengan melaksanakan sanksi / ancaman pidana itu melalui pengadilan. Menurut ketentuan PP No. 224/1961 yaitu bahwa terhadap pemilik tanah diancam pidana kurungan / denda serta tanahnya dicabut oleh negara tanpa ganti rugi (ayat 2), sedangkan terhadap mereka yang menghalang-halangi terlaksanakannya PP No. 224

(9)

ini diancam pidana kurungan/denda (ayat 1).

Tidak seluruh Masyarakat mengetahui tentang kepemilikan kelebihan tanah maksimum (latifundia) tersebut dikarenakan kurangnya sosialisasi dari Aparat Pemerintah. Padahal fenomena kelebihan tanah maksimum (latifundia) yang dipergunakan untuk tanah pertanian merupakan fenomena yang biasa terlihat atau terdengar dan secara terbatas diketahui oleh penduduk atau warga setempat. Jadi pada umumnya masyarakat yang melakukan jual beli tanah sebatas hanya kepada pihak penjual dan disaksikan oleh Camat dan tidak dilanjuti dengan proses pendaftarannya di Kantor Pertanahan, akibatnya tanahtersebut tidak tercatat pada kantor Pertanahan. Selain itu tidak dilakukan atau tidak ada sanksinya kepada pihak penerima tanah yang tidak mendaftarkan tanahnya ke BPN sehingga pola jual beli sebagaimana yang dilakukan di atas mengakibatkan administrasi pertanahan menjadi tidak tertib dan untuk mencari data-data yang diperlukan di kantor pertanahan sangatlah sulit. Selanjutnya untuk melaksanakan salah satu tugas dan tanggung jawabnya Kantor Pertanahan memberikan penyuluhan-penyuluhan pada masyarakat di desa-desa tentang pentingnya bagi pemilik tanah untuk mendaftarkan tanahnya agar Kantor Pertanahan dapat melakukan penertiban administrasi pertanahan karena belum seluruhnya Daftar Nama orang yang memiliki tanah terdaftar. Daftar nama diperlukan sebagai instrumen untuk melakukan kontrol dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Yang telah ada saat ini adalah daftar buku tanah dan

surat ukur. Jadi kalau data-data yang diperlukan oleh BPN telah lengkap seperti buku tanah, daftar nama, surat ukur maka sangat mudah untuk melihat siapa-siapa saja yang menguasai tanah lebih/latifundia

Kendala-kendala atau hambatan dari pelaksanaan penertiban pendayagunaan tanah terlantar.

1.Kendala dari aspek hukum antara lain:

a.Masalah administrasi yang masih lemah karena adanya penataaan kembali struktur administrasi pemerintah terkait dengan otonomi daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah,maka daerah berwewenang untuk menata dan mengatur kembali struktur administrasi aparat pemrintah di daerah.Dengan adanya penataan kembali ini,maka mau tidak mau akan mempengaruhi pengambilan kebijakan dan pelaksanaan tugas dari upaya yang bersangkutan;

b.Lamanya Proses atau Prosedur dari Daerah ke Provinsi

Proses identifikasi yang melibatkan pemerintah pusat yang mengakibatkan lamanya proses atau prosedur penetapan bidang-bidang

tanah sebagai tanah

terlantar,membutuhkan waktu yang lama sehingga memperlambat jalanya penertiban terhadap kepemilikan tanah secara latifundia, karena masih menunggu petunjuk langsung dari pusat;

c.Petugas atau Penegak Hukum Tidak Responsif Karena Masih Menunggu Petunjuk Langsung dari Pusat

Penegak hukum yang di maksud adalah aparat BPN, karena BPN lah yang berwenang

(10)

melaksanakan tugas di bidang pertanahan dan menentukan kebijakan di bidang pertanahan.

Kantor pertanahan kabupaten merupakan instansi vertical di bawah kantor wilayah BPN dan Badan Pertanahan Nasional.Seperti yang telah di uraikan di atas berkenaan dengan penertiban tanah latifundia sangat erat sekali hubunganya dengan kekuasaan di daerah,sehingga peran Bupati atau walikota sebagai penguasa di daerah di rasakan sangat berperan dalam penegakan hukumnya.Oleh sebab itu perlu di pertimbangkan dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kewenangan bupati atau walikota sebagai penguasa di daerah; d.Belum Adanya Persamaan Persepsi Mengenai Tujuan di Keluarkanya Aturan-aturan tersebut oleh pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan pertanahan.

2. Kendala-kendala Dari Aspek Non hukum, yaitu:

a.Banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang adanya aturan tanah latifundia;

b.Budaya hukum masyarakat yang kurang mendukung;

Budaya hukum disini yaitu adanya masyarakat yang tidak mau mendaftarkan tanahnya atau melaporkan ke pihak yang berwenang dalam hal ini BPN ;

Kenyataan ini sejalan dengan apa yang di kemukakan oleh oleh soerjono soekanto tentang efektifitas hukum,di nyataka bahwaagar suatu produk hukum benar-benar dapat

berfungsi scara efektif,minimal di perlukan 4 unsur12.

1.Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri;

2.Petugas penegak atau yang menetapkan;

3.Fasilitas yang di harapkan akan mendukung pelaksanaan kaidah hukum;

4.Warga masyarakat yang terkena ruang linkup peraturan itu.

Akan tetapi dalam kenyataanya, peraturan atau kebijakan hukum yang di buat oleh pemerintah tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan tujuan yang ingin di sepakati. Ke nyataan demikian di sebabkan karena hukum tidak akan dapat berjalan atau berfungsi dengan sendirinya tampa di tunjang oleh kondisi social,politik,konomi dan budaya masyrakat

Upaya Untuk Mengatasi Kendala dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Penertiban tanah latifundia

1.Upaya preventif, upaya penyadaran terhadap masyarakat dan aparat antara lain :

a.Penyuluhan-penyuluhan masalah pertanahan.

Dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan di kalangan masyarakat atau investor/perusahaan tentang tanah sebagai fungsi sosial,maka akan dapat memberikan pemahaman arti pentingnya tanah yang memiliki fungsi sosial dan selalu memperhatikan

12Soerjono Soekanto,Efektivitas Hukum dan

Penerapan Sanksi,( Remaja Karya, Bandung: 1985), hal.30

(11)

kesejahteraan masyarakat banyak;

b.Sosialisasi peraturan-peraturan yang berlaku.

Dengan dilakukan sosialisasi tersebut diharapkan dapat mempengaruhi dan merubah prilaku masyarakat pemegang hak atas tanah untuk taat kepada aturan hukum yang berlaku sebab faktor –faktor yang di kehendaki oleh aturan hukum adalah anatar lain faktor sensitif terhadap sanksi kepatuhan terhadap aturan

hukum. Dengan di

sosialisasikanya aturan hukum

tersebut kepada

masyarakat,dengan sendirinya masyarakat sadar akan adanya sanksi hukum terhadap penelantaran tanah, dan oleh karena itu maka merka mematuhi aturan hukum yang berlaku dan perbuatan memiliki tanah latifundia sedikit demi sedikit dapat di tekan bahkan di tiadakan;

c. Melakukan pembinaan berupa pembinaan teknis penggunaan tanah,teknis konservasi tanah dan lingkungan hidup,fasilitas bantuan permodalan atau kerja sama pemanfaatan tanah dengan pihak-pihak terkait.

2.Upaya represif yaitu berupa penindakan yang di lakukan oleh BPN, yaitu :

a.Setiap tahun BPN tetap melakukan komunikasi dan terjun langsung ke masyarakat;

b.BPN akan melakukan langkah-langkah antisipasi kepada

masyarakat yang memiliki tanah kelebihan untuk segera didistribusikan.

E.PENUTUP Kesimpulan

1.Implementasi Pasl 7 UUPA di masyarakat bisa dikatakan belum efektif karena masih banyak ditemukan kendala- kendala yang dihadapi seperti masalah hukum dan non hukum, masalah hukum seperti administrasi yang masih lemah, proses penanganan yang masih lamban dan para penegak hukum yang tidak responsif. Masalah non hukum seperti budaya masyarakat yang tidak taant hukum, masyarakat masih enggan untuk mendaftarkan tanah atau melaporkan tanah mereka kepada pihak terkait dibidang pertanahan.

Pelaksanaan peraturan tentang kepemilikan tanah latifundia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sekarang ini sehingga banyak peraturan-peraturan yang perlu direvisi atau diganti. Berkaitan dengan larangan kepemilikan tanah secara latifundia, luas maksimum tanah pertanian yang dimiliki berdasarkan pada jumlah anggota keluarga sebanyak 7 (tujuh) orang yang disertai dengan kemungkinan terjadinya kelebihan anggota keluarga serta luas tanah yang dimiliki kiranya perlu juga diadakan peninjauan kembali. Selanjutnya jangka waktu melapor dalam waktu 3 bulan atas kelebihan tanahnya perlu dikaji ulang, dan juga mengenai batas minimum kepemilikan tanah juga dianggap tidak efektif lagi dalam penegakkannya karena jumlah petani sudah semakin banyak sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin sempit

2. Adapun peran BPN dalam mengatasi tanah latifundia di masyarakat adalah dengan mengadakan inventarisasi,

(12)

identifikasi, memberikan peringatan dan penetapan tanah latifundia.

Saran

1. Pelaksanaan peraturan kepemilikan tanah secara latifundia agar direvisi ulang atau diganti karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan penduduk saat ini, misalnya penetapan tentang luas batas maksimum dan minimum pemilikan tanah (ceiling) sudah tidak relevan lagi karena jumlah petani sudah semakin besar sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin sempit, dan juga kenyataan menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi pertanian yang maju hasil pertanianpun jauh lebih meningkat. Kerjasama yang baik antara Kantor Pertanahan dan Aparat di pedesaan harus ditingkatkan agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dan dapat memberi dampak positif terhadap para petani dan pembangunan pertanian dan dapat terlaksana dengan baik selain itu partisipasi aktif dari para petani dan rakyat juga harus ditingkatkan.

2. Perlu pengawasan yang ketat dari aparat kantor pertanahan terhadap tanah-tanah yang sudah diredistribusikan ataupun belum dalam penguasaan dan pemilikan terhadap tanah-tanah pertanian agar lebih ditingkatkan lagi dan sistem informasi pertanahan melalui komputerisasi kantor pertanahan segera dilakukan agar untuk mereka yang akan mendaftarkan tanahnya dapat diproses dengan cepat dan mudah.

3. BPN harus melakukan sosialisasi terkait dengan tanah latifundia sehingga masyarakat menjadi tahu dan mengerti tentang hal- hal yang berkaitan dengan masalah agraria terutama masalah tanah latifundia.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Dalimunthe, Chadidjah, 2005,Pelaksaaan

Landreform di Indonesia dan

Permasalahannya,USU, Medan. Ediwarman, 2003. Perlindungan Hukum

Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Faryadi, 2000,Landreform, Jawaban Bagi Ketimpangan Penguasaan tanah Di Jawa Barat, Kompas, Jakarta.

Gautama, Sudargo, 1981. Tafsiran Undang Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung. Harsono, Boedi, 1999. Hukum Agraria

Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undangPokok Agraria, Isi

dan Pelaksanaannya, Jilid I.

Djambatan, Jakarta.

Hermit, Herman., 2004,Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah

Negara danTanah Pemda, Mandar

Maju, Bandung.

Parlindungan, A.P, 1998. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.

Rianto, Adi, 2004,Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum,Granit, Jakarta. Sumardjono, Maria S.W, 2001,Kebijakan

Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta. Sunindia, Y.W dan Ninik Widiyanti.,

1988,Pembaharuan Hukum Agraria (BeberapaPemikiran),Bina Aksara, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1997,Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2002,Faktor-faktor

Yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

(13)

Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pengaturan Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Maksimum Tanah Pertanian.

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Pensiunan Pegawai Negeri.

Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006, tentang Badan Pertanahan Nasional. Makalah, Artikel, Majalah, Internet Dokumen Kelompok Studi Pembaruan

Agraria, “Ketetapan MPR RI Tentang Pembaruan Agraria Sebagai Komitmen Negara Menggerakkan Perubahan Menuju Indonesia Yang Lebih Baik” disampaikan kepada Badan Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001.

Gunawan Wiradi, “Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraria”, Bandung, 1998.

Muladi, Seminar Reformasi Kebijakan Di Bidang Pertanahan, Jakarta, 2000, di akses pada bulan Maret 2009. M. Yamin, “ Revitalisasi Penggunaan

Referensi

Dokumen terkait

Di era globalisasi saat ini teknologi informasi dan komunikasi sedang berkembang pesat. Perkembangan tersebut secara tidak langsung berpengaruhh terhadap jalannya aktivitas manusia

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana konfigurasi model jaringan ANN untuk

 Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Sanjaya yang berhubungan dengan pendirian sebuah lingga yang merupakan lambang dari Dewa Siwa diatas sebuah bukir di

Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk

Data dalam penelitian ini terdiri dari data realisasi PAD, realisasi Total Pendapatan Daerah, realisasi Total Belanja Daerah, target PAD, realisasi

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih setiaNya, penulis dapat memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan Buku Konsep

Baik dari proses penghitungan keuangan dalam rumah tangga sampai pengontrolan alat-alat sederhana dan berat dalam perusahaan.Modem merupakan alat komunikasi dua

Didalam tugas ini, mahasiswa akan diberi worksheet yang berisi contoh data perubahan lahan dan contoh data cadangan karbon berikut dengan matriks kosong yang